11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas teori dan

advertisement
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas teori dan konsep terkait dengan masalah
penelitian. Pemaparan teori dan konsep juga dihubungkan dengan penelitian
terdahulu sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dan acuan saat dilakukan
pembahasan.
2.1
Konsep Stroke
2.1.1 Definisi stroke
Stroke adalah sebagai suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan
fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau
kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan
vaskular (WHO, 1993 dalam Mulyatsih, 2007). Sedangkan menurut Depkes
(2004), stroke akut adalah kumpulan gejala klinis yang terjadi pada menit pertama
jam pertama serangan stroke sampai dengan 2 minggu pasca serangan. Smeltzer
(2002) mendefinisikan stroke sebagai suatu kehilangan fungsi otak karena
berhentinya suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau
permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap
gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya
aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan
secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang masih lama dan
11
Universitas Sumatera Utara
12
masih sering digunakan adalah cerebrovaskular accident (Price, 2006). Menurut
Feigin (2007), gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis dan perilaku. Gejala
fisik yang paling khas adalah paralisis, kelemahan, hilangnya sensasi diwajah,
lengan atau tungkai disalah satu sisi tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan menelan
dan hilangnya sebagian penglihatan disatu sisi. Seorang dikatakan terkena stroke
jika salah satu atau kombinasi apapun dari gejala di atas berlangsung selama 24
jam atau lebih.
2.1.2. Penyebab dan faktor risiko
Hudak, dkk, (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadi disebabkan
oleh salah satu dari empat kejadian, yaitu: 1) trombosis yaitu bekuan darah di
dalam pembuluh darah otak atau leher, yang kemudian menyumbat aliran darah
otak. Thrombosis bersama dengan emboli hampir menjadi penyebab sekitar
tigaperempat dari semua kasus stroke, 2) emboli serebral yaitu bekuan darah atau
lainnya seperti lemak yang mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan
menyumbat aliran darah bagian otak tertentu, 3) spasme pembuluh darah cerebral
yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area otak tertentu, 4) hemoragik serebral
atau pendarahan serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh
darah serebral dengan pendarahan ke otak yaitu pecahnya pembuluh darah
serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak
sehingga menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu
pertiga dari seluruh kejadian stroke dan presentasi penyebab kematian lebih besar
dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik
Universitas Sumatera Utara
13
Faktor resiko terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi diantaranya adalah gaya hidup. Beberapa penyakit yang diakibatkan
oleh perubahan gaya hidup dan dapat menyebabkan terjadinya. Stroke yaitu
hipertensi, diabetes mellitus, gangguan jantung (miokardium infark) dan
hiperlepidemia. Hipertensi merupakan faktor resiko tertinggi untuk terjadinya
stroke.
Autoregulasi serebral tidak efektif bila tekanan darah sistemik dibawah 50
mmHg dan diatas 160 mmHg (Lemone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan
darah yang adekuat dapat menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller &
Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2009). Diabetes mellitus (DM) merupakan
faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah
serangan stroke (Ignativius & Workman, 2006).
Faktor resiko stroke lainnya dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia,
merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke,
tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke yang berulang
(Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2009).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya: usia, jenis
kelamin, ras (American Heart Association, 2000, dalam Smeltzer & Bare, 2008).
Laki-laki lebih tinggi risiko mendapat serangan stroke dari pada wanita.
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.3 Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran
darah ke otak berkurang atau berhenti sama sekali kedaerah distal otak yang
mengalami thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori aliran
darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa
mempertahankan metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondria berubah menjadi
respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan pH.
Perubahan bentuk metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron
dalam memproduksi adenosine triphospate (ATP) yang akan dijadikan sumber
energy dalam aktivitas sel neuron berupa proses depolarisasi
Penurunan aliran darah serebral menyebabkan terjadinya daerah penumbra
dan berkembang menjadi daerah infark. Daerah penumbra yaitu daerah otak yang
iskemik dan terdapat pada daerah sekitar yang mengelilingi daerah infark. Daerah
ini dapat segera mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan.
Daerah ini dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju
kedaerah tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan
mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibatnya yang timbul
adalah kalsium dan glutamate banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan
menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra
dan memperberat gangguan neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan
penumbra ini akan menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar
penumbra dan infark sebagai akibat tekanan dan iskemia sehingga menyebabkan
gangguan system saraf yang lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini
Universitas Sumatera Utara
15
akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan
saraf secara perlahan dapat kembali normal sesuai dengan perkembangan proses
yang terjadi.
Proses evolusi dari jaringan iskemik kearah infark ini cukup cepat.
Iskemik selama 8 sampai 12 jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil,
sitoplasma, nukleus rusak & sel mati (Dutka, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral
Blood Flow (CBF) sebesar 18 ml per 100 gram per menit selama 4 jam akan
menimbulkan infark. CBF sebesar 15 ml per 100 gram permenit, akan
menimbulkan infark dalam 3,5 jam, CBF 10 ml per 100 gram per menit akan
menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5 ml per 100 gram per menit
menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon, 2004).
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan penyebab perdarahan otak dan
lokasi perdarahanya. Perdarahan subraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma
atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada
area sirkulus willis dan kelainan bentuk arteri vena (AVM). Perdarahan tersebut
dapat menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan
terjadinya proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang
tertekan tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan
menambah tekanan intracranial semakin berat. Perdarahan subarachnoid juga
disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan
tekanan perfusi dan vasospasme.
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada pasien stroke dengan
hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
16
tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan
amphetamine. Perdarahan biasanya terjadi pada daerah seperti lobus otak, basal
ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat juga terjadi pada
intraventrikular (Black & Hawks, 2005).
Gangguan sel-sel menyebabkan terjadinya defisit neurologis berkaitan
erat dengan daerah serebral yang terkena (infark). Defisit neurologis biasanya
terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah infark. Hal ini terjadi karena
adanya penyilangan jalur motor neuron. Penyilangan terjadi pada diskus
piramidalis (decussation of pyramids).
2.1.4 Tanda dan gejala sisa
Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black &
Hawk, 2009), bervariasi bergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang
rusak, lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral
di serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara,
kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009).
Stroke dapat dihubungkan dengan area gangguan neuron otak maupun
defisit neurologis, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari
stroke meliputi: 1) kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas
dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiparesis (kelemahan) dan
hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) sering terjadi setelah stroke, yang
biasanya disebabkan karena stroke pada bagian anterior atau bagian tengah arteri
serebral, sehingga memicu terjadinya infark bagian motorik dari kortek frontal, 2)
Universitas Sumatera Utara
17
aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan berkomunikasi, termasuk
berbicara, membaca, menulis dan memahami bahasa lisan. Terjadi jika pusat
bahasa primer yang terletak dipusat hemisfer yang terletak di hemisfer kiri
serebelum tidak mendapatkan aliran darah dari arteri serebral tengah karena
mengalami stroke, ini terkait erat dengan area wernick dan brocca, 3) disatria,
dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit untuk mengucapkannya,
sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini disebabkan oleh terjadinya paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara, 4) apraksia yaitu
ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya, seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya, 5)
disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan karena stroke pada
arteri vertebrobasiler yang mempengaruhi saraf yang mengatur proses menelan,
yaitu N.V (trigeminus), N VII (facialis), N IX (glossofarengeus) dan N XII
(hipoglosus), 5) pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan
seperti diplopia, 6) horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus
simpatis pada mata sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak
mata atas, kelopak mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan
berkurangnya air mata, 7) unilateral neglected merupakan ketidak mampuan
merespon stimulus dari sisi kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering
mengabaikan salah satu sisinya, 8) defisit sensori disebabkan oleh stroke pada
bagian sensorik dari lobus parietal yang disuplai oleh arteri serebral bagian
anterior dan medial, 9) perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke
bagian otak yang mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi.,
Universitas Sumatera Utara
18
yaitu bagian korteks serebral, area temporal, limbic hipotalamus, kelenjar pituitary
yang mempengaruhi korteks motorik dan area bahasa, 10) inkontinensia baik
bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu bentuk neurogenic blader
atau ketidakmampuan kandung kemih, yang kadang terjadi setelah stroke. Saraf
mengirimkan pesan ke otak tentang pengisian kandung kemih tetapi otak tidak
dapat menginterpretasikan secara benar pesan tersebut dan tidak mentransmisikan
pesan ke kandung kemih untuk tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan
terjadinya frekuensi urgensi dan inkontinensia (Black & Hawk, 2009) dan
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.1.5 Komplikasi Stroke
Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, dan luasnya area cedera
terdiri dari: 1) hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah
adekuat ke otak, 2) aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah
jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian
intervensi) harus menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral, 3) embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau
fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik (Smeltzer & Bare,
2002).
2.2
Disfagia
2.2.1 Definisi Disfagia
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Werner, 2005). Gejala
Universitas Sumatera Utara
19
gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di
kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan. Tanda dan
gejala disfagia yang lain meliputi mengiler, kesulitan mengunyah, makanan
tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat menelan, batuk, tersedak, suara
serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan menurun, rasa panas di
dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi pneumonia.
Disfagia diartikan sebagai “perasaan melekat” atau obstruksi pada tempat
lewatnya makanan melalui mulut, faring, atau esophagus. Gejala ini harus
dibedakan dengan gejala lain yang berhubungan dengan menelan. Kesulitan
memulai gerakan menelan terjadi pada kelainan-kelainan fase volunter menelan.
