BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan atau agresi adalah perilaku yang dilakukan dengan tujuan menyakiti
makhluk hidup (Baron & Branscombe, 2012). Agresi adalah sebuah perilaku yang bertujuan
untuk melukai orang lain dan merusak harta benda (Atkinson, Atkinson, & Hilgard, 1999),
sedangkan menurut Myers (2010) agresi adalah tingkah laku verbal ataupun fisik untuk
melukai orang lain. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa agresi adalah tindakan
yang dilakukan untuk menyakiti makhluk hidup lain secara verbal maupun fisik.
Agresi telah menjadi topik penelitian yang menarik di area psikologi sejak dulu
karena fenomena agresi tidak pernah habis ditelan jaman. Banyak kasus-kasus besar di
berbagai belahan dunia yang terjadi akibat agresi, contohnya peristiwa genosida di Bosnia,
genosida oleh Hitler kepada masyarakat Yahudi, perang dunia pertama, kedua dan yang saat
ini sedang berlangsung adalah perang di Gaza, Suriah serta genosida di Myanmar.
Ada berbagai teori yang menjelaskan penyebab agresi. Beberapa teori tersebut antara
lain, teori insting yang berpendapat bahwa agresi adalah sifat bawaan manusia. Sigmund
Freud percaya bahwa agresi adalah produk kecenderungan insting manusia yang ingin mati
atau disebut Thanatos (Baron & Branscombe, 2012). Sifat ini pada awalnya bersifat
destruksi terhadap diri sendiri namun berevolusi keluar dari diri manusia dan berakibat
keinginan untuk menyakiti orang lain. Pendapat yang serupa diungkap Konrad Lorenz yang
menyatakan bahwa manusia mempunyai insting untuk berkelahi dan karena konsekuensi
dari kemenangan berkelahi selama evolusi adalah baik maka manusia terus melakukannya
untuk mendapatkan keuntungan (Brigandt, 2005). Dari proses ini dipastikan bahwa spesiesspesies yang kuatlah yang dapat bertahan.
1
2
Teori lain yang menjelaskan tentang agresi adalah teori biologi, dorongan, kognitif,
dan belajar sosial. Teori biologi menjelaskan agresi sebagai produk dari hormon testosteron
dalam tubuh yang timbul ketika marah (Kalat, 1998). Hormon inilah yang kemudian
mendorong manusia untuk menyakiti orang lain.
Teori dorongan berpendapat bahwa akar dari agresi berasal dari lingkungan eksternal
yang kemudian memicu seseorang untuk melakukan kekerasan pada orang lain (Baron &
Branscombe, 2012). Salah satu hipotesis dari teori ini adalah hipotesis frustasi-agresi yakni
adanya frustasi atau keadaan seseorang ketika tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan
atau ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan (Berkowitz, 1989). Keadaan tersebut akan
mengarah pada frustasi yang kemudian memicu hadirnya agresi.
Teori kognitif menjelaskan agresi sebagai hasil dari proses-proses kognitif seperti
penilaian, peran skrip, dan afek (Collins & Loftus, 1975). Teori yang terakhir, belajar-sosial,
mempercayai bahwa perilaku agresi dipelajari melalui pengamatan langsung dari
lingkungan yang ada di sekitarnya (Bandura, 1977). Pengaruh orang terdekat yang
melakukan agresi dan media yang menampilkan kekerasan akan berujung pada dipelajarinya
agresi oleh orang-orang yang menyaksikan atau mengamati.
Agresi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Agresi dapat dilakukan secara
verbal, fisik, psikologis, langsung maupun tidak langsung. Kekerasan tidak hanya terjadi
dalam jumlah besar seperti yang terjadi pada peristiwa genosida atau perang. Kekerasan juga
dapat terjadi dalam ranah domestik dan dalam hubungan romantis. Menurut Hessick (2007),
kekerasan akan lebih cenderung dilakukan oleh orang-orang dikenal dibanding orang-orang
yang tidak dikenal. Hal ini sesuai dengan teori kecemburuan seksual yakni perasaan adanya
ancaman terhadap hubungan romantik yang dimiliki sehingga hal ini akan memancing
timbulnya agresi.
3
Pada umumnya, bukti klinis menerangkan bahwa kekerasan dalam ranah domestik
banyak dilakukan kepada wanita (Archer, 2000; Magdol et. al., 1997). Namun bukti ini
didapat dari berita acara kepolisian, laporan korban, dan survey kriminal yang secara spesifik
banyak dilakukan kepada korban wanita sehingga data ini bukan merupakan representasi
sesungguhnya. Hal ini didasari oleh kecenderungan pria untuk tidak melaporkan kekerasan
yang dialaminya (Archer, 2000; McNeely & Robinson-Simpson, 1987).
