TINJAUAN PUSTAKA Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker , 1853) Karakteristik Ikan Lemuru Menurut Whitehead (1985), sistematika ikan lemuru adalah: Famili : Clupeidae Sub.famili : Clupeinae Genus : Sardinella Sub.Genus : Sardinella Spesies : Sardinella lemuru Gambar 1. Sardinella lemuru yang tertangkap di pantai timur Pulau Siberut Sebelumnya terdapat perbedaan sistematika dari ikan lemuru terutama pada lemuru yang terdapat di Selat Bali. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lemuru yang tertangkap di selat tersebut adalah Sardinella longiceps dan penelitian lainnya menyebut nya sebagai Sardinella lemuru. Hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara dua spesies tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi FAO (Whitehead, 1985) maka ditetapkan bahwa lemuru yang terdapat di Selat Bali dan di wilayah Indonesia termasuk pada Sardinella lemuru Bleeker 1853 (Gaughan dkk., 2000). Lemuru memiliki nama yang berbeda di tiap negara yaitu Bali Sardinella (Inggris), Hwang Tseih (Hong Kong), Hwang Sha-tin (Taiwan). Sardinella lemuru memiliki bentuk badan yang memanjang dengan bentuk perut yang membundar. Panjang kepala 25-29% dari panjang baku, dengan tinggi badan sekitar 27-31%, dan panjang baku maksimum 23 cm. Jari-jari sirip punggung berjumlah 14; jari-jari sirip anal 13-15; jari- jari sirip dada 16; jari- jari sirip perut 9; tulang saring insang bagian bawah jumlahnya 146-166, dan ruas 6 tulang belakang 47-48. Pada bagian dalam insang ada bintik keemasan yang berlanjut dengan warna keemasan pada bagian gurat sisinya disertai adanya bintik hitam di bagian tutup insang. Di Laut Hindia bagian timur dan Pasifik bagian barat, lemuru mudah dibedakan dari semua Clupeid lainnya dengan melihat jumlah jari- jari sirip pectoral, dan sirip pelvicnya. Hal yang membedakan Sardinella lemuru dengan S. longicep adalah bagian kepala yang lebih pendek (26 sampai 29% dari panjang standar; S. longicep 29-35%) dan memiliki selaput insang yang lebih sedikit (77 sampai 188 pada ikan ukuran 6,5 sampai 22 cm; pada S. longiceps 150-253 pada ukuran 8 – 15.5 cm. Badan S. lemuru berwarna keperakan dengan biru gelap pada bagian belakang (posterior); tidak terdapat bercak gelap pada dasar sirip punggung dan pinggiran tepi sirip ekor berwarna gelap (Whitehead,1985). Tabel 1. Data morfologi dan morfometrik ikan lemuru (Sardinella lemuru Blk.) di perairan pantai timur Pulau Siberut. Morfologi - Tipe mulut terminal - Ekor homocercal Morphometrik : - SL : 16,1 cm - Panjang sirip pelvic : 1,4 cm - BDP : 3,7 cm - Sirip dorsal terpanjang : 2,7 cm - CPL : 1,6 cm - Panjang kepala : 4,2 cm - CPD : 1,3 cm - Lebar kepala : 1,7 cm - Panjang sebelum sirip dorsal : 8,2 cm - Panjang snout : 1,4 cm - Panjang basis sirip dorsal : 2 cm - Lebar suborbital : 1,1 cm - Panjang basis sirip ekor : 1,5 cm - Orbit - sudut preoperculum : 1,3 cm - Tinggi sirip dorsal : 1 cm - Diameter mata : 1 cm - Tinggi sirip ekor : 3,5 cm - Panjang maxilla : 1,2 cm - Panjang sirip dada : 2,8 cm - Lebar bawah kepala : 1,5 cm Meristik : D.18, C.24, P.18, L.l 46, diatas L.l 4, dibawah L.l 3, sisik melintang sepanjang batang ekor 6, baris branchiostegal 3, ? insang I.3, predorsal 16 7 Karakter morfologi dan morfometri ikan Sardinella yang tertangkap di Pulau Siberut (Tabel 1.) memiliki mulut yang letaknya tepat ada di bagian depan kepala (terminal) dengan cabang sirip ekor yang sama bentuk dan panjang (homocercal). Panjang kepala dan lebar badan sekitar 25-30% dari panjang seluruh tubuhnya. Jumlah linear lateralis adalah 46 yang letaknya ada diantara sisik keempat dari bagian atas tubuh dan sisik ketiga dari bagian bawah tubuh ikan. Jumlah jari-jari sirip punggung berjumlah 18, jari-jari sirip perut 24 dan jarijari sirip dada berjumlah 18. Habitat Ikan Lemuru Penyebaran ikan lemuru di dunia banyak terdapat di sekitar Asia Tenggara, Asia Timur dan Australia Bagian Barat. Di wilayah Samudera Hindia bagian Timur di sekitar daerah Thailand, Jawa Timur dan Bali dan perairan Australia Barat dan di Samudera Pasifik berdapat di daerah utara Jawa sampai Filipina, Hongkong, Taiwan sampai Selatan Jepang (Gambar 2.). Gambar 2. Penyebaran lemuru di dunia ( warna merah (Sardinella lemuru), merah muda (Non S. Lemuru). Ikan lemuru hidup di sekitar perairan pantai sehingga relatif toleran terhadap salinitas yang rendah (200 /00 ). Ikan lemuru termasuk pada kelompok ikan pelagis kecil dan biasanya melakukan migrasi dan bergerombol serta memakan phytoplankton dan zooplankton (copepoda). Pembentukan kelompok/bergerombol (schooling) yang besar pada ikan lemuru biasanya pada ukuran ikan yang sama dengan kepadatannya yang tinggi. Ini dilakukan sebagai salah satu strategi ikan 8 lemuru untuk menghindari predator, mencari lingkungan yang sesuai dan karena adanya ketersediaan/kelimpahan pakan. Pada siang hari, kelompok ikan ini dekat dasar perairan sementara ketika malam hari kelompok ikan ini bergerak mendekati permukaan air dengan kelompok-kelompok yang terpisah. Terkadang saat siang hari ketika cuaca mendung ikan ini muncul pula berkelompok di dekat permukaan air. Penangkapan ikan ini biasanya dilakukan pada saat malam hari ketika mendekati permukaan air dibantu dengan cahaya lampu. Jumlah yang besar banyak terdapat di perairan pantai terutama di Selat Bali saat terjadi upwelling di waktu tertentu, banyak ditemukan di perairan