KAJIAN HISTOPATOLOGI BEBERAPA ORGAN BIAWAK (Varanus

advertisement
13
TINJAUAN PUSTAKA
Varanus indicus
Varanus indicus adalah biawak yang hidup secara terestrial dan arboreal,
yang memiliki sinonim biawak Ambon, mangrove monitor atau pacific monitor.
Hewan ini memiliki taksonomi kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum
Vertebrata, kelas Reptilia, ordo Squamata, subordo Autarchoglossa, famili
Varanidae, genus Varanus, dan spesies Varanus indicus-Daudin 1802 (Banks
2004). Hewan ini ditemukan di Australia (bagian Utara, Queensland), Indonesia
(Irian Jaya, Maluku), Kirabati, Papua New Guinea (Bismarck Archipelago, pulau
Solomon Utara), kepulauan Marshall, dan kepulauan Mariana Utara (Bennett &
Sweet 2010).
Bagian kepala, badan, punggung, ekor, dan kaki V. indicus dominan
berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar secara merata dan
bagian perut berwarna putih kekuning-kuningan. Hewan ini memiliki kepala dan
leher yang panjang, empat kaki yang kuat dengan lima kuku yang tajam.
Penampang hidung V. indicus berbentuk bulat sedangkan penampang hidung
spesies lain seperti V. salvator dan V. togianus berbentuk oval. Jarak hidung lebih
dekat ke moncong dibandingkan jaraknya ke mata. Lidah biawak ini berwarna
hitam (Philipp et al. 1999), ekor berbentuk pipih, keras, sangat kokoh dan
panjangnya melebihi panjang kepala dan badan. Panjang ekor terhadap kepala 7.5
kali sedangkan panjang ekor terhadap badan 2.5 kali. Bobot badan berkisar antara
500-1900 g dan panjang tubuh berkisar antara 50-200 cm. Ukuran tubuh yang
jantan lebih besar dari betina. Jenis kelamin biawak dapat ditentukan dengan ada
tidaknya sepasang hemipenis, yang bila dilakukan pemijatan akan keluar di sekitar
kloaka. Gambar V. indicus beserta susunan anatominya disajikan pada Gambar 1
dan 2.
14
Gambar 1 Varanus indicus. Seluruh badan berwarna hitam dengan bintik-bintik
kuning yang menyebar merata. Sumber: Cota (2008).
Gambar 2 Anatomi biawak jantan. Sumber: Barten (1996a).
V. indicus telah dikategorikan sebagai hewan Least Concern oleh IUCN
pada tahun 2009 karena memiliki distribusi dalam jumlah yang besar dan umum
ditemukan di berbagai habitat,namun spesies ini mungkin terancam punah di masa
15
depan akibat diburu untuk dimakan, dieksploitasi untuk perdagangan kulit dan
terancam oleh kerusakan habitat. Saat ini belum ada upaya konservasi khusus
yang dilakukan untuk spesies ini (Bennett & Sweet 2010). Semua spesies dan
subspesies dari biawak termasuk dalam CITES Appendix II, kecuali Varanus
bengalensis, Varanus flavescens, Varanus griseus, Varanus komodoensis, dan
Varanus nebulosis termasuk dalam Appendix I (Ananjeva et al. 2006).
Spesies yang termasuk dalam Appendix I adalah spesies terancam punah
yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh perdagangan satwa liar.
Perdagangan spesies dalam Appendix I harus diatur dan diawasi secara ketat
untuk mencegah kepunahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Spesies yang
termasuk dalam Appendix II adalah spesies yang belum terancam punah namun
dapat terancam punah bila perdagangan spesies tersebut tidak diatur dan diawasi
secara ketat. Oleh karena itu, perdagangan spesies dalam Appendix II harus diatur
dan diawasi secara ketat untuk menjaga kelangsungan hidupnya (CITES 1979).
Habitat
Habitat V. indicus diantaranya bakau, hutan hujan dan rawa dengan pakan
yang terdiri atas siput, katak, ikan, serangga, burung, telur burung, dan telur reptil
lain. Biawak adalah predator oportunistik sehingga dapat mengubah pola
pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di habitatnya (Bennett 2007).
Nilai Ekonomi Biawak
Indonesia telah lama menjadi negara pengeskpor reptil, baik dalam bentuk
reptil hidup maupun bentuk kulit. Reptil hidup diekspor untuk diambil daging atau
bagian lainnya, atau sebagai hewan peliharaan. Reptil hidup yang diambil
dagingnya umumnya diekspor ke Cina, Hongkong dan Singapura, sedangkan
reptil untuk hewan peliharaan lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat
(Mardiastuti & Soehartono 2003). Di beberapa daerah, biawak diolah dagingnya
menjadi bermacam-macam hidangan. Biawak atau dalam bahasa Nias disebut
boroe mulai dikenal dan dikonsumsi masyarakat Nias, khususnya di Gunungsitoli.
Konsumen daging biawak meningkat karena daging biawak enak dan bermanfaat
untuk mengatasi asam urat (Hulu 2011). Daging biawak dipercaya dapat bertindak
sebagai aphrodisiac (Anonim 2009), dan memiliki khasiat untuk mengobati gatal-
16
gatal, menghaluskan kulit, mengobati luka bakar, dan mengencangkan payudara
(Anonim 2011).
Selain daging, kulit biawak juga memiliki pasar yang baik. Perdagangan
kulit biawak didominasi oleh satu jenis biawak yaitu biawak air Asia (Varanus
salvator) karena tersebar di seluruh Indonesia bagian barat meliputi Jawa,
Sumatra dan Kalimantan. Jumlah ekspor kulit biawak air Asia lebih banyak dari
jumlah ekspor kulit buaya yaitu rata-rata sebanyak 650.000 lembar per tahun
sedangkan ekspor kulit buaya hanya 1.000-3.500 lembar per tahun. Negara
pembeli utama kulit biawak adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Meksiko
dan Italia. Permasalahan utama ekspor reptil adalah belum adanya data jumlah
populasi di alam untuk menentukan jumlah kuota, perdagangan sulit dilakukan
berdasarkan ketentuan Konvensi CITES, dan kemungkinan menurunnya populasi
beberapa
spesies
reptil
komersial
akibat
banyaknya
pemanenan
dari
alam(Mardiastuti & Soehartono 2003).
