Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal

advertisement
Bab Tiga
Budaya Jawa
di Tengah Arus Global
Pada Periode Pertengahan, kebudayaan disebut humanitas
serta civilitas (Bagus, 2004:424). Kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (1974), terdiri dari dua komponen pokok, yaitu isi
dan wujud. Wujud kebudayaan terdiri dari sistem budaya
(gagasan-gagasan), sistem sosial (tingkah laku), dan fisik (dalam
artefak dan benda-benda hasil budaya yang bersifat material).
Komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal yaitu: bahasa,
sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu
pengetahuan, agama, dan kesenian.
Sistem budaya terdiri dari nilai-nilai budaya dan normanorma etik. Nilai budaya berupa gagasan-gagasan yang dipandang sangat berharga bagi proses keberlangsungan kehidupan,
dengan ruang lingkup yang sangat luas, walaupun eksistensinya
bersifat kabur namun keberadaannya secara emosional disadari
utuh (Simuh, 1999:109).
Pada intinya unsur-unsur pokok dalam kebudayaan
adalah: manusia, akal budi, ilmu pengetahuan, dan relasi sosial
antarmanusia. Kebudayaan dinyatakan bernilai kalau merupakan gagasan yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dengan kata lain, tujuan akhir
53
Jawa Menyiasati Globalisasi
kebudayaan adalah peningkatan kualitas kemanusiaan; memanusiakan manusia.
Kebudayaan dan kemanusiaan ibarat dua sisi dari mata
uang yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Pembahasan tentang kebudayaan Jawa, dengan demikian, tidak
pula dapat dilepaskan dari perkembangan kehidupan manusia
Jawa. Kebudayaan Jawa adalah cerminan dari perkembangan
akal budi manusia Jawa yang kemudian tercermin dalam interaksi internal di antara masyarakat Jawa maupun interaksi eksternal dengan masyarakat dari etnik yang lain.
Sub-Daerah Kebudayaan Jawa
Kebudayaan Jawa tidak merupakan kesatuan yang homogen, paling tidak menurut pandangan orang Jawa sendiri.
Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang bersifat
regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional itu sedikit banyak cocok dengan daerahdaerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur
seperti makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian
rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994).
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa dapat digambarkan ke dalam beberapa sub-daerah kebudayaan Jawa,
sebagai berikut:
1. Sub-daerah kebudayaaan Jawa Banyumas:1 Daerah ini
meliputi bagian barat daerah kebudayaan Jawa.
2. Sub-daerah Bagelen: meliputi wilayah Kabupaten
Purworejo dan sekitarnya.
1 Sering pula disebut sebagai Jawa Panginyongan. Istilah panginyongan
berasal dari kata inyong, yang berarti penulis atau aku. Istilah ini
menunjukkan bahwa orang yang di wilayah sub-daerah kebudayaan Jawa
Banyumasan menggunakan kata inyong dalam pergaulan sehari-hari.
54
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
3. Sub-daerah kebudayaan Jawa yang hidup di kota
Yogyakarta dan Surakarta: memiliki sejarah kesusastraan yang telah ada sejak lima abad yang lalu. Subdaerah kebudayaan ini memiliki kesenian yang maju
berupa tari-tarian dan seni suara keraton, serta ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat
sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu,
Buddha, dan Islam. Wilayah ini sering disebut negarigung.
4. Sub-daerah kebudayaan Jawa pesisir: meliputi daerah
dari Indramayu-Cirebon di sebelah barat, sampai ke
kota Gresik di sebelah timur. Penduduk di wilayah ini
pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang
juga memengaruhi kehidupan sosial-budaya mereka.2
Kebudayaan yang hidup di Surabaya yang khas, oleh
orang Jawa sendiri biasanya dianggap sebagai suatu
sub-daerah kebudayaan yang khusus.
Koentjaraningrat menjelaskan, kebudayaan Jawa yang ada
di daerah Madiun, Kediri, dan delta Sungai Brantas (daerah
“Mojokuto” yang pernah diteliti Clifford Geertz) sebenarnya
sama dengan kebudayaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta. Di
daerah itu juga banyak berkembang gerakan-gerakan kebatinan,
seperti di Surakarta dan Yogyakarta. Orang Jawa menyebut
daerah itu sebagai mancanegari atau “daerah luar,” merupakan
daerah pinggiran dari kebudayaan yang berkembang di Kerajaan Jawa Mataram pada abad ke-17 hingga abad ke-19.
2
Pigeud (seperti dikutip Koentjaraningrat) menyarankan untuk memecah
kebudayaan pesisir ke dalam sub-bagian barat yang meliputi daerah Cirebon,
Tegal, dan Pekalongan, sub-bagian tengah meliputi Kudus, Demak, dan
sekitarnya, dan sub-bagian timur yang berpusat di Gresik.
55
Jawa Menyiasati Globalisasi
Daerah perbatasan mancanegari disebut pinggir reksa.
Ada pula sub-daerah kebudayaan Jawa di wilayah sebelah
selatan Surabaya, meliputi kota Malang dan sekitarnya. Daerahdaerah di Malang dan daerah lebih ke timur lagi, sering disebut
sebagai tanah sabrang wétan.
Orang Jawa Timur menyebut penduduk daerah pantai
selatan Jawa Timur dengan istilah khusus, yaitu tiyang kilènan
(‘’orang barat”). Hal ini disebabkan daerah yang sangat miskin
dan gersang di pantai selatan itu, pada abad-abad yang lalu
menjadi tempat tinggal para pendatang dari mancanegari,
negarigung, dan daerah-daerah lain di sebelah barat Jawa
Timur. Ada tiga daerah yang penduduknya berbeda, dengan
bahasa dan adat yang berbeda pula, yaitu orang-orang Tengger
yang tinggal di kaldera Gunung Tengger, penduduk di sekitar
kota Banyuwangi yang menamakan diri mereka tiyang osing,
dan penduduk ujung timur Pulau Jawa, yaitu orang Blambangan.
Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa yang tinggal di
luar Pulau Jawa dapat pula dianggap sebagai sub-variasi dari
kebudayaan Jawa yang berbeda. Orang Jawa yang dipindahkan
ke Sumatera Selatan atau yang bermigrasi ke perkebunanperkebunan tembakau di Sumatera Utara misalnya, tetap
mempertahankan kebudayaan asli mereka, tetap memperlihatkan sifat-sifat dari logat dan adat-istiadat daerah asal.
Orang Jawa yang merantau ke Semenanjung Malaya atau yang
dipekerjakan sebagai pekerja perkebunan di Afrika Selatan,
Srilanka, Suriname, Curacao (pulau di laut Karibia sebelah
selatan, dekat pesisir Venezuela, salah satu negara konstituen
Kerajaan Belanda), dan Kaledonia Barat, juga mengembangkan
variasi-variasi kebudayaan Jawa.
56
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Kebudayaan Jawa sangat bervariasi. Dapat dipahami, kalau dihadapkan pada pertanyaan “Jawa yang mana?” maka orang
Jawa sendiri tidak dapat menjelaskan dengan tegas dan pasti.
Terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang
bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan Jawa, misalnya
mengenai berbagai istilah teknis dan dialek bahasa. Variasi dan
perbedaan itu tidak besar karena kalau diteliti lebih mendalam,
hal-hal itu masih menunjukkan satu pola atau satu sistem
kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat, 1999:329).
Tidak dapat dimungkiri, selama ini muncul pandangan
yang kuat bahwa kebudayaan Jawa terpusat di dalam lingkungan keraton. Hal itu disebabkan jarangnya (atau bahkan tidak
adanya) literatur-literatur tentang kebudayaan Jawa di luar
lingkup keraton. Buku berjudul Kebudayaan Jawa, Ragam Kehidupan Kraton dan Masyarakat di Jawa 1222-1998 (Ageng
Pangestu Rama, 2007) menggambarkan betapa kuatnya budaya
keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa. Buku tersebut
mengungkapkan sejarah kebudayaan Mataram Kuna, Keraton
Medang, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak,
Pajang, Mataram, Keraton Surakarta, dan Keraton Yogyakarta.
Dua wilayah bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah
pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, dikenal
sebagai pusat Kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu, uraian yang
berkaitan dengan kebudayaan Jawa dalam buku ini pun lebih
berdasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma etik yang
berkembang di lingkungan keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Terlebih lagi, aktor sentral objek penelitian ini adalah seorang
keturunan raja di Keraton Yogyakarta dan raja Keraton Surakarta (diuraikan di Bab Lima).
Dalam perspektif Clifford Geertz (1976), masyarakat di
lingkungan keraton tersebut dikategorikan sebagai golongan
57
Jawa Menyiasati Globalisasi
priyayi. Dua golongan lain adalah abangan dan santri. Kaum
abangan, menurut Geertz setelah melakukan penelitian di Pare
tahun 1952-1954, merupakan gambaran kelompok masyarakat
yang bebas, tidak merasa terikat aturan-aturan/ritual keagamaan, dan sering diasosiasikan sebagai kelompok nasionalis,
bahkan masyarakat desa yang awam dan masih berpikiran
animisme. Santri merupakan identitas Muslim yang sedang
belajar ilmu agama, berasal dari kalangan Muslim ortodoks.