teluk dan laguna (Merta dkk., 1999). Pemijahan lemuru terjadi di perairan pantai ketika salinitas rendah pada awal musim penghujan walaupun tempat yang pasti terjadinya pemijahan belum dapat diketahui. Tipe pemijahan ikan lemuru termasuk pada tipe pemijahan ikan yang tidak menjaga telurnya (non guard parental) dan eksternal spawning dimana proses pemijahan terjadi di luar tubuh induknya secara berkelompok. Pada tipe ikan yang melakukan eksternal spawning biasanya memiliki jumlah telur yang banyak yang berkaitan dengan strategi dalam menjaga kelangsungan hidup keturunannya. Usaha Penangkapan Lemuru Penangkapan ikan lemuru di Indonesia semakin lama semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan pada data FAO (www. FAO.org), pada tahun 1983 jumlah penangkapan ikan lemuru hanya mencapai 59.980 ton kemudian pada tahun 1999 jumlah penangkapan meningkat mencapai 161.470 ton. Peningkatan usaha penangkapan lemuru meningkat sebanding dengan peningkatan usaha pengolahan lemuru dan penggunaan alat tangkap yang digunakan. Sebagai contoh di Selat Bali dimana saat penggunaan dan berkembangnya alat tangkap purse seine pada tahun 1974 secara jelas memperlihatkan adanya usaha penangkapan yang sangat cepat dan diikuti oleh perkembangan usaha pengalengan ikan dan pembuatan tepung ikan sebagai bahan pakan. Peningkatan usaha penangkapan ikan yang cepat ternyata mempengaruhi struktur umur dan ukuran populasi ikan lemuru di Selat Bali. Hal ini 9 menyebabkan di Selat Bali status perikanan lemuru dalam keadaan ya ng lebih tangkap (overfishing) berdasarkan pada beberapa model yang telah dikembangkan (Merta, 1999). Overfishing terjadi bila satu spesies ikan tertangkap lebih cepat dibandingkan ikan tersebut dapat melakukan pertumbuhan dan reproduksi. Ada beberapa jenis overfishing yaitu growth overfishing, recruit overfishing, economic overfishing, ecosystem overfishing dan malthusian overfishing. Growth overfishing adalah suatu keadaan dimana ikan ditangkap sebelum mencapai tahap perkembangan untuk mencapai dewasa. Biasanya terjadi pada ikan yang berumur panjang dan lambat dalam mencapai matang gonad sedangkan recruitment overfishing terjadi bila usaha penangkapan yang dilakukan menurunkan jumlah ikan dewasa (breeding stock) yang dapat menghasilkan larva dan ikan baru biasanya terjadi pada ikan pelagis yang berukuran kecil dan mengalami kematangan gonad lebih cepat seperti ikan sarden dan teri. Jenis overfishing yang lain adalah yang berkaitan dengan nilai ekonomi dari usaha penangkapan yaitu economic overfishing, yang dapat terjadi bila biaya yang dikeluarkan pada setiap unit penangkapan melebihi nilai ekonomi dari jumlah ikan yang didapat. Pada overfishing ecosystem terjadi berkaitan dengan hubungannya antara satu spesies ikan dengan spesies lain dalam ekosistem secara keseluruhan. Dimana perubahan komposisi dari satu populasi jenis ikan tertentu akan menyebabkan berubahnya komposisi spesies lainnya dalam suatu ekosistem secara keseluruhan, karena berkaitan dengan pola rantai makanan yang terjadi dalam ekosistem tersebut sedangkan malthusian overfishing biasa terjadi pada suatu daerah dengan jumlah nelayan dan usaha penangkapan yang tinggi tetapi tidak ada cukup ikan yang dapat ditangkap. Hal ini mengakibatkan penangkapan ikan dilakukan dengan cara yang illegal (bom, penggunaan potas atau listrik). Biasanya terjadi pada daerah yang populasi penduduknya padat, semakin meningkat populasi manusia maka usaha penangkapan dilakukan lebih tinggi intensitasnya (Fisheries Component, 2001). Untuk menanggulangi dan mengurangi dampak terjadinya overfishing maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Langkah- langkah tersebut adalah dengan menurunkan aktivitas usaha penangkapan, pembuatan aturan pengelolaan 10 perikanan dan mengkombinasikan antara kebijakan pasar dengan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Penurunan aktivitas usaha penangkapan dilakukan ketika akan melakukan rehabilitasi stok ikan tertentu yang telah mengalami overfishing di suatu perairan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan jumlah ikan yang dewasa sehingga meningkatkan populasi/stok ikan di suatu perairan dan mengembalikannya pada kondisi yang normal/seimbang. Pembuatan aturan pengelolaan usaha perikanan dilakukan dengan tujuan untuk membangun kembali populasi ikan yang overfishing sekaligus memperbaiki kondis i lingkungan perairan habitat tempat ikan itu hidup. Aturan yang dapat diterapkan misalnya dengan melakukan penutupan daerah penangkapan ikan dan selektivitas alat tangkap. Penggunaan alat tangkap yang selektif adalah dengan menggunakan alat tangkap yang dapat menangkap ikan pada ukuran yang lebih besar sehingga meningkatkan nilai keberlanjutan populasi ikan. Selektivitas alat tangkap dapat dilakukan dengan meningkatkan ukuran mata jaring, dan penerapan alat yang memungkinkan keluarnya ikan kecil yang tertangkap oleh jaring. Penutupan daerah penangkapan dilakukan berkaitan dengan dibatasinya usaha penangkapan di suatu daerah atau wilayah tempat terjadinya pemijahan ikan di suatu daerah. Ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada ikan dewasa dalam melakukan pemijahan dan memberikan kesempatan hidup kepada ikan yang kecil sehingga rekruitmen terhadap populasi ikan akan bertambah. Hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dari overfishing adalah dengan mengkombinasikan antara kebijakan pasar dengan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Dimana kontrol/penerimaan pasar terhadap usaha perdagangan ikan hanya dilakukan berdasarkan pada ukuran/jenis ikan tertentu yang sesuai dengan ukuran minimal ikan yang dapat menjamin populasi ikan pada kondisi yang berkelanjutan (Wallace dan Fletcher, 1996). Ikan Lemuru di Siberut Saat ini potensi perikanan secara umum di perairan pantai Pulau Siberut masih baik, nelayan masih mudah untuk mendapatkan ikan hanya dengan menggunakan peralatan tradisional. Masyarakat di Pulau Siberut menyebut ikan lemuru sebagai ikan tamban. Terdapat tiga jenis tamban yang dikenal oleh 11 masyarakat Siberut yaitu tamban duyung (Gambar 1.), tamban keru dan tamban bakau (Gambar 3.). Tamban duyung terdapat di perairan pantai yang agak dalam, tamban bakau terdapat di sekitar hutan bakau di tepi pantai dan tamban keru ditangkap di sekitar muara sungai. Tamban bakau dan keru ditangkap oleh nelayan setempat pada sore hari atau pagi hari dengan menggunakan jaring insang. Ikan tamban duyung memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tamban keru dan tamban bakau. Selain karena ukurannya relatif lebih besar juga rasanya lebih enak, tetapi untuk nelayan pemancing biasanya menggunakan umpan tamban keru atau tamban bakau dibandingkan dengan tamban duyung karena dagingnya relatif lebih tahan di dalam air. Nelayan di perairan pantai Siberut biasanya menangkap ikan tamban duyung (Sardinella lemuru) saat malam hari dengan mempergunakan jala insang (Gill Net) yang dihanyutkan atau dengan mempergunakan perahu bagan yang menggunakan jaring angkat (Lift Net) yang dibantu dengan cahaya lampu. Nelayan yang mempergunakan jaring insang untuk menangkap ikan lemuru biasanya me nggunakan sampan dengan mesin di bawah 15 PK atau dayung dan dioperasionalkan tidak lebih dari 2 orang. Daerah penangkapan nelayan ini hanya terbatas di sekitar pantai. Biasanya nelayan ini mencari gerombolan ikan yang kemudian menghanyutkan/memasang jaringnya memutari kelompok ikan ini Gambar 3. Jenis lain ikan tamban (keru dan bakau) yang tertangkap oleh nelayan di P. Siberut Nelayan yang menggunakan perahu bagan memiliki kapasitas kapal yang cukup besar, biasanya awak kapalnya sekitar 5 orang. Untuk menangkap ikan 12 tamban biasanya digunakan cahaya lampu neon untuk menarik ikan- ikan berkumpul, setelah ikan terkumpul lampu bagan mulai dimatikan satu persatu hingga kelompok ikan mengumpul tepat dibawah jaring, kemudian jaring diangkat ketika jumlah ikan yang mengumpul cukup banyak. Perahu bagan daerah tangkapannya lebih luas jauh dari pantai dan hanya menetap di satu tempat. Aktivitas penangkapan ikan oleh kebanyakan nelayan di Siberut biasanya dilakukan di mulut Teluk Saibi Sarabua yang menghadap ke perairan laut bebas. Di wilayah ini terdapat satu pulau yang cukup besar yang dinamakan Pulau Bugei yang memiliki gugusan terumbu karang dan rumput laut serta lamun. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada malam hari saat matahari mulai terbenam sampai pagi hari atau dilanjutkan sampai tengah hari, tetapi tergantung pada keadaan bulan saat itu atau kemunculan kelompok ikan. Nelayan tidak secara khusus melaut untuk mendapatkan ikan tamban karena tergantung pada musim dan kemunculan kelompok ikan ini. Perkembangan Gonad Perkembangan gonad ikan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ikan sehingga faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan gonad. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin (sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation). Pada hewan vertebrata termasuk ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah merupakan periode dimana ikan yang muda memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Hal ini terjadi dengan teraktivasinya axis hipotalamus- pituitary- gonad (Amer dkk., 2001). Mekanisme pengaturan hormon dalam tahapan gametogenesis pada ikan diatur oleh hormon Pituitary Gonadotropin (GtH) dan steroid hormon dari gonad. Kedua hormon tersebut mengatur proses perkembangan gonad dan proses pematangan gonad. Mekanisme kerja dari hormon tersebut diatur/dipicu oleh keadaan lingkungan (suhu, cahaya matahari) yang memberikan sinyal lingkungan kepada sistem syaraf untuk memulai proses pematangan dari gonad. Adanya sinya l lingkungan tersebut maka efeknya adalah hypotalamus mengeluarkan 13 gonadotropin releasing hormon (GnRH) yang dapat menstimulasi keluarnya hormon Pituitary Gonadotropin (GtH). Pada ikan struktur dari GtH ada dua bentuk yaitu GtH I dan GtH 2 dimana memiliki kesamaan struktur dengan FSH (Folikel Stimulating Hormon) dan LH (Luteinising Hormon) pada mamalia. Hormon GtH I berperan dalam proses spermatogenesis dan vitelogenesis pada ikan sedangkan GtH II berperan dalam proses pematangan oosit/spermatid dan proses ovulasi (Collins dkk., 2001). Pada saat proses perkembangan dan pematangan gonad ikan maka sebagian besar energi pertumbuhan akan dialihkan dari perkembangan sel somatis menjadi pertumbuhan sel gamet. Sehingga pada saat ikan sudah matang gonad bobot gonad pada ikan betina beratnya dapat mencapai 10-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan antara 5-10% dari berat tubuhnya (Effendi, 1979). Secara kuantitatif tingkat perkembangan gonad ini dapat dihitung dengan mengunakan Gonadal Somatic Index (GSI). Semakin tinggi perkembangan