sumbangsih paulo freire bagi pendidikan kristen di indonesia

advertisement
 ISSN : 2540-­‐‑9557 Volume 1-­‐ Nomor 2-­‐September 2016 SUMBANGSIH PAULO FREIRE
BAGI PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA
Noh Ibrahim Boiliu
[email protected]
Universitas Kristen Indonesia
ABSTRAK : Freire melalui Pedagogy of the Opprassed memandang bahwa pedagogi kaum tertindas
haruslah pedagogi yang memanusiakan dan membebaskan. Pedagogi yang memanusiakan dan membebaskan,
bersifat transformatif dan permanen. “Problem Posing Method” (PPM), merupakan metode pendidikan
yang tidak “menindas” dan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan realitas. PPM didasarkan atas
asumsi, manusia sebagai sebuah kesadaran ‘ada’ dan kesadaran sebagai kesadaran dalam dunia. Juga,
menegaskan manusia sebagai ‘ada’ atau keberadaan dalam porses menjadi-sebagai yang belum selesai atau
finish, “keberadaannya sebagai yang belum sempurna dalam dan dengan sebagaimana ketakberakhiran
realitas”. Pendidikan “yang berhadapan-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire,
lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam
pendidikan problem possing.
Kata Kunci : Sumbangsih Paulo Freire, Pendidikan Kristen
ABSTRACT : Freire through Pedagogy of the Opprassed considers that the pedagogy of the oppressed must
be humanizing and liberating pedagogy. The humanizing and liberating pedagogy is transformative and
permanent. "Problem Posing Method" (PPM), is an educational method that is not "oppressive" and aims to
raise awareness of reality. PPM is based on assumption, human being as an 'existent' consciousness and
awareness as consciousness in the world. Also, affirming man as 'existence' or existence in the unfinishedfinished paradigm or finish, "its existence as imperfect in and with as in the end of reality". The "problemfacing" education as an alternative education offered by Freire, is born from its conception of man. Human
beings themselves are used as a starting point in the education problem possing
Keywords : Contribution of Paulo Freire, Christian Religious Education in Indonesian Context
PENDAHULUAN
Paulo Regulus Neves Freire lahir pada tanggal 19 September 1921, di kota
1
1
https://www.google.co.id/#q=biography of Paulo freire. pelabuhan Recife, ibukota negara bagian Pernambuco di utara-timur laut Brasil, salah satu
daerah termiskin di negeri ini. Freire adalah bungsu dari empat bersaudara yang lahir dari
keluarga kelas menengah. Ayahnya, Joaquin Themistokles Freire, dari Rio Grande de
Notre, adalah seorang perwira polisi militer Pernambuco. Freire menggambarkan dia
sebagai "contoh hidup dari kualitas manusia dari kemurahan hati, solidaritas, dan
kerendahan hati, tanpa pengorbanan untuk martabatnya". Dia menulis bahwa ayahnya
adalah seorang "spiritualis," tapi itu ibunya, Edeltrudis Veves Freire, "Katolik, manis, baik,
adil," yang merupakan pengaruh agama utama dalam keluarga. Catatan Freire memori ini
menunjukkan bahwa ide kodifikasi untuk menggantikan metode tradisional pembelajaran
huruf, kata dan kalimat berakar pada pengetahuan eksistensial realitas pribadi dan
sosialnya pada usia dini, wawasan yang akan menjadi landasan filosofis nya metodologi
pedagogis.
Ayah Freire menderita kondisi jantung yang ditekan dia ke pensiun dini. Dengan krisis
ekonomi global tahun 1929, "stabilitas genting" dari keluarga kelas menengah Freire
akhirnya memberi jalan dan Freire menemukan dirinya.