Reproduksi pada Biawak
Biawak jantan memiliki sepasang hemipenis yang berbentuk seperti
kantung, terletak di pangkal ekor dan menimbulkan tonjolan pada bagian ventral
ekor. Walaupun mempunyai sepasang hemipenis, pada saat kopulasi hanya satu
yang dimasukkan ke liang kloaka betina (Iyai & Pattiselanno 2006). Hemipenis
tidak digunakan pada saat urinasi karena urin dikeluarkan langsung dari kloaka
melalui ureter. Biawak betina memiliki sepasang oviduk dan ovarium. Ovarium
terletak pada posisi yang sama dengan testes pada biawak jantan yaitu di
dorsomedial rongga abdomen (Barten 1996a).
Faktor penentu utama kematangan seksual pada biawak adalah ukuran
tubuh. Usia dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kematangan seksual karena
berbeda antara biawak di alam liar dan penangkaran. Usia kematangan seksual
biawak di alam liar berkisar antara 3-4 tahun, sedangkan usia kematangan seksual
biawak di penangkaran tidak dapat ditentukan karena dipengaruhi oleh perawatan
dan pakan yang berbeda.
Musim kawin pada biawak ditentukan oleh suhu, hujan dan ketersediaan
pakan. Biawak jantan akan menjadi agresif dan menjaga teritorial ketika musim
17
kawin (Barten 1996b). Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi
lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat
menghasilkan telur lebih dari satu kali dalam setahun. Bila kopulasi terjadi
sebelum ovulasi, sperma akan disimpan oleh betina. Hal ini menyebabkan reptil
betina mampu untuk menghasilkan telur tanpa adanya kopulasi. Namun fertilisasi
akan meningkat bila kopulasi terjadi saat berlangsungnya pembentukan telur.
Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada biawak adalah distokia,
prolapsus oviduk, kloaka dan hemipenis. Prolapsus oviduk dan kloaka terjadi
akibat oviposisi, namun banyak kasus yang terjadi akibat kesalahan penanganan
distokia. Prolapsus hemipenis terjadi karena trauma setelah kopulasi dan
mengalami inflamasi sehingga tidak dapat masuk kembali ke kloaka. Hemipenis
dapat mengalami pendarahan dan bahkan nekrosis sehingga harus diamputasi.
Prolapsus penis tidak mengganggu kemampuan reproduksi biawak karena
memiliki dua hemipenis (DeNardo 1996).
Penyakit-Penyakit pada Biawak
Penyakit pada biawak meliputi penyakit-penyakit yang umum terjadi pada
reptil. Biawak dapat mengalami gangguan kesehatan atau penyakit pada sistem
pernapasan, sistem pencernaan, sistem metabolisme, tulang, kulit, dan sistem
reproduksi (Wilson 2010). Gangguan kesehatan pada sistem pernapasan biawak
umumnya adalah pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri aerobik
dan anaerobik, fungi, serta parasit dan terjadi akibat manajemen pemeliharaan
yang kurang baik. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap fungsi pernapasan
dan sistem imun yang baik (Barten 1996b). Selain itu, nutrisi yang tidak seimbang
terutama kurangnya vitamin A dan protein dapat mengakibatkan gangguan
pernapasan. Kurangnya vitamin A mengakibatkan metaplasia pada sel epitel dan
duktus kelenjar mukus saluran pernapasan (Murray 1996).
Beberapa spesies Varanus spp. dapat mengalami luka pada kulit yang
disebabkan oleh gesekan hewan tersebut dengan kandang. Luka tersebut dapat
terinfeksi
bakteri
atau
fungi
sehingga
diperlukan
pengobatan
dengan
menggunakan antibiotik sistemik (Wilson 2010). Biawak juga dapat terinfeksi
oleh berbagai jenis ektoparasit terutama kutu dan tungau. Terdapat tujuh genus
18
tungau dan lebih dari 250 spesies kutu sebagai parasit reptil. Kutu dan tungau
dapat menyebabkan kegatalan dan menghisap darah serta menjadi vektor penyakit
infeksius. Salah satu contoh adalah kutu pembawa Aeromonas hydrophila yang
dapat menyebabkan pneumonia dan stomatitis (Mader 1996a). Amblyomma dan
Aponomma adalah caplak yang paling umum ditemukan di reptil. Selain itu,
Hirstiella sp. adalah tungau berukuran <1.5 mm yang ditemukan di sekitar mata
dan lipatan tubuh kadal. Tungau ini berperan dalam transmisi mekanik Aeromonas
hydrophila, bakteri, rickettsia dan virus (Kahn et al. 2010). Infestasi ektoparasit
juga dapat menyebabkan anemia.
Kulit reptil dapat terinfeksi oleh bermacam fungi yaitu Basidiobolus spp.,
Geotrichum spp., Paecilomyces spp., Tricophyton spp., dan Aspergillus spp..
Infeksi fungi pada kulit terjadi pada hewan dengan habitat yang lembab dan
kurang sinar matahari (Rose 2005). Penyebab dermatitis selain fungi yaitu
acariasis, trauma, imunosupresi akibat suhu, nutrisi, penyakit metabolik, dan
kepadatan kandang. Mikosis dapat disebabkan oleh Aspergillus, Cladosporium,
Metarhizium, Mucor, Paecilomyces, Penicillium spp., dan Chrysosporium. Faktor
predisposisi mikosis antara lain higiene yang tidak baik, kelembaban yang tinggi,
suhu rendah, malnutrisi, atau akibat penyakit sekunder. Mikosis dapat menjadi
sistemik setelah periode waktu yang lama.
Dermatofitosis dapat ditemukan pada semua ordo reptilia, dan genus yang
sering terisolasi adalah Geotrichum, Fusarium dan Trichosporon. Infeksi Mucor
dan Fusarium menyebabkan ulkus pada saluran pencernaan, sedangkan infeksi
Metarhizium dan Paecilomyces spp. menyebabkan granuloma kronis pada hati,
ginjal dan limpa. Infeksi Aspergillus dan Candida spp. menimbulkan granuloma
dan gangguan respirasi bahkan kematian (Kahn et al. 2010).