gonad maka perbandingan antara berat tubuh dan gonad semakin besar yang diperlihatkan dengan nilai GSI yang besar, semakin besar nilai GSI maka dapat dijadikan indikator semakin dekatnya waktu pemijahan. Pengaturan sex kelamin pada hewan mama lia dan sebagian besar ikan ditentukan oleh faktor genetik. Adanya kromosom Y merupakan faktor penyebab berkembangnya testis, bila tidak ada kromosom Y maka gonad akan berkembang menjadi ovarium. Sperma secara umum merupakan sel heterozigotik (XY) yang merupakan pasangan genotip yang berbeda sedangkan telur merupakan sel homozigotik (XX). Kromosom yang menentukan dalam pembentukan sex dari keturunan yang dihasilkan ditentukan oleh kromosom dari sperma (Y). Bila kromosom- X dari sperma yang bertemu dengan kromosom-X dari telur maka keturunan yang dihasilkan adalah betina, bila yang bertemu adalah kromosom-Y maka keturunannya adalah jantan (Viveiros dkk., 2001). Perkembangan Testis Testis adalah organ tempat terjadinya proses produksi spermatozoa. Pada ikan golongan teleost, testis terdiri dari sepasang organ yang terletak pada bagian bawah dari gelembung renang di bagian atas dari usus dan ada di belakang ginjal. 14 Pada induk jantan yang matang anterior testisnya berisi ¾ volume dari sperma. Pada bagian belakang dari masing- masing testis terbentuk saluran sperma yang menuju bagian genital papila. Testis terdiri dari seminiferous tubules dan aliran darah. Pada Teleost ada dua tipe dasar struktur testis yaitu tipe lobular dan tipe tubular (Nagahama,1983). Testis terdiri dari banyak lobul yang saling terpisah oleh jaringan penghubung. Pada tiap lobul diselimuti oleh tunica albuginea dengan lapisan otot yang halus. Leydig sel tersebar pada lapisan tubulus seminiferus yang merupakan sel yang memproduksi hormon androgen yang merangsang pertumbuhan karakter seksual sekunder dan melepaskan spermatozoa pada saat musim pemijahan. Sel sertoli terletak antara sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus yang merupakan suplai nutrien bagi sperma.. Perkembangan sel dalam testis tidak mengalami perubahan yang berarti, saat terjadi proses spematogenesis tidak memperlihatkan perubahan yang nyata dibandingkan pada proses oogenesis di ovarium. Saat spematogenesis sel dalam testis hanya mengalami perubahan dari bentuk dari sel spermatogonia menjadi spermatozoa. Peningkatan volume terjadi di dalam testis saat proses pematangan sel yang berhubungan dengan tubulus seminiferus yang berisi spermatozoa yang densitasnya meningkat dan biasanya terjadi saat mendekati musim pemijahan. Spermatogenesis terbagi menjadi dua tahapan proses yaitu spermatositogenesis dan spermiogenesis. Proses ini terjadi di sepanjang tubulus dengan berbagai macam tahapan perkembangan. Spermatogenesis terjadi di lobular atau tubular dalam kista yang berisi sel primer spermatogonia. Kista tersebut dibentuk oleh sel somatik sertoli yang menempel pada sel primer spermatogonia. Ketika proses spermatogenesis berkembang, kista membesar dan akhirnya luluh melepaskan sperma pada lobular lumen dan bergerak ke kantung sperma. Tahap yang berbeda pada proses spermatogenesis ditentukan dari karakter struktural dari germ cell dan keadaan inti selnya. Spermatogonia primer melakukan pembelahan mitosis untuk membentuk spermatogonia sekunder yang berbentuk sel kista. Spermatogonia sekunder kemudian membentuk spermatosit primer yang kemudian melakukan pembelahan miosis I untuk membentuk spermatosit sekunder. Pada tahapan ini terjadi proses spermatositogenesis. 15 Spermatid yang terbentuk dari spermatosit sekunder melalui pembelahan miosis II kemudian berkembang menjadi spermatozoa melalui proses spermiogenesis. Saat proses spermiogenesis ini tidak terjadi pembelahan sel hanya terjadi perubahan struktur sperma sehingga menjadi bagian kepala, leher dan ekor. Pada akhir spermiogenesis, sel kista luluh dan melepaskan spermatozoa pada lumen lobul dalam testis (Billard, 1992). Proses spermatogenesis diatur oleh hormon gonadotropin dan hormon testis (androgen). Gonadotropin menstimulasi pembentukan androgen oleh Leydig sel dan kemudian mengkontrol proses spermatogenesis dan spermiasi. Pada kebanyakan spesies teleost jenis steroid androgennya adalah 11-ketotestosterone, saat spermatogene sis jumlah hormon androgen ini meningkat sampai pada tahap akhir proses spermatogenesis dan proses pemijahan (Amer dkk., 2001). Di dalam testis dan salurannya (seminal vesicle) juga terdapat jenis hormon steroid lain yang dapat membantu proses pemijahan terjadi yaitu jenis hormon steroid glucuronides. Hormon ini berperan sebagai sex pheromon yang dapat menstimulasi perkembangan ovarium pada ikan betina, meningkatkan responsifitas pemijahan dan membantu terjadinya ovulasi saat terjadinya pemijahan (Viveiros dkk., 2001) Perkembangan Ovarium Pada ikan dewasa, ovarium secara umum berjumlah sepasang yang menempel pada rongga tubuh (body cavity). Oosit yang berkembang terletak di tengah dalam lapisan folikel yang dilindungi oleh suatu lapisan sel yang memproduksi steroid. Lapisan folikel terdiri dari lapisan dalam yaitu lapisan granulose dan lapisan luar yang disebut dengan sel theca. Lapisan theca dan sel granulose dipisahkan oleh membran sel. Di antara lapisan luar oosit dan sel granulose dipisahkan oleh lapisan yang disebut dengan zona radiata atau lapisan telur. Selama perkembangan telur, lapisan protein zona radiata