BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan merupakan salah satu alasan utama bagi seseorang mencari pertolongan medis. Nyeri dapat melanda semua orang tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan. Pada umumnya, nyeri yang terjadi adalah akibat dari penyakit yang mendasari, seperti kanker, juvenile arhtritis, trauma, migren, dan penyakit lainnya. Nyeri dapat sangat mengganggu kinerja fisik dan aktivitas sehari-hari. Penderita nyeri di Amerika Serikat mencapai 75-80 juta jiwa dengan 25 juta diantaranya adalah arthritis (Bennet, 1997). Jumlah penderita nyeri neuropatik adalah sebesar ± 1% dari populasi penduduk dan nyeri punggung bawah diperkirakan 15% dari total jumlah penduduk (Fordyce, 1995). Hasil penelitian multisenter di unit rawat jalan di 14 rumah sakit pendidikan seluruh Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok studi nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia pada bulan Mei 2002, melaporkan adanya 4.456 kasus nyeri, dengan jumlah penderita laki-laki sebanyak 2.200 orang laki-laki dan perempuan sebanyak 2.256 orang. Nyeri bukan hanya gejala pasif dari sebuah penyakit, tetapi lebih merupakan agresitivitas penyakit itu sendiri yang dapat menyebabkan berbagai perubahan di otak yang mendasari nyeri kronik (Meliala, 2004). 1 2 Pembiyaan dan nilai kerugian akibat nyeri punggung di Amerika Serikat mencapai 2.585 milyar domllar per tahun dan di Inggris sekitar 6 milyar pounsterling per tahun (Meliala, 2004). Sebagian besar kerugian disebabkan oleh hilangnya jam kerja dan biaya pengobatan, sehingga sangat membebani perekonomian bangsa dan negara. Jadi, dapat dikatakan bahwa nyeri mampu mengubah individu secara menyeluruh, baik secara fisiologik, psikologik maupun secara sosial ekonomi. Analgetik adalah obat-obatan yang digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri yang biasa disebut dengan “pain killer”. Analgetik biasanya dihubungankan dengan efek antipiretik dan efek antiinflamasi. Analgetik yang sering digunakan dan diresepkan adalah analgetik golongan non narkotik yang mampu menghilangkan nyeri ringan hingga sedang. Penggunaan analgetik dalam jangka waktu yang berlebihan, terutama ketika dipakai dalam jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, seperti penyakit ginjal dan hati (Wilmana, 1995). Oleh karena itu, perlu dikembangkan obat analgetik yang lebih aman dengan efek samping yang lebih ringan. Cacing tanah telah lama dikenal oleh manusia. Hewan ini hidup di tempat yang terlindung dari sinar matahari, lembab, dan gembur. Pengobatan tradisional Tiongkok menggunakan cacing tanah dalam mengobati berbagai jenis penyakit dan infeksi. Beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat dan Lampung, telah memanfaatkan cacing tanah sebagai obat tradisional. Salah satu jenis cacing tanah yang sering digunakan adalah Lumbricus rubellus yang menggandung protein cukup tinggi, yaitu 64-76% berat kering dan 20 jenis asam 3 amino. Cacing tanah juga memiliki zat antipurin, antipiretik, antidota, vitamin, dan beberapa enzim, misalnya lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulose. Berbagai efek antiinflamasi, antioksidan, antikanker, antibakteri, antipiretik, dan trombolitik dari cacing tanah telah dilakukan, tetapi penelitian mengenai efek analgetik dari cacing tanah belum dilakukan. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian mengenai efek analgetik dari serbuk cacing tanah (SCT). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah SCT memiliki efek analgetik pada mencit yang diinduksi asam asetat? 2. Seberapa besar daya analgetik dari SCT dibandingkan dengan parasetamol? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui adanya efek analgetik SCT pada mencit yang diinduksi asam asetat. 2. Mengetahui besar daya analgetik SCT bila dibandingkan dengan parasetamol. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan ilmiah bagi pemanfaatan SCT secara empirik di masyarakat, terutama jika digunakan sebagai analgetik. 4 E. Tinjauan Pustaka 1. Nyeri Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Meskipun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi, dan berfungsi mempermudah diagnosis, nyeri sering dianggap hal yang tidak menyenangkan (Mutchler, 1991). Zat nyeri adalah rangsangan yang untuk menimbulkan rasa nyeri atau kerusakan jaringan.Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik telah melampaui sebuah nilai ambang batas nyeri dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa nyeri (Gambar 1). Ambang nyeri adalah intensitas rangsang terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri apabila rangsang tersebut digunakan dalam waktu yang lama (Guyton, 1987). Rangsangan nyeri diterima oleh reseptor nyeri khusus yang merupakan ujung saraf bebas. Secara fungsional, dibedakan 2 jenis reseptor yang dapat menyusun 2 sistem serabut yang berbeda, yaitu: Mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri melalui serabut A-delta bermielin. Termoreseptor, yang meneruskan nyeri melalui serabut-serabut C yang tidak bermielin. 5 NOKSIUS Kerusakan Jaringan Pembebasan : H+ (pH<6) K+ (>20mmol/L) Asetilkolin Serotonin Histamin Pembentukan: Bradikinin Pembentukan : Prostaglandin Sensibilitas reseptor Nyeri Pertama Nyeri lama Gambar 1. Pelepasan mediator nyeri akibat kerusakan jaringan yang menyebabkan munculnya sensasi nyeri (Mutschler, 1991) Adanya rangsangan pada reseptor nyeri akan menyebabkan lepasnya serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik serta merangsang pembentukan bradikinin dan prostaglandin. Akibatnya, rasa nyeri akan muncul. Pelepasan zat-zat tersebut tidak hanya merangsang ujung saraf reseptor nyeri, namun juga menurunkan ambang nyeri. Ion hidrogen termasuk zat nyeri yang potensinya kecil. Penurunan pH akan meningkatkan rasa nyeri akibat peningkatan pelepasan H+. Ion Kalium yang keluar dari intrasel pada konsentrasi >20 mmol/liter akan menyebabkan nyeri. Histamin pada konsentrasi tinggi (10-8 g/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mampu mensensibilitas reseptor nyeri, sedangkan pada konsentrasi tinggi, asetilkolin berperan sebagai zat nyeri itu sendiri. Serotonin merupakan zat nyeri yang paling kuat dari kelompok transmitter. Prostaglandin, 6 yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri dan menjadi penentu nyeri lama (Mutchler, 1991). Nyeri menurut tempat terjadinya dibedakan atas nyeri somatik dan nyeri viceral. Dikatakan nyeri somatik apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang atau jaringan ikat. Nyeri somatik dibagi lagi menjadi 2, yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila tempat rangsang berasa dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan. Nyeri ini juga sering dinamakan dengan nyeri pertama yang menyebabkan suatu reaksi menghindar secara refleks sehingga dapat melindungi organisme dari kerusakan lebih lanjut. Nyeri pertama ini juga diikuti oleh nyeri kedua yang bersifat menekan, sukar untuk dilokalisasi dan lambat hilang yang disebut juga dengan nyeri lama (Setiasih, 2003), sedangkan nyeri dalam adalah nyeri yang berasal dari otot, persendian tulang dan jaringan ikat. Nyeri viceral terjadi antara lain pada kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai dengan inflamasi (Mutchler, 1991). Berdasarkan perjalanannya, nyeri dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan luka spesifik. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan. Nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan 7 setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan dan bersifat terusmenerus atau interminten (Septika, 2005). a. Mekanisme Nyeri Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Di tempat ini tidak hanya terjadi pertemuan serabut aferen yang impulsnya tumpang tindih. Namun, juga terjadi refleks somatik, misalnya menarik tangan pada waktu tangan tersentuh benda panas. Serabut saraf yang berakhir pada daerah formatio reticularis akan menimbulkan reaksi vegetatif, antara lain penurunan tekanan darah dan penurunan keringat. Tempat kontak lain yang juga penting adalah thalamus opticus, di mana rangsangan tidak hanya diteruskan menuju ke tempat lokalisasi nyeri, tetapi juga diteruskan ke sistem limbik. Sistem limbik terlibat pada penilaian emosional nyeri, sedangkan pada korteks otak akan dihasilkan reaksi perlindungan menghindar yang terkoordinasi. Selain sistem penghantar nyeri, terdapat pula sistem penghambat nyeri endogen yang terletak dalam batang otak dan sumsum tulang belakang. Kerjanya adalah mempersulit penerusan impuls nyeri sehingga mampu menurunkan rasa nyeri. Sistem ini menjelaskan mengapa nyeri dalam situasi tekanan tidak terasa awalnya dan baru disadari setelah berhentinya ketegangan. Sistem penghambatan nyeri endogen juga mempunyai fungsi menekan lumpuhnya reaksi nyeri dalam situasi yang membutuhkan penanganan medis, seperti kecelakaan lalu lintas (Mutchler, 1991). Gambar mekanisme nyeri ditunjukkan oleh Gambar 2. 