Kaum priyayi merupakan gambaran kalangan elite Jawa, kaum
bangsawan yang pemikirannya dipengaruhi oleh tradisi-tradisi
Hindu-Jawa.
Pendapat Geertz itu menggambarkan, seolah-olah masyarakat Jawa terbagi dalam kotak-kotak yang kaku. Seseorang
kalau bukan abangan pasti santri atau priyayi; kalau bukan
santri pasti abangan atau priyayi; kalau bukan priyayi pasti
abangan atau santri.
Budayawan Emha Ainun Nadjib menolak pandangan
Geertz tersebut. Pengklasifikasian masyarakat Jawa ke dalam
tiga golongan santri, abangan, priyayi seperti memisahkan
antara padi, beras, dan nasi. Menurut Emha, seolah-olah Geertz
membedakan antara kapas, kain, dan baju. Bukankah itu semua
adalah satu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisahpisahkan? Perbedaan yang ada hanya menunjukkan proses yang
masih berlangsung secara bertahap, sebagaimana dari padi
menuju ke beras dan akhirnya menjadi nasi. Demikian halnya
dengan kaum santri, priyayi, dan abangan; sesungguhnya
predikat itu bisa terwakili pada diri salah seorang manusia Jawa!
(Susetya, 2007:8).
Abdurrahman Mas’ud (dalam Anasom, 2004) juga mengkritik karya-karya Geertz dan pengikutnya yang lebih banyak
menggunakan pendekatan dikotomis yang mempertentangkan
58
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Islam modern dan Islam tradisional. Pendekatan itu hanya
menghasilkan gambaran permukaan dan sangat tidak adil
terhadap substansi aktual Islam Jawa itu sendiri.
Sinkretisme Jawa
Salah satu sifat budaya Jawa adalah sinkretisme. Istilah ini
lebih banyak dikaitkan dengan masalah agama, meskipun sebenarnya erat dengan masalah budaya. Sinkretisme, menurut
penulis, menjadi salah satu penyebab kebudayaan Jawa disebut
luwes, fleksibel, mudah menyesuaikan diri dengan kebudayaan
lain yang memengaruhinya.
Sifat-sifat tersebut merupakan kekuatan sekaligus kelemahan. Menjadi kekuatan, kalau sifat itu didukung oleh
ketahanan budaya yang kuat, sehingga tidak luntur oleh kebudayaan yang memengaruhinya. Sebaliknya, menjadi kelemahan,
kalau sifat itu tidak didukung ketahanan budaya yang kuat,
sehingga justru mudah larut oleh kebudayaan yang memengaruhinya.
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin
dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan
elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk
menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda
dan bertentangan (Darori Amin, 2000:87).
Sebenarnya sinkretisme merupakan istilah nonteologis,
bahkan cenderung praktis. Dalam perkembangannya, sinkretisme dipakai dalam bidang agama dan teologi untuk
menunjukkan paling sedikit empat arti (Singgih, 2007:83-84),
yaitu:
59
Jawa Menyiasati Globalisasi
1. Sebagai usaha mendamaikan pendapat-pendapat atau
keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan;
2. Sebagai usaha mengompromikan yang ceroboh; suatu
eklektisme, yaitu sikap memilih-milih beberapa pokok dari sini dan menolak beberapa pokok dari sana;
menolak beberapa dari sini dan sebaliknya menerima
beberapa pokok dari sana. Proses memilih secara
eklektis ini sering menghasilkan sesuatu yang tidak
logis dan tidak konsisten;
3. Proses perkembangan suatu pertumbuhan yang terjadi
di dalam sejarah, yang bersangkut-paut dengan keyakinan dan praktik melalui pergaulan dengan yang
lain;
4. Persatuan ataupun pencampuran dari bentuk-bentuk
yang semula berbeda.
Menurut Sumartana, setiap agama berada dalam ketegangan tarik-menarik antara dua kutub yang berbeda. Kutub
pertama adalah sikap beragama yang ingin mengambil jarak
terhadap perkembangan masyarakat (distansi) dan kutub kedua
cenderung menyesuaikan diri dengan proses pertumbuhan
masyarakat (akomodasi). Sebagai gejala, sinkretisme sering
dihubungkan dengan sikap yang kedua, yaitu kepada pilihan
sikap yang lebih akomodatif serta mencari bentuk-bentuk yang
lebih cocok dengan jalan mengikuti perkembangan zaman serta
kebutuhan setempat. Sebaliknya, sikap anti-sinkretisme biasanya sejajar dengan sikap untuk membela kemurnian ajaran
agama tertentu. Seolah-olah yang murni itu selalu bisa dilacak
akar-akarnya secara tuntas atau kemurnian dianggap identik
dengan yang benar. Padahal klaim-klaim tentang kemurnian
dan kebenaran menunjukkan gejala dan gerak yang makin
plural (Ekopriyono, 2005).
60
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Pada awal abad kedua, untuk kali pertama, seorang
penulis Yunani, Plutarch, menulis tentang sinkretismos (atau
sugkretismos) yang mengacu pada kebiasaan orang Kreta
menggalang persatuan guna menghadapi musuh bersama yang
datang dari luar sebagai ancaman bagi suku tersebut.
Dapat dikatakan, makna asli sinkretisme menyangkut adat
orang Kreta, yang walaupun sering konflik di antara mereka
sendiri, mereka akan bersatu apabila ada bahaya yang mengancam kehidupan bersama. Ungkapan itu menunjuk kepada kerja
sama warga masyarakat menghadapi musuh bersama dari luar.
Pada awalnya tidak ada konotasi agama.
Pergeseran makna terjadi pada abad-abad berikut, yaitu
ketika kata sinkretisme diambil alih oleh gereja menjadi ungkapan teologis yang baku, khususnya dalam kesibukan mereka
mengejar para penyebar ajaran sesat. Dalam semangat untuk
membakukan dan menyatukan ajaran, maka upaya pemurnian
menjadi obsesi utama. Upaya pemurnian tersebut dilakukan
dengan mengidentifikasi segala unsur ajaran filsafat atau agama
lain yang dianggap menyesatkan ajaran.
Pergeseran makna terjadi secara sekaligus, yaitu menggabungkan ajaran sesat dengan tuduhan mencampurkan agama.
Alhasil, pada akhirnya, bersamaan dengan kecenderungan
untuk menghukum segala ajaran yang dianggap sesat, muncullah suatu muatan makna baru dari kata sinkretisme, yaitu upaya
mencampuradukkan bermacam-macam unsur agama menjadi
satu agama baru. Rumusan dan pemahaman semacam itu
menciptakan pijakan keabsahan untuk menghukum semua
orang yang dianggap telah menyelewengkan ajaran agama.
Mereka patut dihukum karena mengontaminasikan ajaran
gereja yang baku dan resmi.
61
Jawa Menyiasati Globalisasi
Definisi tersebut lama kelamaan menjadi baku dan diturunkan dari generasi ke generasi, bukan hanya dalam
semangat keagamaan, melainkan juga dalam kategori ilmu. Ilmu
agama atau teologi, sudah sejak lama menerima definisi tentang
sinkretisme dan belum pernah berubah sampai sekarang; yaitu
upaya mengambil secara eklektik komponen dari banyak agama
lalu digabungkan untuk menciptakan agama baru. Orang tidak
sadar bahwa di dunia ini, di sepanjang sejarah, tidak ada (dan
tidak akan ada) orang yang memiliki kemampuan semacam itu.
Siapa di dunia ini mampu menggabungkan agama-agama menjadi satu agama baru?
Sinkretisme telah dirumuskan sebagai definisi yang tidak
realistik dan tidak mungkin terjadi di muka bumi. Anehnya,
justru definisi itulah yang telah menjadi rumusan yang diterima
secara a priori dalam ilmu agama. Aneh pula, banyak orang
menerima pengertian itu tanpa mempertanyakan secara kritis.
Redefinisi menyangkut sinkretisme, berarti mengembalikan kepada arti kata yang asli. Kita perlu kembali kepada makna
yang semula, yaitu menggalang kekuatan sosial-politik untuk
menghadapi musuh bersama. Sinkretisme sama sekali tidak ada
hubungan dengan upaya mencampuradukkan unsur dari banyak agama untuk membuat agama baru.
Sinkretisme perlu dikembalikan pada pengertian semula,
yaitu menggalang kekuatan untuk menghadapi musuh bersama.
Dengan demikian, tidak perlu ada lagi kekhawatiran, bahwa
sinkretisme akan mencampuradukkan ajaran-ajaran agama yang
ada. Sinkretisme justru penting diterapkan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, yang sampai sekarang pun belum terbebas dari konflik-konflik bernuansakan agama. Sinkretisme
justru akan mendorong terjadinya kerja sama sosial di antara
62
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
penganut agama untuk menghadapi masalah bangsa, seperti
kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.