Keluarga meninggalkan Recife dan menetap di dekat Jaboatao di mana Freire
menghabiskan bagian akhir dari masa kecilnya dan awal remaja. Ayah Freire meninggal di
Jaboatao pada tahun 1934 dan ibunya berjuang seorang diri. Pengalaman-pengalaman
awal kemiskinan menyebabkan Freire untuk menemukan "budaya diam" orang miskin
yang bodoh. Ia berpendapat, adalah produk dari dominasi ekonomi, sosial dan politik. Ia
kemudian menulis Pedagogi Kaum Tertindas.
Meskipun keluarga mengalami kesulitan keuangan, ibu Paulo bertekad bahwa
anaknya harus dididik dengan baik. Dia meyakinkan direktur Oswaldo Cruz SMA swasta,
Aluizio Pessoa de Araujo, untuk menerima Paulo sebagai mahasiswa beasiswa. Dan Freire
kembali ke Recife untuk sekolah tinggi. Freire ingat bahwa dia adalah seorang remaja
canggung tapi cerdas yang berasal dari pinggiran kota untuk membuat jalan bagi anak
laki-laki. Meskipun ia mengakui bahwa ia merasa sulit untuk beradaptasi dengan
lingkungan barunya.
Paulo Freire (1921-1997 ) dianggap sebagai salah satu pendidik yang paling
2
berpengaruh pada abad ke-20. Pedagogi Freire adalah identik dengan pedagogi kritis,
2 Paulo Freire. Pendidikan Pembebasan, perubahan sosial. Terjemahan, Mien Joebhaar, (Jakarta: PT Sangkala Pulsar, 1984), 33-­‐‑50. Dapat dibandingkan juga dengan buku Freire lainnya, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan, (Jakarta: Gramedia, 1984), 32-­‐‑69. 2 keaksaraan kritis, pedagogi dialogis dan pembelajaran praksis. Ini telah memberikan
kontribusi terhadap pengembangan pendidikan populer, penelitian partisipatif-tindakan
dan teori belajar transformatif. Mengingat kontribusi Freire untuk pendidikan orang
dewasa, cukup mengejutkan bahwa sketsa biografis Freire dalam bahasa Inggris tetap
tidak lengkap. Tidak adanya informasi yang akurat memperkuat mistik Freire.
pembacanya mengikuti Freire - filsuf, penulis, pendidik dan aktivis sosial karena ia terlibat
dalam penyadaran sendiri.
Freire berjuang untuk mereformasi lembaga yang mempromosikan pendidikan
perbankan, mempersempit kesenjangan antara teori dan praktek dalam praksis
pendekatan untuk transformasi sosial, berpartisipasi dalam pembangunan kembali
negara-negara berkembang dari pos-kolonialisme dan revolusi, dan mengintegrasikan
pengalaman hidup epiphanic ke kepribadian dan pedagogi nya. Dibesarkan di sebuah
rumah Katolik Roma, Freire menegaskan bahwa ia tidak pernah meninggalkan imannya
meskipun pengaruh kuat dari filsafat Marxis dalam tulisannya. Jarang disebutkan dalam
biografi adalah partisipasinya dalam gerakan aksi Katolik dan pengaruh Latin teolog
pembebasan Amerika dalam pengembangan ide-idenya. Empat pengalaman tertentu
membentuk perkembangan manusia dan pedagoginya: kemiskinan anak, ditinggalkannya
karir hukum, "tunawisma" di pengasingan dan kemudian kembalinya "untuk mempelajari
kembali" negaranya, Brasil. Desakan Freire bahwa pedagoginya bukanlah sistem atau
metode tetapi suatu pendekatan yang pendidik harus "menciptakan lagi" dalam setiap
konteks menopang kedua mistik Freire dan dialog di antara para sarjana dan praktisi yang
terus menemukan wawasan baru dari pedagogi yang tetap dinamis lama setelah kematian
Freire.