dihasilkan dari plasma darah dan disimpan pada lapisan ini. Saat yang sama maka oosit diisi oleh protein kuning telur (lipovitellin, phosvitin) yang diturunkan dari vitelogenin (Vtg). Kedua protein telur yaitu protein zona radiata dan protein vitelogenin merupakan protein yang penting dalam pembentukan kematangan telur, kedua 16 protein ini disintesa di liver dengan pengaturan dari endokrin melalui axis hypothalamus-pituitary- gonad- liver (Arukwe dkk., 2003). Ikan rata-rata memiliki ukuran dan jumlah telur yang besar bila dibandingkan dengan hewan lain. Hal ini berkaitan dengan strategi ikan dalam menjaga kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Proses pembentukan, perkembangan dan maturasi dari gamet betina yang disebut sebagai proses oogenesis merupakan suatu proses yang berkaitan dengan sistem hormon dalam tubuh yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Perkembangan oosit dalam ovarium melewati beberapa tahapan, secara umum dalam kelompok ikan teleost ada 4 tahapan yaitu perkembangan sel primer, cortical alveoli atau pembentukan kuning telur, proses vitelogenesis dan pematangan. Oosit dalam tahapan perkembangan sel primer tidak mengandung kuning telur. Pada tahapan Cortical alveoli ditandai dengan pembentukan protein telur dalam sitoplasma yang menandai akan berkembanganya telur pada tahap selanjutnya. Dengan berkembangan oosit maka cortical alveoli akan berkembang dalam bentuk dan ukuran dengan melepaskan isinya dalam membran perivitelin di dalam membran telur selama proses pembentukan telur. Pada ikan yang memiliki lipid globule juga akan terkumpul pada tahapan ini dalam sitoplasma. Tahapan vitelogenesis ditandai dengan adanya kuning telur dalam sitoplasma oosit. Oosit berkembang akibat adanya akumulasi kuning telur dalam sitoplasma. Vitelogenesis akan berkembang secara penuh dan kemudian mengalami maturasi dan ovulasi karena adanya pengaruh hormonal. Tahapan pematangan telur ditandai dengan migrasinya inti sel ke daerah lubang mikrofil (animal pole). Ketika nukleus telah bermigrasi maka tahapan pembelahan meiotik pertama terjadi. Tahapan hidrasi akan terjadi saat pematangan akhir ketika mendekati proses ovulasi yang terjadi dengan adanya uptake cairan oleh oosit. Setelah terjadi ovulasi maka selanjutnya akan terjadi proses pembelahan meiotik kedua dan oosit telah menjadi telur secara sempurna dan siap untuk dibuahi (Murua dan Kraus, 2003). Secara histologis perkembangan telur mengalami beberapa tahapan yaitu: 1. Fase previtelogenik dimana pertumbuhan telur berjalan lambat dengan hanya terjadi sedikit perubahan sitoplasma. Nukleus yang mengandung satu 17 nukleolus kemudian berkembang dan terbentuk ribonuklear yang mengandung inti dari telur (Balbiani’s vitelline body). 2. Fase vitelogenik ditandai dengan pertumbuan yang cepat dan terjadinya penyimpanan sebagian besar kuning telur dalam ooplasma. Saat akhir proses vitelogenik atau saat awal dari maturasi akhir, germinal vesicle (nukleus) yang saat awal berada di tengah bergerak ke arah tepi mendekati mikrofil. Tabel 2. Beberapa strategi reproduksi pada spesies ikan laut ( Murua dan Sabarido, 2003). STRATEGI REPRODUKSI I. Jumlah Pemijahan a. Semelparous (memijah sekali kemudian mati) b. Itoroparous (pemijahan lebih dari satu kali) II. Tipe Pemijahan a. Total spawner (telur diovulasi seluruhnya pada saat musim pemijahan) b.Partial spawner (telur diovulasi bertahap dalam satu musim pemijahan) III.Sistem perkawinan a.Promiscus (kedua jenis bersamaan dalam satu musim pemijahan/massal) b.Polygamus (1 jantan untuk beberapa betina) IV. Sistem Sex a.Gonochoristic (tidak pernah berubah sex) b.Hermaphrodit (sex berubah saat matang gonad) V. Tempat Pemijahan a.Tidak ada persiapan b.Ada persiapan (pembuatan sarang) VI.Tempat terjadinya Fertilisasi VII. Perkembangan Embrio a.External (di luar tubuh ikan) b.Internal (di dalam tubuh ikan a.Ovipar (berkembang di luar tubuh induk) b.Vivipar (berkembang dalam tubuh induk) VIII. Parental Care a.Non parental care (tidak ada penjagaan telur/embrio/larva oleh induk) b.Parental care (ada penjagaan telur oleh induk) Pada spesies ikan jumlah oosit (fekunditas), perkembangan oosit dan tipe pemijahan yang berbeda-beda antar spesies merupakan strategi reproduksi yang 18 dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gen. Tiap spesies ikan memiliki strategi reproduksi yang berbeda-beda (Tabel 2.). Hal ini sangat berhubungan dengan sistem pemijahan, jumlah partner, habitat dan waktu pemijahan. Strategi reproduksi yang dilakukan oleh ikan tujuannya adalah untuk memaksimalkan kelangsungan hidup dari keturunannya yang berhubungan dengan ketersediaan energi dan umur dari induknya. Pada kebanyakan spesies ikan yang hidup di laut jenis strategi yang dikembangkan meliputi tipe pemijahan iteroparous dimana pemijahan dilakukan lebih dari satu kali ovulasi, gonochoristic yang mengambarkan bahwa antara ikan jantan dan betina terpisah organ kelaminnya dan proses terjadinya pemijahan di luar tubuh induknya tanpa adanya penjagaan oleh induk (parental care). Berdasarkan pada perkembangan diameter telur maka ada beberapa jenis tipe perkembangan oosit pada ikan, yaitu: (Murua dan Kraus, 2003) 1. Tipe perkembangan synchronous, semua oosit berkembang dan terovulasi pada saat yang sama. Biasanya terjadi pada ikan yang memijah satu kali kemudian mati, contohnya terjadi pada ikan Salmon dan Sidat. Frekuensi diameter oosit ditandai dengan kurva satu puncak (single bell curve). 