BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan merupakan
salah satu alasan utama bagi seseorang mencari pertolongan medis. Nyeri dapat
melanda semua orang tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial,
dan pekerjaan. Pada umumnya, nyeri yang terjadi adalah akibat dari penyakit yang
mendasari, seperti kanker, juvenile arhtritis, trauma, migren, dan penyakit
lainnya. Nyeri dapat sangat mengganggu kinerja fisik dan aktivitas sehari-hari.
Penderita nyeri di Amerika Serikat mencapai 75-80 juta jiwa dengan 25
juta diantaranya adalah arthritis (Bennet, 1997). Jumlah penderita nyeri
neuropatik adalah sebesar ± 1% dari populasi penduduk dan nyeri punggung
bawah diperkirakan 15% dari total jumlah penduduk (Fordyce, 1995). Hasil
penelitian multisenter di unit rawat jalan di 14 rumah sakit pendidikan seluruh
Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok studi nyeri Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia pada bulan Mei 2002, melaporkan adanya 4.456 kasus
nyeri, dengan jumlah penderita laki-laki sebanyak 2.200 orang laki-laki dan
perempuan sebanyak 2.256 orang. Nyeri bukan hanya gejala pasif dari sebuah
penyakit, tetapi lebih merupakan agresitivitas penyakit itu sendiri yang dapat
menyebabkan berbagai perubahan di otak yang mendasari nyeri kronik (Meliala,
2004).
1
2
Pembiyaan dan nilai kerugian akibat nyeri punggung di Amerika Serikat
mencapai 2.585 milyar domllar per tahun dan di Inggris sekitar 6 milyar
pounsterling per tahun (Meliala, 2004). Sebagian besar kerugian disebabkan oleh
hilangnya jam kerja dan biaya pengobatan, sehingga sangat membebani
perekonomian bangsa dan negara. Jadi, dapat dikatakan bahwa nyeri mampu
mengubah individu secara menyeluruh, baik secara fisiologik, psikologik maupun
secara sosial ekonomi.
Analgetik adalah obat-obatan yang digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri yang biasa disebut dengan “pain killer”. Analgetik biasanya
dihubungankan dengan efek antipiretik dan efek antiinflamasi. Analgetik yang
sering digunakan dan diresepkan adalah analgetik golongan non narkotik yang
mampu menghilangkan nyeri ringan hingga sedang. Penggunaan analgetik dalam
jangka waktu yang berlebihan, terutama ketika dipakai dalam jangka waktu yang
lama, dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, seperti penyakit ginjal
dan hati (Wilmana, 1995). Oleh karena itu, perlu dikembangkan obat analgetik
yang lebih aman dengan efek samping yang lebih ringan.
Cacing tanah telah lama dikenal oleh manusia. Hewan ini hidup di
tempat yang terlindung dari sinar matahari, lembab, dan gembur. Pengobatan
tradisional Tiongkok menggunakan cacing tanah dalam mengobati berbagai jenis
penyakit dan infeksi. Beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat dan
Lampung, telah memanfaatkan cacing tanah sebagai obat tradisional. Salah satu
jenis cacing tanah yang sering digunakan adalah Lumbricus rubellus yang
menggandung protein cukup tinggi, yaitu 64-76% berat kering dan 20 jenis asam
3
amino. Cacing tanah juga memiliki zat antipurin, antipiretik, antidota, vitamin,
dan beberapa enzim, misalnya lumbrokinase, peroksidase, katalase, dan selulose.
Berbagai efek antiinflamasi, antioksidan, antikanker, antibakteri,
antipiretik, dan trombolitik dari cacing tanah telah dilakukan, tetapi penelitian
mengenai efek analgetik dari cacing tanah belum dilakukan. Oleh sebab itu,
diperlukan penelitian mengenai efek analgetik dari serbuk cacing tanah (SCT).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Apakah SCT memiliki efek analgetik pada mencit yang diinduksi asam
asetat?
2.
Seberapa besar daya analgetik dari SCT dibandingkan dengan parasetamol?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui adanya efek analgetik SCT pada mencit yang diinduksi asam
asetat.
2.
Mengetahui besar daya analgetik SCT bila dibandingkan dengan parasetamol.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan ilmiah bagi pemanfaatan
SCT secara empirik di masyarakat, terutama jika digunakan sebagai analgetik.
4
E. Tinjauan Pustaka
1.
Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering.
Meskipun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi, dan berfungsi
mempermudah diagnosis, nyeri sering dianggap hal yang tidak menyenangkan
(Mutchler, 1991).
Zat nyeri adalah rangsangan yang untuk menimbulkan rasa nyeri atau
kerusakan jaringan.Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik
telah melampaui sebuah nilai ambang batas nyeri dan karena itu menyebabkan
kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa nyeri (Gambar 1). Ambang nyeri
adalah intensitas rangsang terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri apabila
rangsang tersebut digunakan dalam waktu yang lama (Guyton, 1987).
