BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum parlemen bekerja melalui mekanisme-mekanisme yang telah
diatur dan berlangsung sejak lama. Tetapi adanya tantangan dan tekanan pada era
pemerintahan modern dan keadaan dari berbagai negara yang berbeda satu sama
lain menyebabkan perlunya modifikasi-modifikasi atas mekanisme-mekanisme
tesebut. Berbagai prosedur berevolusi untuk menunjang pelaksanakan tiga fungsi
dari parlemen, yaitu penyediaan anggaran penyelenggaraan pemerintahan; untuk
mempertanyakan, mempublikasikan dan menyelidiki tindakan pemerintah dan
kebutuhan masyarakat; dan untuk membahas, mengubah maupun meloloskan
rancangan undang-undang. (Aitkin dan Jinks 1985) Pada masing-masing fungsi
dari parlemen tersebut ketegangan diantara backbenchers1 dan pemimpin sering
terjadi.
Di berbagai negara, termasuk Australia, dalam pembentukan suatu
kebijakan publik, proses yang terjadi didalam parlemen menentukan keluarnya
sebuah kebijakan publik tersebut karena kebijakan yang diambil pada dasarnya
merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak yang terlibat didalam
pembentukan tersebut. (Winarno 2008) Namun proses ini terkadang dapat
menyebabkan ‘terabaikan’nya opini publik. Berangkat dari asumsi bahwa proses
didalam parlemen jauh lebih menentukan daripada opini publik karena menurut
Konstitusi Australia bab 51 dan 52 pada dasarnya yang memiliki kekuasaan
legislatif untuk membuat kebijakan publik adalah parlemen dan parlemen
memiliki kekuasaan eksklusif untuk membuat hukum yang ditujukan untuk
menciptakan perdamaian, ketertiban dan good government di Australia.
(Parliamentary Education Office 2012) Sehingga kebijakan publik yang
1
Backbencher merupakan anggota parlemen yang bukan menteri, menteri bayangan (shadow
minister) maupun presiding officer (anggota parlemen yang terpilih untuk memimpin, atau
bertanggung jawab atas administrasi dari sebuah kamar parlemen. Jika di Senat disebut
Presiden, dan di HoR, Speaker) dan mereka menempati kursi belakang disetiap kamar.
(Parliament of Australia 2012)
1
dihasilkan dapat berbeda dari apa yang diharapkan oleh publik itu sendiri. Hal
tersebut dapat dilihat dalam studi kasus pembentukan kebijakan anti-terorisme
pada era pemerintahan John Howard periode keempat.
Hak asasi seharusnya dihormati serta dijunjung oleh pemerintah dalam
pembentukan suatu kebijakan namun dilema klasik sering dialami oleh negaranegara liberal. Dilema tersebut dapat dilihat dalam usaha pemerintah dalam
mengatasi tindakan kriminal, kekerasan hingga ancaman terorisme. Dalam
usahanya untuk mengatasi ancaman terorisme, dilema yang muncul berasal dari
keinginan untuk mencapai efektivitas maksimum dalam perang melawan
terorisme tanpa mengorbankan karakter pada nilai-nilai demokratis. Namun fakta
yang berlangsung dibawah agenda “war on terrorism” yang berlangsung
diberbagai belahan dunia sangat memprihatinkan. Banyak negara, dari Amerika
Serikat, Indonesia, Kanada, hingga Zimbabwe, yang memberlakukan undangundang anti-terorisme, yang mana substansi dari undang-undang tersebut
mengorbankan hak-hak asasi manusia (HAM) bahkan termasuk hak-hak yang
dikategorikan ke dalam non-derogable rights2.