2. Tipe perkembangan group-synchronous, ditandai dengan adanya dua populasi oosit pada satu waktu. Satu populasi ukuran oositnya lebih besar dan homogen dan populasi yang kedua ukurannya lebih lebih heterogen. Populasi telur dengan diameter yang terbesar akan diovulasi pada saat musim pemijahan, sedangkan populasinya akan diovulasi pada musim pemijahan selanjutnya dalam rentang waktu yang cukup lama. Biasanya terjadi pada ikan yang musim pemijahannya pendek. 3. Tipe perkembangan asynchronous, oosit dari setiap tahap perkembangan dan berbagai ukuran diameter ada dalam telur dan tidak ditandai dengan populasi yang dominan. Ketika proses pematangan terjadi maka akan tampak adanya perbedaan ukuran diameter telur terutama telur tahap hidrasi dan pengumpulan kuning telur. Biasanya terjadi pada spesies yang memiliki musim pemijahan relatif panjang/berlanjut dan proses pematangan dan ovulasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di perairan. 19 Keadaan Umum P. Siberut Pulau Siberut terletak pada 0°80’-2°00’ lintang selatan dan 98°60’-99°40’ lintang timur dengan luas keseluruhan 4.030 km². Pulau ini terletak 150 km dari pantai barat pulau Sumatera dan terletak di Samudera Hindia yang dipisahkan oleh Selat Mentawai. Pulau Siberut merupakan pulau terbesar dari gugusan Kepulauan Mentawai yang masih memiliki potensi flora dan fauna yang masih baik dibandingkan pulau lainnya. Pulau ini memiliki iklim yang panas dan lembab dengan temperatur berkisar antara 220 C-310C dan kelembaban sekitar 81-85%. Sementara kecepatan angin rata-rata 24-34 km per detik dan jumlah sinar matahari tahunan sebanyak 1290 jam per tahun. Perbedaan musim diakibatkan oleh monsoon dan perubahan iklim inter-tropikal. Curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan April dan September dengan curah hujan sebesar 643 mm sedangkan curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Juni dengan curah hujan sekitar 111 mm (LIPI, 1995). Topografi Pulau Siberut memiliki bentuk yang berbeda pada kedua sisi pantainya. Di bagian pantai timur yang menghadap Pulau Sumatera garis pantainya tidak beraturan dengan arus/gelombang laut yang tidak terlalu besar walaupun terkadang mengalami badai dan gelombang yang cukup besar. Di pantai timur ini banyak terdapat teluk, gugusan terumbu karang dan hampir seluruh pantai timur ditutupi juga oleh hutan bakau yang luas, sedangkan di bagian pantai barat yang menghadap Samudera Hindia memiliki gelombang dan arus laut yang besar, sehingga terbentuk garis pantai yang relatif lurus dengan dinding batu yang terjal atau pantai yang luas serta sedikit sekali terdapat hutan bakau (WWF, 1980). Salah satu teluk yang terdapat di bagian timur Pulau Siberut adalah Teluk Saibi Sarabua yang merupakan bagian dari Kecamatan Siberut Selatan. Perairan Teluk Saibi termasuk pada bagian dari perairan laut Selat Mentawai. Selat ini memiliki kedalaman laut sekitar 1,5 km yang terkadang keadaan angin dan arusnya cukup besar. Luas kawasan teluk ini sekitar 1851 ha dengan dasar perairan berupa lumpur dengan sedikit patahan karang mati serta patahan ranting dan buah dari vegetasi bakau. Berdasarkan penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Universitas Bung Hatta (1999) kondisi hutan bakau di Teluk Saibi Sarabua masih cukup baik dengan luas sekitar 698 ha dengan ketebalan 130 sampai 310 meter dengan tumbuhan dominan Rhizopora 20 mucronata dan Rhozopora apiculata. Spesies plankton yang banyak ditemukan antara lain dari kelompok diatom, larva crustacea, Cyanophyceae dan Dinoflagellata. Di kawasan Teluk Saibi Sarabua juga terdapat koloni terumbu karang jenis Acrapora, Montipora, Pavona, dan Porites. Rumput laut juga terdapat di perairan ini terdiri dari tiga kelas yaitu Chlorophyceae (alga hijau) spesies Caulerpa cupressiodes, Halimeda sp, Bornitella nitida. Kelas Phaeophyceae (alga coklat) spesies Padina australis dan kelas Phodophyceae (alga merah) spesies Gracilaria eucheumiodes dan Eucheuma serr. Tabel 3. Parameter kualitas air di perairan P. Siberut (Puslit Bung Hatta (1999) Parameter Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 DO (ppm) 7,4 7,8 8,2 8,4 7,1 8,2 8,4 7,6 8,2 CO2 (ppm) 2,6 4,4 2,6 2,6 4,4 4,4 1,76 2,6 1,76 pH (unit) 7.5 7.4 7.7 7.7 7.6 7.6 7.7 7.5 7.8 Salinitas (ppt) 32 32 33 34 33 33 33 32 34 Suhu (0 C) 28 30 30 31 29 30 30 29 31 Transparansi(m) 7 7 7.5 8 7 8 8 7 10 Pospat (ppm) 0.45 0.8 0.45 0.35 0.45 0.45 0.45 0.7 2.3 Nitrat (ppm) 6.73 6.34 0.09 7.57 14.2 1.75 0.09 2.58 8.8 Bila dilihat dari parameter pengukuran lingkungan (Tabel 3.) maka dapat dikatakan bahwa kondisi perairan di Teluk Saibi Sarabua berada pada kondisi yang normal dan optimal bagi kelangsungan hidup ikan. Batasan kualitas baku air laut yang dapat digunakan dalam kegiatan pengembangbiakan ikan masingmasing untuk Nitrat, Posfat, DO, CO2, dan pH adalah 0-3 ppm, 0.01-3 ppm, 5-7 ppm, 0-10 ppm dan 6-8 (Swan, 1997). Walaupun salinitas berada pada kisaran yang cukup tinggi akan tetapi masih pada batas kondisi yang baik, walaupun terjadinya proses pemijahan tidak terjadi di sekitar perairan ini karena pemijahan ikan lemuru biasanya terjadi pada salinitas yang rendah (Merta, 1992). 