8 Rasa Nyeri Sistem Limbik Lokalisasi Nyeri Korteks Reaksi pertahanan terkoordinasi (Reaksi menghindar) Otak Kecil Thalamus opticus Formatio reticularis Sumsum Tulang Reaksi Vegetatif ( TD, keringat) Refleks Somatik (menarik tangan saat terkenapanas) Diubah menjadi impuls saraf Rangsang Nyeri Impuls penghantar nyeri yang meningkat Reaksi nyeri Inhibisi nyeri endogen Gambar 2. Terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi, dan rasa nyeri, serta inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana (dimodifikasi menurut Hackental)(Mutchler, 1991) 9 b. Reaksi Terhadap Nyeri Nyeri akan menyebabkan reaksi refleks motorik dan reaksi psikis. Beberapa kerja motorik timbul secara refleks dari medula spinalis karena impuls nyeri yang memasuki substansi grisea medula spinalis dapat langsung memulai refleks penarikan diri yang menjauhkan tubuh atau bagian tubuh dari rangsang berbahaya (Setiasih, 2003).Reaksi refleks motorik yang dirangsang oleh nyeri ini bertujuan untuk menghilangkan rangsang yang menyakitkan tersebut atau disebut sebagai mekanisme untuk melindungi diri agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut, sedangkan reaksi psikis meliputi sedih, ansientas, menangis, depresi, dan mual. Reaksi-reaksi ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lain (Guyton, 1987). 2. Analgetik Analgetik adalah suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetik dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok analgetik narkotik yang bekerja pada sistem saraf pusat dan kelompok analgetik non narkotik yang bekerja pada perifer (Tjay dan Raharja, 2002). a. Analgetik Narkotik Analgetik narkotik memiliki daya penghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di susunan saraf pusat. Mereka umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan atau menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik narkotik dapat menyebabkan toleransi dan 10 ketergantungan fisik dan psikis (ketagihan atau adiksi) dengan gejala-gejala abstinensi bila pengobatan dihentikan (Setiasih, 2003). Mekanisme kerja: Tahun 1975, ditemukan analgetik endogen dalam otak hewan percobaan, yaitu endomorfin dan enkefalin (morfin endogen, bahasa Yunani: enkephalos = otak). Secara kimiawi, endorfin adalah suatu molekul besar yang tersususun dari pentapeptida dengan lima asam amino (enkefalin) dan mampu menduduki reseptor-reseptor nyeri di susunan saraf pusat hingga perasaan nyeri diblokir. Khasiat analgetiknya lebih kuat daripada morfin. Efek analgesik dari analgetik narkotik ini didasarkan pada kemampuannya menduduki sisa reseptor-reseptor nyeri yang belum ditempati enkefalin. Akan tetapi, jika analgetik tersebut diberikan terus-menerus, maka pembentukan reseptor-reseptor nyeri justru akan distimulir dan produksi enkefalin di ujung-ujung saraf otak dirintangi. Terjadilah kebiasaan dan ketagihan. Efek samping umum dari morfin dan analgetik narkotik lainnya pada dosis biasa adalah ketidaknyamanan pada gastrointestinal, kegelisahan, sedasi, rasa kantuk dan perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada dosis yang lebih tinggi, akan terjadi efek-efek yang lebih berbahaya, depresi pernapasan, tekanan darah menurun, dan sirkulasi darah akan terganggu. Akhirnya, dapat mengakibatkan koma dan kematian (Setiasih, 2003). Golongan analgetik narkotik ini dibagi menjadi 2, yaitu: Agonis opiat, merupakan senyawa yang mengaktivasi reseptor opiat. Yang termasuk golongan ini adalah kodein, fentanil, heroin, morfin, metadon, meferidin, sulfenil, tramadol. 