Namun demikian setelah dimulai gerakan menelan ini dapat diselesaikan dengan
normal. Odinofagia berarti gerakan menelan yang nyeri, seringkali odinofagia dan
disfagia terjadi secara bersamaan. Globus faringeus merupakan perasaan adanya
suatu gumpalan yang terperangkap dalam tenggorokan. Arah makanan yang keliru
sehingga terjadi regurgitasi nasal dan aspirasi makanan kedalam laring serta paru
sewaktu menelan, merupakan ciri khas disfagia orofaring (Harrison, 2000).
Penatalaksanaan pasien stroke yang mengalami disfagia secara tepat sedini
mungkin selain menurunkan risiko aspirasi juga terbukti memperbaiki status gizi,
mengoptimalkan program rehabilitasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa
seringkali pasien stroke dengan disfagia belum dikelola secara tepat. Perawat dan
caregiver sebagai anggota dari tim stroke, dapat dilatih dalam melakukan skrining
terhadap adanya gangguan menelan pada pasien stroke. Tim stroke perlu segera
melakukan identifikasi terhadap pasien stroke yang kemungkinan mengalami
Universitas Sumatera Utara
20
disfagia, misalnya stroke hemisfer yang luas, stroke batang otak, atau pasien
yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (Smithard, 2014).
2.2.2 Etiologi
Disfagia sering disebabkan oleh penyakit otot dan neurologis. Penyakit ini
adalah gangguan peredaran darah otak (stroke, penyakit serebrovaskuler),
miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu
peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam trakea
atau bronkus (Price, 2006). Disfagia esophageal mungkin dapat bersifat obstruktif
atau disebabkan oleh motorik. Penyebab obstruksi adalah striktura esophagus dan
tumor-tumor
ekstrinsik
atau
instrinsik
esofagus,
yang
mengakibatkan
penyempitan lumen. Penyebab disfagia dapat disebabkan oleh berkurangnya,
tidak adanya, atau terganggunya peristaltik atau disfungsi sfingter bagian atas atau
bawah.
Gangguan yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia,
scleroderma, dan spasme esophagus difus (Price, 2006).
Harrison (1999) membagi disfagia menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut:
1. Disfagia Mekanis yaitu: 1) luminal penyebab disfagia mekanis pada bagian
luminal adalah bolus yang besar atau benda asing, 2) penyempitan intrinsik
Penyempitan instrinsik dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) keadaan
inflamasi yang menyebabkan pembengkakan seperti stomatitis, faringitis,epiglotti,
esofangitis, 2) selaput dan cincin dapat dijumpai pada faring (sindroma pulmer,
vinson), esophagus (congenital, inflamasi), cincin mukosa esophagus distal, 3)
striktur benigna seperti ditimbulkan oleh bahan kaustik dan pil, inflamasi,
Universitas Sumatera Utara
21
iskemia, pasca operasi, congenital 4) tumor-tumor malignan, karsinoma primer,
karsinoma metastasik, tumor-tumor benigna, leiomioma, limpoma, angioma, polip
fibroid inflamatorik, papiloma epitel. 3) kompresi ekstrinsik yaitu Kompresi
ekstrinsik dapat disebabkan oleh spondilitis servikalis, osteofit veterbra, abses dan
massa retrofaring, tumor pankreas, hematoma dan fibrosis.
2. Disfagia Motorik terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) kesulitan dalam memulai
reflek menelan adalah kesulitan dalam memulai reflek menelan disebabkan oleh
lesi oral dan paralisis lidah, anesthesia orofaring, penurunan produksi saliva, dan
lesi pada pusat menelan, 2) kelainan pada otot lurik yaitu kelainan pada otot lurik
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) kelemahan otot (paralisis
bulbar,
neuromuskuler, kelainan otot) 2) kontraksi dengan awitan stimultan atau
gangguan inhibisi deglutisi (faring dan esophagus, sfingther esophagus bagian
atas), 3) kelainan pada otot polos esophagus yaitu Kelainan pada otot polos
esofagus dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) paralisis otot esophagus
yang menyebabkan kontraksi yang lemah, 2) kontraksi dengan awitan simultan
atau gangguan inhibisi deglutis, 3) kelainan sfingter esophagus bagian bawah.
2.2.3 Manifestasi Klinis Disfagia
Manifestasi klinis dari disfagia dapat dilihat dengan adanya gangguan
pada neurogenik mengeluh bahwa cairan lebih mungkin menyebabkan tersedak
daripada makanan padat atau setengah padat. Batuk dan regurgitasi nasal
menunjukkan kelemahan otot-otot palatum atau faring bagian atas. Cemas, bicara
lambat, saliva banyak, dan sulit mengunyah. Sedangkan aspirasi sering terjadi
pada gangguan neurologik (Squires, 2006). Gejala gangguan menelan bervariasi
Universitas Sumatera Utara
22
dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di kerongkongan hingga tidak
mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia lain meliputi tidak mampu menahan air liur,
kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat
menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat
badan menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung,
dan aspirasi pneumonia (Finestone & Finestone, 2003).
2.2.4 Bentuk Disfagia pada Proses Menelan
1. Fase Oral
Kelemahan otot menelan pada fase oral dapat berupa kelemahan otot lidah,
buruknya koordinasi bibir, pipi, dan lidah, yang menyebabkan terkumpulnya
makanan dalam mulut atau masuknya bolus ke faring sebelum menelan yang
dapat menyebabkan aspirasi. Gangguan pada fase oral ini juga dapat berupa
gangguan inisiasi menelan oleh karena perubahan status mental dan kognitif, yang
berisiko terjadi pengumpulan bolus makanan di rongga mulut dan risiko terjadi
aspirasi.
2. Fase Faringeal
Pada fase ini, dapat terjadi disfungsi palatum mole dan faring superior
yang menyebabkan makanan atau cairan refluks ke nasofaring. Dapat juga terjadi
berkurangnya elevasi laring dan faring sehingga meningkatkan risiko aspirasi.
Gangguan lain adalah terjadi kelemahan otot konstriktor faring yang
menyebabkan pengumpulan bolus di valekula dan sinus piriformis yang berisiko
Universitas Sumatera Utara
23
terjadi aspirasi, atau dapat juga terjadi gangguan pada otot krikofaring yang akan
mengganggu koordinasi proses menelan.
3. Fase Esofagus
Kelainan yang mungkin terjadi pada fase ini adalah kelainan dinding
esofagus atau kelemahan peristaltik esofagus.
2.2.5 Disfagia atau Gangguan Fungsi Menelan pada Pasien Stroke
Akibat stroke, sel neuron mengalami nekrose atau kematian jaringan,
sehingga mengalami gangguan fungsi. Gangguan fungsi yang terjadi tergantung
pada besarnya lesi dan lokasi lesi. Pada stroke fase akut, pasien dapat mengalami
gangguan menelan atau disfagia. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan
dan atau makanan yang disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan
(Mulyatsih, 2009). Disfagia pada pasien stroke dapat disebabkan oleh edema otak,
menurunnya tingkat kesadaran, ataupun akibat proses diaschisis, yang biasanya
bersifat sementara. Tetapi bila lesi terjadi di daerah batang otak, kemungkinan
pasien akan mengalami disfagia yang menetap.
Werner (2005 dalam Mulyatsih, 2009) mengemukakan bahwa lesi pada
hemisfer kiri menyebabkan menurunnya aktifitas motorik di oral dan apraxia,
sedangkan lesi di hemisfer kanan berhubungan dengan terlambatnya refleks
menelan, bolus tertahan di faring, sehingga dapat menyebabkan aspirasi.
Peneliti lain (Smithards, 2014) mengemukakan, bahwa selama fase akut
tidak ada hubungannya antara kejadian aspirasi atau disfagia dengan lokasi stroke
dan letak lesi. Stroke akut pada batang otak kemungkinan dapat menyebabkan
disfagia dengan atau defisit neurologik yang lain. Hampir 62,5% pasien stroke
Universitas Sumatera Utara
24
dengan kelainan pada batang otak mengalami aspirasi, terutama lesi pada medulla
atau pons. Risiko aspirasi akan meningkat bila mengenai bilateral, dan biasanya
berupa aspirasi yang tersembunyi. Parese saraf kranial X sampai XII dismobilitas
dan asimetri faring, laring tidak menutup sempurna, terkumpulnya bolus di
vallecula, dan tidak sempurnanya rileksasi atau spasme dari cricopharingeal.
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang untuk Menegakkan Diagnosa Disfagia
Disfagia dapat didiagnosa melalui beberapa pemeriksaan fungsi menelan
baik secara invasif maupun non invasif (Crary & Groher, 1999 dalam Mulyatsih
2009). Pemeriksaan invasif sebaiknya dilakukan hanya pada pasien yang dicurigai
mengalami gangguan menelan. Berikut ini beberapa pemeriksaan tersebut:
1. Videofluoroscopy Swallowing Study (VFSS)
Tes yang paling sering digunakan adalah Videofluoroscopy Swallowing
Study (VFSS), yang juga dikenal dengan istilah Modified Barium Swallow (MBS).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan penunjang baku
emas untuk
mendiagnosa disfagia (Massey & Jedlicka, 2002).
2. Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
FEES merupakan teknik pemeriksaan visualisasi langsung struktur
nasofaring, laringofaring, dan hipofaring. Selama pemeriksaan pasien diberikan
berbagai macam konsistensi makanan dan dilakukan evaluasi terhadap adanya
residu, kebocoran makanan ke faring sebelum menelan (preswallowing leakage),
penetrasi serta aspirasi.
3. Transnasal Esophagoscopy, sesuai untuk kasus divertikula esofagus atau
tumor.
Universitas Sumatera Utara
25
4. Ultrasonography, untuk mengevaluasi gerak jaringan lunak selama fase oral
dan faringeal.
