BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi balap liar Balap motor

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi balap liar
Balap motor adalah olahraga otomotif yang menggunakan sepeda motor.
Balap motor, khususnya road race, cukup populer di Indonesia. Hampir tiap
minggu di berbagai daerah di Indonesia even balap motor diselenggarakan. Selain
road race, balap motor jenis lain yang cukup sering diadakan adalah motorcross,
drag bike, grasstrack dan supersport.
Balap liar adalah adu kecepatan dengan sepeda motor yang dilakukan di
tempat-tempat umum. Balap liar dilakukan di jalan raya, tempat parkir stadion,
serta tempat-tempat lain yang memungkinkan sebagai tempat mengadu kecepatan.
Balap liar pada umumnya menganut peraturan seperti drag bike dimana dua motor
dipacu di lintasan sepanjang 201 meter. Drag bike adalah kejuaraan mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang dilakukan di dalam sebuah lintasan
pacu aspal yang tertutup yang terdiri dari dua buah jalur lurus sejajar dengan
panjang yang sama. Drag Race motor (juga dikenal dengan sprints) dimana dua
peserta start di belakang sebuah garis star yang sama dengan tanda star berupa
lampu. Setelah lampu star menyala dua pembalap memacu motornya melewati
dua lintasan lurus sejauh seperempat mil, dimana waktu tempuh mereka di catat
dan di hitung. Pembalap dengan catatan waktu paling singkat melewati garis finis
adalah pemenangnya. Balap liar adalah salah satu wujud dari kenalan remaja, oleh
karena itu kita harus mengatahui definisi kenakalan remaja. Kenakalan remaja
biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang
artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas
Universitas Sumatera Utara
pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere”
yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi
jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau
peneror, durjana dan lain sebagainya.
Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja
mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima sosial sampai
Wujud Perilaku Kenakalan Remaja
Dalam bukunya Katono menyebutkan wujud dari perilaku kenakalan
remaja sebagai berikut :
a) Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas, dan
membahayakan diri sendiri serta orang lain.
b) Perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan yang mengacaukan lingkungan sekitar.
c) Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, atau tawuran.
d) Membolos sekolah
e)
Kriminalitas
anak
atau
remaja
berupa
mengancam
teman
atau
mengompas/memeras uang saku teman sendiri.
f) Berpesta-pora seperti mabuk-mabukan
g) Melakukan seks bebas antar para remaja
h) Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga
mengakibatkan kriminalitas.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Tindakan Sosial Weber
Bagi Weber dunia terwujud karena tindakan sosial, manusia melakukan
sesuatu karena mereka memutuskan untuk melakukankannya dan ditujukan untuk
mencapai apa yang mereka inginkan atau kehendaki. Mereka memilih sasaran,
mereka memperhitungkan keadaan, kemudian memilih tindakan. Sosiolog
mengapresiasikan lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan
tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh berupaya memahami
tindakan mereka. Perhatian weber pada tindakan berorientasi tujuan dan motivasi
pelaku, tidak berarti ia hanya tertarik pada kelompok kecil, dalam hal ini interaksi
spesifik antar individu. Berbeda dengan Marx dan Durkheim yang memandang
tugas mereka adalah mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan dalam
kehidupan sosial manusia dan mengarah fungsionalisme dalam kehidupan
masyarakat. Weber tidak sejalan dengan pandangan tersebut, namun sama halnya
dengan Marx, Weber juga memperhatikan lintasan besar sejarah dan perubahan
sosial. Dan yakin bahwa cara terbaik untuk memahami berbagai masyarakat
adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya.
Weber berpendapat bahwa anda bisa membandingkan struktur beberapa
masyarakat dengan memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut
bertindak, kejadian historis (masa lalu) yang mempengaruhi karakter mereka, dan
memahami tindakan para pelakunya yang hidup di masa kini, tetapi tidak
mungkin menggeneralisasi semua masyarakat atau semua struktur sosial.
Weber mengemukakan lima ciri pokok tindakan sosial, yaitu :
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang
subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
Universitas Sumatera Utara
2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat
subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang
sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang
lain itu.
Dilihat dari segi sasarannya, maka pihak yang menjadi sasaran tindakan
sosial dapat berupa seorang individu atau sekumpulan orang. Weber juga
membedakan tindakan sosial kedalam empat tipe, yaitu Tindakan rasionalitas
instrumental (Zwerk rational), Tindakan rasional nilai (werktrasional action),
Tindakan afektif (Affectual action), dan Tindakan tradisional (Traditional action).
1. Tindakan Rasionalitas Instrumental (Zwerj Rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang
didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan
tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya.