21 Parameter Lingkungan Oksigen Oksigen merupakan parameter lingkungan yang paling penting bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Organisme perairan memanfaatkan oksigen dalam bentuk oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen terlarut yang rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisiologi pada ikan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian. Konsentrasi oksigen di perairan berada pada kondisi yang baik bila kandungannya berada pada kisaran 6-8 ppm, pada kondisi oksigen yang kurang dari 3 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan. Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh ikan tergantung pada ukuran ikan, feeding rate, aktivitas ikan dan suhu perairan. Ikan yang kecil (larva) mengkonsumsi oksigen lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang lebih besar karena tingkat metabolisme larva ikan lebih tinggi (Swan, 1997). Organisme perairan termasuk ikan menggunakan oksigen terlaruh (O 2 ) yang masuk ke dalam air melalui proses fotosintesis dan atmosfer. Oksigen dari atmosfer masuk ke dalam perairan melalui proses difusi, dimana molekul gas oksigen masuk ke dalam air akibat dari tekanan udara. Alga, plankton dan tumbuhan air menyediakan oksigen terlarut dalam air melalui proses fotosintesis.. Tumbuhan air tersebut menggunakan cahaya ma tahari dan karbondioksida untuk menghasilkan energi untuk proses pertumbuhan dan kemudian melepaskan oksigen dalam perairan. Proses fotosintesis dipengaruhi oleh cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan sangat ditentukan oleh kecerahan badan air tersebut. Turbiditas adalah suatu nilai yang dapat digunakan untuk mengetahui berapa banyak cahaya matahari yang dapat menembus lapisan air. Pada suatu perairan yang memiliki nilai turbiditas yang tinggi memyebabkan kemampuan cahaya matahari untuk masuk ke dalam air menjadi rendah. Akibatnya proses fotosintesis yang dilakukan oleh plankton menjadi rendah. Nilai turbiditas yang tinggi tersebut dapat diakibatkan oleh melimpahnya detritus, jasad renik dan tanah yang terlarut dalam air (suspended soil). Konsentrasi Dissolve Oxygen (DO) dalam perairan bervariasi berdasarkan waktu yang dipengaruhi oleh faktor fisika, biologi dan kimia perairan. Faktor fisik 22 yang mengatur DO adalah suhu, tekanan atmosfer dan salinitas. Ketika suhu dan salinitas meningkat kemudian tekanan atmosfer menurun maka DO akan menurun. Ketika suhu perairan meningkat satu derajat celsius maka akan menurunkan oksigen terlarut sekitar 10%. Pada perairan yang memiliki suhu lebih tinggi memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah dibandingkan dengan dengan perairan yang suhunya lebih rendah. Bila dihubungan dengan ketinggian daerah (altitude) maka pada daerah yang lebih tinggi kandungan oksigen dalam perairan menjadi lebih rendah. Faktor biologi yang mengatur DO adalah dengan adanya tumbuhan perairan (plankton) yang melakukan proses fotosintesis dan tumbuhan serta hewan yang melakukan proses respirasi sehingga ketersediaan oksigen dalam perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya, dan aktivitas dari organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Michael, 1997). Pada konsentasi DO yang rendah dibawah 3 ppm (hypoxia) secara langsung dapat menyebabkan terjadinya gangguan gametogenesis pada ikan. Gangguan terjadi pada sistem kerja hormon gonad yang tidak bekerja akibat terjadinya perubahan kondisi lingkungan perairan. Sistem kerja hormon sangat dipengaruhi oleh kondisi oksigen terlarut sehingga merupakan stressor utama yang mengatur sistem kerja dari hormon selain itu juga dipengaruhi oleh panas dan luasan dari habitat ikan itu sendiri. Perubahan konsentrasi DO di suatu perairan dapat disebabkan oleh proses eutrofikasi yang disatu sisi memberikan suplai nutrisi bagi plankton tetapi disisi lain menyebabkan perubahan kondisi lingkungan perairan berupa penurunan DO. Penelitian yang dilakukan pada ikan mas dengan menempatkannya pada tempat yang memiliki DO 1 mg/L selama dua bulan menyebabkan hormon estradiol dan testosteron me nurun sebanyak 20% dibandingan dengan ikan yang ditempatkan pada kondisi normal (DO 7 mg/L). Gonadal somatic indeks juga mengalami penurunan 50% pada ikan jantan dan 30% pada ikan betina. Demikian juga terjadi gangguan pada perkembangan sperma dan telur. Telur yang berasal dari induk yang hidup di perairan yang kurang oksigen memiliki kandungan kuning telur yang lebih sedikit dan spermanya mengalami penurunan motilitas (Janssen, 2005). 23 Suhu Suhu merupakan faktor fisik kedua yang penting setelah oksigen. Suhu mengatur pertumbuhan, reproduksi dan kelangsungan hidup ikan. Setiap spesies memiliki batasan optimal suhu untuk melakukan pertumbuhan, pada kisaran suhu yang berfluktuasi terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisiologis pada ikan yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap penyakit bahkan kematian. Suhu perairan mengatur proses metabolisme dari organisme yang hidup di dalamnya terutama ikan. Hal ini terkait dengan ikan yang merupakan hewan berdarah dingin dimana proses metabolisme dipengaruhi oleh suhu perairan. Pada ikan yang hidup di perairan dingin maka proses metabolisme berjalan lebih lambat dibandingkan dengan ikan yang hidup di perairan yang lebih panas. Akibatnya proses pertumbuhan dan perkembangan ikan yang hidup di perairan yang dingin berjalan lebih lambat. Suhu juga dapat menjadi faktor pemicu terjadinya pemijahan pada ikan akibat teraktivasinya