5. Electromyography, lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi
fungsi mioelektrik.
2.3
Menelan
2.3.1 Fisiologi Proses Menelan
Proses menelan merupakan suatu sistem kerja neurologik yang sinkron,
berurutan, terkoordinasi, simetris, semiotomatis, unik dan spesifik bagi setiap
individu (Smithard, 2014). Proses menelan memerlukan beberapa elemen yang
meliputi; input sensori dari saraf tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik
sebagai umpan balik. Proses menelan terdiri atas 3 (tiga) fase, yaitu fase oral, fase
faringeal, dan fase esopageal. Pada pasien stroke, yang sering mengalami
gangguan adalah pada fase oral dan fase faringeal (Finestone & Finestone, 2003).
Menurut Smithard (2014), proses menelan terbagi dalam tiga fase berikut:
1. Fase Oral
Fase oral terbagi lagi dalam fase persiapan oral dan fase transport oral.
Pada fase persiapan oral, meliputi aktifitas menggigit dan mengunyah makanan,
terjadi aktifitas yang terkoordinasi dari gigi, bibir, lidah, mandibula, palatum dan
otot maseter. Dengan bantuan saliva yang diproduksi oleh tiga pasang kelenjar
saliva, sensasi rasa, suhu, dan sensasi proprioseptif, bahan makanan akan berubah
bentuk menjadi bentuk bolus.
Selanjutnya pada fase persiapan oral, bolus makanan bergerak ke atas dan
Universitas Sumatera Utara
26
ke belakang menyentuh palatum durum, dan dibawa ke belakang ke arah faring
oleh lidah. Proses menelan pada fase ini membutuhkan kemampuan bibir untuk
menutup secara rapat supaya bolus tidak keluar dari oral. Fase oral ini merupakan
aktivitas volunter atau gerakan yang disadari, yang dikontrol oleh korteks
serebri melalui traktus kortikobulbar.
2. Fase Faringeal
Fase faringeal merupakan suatu gerakan involenter atau refleks, yaitu
berpindahnya bolus dari oral ke esofagus, yang normalnya membutuhkan waktu
kurang dari satu detik. Meninggalkan bagian belakang lidah, bolus terhenti
sebentar di valleculae, daerah antara lidah dan epiglotis. Kemudian, tergantung
ukuran dan konsistensi, melalui atas atau sekitar epiglotis, melewati laring masuk
ke esofagus.
Sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring,
bolus menyentuh reseptor menelan pada daerah arkus faring anterior atau Faucial
Pillar, sehingga pola refleks menelan dimulai secara otomatis. Terjadi rileksasi
otot krikofaring dan sfingter membuka sehingga bolus masuk ke esofagus. Pada
saat yang hampir bersamaan laring elevasi dan menutup untuk melindungi jalan
nafas.
3. Fase Esofagus
Fase esofagus dimulai pada saat bolus melewati sfingter esofagus atas
yang rileksasi dan masuk ke dalam lumen esofagus. Fase esofagus merupakan
fase akhir dari proses menelan yang dikendalikan oleh batang otak dan pleksus
Universitas Sumatera Utara
27
mienterikus. Bolus terdorong secara sekuensial oleh gerak peristaltik yang dimulai
dari faring, masuk ke lambung melalui sfingter kardia yang rileksasi.
2.3.2 Kontrol Persarafan pada Proses Menelan
Proses menelan memerlukan beberapa elemen: input sensori dari saraf
tepi, koordinasi saraf pusat, dan respon motorik sebagai umpan balik. Input
sensori dari saraf tepi terutama dari saraf kranial V, VII, IX, X, dan XII. Reseptor
sensori memperoleh stimulus dari berbagai macam bentuk rasa, cairan, atau
tekanan. Area paling efektif sebagai rangsang menelan adalah arkus faring
anterior. Meskipun peran yang pasti sebagai pusat menelan belum jelas,
diperkirakan kortikal dan subkortikal mengatur ambang rangsang menelan.
Sedangkan pusat menelan di batang otak menerima input, mengaturnya menjadi
respon yang terprogram, dan mengirim respon tersebut melalui saraf tepi untuk
aktifitas otot-otot mengunyah dan menelan (Smithard, 2014).
Nervus trigeminus atau nervus kranial V merupakan nervus dengan
serabut motorik dan sensorik dengan inti nervus berada di pons. Serabut
motoriknya mempersarafi otot-otot untuk mengunyah, termasuk otot temporalis,
otot maseter, serta otot pterigoid medial dan lateral. Selain itu, nervus trigeminus
juga membantu saraf glosofaringeal mangangkat laring dan menariknya kembali
selama fase faringeal. Sedangkan serabut sensoriknya memiliki 3 cabang. Cabang
pertama ke arah optalmika, cabang kedua mempersarafi palatum, gigi, bibir atas,
dan sulkus gingivibukal. Cabang ketiga mempersarafi lidah, mukosa bukal, dan
bibir bawah. Secara umum, serabut sensorik nervus V ini membawa informasi
tentang sensasi yang berasal dari wajah, mulut dan mandibula (Smithard, 2014).
Universitas Sumatera Utara
28
Nervus fasialis atau nervus kranial VII merupakan nervus dengan serabut
motorik, sensorik, dan parasimpatis. Inti nervus VII ini juga berada di pons.
Serabut motoriknya mempersarafi otot-otot bibir, termasuk otot orbikularis oris
dan otot zigomatikus, yang berfungsi untuk mencegah makanan keluar dari mulut.
Nervus fasialis juga menginervasi otot-otot businator pada pipi, yang berperan
untuk mencegah makanan terkumpul di celah antara gigi dan pipi. Serabut
sensoriknya mempersarafi dua pertiga lidah depan untuk mengecap.
Nervus glosofaringeus atau nervus kranial IX mengandung serabut
motorik, sensorik, dan saraf otonom. Bersama nervus X menginervasi otot
konstriktor faring bagian atas. Inti atau nukleus nervus ini berada di medula
oblongata. Serabut motorik nervus IX ini menginervasi tiga buah kelenjar saliva
di mulut. Saliva inilah yang membantu pembentukan makanan menjadi bolus di
mulut. Nervus ini juga menginervasi otot stilofaringeus, yang mengangkat laring
dan menariknya kembali selama proses menelan fase faringeal. Gerakan laring ini
juga membantu rileksasi dan terbukanya otot krikofaringeal. Serabut sensorik
nervus glosofaringeus ini menerima seluruh sensasi, termasuk rasa, dari sepertiga
lidah bagian belakang (Smithard, 2014).
Nervus vagus atau nervus X mengandung serabut motorik, sensorik dan
nervus otonom. Bersama nervus IX menginervasi otot konstriktor faring bagian
atas. Bersama nervus XI menginervasi otot intrinsik laring. Nervus ini juga
menginervasi otot krikofaringeal dan mengontrol otot-otot yang terlibat selama
fase esofageal. Nervus vagus membawa informasi sensasi dari velum, faring
bagian posterior, faring bagian inferior, dan laring. Nervus hipoglosus atau nervus
Universitas Sumatera Utara
29
XII merupakan nervus motorik tanpa serabut sensorik. Inti nervus ini berada di
medula oblongata sama dengan nervus IX dan X. Nervus ini memberikan
persarafan pada lidah. Perannya pada proses menelan terutama pada
pembentukkan bolus dan membawa bolus ke arah faring.
2.3.3 Latihan Menelan pada Pasien Stroke dengan Disfagia
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien stroke dengan disfagia
menurut NANDA dalam Ignatavicius (2007); Bulechek, Butcher, Dochterman,
Wagner (2013); dan Smeltzer & Bare (2002) adalah gangguan menelan
sehubungan dengan kelemahan otot menelan dan menurunnya refleks muntah.
Kriteria hasil dari rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah ini
adalah tidak ada tanda atau gejala aspirasi, dan pasien memiliki toleransi terhadap
makanan atau minuman tanpa tersedak.
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih, 2009),
penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan
kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi
yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mancakup modifikasi diet,
manuver kompensatori, serta latihan menelan (swallowing therapy).
Latihan mengunyah dan menelan pada pasien stroke akut yang mengalami
disfagia fase oral (derajat I) dan fase paringeal (derajat II) terbukti berguna dapat
memulihkan gejala disfagia dan meningkatkan kemampuan menelan. Disfagia
yang terjadi pada pasien stroke dapat dipulihkan dalam satu minggu perawatan
(Wright, 2007).
Universitas Sumatera Utara
30
Penelitian serupa yang dilakukan terhadap 27 pasien stroke yang
mengalami disfagia derajat III (fase esofageal) diberikan stimulasi elektrik untuk
menguatkan otot-otot servikal dan submandibula, didapatkan bahwa semua pasien
menunjukkan peningkatan kemampuan menelan sebanyak 25 (93%) dari 27
responden dari tidak bisa menelan menjadi dapat menelan lunak tanpa tersedak
(Hammond & Goldstein, 2006 dalam Mulyatsih 2006).
Beberapa jenis latihan yang direkomendasikan pada pasien stroke yang
mengalami disfagia antara lain latihan penguatan otot-otot menelan dan latihan
menelan. Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
mengunyah dan menelan, meningkatkan ruang gerak sendi (ROM) dan
meningkatkan koordinasi dalam mengunyah dan menelan, sedangkan latihan bibir
dan lidah berguna untuk meningkatkan kemampuan menahan makanan agar tidak
keluar dari mulut serta pengosongan mulut.