Freire: Gerakan Pendidikan Populer dan Program Nasional Pemberantasan Buta Huruf
3
Upaya Freire untuk membangun dialektika antara teori dan praktek memuncak
dalam partisipasinya dalam gerakan pendidikan populer tahun 1960-an, terutama Gerakan
Kebudayaan Populer (MCP) di Recife yang ia dirikan. Freire juga mengkampanyekan
gerakan nasional pemberantasan buta huruf. Karena Brasil Electoral College membatasi
hak untuk memilih untuk orang dewasa melek huruf, kampanye keaksaraan Freire adalah
politik yang progresif. Ketika teman Freire, Paulo de Tarso menjadi Menteri Pendidikan,
3
Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, 47-­‐‑58. 3 Freire diundang untuk mengadakan kampanye keaksaraan nasional. De Tarso telah
menjadi pembaharu liberal dan anggota dari kelompok aksi Katolik. Tapi pertanyaannya
tetap, bisa Freire menghindari perangkap menerapkan Rencana Nasional Literacy Training
(1963) dalam sistem pendidikan yang dikelola Negara.
Program Keaksaraan Nasional secara resmi dimulai pada tanggal 21 Januari 1964.
Hal itu dibatalkan hanya tiga bulan kemudian (14 April, 1964) oleh pemerintah militer
setelah kudeta 31 Maret 1964, digulingkan pemerintah Joao Belchior Goulart dan
dikenakan aturan militer yang berlangsung lebih dari 20 tahun. Dia ditangkap dua kali
dan dipenjarakan di Olinda dan Recife selama 70 hari atas tuduhan "kegiatan subversif."
Meskipun Freire tidak disiksa, dipenjara ia memiliki dampak abadi pada komitmennya
untuk pembebasan kaum tertindas.
Setelah dari pengasingan, ia mencari perlindungan di kedutaan Bolivia di Rio de
Janeiro. Ia berumur pendek. Ketinggian dari La Paz mempengaruhi kesehatan Freire (dia
adalah seorang perokok berat) dan, dalam waktu dua bulan dari kedatangan keluarga,
ketidakstabilan politik Bolivia berkobar menjadi kudeta militer. Freire meninggalkan
Bolivia untuk ke Chile di mana ia diberikan suaka politik. Freire dan keluarganya tetap di
Chili dari November 1964-1969.
PEMBAHASAN
Pemikiran Paulo Freire dan Sumbangsih bagi Pendidikan di Indonesia
Setiap pembaca yang membaca buku, “Pendidikan, Pembebasan, Perubahan
Sosial”, dan buku “Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan”, akan menyadari pemikiran
Freire yang kental dengan berbagai pemikiran filsafat dari berbagai filsuf. Terutama, Anda
akan merasakan “getaran jiwa” Freire yang tertuang dalam bukunya; Anda akan
merasakan kerasnya kritik yang dilontarkannya; kegeramannya terasa dalam tulisannya.
Dalam kritik yang dilontarkan Freire, Freire menempatkan manusia sebagai titik
tolak pemikiran filsafatinya. Maka, bagi saya, Freire adalah seorang filsuf dengan filsafat
manusianya, filsafat eksistensialisnya, filsafat fenomenologisnya, dan seorang humanis.
Freire adalah seorang pemikir dengan tingkat spiritual yang mendalam. Spiritualitas Freire
tidak tertangkap melalui waktu yang dihabiskan untuk berdoa atau bermeditasi.
Melainkan spiritualitas itu tertangkap dalam pikiran dan filsafatnya, yakni dengan
menempatkan manusia sebagai titik pangkal pemikiran filsafatinya. Seberguna apakah
pemikiran seseorang adalah diukur dari bagaimana manusia dipandang dan diletakan.
4 Apakah manusia menjadi titik tolak dalam berpikir sehingga akhir dari berpikirnya adalah
memanusiakan manusia. Inilah yang dilakukan Freire. Maka dalam konteks pendidikan,
konsep pendidikan Freire adalah pendidikan humanis.