Penyakit pada biawak juga dapat diakibatkan oleh parasit internal
diantaranya protozoa, nematoda dan trematoda. Banyak protozoa komensal atau
non patogen yang ditemukan pada saluran pencernaan kadal. Kadal dapat terkena
amoebiasis, coccidiosis dan cryptosporidiosis. Amoeba Entamoeba invadens
mengakibatkan amoebiasis yang ditransmisikan melalui rute fekal-oral dan
bersifat sangat patogen (Wilson 2010). Amoebiasis dapat terjadi di lingkungan
yang memiliki sanitasi rendah, kandang yang terlalu padat atau biawak yang
19
meminum air yang telah terkontaminasi amoeba tersebut. Pengamatan
makroskopis pada seekor biawak dengan amoebiasis menunjukkan adanya fokusfokus berwarna putih kekuningan hingga abu-abu pada otot skelet dan hati, ulkus
pada mukosa usus yang kemerahan dan menebal sedangkan pengamatan
mikroskopis menunjukkan adanya miositis, hepatitis dan enteritis (Chia et al.
2009).
Coccidiosis pada reptil disebabkan oleh protozoa genus Eimeria, Isospora,
dan Caryospora yang ditransmisikan melalui rute fekal-oral, sedangkan
cryptosporidiosis bersifat sangat virulen pada ular dan kadal yang juga
ditransmisikan
melalui
rute
fekal-oral
(Wilson
2010).
Cryptosporidia
menyebabkan penebalan mukosa usus, regurgitasi, diare, dan penurunan bobot
badan. Diagnosa Cryptosporidia dapat dilakukan dengan mengidentifikasi oosit
melalui pewarnaan asam pada feses, hasil regurgitasi atau biopsi saluran
pencernaan (Kahn et al. 2010). Nematoda yang menginfeksi saluran pencernaan
dan pernapasan reptil antara lain cacing gelang, cacing kait (Oswalsocruzia spp.),
cacing kremi (Oxyurus spp.), cacing hati (Capillaria spp.), Strongyloides spp., dan
cacing paru (Entomelas spp).
Biawak juga dapat mengalami Metabolic Bone Disease (MBD). MBD
disebabkan oleh defisiensi kalsium atau vitamin D, rasio Ca dan P yang tidak
seimbang dan kurangnya paparan terhadap sinar ultraviolet. MBD meliputi
berbagai macam sindrom klinis yaitu hiperparatiroidisme sekunder, osteoporosis,
osteomalacia, rickettsia, osteodystrophy fibrous, atau hipokalsemia (Boyer 1996).
Tanda-tanda klinis penyakit ini adalah kelemahan, paralisis, anoreksia,
kebengkakan dan fraktur pada tulang, serta tremor. Biawak cenderung terkena
MBD jika tidak mendapatkan vitamin D3 yang cukup walaupun mendapatkan
kalsium yang cukup karena vitamin D3 berperan dalam absorbsi kalsium di usus
halus. Absorbsi kalsium dipengaruhi oleh metabolit aktif vitamin D3 yaitu
cholecalciferol. Vitamin D3 dapat dikonsumsi dalam diet sebagai suplemen atau
dapat diproduksi dalam tubuh bila biawak terkena sinar matahari yang cukup
(Wilson 2010).
Gout adalah penyakit yang umum ditemukan pada reptil, termasuk biawak.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan gout adalah dehidrasi, kerusakan ginjal
20
dan konsumsi purin yang berlebihan. Gout terdiri atas tiga jenis yaitu visceral,
artikular dan periartikular. Adanya kristal asam urat di cairan sinovial disebut gout
arthritis, pada sendi disebut gout periartikular, dan pada jaringan subkutan dan
internal disebut gout visceral. Biawak memerlukan protein hewani dalam
pakannya sebagai karnivora sehingga dapat mengalami defisiensi asam amino
yang bersumber protein nabati. Asam nukleat dari pakan didegradasi menjadi
nukleotida yang akan dihidrolisis menjadi purin dan pirimidin, lalu akan
didegradasi dan diekskresi. Pirimidin akan dikatabolisasi menjadi CO2 dan NH3,
purin akan didegradasi menjadi asam urat dan diekresikan dari darah melalui
tubulus ginjal. Asam urat terdapat di darah dalam bentuk monosodium urat yang
tidak dapat larut dalam air. Bila konsentrasi keduanya meningkat dalam darah
akan timbul kondisi hiperuricemia,sedangkan bila konsentrasi keduanya
meningkat dalam cairan tubuh lain, asam urat akan mengkristal dan tersimpan
dalam jaringan tubuh. Kristal-kristal tersebut mengendap pada kantung
perikardium, ginjal, hati, limpa, paru, dan jaringan subkutan.
Gout terdiri atas gout primer dan sekunder. Gout primer disebabkan oleh
produksi asam urat yang berlebihan sedangkan gout sekunder disebabkan oleh
hiperuricemia. Hiperuricemia dapat disebabkan oleh penyakit kronis atau obatobatan yang mengganggu keseimbangan produksi dan ekskresi asam urat.
Penyakit kronis yang dapat mempengaruhi ekskresi asam urat antara lain penyakit
ginjal dan hipertensi. Gout terdiri atas tiga tahap, tahap pertama yaitu
hiperuricemia asimptomatis dimana tidak terdapat tophi atau kristal monosodium
urat; tahap kedua yaitu arthritis simptomatis dan tahap terakhir yaitu gout
tophaceous, yaitu tahap dimana asam urat tidak dapat diekskresikan dan terbentuk
tophi pada tulang rawan, membran sinovial, tendon, dan jaringan lunak. Setiap
tophus terdiri atas kristal asam urat yang dikelilingi oleh granuloma yang
mengandung makrofag, sel epitel dan sel raksasa (Mader 1996b).