Sebagian besar latihan menelan dilakukan sedini mungkin, khususnya
latihan menelan menggunakan metode tidak langsung, seperti pengaturan posisi
kepala dan posisi badan pada saat pemberian makan, serta menjaga kebersihan
mulut atau oral hygiene. Sedangkan latihan menelan menggunakan metode
langsung dilakukan bila kesadaran pasien komposmentis. Kedua jenis latihan
menelan ini sebaiknya dilakukan secara teratur tiga kali sehari pada saat jam
makan atau meal time selama 12 hari (Mulyatsih, 2009). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Warlow (2000) yang menyatakan bahwa status fungsi menelan akan
membaik pada satu hingga dua minggu pertama pasca stroke.
Universitas Sumatera Utara
31
Menurut Palmer, Drennan, dan Baba (2000 dalam Mulyatsih 2009),
penanganan disfagia ditujukan untuk menurunkan risiko aspirasi, meningkatkan
kemampuan makan dan menelan, serta mengoptimalkan status nutrisi. Intervensi
yang dianjurkan pada kasus stroke dengan disfagia mencakup modifikasi diet,
manuver kompensatori, serta latihan menelan atau swallowing therapy. Salah satu
alasan yang mendasari dilakukannya latihan menelan adalah memberikan stimulus
atau rangsangan terhadap reseptor fungsi menelan yang berada di lengkung faring
anterior atau Faucial Pillar, sehingga diharapkan fisiologi menelan yang normal
akan kembali muncul. Aktivitas latihan menelan lain bertujuan meningkatkan
kekuatan otot-otot mengunyah dan menelan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan fungsi menelan dan mencegah masuknya makanan atau cairan ke
saluran pernafasan.
Mann, Lenius, dan Crary (2007 dalam Mulyatsih 2009) menyatakan,
tujuan dari penatalaksanaan pasien disfagia adalah memberikan nutrisi yang
adekuat pada pasien dengan cara aman dan efisien. Intervensi keperawatan yang
dianjurkan hampir sama, yaitu berupa latihan makan dan menelan, manuver, serta
strategi untuk fasilitasi makan per oral termasuk rekomendasi metode makan
dengan berbagai alternatif. Metode latihan makan diklasifikasikan dalam metode
tidak langsung (kompensatori) dan metode langsung. Metode kompensatori
adalah suatu strategi atau manuver yang bertujuan untuk mengeliminir gejala
disfagia tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk
merubah posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Metode tidak
Universitas Sumatera Utara
32
langsung atau kompensatori bertujuan meningkatkan kekuatan otot-otot menelan
tanpa merubah secara langsung fisiologi menelan. Teknik ini termasuk merubah
posisi kepala, posisi badan, merubah metode pemberian makan, atau
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang dikonsumsi. Intervensi
merubah posisi kepala antara lain dengan mengatur posisi pasien duduk tegak
minimal 70 derajat atau semi fowler dan kepala agak ditekuk kedepan. Dengan
posisi kepala seperti ini dilaporkan mampu menurunkan risiko aspirasi, sehingga
esofageal lebih membuka dan trakhea menutup. Merubah metode pemberian
makan dapat dilakukan berbagai cara, antara lain; perawat duduk atau berdiri
berhadapan wajah pada saat memberikan makan, menciptakan lingkungan tenang,
menganjurkan pasien tidak berbicara ketika sedang makan, meletakkan makanan
pada sisi mulut yang sehat, menggunakan senduk kecil, dan menghindari
penggunaan sedotan (Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner, 2013).
Latihan menelan metode tidak langsung lainnya adalah memodifikasi
konsistensi
makanan
atau
cairan
yang dikonsumsi pasien, dengan
menambahkan pengental cairan atau thickened liquids. Penggunaan pengental
cairan merupakan satu dari rekomendasi yang paling sering diberikan oleh dokter.
Menurut Logemann (1998) dalam Mills (2008), makanan dalam bentuk cair
merupakan risiko tinggi terjadinya aspirasi pneumonia pada pasien disfagia.
Bahan makanan berbentuk lunak atau cairan kental juga lebih mudah dan
aman ditelan dibandingkan bahan berbentuk cair (Smeltzer & Bare, 2002).
Latihan menelan menggunakan metode langsung dirancang untuk merubah
fisiologi menelan dan membutuhkan partisipasi langsung dari pasien. Yang
Universitas Sumatera Utara
33
termasuk metode ini antara lain; The Effortful Swallow, The Mendelsohn
maneuver, Expiratory Muscle Strength Training atau berbagai bentuk stimulasi
sensori lain seperti The Electromyographic Surface Biofeedback atau Expiratory
Muscle Strength Training (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008). Teknik
maneuver ini bertujuan meningkatkan fungsi menelan secara fisiologi, sehingga
proses menelan pasien menjadi lebih aman.
The Effortful Swallow, merupakan suatu aktivitas yang membutuhkan
keterlibatan pasien secara aktif, bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot
menelan. Hasil penelitian menujukkan bahwa The Effortful Swallow mampu
meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun) keatas, durasi membukanya
sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo aktivasi otot menelan pada
orang sehat. Caranya adalah menganjurkan pasien menelan dengan kekuatan
penuh otot leher dan otot faring sewaktu menelan, dan bila perlu melakukan
aktifitas menelan ulang setelah aktifitas menelan yang pertama. The Mendelsohn
Maneuver, juga terbukti mampu meningkatkan durasi pergerakan hioid (jakun)
keatas, durasi membukanya sfingter esofagus atas, serta meningkatkan amplitudo
aktivasi otot menelan pada orang sehat.
Latihan ini dapat dilakukan dengan
menganjurkan pasien meletakkan tangannya di kerongkongan (leher) dan
merasakan gerakan buah jakun bergerak keatas pada saat menelan. Selanjutnya
pasien dianjurkan memegang dan menahan buah jakun agar tidak bergerak selama
beberapa detik sewaktu menelan (Hegland, Rosenbek & Sapienza, 2008 dalam
Mulyatsih, 2009).
Universitas Sumatera Utara
34
Metode langsung lain yang membutuhkan partisipasi pasien adalah dengan
memberikan petunjuk atau arahan kepada pasien baik secara verbal maupun visual
tentang cara mengunyah, menelan, dan membersihkan mulut dari sisa makanan
atau melakukan mouth care (Mann, Lenius & Crary, 2007).
Sebelum pasien berlatih menelan, perawat menganjurkan pasien untuk
melakukan latihan pergerakan otot menelan dengan membuka dan menutup mulut
sebagai
persiapan
manipulasi
bolus
dimulut.
Kebersihan
mulut
harus
dipertahankan dengan melakukan mouth care sebelum dan setelah latihan
menelan. Selain memberikan rasa nyaman, mouth care dapat mencegah terjadi
koloni mikroorganisme dimulut dan mampu merangsang produksi tiga buah
kelenjar saliva dimulut yang berfungsi mempermudah pembentukan bolus di fase
oral (Heckenberg, 2008).
Latihan lidah aktif maupun pasif berguna untuk meningkatkan
kemampuan fasilitasi manipulasi bolus dan kemampuan mendorong bolus dari
rongga mulut masuk ke esophagus melalui faring. Sedangkan latihan gerakan
rahang bermanfaat untuk pergerakan rahang dalam proses mengunyah (Squires,
2006).
Latihan mengunyah dan menelan dilakukan sesuai dengan hasil
pemeriksaan dan observasi klinis yang ditemukan pada pasien. Pada pasien yang
menunjukkan gejala klinis mengiler dan facial drop dapat dilakukan latihan bibir
untuk memperkuat otot-otot bibir sehingga dapat menahan makanan di dalam
mulut agar tidak tumpah serta menahan air liur yang keluar dari mulut (Squires,
2006).
Universitas Sumatera Utara
35
Latihan bibir yang dianjurkan adalah pasien duduk atau berbaring dengan
nyaman di tempat tidur, selanjutnya pasien diminta membuka mulut, lebarkan
mulut sehingga membentuk huruf “O”, kemudian rileks kembali. Pasien diminta
tersenyum, menyeringai, tersenyum. Dilanjutkan dengan mengucapkan kata “pa
pa pa” atau “ba ba ba” berulang-ulang. Setiap gerakan di atas dilakukan berulangulang sampai delapan kali. Untuk pasien yang lidahnya mengalami gangguan
pergerakan, kekuatan dan koordinasi dan secara klinis tidak mampu memindahkan
makanan dari depan ke belakang mulut, latihan yang diajarkan kepada pasien
adalah menjulurkan lidah kemudian ditahan sampai hitungan kedelapan. Latihan
berikutnya yaitu pasien diminta menyentuh bibir atas dan bawah dengan lidah
bergantian atas dan bawah. Mendorong lidah ke arah pipi kanan dan kiri secara
bergantian sampai pipi terlihat menonjol oleh dorongan lidah. Perawat atau
fasilitator menekan lidah dengan sudip lidah kemudian pasien diminta mendorog
sudip lidah dengan lidahnya. Selanjutnya pasien diminta untuk mengucapkan “la
la la la la”.
Semua gerakan di atas berguna untuk meningkatkan gerakan,
kekuatan otot dan koordinasi lidah untuk memanipulasi bolus, mendorong bolus
dan membersihkan mulut dari sisa makanan (Feigin, 2007).
Pada pasien yang mengalami penurunan pergerakan, kekuatan dan
koordinasi rahang bawah, dimana pasien tidak mampu mengunyah makanan.
Latihan yang dilakukan adalah buka mulut lebar, tutup/istirahatkan, lakukan
berulang-ulang. Selanjutnya gerakkan dagu dari kanan ke kiri dan sebaliknya.
Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan kekuatan mengunyah
sehingga membantu proses pembentukan bolus (Squires, 2006).