Rangsangan nyeri diterima oleh reseptor nyeri khusus yang merupakan
ujung saraf bebas. Secara fungsional, dibedakan 2 jenis reseptor yang dapat
menyusun 2 sistem serabut yang berbeda, yaitu:

Mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri melalui serabut A-delta
bermielin.

Termoreseptor, yang meneruskan nyeri melalui serabut-serabut C yang
tidak bermielin.
5
NOKSIUS
Kerusakan Jaringan
Pembebasan : H+ (pH<6)
K+ (>20mmol/L)
Asetilkolin
Serotonin
Histamin
Pembentukan: Bradikinin
Pembentukan : Prostaglandin
Sensibilitas reseptor
Nyeri Pertama
Nyeri lama
Gambar 1. Pelepasan mediator nyeri akibat kerusakan jaringan yang menyebabkan
munculnya sensasi nyeri (Mutschler, 1991)
Adanya rangsangan pada reseptor nyeri akan menyebabkan lepasnya
serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik serta
merangsang pembentukan bradikinin dan prostaglandin. Akibatnya, rasa nyeri
akan muncul. Pelepasan zat-zat tersebut tidak hanya merangsang ujung saraf
reseptor nyeri, namun juga menurunkan ambang nyeri.
Ion hidrogen termasuk zat nyeri yang potensinya kecil. Penurunan pH
akan meningkatkan rasa nyeri akibat peningkatan pelepasan H+. Ion Kalium yang
keluar dari intrasel pada konsentrasi >20 mmol/liter akan menyebabkan nyeri.
Histamin pada konsentrasi tinggi (10-8 g/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin
pada konsentrasi rendah mampu mensensibilitas reseptor nyeri, sedangkan pada
konsentrasi tinggi, asetilkolin berperan sebagai zat nyeri itu sendiri. Serotonin
merupakan zat nyeri yang paling kuat dari kelompok transmitter. Prostaglandin,
6
yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri
dan menjadi penentu nyeri lama (Mutchler, 1991).
Nyeri menurut tempat terjadinya dibedakan atas nyeri somatik dan nyeri
viceral. Dikatakan nyeri somatik apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot,
persendian, tulang atau jaringan ikat. Nyeri somatik dibagi lagi menjadi 2, yaitu
nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila tempat rangsang berasa dalam kulit
maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan. Nyeri ini juga sering dinamakan
dengan nyeri pertama yang menyebabkan suatu reaksi menghindar secara refleks
sehingga dapat melindungi organisme dari kerusakan lebih lanjut. Nyeri pertama
ini juga diikuti oleh nyeri kedua yang bersifat menekan, sukar untuk dilokalisasi
dan lambat hilang yang disebut juga dengan nyeri lama (Setiasih, 2003),
sedangkan nyeri dalam adalah nyeri yang berasal dari otot, persendian tulang dan
jaringan ikat. Nyeri viceral terjadi antara lain pada kejang otot polos, aliran darah
kurang, dan penyakit yang disertai dengan inflamasi (Mutchler, 1991).
Berdasarkan perjalanannya, nyeri dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu
nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya
berkaitan dengan luka spesifik. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang
berlangsung beberapa detik hingga enam bulan. Nyeri akut merupakan
mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan.
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri
yang berlangsung selama enam bulan atau lebih. Nyeri ini bersifat dalam, tumpul,
diikuti berbagai gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan
7
setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat beberapa detik atau
menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan dan bersifat terusmenerus atau interminten (Septika, 2005).
a. Mekanisme Nyeri
Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui
serabut aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Di tempat ini tidak
hanya terjadi pertemuan serabut aferen yang impulsnya tumpang tindih. Namun,
juga terjadi refleks somatik, misalnya menarik tangan pada waktu tangan
tersentuh benda panas. Serabut saraf yang berakhir pada daerah formatio
reticularis akan menimbulkan reaksi vegetatif, antara lain penurunan tekanan
darah dan penurunan keringat. Tempat kontak lain yang juga penting adalah
thalamus opticus, di mana rangsangan tidak hanya diteruskan menuju ke tempat
lokalisasi nyeri, tetapi juga diteruskan ke sistem limbik. Sistem limbik terlibat
pada penilaian emosional nyeri, sedangkan pada korteks otak akan dihasilkan
reaksi perlindungan menghindar yang terkoordinasi.
Selain sistem penghantar nyeri, terdapat pula sistem penghambat nyeri
endogen yang terletak dalam batang otak dan sumsum tulang belakang. Kerjanya
adalah mempersulit penerusan impuls nyeri sehingga mampu menurunkan rasa
nyeri. Sistem ini menjelaskan mengapa nyeri dalam situasi tekanan tidak terasa
awalnya dan baru disadari setelah berhentinya ketegangan. Sistem penghambatan
nyeri endogen juga mempunyai fungsi menekan lumpuhnya reaksi nyeri dalam
situasi yang membutuhkan penanganan medis, seperti kecelakaan lalu lintas
(Mutchler, 1991). Gambar mekanisme nyeri ditunjukkan oleh Gambar 2.