Struktur dan Fungsi Hati
Hati reptil terletak kranial dari lambung pada bagian kranioventral
abdomen (Wilson 2010). Hati terdiri atas lobulus yang memiliki batas kurang
jelas dibandingkan dengan hati mamalia. Fungsi hati pada reptil hampir sama
21
dengan mamalia yaitu metabolisme lemak, protein dan glikogen serta produksi
asam urat dan faktor pembekuan darah (Fudge 2000). Pada hati reptil terdapat
makrofag yang mengandung melanin disebut melanofag, yang berproliferasi bila
terjadi inflamasi sistemik. Sel-sel ini mengandung hemosiderin dan lipofuchsin
dan berfungsi menangkap radikal bebas dan mematikan bakteri (Terio 2004).
Pigmen melanin terdistribusi secara acak pada bagian parenkim hati dan tidak
memiliki pola tertentu (Frye 1991).
Penyakit hati akut pada reptil biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda,
terjadi secara tiba-tiba dan hewan hanya mengalami letargi dan anoreksia.
Penyakit hati kronis biasanya ditunjukkan dengan penurunan nafsu makan,
penurunan aktivitas, penurunan berat badan, dan perubahan warna pada feses
(Fudge 2000).
Struktur dan Fungsi Ginjal
Ginjal terletak di bagian kaudodorsal abdomen yang terdiri atas nefron
yang masing-masing memiliki glomerulus dan tubulus. Ginjal berperan dalam
sistem eksretori untuk mengekskresikan produk sisa metabolik, mengontrol
volume dan komposisi cairan tubuh, mengatur keseimbangan air, elektrolit,
osmolalitas cairan tubuh, mengatur tekanan arteri, dan mengatur keseimbangan
asam basa. Selain itu, ginjal juga berperan dalam glukoneogenesis dan ekskresi
hormon (Guyton & Hall 2006). Ginjal juga berfungsi untuk mengekskresikan
erithropoietin yang menstimulasi produksi eritrosit dan renin.
Produk metabolisme protein pada biawak adalah sodium, potasiumdan
garam amonium asam urat. Persentase masing-masing produk tergantung nutrisi,
faktor metabolik, lingkungan, dan individu (Frye 1991). Produk nitrogen
dieksresikan sebagai asam urat, urea dan amonia, dan ekskresi amonia dan urea
menyebabkan hilangnya air secara signifikan. Asam urat yang tidak larut dalam
air membantu dalam penyimpanan air (Barten 1996b).
Masing-masing ginjal terdiri atas korteks dan medula, dengan unit
fungsionalnya adalah nefron yang terdiri atas korpuskulus renalis (badan
Malpighi) dan tubulus. Nefron terdiri atas glomerulus dan tubulus. Glomerulus
terletak pada bagian korteks ginjal, terdiri atas kapiler melingkar yang menerima
22
darah dari arteriol aferen dan eferen, merupakan anastomose kapiler yang
dikelilingi oleh sel endotel dan fibrosit, dan filtrat darah akan dikeluarkan melalui
tubulus proksimalis (Frye 1991). Tubulus terdiri atas proximal convoluted tubule
(PCT), distal convoluted tubule (DCT), dan collecting tubule (CT) yang menuju
ke saluran mesonefrik.
Pada beberapa spesies kadal jantan termasuk biawak terdapat karakteristik
yang jelas pada ukuran, bentuk dan granul-granul pada sitoplasma epitel DCT.
Karakteristik ini disebut ‘sexual segment’, yang hanya ditemukan pada hewan
jantan yang sudah dewasa kelamin. Perubahan ini sangat jelas terlihat sehingga
jenis kelamin hewan dapat ditentukan dengan melihat histologi ginjal. Sel epitel
DCT mengalami hipertrofi dan dipenuhi dengan granul-granul sitoplasma yang
kecil, bulat dan eosinofilik (Aughey & Frye 2001). Epitel DCT menjadi berbentuk
silindris dan granul-granul sitoplasma eosinofilik ini disekresikan ke lumen DCT.
Hipertrofi ini terjadi pada siklus waktu tertentu yaitu saat aktivitas testes mencapai
puncak. Granul-granul eosinofilik ini juga dapat ditemukan di lumen vas deferens
(Frye 1991).
Fungsi ‘sexual segment’ dan sekresinya masih belum diketahui, namun
telah diusulkan bahwa fungsinya adalah memisahkan semen dan urin dengan
memblokade tubulus renalis dan ureter saat kopulasi, membantu pengeluaran
semen dari kelenjar ampula dan vesikula seminalis, memberi nutrisi untuk
sperma, dan bertindak sebagai feromon (Khanna 2004). Selain pada kadal, ‘sexual
segment’ juga dapat ditemukan pada ular namun tidak pada kura-kura (Sever et al.
2007). Karakteristik ‘sexual segment’ adalah granul di sitoplasma epitel DCT
dengan densitas yang bervariasi tergantung spesies dan aktivitas testes, dengan
inti sel yang terletak di bagian basal (Krohmer et al. 2004). DCT biawak yang
sedang mengalami ‘sexual segment’ disajikan pada Gambar 3.
23
Gambar 3 ‘Sexual segment’ pada distal convoluted tubule ular jantan Agkistrodon
piscivorous. Epitel tubulus mengalami hipertrofi, inti terletak di bagian
basal dan sitoplasma bergranul. Granul juga ditemukan di lumen
tubulus. Pewarnaan HE. Sumber: Sever et al. (2007).
Ginjal reptil memiliki nefron yang lebih sedikit dibandingkan mamalia dan
tidak memiliki lengkung Henle, sehingga reptil tidak mampu mengkonsentrasikan
urin dengan osmolaritas yang lebih tinggi dari plasma atau tidak mampu
menghasilkan urin yang pekat. Urin akan melalui saluran mesonefrik ke urodeum
kloaka lalu menuju ke vesika urinaria (Divers 1999). Saluran mesonefrik memiliki
epitel kubus sebaris dan epitel silindris transisional yang memiliki nukleus di
bagian basal sel (Frye 1991).