Menurut data Home Office statistical bulletins dan the British Crime Survey (dalam
Strickland, 2013), 60% kekerasan dilakukan oleh pria kepada wanita dan 40% sisanya
dilakukan oleh wanita kepada pria. Data hasil survey dari beberapa lembaga menyatakan
bahwa wanita sebagai pelaku kekerasan di Inggris telah meningkat dari 806 pada tahun
2004/2005 menjadi 3735 pada tahun 2013/2014 (Brooks & Bradley, 2015). Dari data ini,
dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan juga dapat dilakukan oleh wanita kepada pria.
Angka ini dapat digunakan untuk menyadarkan masyarakat bahwa kekerasan bisa terjadi
pada siapa saja dan oleh siapa saja. Kedua jenis kekerasan sama-sama menimbulkan dampak
dan sama-sama tidak bisa diterima.
Data-data diatas adalah hasil studi yang dilakukan di Inggris. Di Indonesia, kekerasan
kerap terjadi pada perempuan dan anak. Data Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak
pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa kekerasan yang dilakukan pada perempuan
mencapai 16.217 kasus (Kompas.com, 2016). Namun dari data angka kekerasan yang
dipublikasikan, belum ada data yang tersedia mengenai kekerasan terhadap pria di Indonesia.
Hal ini dapat disebabkan karena tidak adanya kekerasan terhadap pria di Indonesia atau
kekerasan tersebut belum terdeteksi.
Tidak terdeteksinya kekerasan terhadap pria dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Mahalik, Good dan Englar-Carlson (2003) menyatakan bahwa bagi pria, menyandang status
pria korban kekerasan cenderung dinilai “unmanly”. Pria cenderung menyembunyikan
4
pengalaman kekerasan yang dialaminya karena tekanan sosial yang tidak menganggap pria
sebagai korban yang rentan akan kekerasan (Dempsey, 2013).
Pada tanggal 20 September 2016, terjadi sebuah pertikaian antara seorang wanita dan
seorang pria di area Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada Sayap Selatan. Pria tersebut
berteriak dan menunjuk wajah sang wanita serta memukul pagar tembok disampingnya.
Beberapa karyawan dari Gedung Pusat Sayap Selatan menyaksikan kejadian tersebut. Salah
satu karyawan wanita berusia 50-an, Wiwis Kinasih, berujar dengan nada tinggi bahwa ia
akan mendatangi sang pria jika pria tersebut sampai menyentuh sang wanita. Menurut Wiwis
Kinasih, wanita tidak boleh memperbolehkan dirinya untuk diinjak-injak kaum lelaki
(pembicaraan pribadi, 20 September 2016). Pada saat peneliti bertanya kepada beberapa
karyawan yang menyaksikan kejadian tersebut mengapa hal tersebut bisa terjadi, Wiwis
Kinasih dan Astri Wulandari sepakat bahwa kekerasan tersebut terjadi karena pria tersebut
mempunyai temperamen yang tinggi dan tidak dapat mengontrol emosinya (pembicaraan
pribadi, 20 September 2016). Namun ketika peneliti bertanya apabila dalam situasi tersebut
gender pelaku dan korban dibalik, Astri Wulandari mengatakan “Yo, yo’opo yo. Biasa wae.
Kekerasan wedok ki yo ngunu-ngunu wae, ra iso ngefek” (Ya, bagaimana. Biasa saja.
Kekerasan yang dilakukan perempuan begitu-begitu saja, tidak memiliki efek) (Pembicaraan
pribadi, 20 September 2016).
Indonesia dikenal sebagai negara dengan budaya patriarki yang tinggi. Namun
dengan perkembangan budaya di dunia, berbagai aliran budaya yang berasal dari negara lain
mulai terserap oleh bangsa Indonesia termasuk aliran feminisme. Feminisme yang awal
mulanya adalah sebuah usaha untuk menyetarakan hak-hak pria dan wanita, saat ini
dipandang sudah melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Perempuan yang memimpin
kelompok aliran feminisme di Inggris pada abad ke-21 sudah jauh dari cara hidup dan cara
berpikir perempuan Inggris pada umumnya (Hartley-Brewer, 2015).