8
Rasa Nyeri
Sistem
Limbik
Lokalisasi Nyeri
Korteks
Reaksi
pertahanan
terkoordinasi
(Reaksi
menghindar)
Otak Kecil
Thalamus opticus
Formatio
reticularis
Sumsum
Tulang
Reaksi Vegetatif
( TD,
keringat)
Refleks Somatik
(menarik tangan saat
terkenapanas)
Diubah menjadi impuls
saraf
Rangsang Nyeri
Impuls penghantar nyeri yang meningkat
Reaksi nyeri
Inhibisi nyeri endogen
Gambar 2. Terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi, dan rasa nyeri, serta inhibisi
nyeri
endogen
dalam
bagan
sederhana
(dimodifikasi
menurut
Hackental)(Mutchler, 1991)
9
b. Reaksi Terhadap Nyeri
Nyeri akan menyebabkan reaksi refleks motorik dan reaksi psikis.
Beberapa kerja motorik timbul secara refleks dari medula spinalis karena impuls
nyeri yang memasuki substansi grisea medula spinalis dapat langsung memulai
refleks penarikan diri yang menjauhkan tubuh atau bagian tubuh dari rangsang
berbahaya (Setiasih, 2003).Reaksi refleks motorik yang dirangsang oleh nyeri ini
bertujuan untuk menghilangkan rangsang yang menyakitkan tersebut atau disebut
sebagai mekanisme untuk melindungi diri agar tidak terjadi kerusakan lebih
lanjut, sedangkan reaksi psikis meliputi sedih, ansientas, menangis, depresi, dan
mual. Reaksi-reaksi ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lain
(Guyton, 1987).
2.
Analgetik
Analgetik adalah suatu senyawa yang digunakan untuk mengurangi atau
melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetik dibedakan
menjadi 2 kelompok yaitu kelompok analgetik narkotik yang bekerja pada sistem
saraf pusat dan kelompok analgetik non narkotik yang bekerja pada perifer (Tjay
dan Raharja, 2002).
a.
Analgetik Narkotik
Analgetik narkotik memiliki daya penghalang nyeri yang kuat sekali
dengan titik kerja yang terletak di susunan saraf pusat. Mereka umumnya
mengurangi kesadaran (sifat meredakan atau menidurkan) dan menimbulkan
perasaan nyaman (euforia). Analgetik narkotik dapat menyebabkan toleransi dan
10
ketergantungan fisik dan psikis (ketagihan atau adiksi) dengan gejala-gejala
abstinensi bila pengobatan dihentikan (Setiasih, 2003).
Mekanisme kerja: Tahun 1975, ditemukan analgetik endogen dalam
otak hewan percobaan, yaitu endomorfin dan enkefalin (morfin endogen, bahasa
Yunani: enkephalos = otak). Secara kimiawi, endorfin adalah suatu molekul besar
yang tersususun dari pentapeptida dengan lima asam amino (enkefalin) dan
mampu menduduki reseptor-reseptor nyeri di susunan saraf pusat hingga perasaan
nyeri diblokir. Khasiat analgetiknya lebih kuat daripada morfin.
Efek
analgesik
dari
analgetik
narkotik
ini
didasarkan
pada
kemampuannya menduduki sisa reseptor-reseptor nyeri yang belum ditempati
enkefalin. Akan tetapi, jika analgetik tersebut diberikan terus-menerus, maka
pembentukan reseptor-reseptor nyeri justru akan distimulir dan produksi enkefalin
di ujung-ujung saraf otak dirintangi. Terjadilah kebiasaan dan ketagihan. Efek
samping umum dari morfin dan analgetik narkotik lainnya pada dosis biasa adalah
ketidaknyamanan pada gastrointestinal, kegelisahan, sedasi, rasa kantuk dan
perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada dosis yang lebih tinggi, akan terjadi
efek-efek yang lebih berbahaya, depresi pernapasan, tekanan darah menurun, dan
sirkulasi darah akan terganggu. Akhirnya, dapat mengakibatkan koma dan
kematian (Setiasih, 2003).
Golongan analgetik narkotik ini dibagi menjadi 2, yaitu:

Agonis opiat, merupakan senyawa yang mengaktivasi reseptor opiat. Yang
termasuk golongan ini adalah kodein, fentanil, heroin, morfin, metadon,
meferidin, sulfenil, tramadol.
11

Campuran agonis-antagonis atau agonis partial, merupakan senyawa yang
mengaktivasi reseptor opiat, tetapi efeknya tidak dapat maksimal. Efeknya jauh
lebih kecil daripada agonis. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
pentazoksin, bufrenorfin, butorfanol, sezosin nalbufin (Ganiswara, 1995).
b.