Semua kadal bersifat urikotelik, yaitu mengeksresikan asam urat sebagai
produk utama metabolisme protein yang tidak dapat larut dalam air. Asam urat
aktif diekskresikan oleh tubulus proksimal kemudian ditranspor oleh saluran
mesonefrik dari masing-masing ginjal ke vesika urinaria (Wilson 2010). Ekskresi
asam urat berfungsi untuk mengkonservasi air dalam tubuh dan sebagai adaptasi
terhadap lingkungan yang kering. Berbeda halnya dengan mamalia, ekskresi
amonia dan urea yang signifikan pada reptil tergantung dari lingkungan dimana
reptil tersebut hidup dan terlihat hanya pada reptil yang hidup di lingkungan
akuatik dan semi akuatik. Produksi asam urat juga sebagai kompensasi karena
reptil tidak dapat mengkonsentrasikan urin seperti pada mamalia, karena reptil
tidak memiliki lengkung Henle (Bass 2011).
24
Pada vertebrata, mekanisme lengkung Henle dipengaruhi oleh mekanisme
hormon yang mengatur peredaran darah ke ginjal dengan mengkonstriksikan
diameter kapiler ginjal. Pada keadaan dehidrasi, mekanisme ini menyebabkan
sirkulasi darah berkurang dengan tujuan untuk meminimalisasi volume darah yang
difilter dan air yang keluar dari nefron. Pada reptil, konstriksi kapiler ginjal
mengakibatkan suplai darah ke nefron berkurang sehingga ginjal akan mengalami
nekrosa dan akhirnya reptil tersebut mati. Oleh karena itu, reptil memiliki sistem
peredaran darah tambahan yang dikenal sebagai sistem renal portal, yaitu rute
aliran darah dari kaudal tubuh ke ginjal sebelum ke jantung. Sistem peredaran
darah ini hanya ada pada mamalia sewaktu embrio (Bass 2011). Oleh karena itu
penyuntikan obat nefrotoksik pada reptil dihindari di daerah kaudal. Namun
beberapa studi farmakologi menunjukkan bahwa metabolisme obat-obatan tidak
berpengaruh terhadap kura-kura saat obat disuntikkan pada bagian kaudal
tubuhnya (Wilson 2010).
Gejala penyakit renal akut pada reptil antara lain depresi, letargi dan
penurunan produksi urin. Sebagian reptil dengan penyakit renal akut memiliki
bobot badan dan kondisi yang cukup baik. Penyakit renal kronis dapat disebabkan
oleh perawatan yang kurang baik seperti kelembaban yang kurang, dehidrasi dan
faktor nutrisi. Faktor nutrisi yang dimaksud seperti diet protein tinggi dan
suplemen vitamin D3 yang berlebihan. Gejala penyakit renal kronis adalah
penurunan nafsu makan, penurunan bobot badan dan peningkatan frekuensi
minum. Penyakit renal merupakan penyakit utama yang dapat menyebabkan
kematian reptil pada penangkaran (Navarre 2003).
Struktur dan Fungsi Limpa
Limpa adalah organ limfoid terbesar di dalam tubuh yang memiliki fungsi
lymphopoiesis dan hemopoiesis yang terdiri atas kapsula, trabekula, pulpa merah,
dan pulpa putih. Pulpa merah berfungsi untuk menyimpan darah, mengeluarkan
benda asing, membuang sel darah merah yang mati dan abnormal, sedangkan
pulpa putih berfungsi untuk membentuk limfosit saat terjadi respon imun (Colville
& Bassert 2002).
25
Limpa reptil memiliki struktur histologi yang mirip dengan limpa
vertebrata tingkat tinggi (Press & Landsverk 2006). Pada beberapa reptil limpa
tergabung menjadi satu dengan pankreas sehingga terdapat gabungan jaringan
limpa dan pankreas yang disebut splenopankreas, namun pada biawak kedua
organ ini terpisah (Frye 1991). Reptil tidak memiliki kelenjar getah bening namun
memiliki sistem imun sebagaimana pada vertebrata tingkat tinggi. Jaringan
limfoid terdapat di submukosa saluran pencernaan dan saluran pernapasan (Paré
2006).
Struktur dan Fungsi Usus
Secara umum bentuk saluran pencernaan reptil sama dengan vertebrata
tingkat tinggi, namun ada sedikit perbedaan pada bentuknya. Kura-kura memiliki
usus yang sangat berbelit sedangkan ular memiliki usus yang relatif lurus.
Permukaan usus bervariasi pada masing-masing kelompok reptil, yaitu
membentuk lipatan longitudinal atau transversal, memiliki susunan berliku-liku
atau berbentuk seperti sarang madu.
Mukosa usus reptil memiliki vili dengan kripta yang tidak berkembang
dengan baik termasuk biawak, bahkan tidak ada pada beberapa spesies. Epitel
usus halus terdiri atas sel silindris dan sel goblet yang berfungsi untuk
mensekresikan mukus. Sel enteroendokrin juga ditemukan di epitel usus halus
yang mengandung hormon peptida dan amino. Sel tersebut memiliki fungsi yang
sama seperti pada mamalia yaitu mengatur motilitas usus. Bagian lain dari usus
halus selain duodenum sulit dibedakan. Usus biawak memiliki bagian-bagian
yang sama dengan mamalia yaitu epitel, lamina propria, muskularis mukosa,
submukosa, tunika muskularis, dan serosa (Ahmed et al. 2009).
Peradangan
Peradangan adalah perubahan jaringan yang disebabkan oleh berbagai
agen patogen, trauma, bahan kimia, dan panas. Tanda-tanda peradangan adalah
vasodilatasi pembuluh darah lokal, peningkatan permeabilitas kapiler, migrasi
granulosit dan monosit ke jaringan, dan pembengkakan sel (Guyton & Hall 2006).
Sel-sel peradangan pada reptil terdiri atas heterofil, limfosit, sel plasma, monosit,
26
dan makrofag. Heterofil adalah sel bulat, besar, dan bersifat fagositik yang
dominan ditemukan pada inflamasi. Ukuran heterofil terbesar ditemukan pada ular
dengan nukleus bulat dan tidak berlobus, namun berlobus pada beberapa reptil
seperti iguana, bunglon, dan tokek. Sitoplasma heterofil mengandung granul
seperti eosinofil (Reavill 1994).