Pokok pikiran pendidikan humanis menjadi hal yang diperjuangkan Freire
sepanjang kariernya. Pokok-pokok pikiran yang dijumpai dalam kedua buku yang dibaca
menegaskan pokok pikiran filsafati dan perjuangan Freire, baik banking concept education,
possing
concept
education,
pendidikan
pembebasan,
dll,
tentang
manusia
dan
memanusiakannya. Bahkan pendidikan menjadi jalan dalam memanusiakan manusia.
Meski pendidikan itu sendiri telah dipolitisasi dan dimonopoli oleh kaum penindas. Kaum
penindas merasionalisaskan tindakan menindasnya, “dengan cara memperlakukan kaum
tertindas dengan sikap paternalistik…”.
4
Sumbangsih Pemikiran Paulo Freire bagi Pendidikan di Indonesia
Ada beberapa hal yang menjadi pokok pemikiran kritis Freire terhadap pendidikan
di Brasil. Pemikiran Freire memang telah dipublikasikan dalam berbedagai bahasa, yang
ditulis oleh Freire sendiri maupun tulisan-tulisan tentang Freire dan pemikiran pendidikan
pembebasannya.
1. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan “Gaya Bank” (Banking Concept of EducationBCE)
5
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di Brazilia pada masa Freire, anak didik
tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang
seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak
isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya.
Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid/nara didik hanya
menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah
obyek dan bukan subyek. Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire
sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses
belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara didik, tetapi
memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian
akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Nara didik adalah pengumpul
4
5
Paulo Freire. Pendidikan Pembebasan, Perubahan Sosial, 8-­‐‑9. Freire. Pendidikan Pembebasan, Perubahan Sosial, xvii-­‐‑xviii. 5 dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang
“disimpan” sebab miskinnya daya cipta.
Dalam karyanya “Pedagogia do oprimido” (1970); serta buku yang membuatnya
termashur, “Pedagogy of the Oppressed”, yang terbit tahun 1972, Freire membongkar watak
pasif dari praktek pendidikan tradisional yang melanda dunia pendidikan. Dia
menganggap bahwa pendidikan pasif sebagaimana dipraktekan pada umumnya pada
dasarnya adalah melanggengkan sistim relasi “penindasan”. Freire mengejek sistem dan
praktek pendidikan yang menindas tersebut, yang disebutnya sebagai pendidikan “gaya
bank” dimana guru bertindak sebagai penabung yang menabung informasi sementara
murid dijejali informasi untuk disimpan. Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan
“gaya bank” itu sebagai berikut: (1) guru mengajar, murid belajar; (2) guru tahu segalanya,
murid tidak tahu apa-apa; (3) guru berpikir, murid dipikirkan; (4) guru bicara, murid
mendengarkan; (5) guru mengatur, murid diatur; (6) guru memilih dan memaksakan
pilihannya, murid menuruti; (7) guru bertindak, murid membayangkan bagaimana
bertindak sesuai dengan tindakan gurunya; (8) guru memilih apa yang akan diajarkan,
murid menyesuaikan diri; (9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan
wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan muridmurid; (10) guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam
melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia. Pendidikan “gaya bank” itu
ditolak dengan tegas oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya
tentang manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai mahluk pasif yang
tidak
perlu
membuat
pilihan-pilihan
atas
tanggung
jawab
pribadi
mengenai
pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan,
sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi
juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan
manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia tidak hanya bereaksi secara
refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum
melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara
reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi
yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka ia
menawarkan sistem pendidikan alternatif sebagai pengganti pendidikan “gaya bank”
yang ditolaknya. Sistem pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan
6 “hadap-masalah”.
Bagaimana
memahami
Banking
Concept
Education
(BCE)
sebagai
filsafat
pendidikan Freire dengan penindasan?. Freire mengecam metode belajar mengajar yang
sering dijumpainya di dalam kelas-kelas yang ia sebut sebagai “banking concept of
education” (BCE). BCE inilah yang menurutnya telah menjadi alat untuk “menindas”
kesadaran akan realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan
menerima begitu saja keberadaannya. Freire dalam Pramudya, bahwa “secara mendasar
apa yang terjadi pada BCE adalah, “Education thus become an act of depositing, in which the
students are depositories and the teacher is the depositor”.