Analgetik Non Narkotik
Golongan ini terdiri dari golongan analgetik-antpiretik dan Non-Steroidal
Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) (Siswandono dan Soekarjo, 1995), di mana
NSAID itu merupakan kelompok obat heterogen (Ganiswara, 1995). Golongan ini
disebut analgetik perifer karena efeknya tidak mempengaruhi susunan sistem saraf
pusat, tidak menurunkan kesadaran, serta tidak menyebabkan ketagihan (Tjay dan
Raharja, 2002).
Obat ini digunakan untuk nyeri ringan hingga sedang, untuk menurunkan
suhu badan dalam keadaan badan panas yang tinggi dan sebagai antiradang untuk
pengobatan
rematik.
Analgetik-antipiretik
digunakan
untuk
pengobatan
simtomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan, atau
menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Mekanisme Kerja: Obat-obat analgetik antiinflamasi, terutama NSAID
bekerja dengan cara menghambat enzim Siklooksigenase (COX), baik COX-1
maupun COX-2. Enzim COX merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan
prostaglandin dari asam arakidonat yang berperan dalam proses nyeri dan
inflamasi.
12
COX-1 memperantarai pembentukan prostaglandin di lambung, ginjal,
dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal
lambung, ginjal, dan platelet, sedangkan COX-2 memperantarai sintesis
prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini dihambat
akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Ganiswara,
1995). NSAID konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat
lebih memblok COX-1 dibandingkan COX-2 (Septika, 2005). Aksi utama
analgetik antipiretik, seperti parasetamol adalah dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga
tidak memiliki efek sebagai antiinflamasi (Dwiprahasto, 1989). Proses
pembentukan dan penghambatan prostaglandin dapat dilihat pada Gambar 3.
13
Trauma atau luka pada sel
Gangguan pada membran sel
Fosfolipid
Enzim fosfolipase
Asam arakidonat
Enzim Siklooksigenase
Enzim lipooksigenase
Dihambat oleh
NSAID
Hidroperoksidase
Endoperoksida PGG2/PGH2
Leukotrien
n
PGE2, PGF2α, PGD2
Tromboksan A2
Prostasiklin
Gambar 3. Proses biosintesis prostaglandin dan penghambatannya(Mutschler, 1991)
Asam arakidonat dibentuk dari asam linoleat dan disimpan dalam membran
lipid dari mana ia dilepaskan sebagai respon terhadap berbagai rangsangan
melalui kerja fosfolipase. Asam arakidonat dapat diubah menjadi prostaglandin
endoperoksida H2 yang merupakan prekusor prostaglandin, prostasiklin, dan
tromboksan. Untuk sintesis prostaglandin, enzim COX mengubah asam
arakidonat menjadi endoperoksida yang tidak stabil (PGG2) yang dengan cepat
direduksi menjadi PGH2. Enzim COX didistribusi secara luas di dalam tubuh dan
kerjanya dihambat oleh obat-obat golongan NSAID. Prostasiklin banyak
14
terdapatdalam sel endotelial otot polos, fibroblas, dan makrofag. Tromboksan A2
terdapat dalam platelet dan makrofag (Anwar, 2005).
3.
Parasetamol (Acetaminophene)
Parasetamol pertama kali disintesis oleh Morse tahun 1878 dengan daya
analgetik-antipiretik setingkat dengan para-aminofenol. Namun, khasiat tersebut
baru diperkenalkan pada tahun 1893 oleh Von Mering karena pada saat
ditemukan, masih terdapat analgetik-antipiretik pilihan (aspirin, asetanilida,
fenansetin), sehingga pemakaiannya belum dianjurkan (Donatus, 1994).
Penggunaan parasetamol pada praktek pengobatan baru dimulai pada
tahun 1950-an, yakni setelah ditegaskan oleh Bordie pada tahun 1948 dan Axelrod
pada tahun 1949 bahwa analgetik terkait merupakan metabolit berkhasiat
asetanilida
dan
fenasetin,
yang
tidak
memperlihatkan
efek
seperti
methemoglobine dan nefrotoksik. Kenyataan tersebut mendorong penggantian
fenasetin dengan parasetamol. Bulan Juli 1950, Amerika mulai mengedarkan
sediaan gabungan analgetik-antipiretik yang berisi parasetamol 125 mg, aspirin
230 mg, dan kafein 30 mg. Di Inggris, penggunaan parasetamol dimulai sejak
tahun 1956 dengan beredarnya sediaan tunggal Panadol. Sejak saat itu,
penggunaan parasetamol meningkat karena diduga lebih aman daripada fenasetin
maupun aspirin (Donatus, 1994; Setiasih, 2003).