Peradangan dapat dibagi menjadi peradangan heterofilik, peradangan
campuran dan peradangan makrofag. Peradangan heterofilik merupakan respon
peradangan akut yang ditandai oleh dominasi heterofil mencapai lebih dari 70%.
Peradangan campuran adalah peradangan yang ditandai oleh kehadiran heterofil
mencapai lebih dari 50% dan peningkatan sel monosit, limfosit, makrofag, dan sel
plasma. Peradangan campuran lebih sering dijumpai pada reptil karena migrasi
makrofag ke lesio lebih cepat dari migrasi makrofag pada mamalia. Inflamasi
heterofil memproduksi neurotoksin yang bersifat kemotaktik terhadap makrofag
sehingga terbentuk granuloma. Oleh karena itu, pembentukan granuloma pada
reptil menjadi respon jaringan bukan respon terhadap adanya agen infeksius.
Pembentukan sel raksasa sering terjadi pada lesio peradangan di reptil karena
respon terhadap benda asing. Oleh karena itu, adanya sel raksasa pada lesio
peradangan tidak selalu menunjukkan bahwa peradangan tersebut kronis.
Granuloma kronis ditunjukkan oleh adanya sel epiteloid dan fibroblas (Campbell
1999).
Peradangan makrofag ditandai oleh akumulasi lebih dari 50% sel
makrofag pada lesio. Peradangan heterofil dan peradangan campuran dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri atau fungi, trauma, dan benda asing sedangkan
peradangan makrofag dapat disebabkan oleh benda asing, fungi, mikobakterial,
dan chlamydia. Peradangan eosinofilik jarang terjadi pada reptil karena sulit untuk
membedakan heterofil dan eosinofil pada pewarnaan biasa. Peradangan
eosinofilik terjadi akibat reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau alergen
(Campbell 1999).
Radang granuloma adalah fokus kumpulan sel-sel mononuklear yang
terbentuk akibat adanya produk non-degradable dalam tubuh atau sebagai respon
hipersensitivitas. Radang granuloma terjadi bila proses inflamasi akut tidak bisa
menghancurkan benda asing terutama mikobakteria, spirochetes, virus, fungi,
27
protozoa, chlamydia, dan rickettsia (Zumla & James 1996). Infeksi bakteri, fungi,
parasit, dan algae merupakan penyebab utama morbiditas dan mortilitas pada
reptil. Respon reptil terhadap infeksi-infeksi tersebut berupa radang granuloma
yang dapat diklasifikasikan menjadi heterofilik atau histiositik, tergantung dari
etiologi dan respon individu. Radang granuloma heterofilik ditandai oleh
akumulasi heterofil dan biasanya disebabkan oleh patogen ekstraseluler
sedangkan granuloma histiositik disebabkan oleh infeksi bakteri intraseluler
(Soldati et al. 2004).
Radang granuloma ditandai oleh adanya infiltrasi monosit dan turunannya
serta meluasnya kematian jaringan. Monosit berasal dari sel prekursor dalam
sumsum tulang yang akan bermigrasi ke jaringan yang mengalami cedera lokal.
Monosit akan membesar dan berkembang menjadi makrofag. Monosit,
promonosit, dan makrofag membentuk sistem fagosit mononuklear. Makrofag
mampu mencerna bakteri dan partikel besar serta mampu hidup sampai berbulanbulan walaupun terdapat bakteri di dalam sitoplasmanya (Spector & Spector
1993). Radang granuloma kronis ditandai oleh adanya sel epiteloid, limfosit, sel
plasma, dan sel raksasa di sekeliling lesio tersebut (Soldati et al. 2004). Sel
epiteloid adalah derivat dari makrofag yang berfungsi untuk mensekresikan
lisozim, sedangkan sel raksasa adalah sel yang terbentuk dari fusi makrofag
(Spector & Spector 1993). Selain itu, fibroblas juga ditemukan di radang
granuloma (Jones et al. 1997).
Entamoeba sp.
Berbagai spesies amoeba komensal atau patogen dapat ditemukan di
saluran pencernaan reptil. Entamoeba sp. biasanya tidak menyebabkan penyakit
atau perubahan patologi, namun adanya faktor predisposisi seperti stres, pakan,
gangguan pencernaan dan infeksi sekunder dapat menyebabkan Entamoeba sp.
menjadi patogen. Kasus amoebiasis pada reptil dengan morbiditas dan mortalitas
tinggi disebabkan oleh Entamoeba invadens, walaupun ada spesies Entamoeba
lain yang dapat menginfeksi reptil seperti Entamoeba terrapinae dan Entamoeba
insolita.
28
Amoebiasis menyebabkan morbiditas dan mortilitas yang tinggi pada
kadal dan ular di penangkaran. Mortalitas dapat mencapai 100%, dan pada ular
kematian dapat terjadi 13-77 hari pasca inokulasi (Wilson 2010). Amoebiasis
merupakan penyakit yang serius di reptil karena sulitnya mengeradikasi agen dari
lingkungan atau inang pembawa (Richter et al. 2008). Kura-kura, buaya, dan
beberapa spesies ular dan kadal telah teridentifikasi sebagai inang pembawa
Entamoeba sp.. Amoebiasis fatal pada biawak karena biawak sangat rentan
terhadap Entamoeba sp. dan diperparah dengan adanya infeksi sekunder oleh
bakteri. Reptil langsung mati akibat amoebiasis tanpa menunjukkan gejala klinis
(Denver et al. 1999).
Amoebiasis ditransmisikan melalui rute fekal-oral. Entamoeba sp.
memiliki siklus hidup langsung tanpa inang antara, dan terdapat dua bentuk dalam
siklus hidupnya yaitu tropozoit dan kista. Tropozoit adalah bentuk proliferatif dan
amoeba motil dalam tubuh inang, sedangkan kista adalah bentuk infektif yang
dihasilkan di dalam mukosa usus. Kista memiliki dinding yang memiliki
komponen utama kitin sehingga terlindung dari kondisi lingkungan, sedangkan
tropozoit tidak mengandung kitin (Das & Gillin 1991).