11 Campuran agonis-antagonis atau agonis partial, merupakan senyawa yang mengaktivasi reseptor opiat, tetapi efeknya tidak dapat maksimal. Efeknya jauh lebih kecil daripada agonis. Yang termasuk dalam golongan ini adalah pentazoksin, bufrenorfin, butorfanol, sezosin nalbufin (Ganiswara, 1995). b. Analgetik Non Narkotik Golongan ini terdiri dari golongan analgetik-antpiretik dan Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) (Siswandono dan Soekarjo, 1995), di mana NSAID itu merupakan kelompok obat heterogen (Ganiswara, 1995). Golongan ini disebut analgetik perifer karena efeknya tidak mempengaruhi susunan sistem saraf pusat, tidak menurunkan kesadaran, serta tidak menyebabkan ketagihan (Tjay dan Raharja, 2002). Obat ini digunakan untuk nyeri ringan hingga sedang, untuk menurunkan suhu badan dalam keadaan badan panas yang tinggi dan sebagai antiradang untuk pengobatan rematik. Analgetik-antipiretik digunakan untuk pengobatan simtomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan, atau menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Mekanisme Kerja: Obat-obat analgetik antiinflamasi, terutama NSAID bekerja dengan cara menghambat enzim Siklooksigenase (COX), baik COX-1 maupun COX-2. Enzim COX merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat yang berperan dalam proses nyeri dan inflamasi. 12 COX-1 memperantarai pembentukan prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet, sedangkan COX-2 memperantarai sintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini dihambat akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Ganiswara, 1995). NSAID konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat lebih memblok COX-1 dibandingkan COX-2 (Septika, 2005). Aksi utama analgetik antipiretik, seperti parasetamol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak memiliki efek sebagai antiinflamasi (Dwiprahasto, 1989). Proses pembentukan dan penghambatan prostaglandin dapat dilihat pada Gambar 3. 13 Trauma atau luka pada sel Gangguan pada membran sel Fosfolipid Enzim fosfolipase Asam arakidonat Enzim Siklooksigenase Enzim lipooksigenase Dihambat oleh NSAID Hidroperoksidase Endoperoksida PGG2/PGH2 Leukotrien n PGE2, PGF2α, PGD2 Tromboksan A2 Prostasiklin Gambar 3. Proses biosintesis prostaglandin dan penghambatannya(Mutschler, 1991) Asam arakidonat dibentuk dari asam linoleat dan disimpan dalam membran lipid dari mana ia dilepaskan sebagai respon terhadap berbagai rangsangan melalui kerja fosfolipase. Asam arakidonat dapat diubah menjadi prostaglandin endoperoksida H2 yang merupakan prekusor prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Untuk sintesis prostaglandin, enzim COX mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida yang tidak stabil (PGG2) yang dengan cepat direduksi menjadi PGH2. Enzim COX didistribusi secara luas di dalam tubuh dan kerjanya dihambat oleh obat-obat golongan NSAID. Prostasiklin banyak 14 terdapatdalam sel endotelial otot polos, fibroblas, dan makrofag. Tromboksan A2 terdapat dalam platelet dan makrofag (Anwar, 2005). 3. Parasetamol (Acetaminophene) Parasetamol pertama kali disintesis oleh Morse tahun 1878 dengan daya analgetik-antipiretik setingkat dengan para-aminofenol. Namun, khasiat tersebut baru diperkenalkan pada tahun 1893 oleh Von Mering karena pada saat ditemukan, masih terdapat analgetik-antipiretik pilihan (aspirin, asetanilida, fenansetin), sehingga pemakaiannya belum dianjurkan (Donatus, 1994). Penggunaan parasetamol pada praktek pengobatan baru dimulai pada tahun 1950-an, yakni setelah ditegaskan oleh Bordie pada tahun 1948 dan Axelrod pada tahun 1949 bahwa analgetik terkait merupakan metabolit berkhasiat asetanilida dan fenasetin, yang tidak memperlihatkan efek seperti methemoglobine dan nefrotoksik. Kenyataan tersebut mendorong penggantian fenasetin dengan parasetamol. Bulan Juli 1950, Amerika mulai mengedarkan sediaan gabungan analgetik-antipiretik yang berisi parasetamol 125 mg, aspirin 230 mg, dan kafein 30 mg. Di Inggris, penggunaan parasetamol dimulai sejak tahun 1956 dengan beredarnya sediaan tunggal Panadol. Sejak saat itu, penggunaan parasetamol meningkat karena diduga lebih aman daripada fenasetin maupun aspirin (Donatus, 1994; Setiasih, 2003). Parasetamol merupakan turunan paraaminofenol yang berfungsi sebagai analgetik-antipiretik. Nama lain dari parasetamol antara lain: acetaminophene, acetophenum, para-acetamidophenol, N-asetil-para-aminofenol, dan para- 15 hydroxyacetanilida. Parasetamol berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit, meleleh pada suhu ± 170ºC, pH 5,3-6,5, pKa 9,5. Satu gram larut dalam 70 mL air, 20 mL air hangat, 10 mL alkohol, 50 mL kloroform, 40 mL gliserin, dan praktis tidak larut dalam eter. Rumus molekul parasetamol adalah C8H9NO2 dengan berat molekul 151,16 (Anonim, 1995). Struktur kimia parasetamol dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4.Struktur parasetamol (Anonim, 1995) Pada