Tak terkecuali bagi Australia, sejak tahun 2002, pasca kejadian 9/11,
pemerintah Australia dibawah kepemimpinan John Howard memperkenalkan
perundang-undangan anti-terorisme baru yang berbeda-beda, sebagai bagian dari
kampanye untuk menjamin keamanan nasional Australia serta memenuhi
kewajiban internasional Australia. Namun seperti kondisi perundangan antiterorisme di negara lain, Australia meloloskan undang-undang anti-terorisme
dengan substansi yang melanggar HAM, seperti penangkapan dan penahanan
tanpa tuduhan (preventative detention), yang tercantum dalam Divisi 105
Criminal Code Act 1995 (Cth) yang menjadi bagian implementasi Anti-Terrorism
Act (no.2) 2005 (Cth), hal ini memungkinkan seseorang untuk ditahan tanpa
tuduhan selama 48 jam untuk mencegah aksi teroris yang terjadi atau untuk
2
Non-derogable rights merupakan HAM yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi)
pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Contoh: hak hidup, hak
bebas dari perbudakan dan penghambaan, hak diakui sebagai pribadi didepan hukum,
kebebasan berpikir dan bekeyakinan agama, dll. (Office of the High Commissioner for Human
Rights 2013)
2
menyimpan barang bukti yang berkaitan dengan aksi teroris setelah kejadian
terjadi. Hal berikutnya yang mendapat sorotan adalah adanya perintah kontrol
(control order), seperti yang tercantum pada Divisi 104 Criminal Code Act 1995
(Cth) yang memungkinkan adanya kewajiban, larangan dan pembatasan yang
akan dikenakan pada seseorang untuk tujuan melindungi masyarakat dari aksi
teroris. Sedangkan substansi undang-undang anti-terorisme tersebut menjadi
kontradiksi dengan apa yang tercantum pada Pasal 9.1 International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) (Office of the United Nations High
Commissioner for Human Rights 2010):
Everyone has the right to liberty and security of person. No one
shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be
deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with
such procedure as are established by law.
Melihat kontradiksi yang terjadi seperti diatas, dapat mengundang sejumlah
polemik didalam masyarakat Australia maupun internasional. Pertama, seperti
yang dijelaskan sebelumnya, undang-undang anti terorisme yang akan dihasilkan
melanggar ketentuan HAM atau secara khusus melanggar hak sipil, yang mana
Australia sendiri telah meratifikasi ICCPR, sehingga mereka seharusnya
mengaplikasikannya dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Kedua, dalam
pembentukan undang-undang tersebut turut memunculkan pro kontra. Berbagai
tentangan serta respon negatif terhadap pembentukan undang-undang antiterorisme yang disebabkan oleh substansi undang-undang tersebut muncul di
beberapa komponen masyarakat Australia, seperti dari kelompok Amnesty
International, the Uniting Church in Australia, the Islamic Council of Victoria,
the Ethnic Communities Council of Victoria, the Ethnic Communities Council of
Victoria, partai politik, akademisi, dan lainnya. (Head 2002) Tidak hanya
organisasi atau kelompok masyarakat namun tokoh nasional seperti Malcolm
Fraser (mantan Perdana Menteri Australia) (Fraser 2005), juga turut mengkritisi
undang-undang tersebut. Namun tidak dipungkiri masih terdapat masyarakat atau
pihak-pihak yang mendukung terciptanya undang-undang yang lebih mengikat,
seperti Pimpinan Badan Penasihat Pemerintah Urusan Umat Islam Australia yang
mengatakan mendukung dengan suara bulat undang-undang tersebut karena hal
3
tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk upaya dari pemerintah untuk
menjamin keamanan nasional Australia. (Radio Australia 2005) Ketiga,
Pemerintah berhasil membuat anggota parlemen lainnya, dalam hal ini Partai
Buruh, untuk menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan oleh
pemerintah. Karena dengan turut sertanya Partai Buruh, yang berposisi sebagai
pihak oposisi, secara otomatis menyisakan Partai Demokrat Australia dan Partai
Hijau yang tetap menentang adanya undang-undang anti-terorisme.
1.2 Rumusan Masalah
Pada penelitian ini, berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah
yang diajukan oleh penulis adalah ”Bagaimana strategi Pemerintahan John
Howard untuk meloloskan Undang-Undang Anti-Terorisme 2005?”. Penulis
akan mencoba menjelaskan strategi negosiasi yang digunakan oleh pemerintahan
John Howard didalam parlemen Australia untuk meloloskan undang-undang antiterorisme, yang menuai banyak pro kontra di lingkungan masyarakat Australia.
Undang-Undang Anti-Terorisme 2005 yang dijadikan fokus pembahasan oleh
penulis mengacu pada Anti-Terrorism Act (No.2) 2005 atau Undang-Undang AntiTerorisme (No.2) 2005.
1.3 Landasan Konseptual
1.3.1 Contending3
Pendekatan manajemen konflik secara umum melibatkan dua variabel utama
yang darinya dapat diturunkan menjadi five key points atau lima strategi. Dua
variabel menyatakan bahwa pihak yang terlibat kedalam konflik memiliki dua
fokus perhatian independen; pertama, perhatian terhadap sasaran atau tujuan diri
sendiri, dan kedua, perhatian terhadap sasaran atau tujuan pihak/orang lain. Model
seperti ini biasa disebut the dual model concerns. Perhatian terhadap sasaran
orang lain, yang ditunjukkan dalam garis vertikal menunjukkan tingkat kemauan
suatu pihak untuk berkooperasi dengan pihak lain. Sementara garis horizontal
mengindikasikan tingkat asertivitas seseorang terhadap kepentingan diri sendiri.