Universitas Sumatera Utara
36
Pada pasien yang mengalami kelemahan refleks menelan dan batuk
dimana pasien tidak mampu batuk, suara serak, dan batuk saat menelan atau
sesaat sesudah menelan. Latihan yang perlu diberikan adalah pasien diminta tarik
nafas dalam dan hembuskan perlahan-lahan. Selanjutnya tarik nafas dalam lalu
ucapkan “ah ah ah” berulang-ulang sambil mengeluarkan nafas. Latihan lain yaitu
pasien meniup sedotan dan atau menyanyikan lagu. Latihan-latihan tersebut
berguna untuk meningkatkan kekuatan pernafasan sehingga dapat membantu
mencegah aspirasi melalui refleks batuk efektif (Feigin, 2006).
Feigin (2006) menyarankan latihan bibir dan lidah untuk pasien yang
menggalami disfagia dan gangguan bicara. Setiap gerakan/ latihan ini dilakukan
masing-masing 10 kali. Latihannya adalah sebagai berikut: 1) bentuk bibir
menajadi seperti huruf “O”; 2) tersenyum;
3) berganti-ganti antara bibir
membentuk huruf “O” dan tersenyum sehingga seolah-olah mengucapkan
“oo..ee”; 4) buka mulut lebar-lebar, kemudian gerakkan bibir seolah-olah hendak
mencium; 5) tutup bibir erat-erat seakan-akan berkata “mmm”; 6) ucapkan kata
“ma ma ma ma” secepat mungkin; 7) ucapkan kata “mi mi mi” secepat mungkin
8) katupkan bibir anda rapat-rapat dan gembungkan pipi dengan udara, tahan
udara dalam pipi selama lima detik, kemudian keluarkan; 9) coba sentuh dagu
dengan ujung lidah; 10) coba sentuh hidung dengan ujung lidah; 11) julurkan
lidah anda sejauh mungkin, tahan selama tiga detik, kemudian tariklah kembali ke
dalam mulut; 12) sentuh sudut-sudut mulut anda dengan lidah, gerakkan lidah
dengan cepat dari kanan ke kiri dan kembali lagi; 13) usapkan lidah mengelilingi
bibir; 14) ucapkan suara “ta ta ta” dengan kecepatan yang semakin meningkat; 15)
Universitas Sumatera Utara
37
tekankan lidah ke gusi bagian atas kemudian ke gusi bagian bawah; 16) sikatlah
gigi menggunakan lidah; dan 17) dorong pipi dengan lidah sekuat mungkin
bergantian ke pipi kanan dan kiri. Sedangkan menurut Bulechek, Butcher,
Dochterman, Wagner (2013), intervensi keperawatan berdasarkan Nursing
Intervention Classification (NIC) adalah aspiration precaution, positioning, dan
swallowing therapy.
1. Aspiration Precaution
Aktivitas keperawatan meliputi; monitor tingkat kesadaran, refleks batuk,
refleks muntah, dan kemampuan menelan, monitor status fungsi paru, pertahankan
jalan nafas efektif, atur posisi kepala tegak 90 derajat jika memungkinkan,
sediakan suction pada kondisi siap digunakan, berikan makanan dalam jumlah
kecil, cek residu cairan lambung sebelum memberikan makanan atau cairan,
potong makanan dalam bentuk kecil, berikan makanan atau cairan yang dapat
dibentuk menjadi bolus, mintakan obat dalam bentuk eliksir, hancurkan pil
sebelum diberikan ke pasien, serta kolaborasi dengan terapis wicara bila
diperlukan.
2. Positioning
NIC positioning tidak membahas secara khusus aktifitas keperawatan pada
pasien stroke dengan disfagia. Nursing Intervention Classification (Bulechek,
Butcher, Dochterman, Wagner, 2013) hanya membahas tentang aktifitas
keperawatan positioning untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis
pasien, intra operatif, serta positioning untuk pasien dengan gangguan spinal cord
dan vertebral irratibility. Pengaturan posisi sewaktu latihan menelan akan dibahas
Universitas Sumatera Utara
38
dalam swallowing therapy.
3. Swallowing Therapy
Swallowing therapy atau latihan menelan adalah memfasilitasi menelan
dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi akibat gangguan menelan
(Bulechek, Butcher, Dochterman, Wagner 2013). Aktifitas keperawatan yang
ditampilkan dalam swallowing therapy ini lengkap, mencakup metode latihan
menelan langsung dan tidak langsung sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Aktifitas keperawatan meliputi; 1) kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain;
2) kaji kemampuan pasien mengunyah dan menelan; 3) hindari distraksi dari
lingkungan; 4) jelaskan tujuan latihan menelan pada pasien dan keluarga; 5)
gunakan alat bantu sesuai keperluan; 6) hindari penggunaan sedotan; 7) bantu
pasien mempertahankan duduk sekitar 90 derajat bila memungkinkan sewaktu
makan atau latihan menelan; 8) bantu pasien untuk memposisikan kepala agak
ditekuk sebagai persiapan menelan; 9) instruksikan pasien untuk membuka dan
menutup mulut sebagai persiapan manipulasi makanan; 10) anjurkan pasien untuk
tidak berbicara selama latihan menelan; 11) anjurkan pasien mengucapkan “AH“
untuk meningkatkan elevasi soft palatum; 12) berikan permen lolipop dan
anjurkan pasien menghisapnya untuk melatih kekuatan lidah; 13) ganjal dengan
bantal atau letakkan lengan yang lemah diatas meja; 14) monitor tanda dan gejala
aspirasi; 15) monitor pergerakan lidah dan bibir pasien ketika mengunyah dan
menelan; 16) monitor tanda kelelahan ketika pasien berlatih menelan; 17)
anjurkan pasien istirahat sebelum makan untuk mencegah kelelahan; 18) periksa
adanya makanan yang tertinggal dimulut setelah makan; 19) anjurkan pasien
Universitas Sumatera Utara
39
untuk menggerakkan lidah membersihkan makanan di bibir; 20) jelaskan pada
caregiver atau keluarga cara mengatur posisi, melatih makan, dan memonitor
pasien; 21) jelaskan pada keluarga kebutuhan nutrisi dan modifikasi diet sesuai
keperluan; 22) berikan instruksi tertulis bila diperlukan; 23) sediakan waktu untuk
edukasi keluarga atau pengasuh; 24) berikan dan monitor konsistensi makanan
sesuai kemampuan menelan pasien; 25) kolaborasi dengan dokter dan atau terapis
wicara tentang perubahan lanjut konsistensi makanan secara bertahap.
Fungsi
menelan
ini
dapat
dinilai
melalui
pemeriksaan
Digital
Videofluoroscopy, yang mampu mencatat lewatnya bolus melalui mulut (oral
transit time), faring (pharingeal transit time), dan sfingter esofagus atas
(cricopharingeal opening duration). Sedangkan penilaian fungsi menelan secara
klinis dapat menggunakan format The Parramatta Hospitals Dysphagia
Assessment, yang merupakan bagian dari The Royal Adelaide Prognostic Index for
Dysphagic Stroke (RAPIDS), yang dikembangkan oleh Paramatta Hospital.
2.4
Penatalaksanaan Stroke Home Care oleh Caregiver
2.4.1 Home care
2.4.1.1 Definisi Home Care
Pendampingan dan perawatan pasien di rumah atau home care adalah
bentuk pelayanan bagi pasien yang berada di rumah atau di tengah-tengah
keluarga
dengan didampingi oleh seorang pendamping dalam pemenuhan
kebutuhannya. Pendamping mempunyai peran membantu serta melayani pasien
agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara layak dan manusiawi.
Universitas Sumatera Utara
40
Pendampingan dan perawatan sosial pasien di rumah disesuaikan dengan
kebutuhan pasien yang memiliki karakteristik tersendiri. Home care pasien
merupakan pelayanan pendampingan dan atau perawatan pasien di rumah dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh keluarga, kerabat atau
warga masyarakat setempat. Home care pasien memiliki beberapa fungsi antara
lain pencegahan, promosi, rehabilitasi dan perlindungan serta pemeliharaan.
2.4.1.2 Tujuan Pendampingan dan Perawatan Sosial
Tujuan pendampingan dan perawatan sosial yaitu 1) meningkatkan peran
serta keluarga dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pasien di
lingkungan keluarga pasien sendiri, 2) meningkatkan kerjasama dan partisipasi
aktif Lembaga Kejahteraan Sosial/Panti dalam pelayanan Pendampingan dan
Perawatan Sosial pasien di Rumah, 3) memberikan pendampingan terhadap pasien
yang mempunyai hambatan fisik, mental, sosial, ekonomi dan spiritual sehingga
pasien dapat mengatasi masalahnya dan dapat hidup secara wajar, 4)
meningkatkan kemampuan pasien untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,
dan 5) menciptakan suasana yang menyenangkan seperti rasa aman, nyaman dan
tentram bagi pasien.