Parasetamol merupakan turunan paraaminofenol yang berfungsi sebagai
analgetik-antipiretik. Nama lain dari parasetamol antara lain: acetaminophene,
acetophenum, para-acetamidophenol, N-asetil-para-aminofenol,
dan
para-
15
hydroxyacetanilida. Parasetamol berupa serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa
sedikit pahit, meleleh pada suhu ± 170ºC, pH 5,3-6,5, pKa 9,5. Satu gram larut
dalam 70 mL air, 20 mL air hangat, 10 mL alkohol, 50 mL kloroform, 40 mL
gliserin, dan praktis tidak larut dalam eter. Rumus molekul parasetamol adalah
C8H9NO2 dengan berat molekul 151,16 (Anonim, 1995). Struktur kimia
parasetamol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4.Struktur parasetamol (Anonim, 1995)
Pada orang dewasa, parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir
sempurna dari saluran pencernaan. Kadar puncak dalam plasma tercapai dalam
waktu 30-60 menit dan waktu paro dalam plasma adalah 2 jam setelah pemberian
(Insel, 1996). Dengan harga pKa yang cukup tinggi (9,5) maka pada pH saluran
pencernaan tidak terionisasi sehingga lebih mudah diabsorpsi (Setiasih, 2003).
Absorpsi parasetamol sangat dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan lambung.
Jika kecepatan pengosongan lambung dihambat oleh makanan, penyakit, atau
obat, maka kecepatan absorpsi parasetamol akan menurun. Dalam keadaan puasa,
absorpsi parasetamol sangat cepat dan kadar puncak dalam plasma dicapai hanya
dalam waktu 15-30 menit (Prescot, 1980).
16
Gambar 5. Proses metabolisme parasetamol (Shaw, 2014)
Parasetamol mengalami metabolisme fase I yang diperantarai oleh enzim
sitokrom
P450
menghasilkan
metabolit
reaktif
elektrofil
N-Acetyl-Para-
Benzoquinone-Imine (NAPQI) pada Gambar 5. Secara normal, metabolit reaktif
ini akan mengalami detoksifikasi melalui konjugasi dengan glutation hati
membentuk konjugat parasetamol merkapturat sebelum diekskresi sebagai
konjugat sistein dan asam merkapturat (Madan, 1977). Akan tetapi, jika
kandungan glutation hati dihabiskan atau jika kandungannya berkurang menjadi
20-30% dari nilai normal, maka metabolit reaktif tersebut akan berikatan dengan
makromolekul sel hati dan akan berakibat kematian sel (Donatus, 1994).
Kerusakan hepar tidak akan terjadi selama glutation cukup untuk mengkonjugasi
metabolit reaktif tersebut.
17
Nekrosis hepar diduga telah terjadi jika waktu paro parasetamol dalam
plasma lebih lama dari 4 jam atau jika konsentrasi obat dalam plasma melebihi
berturut-turut 120 dan 50µg/mL pada 4 dan 12 jam setelah masuk ke dalam tubuh
(Goth, 1984).Ekskresi parasetamol lewat urin dalam bentuk konjugat glukuronida,
sulfat, asam merkapturat, sistein dan parasetamol utuh. Konjugat sulfat dan
glukuronida diekskresikan dengan cepat ke dalam urin. Ekskresi parasetamol
bebas ke dalam urin melalui filtrasi glomeruler kemudian mengalami reabsorpsi
tubuler (Setiasih, 2003).
4.
Metode Penetapan Daya Analgetik
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh besarnya
rasa nyeri yang dialami dengan menggunakan hewan uji sehingga dapat
membantu manusia menemukan obat analgetik jenis baru. Turner (1965)
membagi metode pengujian daya analgetik menjadi 2, yaitu berdasarkan jenis
analgetik.
a.
Analgetik Narkotik
1) Metode Jepitan Ekor
Metode ini ditemukan oleh Bianchi dan Franceschini pada tahun 1954.
Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji dosis tertentu secara subkutan
atau intravena. Tiga puluh menit kemudian jepitan arteri dari karet tipis dipasang
pada pangkal ekor selama 30 menit. Tikus yang tidak diberikan analgetik akan
berusaha terus melepaskan diri dari jepitan, tetapi tikus yang diberi analgetik akan
mengabaikan jepitan tersebut. Respon positif adanya daya analgetik dapat dicatat
18
jika tidak ada usaha dari tikus melepaskan diri dari jepitan selama 15 menit.
Presentase tikus dalam satu kelompok yang tidak sensitif menunjukkan potensi
senyawa, dan dengan menggunakan seri atau peringkat dosis, kemungkinan ED50
dapat dicari.
2) Metode Pengukuran Tekanan
Metode ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan yang diberikan
pada tikus dengan cara seragam. Alat tersebut terdiri dari 2 syringe yang
dihubungkan ujungnya, yang rata-rata bersifat elastis, fleksibel, dan terdapat pipa
plastik yang berisi dengan sebuah cairan. Sisa pipa dihubungan dengan
manometer, syringe yang pertama diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung
menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika
tekanan diberikan pada penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan
berhubungan dengan sistem hidrolik pada tikus yang pertama kemudian dengan
ekor tikus. Tekanan yang sama pada syringe yang kedua selanjutnya akan
meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Monometer akan membaca ketika tikus
memberi respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian
mengeluarkan suara tanda kesakitan.
3) Metode Rangsang Panas
Metode ini dikembangkan oleh Janssen dan Jageneau pada tahun 1957.