6
Dan, bahwa, BCE secara
fundamental mempunyai karakter naratif, terjadi pola di mana subjek (guru) berbicara dan
objek (murid) mendengarkan dengan sabar dan seksama.
Konsep BCE adalah model pedagogi kaum tertindas. Menurut Freire,
pedagogi kaum tertindas sebagai pedagogi humanis dan libertarian, memiliki dua
tahap yang berbeda. Pada bagian pertama, yang tertindas mengungkap dunia
penindasan dan melalui praksis berkomitmen untuk transformasi. Pada tahap
kedua, di mana realitas penindasan telah berubah, pedagogi ini milik tertindas dan
menjadi pedagogi dari semua orang dalam proses pembebasan permanen. Dalam
kedua tahap itu, selalu melalui tindakan secara mendalam bahwa budaya dominasi
adalah konfrontasi
7
Dalam Pedagogy of the Opprassed Freire memandang bahwa pedagogi kaum tertindas
haruslah
pedagogi
yang
memanusiakan
dan
membebaskan.
Pedagogi
yang
memanusiakan dan membebaskan, bersifat transformatif dan permanen, menjadi milik
kaum tertentindas. Sebaliknya, model pedagogi BCE, tidak memanusiakan, tidka
transformatif, dan hanya milik kaum penindas atau oppressor atau aggressor.
Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke dalam tindakan belajar mengajar di
kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang
akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta
berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok
yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar
adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan gurumurid adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran,
6 Wahyu Pramudya. Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire antara Banking Concept of Education, Problem Posing Method, dan Pendidikan Kristen di Indonesia (Oktober 2012): 263. 7 Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. Translated, Myra Bergman Ramos, (New York: Continuum International Publishing Grou, 200), 54-­‐‑55. 7 metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi. Apa
yang akan dihasilkan oleh BCE?. Menurut Freire, BCE tidak akan mendorong siswa untuk
secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi penerima yang pasif
dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau
kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam
metode ini adalah ketika murid telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang
telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang
dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia
semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.
Problem Posing Method
Sebagai lawan dari BCE, Freire memperkenalkan apa yang disebutnya “Problem
Posing Method” (PPM), yaitu metode pendidikan yang tidak “menindas” dan bertujuan
untuk membangkitkan kesadaran akan realitas. PPM didasarkan atas asumsi, manusia
sebagai sebuah kesadaran ‘ada’ dan kesadaran sebagai kesadaran dalam dunia. Juga,
menegaskan manusia sebagai ‘ada’ atau keberadaan dalam porses menjadi-sebagai yang
belum selesai atau finish, “keberadaannya sebagai yang belum sempurna dalam dan
dengan sebagaimana ketakberakhiran realitas”. Implementasi dari asumsi-asumsi ini
8
terlihat dalam pola interaksi yang diharapkan terjadi di dalam kelas. Menurut Freire,
hubungan yang ideal antara guru dan murid bukanlah hierarkikal sebagaimana dalam
BCE, tetapi merupakan hubungan dialogikal. Melalui hubungan yang bersifat dialogikal,
guru sebagai murid dan murid sebagai guru. Jadi, “guru bukan hanya semata-mata sosok
tunggal yang mengajar, tetapi juga sosok yang diajar dalam proses dialog dengan murid;
sementara murid bukan hanya diajar, tetapi pada saat yang sama juga mengajar. Murid
bukan hanya pendengar yang semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang kritis
dalam dialog bersama guru. Guru bertugas mengedepankan suatu materi di hadapan
9
murid-muridnya untuk meminta pertimbangan mereka tentang materi tersebut. Guru
mempertimbangkan ulang materi ketika murid-murid mengekspresikan perspektif mereka
tentang materi tersebut.