2.4.1.3 Bentuk Pelayanan Home Care
Pelayanan dalam program home care dilakukan dalam bentuk; 1)
perawatan sosial adalah bentuk pelayanan sosial pada pasien yang membutuhkan
perawatan dalam jangka waktu yang lama. Bentuk perawatan sosial pada pasien
yang
mengalami proses penyakit
atau
gangguan
keseimbangan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living), 2) pendampingan, 3)
Universitas Sumatera Utara
41
pemenuhan kebutuhan dasar lanjut usia adalah suatu upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang meliputi diantaranya: kebutuhan fisik, keamanan, kenyaman,
cinta dan kasih sayang, harga diri serta aktualisasi diri sedangkan untuk
pemenuhan kebutuhan untuk pasien non potensial peran keluarga menjadi sangat
penting karena keluarga merupakan sumber dukungan terbesar yang berguna
untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia pada lansia, 4) pelayanan
perawatan sosial bagi pasien, 5) pelayanan Kegiatan sehari-hari (Activity of daily
living services), 6) perawatan medis/kesehatan bagi pasien di rumah, 7) konsultasi
dan konseling, 8) pendampingan pasien di rumah, 9) pelayanan intervensi krisis
dan rujukan, 10) advokasi hukum pasien di rumah, 11) pelayanan dalam
menyatukan (reunifikasi) pasien dengan keluarganya, 12) pelayanan melalui
telepon, 13) pelayanan informasi, 14) pelayanan pemberian kebutuhan dasar bagi
pasien dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kebutuhan sandang yang
berupa: Pakaian dan kelengkapan kebutuhan pangan yaitu berupa kebutuhan
permakanan seperti: nasi, lauk pauk, susu, buah-buahan, makanan ringan, dll yang
berkaitan dengan tambahan gizi bagi pasien (Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut
Usia, 2014).
2.4.2 Konsep caregiver
2.4.2.1 Definisi Caregiver
Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah
orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang
menderita penyakit kronis. Elsevier (2009) menyatakan caregiver sebagai
seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya
Universitas Sumatera Utara
42
lingkungan kepada seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik
sebagian atau sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut.
Definisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia, dikemukakan oleh Subroto
(2012) sebagai:
Seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan
untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian
personal (personal activity daily living) seperti makan, minum, berjalan, atau
kegiatan harian yang bersifat instrumental (instrumental daily living) seperti
memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja.
Menurut Mifflin (2007) menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam
keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang membantu
memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami ketergantungan.
Caregiver keluarga (family caregiver) didefinisikan sebagai individu yang
memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan untuk sebagai waktunya secara
sungguh-sungguh setiap hari dan dalam waktu periode yang lama, bagi anggota
keluarganya yang menderita penyakit kronis (Pfeiffer, dalam Tantono et al, 2006).
Caregiving merupakan suatu istilah yang berarti memberikan perawatan kepada
seseorang dengan kondisi medis yang kronis. Informal atau lay caregiving adalah
aktivitas membantu individu yang memiliki hubungan personal dengan caregiver
(Tantono, 2006).
2.4.2.2. Keluarga sebagai caregiver pasien stroke yang mengalami disfagia
Orem menganggap individu (klien) sebagai penerima asuhan keperawatan
yang utama, sedangkan keluarga dianggap sebagai faktor/syarat dasar bagi
Universitas Sumatera Utara
43
anggota keluarga. (Orem 1983, dalam friedman, 1998) mengatakan keluarga
sebagai pemberi perawatan bagi anggota keluarga lain yang tidak mandiri
(anggota keluarga dewasa yang merawat individu yang tidak mandiri) dan dalam
melaksanakan tugas ini, mereka dianggap sebagai individu dalam sebuah keluarga
atau subsistem keluarga. Tujuan utama dari tindakan ini adalah untuk mencapai
kesejahteraan yang optimal dan memungkinkan individu serta keluarga mereka
dapat mempertahankan kontrol atas kesehatan mereka sendiri.
Friedman (1998) menyebutkan tugas keluarga dalam pemeliharaan
kesehatan anggota keluarga. Tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan ini
sejalan dengan lima tahap perilaku sakit individu yang telah dijabarkan oleh potter
(2005). Tugas pertama keluarga dalam pemeliharaan kesehatan anggota keluarga.
Stroke seringkali menyerang individu tanpa didahului gejala yang khas, sehingga
peran keluarga sangat penting dalam mengenali gangguan kesehatan yang
dirasakan oleh salah satu anggota keluarga. Peran keluarga yang kedua adalah
peran pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat, dimana
keluarga harus dapat memutuskan tindakan apa yang paling tepat diberikan pada
salah satu anggota keluarga yang mengalami sakit dan mengambil alih sementara
kewajiban yang melekat pada diri pasien. Peran ketiga yaitu memberikan
perawatan bagi anggota keluarga yang sakit, dan yang tidak dapat membatu
dirinya sendiri karena cacat atau karena usianya masih terlalu muda. Tahap
keempat ini, keluarga pasien stroke biasanya membawa pasien ke pusat pelayanan
kesehatan
untuk
mempertahankan
mencari
suasana
pengobatan
rumah
yang
yang
diperlukan.
menguntungkan
Tahap
kelima
kesehatan
dan
Universitas Sumatera Utara
44
perkembangan kepribadian anggota keluarga, pasien biasanya sudah menerima
kondisi sakitnya dan peran keluarga dalam memberikan dukungan sangat
diharapkan oleh pasien, terutama dalam kondisi kecacatan. Mempertahankan
hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga-lembaga kesehatan
merupakan tahap terakhir tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan. Keluarga
harus dapat menunjukkan pemanfaatan dengan baik terhadap fasilitas-fasilitas
kesehatan yang ada.
Rencana intervensi yang dapat dilakukan untuk perubahan pemeliharaan
kesehatan dan mencari kesehatan dititik beratkan pada memodifikasi gaya hidup
yaitu konfrontasi dengan diri sendiri, restukturisasi kognitif, pembentukan model,
operant conditioning, dan pengendalian stimulus. Mcfarland (1989, dalam
Friedman, 1998) menyebutkan rencana intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan diatas yaitu
dengan strategi management stress, refresing kognitif atau penilaian ulang,
perubahan gaya hidup dan penggunaan kelompok bantuan diri dan latihan
keasertifan.
Universitas Sumatera Utara
45
45
2.4.3 Penatalaksanaan stroke di Home Care oleh Caregiver menurut Nanda NIC, NOC
Tabel 2.1 Nursing Care Plan untuk Peran keluarga sebagai pemberi perawatan (Caregiver)
Diagnosa NANDA
Ketegangan peran pemberi
asuhan/Caregiver Role strain
Definisi:
Kesulitan dalam melakukan peran
sebagai caregiver
Berhubungan dengan status
kesehatan penerima asuhan dan
pemberi asuhan sumber daya, dan
sosioekonomi
NIC
Caregiver Support (Dukungan Pengasuhan)
Aktivitas - aktivitas:
1. Mengkaji tingkat pengetahuan caregiver
2. Mengkaji tingkat penerimaan caregiver terkait
dengan perannya (untuk menyediakan
perawatan)
3. Menerima ekspresi negative dari caregiver
4. Tidak menyepelekan peran sulit caregiver
5. Menelusuri lebih lanjut kelebihan dan
kekurangan caregiver
6. Mengakui tingkat ketergantungan pasien
terhadap caregiver, sesuai dengan kebutuhan
7. Membuat pernyataan positif pada caregiver
terhadap upaya yang telah dilakukan
8. Mendukung upaya bertanggungjawab caregiver,
sesuai dengan kebutuhan
9. Menyediakan dukungan untuk pengambilan
keputusan caregiver
10. Mendukung penerimaan rasa saling bergantung
dalam keluarga
11. Monitor interaksi keluarga dalam permasalahan
berkaitan dengan pasien
12. Menyediakan informasi mengenai pasien sesuai
dengan apa yang menjadi keinginan pasien
13. Mengajarkan caregiver mengenai pemberian
terapi bagi pasien sesuai dengan keinginan
pasien
14. Mengajarkan caregiver mengenai cara
NOC
Kesiapan Caregiver untuk Melakukan
Perawatan di Rumah
Indikator:
1. Keinginan untuk mengambil peran pemberi
rawatan.
2. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
tentang perawatan dirumah
3. Pengetahuan tentang peran pemberi rawatan
4. Menunjukkan perhatian positif pada penerima
rawatan
5. Pengetahuan mengenai proses penyakit dari
penerima rawatan
6. Pengetahuan mengenai rawatan rejimen yang
direkomendasikan
7. Pengetahuan mengenai prosedur yang
direkomendasikan
8. Pengetahuan mengenai suplai dan peralatan
yang diperlukan
9. Pengetahuan mengenai operasional peralatan
10. Pengetahuan mengenai aktivitas yang
disarankan
11. Pengetahuan mengenai perawatan tindak
lanjut
12. Pengetahuan mengenai perawatan emergensi
13. Pengetahuan sumber-sumber finansial
14. Sumber-sumber financial untuk pemberi
perawatan
15. Percaya diri untuk bisa mengelola perawatan
Universitas Sumatera Utara
46
46
meningkatkan rasa aman bagi pasien
15. Menyediakan peninjauan lanjutan mengenai
kesehatan pendampingan caregiver melalui
telepon atau melalui perawat komunitas
16. Monitor indikator adanya stress
17. Mengkaji lebih lanjut tentang koping caregiver
18. Mengajarkan caregiver mengenai teknik
manajemen stres
di rumah
16. Keinginan untuk melibatkan penerima
rawatan dalam perencanaan asuhan
17. Bukti rencana untuk pengasuh cadangan
18. Partisipan dalam perencanaan pulang
Skala Target Outcome
1. Tidak adekuat
2. Sedikit adekuat
3. Cukup adekuat
4. Sebagian besar adekuat
5. Sepenuhnya adekuat
Sumber: Moorhead, Sue., Marion, Meridean, Swanson, & Elisabeth, (2013), Bulechek, Butcher, & Dochterman, (2013), Wilkinson, J.
(2005).
45
Universitas Sumatera Utara
47
2.5
Family Centered Care (FCC)
2.5.1 Defenisi family centered care (FCC)
Family centered care didefinisikan oleh Association for the Care of
Children's Health (ACCH) sebagai filosofi dimana pemberi perawatan yang
mementingkan dan melibatkan peran penting dari keluarga, dukungan keluarga
akan membangun kekuatan, membantu untuk membuat suatu pilihan yang terbaik,
dan meningkatkan pola normal yang ada dalam kesehariannya selama sakit dan
menjalani penyembuhan (Johnson, Jeppson, & Redburn, 1992).