Tikus albino jantan, dengan bobot 200 hingga 300 g diletakkan di atas hot plate
(lempengan panas) yang di atasnya terdapat suatu silinder pengendali. Suhu
lempeng (plate) diatur sekitar 55ºC sampai 55,5ºC dilengkapi dengan penagas
yang berisi campuran sebanding antara aseton dan etil format yang mendidih.
19
Mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral diletakkan pada
hot plate yang sudah dipersiapkan. Reaksi tikus adalah menjilat-jilat kakinya lalu
melompat dari silinder. Reaksi lain seperti sentakan dan menari akan diabaikan.
Jumlah yang digunakan tiap kelompok adalah 6 ekor.
4) Metode potensi petidin
Uji potensi petidin digambarkan oleh Smith tahun 1961. Metode ini
kurang baik karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah yang besar. Tiap
kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3
kelompok yang diberi petidin berturut-turut: 2, 4, dan 8 mg/kgBB. Setengah
kelompok yang lain diberi petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari
LD50. Persen analgetik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas.
5) Metode Antagonis Nalorfin
Uji analgetik metode ini dibuat untuk menunjukkan aksi dari obat-obatan
seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan meniadakan aksi dari morfin.
Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian
nalorfin (0,5 – 10,0 mg/kgBB) secara intravena. Sebuah obat seperti piritramid
dapat menyebabkan respon seperti hilangnya refleks pada refleks korneal dan
refleks bradipnea. Efek tersebut dapat dilawan dengan pemberian nalorfin 1,25
mg/kgBB yang disuntikkan secara intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin
dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. Peristiwa tersebut
menyebabkan ikatan morfin dan reseptornya terlepas sehingga dapat meniadakan
efek morfin.
20
6) Metode Kejang Oksitosin
Oksitosin adalah hormon yanh dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior
dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan kejang pada tikus.
Respon kejang meliputi kontraksi abdominal sehingga tikus akan menarik
pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan ED50 dapat diperkirakan. Selain
morfin, analgetik yang dapat diuji dengan senyawa ini adalah metadon, kodein,
dan meperidin.
7) Metode pencelupan pada air panas
Tikus disuntik pada rongga perutdengan senyawa uji, kemudian ekor
tikus dicelupkan pada air panas (suhu 58ºC). Respon tikus terlihat dari hentakan
ekornya yang menghindari air panas.
b.
Analgetik non narkotik
1) Metode Rangsang Kimia
Pada metode ini, rasa nyeri yang timbul berasal dari rangsang kimia yang
disebabkan oleh zat kimia yang diinjeksikan pada rongga perut hewan uji. Zat
yangdigunakan pada metode ini adalah fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk
pengujian senyawa-senyawa analgetik yang mempunyai daya analgetik lemah.
Selain peka, metode ini sederhana, reprodusibel, dan hasilnya spesifik. Pemberian
analgetik akan mengurangi rasa nyeri atau menghilangkan rasa nyeri sehingga
jumlah geliat yang terjadi akan berkurang sampai tidak terjadi geliat sama sekali.
Daya analgetik (%) dihitung dengan cara:
bahan uji
% Daya Analgetik = 100 - (
x 100) %
kontrol
21
Jumlah mencit yang digunakan per kelompok adalah 6 ekor. Penetapan
data analgetik dengan metode geliat dapat dilakukan dengan berbagai hewan uji,
tetapi hewan uji yang sering digunakan dalam uji ini adalah mencit. Respon
mencit yang dapat diamati adalah lompatan dan kontraksi perut disertai dengan
tarikan kaki ke belakang (rentangan) yang disebut dengan geliat.
2) Metode Rangsang Kimia yang Dimodifikasi
Metode ini merupakan modifikasi dari metode rangsang kimia terdahulu,
yang menggunakan fenilkuinon 0,02% yang disuspensikan dalam 1% Na-CMC.
Cara kerja dan prinsip metode yang dimodifikasi ini sama, yaitu mengamati geliat
pada mencit yang telah diinduksi induktor nyeri. Hal yang dapat dimodifikasi
berupa konsentrasi, temperatur, volume injeksi larutan, kondisi percobaan, dan
cara pengamatan perubahan perilaku hewan uji. Tujuan modifikasi adalah untuk
mempermudah uji yang dilakukan dan meningkatkan sensitivitas metode (Milind,
2012).
Berbagai modifikasi telah dilakukan oleh Koster pada tahun 1959
menggunakan larutan asam asetat 0,6% yang diinjeksikan pada rongga perut
mencit yang berbobot 18-25 g. Respon yang dihasilkan mencit sama dengan
respon yang dihasilkan bila mencit diberikan fenilkuinon. Emele dan Shanaman
(1963) mengusulkan penggunaan bradikinin, yang merupakan transmitter nyeri
endogen sebagai induktor nyeri. Bhalla (1980) menemukan senyawa aconitine
memiliki spesifitas yang tinggi dalam menginduksi nyeri terhadap senyawa yang
mirip dengan aspirin. Setelah itu, berkembanglah uji analgetik dengan berbagai
induksi nyeri. Bahkan senyawa analgetik narkotik, non narkotik, dan NSAID
22
dapat dievaluasi dengan baik pada dosis yang rendah. Metode ini lebih spesifik
untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang (Vogel, 1997).