3
D. G. Pruitt, P. J. Carnevale, 1993, Negotiation in Social Conflict, California: Brooks/Cole
Publishing, hal.30-35.
4
Dalam grafik 1.1, semakin kekanan menunjukkan semakin tingginya tingkat
prioritas terhadap sasaran/tujuan diri sendiri dan semakin rendahnya kemauan
untuk berkooperasi dengan pihak lain, dan sebaliknya. Dari dua variabel tersebut
dihasilkan lima pola strategi utama manajemen konflik.
Lima strategi utama manajemen konflik yang biasa diidentifikasi pada
model the dual concerns yaitu: contending, yielding, inaction, problem solving,
dan compromising. Yielding (juga disebut accomodating atau obliging), strategi
ini didalam bagan grafik terletak dibagian sudut kiri atas. Pihak yang
menggunakan strategi ini menunjukkan sedikit perhatian terhadap tujuan/sasaran
mereka sendiri, dan kooperatif terhadap sasaran/tujuan pihak lain. Dengan kata
lain yielding merupakan strategi yang menuruti apa yang diinginkan pihak lain.
Inaction (juga disebut avoiding), strategi yang terletak di sudut kiri bawah ini
menunjukkan pihak yang menggunakan strategi ini menunjukkan sedikitnya
kepedulian mereka terhadap sasaran/tujuan yang dicapai didalam manajemen
konflik, baik hasil mereka sendiri maupun pihak lainnya. Pihak yang
menggunakan strategi ini tidak mengambil tindakan apapun untuk mengatasi
persoalan. Problem solving (juga disebut collaborating atau integrating), strategi
yang terletak disudut kanan atas ini menunjukkan kepedulian para pihak untuk
mencapai sasaran mereka sendiri dan sasaran yang dicapai oleh pihak lainnya.
Pengguna strategi ini mengusahakan kepentingan semua pihak terpenuhi (win-win
agreements). Compromising, strategi yang terletak di tengah-tengah grafik 1.1. Ini
merupakan upaya moderat untuk mengejar sasaran sendiri dan membantu pihak
lain mencapai sasaran mereka. Strategi ini mencoba untuk menyelesaikan konflik
dengan mengidentifikasi solusi yang parsial namun hasilnya tidak terlalu
memuaskan bagi pihak-pihak yang terkait. Dan strategi kelima dari strategi
manajemen konflik yaitu contending. Contending juga disebut competing atau
dominating, sehingga contending dapat dipahami sebagai strategi bertanding atau
strategi menang sendiri. Dan penulis menjadikan strategi contending sebagai salah
satu landasan konspetual yang digunakan untuk menganalisa studi kasus yang
dijadikan rumusan masalah.
5
Contennding juga disebut
d
com
mpeting atau dominatingg, sehingga contending
c
ddapat dipahaami sebagai strategi berrtanding atauu strategi m
menang sendiiri. Strategi
iini merupakkan salah satuu dari lima strategi
s
utam
ma manajem
men konflik, dan berada
ddi sudut kaanan bawah. Pihak yanng menggunnakan strateegi ini bertu
ujan untuk
m
mengejar haasil mereka sendiri
s
dan hanya
h
menunnjukkan seddikit perhatiaan terhadap
ppihak lain untuk
u
mempperoleh hassil yang diinnginkannya.. Seringkali pengguna
sstrategi ini menggunaka
m
an kekuasaann formal atauu kekuasaann lain yang dimilikinya
d
uuntuk memenuhi tujuannnya tanpa memperhattikan keprihhatinan pihaak lainnya,
ssehingga menyebabkan
m
n strategi ini bertentaangan denggan strategii yielding.
S
Sebagaiman
na yang dikaatakan oleh Dean Pruittt dan Jefreyy Rubin, baahwa pihak
yyang meng
gunakan straategi ini akan
a
mempeertahankan aspirasi mereka
m
dan
m
mencoba meembujuk pihhak lain untuuk menyerahh. (Pruitt dann Rubin 1986
6) Didalam
sstrategi ini terdapat
t
beberapa taktik perdebatan yang seringg digunakan oleh pihak
yyang berneegoisasi, anttara lain: threats
t
(anccaman), haarrasment (ggangguan),
ppositional ccommitmentss4, persuasivve argumennts, hingga time pressuure. Semua
tteknik terseebut memiliki tujuan untuk
u
membbujuk pihak lain untuk
k membuat
kkonsesi atauu menolak uppaya serupa dari pihak laain.
