DM - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degenaratif
dengan prevalensi tinggi di Indonesia. World Health Organization mengatakan
dari hasil survei penderita DM di Indonesia menduduki ranking 4 terbesar di
dunia. DM adalah suatu penyakit degeneratif yang ditandai dengan hiperglikemia
yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang disebabkan oleh penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya dan
menyebabkan komplikasi (Triplitt, 2009). Dewasa ini penyakit DM tidak hanya
diderita orang-orang lanjut usia, namun sudah mulai pada usia dewasa bahkan
usia muda. World Health Organzation (WHO) memprediksikan bahwa di
Indonesia pada tahun 2030 akan mengalami kenaikan kasus DM menjadi 21,3 juta
dari sebelumnya tahun 2000 sebesar 8,4 juta.
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang memerlukan biaya
pengobatan cukup tinggi. Keadaan pasien yang diikuti penyakit penyerta tentu
akan berdampak pada bertambahnya biaya pengobatan, karena pengobatan yang
dilakukan adalah seumur hidup. Sebanyak 80% penderita DM tipe 2
membutuhkan pengobatan secara terus menerus sepanjang hidupnya (Campbell
and Martin, 2009). Penelitian oleh The United Kingdom Prospective Diabetes
Study menyatakan bahwa kontrol terhadap kadar gula dan tekanan darah pasien
DM tipe 2 secara ketat dapat menurunkan kejadian komplikasi jangka panjang.
1
2
Oleh karena itu, pemilihan terapi obat antidiabetika yang tepat menjadi sangatlah
penting untuk mendapatkan efek terapi yang efektif serta biaya yang optimal.
Diabetes melitus tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun
dapat berakibat fatal bila penatalaksanaannya tidak tepat. Pengelolaan dan
penatalaksanaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang
mencakup terapi non farmakologi dan terapi farmakologi (Depkes, 2006). Lebih
dari 80% kematian akibat penyakit DM terjadi di negara pada tingkat penghasilan
rendah dan menengah (WHO, 2013). Komorbiditas pada pasien diabetes akan
membawa akibat yang cukup besar untuk perawatan kesehatan dan biaya (Struijs
et al., 2006). Melihat DM merupakan penyakit yang berdampak pada kualitas
sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar maka
semua pihak harus ikut serta dalam penanggulangan penyakit DM.
Fokus farmasis untuk mengelola keefektifan terapi obat menjadi sangat
penting. Untuk pengendalian pengobatan, pemerintah mengadakan program
Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
(BPJS).
BPJS
merupakan
suatu
Badan
yang
dibentuk
untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional di Indonesia. Program
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertujuan menyediakan akses
layanan kesehatan pada seluruh masyarakat Indonesia. Program ini sudah mulai
diterapkan di Indonesia mulai awal tahun 2014. Melalui program ini diharapkan
masyarakat mendapatkan hak atas pelayanan kesehatan yang sesuai dengan yang
diinginkan yaitu biaya terapi yang rendah dan outcome terapi yang diterima tinggi
sehingga dana yang dikeluarkan untuk kesehatan dapat digunakan secara efisien.
3
World Health Organization pada tahun 2009 menyatakan bahwa sistem kesehatan
adalah semua kegiatan yang tujuannya meningkatkan, mengembalikan serta
memelihara kesehatan. Salah satu yang ada didalam sistem kesehatan menurut
WHO adalah sistem pembiayaan kesehatan. Efisiensi keuangan merupakan
outcome yang diharapkan dari sistem pembiayaan kesehatan tersebut. Namun
sejak dimulainya program JKN masyarakat belum sepenuhnya mengerti dan
masih banyak yang memilih untuk datang dan membayar sendiri biaya kesehatan
mereka(out of pocket) tanpa mengikuti program JKN. Banyak terjadi
kekhawatiran di masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan tidak akan
maksimal dengan obat-obat yang murah dan tidak begitu efektif, serta fasilitas
yang terbatas. Masyarakat banyak yang berkaca dengan sistem asuransi kesehatan
sebelumnya yang dianggap belum memuaskan. Salah satu ketidakpuasan yang
dirasakan adalah masyarakat pengguna asuransi tersebut menganggap bahwa obat
yang diberikan tidak sesuai atau tidak tepat sehingga sembuhnya lama (Aga, dkk,
2005).Menurut Kemenkes tahun 2014 tingkat kepuasan masyarakat Indonesia
terhadap JKN masih <75%, dan masih ada 73,8 juta penduduk yang belum masuk
dalam kepesertaan JKN.