Hasil yang diharapkan dari PPM adalah, siswa, karena mereka semakin berhadapan
8 Freire, Pendidikan, Pebebasan, Perubahan Sosial, 1. 9 Freire, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan, 45. Dapat dibandingkan dengan buku lainnya Freire, Pendidikan, Pebebasan, Perubahan Sosial, 42-­‐‑44. 8 dengan masalah yang berkaitan dengan diri mereka sendiri di dunia dan dengan dunia,
akan merasa semakin tertantang dan wajib merespons tantangan. Murid diharapkan tidak
demikian
saja
menerima
keberadaannya,
tetapi
berani
untuk
secara
kritis
mempertanyakan keberadaannya, bahkan mengubahnya. PPM dianggap berhasil ketika
murid tidak menjadi penghafal informasi, tetapi ketika ia tahu dengan kritis informasi
yang
dimilikinya,
apa
kaitan
informasi
itu
dengan
dirinya,
serta
bagaimana
memanfaatkannya untuk melakukan suatu perubahan.
Pendidikan “Hadap-Masalah”
Pendidikan “yang berhadapan-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang
ditawarkan oleh Freire, lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang
dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan problem possing. Manusia tidak mengada
secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama
dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya
ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran
tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan
suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.
Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia. Yang pertama adalah
kesadaran intransitif , dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak
sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas. Tingkat kesadaran
kedua yakni kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam
masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah
fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam
ketergantungan. Tingkat ketiga adalah kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada
kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan
sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke
masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak
berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
Sedangkan tingkat kesadaran yang terakhir yakni kesadaran kritis transitif.
Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat
9 dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan
kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung
mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari
kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan guru
sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang
tidak tahu apa-apa) tidak ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek
yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai
pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru
dan nara didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru
bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia
adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah
partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan yang demikian
tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah
permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang
diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh nara didik dalam konteksnya seharihari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf.
Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan
menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) nara didik. Tematema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memperhatikan berbagai kaitan dan
dampaknya.
Dengan
proses
demikian
nara
didik
mendalami
situasinya
dan
mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai
dunia dengan bahasa sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja
dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara didik dapat merangkai
kata-kata dari hasil penamaannya sendiri.
Pendidikan Pembebasan
Beberapa
10
konsep
Freire
mengenai
pendidikan
yang
membebaskan
dan
memanusiakan adalah, pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya
menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan dimana,
10 Paulo, Freire, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan. Terjemahan Alois A. Nugroho, (Jakarta: Gramedia, 1984). 10 pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk
mempertahankan status quo melalui penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan
kaum
tertindas
lebih
diarahkan
pada
pembebasan
perasaan/idealisme
melalui
persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan
secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, melainkan dari diri sendiri. Dari sini
sang subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum
penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan ini
bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk
membebaskan dan mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan.
Freire menegaskan bahawa pendidikan yang tidak mampu membangkitkan diri
pada peserta didik dan masyarakat adalah tidak manusiawi dan karena itu, tidak usah
diberi hak hidup. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pembangunan tidak akan terwujud
melalui pendidikan yang tidak membangkitkan kesadaran peserta didik dan masyarakat
terhadap dunia dan lingkungannya.
Melalui pendidikan pembebasan, penduduk yang tuna aksara telah dapat
diserahkan pada kesadaran baru tentang dirinya. Mereka dirangsang mampu menenali
keadaan lingkungannya secara kritis dan kemudian mampu menentukan langkah-langkah
yang akan ditempuh untuk mengubah lingkungannya.
Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye dialogis
sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut
ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang
merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali. Kesadaran dan kebersamaan adalah katakata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.