Sinkretisme dalam makna kerja sama sosial itulah yang
perlu dikembangkan dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa
yang sinkretis harus dimaknai sebagai kebudayaan Jawa yang
mampu menggalang kerja sama sosial menghadapi musuh
bersama.
Sinkretisme merupakan sifat kebudayaan Jawa, sehingga
kebudayaan Jawa sangat relevan dengan usaha-usaha menyatukan bangsa dan membebaskan dari pertentangan-pertentangan.
Kerja sama sosial dalam konteks sinkretisme tersebut juga dapat
diharapkan mendorong terjalinnya dialog antarpemeluk agama,
karena dialog yang bersifat teologis hampir tidak mungkin
dilakukan.
Dalam ranah kebudayaan, sebaiknya sinkretisme dipandang sebagai penggalangan kekuatan budaya menghadapi
musuh bersama. Sinkretisme Jawa dapat digunakan untuk
menggalang kekuatan ketahanan budaya Jawa menghadapi
pengaruh-pengaruh budaya dari luar yang masuk melalui gerakan globalisasi, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah.
Menurut Clifford Geertz, terdapat dua kaidah yang paling
menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Dua
kaidah itu, seperti dikutip Franz Magnis Suseno (1988) disebut
sebagai prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Orang Jawa,
menurut dua kaidah itu, selalu berusaha mencegah timbulnya
konflik dan menghormati orang lain. Kata kunci dari keduanya
adalah harmoni, yang sangat berkaitan dengan sinkretisme.
Sinkretisme mencari keserasian dan keseimbangan.
Nenek moyang orang Jawa mengajarkan, bahwa agama
adalah sandhangané wong urip, sanguné wong mati. Makna
ungkapan itu adalah, bahwa ketika hidup orang harus punya
63
Jawa Menyiasati Globalisasi
pegangan hidup (agama) karena tanpa agama hidup seseorang
ibarat kapal tanpa nakhoda; ketika mati maka orang pun harus
membawa (hasil pelaksanaan ajaran-ajaran) agama untuk menghadap Sang Khalik.
Menurut pandangan orang Jawa, agama adalah ageman
(sandhangan, busana, atau pakaian). St. S. Tartono (2009:39)
berpendapat, pakaian tersebut bukan sembarang pakaian, melainkan pakaian yang aji, yang bernilai tinggi atau yang mulia,
oleh karena itu orang memakainya dengan penuh rasa hormat.
Rasa hormat itu ditunjukkan dengan tunduk dan patuh
menjalankan segala perintah, peraturan, dan nilai-nilai luhur
yang diajarkan.
Dalam konsep pemikiran orang Jawa, seorang pemimpin
atau pemuka masyarakat, raja misalnya, harus menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur agama. Mereka harus memeluk agama
dengan seksama, penuh rasa hormat, sebagaimana layaknya
orang mengenakan busana aji, pakaian yang mulia. Kalau hidup
keagamaannya bagus, di samping diakui sebagai pemimpin rakyat, mereka akan dianggap sebagai pemuka agama. Itulah
sebabnya, raja-raja Jawa pada umumnya bergelar sayidin
panatagama kalifatullah tanah Jawi, yang berarti pemimpin
penata agama khalifah Allah di Tanah Jawa.
Agama sandhangané wong urip, sanguné wong mati pun
bermakna, bahwa dalam menjalankan kehidupan beragama
orang tetap harus menjaga keserasian dan keselarasan; harus
menjaga harmoni. Termasuk di dalamnya, menghormati orang
lain yang memeluk agama berbeda. Orang Jawa sangat dekat
dengan hal-hal yang bersifat batin (olah rasa), maka pendekatan
keberagamaannya pun lebih bersifat batiniah; suatu usaha
menuju kebenaran hakiki, “yang inti,” bukan “yang luar,” bukan
yang bersifat kemasan.
64
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
KGPAA Mangkunagoro IV (1994:14) menyatakan dalam
Serat Wedhatama:
Mingkar-mingkuring angkara
akarana karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngélmu luhung
kang tumrap nèng tanah Jawa
agama ageming aji.
Artinya: Menghindarkan diri dari angkara, sebab ingin
mendidik putra, dalam bentuk keindahan syair, dihias
agar tampak indah, agar menumbuhkan jiwa dan ilmu
luhur, yang berlaku di tanah Jawa, agama sebagai
pegangan yang bermanfaat.
Inti ajaran itu adalah, bahwa agama sesungguhnya merupakan pegangan seseorang agar hidup lebih bermakna. Makna
tersebut ada kalau seseorang berjiwa luhur dan memiliki ilmu
yang bermanfaat bagi sesama. Esensinya adalah, semua agama
harus diamalkan bagi kepentingan umat manusia.
Perkembangan Kebudayaan Jawa
Sulit ditemui referensi yang mengungkapkan secara jelas
tentang kebudayaan asli Jawa sebelum pengaruh budaya India
yang dibawa agama Hindu dan Buddha. Beberapa referensi
hanya menyebutkan, bahwa kebudayaan asli Jawa lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar
pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama HinduBuddha.
Menurut Poerbatjaraka, bangsa India (Hindu maupun
Buddha) menyebarkan agama, ilmu pengetahuan, sastra, dan
bahasa kepada penduduk pribumi Jawa, di samping melakukan
aktivitas perdagangan. Pengaruh bahasa Sansekerta yang ber65
Jawa Menyiasati Globalisasi
corak Hinduisme tampak sekali dalam sastra pewayangan,
misalnya pada Kakawin Ramayana dan Mahabharata.
Selama berabad-abad kebudayaan India memengaruhi
tanah Jawa. Berangsur-angsur, kejayaan Hindu-Buddha tersebut
menyusut setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit berakhir.
Pengaruh Hindu-Buddha bergeser ke Bali, sehingga sampai
sekarang pun, agama Hindu merupakan agama yang dianut oleh
mayoritas penduduk Bali.
Selain Hindu dan Buddha, seperti dikutip Purwadi dari
berbagai sumber (2009:21), kebudayaan Jawa juga dipengaruhi
oleh agama Islam yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan
datangnya para saudagar ke pelabuhan-pelabuhan penting di
Sumatera, misalnya di Lamuni, Aceh, Barus, dan Palembang, di
pelabuhan Sunda Kelapa dan Gresik.
Selain pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, budaya Jawa
juga dipengaruhi oleh masuknya agama Kristen bersamaan
dengan penjajahan Belanda. Pengaruh tersebut, meskipun lebih
kecil dari pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya terlihat dalam ajaran-ajaran kebatinan, antara lain dalam pemahaman tentang konsep hubungan manusia, Tuhan, dan roh kudus.
Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Buddha
Sangat sedikit kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama Jawa, sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha yang dapat
dikenal secara pasti. Dari warisan hukum adat dan tradisi yang
masih menonjol dan berpengaruh kuat sampai sekarang, dapat
diperkirakan bahwa susunan masyarakat Indonesia sudah teratur sebelum pengaruh agama Hindu-Buddha. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar kalau sistem religi animismedinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh
aktivitas kehidupan masyarakatnya.
66
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Sutan Takdir Alisyahbana, seperti dikutip Simuh (1999:
110-111) mengatakan:
Seperti kebudayaan bersahaja lainnya dalam
sejarah, bangsa Indonesia sebelum datang kebudayaan
India dapat dikatakan memiliki cara berpikir yang
sangat kompleks, yakni bersifat keseluruhan dan emosional, sangat dikuasai oleh perasaan, yang sangat rapat
dengan pengaruh kebudayaan agama, kepercayaan kepada roh-roh dan tenaga-tenaga gaib yang meresapi
seluruh kehidupannya. Pikiran dan perbuatannya tertuju bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh yang
baik dan bagaimana menjauhkan pengaruh roh-roh
yang bersifat mengganggu (jahat).
Di Jawa, menurut Simuh, pendewaan dan pemitosan
terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan pada
roh nenek moyang, yang mendorong timbulnya hukum adat,
kebudayaan, dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacaraupacara selamatan, roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa
pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Seni pewayangan
dan gamelan, semula sebagai sarana upacara keagamaan untuk
mendatangkan roh nenek moyang. Fungsi roh nenek moyang
merupakan pengemong dan pelindung keluarga yang masih
hidup. Dalam wayang, roh nenek moyang dipersonifikasikan
dalam bentuk punakawan.
Agama asli yang oleh para pemikir Barat disebut religionmagis itu merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kepercayaan animismedinamisme sangat memercayai roh-roh halus dan daya-daya
magis terdapat di alam semesta atau alam rohani, yang eksistensinya langsung dapat memengaruhi dan menguasai hidup
manusia.