Penginduksi nyeri yang digunakan dalam penelitian adalah asam asetat,
yang disebut dengan asam etanoat, atau asam cuka adalah senyawa kimia asam
organik yang dikenal sebagai pemberi raa asam dan aroma dalam makanan. Asam
asetat memiliki rumus empiris C4H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk
CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (asam asetat glasial)
adalah cairan higroskopis tidak berwarna dan memiliki titik beku 16,7ºC
(Anonim, 1995).
Pemilihan asam asetat sebagai induksi nyeri, karena nyeri yang
dihasilkan berasal dari reaksi inflamasi akut lokal, yaitu pelepasan proton H+ dan
asam arakidonat dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase dan
menghasilkan prostaglandin, terutama prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin
F2α (PGF2α) di dalam cairan peritoneal. Prostaglandin dapat menyebabkan rasa
nyeri dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Oleh karena itu, suatu senyawa
yang dapat menghambat geliat pada mencit memiliki efek analgetik yang
cenderung menghambat sintesis prostaglandin (Marlyne, 2012).
3) Metode pedodolorimeter
Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya
analgetik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan
listrik. Respon ditandai dengan suara tikus. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit
selama 1 jam.
23
4) Metode rektodolorimeter
Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas
tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan.
Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda
tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungan
dengan konduktor yang berada di gulungan di atas. Tegangan yang sering
digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt.
5.
Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
a. Taksonomi
Super Kingdom
: Eukaryota
Kingdom
: Animalia
Sub Kingdom
: Metazoa
Filum
: Annelida
Kelas
: Oligochaeta
Ordo
: Haplotaxida
Sub Ordo
: Lumbricina
Famili
: Lumbricidae
Genus
: Lumbricus
Spesies
: Lumbricus rubellus
(NCBI, 2013)
24
b. Nama Lain
Cacing tanah (Lumbricus rubellus) disebut juga dengan Red earthworm,
Red wiggler, European earthworm, Driftworm, Gardenworm, Red marsh worm
(Wardhani, 2007). Di Indonesia, cacing ini dikenal dengan sebutan cacing merah.
c. Deskripsi Lumbricus rubellus
Gambar 6. Cacing tanah jenisLumbricus rubellus (Storey, 2011)
Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh gilig. Tubuhnya
terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar,
tubuhnya dilindungi oleh kurtikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak
dan tidak memiliki mata. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan
klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Klitelum merupakan alat yang
membantu perkembangan dan baru muncul saat cacing mencapai dewasa kelamin
sekitar 2 bulan (Anonim, 2009). Gambar cacing tanah dilihat pada Gambar 6.
Adanya lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis
dapat mempermudah pergerakannya. Pada setiap segmen terdapat organ seta yang
berupa tambut yang relatif keras, berukuran pendek dan memiliki daya lekat yang
sangat kuat. Selain itu, terdapat pula prostomium yang merupakan organ saraf
perasa yang berbentuk seperti bibir (Baeti, 2010).
25
Di bagian akhir tubuhnya terdapat anus untuk mengeluarkan sisa-sisa
makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran yang keluar dari anus cacing
tanahdikenal dengan istilah kascing. Kascing ini terdiri dari berbagai komponen
biologis (gliberelin, sitokinin, auxin) maupun kimiawi (nitrogen, fosfor, kalium,
belerang, magnesium, dan besi) yang sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan
pertumbuhan tanaman. Selain itu, kascing bersifat netral dengan pH 6,5-7,4 dan
rata-ratanya adalah 6,8 (Palungkun, 2008).
d. Distribusi dan Habitat
Tanah sebagai media hidup cacing harus mengandung bahan organik
dalam jumlah yang besar. Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah
(daun yang gugur), kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing
tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna
tubuhnya (Baeti, 2010).
Untuk pertumbuhan yang baik, cacing tanah memerlukan tanah yang
sedikit asam sampai netral atau pH sekitar 6-7,2. Dengan kondisi itu, bakteri
dalam tubuh cacing dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan atau
fermentasi. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan
cacing tanah adalah antara 15-30%. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan
cacing tanah adalah sekitar 15-25ºC (Anonim, 2009).
e. Kandungan Kimia dan Manfaat
26
Sejak ribuan tahun lalu, cacing tanah telah banyak digunakan oleh
masyarakat Cina sebagai obat berbagai macam penyakit (Mihara et al., 1991).
Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan protein yang
mencapai 64-76% (Palungkun, 2008). Kandungan protein cacing ini lebih tinggi
dari sumber protein lainnya, misalnya daging (65%) dan kacang kedelai (45%).