2. Tindakan Rasional Nilai (Werktrasional Action)
Tindakan rasional yang berorientasi nilai yaitu tindakan yang lebih
memperhatikan manfaat atau nilai daripada tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan religious merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang
berorientasi nilai.
3. Tindakan Afektif (Affectual Action)
Universitas Sumatera Utara
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa
refleksi intelktual atau perencanaan sadar. Tindakan ini sukar dipahami.
Tindakan ini kurang atau tidak rasional.
4. Tindakan Tradisional (Traditional Action)
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu
karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang
sadar atau perencanaan.
2.3 Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi
manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya.
Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan
ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi,
walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu.
Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sugihartono,
dkk (2007: 8) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam
menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk
ke dalam alat indera manusia.
Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan.
Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun
persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau
nyata. Bimo Walgito (2004: 70) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan
suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang
diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan
Universitas Sumatera Utara
merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat
dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam 10 bentuk.
Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada
perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan,
kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama,
maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda
antar individu satu dengan individu lain.
Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama
dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya.
Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek
tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan menggunakan alat indera yang
dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun
negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar
kita. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada
kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam
memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006: 118).
Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan persepsi adalah pengamatan tentang
objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan, Suharman (2005: 23) menyatakan:
“persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi
yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”. Menurutnya ada tiga aspek di
dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan
indera, pengenalan pola, dan perhatian.
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa
persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk
tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala
sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.
1. Syarat Terjadinya Persepsi
Menurut Sunaryo (2004: 98) syarat-syarat terjadinya persepsi adalah
a. Adanya objek yang dipersepsi
b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu
persiapan dalam mengadakan persepsi.
c.
Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus
d.
Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang
kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
2. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Miftah Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi seseorang adalah sebagai berikut :
a. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu,
prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses
belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan
juga minat, dan motivasi.
b. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang
diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran,
keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau
ketidak asingan suatu objek.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bimo Walgito (2004: 70) faktor-faktor yang berperan dalam
persepsi dapat dikemukakan beberapa faktor, yaitu:
a. Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga
dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung
mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
b.
Alat indera, syaraf dan susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, di
samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan
stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai
pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan
motoris yang dapat membentuk persepsi seseorang.
c. Perhatian
Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian, yaitu merupakan langkah utama sebagai suatu persiapan dalam
rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau
konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu
sekumpulan objek.
Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu sama lain
dan akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi suatu objek, stimulus,
meskipun objek tersebut benar-benar sama. Persepsi seseorang atau kelompok
dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya
Universitas Sumatera Utara
sama. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan
individu, perbedaan perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau
perbedaan dalam motivasi.
Pada dasarnya proses terbentuknya persepsi ini terjadi dalam diri
seseorang, namun persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman, proses belajar, dan
pengetahuannya.
3. Proses Persepsi
Menurut Miftah Toha (2003: 145), proses terbentuknya persepsi didasari
pada beberapa tahapan, yaitu:
a.
Stimulus atau Rangsangan Terjadinya persepsi diawali ketika
seseorang dihadapkan pada suatu stimulus/rangsangan yang hadir dari
lingkungannya.
b.
Registrasi Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah
mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat seseorang
berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat
mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim kepadanya,
kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim kepadanya
tersebut.
c.
Interpretasi Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi
yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus
yang diterimanya. Proses interpretasi tersebut bergantung pada cara
pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Teori Lebeling
Teori labeling ini merupakan teori yang terinspirasi oleh Tannembaum,
menurutnya kejahatan tidaklah sepenuhnya hasil dari kekurang mampuan
seseorang
untuk
menyesuaikan
dengan
kelompok,
akan
tetapi
dalam
kenyataannya ia dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya
sehingga disimpulkan bahwa kejahatan merupakan hasil dari konflik antara
kelompok dengan masyarakatnya. Teori Labelling, teori ini menjelaskan bahwa
seseorang menjadi penyimpang dikarenakan proses labelling (pemberian julukan,
cap, etiket atau merk). Pendekatan labelling dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu :
1. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap
atau label (labeling sebagai akibat dari reaksi dari masyarakat)
2. Efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya,
(persoalan kedua ini adalah bagaimana labeling mempengaruhi
seseorang yang terkena label.