Grafik 1.1 The
T Dual Con
ncerns Modeel
4
Threat merupakan salah saatu taktik dalaam strategi contending beru
upa ancaman kepada
k
pihak
lain apabila tuntutannya
t
tid
dak diterima oleh
o pihak lain. Harrasment m
merupakan salaah satu taktik
contending yang
y
berupa gangguan,
g
dan
n gangguan teersebut akan b
berhenti/dihen
ntikan ketika
pihak yang menjadi objeek, menerimaa tuntutan pihak pertama.. Positional commitments
c
s
satu taktik contending yang berupa pernyataan
p
yan
ng menekankan pada suatu
merupakan salah
tawaran terttentu yang sering digabungkkan dengan anccaman untuk m
memutuskan negosiasi
n
jika
pihak lain tid
dak menerima tawaran
t
ini.
6
Tidak mengherankan, jika penggunaan taktik perdebatan yang tidak
seimbang tersebut berdampak pada menjadi besarnya peluang tercapainya
kesepakatan yang mengarah kepengguna strategi contending. Kesepakatan seperti
itu dapat menjadi Pyrrhic victories5 dalam situasi adanya potensi integratif, karena
taktik dalam strategi contending sering menyebabkan rendahnya keuntungan
bersama dan ketika batas yang ditetapkan tinggi, akan menyebabkan kegagalan
dalam memperaih kesepakatan. Strategi contending menciptakan kekakuan
pemikiran yang inkompatibel dengan kreativitas sehingga strategi ini membuat
pihak yang menggunakannya enggan untuk mencari atau menemukan pilihan
baru.
Penggunaan taktik dalam strategi ini bisa menjadi problematis ketika taktik
mereka juga digunakan oleh pihak lain -ketika threats menimbulkan counterthreats atau terjadi harrasment yang berbalas. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan bahwa kondisi imitasi maupun resiprokal tersebut dapat dikaitkan
dengan kegagalan untuk mencapai kesepakatan didalam suatu negosiasi serta
memperlemah relasi jangka panjang diantara para pihak yang bernegosiasi. Satu
alasan mengenai hal tersebut adalah bahwa adanya imitasi taktik dapat
menyebabkan eskalasi spiral, dimana masing-masing pihak membalas taktik
berdebat terbaru dari pihak yang lain, yang menyebabkan bertumbuhnya rasa
permusuhan diantara para pihak.
Meskipun memiliki kekurangan, strategi contending terkadang berguna
sebagai prekursor dalam hubungannya terhadap pemecahan masalah. Berbagai
taktik yang digunakan dalam strategi ini dapat membawa musuh yang sebelumnya
enggan bernegosiasi menjadi ingin bernegoisasi atau dapat juga mengurangi
tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak ketingkat yang realistis yang
memungkinkan adanya penemuan solusi. Selain itu dengan strategi ini juga dapat
membantu meyakinkan lawan bahwa taktik yang pihak lawan gunakan tidak
5
Pyrrhic victory merupakan kemenangan yang diraih namun menghasilkan dampak yang jauh
lebih merugikan dikemudian hari. Contoh: Perang Anglo-Zulu 1879 (Battle of Isandlwana),
22.000 prajurit Zulu, yang merupakan 55% populasi pria di wilayah Zulu, berhasil mengalahkan
1400 tentara Inggris. Walaupun berhasil mengalahkan pasukan Inggris tetapi 4000 pria prajurit
Zulu atau sekitar 10% populasi pria di Zulu menghilang dan terluka parah. (Knight 1996)
7
mungkin berhasil, sehingga mendorong mereka untuk beralih ke problem solving.
Strategi contending terkadang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan win-win agreements dengan mempertajam pemahaman tentang
perhatian utama pengguna mereka. Ini telah ditunjukkan oleh Linda Putnam dan
Steven Wilson dalam kasus ancaman Amerika Serikat terhadap Uni Soviet selama
Krisis Berlin kedua.6 Namun, hal ini hanya mungkin terjadi jika eskalasi spiral
tidak terjadi dan yang terjadi adalah pemecahan masalah.
1.3.2 Time Pressure 7
Terdapat banyak jenis taktik dalam strategi contending dan sesungguhnya
yang paling kuat dalam mempengaruhi pembuatan konsesi yaitu yang dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk mendorong pihak lain untuk mengakui.