Oleh sebab itu, Jepang, Hongaria, Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat
memanfaatkan cacing ini sebagai bahan makanan manusia di samping ramuan
obat dan kosmetik
Tabel I. Kandungan asam amino cacing tanah Lumbricus rubellus (Palungkun, 2008)
Asam Amino
Asam Amino Non Esensial
Sistin
Glisin
Serin
Tirosin
Asam Amino Esensial
Arginin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Fenilalanin
Treonin
Valin
Komposisi (%)
2,29
2,92
2,88
1,36
4,13
1,56
2,58
4,48
4,33
2,118
2,25
2,95
3,01
Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah ini terdiri dari
setidaknya sembilan asam amino esensial dan empat macam asam amino non
esensial (Tabel I). Asam amino esensial ini antara lain arginin, histidin, leusin,
isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Asam amino non esensial
ialah sistin, glisin, serin, dan tirosin (Palungkun, 2008).
27
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah mengandung
enzim fibrinolitik (lumbrokinase), lumbrofebrin, lumbricin I, peroksidase,
katalase, dan selulose, yang di mana enzim-enzim ini berguna bagi tubuh manusia
dan pengobatan (Mihara et al., 1991; Palungkun, 2008). Enzim lumbrokinase
merupakan enzim fibronolitik kuat yang dapat menghidrolisis gumpalan fibrin
dan trombus intravaskular. Lumbrokinase kaya akan asparagin dan asam aspartat,
serta sedikit prolin dan lisin. Lumbrokinase stabil terhadap panas dan memiliki pH
optimal 7,4-9. Karena tidak memiliki pH optimal puncak, dapat dikatakan bahwa
lumbrokinase mampu bertahan pada rentang pH yang luas. Berdasarkan sifat yang
dimilikinya, lumbrokinase mempunyai kelebihan dibandingkan enzim proteolitik
yang lain seperti plasmin dan urokinase karena lumbrokinase dapat digunakan
secara oral, sedangkan enzim lainnya secara parenteral. Pada penelitian secara in
vitro, lumbrokinase dapat menghidrolisis fibrin bebas plasminogen, sehingga
dapat disimpulkan bahwa lumbrokinase bekerja sebagai perangsang plasminogen
dan dapat mencerna fibrin secara langsung (Mihara et al., 1991). Lumbrokinase
diduga memiliki efek antiinflamasi dan antiplatelet. Mekanisme kerjanya diduga
mirip dengan aspirin, yaitu menghambat kerja enzim COX-1. Penghambatan ini
mengakibatkan tidak terbentuknya tromboksan A2. Tromboksan A2 merupakan
zat yang sangat kuat yang menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit
(Kholos, 2009).
28
F. Landasan Teori
Cacing tanah telah banyak digunakan di Cina sebagai agen terapetik,
bahkan dalam sebuah catatan kuno Cina menyebutkan cacing tanah sebagai “Naga
Bumi”. Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan protein
yang mencapai 64-76%. Protein yang sangat tinggi ini terdiri dari 9 asam amino
esensial dan 4 asam amino non esensial. Asam amino esensial mencakup arginin,
histidin, leusin, isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Asam
amino non esensialnya, antara lain sistin, glisin, serin dan tirosin. Banyaknya
asam amino esensial ini memberikan gambaran bahwa cacing tanah mengandung
berbagai jenis enzim yang sangat berguna bagi kesehatan manusia.
Cacing
tanah
memiliki
kandungan
enzim
proteolitik,
seperti
lumbrokinase, lumbricin, katalase, protease, dan kandungan fenolik yang cukup
tinggi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, lumbrokinase yang terdapat
dalam cacing tanah diduga mampu menghambat pembentukan prostaglandin,
yang merupakan salah satu mediator nyeri, demam, dan inflamasi. Namun,
aktivitas dan mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas analgetik mampu mengurangi
jumlah geliat kumulatif mencit pada pengujian efek analgetik yang menggunakan
metode rangsang kimia dengan asam asetat sebagai induksi nyeri. SCT dinilai
memiliki aktivitas sebagai analgetik dan diprediksikan mampu mengurangi
jumlah kumulatif geliat pada mencit yang telah diinduksi asam asetat glasial pada
rongga perut hewan uji.
29
Nilai daya analgetik (dalam %) menunjukkan besarnya aktivitas
analgetik suatu senyawa dalam mengurangi atau menghambatnyeri. Semakin
tinggi nilai daya analgetik, semakin tinggi pula aktivitas analgetik suatu senyawa.
Besar kecilnya daya analgetik dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Oleh karena
itu, pemberian dosis yang bervariasi dimungkinkan akan mempengaruhi besarnya
daya analgetik yang dihasilkan.
G. Hipotesis
1.
Serbuk Cacing Tanah (SCT) memiliki khasiat sebagai analgetik pada mencit
yang diinduksi asam asetat.
2.
Serbuk Cacing Tanah (SCT) memiliki daya analgetik yang sebanding dengan
daya analgetik parasetamol.
Download