Dengan adanya permasalahan tersebut melalui penelitian ini peneliti
ingin mencoba menganalisis dari segi kefarmasian yaitu biaya dan outcome terapi
yang dihasilkan, mengingat DM tipe 2 diketahui memerlukan obat-obat yang
tidak sedikit dan durasi pengobatan yang terus-menerus. Sehingga diharapkan
penelitian ini dapat mengetahui biaya dan keefektifan terapi antara pasien JKN
dan umum pada terapi DM tipe 2.
4
B. Rumusan Masalah
1.
Berapa besar biaya terapi pada pasien diabetes melitus JKN dan umum?
2.
Apakah ada perbedaan biaya antara pasien JKN dan umum?
3.
Bagaimana outcome terapi pada pasien diabetes melitus JKN dan umum?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui besar biaya terapi pada pasien diabetes melitus JKN dan umum
2.
Mengetahui perbedaan biaya antara pasien JKN dan umum
3.
Mengetahui outcome terapi pada pasien diabetes melitus JKN dan umum
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1.
Bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
dapat digunakan
sebagai bahan evaluasi dalam hal peningkatan efektivitas terapi pada pasien
DM tipe 2
2.
Bagi BPJS dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan
Formularium Nasional
3.
Bagi klinisi dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk menetapkan terapi
yang optimal bagi pasien DM tipe 2.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Diabetes Mellitus
a.
Definisi
Diabetes Melitus atau DM merupakan penyakit degeneratif yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
5
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sensitivitas
insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi (Triplitt, 2006). Efek jangka
panjang dari diabetes meliputi retinophaty, nephrophaty dan neurophaty. Orang
dengan diabetes juga dapat meningkatkan resiko kardio, peripheral arterial, dan
cerebrovascular disease (WHO,2011).
b.
Klasifikasi dan Patofisiologi
Menurut Departemen Kesehatan, berdasarkan etiologinya DM dibagi menjadi 3
yaitu:
1) Diabetes melitus Tipe 1
DM tipe 1 disebabkan rusaknya sel β pankreas sehingga menyebabkan
defisiensi insulin. Meskipun sebagian besar pasien adalah pasien dengan umur
dibawah 30 tahun saat di diagnosis, namun onset dari penyakit dapat terjadi di
semua umur. Defisiensi ini disebabkan oleh reaksi autoimun atau idiopatik
(Katzung, 2009). Adanya destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans
kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi
insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM tipe
1. Manifesasi dari keadaan tersebut adalah ketoasidosis diabetik apabila tidak
mendapatkan terapi insulin (Depkes, 2005).
2)
Diabetes melitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan DM yang paling banyak diderita, sebanyak 90%
penderita diabetes di dunia adalah penderita DM tipe 2. Terjadi karena resistensi
insulin atau berkurangnya produksi insulin. Resistensi terjadi diantaranya karena
peningkatan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi hepatic glucose.
6
DM tipe 2 ini biasanya juga disebabkan karena lifestyle yang buruk. DM tipe 2
banyak diderita oleh usia dewasa tetapi juga ada pada usia anak-anak
(Triplitt,2009). Awal perkembangan DM tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin (Depkes, 2005).
3). Diabetes melitus gestasional
Diabetes melitus gestasional merupakan hiperglikemia yang onsetnya
atau pertama kali dikenali saat kehamilan (WHO,2012). Timbul selama masa
kehamilan dan biasanya hanya bersifat sementara. Diketahui 4-5% wanita hamil
mengalami diabetes melitus gestasional dan umumnya terdeteksi pada atau setelah
trimester kedua (Depkes, 2005). Selama kehamilan, terjadi resistensi insulin
(Vamberque el al., 2002). Resistensi tersebut menyebabkan meningkatnya
kebutuhan insulin. Saat resistensi insulin menjadi lebih dominan maka ibu hamil
akan mengalami hiperglikemia, hampir sama seperti DM tipe 2 (Ben-Haroush et
al.,2003).