Roh dan tenaga-tenaga gaib dipandang sebagai tuhantuhan yang langsung dapat mencelakakan, serta sebaliknya,
67
Jawa Menyiasati Globalisasi
menolong kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut
Alisyahbana, bahwa “pikiran dan perbuatan manusia tertuju
bagaimana menjauhkan pengaruh roh yang jahat.” Kalau tenaga
gaib tersebut dianggap tidak berkepribadian, masalahnya adalah
bagaimana memperkuat diri dengan tenaga-tenaga yang gaib
itu, juga bagaimana menguasai untuk dapat memakainya bagi
kepentingan, baik secara personal maupun kolektif (masyarakat). Solidaritas sosial berkembang menjadi konsep gotongroyong yang memang cukup menonjol, karena ikatan-ikatan
masyarakat masa itu berbentuk republik-republik desa yang
kecil-kecil.
Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Buddha
Menurut Muljana (2007), pengaruh Hinduisme paling
kuat di Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah, pengaruh agama dan
peradaban Hindu-Buddha telah melahirkan kebudayaan Mataram Kuna di daerah pedalaman yang bersendikan pertanian.
Sanjaya, raja yang hampir menguasai seluruh Jawa Tengah pada
permulaan abad ke-8, beragama Syiwa, mendirikan kompleks
Candi Syiwa di dataran tinggi Dieng. Raja Sanjaya surut,
muncullah Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha
Mahayana dan mengadakan perserikatan dengan Kerajaan
Sriwijaya. Kebesaran Dinasti Syailendra ini tampak dari Candi
Borobudur, yang juga menunjukkan ketinggian peradaban masa
itu. Pada akhir abad ke-8 diperkirakan Dinasti Syailendra
kembali memeluk Agama Syiwa dan kemudian mendirikan
kompleks Candi Prambanan yang sangat megah.
Bangunan candi-candi serta warisan tradisi upacara keagamaan yang berlangsung terus sampai saat ini, menunjukkan
pengaruh Hindu-Buddha. Raja-raja Jawa dikeramatkan sebagai
pusat penjelmaan dewa di dunia (raja titisan déwa, raja
pembawa esensi kedewataan di dunia). Raja juga dibebani tugas
68
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
sangat berat untuk menjadi teladan dalam mengagungkan dan
melakukan upacara-upacara keagamaan. Di kerajaan yang bersendikan Hinduisme-Buddhisme tersebut, agama menjadi dasar
untuk mendukung kekeramatan dan wibawa kerajaan. Agama
merupakan nilai yang sangat penting bagi tegaknya kerajaan
Jawa.
Pada abad ke-11, Kerajaan Kediri maju pesat di bawah
Raja Airlangga yang memeluk agama Syiwa dan Buddha; yaitu
sinkretisme antara agama Syiwa dan Buddha Tantrayana.
Muncul gubahan sastra keagamaan Ramayana dan Mahabarata
dalam bentuk puisi yang disebut serat kakawin. Mulai muncul
kesusastraan Jawa Kuna yang kemudian menjadi sumber untuk
memasyarakatkan seni pewayangan di Jawa.
Pada masa Kerajaan Majapahit, agama Syiwa dan Buddha
hidup berdampingan menjadi agama resmi negara. Puncak kejayaan terjadi pada masa Patih Gadjah Mada, dengan Sumpah
Palapa yang terkenal itu. Perdagangan dengan dunia luar berkembang pesat berkat jasa para perantara orang-orang asing
beragama Islam, yaitu orang-orang dari Gujarat, Persia, Cina,
dan mungkin juga Arab.
Candi-candi dari zaman Singasari-Majapahit dimaksudkan
sebagai tempat pemujaan arwah leluhur, yakni arwah keluarga
raja yang telah mangkat; digunakan untuk menyimpan abu
jenazah dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja.
Meskipun wujudnya candi Syiwa atau Buddha, candi-candi itu
pada hakikatnya adalah candi makam, bukan semata-mata
tempat pemujaan Syiwa atau Buddha seperti Candi Borobudur
atau Candi Prambanan di Jawa Tengah. Pada zaman itu telah
terjadi percampuran antara kepercayaan asli yang berupa
pemujaan arwah leluhur dan kepercayaan asing berupa agama
Syiwa dan Buddha (Muljana, 2007:259).
69
Jawa Menyiasati Globalisasi
Patih Gajah Mada bermaksud mengagungkan Majapahit
di bidang politik dengan jalan memperluas wilayah. Keagungan
Majapahit terletak dalam menghimpun daerah-daerah Nusantara di bawah lindungan kerajaan tersebut. Gajah Mada mengutamakan negara dan kemakmuran rakyat daripada keagungan
keagamaan. Inilah salah satu faktor yang menunjukkan perbedaan pokok antara keagungan Mataram dan keagungan
Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Mataram Kuna, candi-candi (Borobudur, Prambanan, Pawon, dan Mendut) dibangun demi
pengagungan agama. Itulah pembangunan monumen keagamaan yang hanya mungkin dilakukan berkat dorongan semangat
keagamaan yang menyala-nyala di lingkungan keraton dan
kalangan rakyat.
Kebudayaan India (Hindu-Buddha) bersifat ekspansif,
adapun kebudayaan Jawa menerima dan menyerap unsur-unsur
Hinduisme-Buddhisme. Proses itu bukan sekadar akulturasi,
melainkan kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Di sini para
budayawan Jawa bertindak aktif, berusaha mengolah unsurunsur agama dan kebudayaan India untuk memperbarui dan
mengembangkan kebudayaan Jawa.
Menurut Bambang Noorseno (2003:26), cerita Ajisaka
datang ke Pulau Jawa menggambarkan keberhasilan para
cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu ke huruf
Jawa, serta proses pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat
peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Secara lengkap, huruf Jawa itu
adalah: hanacaraka, datasawala, padhajayanya, maga-bathanga.
Rangkaian huruf itu menggambarkan cerita: dua utusan (abdi)
yang setia, selalu berselisih sehingga mereka saling bentrok
70
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
secara fisik, keduanya sama-sama kuat, sehingga akhirnya
keduanya meninggal dunia.
Menurut legenda, 20 huruf tersebut diciptakan oleh
Ajisaka, seorang tokoh Jawa, untuk mengabadikan lakon tragis
dua abdi yang setia. Keduanya bersitegang dengan penafsiran
yang berbeda terhadap makna perutusannya. Sampai kedua
utusan itu meninggal, mereka tidak saling mengerti tentang
misi perutusannya, yang sebenarnya sama. Ketidakmengertian
itu justru disebabkan masing-masing memegang teguh perintah.
Kedua utusan itu bernama Setia dan Setuhu, yang dalam Bahasa
Jawa berarti setia dan taat. Tidak ada yang benar, tidak ada yang
salah di antara mereka, karena keduanya hanya taat pada
perintah, tapi keduanya tidak saling membuka diri. Cerita itu
mengandung pesan, bahwa karakter Jawa cenderung mencari
kompromi dari kutub-kutub yang secara apriori dipertentangkan. Cerita hanacaraka menyingkap suatu sikap nervous
dan rasa khawatir terhadap segala bentuk intoleransi dan
fanatisme (Soeprapto Nitihardjo, 2001).
Nitihardjo menjelaskan, bacaan serangkaian kalimat
bunyi aksara suku kata urutan lima huruf permulaan dari 20
aksara pada baris pertama berbunyi ha na ca ra ka yang berarti
ada duta atau utusan. Oleh karena itu, dulu kata alfabet
aksaranya disebut carakan terletak di bumi yang Jawa (panjang),
menjadi Carakan Jawa. Aksara tersebut memberi pengertian
tentang tujuan hidup, yaitu: mengerti akan tujuan dari sangkan
(asal-usul hidup manusia); tujuan perilaku hidup dalam
kehidupan di dunia; dan tujuan di kelak kemudian hari setelah
meninggalkan hayat di dunia. Tiga unsur itu kemudian dikenal
sebagai unsur-unsur dalam ilmu sangkan paraning dumadi.
Proses penyebaran unsur-unsur Hinduisme di Jawa tidak
dilakukan oleh para pendeta yang sakti, melainkan oleh
golongan cendekiawan Jawa sendiri yang menjelma menjadi
71
Jawa Menyiasati Globalisasi
kaum bangsawan atau para priayi Jawa, maka di tangan mereka
unsur-unsur Hinduisme-Buddhisme mengalami jawaisasi, bukan sebaliknya. Wajar kalau agama dan kebudayaan Hinduisme-Buddhisme tidak diterima secara lengkap dan utuh.
JWM Bakker dalam Agama Asli Indonesia (seperti dikutip
Simuh, 1999:116) mengatakan: “Agama Hindu murni tidak
pernah menjadi milik bangsa Indonesia. Hanya unsur-unsur,
bukan asasi sebagai Mahabarata dan Ramayana menjadi populer
dan disesuaikan dengan pandangan setempat. Hinduisme tenggelam dalam lautan pemikiran asli, hanya dimanfaatkan untuk
lebih menegaskan pandangan hidup Indonesia yang waktu itu
masih samar-samar.”
Kebudayaan Jawa yang dihasilkan pada masa HinduBuddha bersifat terbuka untuk menerima agama apa pun,
dengan pemahaman bahwa semua agama baik dan benar, yang
penting pengamalan setiap agama harus ditujukan bagi kepentingan dan kebesaran masyarakat.
Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sudah mengembangkan pemahaman inklusivisme, atau bahkan pluralisme
dalam keberagamaan. Pemahaman tersebut hampir tidak dapat
ditemui di dalam kalangan umat beragama saat ini. Salah satu
penyebabnya adalah kita tidak lagi memiliki ketahanan budaya
lokal yang kuat, serta kuatnya klaim-klaim kebenaran dan
keselamatan di kalangan penganut tiap-tiap agama.
Kebudayaan Jawa masa Hindu-Buddha sangat bersifat
sinkretis (bersifat momot atau memuat), ketika setiap agama
diterima dengan sikap terbuka dan tidak memedulikan benar
salah agama tersebut. Agama Hindu dan Buddha di negeri asalnya justru bermusuhan, sedangkan di Jawa dapat dipersatukan
menjadi konsep agama Syiwa-Buddha.
72
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Ciri lain yang nampak menonjol dalam kebudayaan Jawa
adalah sangat bersifat teokratis. Pengeramatan raja sebagai
pembawa esensi kedewataan di dunia adalah salah satu bukti
sifat teokratis. Sejarawan Onghokham (dalam Simuh, 1999:117)
mengatakan:
“... dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai
bentuk legitimasi. Dalam zaman Hindu-Jawa diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising déwa. Ini
berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan
raja, untuk mencapai kemurnian di dunia dan di
akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan
kerajaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta, dan
keraton. Berbagai tulisan menyatakan, kebesaran raja
dan kebijaksanaan serta kekeramatannya menjadi satu
kesatuan yang final. Memang raja dan kehidupan
keraton adalah puncak peradaban kerajaan masa ini.”
Cerita legenda yang termuat dalam Ramayana dan
Mahabarata memang dimanfaatkan oleh para sastrawan Jawa
untuk menanamkan konsep raja binathara (raja titising déwa,
raja yang bersifat dewa). Konsep tersebut menuntut ketaatan
rakyat kepada raja, baik mengenai urusan dunia maupun urusan
akhirat. Artinya, raja adalah wakil Tuhan di bumi, sebagai
imam dalam urusan rohani (agama) dan duniawi.
Dalam Negara Kretagama karya Mpu Prapanca, seorang
pujangga terkenal Majapahit, dilukiskan betapa besarnya peran
raja dalam mengatur urusan agama. Raja Majapahit memperoleh
kekuasaan berkat keturunan, kecuali Raja Kertarajasa Jayawardhana, raja pertama Majapahit yang memupuk kekua-saan
melalui peperangan melawan raja Kediri, Jayakatwang.
Selain memegang pucuk pimpinan dalam pemerintahan,
raja Majapahit juga merupakan kepala dalam lingkungan
kerabat raja. Pada umumnya mereka bergelar sri maharaja, sri
yawabhuwanaparameswara, seperti pada piagam Kertarajasa
73
Jawa Menyiasati Globalisasi
Jayawardhana tahun 1305: maharaja Nararya Sanggramawijaya;
pada prasasti Lamongan: sri maharaja; pada prasasti Sidateka
(1323): sri maharaja rajadhiraja parameswara sri Wiralandagopala; pada prasasti O.J.O LXXXIV: sri maharaja Wisnuwardhana; pada prasasti Nglawang: sri maharaja (Muljana,
2007:179).
Masuknya Hindu dan Buddha serta kebudayaan India
tidak serta merta membongkar kepercayaan animisme-dinamisme sebagai kepercayaan asli yang telah mengakar dalam
kebudayaan Jawa. Sebaliknya, lebih menyuburkan kepercayaan
serba magis dan animis.
Dalam konteks pemikiran itu, maka ada kecenderungan
bahwa kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia justru
mengalami kemunduran. Kemunduran dari pemahaman yang
dulu terbuka menjadi pemahaman yang tertutup; dari inklusifpluralis menjadi eksklusif. Konsep inklusivitas sesungguhnya
sangat signifikan untuk mengantisipasi gejala disintegrasi bangsa. Paradigma eksklusif tidak lagi cocok diterapkan dalam
penyebaran agama. Pandangan inklusif akan membuat agamagama sangat berperan dalam peradaban manusia (Ekopriyono,
2005:123).
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Peralihan kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam tidak
lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat
gelar para wali tanah Jawa. Muncullah sastra Jawa yang memuat
ajaran-ajaran keislaman yang masih terpelihara, juga merupakan sastra sufi yang disusun pada abad ke-16.
Menurut Simuh (1994), di Jawa Islam menghadapi
suasana dan kekuatan budaya yang telah berkembang kompleks
dan halus, yang merupakan hasil penyerapan unsur-unsur
74
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Hinduisme-Buddhisme yang dipertahankan oleh para cendekiawan serta para penguasa kerajaan Jawa. Oleh karena itu, di
Jawa, Islam menghadapi dua jenis kekuatan lingkungan budaya,
yaitu:
1. Kebudayaan para petani lapis bawah yang merupakan
bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat
istiadat yang dijiwai oleh religi animisme-dinamisme;
2. Kebudayaan istana yang merupakan tradisi adiluhung
dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Buddha yang memperkaya serta memperluas budaya dan tradisi lapisan
atas.
Di zaman kerajaan Islam, budaya pedesaan masih tetap
didominasi tradisi lisan, adapun budaya kaum priayi dalam
lingkungan istana sudah mengembangkan tradisi tulisan dengan
memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Buddha. Kebudayaan
kaum priayi merupakan sinkretisme yang sangat kompleks. Dari
unsur-unsur klenik yang serba magis-animis sampai unsurunsur mitologis-mistis yang halus tergabung menjadi satu bangunan yang rumit dan kompleks.
Kebudayaan priayi masih tetap mempertahankan landasan
religi animis-dinamisme dengan tatanan adat-istiadat yang
mendukungnya, namun telah diperkaya serta diperhalus dengan
sastra dan tata nilai Hindu (huruf: hanacaraka), sistem perhitungan tahun saka, agama, dan konsep kerajaan Hindu dengan
adanya kepercayaan raja sebagai penjelmaan dewa.
Islam masuk Jawa, menurut Koentjaraningrat (1994),
melalui suatu negara yang baru muncul di pantai barat Jazirah
Melayu, yaitu Malaka. Pada abad ke-14, ketika kekuasaan
Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan
mulai berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang
75
Jawa Menyiasati Globalisasi
melalui kepulauan Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu.
Pelabuhannya sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang
muslim dari Gujarat dan Persia. Pada abad ke-13 mereka
membawa agama Islam, mula-mula ke pantai timur Aceh,
kemudian ke Malaka, dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke
pulau-pulau rempah di Indonesia, dan juga ke kota-kota
pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa.
Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak
dapat menembus benteng kerajaan Hindu-Jawa, sehingga harus
memulai dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang
pesisiran yang melahirkan lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren. Baru pada abad ke-16, dakwah Islam mulai
menembus benteng-benteng istana. Unsur-unsur Islam mulai
meresap dan mewarnai sastra istana. Hal itu terjadi dengan
berdirinya kerajaan Jawa Islam Demak yang mendapat
dukungan para wali tanah Jawa.
Sejak runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518)
dan berdirinya kerajaan Islam Demak, dimulai pula Islam
menjadi bagian dari kehidupan para priayi Jawa. Pergaulan
priayi Jawa atau cendekiawan Jawa dengan para guru agama
yang sangat dimuliakan dengan gelar wali tanah Jawa mendorong interaksi Islam dengan sastra dan budaya istana. Bahkan,
menurut penilaian para pujangga, berdirinya Kerajaan Demak
sebagai zaman peralihan; peralihan dari zaman kabudan (tradisi
Hindu-Buddha) ke zaman kawalèn (Islam).
Peralihan tersebut menyebabkan terjadinya penyesuaianpenyesuaian yang berupa sinkretisme antara warisan budaya
animisme-dinamisme, Hinduisme, Buddhisme, dan unsur-unsur
Islam. Bentuk perpaduan itu sering disebut dengan istilah
Islam-Kejawèn atau sering pula disingkat kejawèn. Dengan
beralihnya pusat kerajaan ke daerah pedalaman, dengan berdiri-
76
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
nya Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, lebih menyuburkan
bentuk sinkretisme itu.
Dalam konsep kebudayaan Jawa tradisional, otonomi
adalah hak mutlak sang raja. Dalam diri raja terpadu derajat
kependetaan (raja-pinandhita) dan derajat ketuhanan (rajabinathara). Rakyat semata-mata menjadi budak sang raja dan
kaum priayi. Jadi, kendala tradisi dengan berbagai mitos dengan
pusaka-pusaka “dikiaikan” (dianggap sebagai “kiai”) merupakan
sarana para penguasa politik untuk menghambat dan meniadakan pertumbuhan tuntutan individualisme dan otonomi
manusia.
Pada zaman Islam, sesudah masa Demak sampai Mataram,
timbul bentuk otonomi manusia yang cukup unik akibat
pengaruh tasawuf Islam. Muncul ajaran tentang insan kamil
(manusia yang sempurna) yang dalam tasawuf dan mistik
kejawèn diungkapkan dengan konsep manunggaling kawula lan
Gusti. Kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan
kekuasaan Tuhan sendiri.
Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia dengan
Atomnya (Purwadi, 2004) menyarankan agar manusia menguasai keempat nafsu yang ada dalam dirinya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Egosentros; sama dengan lauwamah (nafsu serakah);
Palemos; sama dengan amarah (nafsu jahat);
Eros; sama dengan sufiah (nafsu asmara);
Religius; sama dengan mutmainah (nafsu keinginan
berbuat baik).
Ronggowarsito menjelaskan konsep insan kamil dalam
Serat Wirid Hidayat Jati, agar manusia tidak jatuh dari
martabatnya ada empat hal yang perlu diperhatikan (Purwadi,
2004: 139-140), yaitu:
77
Jawa Menyiasati Globalisasi
1. Nistha papa: barangsiapa berbuat hina, pasti akan
menjadi melarat;
2. Dora sangsara: barangsiapa berbuat dusta pasti akan
sengsara;
3. Dhusta lara: barangsiapa jahat pasti akan sakit;
4. Nihaya pati: barangsiapa bertindak aniaya, akan
celaka.
Konsep insan kamil tersebut hampir sama dengan pemikiran humanisme Barat, bahwa manusia adalah individu yang
memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan jalan
hidup. Perbedaannya terletak pada proses pembentukan kesadaran tentang kebebasan. Dalam humanisme Barat kesadaran
itu muncul sebagai respons terhadap dominasi agama/gereja
yang menafikan keadaan manusia sebagai individu yang bebas,
adapun dalam konsep insan kamil kesadaran itu muncul sebagai
perwujudan dari “menyatunya” antara manusia dan Tuhan;
Tuhan bersemayam dalam diri manusia.
Kebudayaan Jawa dan Kekristenan
Tidak banyak sumber tertulis mengenai perjumpaan
budaya Jawa dan kekristenan. Mungkin hal itu karena Kristen
sebagai agama yang paling akhir mengembangkan pengaruh di
Jawa, juga karena agama ini tidak pernah berjaya sebagai
kerajaan.
Theodore G. Th. Pigeud dalam bukunya Literature of Java
(dalam Bambang Noorseno, 2003:41), hanya menyebutkan beberapa buku. Salah satu di antaranya, yang juga disebut oleh C.
Guillot dalam tesisnya, adalah buku karya Tosari berjudul Rasa
Sejati. Buku ini memuat serangkaian ajaran Kristen dalam
bentuk tembang macapat. Meskipun secara eksplisit karyakarya Kristen-Jawa tidak banyak dijumpai, namun pengaruhnya
tidak dapat diabaikan. Sejarah pekabaran Injil di Jawa, mulai
78
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
dari Colen, Kiai Tunggul Wulung, dan Kiai Sadrakh, sampai
misionaris Barat, menunjukkan pengaruh tersebut.
Sebelum ada campur tangan misionaris Barat, pekabaran
Injil di Jawa yang relatif alamiah tidak menimbulkan gejolak
apa pun. Seperti Sunan Kalijaga tidak perlu menjadi Arab ketika
ia bertobat menjadi Islam, para kiai Kristen Jawa menerima
Kristen tetapi menolak Belanda. Kiai Tunggul Wulung tetap
mempertahankan identitas Jawanya, begitu pula Kiai Sadrakh
yang menyebut jemaahnya sebagai “pasamuwané wong Kristen
mardika” (jemaat Kristen merdeka).
Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan
misionaris Barat. Kedekatan itulah yang kemudian menuai
kritik. Sindiran tajam terhadap komunitas Kristen dapat dibaca
dalam Serat Bayanullah karya Raden Panji Natarata. Orang Jawa
yang menjadi Kristen disebut sebagai “lingling klalanganing
pikir, wirang isin wong Jawa salin agama,” Artinya, “pikiran
linglung, tidak tahu malu orang Jawa berpindah agama.”
Pada zaman itu orang Jawa menjadi Kristen dianggap
aneh. Muncul di masyarakat ungkapan-ungkapan yang menunjukkan gejala itu, antara lain “Kristen iku agamané wong landa.”
Ungkapan itu menyiratkan, bahwa Kristen hanyalah agama bagi
orang Belanda. Praktik kehidupan Kristen belum sepenuhnya
dapat diterima oleh masyarakat karena dianggap tidak lazim.
Misalnya, cara menyembah dengan cara berhadap-hadapan
(jemaat dan pendeta/pastur). Mungkin pula karena hubungan
orang-orang Kristen dengan kalangan Belanda.
Seperti Hindu, Buddha, dan Islam yang akhirnya diterima
oleh orang Jawa setelah mengalami proses jawaisasi, Kristen
akhirnya juga diterima. Kontribusi kekristenan tidak dapat
dianggap kecil untuk memperindah mozaik spiritualitas Jawa
yang tersusun dari berbagai tradisi keagamaan. Pertemuan
79
Jawa Menyiasati Globalisasi
antara iman Kristen dan kejawèn memang telah terjadi dan
akan terus terjadi.
Menurut Bambang Noorseno (2003:46), di Desa Ngoro,
Jawa Timur, pernah dipelopori “pengawinan” kejawèn dan
kekristenan. Hasilnya, sudah pasti, tidak selalu semua orang
Kristen setuju. Itulah alasan konflik antara para kiai Kristen
Jawa dan para misionaris Barat yang menuduh mereka telah
membelokkan katekese3 ke arah klenik atau takhayul yang tidak
masuk akal.
Konflik antara lain muncul di tahun 1899 antara Kiai
Sadrakh dan para misionaris Kristen. Puncaknya terjadi ketika
Kiai Sadrakh menobatkan diri sebagai ”Rasul Jawa” dan
melarang pengikutnya untuk menjalin hubungan dengan para
misionaris. Konflik itu, menurut Sumartana (1991:66), kemudian memunculkan dua identitas Kristen, yaitu:
1. Kristen yang menerima Injil tanpa menolak semua
budaya Jawanya, yang sering juga disebut sebagai
Kristen Jawa;
2. Kristen yang menerima Injil dengan segala kebudayaan Belandanya dan menolak kebudayaan Jawa,
sering disebut sebagai Kristen Landa.
Dalam perkembangan selanjutnya, identitas Kristen Jawa
makin terdesak oleh Kristen Landa. Jemaat di gereja-gereja yang
terang-terangan menyebut diri sebagai Gereja Kristen Jawa pun
lebih sering memperlihatkan sebagai jemaat yang telah meninggalkan kebudayaan Jawa. Gejala ini misalnya terlihat dari mulai
3 Katekese merupakan salah satu bentuk pelaksanaan tugas mewartakan
Injil yang diamanatkan Yesus Kristus (Mat 28:19-20; Mrk 16:15). Katekese adalah pembinaan dalam iman, khususnya mencakup penyampaian
ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara sistemastis, memasuki
kepenuhan hidup Kristen.
80
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
jarangnya penggunaan bahasa Jawa dalam kebaktian dan lebih
sering menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia daripada
Kidung Pasamuan Kristen Jawa. Kotbah-kotbah yang disampaikan para pendeta juga sering menekankan agar jemaatnya
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama (budaya Jawa) supaya
memperoleh “hidup baru.”
Kebiasaan-kebiasaan lama itu dituduh sebagai klenik dan
takhayul, misalnya tradisi mengunjungi makam leluhur (tilik
kubur), slametan, dan mengadakan upacara-upacara lain yang
lazim dilakukan dalam kerangka kebudayaan Jawa. Lamakelamaan, kejawaan itu luntur dan hilang dalam kehidupan
orang-orang Jawa yang memeluk agama Kristen.
Meskipun kadarnya lebih kecil, gejala ini sama dengan
gejala yang terjadi di kalangan orang Jawa penganut Islam, yang
juga meninggalkan kebudayaan Jawa dan beralih ke kebudayaan
Arab (Timur Tengah). Kadar tersebut lebih kecil, mungkin
karena dalam Islam berkembang pula ajaran-ajaran tasawuf
yang sangat dekat dengan kebudayaan Jawa.
Muncul gejala, bahwa orang-orang Jawa yang menganut
Kristen ”wis dadi landa,”4 orang-orang Jawa yang menganut
Islam sudah ”menjadi Arab.” Inilah konsekuensi dari penyampuradukan antara agama dan budaya. Kristen diidentikkan
dengan Eropa-Amerika, Islam diidentikkan dengan Arab-Timur
Tengah, Hindu-Buddha disamakan dengan India, dan Konghucu dengan Cina.
Relasi Jawa-Kristen juga terlihat dari perhatian pujangga
Keraton Surakarta Ronggowarsito pada Nabi Isa (Yesus Kristus)
dan agama Kristen. Dalam manuskrip Paramoyaga, Ronggo4 Bahasa Jawa landa secara harafiah berarti Belanda atau bule. Orang Jawa
menyebut landa untuk menunjuk orang-orang kulit putih, bukan Asia. Jadi,
yang dimaksud landa bisa orang Eropa, Amerika, maupun Australia.