Misalnya, time pressure atau tekanan waktu , dapat mendorong adanya pembuatan
konsesi. Time pressure itu sendiri merupakan suatu tekanan yang disebabkan oleh
adanya batasan waktu tertentu dalam suatu negosiasi. Oleh karena itu memberikan
time pressure pada pihak lain bisa menjadi taktik yang digunakan dalam
contending. Waktu menjadi salah satu variabel penting dalam bernegosiasi, selain
informasi dan kekuatan. Waktu dapat bersifat menentukan bagi keberhasilan
untuk meraih suatu kesepakatan karena demands (tuntutan) dan konsesi dalam
suatu negosiasi juga dipengaruhi oleh tekanan waktu. Banyak kondisi yang dapat
menyebabkan munculnya time pressure, menurut Peter Carnevale dan Edward
Lawler :
Salah satu faktornya adalah biaya negosiasi lanjutan, seperti waktu yang hilang dari
pencarian alternatif lain, atau ketika barang yang sedang dinegosiasikan mulai
memburuk kondisinya (misalnya, buah yang mulai membusuk). Time pressure
merupakan hasil dari sedikitnya alokasi waktu yang ditetapkan untuk bernegosiasi
6
Ilustrasi yang dijadikan contoh adalah pesan mengancam yang dikirim oleh John F.Kennedy
kepada Uni Soviet pada Krisis Berlin kedua pada tahun 1961. Pesan berisi komitmen Amerika
Serikat untuk mempertahankan fokus utama mereka, melanjutkan kehadiran Sekutu di Berlin
Barat. Pesan tersebut didukung dengan peningkatan kehadiran militer. Meskipun demikian,
ancaman tersebut diikuti dengan keberhasilan negosiasi dengan Uni Soviet, walaupun
keberhasilan negosiasi tersebut sebagian dikarenakan ditambahkannya insentif bagi Uni Soviet
sebagai ganti sikap kooperatif mereka dalam menyelesaikan konflik. (Pruitt dan Carnevale,
Negotiation In Social Conflict 1993)
7
Op.,Cit, hal. 59-60.
8
atau sedikitnya waktu karena telah berdekatan dengan deadline. Beberapa contoh
nyata dari deadline yang menghasilkan time pressure, antara lain: kontrak yang
akan berakhir pada tengah malam, adanya pembeli lain yang akan segera
melakukan penawaran, dan titik kompromi yang tidak dapat tercapai. Selain itu,
pihak ketiga juga sering menggunakan deadline sebagai taktik untuk mempercepat
terjadinya kompromi... Untuk beberapa hal, semua perundingan melibatkan waktu
jeda dari tujuan-tujuan lain dan tekanan waktu hampir selalu meningkat ketika
negosiasi dilanjutkan, terutama ketika para negosiator, menjadi lelah atau frustrasi.
Penggunaan time pressure memiliki efek yang signifikan dalam suatu
negosiasi. Dalam beberapa studi telah menunjukkan bahwa adanya batasan waktu
tertentu dapat menghasilkan tuntutan yang lebih rendah, dan konsesi lebih cepat.
Sehingga muncul juga time pressure yang dapat didefinisikan sebagai keinginan
untuk mencapai kesepakatan dengan cepat. (Carnevale dan McCusker 1993)
Dalam studinya, Gary Yukl menunjukkan bahwa adanya kemungkinan bahwa
tekanan waktu merupakan mekanisme untuk mengurangi tingkat permintaan
sehingga dapat menghasilkan kesepakatan yang kurang ambisius. Tekanan waktu
juga berinteraksi dengan batas, didalam batas tersebut memiliki dampak lebih
besar pada tuntutan jika berada dibawah tekanan waktu yang lebih besar. Hal ini
mungkin karena dibawah tekanan waktu yang lebih besar, batas dan tuntutan lebih
dekat satu sama lain.
Harold Kelley dkk. menunjukkan bahwa batasan waktu bukannya
memperlambat tetapi justru mempercepat konsesi. Secara tersirat hal tersebut
menjelaskan, meskipun dibawah tekanan waktu yang tinggi (high time pressure),
para perunding akan sama-sama enggan bernegosiasi sama ketika mereka dalam
kondisi tekanan waktu yang rendah (low time pressure). Namun mereka
merasakan urgensi yang lebih besar untuk mempercepat terjadinya konsesi saat
berada dalam kondisi tekanan waktu yang tinggi. Walaupun mempercepat
konsesi, biasanya hasil konsesi dalam kondisi tekanan waktu yang tinggi sering
bersifat ambivalen. Namun tekanan waktu bisa menjadi taktik yang berguna jika
itu diterapkan secara sepihak pada pihak lain. Misalnya, negosiator berurusan
dengan pihak yang berasal dari luar kota, mungkin negosiator dapat menunda
perjanjian hingga Jumat siang. Hal ini akan menempatkan tekanan waktu pada
9
semua tamu yang ingin kembali pada akhir pekan, sehingga memotivasi mereka
untuk membuat membuat kesepakatan atau konsesi tanpa mempertimbangkannya.