Gestasional diabetes melitus tidak hanya berakibat pada ibu namun juga
berakibat buruk pada bayi seperti malformasi kongenital, peningkatan berat badan
bayi ketika lahir, dan meningkatnya resiko mortalitas perinatal (Depkes, 2005).
c.
Gejala
Gejala diabetes melitus sering tidak muncul, namun gejala klasik yang
sering dirasakan penderita antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia
(sering haus), dan polifagia (banyak makan). Gejala klasik yang sering terjadi
pada DM tipe 1 adalah cepat merasa lelah dan merasa iritabilitas, sedangkan DM
7
tipe 2 hampir tidak ada gejala awal dan baru akan dirasakan saat penyakit sudah
berkembang (Depkes, 2005).
d.
Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui beberapa cara yaitu:
1) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2) Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0
mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam atau.
3) Kadar gula plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200
mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
4) Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi
salah satu
kriteria
diagnosis
DM,
jika
dilakukan
pada
sarana
laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik (Perkeni, 2011).
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa menurut
Perkeni tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 1.
2. Terapi DM tipe 2
a. Tujuan Terapi
Secara umum tujuan terapi DM adalah meningkatkan kualitas hidup pasien.
Adapun tujuan penatalaksanaan terapi meliputi tujuan jangka pendek, jangka-
8
Keluhan Klinik Diabetes
Keluhan klinis diabetes (+)
GDP
Atau
GDS
≥126
<126
≥200
<200
Keluhan klasik (-)
GDP
Atau
GDS
≥126
100-125
<100
≥200
140199
<140
Ulang GDS atau GDP
GDS
GDP
Atau
GDS
≥126
<126
≥200
<200
TTGO
GD 2 jam
≥200
Diabetes Melitus
1. Evaluasi status gizi
2. Evaluasi penyulit DM
3. Evaluasi perencanaan
makan sesuai kebutuhan
140-199
TGT
1.
2.
3.
4.
5.
<140
GDPT
Normal
Nasihat umum
Perencanaan makan
Latihan jasmani
Berat idaman
Belum perlu obat penurun
glukosa
Keterangan
GDP=Glukosa Darah Puasa
GDS=Glukosa Darah Sewaktu
GDPT=Glukosa Darah Puasa
Terganggu
TGT=Toleransi Glukosa Terganggu
Gambar 1. Langkah-langkah Diagnostik Diabetes Melitus (Perkeni, 2011)
9
panjang dan tujuan akhir terapi. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya
keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman, dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah. Tujuan jangka panjang pada
terapi diabetes melitus adalah pasien tercegah dan terhambat dari
progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan
akhir terapi adalah turunnya morbiditas dan mortalitas dini diabetes melitus.
Prinsip terapi DM adalah glikemia yang mendekati normal dapat
mengurangi risiko komplikasi penyakit mikrovaskular, tetapi manajemen
agresif faktor risiko kardiovaskular (misalnya, berhenti merokok, pengobatan
dislipidemia, kontrol tekanan darahsecara intensif, terapiantiplatelet) juga
diperlukan untuk mengurangi risiko penyakit makrovaskuler. Perawatan yang
tepat membutuhkan penetapan target untuk glikemia, tekanan darah, dan kada
rlipid; pemantauan rutin untuk komplikasi; modifikasi dietdan olahraga; selfmonitoring yang tepat glukosa darah(SMBG); dan penilaian yang tepat dari
parameter laboratorium (Triplitt, 2009).
b.
Penatalaksanaan Terapi
Penalatalaksanaan diabetes ada dua yaitu tanpa obat (nonfarmakologi) dan dengan obat (farmakologi). Terapi pertama adalah
nonfarmakologi berupa edukasi, pengaturan diet, dan olahraga. Jika dengan
terapi pertama belum tercapai tujuannya, maka dapat dilakukan dengan
langkah farmakologi berupa terapi obat hipoglikemik oral (OHO) dan/atau
terapi insulin (Depkes, 2005).