orang dewasa, parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna dari saluran pencernaan. Kadar puncak dalam plasma tercapai dalam waktu 30-60 menit dan waktu paro dalam plasma adalah 2 jam setelah pemberian (Insel, 1996). Dengan harga pKa yang cukup tinggi (9,5) maka pada pH saluran pencernaan tidak terionisasi sehingga lebih mudah diabsorpsi (Setiasih, 2003). Absorpsi parasetamol sangat dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan lambung. Jika kecepatan pengosongan lambung dihambat oleh makanan, penyakit, atau obat, maka kecepatan absorpsi parasetamol akan menurun. Dalam keadaan puasa, absorpsi parasetamol sangat cepat dan kadar puncak dalam plasma dicapai hanya dalam waktu 15-30 menit (Prescot, 1980). 16 Gambar 5. Proses metabolisme parasetamol (Shaw, 2014) Parasetamol mengalami metabolisme fase I yang diperantarai oleh enzim sitokrom P450 menghasilkan metabolit reaktif elektrofil N-Acetyl-Para- Benzoquinone-Imine (NAPQI) pada Gambar 5. Secara normal, metabolit reaktif ini akan mengalami detoksifikasi melalui konjugasi dengan glutation hati membentuk konjugat parasetamol merkapturat sebelum diekskresi sebagai konjugat sistein dan asam merkapturat (Madan, 1977). Akan tetapi, jika kandungan glutation hati dihabiskan atau jika kandungannya berkurang menjadi 20-30% dari nilai normal, maka metabolit reaktif tersebut akan berikatan dengan makromolekul sel hati dan akan berakibat kematian sel (Donatus, 1994). Kerusakan hepar tidak akan terjadi selama glutation cukup untuk mengkonjugasi metabolit reaktif tersebut. 17 Nekrosis hepar diduga telah terjadi jika waktu paro parasetamol dalam plasma lebih lama dari 4 jam atau jika konsentrasi obat dalam plasma melebihi berturut-turut 120 dan 50µg/mL pada 4 dan 12 jam setelah masuk ke dalam tubuh (Goth, 1984).Ekskresi parasetamol lewat urin dalam bentuk konjugat glukuronida, sulfat, asam merkapturat, sistein dan parasetamol utuh. Konjugat sulfat dan glukuronida diekskresikan dengan cepat ke dalam urin. Ekskresi parasetamol bebas ke dalam urin melalui filtrasi glomeruler kemudian mengalami reabsorpsi tubuler (Setiasih, 2003). 4. Metode Penetapan Daya Analgetik Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh besarnya rasa nyeri yang dialami dengan menggunakan hewan uji sehingga dapat membantu manusia menemukan obat analgetik jenis baru. Turner (1965) membagi metode pengujian daya analgetik menjadi 2, yaitu berdasarkan jenis analgetik. a. Analgetik Narkotik 1) Metode Jepitan Ekor Metode ini ditemukan oleh Bianchi dan Franceschini pada tahun 1954. Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji dosis tertentu secara subkutan atau intravena. Tiga puluh menit kemudian jepitan arteri dari karet tipis dipasang pada pangkal ekor selama 30 menit. Tikus yang tidak diberikan analgetik akan berusaha terus melepaskan diri dari jepitan, tetapi tikus yang diberi analgetik akan mengabaikan jepitan tersebut. Respon positif adanya daya analgetik dapat dicatat 18 jika tidak ada usaha dari tikus melepaskan diri dari jepitan selama 15 menit. Presentase tikus dalam satu kelompok yang tidak sensitif menunjukkan potensi senyawa, dan dengan menggunakan seri atau peringkat dosis, kemungkinan ED50 dapat dicari. 2) Metode Pengukuran Tekanan Metode ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada tikus dengan cara seragam. Alat tersebut terdiri dari 2 syringe yang dihubungkan ujungnya, yang rata-rata bersifat elastis, fleksibel, dan terdapat pipa plastik yang berisi dengan sebuah cairan. Sisa pipa dihubungan dengan manometer, syringe yang pertama diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada tikus yang pertama kemudian dengan ekor tikus. Tekanan yang sama pada syringe yang kedua selanjutnya akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Monometer akan membaca ketika tikus memberi respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian mengeluarkan suara tanda kesakitan. 3) Metode Rangsang Panas Metode ini dikembangkan oleh Janssen dan Jageneau pada tahun 1957. Tikus albino jantan, dengan bobot 200 hingga 300 g diletakkan di atas hot plate (lempengan panas) yang di atasnya terdapat suatu silinder pengendali. Suhu lempeng (plate) diatur sekitar 55ºC sampai 55,5ºC dilengkapi dengan penagas yang berisi campuran sebanding antara aseton dan etil format yang mendidih. 