Siklus hidup amoeba dimulai dari dikeluarkannya kista dari inang melalui
feses, lalu termakan oleh inang melalui air dan pakan yang terkontaminasi
(Kumagai et al. 1999). Kista yang termakan kemudian mengalami eksitasi di usus
halus dan mengeluarkan tropozoit. Tropozoit akan mengalami replikasi melalui
pembelahan biner, bermigrasi ke usus besar, dan dikeluarkan melalui feses. Selain
itu, tropozoit dapat memasuki aliran darah melalui arteri mesenterika dan
menginfeksi organ lain seperti hati, paru, dan otak hingga menyebabkan abses
pada hati atau organ lain (Lane & Mader 1996; Chia et al. 2009; Wilson 2010).
Kista dapat bertahan di lingkungan sampai beberapa minggu karena
mempunyai dinding yang melindunginya, sedangkan tropozoit yang dikeluarkan
melalui feses tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Tropozoit yang berada di
lumen usus akan menginfeksi usus dengan mengeluarkan polipeptida yang disebut
amoebapora serta mensekresikan enzim proteolitik untuk memudahkannya masuk
dan merusak epitel dan mukosa usus. Siklus hidup Entamoeba sp. disajikan pada
Gambar 4.
29
Gambar 4 Siklus hidup Entamoeba sp..Tropozoit bereplikasi melalui pembelahan
biner dan membentuk prekista di usus besar. Prekista berkembang
menjadi kista dan dikeluarkan melalui feses. Kista di lingkungan yang
termakan melalui pakan atau air yang terkontaminasi membentuk
metakista di usus halus yang kemudian mengalami eksitasi dan
berkembang menjadi tropozoit. Tropozoit kemudian bereplikasi
melalui pembelahan biner, bermigrasi ke usus besar dan memasuki
aliran
darah
lalu
bermigrasi
ke
organ
lain.
Sumber:http://compepid.tuskegee.edu/syllabi/pathobiology/pathology/
parasitology/chapter3.html.
Siklus hidup yang langsung dari Entamoeba sp. menyebabkan penularan
yang cepat pada reptil di penangkaran. Waktu inkubasi amoeba adalah 12-32 hari
dan waktu kematian terjadi 1-10 minggu pasca inokulasi. Waktu kematian
tergantung dari beberapa faktor yaitu jumlah amoeba yang menginfeksi, status
kesehatan hewan, status kekebalan hewan dan spesies hewan. Semua genus kadal
dapat terinfeksi amoeba, tidak ada yang memiliki kerentanan atau daya tahan
tertentu (Frye 1991). Tanda-tanda klinis amoebiasis adalah anoreksia, muntah,
30
dehidrasi, dan diare yang mengandung darah dan mukus kehijauan (Frye 1991;
Lane & Mader 1996).
Diagnosa amoebiasis dilakukan melalui pemeriksaan tropozoit atau kista
pada feses. Kista diidentifikasi melalui focal floatation atau preparat ulas feses
secara langsung, sedangkan tropozoit hanya dapat diidentifikasi melalui preparat
ulas feses secara langsung. Preparat ulas ditetesi Lugol’s iodine untuk imobilisasi
dan mewarnai amoeba (Wilson 2010). Diagnosa dapat berhasil melalui
pemeriksaan feses bila terdapat tropozoit dalam jumlah yang banyak dan sampel
feses segar. Sampel feses yang diuji harus segar karena tropozoit mudah hancur
setelah diekskresikan dari tubuh sehingga tidak dapat terdeteksi, sedangkan
identifikasi amoeba berdasarkan kista sulit dilakukan. Tropozoit amoeba dapat
difiksasi menggunakan polyvinyl alkohol. Sampel feses segar belum tentu
menunjukkan adanya amoeba karena amoeba yang keluar bersamaan dengan feses
tidak merata, bahkan hewan dengan amoebiasis yang parah dapat menunjukkan
hasil negatif yang berulang (Barnett 2003). Pemeriksaan Entamoeba sp. sebaiknya
menggunakan minimal tiga sampel feses selama tidak lebih dari 10 hari, dan dapat
meningkatkan deteksi sebanyak 85-95% (Fotedar et al. 2007).
Cara untuk mendiagnosa amoeba yang lebih akurat adalah melalui irigasi
kloaka dengan menggunakan kateter. Sampel cairan disentrifugasi lalu diperiksa
di bawah mikroskop atau dikultur. Kultur in vitro sampel kloaka lebih efisien
untuk mendeteksi kista dan tropozoit amoeba. Diagnosa secara histologi juga
dapat dilakukan namun lebih mahal karena sampel organ diambil dengan
menggunakan endoskopi atau laparoskopi (Barnett 2003). Identifikasi Entamoeba
sp. melalui pengamatan mikroskop kurang dapat diandalkan karena dapat
menghasilkan negatif palsu akibat salah identifikasi makrofag sebagai tropozoit,
granulosit sebagai kista atau spesies Entamoeba lain. Kultur tidak disarankan
untuk diagnosa rutin Entamoeba sp. karena dapat terkontaminasi oleh bakteri,
fungi atau protozoa, selain lebih mahal dan memerlukan tenaga kerja intensif
(Fotedar et al. 2007). Diagnosa diferensial amoebiasis adalah nematodiasis dan
salmonellosis, namun kedua penyakit tersebut tidak menyebabkan morbiditas dan
mortalitas tinggi (Lane & Mader 1996).
31
Identifikasi Entamoeba spp. sulit dilakukan karena bentuk tropozoit dan
kistanya mirip di berbagai spesies reptil. Selain itu kromatin dan jumlah nukleus
pada kista tidak memiliki karakteristik yang definitif, sehingga diagnosa spesies
Entamoeba lebih sering disesuaikan dengan inangnya (Richter et al. 2008).