10
1) Terapi non farmakologi
a) Diet
Mengatur asupan makanan menjadi hal utama yang harus diperhatikan
bagi penderita DM. Kesehatan tubuh dapat dicapai dan dipelihara secara
teratur dengan keseimbangan asupan nutrisi. Makanan yang cukup dengan
nilai karbohidrat dan lemak jenuh (<7% dari kalori total) sangat
direkomendasikan (Triplitt, 2009)
b) Aktivitas
Sebagian besar pasien DM merasakan bahwa meningkatkan aktivitas
dapat menguntungkan untuk menjaga kondisinya. Latihan aerobic dapat
mengubah resistensi insulin serta mengontrol glycemic, mengurangi resiko
penyakit kardiovaskuler, dan berkontribusi untuk menurunkan berat badan
(Triplitt, 2009). Obesitas dan aktivitas yang kurang adalah salah satu
penyebab berkembangnya glucose intolerance. Konsentrasi glukosa dalam
plasma biasanya menurun sebagai respon melakukan kegiatan. American
Diabetes Association merekomendasikan orang dengan diabetes melakukan
aerobic setidaknya 150 menit/minggu. Olahraga yang rutin menunjukkan
perubahan sensitivitas insulin (Koda-Kimble, 2009).
2) Terapi Farmakologi
Pasien yang tidak bisa menurunkan berat badan atau meningkatkan
aktivitas seperti olahraga maupun pasien yang sudah melakukan terapi non
farmakologi namun kadar gula darah masih dibawah goal therapy , maka
pasien akan diberikan terapi farmakologi dengan obat-obat antidiabetik. Obat
11
antidiabetik tersedia dalam sediaan oral, sediaan injeksi maupun kombinasi
keduanya.
a)Insulin
Terdapat empat tipe injeksi insulin yaitu :
(1) Rapid acting (onset yang sangat cepat dan durasi pendek)
Injeksi rapid-acting yang banyak dipasarkan adalah insulin lispro, insulin
aspart, dan insulin glulisine. Durasinya jarang lebih dari 4-5 jam, dan
menurukan resiko hipoglikemia setelah makan. Insulin lispro merupakan
analog insulin yang pertama kali dipasarkan.
(2) Short acting with rapid onset of action
Short-acting insulin merupakan insulin yang dapat larut dengan crystalline
zinc yang sekarang dibuat dengan teknik DNA rekombinan untuk
memproduksi molecule idential insulin pada manusia. Efek dari insulin ini
timbul sekitar 30 menit dan puncaknya diantara jam kedua sampai
keempat setelah injeksi subcutan dengan durasi 5-7 jam (KodaKimble,2009)
(3) Intermediate acting dan Long-acting insulin
Intermediate
acting
insulincontohnya
NPH
(Netral
Pprotamine
Hagedorn), insulin glargine dan insulin detemir. NPH insulin memiliki
onset 2-5 jam dan durasi selama 4-12 jam. Insulin ini biasanya di campur
dengan insulin regular, lispro, aspart atau glulisine dan diberikan dua
sampai empat kali sehari. Insulin glargine merupakan analog insulin longacting dan memiliki onset 1-1,5 jam dan memberikan efek maksimum
12
selama 11-24 jam. Insulin glargine diberikan satu kali sehari, dan tidak
boleh dicampur dengan insulin yang lain. Insulin detemir analog longacting insulin yang paling baru, diberikan dua kali sehari dengan onset 1-2
jam dan durasi lebih dari 24 jam (Katzung, 2006).
(4) Mixture insulin
Intermediate-acting NPH insulin membutuhkan waktu beberapa jam untuk
mencapai level terapeutik, oleh sebab itu pasien diabetes biasanya juga
membutuhkkan rapid-acting ataupun short-acting insulin sebelum makan.
Keduanya sering dicampurkan kedalam syringe yang sama sebelum
diinjeksikan.
b) Obat Hypoglycemi Oral (OHO)
Ada enam katagori OHO untuk terapi pada pasien diabetes tipe 2 :
(1). Sulfonilurea bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin dari sel beta.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah : tolbutamid,
klorpropamid, tolazamid, gliburid, glipizid, glimepirid.
(2) Biguanid, menurunkan produksi hepacit glucose. Obat golongan
biguanid adalah metformin. Biguanid merupakan first-line terapi untuk
diabetes tipe2. Obat ini tidak meningkatkan berat badan pasien ataupun
menimbulkan hipoglikemia.