Kontribusi untuk Pendidikan Kristen
Meskipun pekerjaan Freire dalam pendidikan orang dewasa tidak secara eksplisit,
teori-teorinya memiliki dampak yang kuat pada pendidik agama progresif dan radikal
kontemporer. Bahkan Freire dengan teologi pembebasan memberikan pengaruh pada
Amerika pada tahun 1960. Ini diperkuat dengan gerakan menuju keadilan sosial dan
reformasi sosial yang berkembang pesat dalam budaya mainstream. Tetapi teologi
pembebasan tidak memiliki kerangka dimana pendidik bisa menerjemahkan tema sentral
11 dari transformasi masyarakat ke dalam konteks lain. Menurut Clare, “metode Freire
11
membantu orang Kristen menemukan kembali panggilan kenabian untuk perubahan
sosial yang tidak hanya merupakan bagian dari warisan Alkitab, namun pada
kenyataannya, merupakan bagian integral dari sejarah pendidikan orang dewasa di
Amerika Serikat”.
Freire dalam Schipani, bahwa dua konsep kunci Freirean memiliki dampak
12
terbesar pada pendidikan agama: penyadaran, didefinisikan sebagai proses yang masuk ke
kesadaran kritis kontradiksi sosial, politik dan ekonomi dari realitas yang mengarah ke
humanisasi, dan praksis mengacu pada upaya untuk menjaga teori dan praktek dalam
dialektika yang seimbang sehingga seseorang bertindak reflektif dan berpikir untuk
tindakan. Pendekatan praksis Freire menegaskan tindakan kritis reflektif dan refleksi kritis
diinformasikan oleh dan divalidasi dalam praktek. Dalam hal itu, keterkaitan dari
kesadaran diri dan tindakan merupakan "permanen, dinamis konstan sikap kita terhadap
budaya itu sendiri".
Pendidikan membebaskan memiliki karakter rekonstruksi: melibatkan komitmen
untuk mengatasi kekuatan penindasan dan dengan demikian merekonstruksi masyarakat.
Karakter rekonstruksi merupakan indicator bagi pendidikan yang membebaskan. Ini
berarti pendidikan yang membebasan berbanding lurus dengan rekonstruksi.
Menurut Schipani, penyadaran berkonotasi lebih dari peningkatan kesadaran
dengan menggarisbawahi dua dimensi tambahan. Pertama, harus dilihat sebagai proses
aksi-pendidikan disiplin atau disengaja yang mana Freire membahasnya sebagai tindakan
budaya. Ini berarti melihat budaya selalu sebagai masalah dan tidak membiarkan hal itu
menjadi statis, menjadi mitos atau membingungkan kita.
Schipani mencatat bahwa ada lima prinsip utama Freire untuk pendidikan orang
dewasa: (1) pendidikan tidak pernah netral, (2) isi harus mencerminkan pengalaman dan
masalah peserta (seperti yang didefinisikan oleh peserta), (3) pendidikan harus bergantung
pada masalah-posing (sebagai lawan "edukasi (per) bank (an)," suatu proses dimana
informasi deposit oleh guru kepada siswa sebagai wadah pasif), (4) refleksi harus
dikaitkan dengan tindakan dalam praksis, (5) transformasi radikal harus menjadi hasil
akhir. Karya awal Freire dengan pendidikan masalah-pose/hadap diarahkan terutama
http://www.talbot.edu/ce20/educators/catholic/paulo_freire/. Diakses, tanggal 11 Nopember 2016. http://www.talbot.edu/ce20/educators/catholic/paulo_freire/. Diakses, tanggal 11 Nopember 2016. 11
12
12 untuk program keaksaraan. Metodenya membantu petani untuk membaca dengan cara
menyelidiki situasi mereka, menghasilkan tema utama (sering menggunakan slide, foto,
dan diskusi tape) dan kodifikasi tema tersebut ke dalam kosakata signifikan ( "kata
generatif" seperti "shanty," "bajak," "kumuh," "bekerja") memberikan kontras tajam dengan
program keaksaraan dibangun di atas sederhana, kalimat berarti dan kosa kata.