19 Mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral diletakkan pada hot plate yang sudah dipersiapkan. Reaksi tikus adalah menjilat-jilat kakinya lalu melompat dari silinder. Reaksi lain seperti sentakan dan menari akan diabaikan. Jumlah yang digunakan tiap kelompok adalah 6 ekor. 4) Metode potensi petidin Uji potensi petidin digambarkan oleh Smith tahun 1961. Metode ini kurang baik karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah yang besar. Tiap kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 kelompok yang diberi petidin berturut-turut: 2, 4, dan 8 mg/kgBB. Setengah kelompok yang lain diberi petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgetik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas. 5) Metode Antagonis Nalorfin Uji analgetik metode ini dibuat untuk menunjukkan aksi dari obat-obatan seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian nalorfin (0,5 – 10,0 mg/kgBB) secara intravena. Sebuah obat seperti piritramid dapat menyebabkan respon seperti hilangnya refleks pada refleks korneal dan refleks bradipnea. Efek tersebut dapat dilawan dengan pemberian nalorfin 1,25 mg/kgBB yang disuntikkan secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. Peristiwa tersebut menyebabkan ikatan morfin dan reseptornya terlepas sehingga dapat meniadakan efek morfin. 20 6) Metode Kejang Oksitosin Oksitosin adalah hormon yanh dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi abdominal sehingga tikus akan menarik pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin, analgetik yang dapat diuji dengan senyawa ini adalah metadon, kodein, dan meperidin. 7) Metode pencelupan pada air panas Tikus disuntik pada rongga perutdengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan pada air panas (suhu 58ºC). Respon tikus terlihat dari hentakan ekornya yang menghindari air panas. b. Analgetik non narkotik 1) Metode Rangsang Kimia Pada metode ini, rasa nyeri yang timbul berasal dari rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yang diinjeksikan pada rongga perut hewan uji. Zat yangdigunakan pada metode ini adalah fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgetik yang mempunyai daya analgetik lemah. Selain peka, metode ini sederhana, reprodusibel, dan hasilnya spesifik. Pemberian analgetik akan mengurangi rasa nyeri atau menghilangkan rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi akan berkurang sampai tidak terjadi geliat sama sekali. Daya analgetik (%) dihitung dengan cara: bahan uji % Daya Analgetik = 100 - ( x 100) % kontrol 21 Jumlah mencit yang digunakan per kelompok adalah 6 ekor. Penetapan data analgetik dengan metode geliat dapat dilakukan dengan berbagai hewan uji, tetapi hewan uji yang sering digunakan dalam uji ini adalah mencit. Respon mencit yang dapat diamati adalah lompatan dan kontraksi perut disertai dengan tarikan kaki ke belakang (rentangan) yang disebut dengan geliat. 2) Metode Rangsang Kimia yang Dimodifikasi Metode ini merupakan modifikasi dari metode rangsang kimia terdahulu, yang menggunakan fenilkuinon 0,02% yang disuspensikan dalam 1% Na-CMC. Cara kerja dan prinsip metode yang dimodifikasi ini sama, yaitu mengamati geliat pada mencit yang telah diinduksi induktor nyeri. Hal yang dapat dimodifikasi berupa konsentrasi, temperatur, volume injeksi larutan, kondisi percobaan, dan cara pengamatan perubahan perilaku hewan uji. Tujuan modifikasi adalah untuk mempermudah uji yang dilakukan dan meningkatkan sensitivitas metode (Milind, 2012). Berbagai modifikasi telah dilakukan oleh Koster pada tahun 1959 menggunakan larutan asam asetat 0,6% yang diinjeksikan pada rongga perut mencit yang berbobot 18-25 g. Respon yang dihasilkan mencit sama dengan respon yang dihasilkan bila mencit diberikan fenilkuinon. Emele dan Shanaman (1963) mengusulkan penggunaan bradikinin, yang merupakan transmitter nyeri endogen sebagai induktor nyeri. Bhalla (1980) menemukan senyawa aconitine memiliki spesifitas yang tinggi dalam menginduksi nyeri terhadap senyawa yang mirip dengan aspirin. Setelah itu, berkembanglah uji analgetik dengan berbagai induksi nyeri. Bahkan senyawa analgetik narkotik, non narkotik, dan NSAID 22 dapat dievaluasi dengan baik pada dosis yang rendah. Metode ini lebih spesifik untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang (Vogel, 1997). Penginduksi nyeri yang digunakan dalam penelitian adalah asam asetat, yang