Sejarah family centered care Pada tahun 1987, ACCH mengidentifikasi
adanya delapan element family centered care (Shelton et al., 1987) yang
dikemukanakn oleh C. Everest Koop dalam Surgeon General's Report: Children
With Special Health Care Needs (U.S. Department of Health and Human
Services, 1987).
Sejak saat itu, definisi family centered care telah mendapatkan perhatian
social dan cultural dari keluarga (Johnson et al, 1992) dan mendukung peran
administrasi para staff.
2.5.2 Tujuan family centered care
Tujuan dilakukan family centered care adalah 1) membangun sistem
kolaborasi dari pada control, 2) berfokus pada kekuatan dan sumber-sumber
keluarga daripada kelemahan keluarga, 3) mengakui keahlian keluarga dalam
merawat pasien seperti sebagaimana professional, 4) membangun pemberdayaan
daripada ketergantungan, 5) meningkatkan lebih banyak sharing informasi dengan
Universitas Sumatera Utara
48
pasien, keluarga dan pemberi pelayanan dari pada informasi hanya diketahui oleh
professional, 6) menciptakan program yang fleksibel dan tidak kaku.
2.5.3 Elemen family centered care
Sembilan element family centered care yang teridentifikasi oleh ACCH
(Shelton et al., 1987): 1) keluarga dipandang sebagai unsur yang konstan
sementara kehadiran profesi kesehatan fluktuatif, 2) memfasilitasi kolaborasi
keluarga–profesional pada semua level perawatan kesehatan, 3) meningkatkan
kekuatan keluarga, dan mempertimbangkan metode-metode alternative dalam
koping, 4) memperjelas hal-hal yang kurang jelas dan informasi lebih komplit
oleh keluarga tentang perawatan pasien stroke yang tepat, 5) menimbulkan
kelompok support antara keluarga, 6) mengerti dan memanfaatkan system
pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan perkembangan bayi, anak,
dewasa dan keluarganya, 7) melaksanakan kebijakan dan program yang tepat,
komprehensif meliputi dukungan emosional dan financial dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan keluarganya, 8) menunjukkan desain transportasi perawatan
kesehatan fleksibel, accessible, dan responsive terhadap kebutuhan pasien, 9)
implementasi kebijakan dan program yang tepat komprehensif meliputi dukungan
emosional dengan staff.
2.5.4 Konsep dari family centered care
Konsep dari family centered care terdiri dari; 1) martabat dan kehormatan
adalah praktisi keperawatan mendengarkan dan menghormati pandangan dan
pilihan pasien. Pengetahuan, nilai, kepercayaan dan latar belakang budaya pasien
dan keluarga bergabung dalam rencana dan intervensi keperawatan, 2) berbagi
Universitas Sumatera Utara
49
informasi adalah praktisi keperawatan berkomunikasi dan memberitahukan
informasi yang berguna bagi pasien dan keluarga dengan benar dan tidak
memihak kepada pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga menerima informasi
setiap waktu, lengkap, akurat agar dapat berpartisipasi dalam perawatan dan
pengambilan keputusan, 3) partisipasi adalah pasien dan keluarga termotivasi
berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan sesuai dengan
kesepakatan yang telah mereka buat, 4) kolaborasi adalah pasien dan keluarga
juga termasuk ke dalam komponen dasar kolaborasi. Perawat berkolaborasi
dengan pasien dan keluarga dalam pengambilan kebijakan dan pengembangan
program, implementasi dan evaluasi, desain fasilitas kesehatan dan pendidikan
profesional terutama dalam pemberian perawatan.
Fokus lama System centered care adalah konsep keluarga dipertentangkan,
definisi keluarga masih dipertentangkan, ketidakmampuan pasien dan keluarga,
majunya teknologi dan biomedis, meletakkan nilai interaksi manusia dalam
perawatan kesehatan pada posisi bawah, dan digerakkan oleh sistem.
Fokus baru family centered care adalah menghormati, kekuatan, pilihan,
fleksibel, informasi, support, kolaborasi, dan pemberdayaan.
2.5.5 Keuntungan Family Centered Care
Keuntungan family centered care sebagai filosofi dalam pemberi
pelayanan dilaporkan dari berbagai literature. Dalam praktek family centered
care, kehidupan pasien meningkat dengan memfasilitasi proses yang adaptive
pada pasien yang dirawat di rumah dengan keluarganya. Komunikasi caregiver
dan pemberi pelayanan akan meningkat, sehingga kepuasan terhadap pelayanan
Universitas Sumatera Utara
50
terbentuk dari caregiver yang lebih merasa percaya diri, dan kompeten dalam
memberikan perawatan. Meningkatkan financial dan hasil perawatan yang
berkualitas juga merupakan keuntungan dari family centered care dengan
terhindarnya lebih banyak uang untuk pembayaran perawatan jika tercipta
kolaborasi antara keluarga dan pemberi pelayanan dalam perawatan (Als et al.,
1994; Buchlcr, Als, Duffy, McAnulty, & Liederman, 1995; Van Riper, 2001).
2.6
Action research (AR)
Pokok Bahasan teori AR ini menjelaskan: (1) Definisi AR, (2) Siklus AR,
(3) Proses AR dan (4) Tingkat keabsahan data.
2.6.1 Definisi Action research
Kemmis dan McTaggart (1988) dalam bukunya yang berjudul “The Action
Research Planner” membuat suatu panduan bagi para guru, dosen maupun
administrator yang tertarik untuk membuat suatu perubahan dan peningkatan
dalam institusi pendidikan. Action research atau penelitian tindakan menurut
Kemmis dan McTaggart (1988) adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri secara
kolektif dilakukan peneliti bersama partisipan dalam situasi sosial untuk
meningkatkan penalaran dan keadilan praktek sosial dan pendidikan mereka serta
pemahaman mereka tentang perilaku dan situasi dimana praktek-praktek tersebut
dilakukan.
Kemmis dan McTaggart (2000, dalam denzin & Lincoln, 2009)
menyebutkan action research sebagai penelitian tindakan berdasarkan partisipatif
(participatory action research). Terdapat 7 ciri utama participatory action
Universitas Sumatera Utara
51
research (PAR) yaitu 1) participatory action research adalah sebuah proses
sosial, 2) participatory action research berciri partisipatoris, 3) participatory
action research berciri parktis dan kolaboratif, 4) participatory action research
berciri emansipatoris, 5) participatory action research
participatory action research
berciri kritis, 6)
berciri recursif (refleksi dialektis), dan 7)
participatory action research bertujuan untuk mengubah teori dan praktik.
Participatory Action Research adalah Sebuah Proses Sosial
PAR
secara sadar mengkaji hubungan antara ranah individu dengan
ranah sosial. PAR menyadari bahwa “mustahil terjadi individuasi tanpa
sosialisasi, dan sosialisasi pun tidak mungkin tanpa individuasi”, dan bahwa
proses individuasi dan sosialisasi terus menerus membentuk individu-individu dan
hubungan sosial di segenap setting tempat kita berada. PAR merupakan sebuah
proses yang ditempuh dalam penelitian yang di setting, seperti setting pendidikan
dan pembangunan masyarakat, ketika manusia secara individu dan kolektif,
berusaha untuk memahami bagaimana diri mereka dibentuk dan dibentuk ulang
sebagai individu-individu dan dalam hubungannya dengan satu sama lain
diberbagai setting.
Participatory Action Research berciri Partisipatoris
PAR mengajak manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan (pemahaman,
kecakapan, dan nilai-nilai) dan kategori-kategori interpretif manusia (yaitu cara
mereka menafsirkan diri sendiri dan tindakannya dalam dunia sosial dan material).
PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi masing-masing individu
dalam sebuah kelompok berupaya untuk menangani cara-cara ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
52
membentuk kepekaan akan rasa identitas dan keberfungsian diri serta
merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu pengetahuan saat ini membingkai dan
membatasi tindakan manusia.
Participatory Action Research berciri Praktis dan Kolaboratif
PAR mengajak manusia untuk mengkaji praktik-praktik sosial yang
menghubungkan diri individu dengan orang-orang lain dalam interaksi sosial.
PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk
mengeksplorasi praktik-praktik komunikasi, produksi, dan pengorganisasian
sosial, serta berupaya mengeksplorasi cara untuk meningkatkan interaksi-interaksi
manusia dengan mengubah tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut
yaitu, mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh partisipan yang
irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak adil, dan/atau tidak memuaskan
(menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk menjalin kerjasama
dalam merekonstruksi interaksi-interaksi sosial dengan merekonstruksi tindakantindakan yang membentuk interaksi tersebut.
Participatory Action Research berciri Emansipatoris
PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri
dari tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil dan
tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri. PAR
merupakan
sebuah
proses
yang
menjadi
sarana
bagi
manusia
untuk
mengeksplorasi cara-cara praktik yang dibentuk dan ditentukan oleh strukturstruktur sosial (kultural, ekonomi, dan politik) yang lebih luas dan mengkaji
apakah diri manusia dapat ikut campur tangan untuk melepaskan diri dari
Universitas Sumatera Utara
53
hambatan-hambatan tersebut. Artinya, jika manusia tidak dapat melepaskan diri
dari hambatan-hambatan tersebut, maka apakah cara terbaik untuk ikut terlibat di
dalamnya dalam upaya untuk meminimalkan tingkat hambatan-hambatan tersebut
dan untuk mengurangi munculnya irasionalitas, kurangnya produktivitas
(ketidakefisienan), ketidakadilan, dan ketidakpuasan (alienasi) di kalangan
manusia untuk membentuk kehidupan sosial bersama.