Menurut Carnevale dan Lawler, time pressure memiliki efek yang berbeda
dari variabel penting lainnya. Beberapa hal diatas menjadi bukti bahwa taktik ini,
mendorong kedua pihak untuk menghasilkan konsesi maupun keputusan dan
meningkatkan kemungkinan penggunaan taktik contending lainnya. Ini mungkin
dikarenakan efek dasar tekanan waktu adalah untuk mengurangi terjadinya
inaction, dan untuk meningkatkan pentingnya mengambil tindakan untuk
bergerak ke arah kesepakatan. Pembuatan konsesi adalah salah satu bentuk
tindakan yang dapat diambil, munculnya contending adalah bentuk lainnya, oleh
karena itu, tekanan waktu dapat menghasilkan kedua reaksi tersebut.
Ada juga bukti bahwa time pressure dapat mengurangi kemungkinan
mencapai win-win agreements. Terdapat dua alasan yang mungkin untuk ini.
Pembuatan konsesi dan contending, yang merupakan dua hasil dari time pressure,
keduanya bertentangan dengan perkembangan win-win agreements. Selain itu,
biasanya membutuhkan waktu
mengumpulkan
informasi
dan
untuk
menemukan
mencoba
berbagai
solusi baru, dengan
kesepakatan
yang
memungkinkan. Dan time pressure membuat sulit untuk melakukan hal-hal
tersebut.
10
1.3.3 Persuasive Arguments 8
Persuasive arguments (juga disebut informational influence) menyoroti
kapasitas argumen-argumen baru untuk mengubah pendapat seseorang. (Burnstein
dan Vinokur 1977) Seperti yang diutarakan oleh Daniel Gigone dan Reid Hastie
bahwa teori ini mengasumsikan bahwa pada awal negosiasi, akan keluar berbagai
sudut pandang dari para pihak. Karena hal tersebut, maka orang akan mendengar
argumen-argumen baru yang memberikan dukungan bagi sudut pandang mereka
sendiri dan ini akan dianggap sebagai bukti lebih lanjut untuk mendukung posisi
mereka. Namun target bukanlah “lembaran kosong”. Setiap orang hadir dalam
suatu situasi dengan sikap dan tendensi tertentu sebelumnya, yang akan
mempengaruhi keterbukaannya terhadap informasi baru. Walaupun anggota
kelompok memasuki diskusi dengan menyadari adanya satu set informasi atau
argumen mendukung yang telah mereka bawa, namun mereka akan memiliki
tendensi ke sisi yang menawarkan informasi dengan jumlah besar dan hal tersebut
akan mendorong mereka untuk mengambil posisi yang lebih kuat, memimpin,
atau secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya
polarisasi.
Persuasive arguments terjadi dengan proses sebagai berikut; ketika di awal
jalannya diskusi, setiap pihak masing-masing menyimpan pendapat atau argumen
masing-masing. Seiring dengan jalannya diskusi, setiap pihak membagi pendapat
ke masing-masing anggota diskusi. Dari proses share of arguments inilah terjadi
“pencerahan” bagi masing-masing anggota diskusi, dan oleh karenanya tercipta
polarisasi dimana para pihak cenderung berkelompok sesuai dengan pendapat
mereka yang paralel. (Burnstein dan Vinokur 1977)
Masing-masing orang memiliki taktik persuasif yang spesifik, yang akan
hampir selalu bervariasi dalam berbagai kesempatan, bagaimanapun terdapat
pedoman umum yang akan berlaku untuk berbagai situasi persuasi, baik secara
tertulis maupun lisan. Tidak semua prinsip yang disebutkan dibawah wajib
digunakan, ataupun beberapa prinsip yang disebutkan merupakan rangkaian wajib
8
W.S. Rogers., 2003, Social Psychology: Experimental and Critical Approaches.Maidenhead: Open
University Press, hal.283-284.
11
dalam upaya persuasi, akan tetapi acuan-acuan prinsip ini akan membuat upaya
persuasi lebih sukses (Berkowitz 2013):
Mengetahui fakta atau bukti yang diperlukan, atau, lebih baik lagi,
kuasai fakta/bukti tersebut diluar kepala atau simpan daftar bukti tersebut sedekat
mungkin dengan Anda. Sertakan dengan kemampuan penyampaian kepada
audiens dengan cara yang tidak keras kepala, akan tetapi juga tidak terlalu
merendahkan diri. Kemampuan mengkomunikasikan dan mengorganisir hasil riset
dari bukti atau fakta terkait merupakan langkah kunci untuk memberi landasan
dalam upaya persuasi.