(3) Thiazolidinedion, mengurangi resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa
perifer. Contoh obatnya adalah pioglitazone dan rosiglitazone (Perkeni,
2011)
13
(4) α-glucosidase inhibitor, mengahmbat enzim yang bertugas memecah
ikatan olisakarida dan disakarida menjadi monosakarida didalam usus
halus. Hambatan tersebut akan mengurangi absorbsi glukosa pada usus
halus sehingga kadar gula darah setelah makan dapat turun (Lebovitz,
1997).
(5) Increatin-based therapi, mengontrol glukosa setelah makan dengan
meningkatkan pelepasan insulin dan menurunkan sekresi glukagon
(6) Analog amylin, menurunkan level glukosa setelah makan dan
mengurangi appetite (Katzung,2006)
c. Pengendalian DM
Diperlukan pengendalian yang baik untuk mencegah terjadinya
komplikasi kronik. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada
tabel I. Keberhasilan pengendalian diabetes melitus dapat dilihat dari
beberapa parameter yaitu kadar gula darah, tekanan darah, kadar kolesterol
dan kadar trigiserid darah.
Tabel I. Kriteria Keberhasilan Pengendalian Diabetes MelitusADA (2015)
Parameter
ADA
ACE and AACE
Glukosa Darah Puasa (mg/dL)
90-130 mg/dL
<110 mg/dL
Glukosa Darah 2 jam PP (mg/dL)
<180 mg/dL
<140 mg/dL
HbA1c (%)
<7%
<6,5%
AACE, American Assocoation of Clinical Endocrinologist; ACE, American College of
Endocrinology; ADA, American Diabetes Association
3. Jaminan Kesehatan Nasional
a.
Definisi
Jaminan
Kesehatan
Nasional
yang
selanjutnya
disebut
JKN
merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN sendiri
14
adalah suatu tata cara penyelenggaraan program Jaminan Sosial oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertujuan untuk melindungi
penduduk Indonesia agar mendapatkan kebutuhan kesehatan yang layak
melalui sistem asuransi. Hasil dana yang dikumpulkan oleh masyarakat akan
digunakan seoptimal mungkin untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat.
JKN juga menerapkan prinsip-prinsip dasar manajemen dalam pengelolaan
dana iuran dan pengembangannya, prinsip tersebut meliputi prinsip
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas (JKN,
2014).
b. Peserta JKN
Peserta JKN adalah semua orang termasuk warga asing yang tinggal
di Indonesia selama 6 bulan dan membayar iuran. Setiap calon peserta
diwajibkan melakukan pendaftaran dikantor BPJS terdekat/setempat. Adapun
hak dan kewajiban menjadi peserta JKN, hak yang diperoleh peserta yaitu
mendapatkan identitas peserta dan mendapatkan fasilitas kesehatan di tempat
pelayanan kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS. Setelah peserta
terdaftar menjadi peserta JKN, peserta wajib membayar iuran setiap
bulannya. Jika peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia maka
status kepesertaan dianggap sudah tidak berlaku lagi (JKN, 2014).
c. Pembiayaan
Setiap peserta wajib membayar iuran secara teratur sesuai dengan
presentse upah (bagi penerima upah) atau sejumlah nominal tertentu (bukan
penerima upah) setiap bulannya paling lambat tanggal 10. BPJS melakukan
15
pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS
dengan cara Kapitasi untuk Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan dengan
sistem paket INA CBG’s untuk Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan
(JKN, 2014).
d.
Pelayanan Peserta Diabetes Melitus
Pelayanan kesehatan yang diperoleh peserta JKN ada 2 jenis, yaitu
pelayanan medis dan non-medis seperti ambulan atau akomodasi. Pelayanan
kesehatan untuk peserta dengan diabetes melitus juga termasuk tarif obat,
tarif pemeriksaan penunjang. Menurut Surat Edaran HK/Menkes/31/1/2014
tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan tarif obat yang
diberikan adalah sesuai dengan e-catalog serta obat-obat yang masuk
formularium nasional (JKN,2014).
Tarif pemeriksaan penunjang meliputi:
1. Tarif pemeriksaan gula darah
2. Pemeriksaan gula darah tersebut dilakukan satu bulan sekali. Namun
dalam keadaan tertentu pemeriksaan gula darah sewaktu dapat dilakukan
sesuai dengan indikasi medis.
4. Analisis Biaya
Biaya menjadi salah satu hal yang paling diperhatikan dalam proses
pengobatan. Tidak sedikit masyarakat yang menginginkan mendapatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal dengan biaya yang minimal.