Tropozoit Entamoeba sp. sulit dibedakan dengan amoeba lain pada reptil,
sedangkan kista E. invadens mirip dengan E. histolytica dan E. dispar pada
manusia. Tropozoit dan kista Entamoeba sp. disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Kista (a) dan tropozoit Entamoeba sp. (b) dalam sampel feses. Kista
memiliki dinding dan dua nukleus, sedangkan tropozoit tidak memiliki
dinding dan hanya memiliki satu nukleus. Bar: 5 µm. Sumber: Fotedar
et al. (2007).
Entamoeba sp. memiliki ukuran tropozoit dan kista yang bervariasi antar
spesies. E. histolytica dan E. dispar memiliki tropozoit berukuran 15-20 µm dan
kista berukuran 10-15 µm, sitoplasma bervakuola dan nukleus di bagian tengah.
Kista Entamoeba sp. dewasa memiliki empat nukleus sedangkan kista yang belum
dewasa memiliki satu sampai dua nukleus (Fotedar et al. 2007). E. invadens
memiliki tropozoit berukuran 10-20 µm dengan sitoplasma bervakuola dan
nukleus yang mengandung badan kromatin (Chia et al. 2009).
Identifikasi ketiga amoeba ini dapat dilakukan melalui kultur in vitro,
dimana E. invadens tumbuh optimal pada suhu 25 °C dan tidak akan tumbuh pada
suhu di atas 33 °C. E. histolytica dan E. dispar dapat dibedakan menggunakan
antibodi anti-amoeba, darah pada feses atau eritrosit di dalam tropozoit E.
histolytica (Denver et al. 1999). E. invadens hidup di dalam inang yang bersuhu
32
kurang dari 31 °C, sedangkan E. histolytica hidup di dalam inang yang bersuhu 37
°C (Frye 1991).
Amoebiasis sangat dipengaruhi suhu reptil, karena amoeba tidak patogen
pada suhu 13 °C dan infeksi dapat berhenti pada suhu 35-37 °C (Lane & Mader
1996). Pada satu ekperimen di ular, E. invadens menimbulkan penyakit pada suhu
25 °C, tidak menimbulkan penyakit pada suhu 10 °C atau 30 °C, dan tidak terjadi
infeksi pada suhu di atas 33 °C(Chia et al. 2009). Pada ekperimen lain, amoebiasis
tidak terjadi pada suhu 34-37 °C, tetapi infeksi terjadi bila suhu dipertahankan
pada 35 °C. E. invadens tidak patogen pada suhu 13 °C dan infeksi terjadi pada
suhu 25 °C dan 30 °C (Barnett 2003).
Entamoeba sp. pada manusia sulit dibedakan, begitu pula pada reptil.
Spesies amoeba patogen untuk reptil bukan hanya E. invadens, dan tidak semua
amoeba patogen pada reptil tertentu bersifat patogen pula pada spesies reptil lain.
Spesies Entamoeba sp lain yang secara morfologi mirip dengan E. invadens juga
mungkin ada pada tubuh reptil (Denver et al. 1999). Diagnosa definitif E.
invadens sulit dilakukan karena memiliki morfologi yang mirip dengan E.
ranarum, E. insolita, E. barretti dan E. terrapinae. Penentuan spesies Entamoeba
sp. secara definitif penting untuk menghindari kesalahan diagnosa atau
pengobatan yang berlebihan untuk protozoa non patogen. Metode PCR untuk
membedakan empat spesies amoeba tersebut telah dikembangkan dan efektif
untuk mendiagnosa E. invadens (Bradford et al. 2008).
Kasus amoebiasis pada reptil di penangkaran dapat terjadi akibat suplai air
atau kandang yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung Entamoeba sp..
Pencegahan amoebiasis dapat dilakukan dengan program sanitasi yang baik,
isolasi dan karantina hewan baru yang akan dimasukkan dalam penangkaran,
desinfeksi peralatan sebelum digunakan pada kandang lain (Frye 1991; Barnett
2003; Wilson 2010). Penanganan kontaminasi Entamoeba sp. yang efektif adalah
sterilisasi suplai air dengan penyaringan atau radiasi ultraviolet dan desinfeksi
permukaaan yang terkontaminasi menggunakan 0.002% mercuric chloride
(HgCl2).
Chelonia dan buaya merupakan inang pembawa E. invadens dan dapat
menjadi reservoir untuk menginfeksi kadal dan ular. Pada kura-kura, E. invadens
33
memperoleh nutrisi dari pakan kura-kura yaitu tanaman dan berkembang menjadi
kista tanpa menyebabkan penyakit. Pencampuran antara chelonia, buaya dan kadal
dalam pameran yang sama dapat menyebabkan amoebiasis pada kadal.
Arthoropod seperti kecoa dan lalat merupakan vektor mekanik karena
memindahkan feses yang terkontaminasi ke pakan hewan (Chia et al. 2009).
Amoebiasis pada reptil dapat diobati dengan metronidazole dengan dosis
275 mg/kg BB sekali atau 50 mg/kg BB secara oral selama lima hari.
Metronidazole efektif untuk mengeliminasi tropozoit namun tidak efektif untuk
mengeliminasi semua kista di lumen usus. Metronidazole dapat mengakibatkan
hepatotoksisitas bila diberikan dalam dosis tinggi (Denver et al. 1999).
Metronidazole
(Iodoquinal)
dapat
atau
digunakan
paromycin
bersamaan
(Humatin).
dengan
Kombinasi
diiodohydroxyquin
metronidazole
dan
chloroquine phosphate (Alaran Phosphate) dapat digunakan bila amoeba sudah
menyebar ke organ lain (Barnett 2003). Tetrasiklin atau erythromycin dapat
digunakan namun tidak seefektif metronidazole sehingga jarang digunakan
(Denver et al. 1999). Pengobatan yang diberikan tergantung dari spesies dan
belum ada obat yang dapat mengeliminasi Entamoeba sp. sepenuhnya. Antibiotik
diberikan untuk mencegah infeksi sekunder atau septisemia. Antibiotik spektrum
luas seperti gentamycin (Gentocin) atau chloramphenicol (Chloromycetin) dapat
digunakan untuk mengobati infeksi bakteri sekunder yang menyertai amoebiasis
(Barnett 2003).
Download