Upaya Freire untuk menjembatani kesenjangan dalam teori dan praktek pendidikan
agama dewasanya, dengan cara lima prinsip ini, telah diambil dan dipublikasikan oleh
para sarjana pendidikan agama, praktisi dan aktivis sosial, yang menganjurkan pedagogi
dan mencoba untuk "membuat ini lagi" ( sebagai Freire diperintahkan) di realitas
eksistensial dan sosial mereka sendiri.
Daniel Schipani (1988) dan William Bean Kennedy (1989),
13
mengemukakan
kerangka teoritis untuk menerapkan pendekatan Freire. Salah satu yang pertama adalah
untuk mengatasi tantangan metodologi adalah kolaborasi Freire dengan Myles Horton.
Pedagogi untuk non-miskin (1987) menyajikan studi kasus dari proyek-proyek yang
dilaksanakan dengan prinsip Freirean (dengan berbagai keberhasilan) untuk conscientizepenyadaran dan memberdayakan peserta didik kelas menengah Amerika Utara sebagai
agen perubahan sosial. Sebuah tinjauan dari pengaruh Freire tentang pendidikan agama
tidak lengkap tanpa Thomas Groome pada "praksis Kristen bersama," pendekatan
pendidikan Kristen yang telah menjadi dasar dalam program pendidikan agama dan
model refleksi teologis (1980, 1991).
KESIMPULAN
Dari uraian sebelumnya, maka disimpulkan bahwa:
Seberguna apakah pemikiran seseorang adalah diukur dari bagaimana manusia
dipandang dan diletakan. Apakah manusia menjadi titik tolak dalam berpikir sehingga
akhir dari berpikirnya adalah memanusiakan manusia. Inilah yang dilakukan Freire. Maka
dalam konteks pendidikan, konsep pendidikan Freire adalah pendidikan humanis.
Dalam Pedagogy of the Opprassed Freire memandang bahwa pedagogi kaum tertindas
haruslah
pedagogi
yang
memanusiakan
dan
membebaskan.
Pedagogi
yang
memanusiakan dan membebaskan, bersifat transformatif dan permanen,
“Problem Posing Method” (PPM), merupakan
metode pendidikan yang tidak
http://www.talbot.edu/ce20/educators/catholic/paulo_freire/. Diakses, tanggal 11 Nopember 2016. 13
13 “menindas” dan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan realitas. PPM
didasarkan atas asumsi, manusia sebagai sebuah kesadaran ‘ada’ dan kesadaran sebagai
kesadaran dalam dunia. Juga, menegaskan manusia sebagai ‘ada’ atau keberadaan dalam
porses menjadi-sebagai yang belum selesai atau finish, “keberadaannya sebagai yang
belum sempurna dalam dan dengan sebagaimana ketakberakhiran realitas”.
Pendidikan “yang berhadapan-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang
ditawarkan oleh Freire, lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang
dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan problem possing. Manusia tidak mengada
secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama
dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya
ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran
tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan
suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik.
Daftar Pustaka
Freire, Paulo, Pendidikan Pembebasan, Perubahan Sosial. Terjemahan, Mien Joebhaar, Jakarta:
PT Sangkala Pulsar, 1984.
14 Freire, Paulo, Pedagogy of the Oppressed. Translated, Myra Bergman Ramos, New York:
Continuum International Publishing Grou, 2000.
Freire, Paulo, Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan. Terjemahan, Alois A. Nugroho, Jakarta:
Gramedia, 1984.
Pramudya. Wahyu Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire antara Banking Concept of
Education, Problem Posing Method, dan Pendidikan Kristen di Indonesia (Oktober 2012):
263.
http://www.talbot.edu/ce20/educators/catholic/paulo_freire/. Diakses, tanggal 11
Nopember 2016.
https://www.google.co.id/#q=biography of Paulo freire.
15 
Download