Teori Labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu
sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance). Teori
labeling menggunakan pendekatan interaksionismeyang tertarik pada kosekuensikosenkuensidari
interaksi
antara
si
penyimpangdan
masyarakat
biasa
(konvesional). Teori ini tidak berusaha untuk menjelaskan mengapa individuindividu tertentu tertarik atau terlibat dalam tindakan menyimpangan, tetapi yang
lebih ditekankan adalah pada pentingnya defenisi-defenisi sosial negative yang
berhubungan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk dalam tindakan yang
lebih menyimpang. Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi
orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi defenisi, julukan, atau
Universitas Sumatera Utara
pemberian label (definers labelers) pada individu-individu atau tindakan yang
menurut penilaian orang tersebut adalah negatif. Menurut para ahli teori labeling,
mendefenisikan penyimpangan merupakan sesuatu yang bersifat relatif dan juga
membingungkan. Karena untuk memahaminya apa yang dimaksud tindakan
penyimpangan harus diuji melalui reaksi dari orang lain. Menyimpang adalah
tindakan yang dilabelkan kepada seseorang, atau pada siapa label secara khusus
telah ditetapkan.
Menurut para ahli teori labeling, medefenisikan penyimpangan merupakan
sesuatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena
untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus
diuji melalui reaksi orang lain. Oleh karena itu Becker, salah seorang pencetus
teori labeling (dalam Clinard & Meier, 1989:92) mendefenisikan penyimpangan
sebagai “suatu konsekuensi” dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang
lain kepada seorang pelanggar”
Melalui defenisi itu dapat ditetapkan bahwa menyimpang adalah tindakan
yang dilabelkan kepada seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah
ditetapkan. Dengan demikian, dimensi penting dari penyimpangan adalah pada
adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau
dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi
melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.
Dengan demikian, penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat,
bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain
penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau
sanksi dari penonton sosialnya. Konsekuensi dari pemberian label tersebut,
terutama oleh aparat atau alat-alat Negara mungkin akan berakibat serius pada
Universitas Sumatera Utara
tindakan
penyimpangan
yang
lebih
lanjut.
Inilah
yang
membedakan
penyimpangan primer (primary deviance) dengan penyimpangan sekunder
(secondary deviance), dimana cap menyimpang menghasilkan sesuatu peran
sosial yang menyimpang juga. Artinya dengan adanya cap yang dilekatkan pada
diri seseorang maka ia (yang diberi cap) cenderung mengembangkan konsep diri
yang menyimpang (disebut juga proses reorganisasi psikologis) dan kemungkinan
berakibat pada suatu karir yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan
sekunder membutuhkan waktu yang tidak panjang dan tidak kentara. Dua konsep
penting dalam teori labeling adalah :
1. Primary Devience yaitu
ditunjukan pada perbuatan penyimpangan
awal
2. Scondary Devience adalah berkaitan dengan reorganisasi psikologis
dari pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap
sebagai penjahat, kalau sekali saja cap atau status itu melakat pada diri
seseorang maka sangat sulit seseorang untuk selanjutnya melepaskan
diri dari cap tersebut, dan kemudian akan mengidentifikasi dirinya
dengan cap yang telah diberikan masyarakat terhadap dirinya.
2.5 Balapan Liar Sebagai Perilaku Sosial Menyimpang
Menurut salah satu dari Tokoh Sosiologi yaitu Soerjono Soekanto (2005)
dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar, secara konseptual, unsur-unsur yang
mencakup dalam lingkungan sosial seperti proses sosial, struktur sosial dan
perubahan sosial. Sesuai dalam bukunya tentang pengantar sosiologi mengatakan
bahwa apabila dua orang bertemu, interaksi sosial telah dimulai pada saat itu dan
saling beradaptasi satu sama lain.
Universitas Sumatera Utara
Balapan liar merupakan wujud perilaku bermasalah (problem behavior)
dari remaja saat ini. Masalah perilaku yang dialami remaja dapat dikatakan masih
dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Wujud
perilaku bermasalah berubah menjadi sebuah perilaku yang diterapkan ke dalam
sebuah kegiatan di jalan raya di mana para remaja melakukan balapan yang
merupakan perilaku menyimpang (behaviour disorder). Perilaku menyimpang
pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang menyebabkan seorang atau
beberapa remaja yang perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Penyesuaian diri
yang salah sehingga memunculkan perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan
remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam
menyelesaikan sesuatu tanpa mendefenisikan secara cermat akibat-akibat yang
dapat ditimbulkan dari wujud dari perilaku mereka.
2.5.1 Dampak Sosial Dari Balapan Liar
Proses sosial disini adalah interaksi sosial yang merupakan hubungan
timbal balik antara individu dan individu, individu dan kelompok dan antara
kelompok dan kelompok. Interaksi sosial itu sendiri tidak lepas dari hubungan di
berbagai bidang, misalnya kesamaan tujuan dan lain-lain. Proses sosial yang
terjadi di lingkungan sosial komunitas para pecinta balapan liar ini terbentuk dari
hubungan antara teman-teman sepergaulan sebagai bentuk dari hubungan timbal
balik di mana pelakunya dengan kelompoknya (geng motor). Sebuah proses sosial
yang kemudian diterapkan dalam arena balapan meskipun sebagai lawan tanding
di arena balapan liar. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial telah dimulai
sehingga mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan
mungkin saling berkelahi. Aktivitas semacam ini merupakan bentuk interaksi
sosial, meskipun orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara, tidak
Universitas Sumatera Utara
saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, oleh karena masingmasing sadar akan keberadaan pihak lain yang menyebabkan perubahanperubahan
dalam perasaan. Semua itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang, yang
kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya.