5
Sebuah kasus kekerasan domestik terjadi di Inggris yang melibatkan juru bicara
partai buruh yang juga merupakan advokat anti kekerasan domestik. Terungkap bahwa Sarah
Champion (47) telah melakukan kekerasan pada (mantan) suaminya pada tahun 2007 silam,
namun pada saat itu pihak berwajib hanya memberikan peringatan kepada Sarah. Sarah yang
mengaku bahwa kejadian tersebut merupakan kejadian satu-satunya disangkal oleh
keterangan saksi dan korban, kekerasan yang dilakukan Sarah kepada (mantan) suaminya
sudah berlangsung lama yang akhirnya memicu perceraian keduanya pada tahun 2007 lalu
(Daily Mail, 2016). Setelah tanpa tindak lanjut, pada tanggal 6 Oktober 2016, Sarah
Champion diangkat menjadi Shadow Minister untuk Perempuan dan Kesetaraan (The
Guardian, 2016 ). Apakah konsekuensi yang diterima oleh politisi wanita yang melakukan
tindak kekerasan domestik akan sama dengan konsekuensi yang diterima oleh politisi pria
yang melakukan tindak kekerasan domestik?
Jika pandangan masyarakat Indonesia terhadap kekerasan yang dilakukan oleh pria
dan kekerasan yang dilakukan oleh wanita masih mengandung bias gender maka
permasalahan-permasalahan yang saat ini terjadi di negara maju juga akan terjadi di
Indonesia.
Awal mula ide dari penelitian eksperimental ini adalah sebuah video yang diunggah
oleh Disturb Reality di media sosial YouTube. Dalam video tersebut dilakukan percobaan
sosial mengenai respon kekerasan yang dilakukan oleh pria kepada wanita dan sebaliknya.
Percobaan dilakukan di tempat umum yang ramai. Dalam video tersebut, kondisi pertama
adalah seorang wanita dan pria sedang beradu argumen kemudian sang pria mulai
menggunakan kekerasan secara verbal dan fisik. Tak lama kemudian orang-orang di sekitar
aktor mulai memisahkan mereka dan menolong sang wanita, orang-orang bahkan
mengancam sang pria untuk dilaporkan ke pihak berwajib. Pada situasi kedua, seorang
wanita dan pria sedang beradu argumen, kemudian sang wanita mulai melakukan kekerasan
6
verbal dan fisik seperti yang dilakukan pria kepada wanita di kondisi pertama. Namun tidak
ada sama sekali respon dari orang-orang sekitar. Tidak ada dari orang-orang tersebut yang
menolong sang pria. Mereka hanya melihat dan menertawakan. Hal ini mengungkap adanya
kesenjangan antara yang seharusnya dan kenyataan. Seharusnya pada siapapun dan oleh
siapapun kekerasan dilakukan, tidak akan menghalangi perilaku prososial masyarakat,
nyatanya perilaku prososial tidak dilakukan di skenario kedua.
Salah satu cara untuk menghindari dampak yang fatal pada korban kekerasan adalah
adanya intervensi dari orang-orang sekitar yang disebut dengan tindakan prososial. Tindakan
prososial adalah tindakan yang memberikan manfaat yang nyata bagi orang lain tanpa
adanya manfaat nyata bagi orang yang ditolong (Baron & Byrne, 2004).
Jenis tindakan prososial dapat bermacam-macam tergantung situasi yang dihadapi.
Bila seseorang melihat pengemis di pinggir jalan, memberikan uang atau makanan akan
dinilai sebagai tindakan prososial. Contoh tindakan prososial yang lain adalah membantu
seseorang untuk mengangkat barang belanjaannya yang terlalu berat atau bisa juga dengan
memberikan beasiswa kepada siswa yang kurang mampu.
Dalam kasus kekerasan, tindakan prososial yang bisa dilakukan sangat bervariasi.
Contohnya, dengan menengahi pertengkaran, menjauhkan korban dari pelaku sampai
menghubungi pihak yang berwajib. Tindakan prososial ini dapat dilakukan oleh orang yang
menyaksikan tindakan kekerasan tersebut atau bystander.
Perilaku prososial bystander sangat penting untuk dapat menghindarkan korban dari
kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. Namun kenyataannya perilaku prososial
tidak selalu dilakukan. Untuk seorang bystander melakukan sebuah intervensi terhadap
sesuatu, ada beberapa langkah yang harus dipikirkan terlebih dahulu. Dalam buku karangan
Baron & Branscombe (2012) terdapat lima tahapan yang dilakukan seseorang untuk
7
akhirnya memutuskan untuk menolong atau tidak menolong. Kelima tahap itu adalah model
intervensi proses Latané & Darley (1969).