Mengutamakan kesamaan atau kongruensi antara anda dengan pihak
lain. Penekanan terhadap kesamaan/komonalitas nilai, kepercayaan, pengalaman
maupun kepentingan akan meningkatkan daya tawar persuasi ke pihak lain.
Mengutip pendapat ahli/tokoh yang terkenal di bidangnya. Pengutipan
opini-opini ahli atau pemimpin-pemimpin tertentu dapat meyakinkan pihak lain
akan pentingnya klausa yang dibawa saat negosiasi. Orang-orang tertentu, seperti
orang terpandang dalam komunitas Anda dapat meyakinkan pihak lain akan dan
menjadi bahan pertimbangan penting bagi pihak lain dalam menentukan
keputusan.
Para pemimpin disini seperti menteri, politisi, eksekutif bisnis, kolumnis
surat kabar, kepala sekolah, direktur suatu lembaga, presiden klub, aktivis
lingkungan, dll. Siapa pun mereka, mereka dapat mempengaruhi audiens Anda
lebih baik dari yang Anda lakukan.
Mengantisipasi akan kemungkinan adanya counter-argument yang bisa
mempengaruhi pendapat pihak lain. Ini sering menjadi cara terbaik untuk
mengantisipasi dan membantah argumen tentangan diawal pembicaraan, kecuali
Anda yakin bahwa audiens Anda tidak akan pernah mendengar sudut pandang
lain, atau ada kemungkinan sangat sedikit perlawanan atau oposisi. Sebagai
contoh:
12
"Lawan kita akan mengatakan ini, itu, dan lainnya, tetapi kalian dan saya tahu
betul bahwa ..."
"Sekarang saya mengerti bahwa Anda mungkin berpikir seperti ini dan itu, saya
pun pernah berpikir seperti itu. Tapi setelah beberapa saat, saya menyadari bahwa ...."
Berterima kasih kepada target, disaat komitmen yang diinginkan telah
dicapai, contoh: "Itu bagus! Kami benar-benar menghargai itu!", dll, maupun jika
tidak ada komitmen yang dibuat, Anda tetap berterima kasih kepada target karena
telah mendengarkan, dan memberikan perhatian selama perdebatan berlangsung.
Persetujuan secara lisan, bahkan 'terima kasih', dapat memperkuat kemungkinan
akan adanya komitmen yang lebih baik yang dapat dihasilkan dan tindakan akan
diambil di masa mendatang.
13
1.4 Hipotesa
Dalam upaya untuk meloloskan undang-undang anti-terorisme yang menuai
pro kontra dari beberapa lapisan masyarakat Australia, saat proses formulasi
undang-undang tersebut, ketika mendiskusikan dengan anggota parlemen lainnya
Pemerintahan John Howard menerapkan strategi contending. Hal ini dapat dilihat
dari aktivitas yang mereka tunjukkan selama pembahasan undang-undang. Mereka
memaksakan tercapainya tujuan yang mereka inginkan terhadap anggota lainnya
daripada berusaha untuk memecahkan masalah yang timbul, yaitu pelangaran
HAM. Strategi yang mereka gunakan juga didukung dengan taktik-taktik yang
memiliki karakter kompetitif. Mereka menggunakan taktik time pressure
persuasive arguments.
Taktik time pressure dihadirkan oleh pemerintah dalam bentuk alokasi
waktu yang pendek dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) dan
penerapan the guillotine sehingga mempersempit waktu diskusi atau tinjauan di
parlemen agar tidak banyak perubahan yang terjadi pada RUU yang diajukan
sedangkan untuk mendukung taktik time pressure, Pemerintah Australia juga
menggunakan persuasive arguments. Dengan taktik persuasive arguments
pemerintah mencoba untuk mempengaruhi pemikiran para anggota parlemen
lainnya bahwa terciptanya undang-undang ini diperlukan untuk memperkuat
keamanan nasional, seperti yang dikatakan oleh John Howard bahwa adanya
perubahan undang-undang memastikan bahwa Australia tetap berada pada garis
depan dalam usaha melawan ancaman global terorisme sehingga posisi mereka
dalam memberikan ketenangan pikiran kepada masyarakat Australia menjadi
lebih kuat dan lebih baik. (Harris-Simmer 2005) Hal tersebut ditambahkan pula
oleh Jaksa Agung Philip Ruddock, yang mengatakan bahwa dengan adanya proses
pembuatan undang-undang anti-terorisme memastikan Australia berada dalam
posisi terkuat untuk mencegah kemungkinan ancaman baru atau yang telah ada
dalam menghentikan usaha para teroris melakukan tindakan yang mereka
inginkan. (Australian Broadcasting Corporation 2005).