hormon dalam tubuh ikan. Penentuan tingkat kelarutan gas dalam air juga dipengaruhi oleh suhu dimana pada suhu yang lebih dingin maka kelarutan gas dalam air akan lebih tinggi. Suhu perairan dipengaruhi oleh panas yang berasal dari cahaya matahari dan suhu udara yang ada di sekitar perairan. Suhu perairan lebih stabil dibandingkan dengan suhu udara, dimana panas lebih lama tertahan dalam air dibandingkan dengan udara. Densitas air sangat dipengaruhi oleh suhu, dimana pada suhu 40 C densitas air berada pada nilai maksimum. Pada suhu diatas atau dibawah 40 C maka densitas air akan berkurang, hal ini menyebabkan di suatu perairan terjadi stratifikasi suhu. Di permukaan air saat keadaan cuaca normal suhunya lebih tinggi dibandingkan denga n suhu di dasar perairan. Adanya stratifikasi suhu memungkinkan terjadinya proses penggabungan antara dua lapisan perairan. Peristiwa terjadinya penggabungan/mixing antara lapisan atas dan lapisan bawah dari suatu perairan disebut dengan peristiwa turn over (pada danau) dan up welling (di laut). Peristiwa turnover dan upwelling terjadi karena adanya perubahan suhu yang cepat di permukaan air yang diakibatkan oleh angin atau hujan sehingga permukaan air menjadi lebih dingin dibandingkan dengan dasar perairan. Pada 24 kondisi suhu yang dingin maka kepadatan/densitas air menjadi lebih berat dibandingkan dengan densitas lapisan air yang ada di dasar perairan. Akibatnya maka terjadi pergerakan lapisan perairan, lapisan permukaan bergerak ke bawah/dasar perairan dan air di dasar perairan menuju ke permukaan air (Florida Lakewatch, 2004). Akibat dari hal tersebut maka ada beberapa kondisi yang terjadi: 1. Lapisan dasar perairan yang bergerak ke arah permukaan memiliki kandungan oksigen terlarut yang kecil. Di perairan danau hal ini dapat menyebabkan terjadi kematian ikan secara massal akibat dari berubahnya kandungan oksigen terlarut pada seluruh lapisan permukaan air. Saat terjadi turn over lapisan dasar perairan juga membawa suspended solid yang banyak mengandung bahan-bahan non organik yang berbahaya bagi mahluk hidup di suatu perairan. 2. Di laut peristiwa terjadi up welling merupakan faktor yang penting bagi ikan, dimana proses terjadinya up welling memberikan kesuburan bagi kondisi perairan. Hal ini terjadi karena dasar perairan yang naik menuju permukaan banyak membawa zat-zat organik yang merupakan bahan yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis oleh plankton. Sehingga pada kondisi up welling di laut secara langsung juga terjadi peningkatan densitas dari plankton. Berbeda dengan di perairan danau karena luasan perairan lebih luas maka proses up welling tidak menyebabkan kematian massal pada ikan. pH (Derajat Keasaman) Adalah ukuran keasaman yang terdapat dalam air. Jumlah ion hidrogen (H+) dalam air akan menentukan apakah air tersebut asam atau basa. Nilai kisaran pH adalah antara 1 hingga 14. Pada kondisi pH yang normal nilainya adalah 7, pada kondisi yang asam nilainya dibawah 7 dan kondisi yang basa nilainnya diatas 7. Kondisi pH yang baik untuk perkembangan ikan antara 6.5 hingga 9. Tingkat pH dalam air berfluktuasi dipengaruhi oleh perolehan dan pengeluaran CO2 selama proses fotosintesis dan respirasi. Tingkat keasaman (pH) perairan akan sangat rendah saat sore hari dan akan tinggi saat tengah hari. 25 Pada kondisi asam (pH 4) merupakan kondisi letal bagi ikan. Pada kondisi tersebut menyebabkan ikan melakukan proses pengaturan kesetimbangan asam dalam tubuhnya agar tubuh tetap pada kondisi pH yang normal. Keseimbangan yang dilakukan oleh ikan adalah dengan mengambil ion bikarbonat (HCO3 ) dari perairan oleh sel klorida yang ada pada sel insang sehingga ion hidrogen ternetralisir. Akibatnya pada proses tersebut maka tubuh ikan menjadi kehilangan ion sodium (Na+) dan Clorida (Cl- ) dan tekanan osmotik dari plasma tubuh juga menurun sehingga bila terjadi terus menerus dapat menyebabkan kematian pada ikan (Ikuta dkk., 2000). Kerusakan sel yang terjadi pada ikan yang matang gonad ketika kondisi perairan berada pada kondisi asam adalah terjadinya malformasi dari embrio yang dihasilkan. Pada level hormon juga terjadi abnormalitas ketika ikan matang gonad hidup di perairan yang pH nya rendah. Hal ini terkait dengan terganggunya proses sistem syaraf endokrin pada saat terjadi proses reproduksi. Beberapa hal yang terjadi pada ikan salmon yang hidup di perairan yang asam adalah sebagai berikut : (Edward dkk, 2005) 1. Pada kondis perairan yang pH-nya 6 maka akan terjadi penuruna n proses terjadinya migrasi, terganggunya pola pemijahan, fungsi kelenjar thyroid ikan, feeding behaviour dan tingkat pertumbuhan dari ikan. 2. Pada kondisi sub- letal (pH 5) menyebabkan terjadinya kegagalan dalam proses ketahanan terhadap penyakit dan reproduksi akibat berubahnya mekanisme fisiologis ikan dari system hormon. Pada ikan yang dewasa juga menyebabkan terjadinya gangguan reproduksi akibat dari terganggunya beberapa proses vitelogenesis selama proses oogenesis. Vitelogenesis yang terjadi di liver mekanisme kerjanya distimulasi ole h hormon estrogen. Ketika hormon estrogen menurun maka proses vitelogenesis juga akan menurun. 3. Pada kondisi pH 4 menyebabkan terjadinya proses regulasi kesetimbangan oleh sel klorida yang ada di insang yang mengakibatkan berubahnya kesetimbangan dan NaCl yang ada dalam tubuh ikan sehingga dapat menyebabkan kematian.