2.5.2 Penyebab terjadinya Perilaku Menyimpang
1. Dari Sudut Pandang Sosiologi
Setiap masyarakat mempunyai tujuan-tujuan kebudayaan, dan memiliki
cara-cara yang diperkenankan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sebagai
akibat dari proses sosialisasi, individu-individu belajar mengenali tujuan-tujuan
kebudayaannya. Selain itu, mereka juga mempelajari cara-cara untuk mencapai
tujuan-tujuan yang selaras dengan kebudayaannya. Apabila kesempatan untuk
mencapai tujuan-tujuan ini tidak ada, individu-individu itu mencari alternatif.
Perilaku alternatifnya kemungkinan akan menimbulkan penyimpangan sosial. Apa
lagi jika tiap individu diberi kesempatan untuk memilih cara-cara mencapai tujuan
kebudayaannya sendiri-sendiri, maka kemungkinan akan terjadi perilaku
menyimpang pun semakin besar.
1. Perilaku menyimpang karena sosialisasi
Teori sosialisasi didasarkan pada pandangan bahwa dalam sebuah masyarakat ada
norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati oleh seluruh anggota
masyarakat. Teori ini menekankan bahwa perilaku sosial, baik yang bersifat
menyimpang maupun yang tidak menyimpang berkaitan dengan norma-norma
dan nilai-nilai yang diserapnya. Seseorang biasanya menyerap nilai-nilai dan
norma-norma dari beberapa orang yang cocok dengan dirinya saja. Akibatnya,
jika ia banyak menyerap nilai-nilai atau norma-norma yang tidak berlaku secara
Universitas Sumatera Utara
umum, ia akan cenderung berperilaku menyimpang. Perilaku seseorang akan
menyimpang, jika kadar penyimpangan dalam dirinya lebih besar dari pada kadar
perilakunya yang wajar atau perilaku yang umum diterima masyarakat.
Contoh :
Jika seorang siswa bergaul dengan orang-orang yang berperilaku menyimpang
seperti berandalan, pemabuk, atau pecandu narkoba maka lambat laun ia akan
mempelajari nilai-nilai dan norma itu kemudian terserap dalam kepribadiannya.
Lama-kelamaan ia melakukan perbuatan itu.
2. Perilaku menyimpang karena anomie
Secara sederhana anomie diartikan sebagai suatu keadaan dimasyarakat tanpa
norma. Menurut Emile Durkheim (1895) dalam bukunya “The Rules Of
Sociological Method” anomie adalah Suatu situasi tanpa norma dan tanpa arah
sehingga tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang diharapkan dan
kenyataan-kenyataan sosial yang ada. Adanya ketidak harmonisan antara tujuan
budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Perilaku
menyimpang akan meluas jika banyak orang yang semula menempuh cara-cara
yang menyimpang.
3. Perilaku menyimpang karena hubungan diferensiasi
Agar terjadi penyimpangan seseorang harus mempelajari terlebih dahulu
bagaimana caranya menjadi seorang yang menyimpang (contohnya penjahat).
Pengajaran terjadi karena interaksi tergantung pada frekuensi, prioritas, lamanya,
dan intensitasnya. Semakin tinggi derajat keempat faktor ini, maka akan semakin
tinggi pula kemungkinan bagi mereka untuk menerapkan tingkah laku yang samasama dianggap menyimpang.
Contoh :
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang ingin berprofesi sebagai perampok karena terdesak kebutuhan
hidup dan ingin cepat kaya dengan cara yang singkat dan tidak wajar berusaha
mempelajari cara-cara merampok dari teman-temannya yang lebih dahulu menjadi
perampok. Setelah ia mengetahui cara-caranya ia akan menjadi perampok
mengikuti teman-temannya.
4. Perilaku menyimpang karena pemberian julukan (labelling)
Teori ini menyebutkan bahwa perilaku menyimpang lahir karena adanya batasan
(cap, julukan, sebutan) atas suatu perbuatan yang disebut menyimpang. Dengan
memberikan cap pada suatu perilaku sebagai perilaku menyimpang, berarti kita
menciptakan serangkaian perilaku yang cenderung mendorong orang untuk
melakukan penyimpangan. Jadi, bila kita memberi cap tersebut akan mendorong
orang itu berperilaku yang menyimpang.
Universitas Sumatera Utara
Download