81
Jawa Menyiasati Globalisasi
warsito menggambarkan pertentangan antara Nabi Isa dan
agama Hindu yang dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang
Jagadnata. Pujangga Keraton Surakarta itu bersimpati pada
agama Kristen dan menyebut bahwa Ajisaka belajar dan
menerima instruksi dari Nabi Isa.
Dalam Paramayoga (Sukatno, 2001:121) bab berjudul
”Sang Hyang Jagadnata Bermusuhan dengan Nabi Isa,” dikisahkan, para sahabat mengusulkan agar Nabi Isa menyirnakan para
dewa yang mengaku sebagai Tuhan, yang selama ini bertempat
tinggal di kahyangan di puncak Gunung Tenguru (Himalaya).
Singkat cerita, Nabi Isa mengubah segumpal tanah liat menjadi
burung dara berbisa, yang dapat merusak para dewa.
Burung dara itu menemui Sang Hyang Jagadnata,
meminta dewa dan bala tentaranya menghadap Nabi Isa untuk
diberi pelajaran agama yang sesungguhnya; beribadah kepada
Tuhan Yang Sejati, yang menciptakan semua makhluk. Sang
Hyang Jagadnata marah, namun tidak dapat mengalahkan
burung dara tersebut. Burung dara itu menyebarkan bisa
(racun) di wilayah Hindi (Hindustan). Sang Hyang Jagadnata
melarikan diri dari Gunung Tenguru ke Sumatera, Pulau Jawa,
dan Bali.
Kebudayaan Jawa Masa Kini
Kebudayaan Jawa masa kini yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah kebudayaan Jawa pada masa Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), mulai dari masa pemerintahan Ir.
Soekarno sampai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Pada masa-masa itu, yang dapat diungkapkan di
sini adalah usaha-usaha melestarikan budaya Jawa di tengahtengah arus globalisasi.
82
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
Banyak usaha telah dilakukan oleh berbagai komunitas
Jawa, namun kenyataan membuktikan bahwa budaya Jawa
tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan oleh konunitas-komunitas tersebut. Pengaruh-pengaruh budaya asing, perlahan tapi pasti telah mengikis kebudayaan ini.
Perkembangan tersebut menggambarkan bahwa pernyataan bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang lentur dan
tidak akan luntur oleh pengaruh-pengaruh dari luar, masih
layak dipertanyakan kebenarannya. Kalau selama ini banyak
pengamat yang mengatakan bahwa budaya dari luar kemudian
“dijawakan” (Hindu menjadi Hindu-Jawa, Buddha menjadi
Buddha-Jawa, Islam menjadi Islam-Jawa, dan Kristen menjadi
Kristen-Jawa) maka pertanyaannya adalah masihkah budaya
Jawa itu kuat dan dianut oleh masyarakatnya?
Salah satu ungkapan yang sangat menggambarkan bahwa
sebenarnya budaya Jawa sudah tidak lagi mendapat tempat yang
layak dalam masyarakatnya adalah wong Jawa ilang Jawané.
Ungkapan itu menggambarkan, bahwa sekarang orang Jawa
sudah kehilangan sifat-sifat Jawa, sudah tidak lagi memahami
dan mengamalkan ajaran-ajaran Jawa dalam kehidupan seharihari.
Dalam Kongres Bahasa Jawa 10-14 September 2006 di
Semarang, sebagai salah satu pembicara, penulis mengemukakan, banyak orang Jawa yang terjebak pada “romantisme Jawa.”
Meskipun sering dilakukan sarasehan, seminar, diskusi, dan
dialog-dialog tentang kebudayaan Jawa, namun acara-acara itu
lebih berupa forum kangen-kangenan (saling melepas kerinduan) untuk mengenang kejayaan dan keadiluhungan Jawa di
masa lalu. Mereka menyanjung-nyanjung kehebatan kebudayaan Jawa, tetapi tidak menjabarkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
83
Jawa Menyiasati Globalisasi
Pertanyaannya, apakah benar Hindu telah dijawakan,
Buddha dijawakan, Islam dijawakan, Kristen dijawakan, dan
Konghucu dijawakan. Apakah bukan sebaliknya, justru Jawa
dihindukan, Jawa dibuddhakan, Jawa diislamkan, Jawa dikristenkan, Jawa dikonghucukan. Apakah benar yang terjadi
adalah Jawaisasi Hindu, Jawaisasi Buddha, Jawaisasi Islam,
jawaisasi Kristen, atau sebaliknya Hinduisasi Jawa, Buddhaisasi
Jawa, Islamisasi Jawa, Kristenisasi Jawa, Konghucuisasi Jawa.
Pertanyaan itu mirip dengan hipotesis Koentjaraningrat
(1994:446), yaitu:
”.... apabila suatu kebudayaan atau suatu subkebudayaan di dalam sebuah kelas tertentu dalam suatu
masyarakat memiliki suatu tradisi turun-menurun yang
sudah mantap, dan yang karena itu memiliki
kepentingan untuk mempertahankan tradisi kuna dan
panjang itu, maka akan ada kecondongan timbulnya
suatu sikap penolakan yang lebih intensif terhadap
perubahan kebudayaan, daripada dalam kebudayaan
atau sub-kebudayaan yang tidak memunyai tradisi yang
panjang.”
Mengacu pada uraian tentang kebudayaan Jawa masa kini
tersebut, maka hipotesis Koentjaraningrat tidak terbukti. Kebudayaan Jawa yang memiliki tradisi turun-menurun yang sudah
mantap ternyata larut ke dalam arus globalisasi. Manusia Jawa
tidak lagi memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kebudayaan Jawa.
Beberapa tradisi mungkin masih dijalankan, misalnya tilik
kubur sebagai perwujudan penghormatan kepada arwah leluhur, slametan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan,
mitoni (memperingati usia tujuh bulan kehamilan), weton
(memperingati hari kelahiran), upacara tedhak siti (ketika
seorang bayi sudah mulai bisa berjalan), upacara adat perkawinan, dan sebagainya. Pertanyaan berikutnya, apakah tradisi84
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
tradisi itu mencerminkan pemahaman, penghayatan, dan
penerapan nilai-nilai kebudayaan Jawa sebagai bentuk
penolakan terhadap perubahan kebudayaan atau resistensi
terhadap masuknya kebudayaan dari luar? Apakah tradisitradisi itu tidak hanya bersifat seremonial, tanpa pemahaman,
penghayatan, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari?5
Jawa Larut dalam Globalisasi
Anthony Giddens (2000) mengungkapkan, proses globalisasi sangat terkait dengan revolusi komunikasi dan penyebaran
teknologi informasi. Hal itu bahkan juga berlaku dalam arena
ekonomi. Pasar uang yang bergerak dua puluh empat jam
bergantung pada gabungan teknologi satelit dan komputer yang
juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan yang lain.
Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, mengguncang institusi-institusi lokal dan pola kehidupan sehari-hari.
Pandangan Barat melihat globalisasi sebagai era masa depan;
yaitu era yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global
yang akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua
orang.
Berbeda dari pandangan tersebut, Mansour Fakih
(2001:211) justru menilai, globalisasi adalah kelanjutan dari
kolonialisme dan developmentalisme sebelumnya. Globalisasi
5
Observasi dan pengalaman penulis sebagai orang Jawa yang hidup di masa
postmodern sekarang ini, menunjukkan bahwa Jawa tidak lagi memiliki
kekuatan dalam penolakan yang intensif terhadap kebudayaan yang masuk
dari luar. Manusia Jawa sudah kehilangan kejawaannya; secara budaya
sebagian besar dari mereka kalau tidak menjadi global (Barat), menjadi Arab
(Timur Tengah). Globalisasi yang dalam bentuk praktisnya adalah westernisasi
dan arabisasi (yang dibawa gerakan ideologi transnasional) telah ”merenggut”
kekuatan kebudayaan Jawa meskipun memiliki tradisi turun-menurun yang
mantap. Ungkapan jawa ilang jawané menjadi kenyataan.
85
Jawa Menyiasati Globalisasi
dicurigai sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme.
Pandangan Mansour Fakih itu sejalan dengan pendapat
guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Amien Rais.
Dalam wawancara dengan penulis (10 April 2008 di Semarang)
ia berpendapat, bahwa globalisasi sebenarnya merupakan
kolonialisme baru dan imperialisme baru (neokolonialisme dan
neoimperialisme).
Globalisasi memunculkan konflik lokal-global, termasuk
konflik antara nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai budaya
global. Kebanyakan manusia Jawa sangat merasakan konflik
antara budaya Barat dan budaya Jawa, tapi tidak begitu
menyadari bahwa sebenarnya pertemuan budaya Jawa dengan
budaya Arab (Timur Tengah) pun mengandung konflik di
dalamnya. Konflik ini hanya dirasakan oleh orang-orang yang
memunyai perhatian khusus terhadap upaya pelestarian nilainilai budaya Jawa, misalnya perkumpulan kebatinan. Dalam
pertemuan-pertemuan komunitas kejawèn terungkap, bahwa
kelompok-kelompok kebatnan merasa dijajah oleh agamaagama besar dan menjadi kelompok marginal di negerinya
sendiri.