Kualitas pelayanan dapat dilihat salah satunya dengan outcome yang diterima
pasiendan outcome terapi juga tidak terlepas dari pemilihan obat yang
16
nantinya akan mempengaruhi biaya terapi. Menurut Bootman et al tahun
2005 seorang farmasis akan menjadi kunci yang memastikan bahwa terapi
obat dan layanan farmasi yang didapat tidak hanya efektif namun juga
ekonomis.
Rumah sakit dalam era JKN ini merupakan fasilitas kesehatan
rujukan atau sekunder yang bekerjasama dengan BPJS sebagai pengelola
JKN. Sistem pembiayaan untuk rumah sakit berbeda tiap tipe rumah sakit dan
tiap kelas perawatannya, pembiayaan berdasarkan tarif Indonesia Case Based
Groups (INA CBG’s). INA CBG’s yaitu penetapan tarif berdasarkan
pengelompokkan diagnosa. Setiap tipe rumah sakit memiliki tarif yang
berbeda-beda untuk diagnosa yang sama. Tarif tersebut adalah paket biaya
yang sudah meliputi tarif pemeriksaan dokter, tarif obat yang diberikan, tarif
sewa kamar, tarif pemeriksaan penunjang medis.
Analisis biaya Rumah Sakit dapat memberikan informasi tentang
komponen
biaya
serta
perhitungan
biaya
pelayanan
Rumah
Sakit
(Anonim,2007). Biaya terapi obat bukanlah satu-satunya anggaran yang
dikeluarkan saat perawatan dirumah sakit, namun terapi obat berperan
penting dalam terapi yang efisien pada pasien rawat inap rumah sakit. Terapi
obat yang efektif tersebut yang dapat menjelaskan mengapa Length Of
Stay(LOS) dirumah sakit menurun (Vogenberg, 2001). Adapun katagori biaya
meliputi :
1. Biaya medis langsung (direct medical cost) merupakan biaya yang
dikeluarkan langsung oleh pasien yang berkaitanlangsung dengan
17
biaya pengobatan pasien yang meliputi biaya perawatan, obat-obatan,
biaya dokter, biaya pemeriksaan laboratorium.
2. Biaya non medis langsung (direct non medical cost) adalah biaya yang
dikeluarkan langsung namun tidak berkaitan dengan biaya pengobatan,
misalnya biaya hidup dirumah sakit bagi keluarganya, transportasi ke
Rumah Sakit.
3. Biaya tidak langsung ( indirect cost) berupa hilangnya produktivitas
kerja dan pengeluaran untuk keluarga.
4. Biaya tak terwujud (intangible cost) seperti perubahan kualitas hidup
yang bisa dilihat misalnya rasa nyeri (Plumridge, 2000).
Salah satu metode analisis farmakoekonomi adalahCost Consequence
Analysis (CCA), yaitu suatu metode analisis yang memberikan daftar biaya
dan efek terapi namun tidak dijumlahkan maupun diurutkan. Seluruh daftar
relevan biaya dan outcome yang disajikan dengan konsep yang sederhana dan
terdiri dari berbagai komponen meliputi : direct medical cost, direct non
medical cost, indirect cost, quality of life impact and clinical outcome
(Mauskopf et al, 1998).CCA merupakan suatu analisis yang menarik dalam
pelayanan kesehatan masyarakat dan sering disebut juga sebagai pendekatan
terpilah, karena CCA tidak menggabungkan antara biaya dan outcome
menjadi satu indikator tunggal (Parkin, 2009).
18
F. Kerangka Konsep
Pasien diabetes
melitus tipe 2
Pasien Jaminan
Kesehatan Nasional
Biaya
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Biaya obat
Biaya laboratorium
Biaya operasi
Biaya sewa kamar
Biaya radiologi
Biaya USG
Biaya Hemodialisis
Pasien non-Jaminan
Kesehatan Nasional
Outcome
a.
b.
c.
Length of stay (LOS)
Kadar gula darah saat
keluar rumah sakit
Selisih kadar glukosa
darah saat masuk dan
keluar rumah sakit
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai biaya dan
outcome terapi pada pasien diabetes melitus tipe 2 JKN dan umum di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Agustus 2014
Download