disebut dengan asam etanoat, atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi raa asam dan aroma dalam makanan. Asam asetat memiliki rumus empiris C4H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tidak berwarna dan memiliki titik beku 16,7ºC (Anonim, 1995). Pemilihan asam asetat sebagai induksi nyeri, karena nyeri yang dihasilkan berasal dari reaksi inflamasi akut lokal, yaitu pelepasan proton H+ dan asam arakidonat dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase dan menghasilkan prostaglandin, terutama prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin F2α (PGF2α) di dalam cairan peritoneal. Prostaglandin dapat menyebabkan rasa nyeri dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Oleh karena itu, suatu senyawa yang dapat menghambat geliat pada mencit memiliki efek analgetik yang cenderung menghambat sintesis prostaglandin (Marlyne, 2012). 3) Metode pedodolorimeter Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgetik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Respon ditandai dengan suara tikus. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam. 23 4) Metode rektodolorimeter Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungan dengan konduktor yang berada di gulungan di atas. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt. 5. Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) a. Taksonomi Super Kingdom : Eukaryota Kingdom : Animalia Sub Kingdom : Metazoa Filum : Annelida Kelas : Oligochaeta Ordo : Haplotaxida Sub Ordo : Lumbricina Famili : Lumbricidae Genus : Lumbricus Spesies : Lumbricus rubellus (NCBI, 2013) 24 b. Nama Lain Cacing tanah (Lumbricus rubellus) disebut juga dengan Red earthworm, Red wiggler, European earthworm, Driftworm, Gardenworm, Red marsh worm (Wardhani, 2007). Di Indonesia, cacing ini dikenal dengan sebutan cacing merah. c. Deskripsi Lumbricus rubellus Gambar 6. Cacing tanah jenisLumbricus rubellus (Storey, 2011) Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh gilig. Tubuhnya terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar, tubuhnya dilindungi oleh kurtikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak dan tidak memiliki mata. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Klitelum merupakan alat yang membantu perkembangan dan baru muncul saat cacing mencapai dewasa kelamin sekitar 2 bulan (Anonim, 2009). Gambar cacing tanah dilihat pada Gambar 6. Adanya lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dapat mempermudah pergerakannya. Pada setiap segmen terdapat organ seta yang berupa tambut yang relatif keras, berukuran pendek dan memiliki daya lekat yang sangat kuat. Selain itu, terdapat pula prostomium yang merupakan organ saraf perasa yang berbentuk seperti bibir (Baeti, 2010). 25 Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran yang keluar dari anus cacing tanahdikenal dengan istilah kascing. Kascing ini terdiri dari berbagai komponen biologis (gliberelin, sitokinin, auxin) maupun kimiawi (nitrogen, fosfor, kalium, belerang, magnesium, dan besi) yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Selain itu, kascing bersifat netral dengan pH 6,5-7,4 dan rata-ratanya adalah 6,8 (Palungkun, 2008). d. Distribusi dan Habitat Tanah sebagai media hidup cacing harus mengandung bahan organik dalam jumlah yang besar. Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah (daun yang gugur), kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna tubuhnya (Baeti, 2010). Untuk pertumbuhan yang baik, cacing tanah memerlukan tanah yang sedikit asam sampai netral atau pH sekitar 6-7,2. Dengan kondisi itu, bakteri dalam tubuh cacing dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan atau fermentasi. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15-30%. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan cacing tanah adalah sekitar 15-25ºC (Anonim, 2009). e. Kandungan Kimia dan Manfaat 26 Sejak ribuan tahun lalu, cacing tanah telah banyak digunakan oleh masyarakat Cina sebagai obat berbagai macam penyakit (Mihara et al., 1991). Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan protein yang mencapai 64-76% (Palungkun, 2008). Kandungan protein cacing ini lebih tinggi dari sumber protein lainnya, misalnya daging (65%) dan kacang kedelai (45%). Oleh sebab itu, Jepang, Hongaria, Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat memanfaatkan cacing ini sebagai bahan makanan manusia di samping ramuan obat dan kosmetik Tabel I. Kandungan asam amino cacing tanah Lumbricus rubellus (Palungkun, 2008) Asam Amino Asam Amino Non Esensial Sistin Glisin Serin Tirosin Asam Amino Esensial Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Treonin Valin Komposisi (%) 2,29 2,92 2,88 1,36 4,13 1,56 2,58 4,48 4,33 2,118 2,25 2,95 3,01 Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah ini terdiri dari setidaknya sembilan asam amino esensial dan empat macam asam amino non esensial (Tabel I). Asam amino esensial ini antara lain arginin, histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Asam amino non esensial ialah sistin, glisin, serin, dan tirosin (Palungkun, 2008). 27 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah mengandung enzim fibrinolitik (lumbrokinase), lumbrofebrin, lumbricin I, peroksidase, katalase, dan selulose, yang di mana enzim-enzim ini berguna bagi tubuh manusia dan pengobatan (Mihara et al., 1991; Palungkun, 2008). Enzim lumbrokinase merupakan enzim fibronolitik kuat yang dapat menghidrolisis gumpalan fibrin dan trombus intravaskular. Lumbrokinase kaya akan asparagin dan asam aspartat, serta sedikit prolin dan lisin. Lumbrokinase stabil terhadap panas dan memiliki pH optimal 7,4-9. Karena tidak memiliki pH optimal puncak, dapat dikatakan bahwa lumbrokinase mampu bertahan pada rentang pH yang luas. Berdasarkan sifat yang dimilikinya, lumbrokinase mempunyai kelebihan dibandingkan enzim proteolitik yang lain seperti plasmin dan urokinase karena lumbrokinase dapat digunakan secara oral, sedangkan enzim lainnya secara parenteral. Pada penelitian secara in vitro, lumbrokinase dapat menghidrolisis fibrin bebas plasminogen, sehingga dapat disimpulkan bahwa lumbrokinase bekerja sebagai perangsang plasminogen dan dapat mencerna fibrin secara langsung (Mihara et al., 1991). Lumbrokinase diduga memiliki efek antiinflamasi dan antiplatelet. Mekanisme kerjanya diduga mirip dengan aspirin, yaitu menghambat kerja enzim COX-1. Penghambatan ini mengakibatkan tidak terbentuknya tromboksan A2. Tromboksan A2 merupakan zat yang sangat kuat yang menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit (Kholos, 2009). 28 F. Landasan Teori Cacing tanah telah banyak digunakan di Cina sebagai agen terapetik, bahkan dalam sebuah catatan kuno Cina menyebutkan cacing tanah sebagai “Naga Bumi”. Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan protein yang mencapai 64-76%. Protein yang sangat tinggi ini terdiri dari 9 asam amino esensial dan 4 asam amino non esensial. Asam amino esensial mencakup arginin, histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Asam amino non esensialnya, antara lain sistin, glisin, serin dan tirosin. Banyaknya asam amino esensial ini memberikan gambaran bahwa cacing tanah mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Cacing tanah memiliki kandungan enzim proteolitik, seperti lumbrokinase, lumbricin, katalase, protease, dan kandungan fenolik yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, lumbrokinase yang terdapat dalam cacing tanah diduga mampu menghambat pembentukan prostaglandin, yang merupakan salah satu mediator nyeri, demam, dan inflamasi. Namun, aktivitas dan mekanismenya belum diketahui secara pasti. Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas analgetik mampu mengurangi jumlah geliat kumulatif mencit pada pengujian efek analgetik yang menggunakan metode rangsang kimia dengan asam asetat sebagai induksi nyeri. SCT dinilai memiliki aktivitas sebagai analgetik dan diprediksikan mampu mengurangi jumlah kumulatif geliat pada mencit yang telah diinduksi asam asetat glasial pada rongga perut hewan uji. 29 Nilai daya analgetik (dalam %) menunjukkan besarnya aktivitas analgetik suatu senyawa dalam mengurangi atau menghambatnyeri. Semakin tinggi nilai daya analgetik, semakin tinggi pula aktivitas analgetik suatu senyawa. Besar kecilnya daya analgetik dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Oleh karena itu, pemberian dosis yang bervariasi dimungkinkan akan mempengaruhi besarnya daya analgetik yang dihasilkan. G. Hipotesis 1. Serbuk Cacing Tanah (SCT) memiliki khasiat sebagai analgetik pada mencit yang diinduksi asam asetat. 2. Serbuk Cacing Tanah (SCT) memiliki daya analgetik yang sebanding dengan daya analgetik parasetamol.