Gejala tidak disadarinya pengaruh budaya yang masuk
bersamaan dengan agama Islam itu, misalnya tampak dalam
penerapan muatan lokal baca tulis Al Quran dalam kurikulum
pendidikan beberapa sekolah di Jawa Tengah.6 Bukankah
6 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Demak
menerbitkan buku panduan pendidikan (silabus) untuk muatan lokal baca
tulis Alquran. Kadindikpora Demak, HM. Afhan Noor mengemukakan, silabus
penting untuk memberikan panduan tata cara mengajar baca tulis Alquran di
masing-masing tingkatan. “Silabus diperuntukkan mulai dari SD, SLTP, hingga
SLTA. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan budaya baca tulis Alquran
melalui kurikulum resmi,” jelas dia. Ada 563 SD, 80 SLTP, serta 69 SLTA di
Demak, mulai memberlakukan muatan lokal baca tulis Alquran. (Suara
Merdeka, 1 September 2011).
86
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
muatan lokal seharusnya merupakan mata pelajaran yang
berlandaskan budaya dan kearifan lokal di daerah tempat siswa
itu belajar? Jadi, secara ideal muatan lokal untuk siswa di Jawa
Tengah paling tepat adalah mata pelajaran tentang budaya dan
kearifan lokal Jawa. Begitu pula, untuk siswa di Sumatera Barat
misalnya, muatan lokal paling tepat mata pelajaran tentang
budaya dan kearifan lokal Minangkabau, di Jawa Barat budaya
Sunda, di Jakarta budaya Betawi, dan seterusnya.7
Dalam konteks konflik lokal-global itu, globalisasi merupakan bentuk penjajahan budaya transnasional (baik westernisasi maupun arabisasi), termasuk penjajahan terhadap manusia
Jawa. Manusia Jawa telah larut dalam arus global, kehilangan
jatidirinya sebagai manusia Jawa.
Penyebab kekalahan budaya Jawa tersebut antara lain:
1. Sinkretisme yang melunak;
2. Orientasi pada kearifan individu;
3. Sikap mental “inlander.”
Sinkretisme yang melunak terjadi pada masa kini, terutama ketika arus global sangat kuat memengaruhi hampir
semua sendi kehidupan. Sinkretisme yang secara ideal merupakan kerja sama sosial-budaya menghadapi musuh bersama,
justru menjadi penyebab lunaknya ketahanan budaya Jawa,
sehingga tidak kuat menghadapi penetrasi budaya luar. Nilai7 Penyusunan kurikulum muatan lokal atas dasar acuan keadaan masyarakat
setempat, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nnomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli
1987. Pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 173/-C/Kep/M/87 tertanggal 7
Oktober 1987. Menurut surat keputusan tersebut, yang dimaksud dengan
kurikulum muatan lokal ialah program pendidikan dengan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam dan lingkungan budaya serta
kebutuhan daerah dan wajib dipelajari oleh murid di daerah tersebut.
87
Jawa Menyiasati Globalisasi
nilai budaya Jawa kemudian tergeser oleh nilai-nilai budaya
Barat atau nilai-nilai budaya Arab. Barat tidak dijawakan atau
Arab tidak dijawakan, tapi Jawa dibaratkan atau Jawa diarabkan.
Orientasi pada kearifan individual, yang menjadi salah
satu sifat budaya Jawa, juga menjadi faktor pendorong kekalahan budaya Jawa menghadapi globalisasi. Orientasi pada kearifan
individual itu menyebabkan perhatian manusia Jawa hanya
terfokus pada ketenteraman jiwa, ketenangan hidup pribadi.
Akibatnya, mereka kurang sadar terhadap pengaruh budaya
luar, terlebih lagi budaya luar itu dibawa oleh agama. Mereka
kemudian tidak lagi memiliki kepedulian terhadap pelestarian
dan pengembangan budayanya sendiri.
Manusia Jawa, seperti pada umumnya masyarakat
Indonesia yang oleh Arifin Bey (2003) dinilai masih mengidap
penyakit ”inlander.” Mental “inlander” itu antara lain: tidak
percaya diri, lebih mengandalkan otot daripada otak, lebih
menghargai hal-hal dari luar daripada milik sendiri, mudah
terkejut dan terheran-heran (gumunan lan kagètan) menghadapi pengaruh dari luar. Karena itu, bangsa ini memerlukan
suatu revolusi mental dan moral untuk membuka jalan bagi
pembangunan ekonomi-sosial sehingga dapat meraih kembali
rasa hormat dunia.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, kebudayaan Jawa
beranekaragam, dapat dibagi ke dalam sub-daerah kebudayaan
Jawa. Kalau diteliti lebih mendalam, keanekagaraman itu masih
menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan Jawa. Meskipun terdiri dari sub-daerah kebudayaan, karena kurangnya
literatur tertulis selain sub-daerah kebudayaan Jawa keraton,
88
Budaya Jawa di Tengah Arus Global
maka tidak dapat dimungkiri bahwa kebudayaan Jawa keraton
dinilai sebagai pusat kebudayaan Jawa. Oleh sebab itu,
kebanyakan tulisan tentang kebudayaan Jawa pun, termasuk
buku ini, menitikberatkan pada kebudayaan Jawa yang berkembang di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Perkembangan kebudayaan Jawa dapat dibagi ke dalam
tiga periode, yaitu: masa sebelum Hindu-Buddha, masa HinduBuddha, masa kerajaan Islam, dan masa kini. Di tengah-tengah
perkembangan tersebut, terdapat pengaruh agama Kristen,
meskipun tidak sebesar pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam.
Dalam relasi dengan budaya India (Hindu, Buddha),
budaya Arab (Islam), dan pengaruh kekristenan, kebudayaan
Jawa selalu dilandasi oleh sifat yang khas, yaitu sinkretisme.
Pada masa sebelum Hindu-Buddha, masa Hindu-Buddha, dan
masa kerajaan Islam, serta relasi dengan kekristenan, sinkretisme Jawa masih terasa kuat, sehingga muncul istilah Hindu Jawa,
Buddha Jawa, Islam Jawa, Kristen Jawa.
Perkembangan selanjutnya, budaya Jawa mengalami
kemerosotan karena pengaruh yang kuat globalisasi, baik dari
Barat maupun dari Arab (Timur Tengah). Itulah Jawa masa kini,
Jawa pada era globalisasi, yang larut oleh arus global. Sifat sinkretisme, lentur, fleksibel, dan mudah menyesuaikan diri
dengan kebudayaan luar, justru melunak, sehingga manusia
tidak lagi memegang teguh dan menerapkan nilai-nilai budaya
Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Gerakan-gerakan ideologi transnasional sangat berpengaruh terhadap budaya Jawa. Gerakan transnasional merupakan
gerakan lintas-negara, yang bermaksud mengekspor budaya asal
gerakan itu ke negara-negara lain. Hal ini seharusnya menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa ancaman terhadap budaya
bangsa bukan hanya berasal dari kapitalisme Barat, melainkan
89
Jawa Menyiasati Globalisasi
juga dari budaya Arab (Timur Tengah). Ironisnya, banyak
manusia Jawa yang kehilangan daya kritis ketika menghadapi
gerakan itu, salah satu penyebabnya adalah pandangan sempit
(fanatisme sempit) dalam keberagamaan.
Pada era globalisasi saat ini, nilai-nilai budaya Jawa sudah
ditinggalkan oleh sebagian besar manusia Jawa sendiri, terutama
generasi muda. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal
nilai-nilai yang selama berabad-abad menjadi norma hidup
leluhur mereka. Lebih dari itu, bahkan banyak pula di antara
mereka yang menganggap nilai-nilai itu sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman. Mereka terasing dan tercerabut
dari akar-akar budayanya sendiri.8
Dalam kondisi tersebut, diperlukan revolusi mental dan
moral manusia Jawa untuk membuka jalan bagi pembangunan
ekonomi-sosial sehingga memberikan kontribusi pada bangsa
ini untuk meraih kembali rasa hormat dunia.
8 Pengalaman penulis dalam pergaulan sehari-hari menunjukkan kebenaran
gejala tersebut. Beberapa kali penulis menjumpai kenyataan, bahwa anak-anak
muda, bahkan orang-orang Jawa seusia penulis (generasi kelahiran tahun
1958) tidak lagi fasih berbahasa Jawa dan tidak lagi mengenal ajaran-ajaran
Jawa. Sebagai contoh, mereka tidak mengerti arti kata gemujeng (tertawa),
tidak dapat membedakan antara arti kata nuwun dan nyuwun, sehingga keliru
mengucapkan ”nuwun sèwu” menjadi ”nyuwun sèwu.” Begitu pula dalam
pemahaman terhadap ajaran-ajaran Jawa, mereka tidak mengerti makna
andhap asor (rendah hati), adigung-adigung-adiguna (menyombongkan
kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan), dan sebagainya.
90
Download