14
1.5 Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode studi literatur sebagai
basis analisa. Hal ini kemudian ditunjang dengan pengumpulan data dengan
sumber para ahli dalam pengembangan analisis mengenai strategi pelolosan
undang-undang terorisme, sehingga penulisan hasil penelitian dapat menggunakan
basis analisa yang komprehensif baik dari segi data maupun segi analisa kualitatif.
Penulisan ini akan memaparkan beberapa data, antara lain:
a. Bagian Rancangan Undang-Undang Anti-Terorisme 2005
b. Bagian Rancangan Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005
c. Bagian Undang-Undang Anti-Terorisme 2005
d. Bagian Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005
e. Debat parlemen mengenai Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005
f. Istilah dalam bidang legislatif Australia
Data-data tersebut menjadi rujukan dalam melihat strategi pelolosan
undang-undang anti-terorisme. Sementara kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap para pihak yang terkait dalam pembuatan undang-undang
menjadi salah satu pengembangan analisa dalam proses pelolosan undang-undang.
15
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
b. Rumusan Masalah
c. Landasan Konseptual
d. Hipotesa
e. Metode Penelitian
f. Sistematika Penulisan
BAB II
PELOLOSAN UNDANG-UNDANG ANTI-TERORISME 2005
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal yang terkait dengan
prosedur pembuatan undang-undang di Australia. Pembahasan akan diawali
dengan penjelasan singkat pembuatan undang-undang di Australia. Kemudian
disertai penjelasan mengenai proses pembahasan RUU yang dilakukan di
parlemen baik House of Representatives maupun Senat secara umum. Untuk
menambah detil informasi terkait proses pembahasan RUU di Australia maka juga
akan dipaparkan informasi mengenai komposisi parlemen Australia dan
pentingnya faktor komposisi tersebut dalam proses pelolosan RUU. Pemaparan
secara ringkas mengenai penggunaan taktik time pressure dan persuasive
arguments pada proses pelolosan RUU terdahulu akan disertakan sebagai bukti
bahwa taktik tersebut cukup sering digunakan didalam parlemen Australia. Pada
bagian akhir dari bab ini akan dijelaskan mengenai Undang-Undang AntiTerorisme 2005 dan Undang-Undang Anti-Terorisme (No.2) 2005. Didalamnya
akan dipaparkan mengenai waktu pembuatan beserta momen-momen penting
dalam pembuatan undang-undang tersebut. Agar mengetahui bagaimana strategi
contending digunakan dalam proses pelolosan RUU dapat diketahui berdasarkan
berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak-pihak yang
terkait dalam dinamika proses pembuatan undang-undang.
16
BAB III
TIME PRESSURE SEBAGAI TAKTIK PELOLOSAN UNDANG-UNDANG
ANTI-TERORISME 2005
Untuk mengelaborasi analisis mengenai strategi yang digunakan agar lebih
mendalam, maka berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah akan
dijelaskan berdasarkan taktik yang digunakan, seperti time pressure dan
persuasive arguments. Analisis yang lebih mendalam mengenai taktik-taktik
tersebut menjadi pijakan dalam menjelaskan strategi pelolosan undang-undang
anti terorisme. Taktik time pressure menjelaskan bahwa pendeknya rentang waktu
didalam proses pembuatan undang-undang menjadi suatu penekan bagi pihak
oposisi, khususnya Partai Buruh. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai
penggunaan time pressure saat pembahasan RUU beserta alasan mengapa mereka
memberikan batasan waktu tersebut dan diakhir pembahasan bab ini akan
dijelaskan mengapa dengan waktu yang sempit Partai Buruh menjadi berada
dalam kondisi tertekan.
BAB IV
PERSUASIVE ARGUMENTS SEBAGAI TAKTIK PELOLOSAN UNDANGUNDANG ANTI-TERORISME 2005
Persuasive arguments menjelaskan kuatnya berbagai argumen yang
dikemukakan oleh pemerintah untuk mengubah pemikiran berbagai pihak oposisi.
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai argumen utama dari koalisi pemerintah
dan pihak oposisi terkait RUU Anti-Terorisme 2005 karena dari argumen utama
tersebut pemerintah mendapatkan keuntungan dalam pembahasan RUU. Untuk
mengetahui adanya penggunaan persuasive arguments saat pembahasan RUU
maka identifikasi beberapa agumen dari pemerintah akan disertakan didalam bab
ini. Dibagian akhir bab ini terdapat analisis mengenai keuntungan yang didapat
oleh pemerintah dari argumen-argumen persuasif yang mereka sampaikan.
BAB V
KESIMPULAN
17
Download