Lima tahap sebelum seseorang memutuskan untuk menolong atau tidak menolong
ialah yang pertama, menyadari adanya situasi darurat. Sebuah situasi harus disadari oleh
bystander sebagai situasi darurat sebelum ia memutuskan untuk melakukan intervensi.
Kedua, bystander harus dengan mempersepsikan apakah kejadian tersebut memang
benar-benar darurat. Dalam keadaan ambigu, orang cenderung untuk mengurungkan niat
menolong dan menunggu informasi lebih lanjut yang akan membantunya mempersepsikan
apakah keadaan tersebut benar-benar darurat.
Setelah itu, langkah ketiga agar seorang bystander mau bertindak adalah
dirasakannya tanggung jawab untuk menolong. Tanpa adanya tanggung jawab untuk
menolong, seorang bystander tidak akan bergerak untuk menolong. Inilah alasan dibalik
teori bystander effect, yakni para bystander akan merasa tanggung jawab yang ia punya tidak
besar karena terbagi dengan bystander lain yang juga menyaksikan dan mengalami hal yang
sama. Hal ini kemudian memicu lamanya waktu yang dibutuhkan seseorang untuk ditolong
ketika banyaknya saksi di tempat kejadian daripada ketika hanya ada sedikit saksi di tempat
tersebut.
Langkah keempat adalah mengetahui apa yang harus dilakukan. Seorang bystander
harus mengetahui apa yang harus dilakukan untuk membantu korban. Langkah kelima atau
langkah terakhir adalah keputusan untuk menolong atau tidak menolong.
Dalam langkah kelima ini, walaupun empat langkah sebelumnya seseorang sudah
menjawab dengan jawaban iya namun masih ada kemungkinan bahwa pertolongan tidak
dilakukan. Hal ini didasari oleh faktor-faktor lain seperti adanya perbedaan individu
(Bustanova, 2012).
8
Penelitian psikologi yang selama ini banyak dilakukan terkait dengan pengaruh
gender terhadap kekerasan lebih mengarah kepada perbedaan gender bystander, seperti yang
dilakukan oleh Senneker (1978). Melalui penelitian tersebut, diketahui terdapat perbedaan
respon antara bystander wanita dan bystander pria. Bystander pria lebih cepat untuk
memberikan pertolongan disaat darurat dibandingkan dengan bystander wanita (Senneker,
1978). Jenis penelitian lain yang juga sering dilakukan adalah penelitian terkait perbedaan
persepsi antara subjek wanita dan subjek pria terhadap level kekerasan, seperti yang
dilakukan oleh Borhart & Terrell (2014).
Hipotesis awal tidak dilakukanya perilaku prososial pada eksperimen yang dilakukan
Disturb Reality adalah bias gender. Bias menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary
7th Edition adalah perasaan kuat yang berkorelasi positif atau negatif terhadap suatu
kelompok atau suatu pandangan, seringkali berdasarkan penilaian yang tidak adil. Sebuah
prediksi itu dikatakan bias jika prediksi tersebut melebihkan atau merendahkan kemampuan
atau kriteria orang lain karena identitas yang mereka miliki (Jensen dalam Silva& Share,
2003). Dari kedua definisi tersebut, bias gender ialah perasaan kuat yang melebihkan atau
merendahkan kemampuan orang lain berdasarkan identitas gender.
Terdapat dua macam bias gender yakni implisit dan eksplisit. Bias gender implisit
adalah asosiasi mental yang mendalam dan terdapat pada area ketidaksadaran seseorang.
Keadaan ini membuat individu mengasosiasikan seseorang atau sekelompok orang dengan
karakteristik tertentu dan ketika seseorang atau sekelompok orang tersebut tidak memenuhi
ekspektasi ketidaksadarannya maka seringkali berakhir pada penilaian atau perilaku tidak
adil. Peneliti menemukan bahwa jenis bias ini sangat umum dan menetap. Bias ini juga
sering mengakibatkan perilaku yang fatal (Wesolowski, Luzadis, & Gerhardt, 2011).
Penelitian mengenai adanya bias gender dalam mempersepsikan kejadian kekerasan
dipopulerkan oleh Harris & Cook (1994). Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa pria yang
9
mengalami kekerasan dipandang lebih bertanggungjawab atas tindakan kekerasan yang ia
alami dibanding wanita yang mengalami kekerasan serupa. Selain itu, dalam penelitian
tersebut juga diungkap bahwa kekerasan yang dialami wanita dipersepikan sebagai kejadian
yang lebih serius dibandingkan kekerasan yang dialami pria. Hasil yang sama juga
didapatkan oleh penelitian Worthen & Varnado-Sullivan (2005).
Dalam
penelitian
Worthen
&
Varnado
(2005),
pria
disalahkan
atas
ketidakberhasilannya untuk menghindar dari kekerasan yang ia alami. Hasil dalam penelitian
yang dilakukan oleh Howard & Crano (1974) juga mendukung adanya perbedaan respon
pertolongan yang diterima seseorang tergantung gender korban. Hasil penelitian Howard &
Crano (1974) menyatakan bahwa wanita menerima bantuan dua kali lebih banyak daripada
pria.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Harris and Cook (1994), terdapat tiga skenario
yang digunakan. Skenario pertama adalah pria yang melakukan kekerasan kepada wanita
dan dalam skenario kedua adalah wanita yang melakukan kekerasan kepada pria sedangkan
skenario ketiga adalah kekerasan dengan gender yang sama. Subjek diminta untuk
memberikan nilai mengenai seberapa besar korban berperan dalam kekerasan yang ia terima
dan seberapa parah kekerasan yang telah dilakukan oleh pelaku kekerasan. Skenario dalam
penelitian tersebut adalah sama dan hanya berbeda gender pelaku dan korban. Dari penelitian
tersebut, subjek memandang bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pria cenderung dinilai
lebih berat tingkat kekerasannya walaupun skenario yang ada sama persis. Skenario dimana
pria menjadi korban kekerasan mengungkap bahwa pria tersebut bertanggungjawab lebih
besar daripada korban wanita. Dengan adanya penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh gender dalam persepsi bystander terhadap kejadian kekerasan.
Dalam buku Baron dan Branscombe (2012), persepsi adalah proses yang dijalani
seseorang untuk mencari tahu tentang orang lain dan berusaha memahaminya. Terdapat
10
sejumlah faktor yang dapat berpengaruh untuk memperbaiki dan mendistorsi persepsi kita
dalam melihat suatu objek yang sama, hal ini dipengaruhi oleh: a) Tingkat pengetahuan dan
pendidikan seseorang, b) Faktor pada pemersepsi/pihak pelaku persepsi yang dipengaruhi
oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan
pengharapan. Variabel lain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan,
latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian, dan
pengalaman hidup individu (Notoatmojo dalam Hermanto, 2010).
Dalam proses persepsi, dikenal pula proses atribusi yakni usaha untuk memahami
alasan seseorang melakukan sesuatu. Proses ini kemudian akan sangat mempengaruhi
perilaku dan reaksi seseorang kepada individu tersebut. Dalam penelitian Harris dan Cook
(1994) diketahui bahwa terdapat perbedaan persepsi terhadap kekerasan yang dilakukan oleh
wanita dan pria. Dalam penelitian tersebut, korban pria dan korban wanita menerima reaksi
yang berbeda terhadap kekerasan mereka alami.
Penelitian Harris dan Cook (1994) tidak mencoba mengkorelasikan antara penilaian
subjek dengan niat subjek untuk membantu korban kekerasan. Diharapkan dengan
dilakukannya penelitian eksperimen ini, maka dapat diketahui peran persepsi kekerasan yang
dilakukan oleh bystander pada hubungan antara intensi intervensi bystander dan gender
pelaku serta korban kekerasan. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengungkap
penilaian masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan oleh pria dan kekerasan yang
dilakukan oleh wanita.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh gender korban dan pelaku pada penilaian terhadap kekerasan
lawan jenis.
11
2. Untuk mengetahui pengaruh pandangan ketika melihat adanya kekerasan antar gender
terhadap intensi untuk memberikan intervensi.
3. Untuk mengetahui peran persepsi agresi bystander dalam pengaruh gender pelaku dan
korban kekerasan terhadap intensi intervensi bystander.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan dalam bidang
Psikologi Sosial, mengenai peran persepsi agresi oleh bystander dalam pengaruh gender
korban dan pelaku kekerasan terhadap intensi intervensi bystander.
2. Manfaat praktis
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum untuk
meningkatkan kesadaran akan kekerasan di sekitar kita dan mengurangi adanya pengaruh
bias gender pada respon terhadap kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.
Download