Participatory Action Research berciri Kritis
PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri
sendiri dari hambatan-hambatan yang lekat dengan media sosial yang menjadi
wahana interaksi manusia: bahasa (wacana), pola kerja, dan relasi sosial
kekuasaan manusia (yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengalami aviliasi
perbedaan, baik secara inklusi dan ekslusi yaitu, adanya hubungan-hubungan yang
secara gramatis menjadi sarana bagi manusia untuk berinteraksi dengan orang lain
dalam pola orang ketiga, kedua atau pertama). PAR merupakan sebuah proses
ketika manusia secara sadar berketetapan hati untuk memperjuangkan dan
membentuk ulang cara-cara irasional, tidak produktif (atau tidak efisien), tidak
adil, dan/atau tidak memuaskan (menimbulkan alienasi) dalam menafsirkan dan
mendeskripsikan dunia manusia, cara-cara kerja (pekerjaan), dan cara-cara
menghubungkan diri dengan orang-orang lain (kekuasaan).
Participatory Action Research berciri Recursif (Refleksi dan Dialekti)
PAR bertujuan untuk membantu manusia dalam mengkaji realita agar
mampu mengubah dan mengkaji dengan cara mengubah praktik-praktik manusia
melalui siklus spiral aksi dan pengkajian kritis diri sebagai sebuah proses sosial
Universitas Sumatera Utara
54
dan yang dirancang untuk membantu manusia agar dapat lebih banyak belajar dan
menyusun teori tentang praktik-praktik, ilmu pengetahuan tentang praktik dan
aneka struktur sosial yang membentuk dan membatasi praktik-praktik manusia.
PAR merupakan sebuah proses pembelajaran, bersama-sama orang lain dengan
melakukan, mengubah cara-cara berinteraksi di dalam dunia sosial bersama demi
hal yang lebih baik maupun lebih buruk, menjadi tempat untuk menerima dan
menanggung konsekuensi dari tindakan individu dan tindakan orang-orang lain.
Participatory Action Research bertujuan untuk Mengubah Teori dan Praktik
PAR tidak mementingkan hubungan salah satunya antara teori dan praktik.
PAR bertujuan untuk mengartikulasikan dan mengembangkan keduanya dalam
hubungan satu sama lain melalui penalaran kritis tentang teori dan praktik berikut
konsekuensi keduanya. PAR tidak bertujuan untuk mengembangkan bentukbentuk teori yang mampu berdiri terpisah dan lepas dari praktik, seolah-olah
praktik dapat dikendalikan dan ditentukan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
partikular dari situasi praktis yang dihadapi oleh para praktisi dalam kehidupan
dan pekerjaan masing-masing. PAR juga tidak bertujuan untuk mengembangkan
bentuk-bentuk praktik yang dapat dipandang menjustifikasikan dirinya sendiri.
2.6.2 Siklus Action research
Kemmis dan McTaggart (1988) menyatakan bahwa secara umum action
research
mencakup sebuah spiral siklus reflektif diri berupa merencanakan
sebuah perubahan, mempelajari dan mengamati proses dan konsekuensi tersebut,
merencanakan ulang, mempelajari dan mengamati, mengkaji lagi dan seterusnya.
Siklus action research terdiri dari planning, action and observation dan reflection.
Universitas Sumatera Utara
55
Bentuk siklus action research dapat dilihat pada gambar 2.1
Keterangan :
R
: Rencana tindakan
A & O : Aplikasi tindakan dan observasi
Rf
: Refleksi
RR
: Revisi Rencana
Gambar 2.1: Siklus action research (Kemmis & McTaggart, 1988)
Planning
Planning direncanakan untuk tindakan positif dan berorientasi kemasa depan
yang bersifat fleksibel. Segala faktor resiko dianalisa dalam fase ini dan
dipersiapkan untuk evaluasi sebelum dipilih tindakan yang akan dilakukan. Pada
fase ini diperlukan kolaborasi antara peneliti dan partisipan untuk memahami teori
dan praktik (Kemmis & McTaggart, 1988).
Universitas Sumatera Utara
56
Action
Action merupakan tindakan yang disengaja dan dikontrol secara hati-hati
dan teliti serta memberikan informasi penting. Action di pandu oleh rencana yang
telah dibuat, tetapi tidak seluruhnya berpedoman pada planning karena hal ini
sangat beresiko. Rencana untuk action harus fleksibel, memiliki sifat sementara
dan terbuka terhadap perubahan. Implementasi dan action mengasumsikan
material, sosial, dan politik untuk ditingkatkan lebih baik lagi. Salah satu cara dari
action adalah observasi dengan tujuan mengumpulkan supaya bisa di evaluasi
(Kemmis & McTaggart, 1988).
Observation
Observation berfungsi sebagi dokumentasi efek yang penting dari
tindakan. Observasi harus direncanakan dengan baik dan akan menjadi dokumen
yang penting untuk melakukan refleksi. Rencana observasi harus fleksibel dan
terbuka terhadap pencatatan yang mungkin tidak diprediksi sebelumnya (Kemmis
& McTaggart, 1988).
Reflection
Reflection disebut juga action yang sudah dicatat dalam observation. Refleksi
memperlihatkan bagaimana proses berlangsung, masalah, issue dan manifestasi
dalam tindakan strategis. Refleksi dibantu dengan cara berdiskusi dengan
partisipan. Refleksi memiliki aspek evaluasi yang merupakan pertanyaan peneliti
dalam menilai pengalaman mereka, menetapkan efek yang diinginkan dan
menyarankan apa yang akan dilakukan kemudian. Tahap refleksi berusaha
Universitas Sumatera Utara
57
mendapatkan kekurangan yang terjadi supaya bisa dibuat suatu usulan pemecahan
masalah (Kemmis & McTaggart, 1988).
2.6.3 Proses action research
Kemmis dan McTaggart (1988) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan
action research memerlukan beberapa langkah tindakan yaitu reconnaissance,
planning, melaksanakan rencana (action) dan observasi (observation), serta
reflection.
Reconnaissance
Reconnaisance, merupakan tahap awal dalam mencari permasalahan yang
ada. Tahap ini dapat di sebut juga tahap preliminary study, yaitu mempelajari
masalah yang ada dan menentukan tema yang penting. Tahap ini menggambarkan
apa yang terjadi sekarang dan apa yang kita lakukan sekarang. Pernyataanpernyataan tentang masalah yang ada mulai dimunculkan pada tahap ini (Kemmis
& McTaggart, 1988).
Planning
Planning merupakan perencanaan yang bersifat untuk perbaikan. Tahap ini
beorientasi pada peneliti tentang bagaimana kolaborasi dengan partisipan.
Perencanaan meliputi rencana untuk merubah dengan menggunakan bahasa,
aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan organisasi, dan merencanakan
hasil yang di inginkan (Kemmis & McTaggart, 1988).
Action dan Observation
Action dan observation adalah mengimplementasikan rencana dan
mengobservasi pekerjaan yang dilakukan. Tahap ini adalah melaksanakan rencana
Universitas Sumatera Utara
58
yang sudah di tetapkan, meliputi melaksanakan rencana untuk berubah dengan
menggunakan bahasa, aktivitas dan praktik, hubungan antara manusia dan
organisasi, dan mengobservasi hasil dari implementasi yang telah di lakukan
(Kemmis & McTaggart, 1988).
Reflection
Reflection merupakan waktu untuk memberikan analisa, sintetis,
interpretasi dan menyimpulkan hal yang penting. Pada tahap ini refleksi berfokus
pada hasil yang telah di capai kemudian di buat analisa untuk perbaikan pada
cycle berikutnya (Kemmis & McTaggart, 1988).
2.6.4 Tingkat keabsahan data (trusthworthiness of data)
Lincoln dan Guba (1994 dalam Polit & Beck, 2012), mengemukakan
bahwa tingkat Keabsahan Data (trusthworthiness of data) hasil penelitian dapat
dipercaya dengan memvalidasi data menurut beberapa kriteria, yaitu credibility,
transferability, dependability, confirmability, dan authenticity.
Credibility
Credibility mengacu pada keyakinan kebenaran data dan interpretasi data.
Peneliti kualitatif harus berusaha untuk membangun kepercayaan dalam
kebenaran temuan bagi peserta dan konteks penelitian. Kredibilitas melibatkan
dua aspek: pertama, melakukan penelitian dengan cara yang dapat meningkatkan
kepercayaan dari temuan, dan kedua, mengambil langkah-langkah untuk
menunjukkan kredibilitas dalam laporan penelitian. Beberapa teknik yang dapat
dilakukan peneliti untuk mempertahankan credibility antara lain teknik prolonged
engagement dan member check .
Universitas Sumatera Utara
59
Transferability
Transferability mengacu pada sejauh mana hasil temuan dapat ditransfer
atau diterapkan pada kelompok atau populasi yang lain. Hal ini bergantung pada
pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks penerima.
Peneliti akan menguraikan secara rinci tentang data terkait dengan latarbelakang
dan fenomena
yang terjadi serta temuan di tempat penelitian untuk
memungkinkan perbandingan yang akan dibuat tentang temuan yang akan
didapat. Semua data tersebut dibuat dalam satu deskripsi tebal (thick description)
untuk memungkinkan seseorang tertarik dalam membuat transfer untuk mencapai
kesimpulan apakah transfer dapat dipikirkan sebagai kemungkinan.
Dependability
Dependability mengacu pada stabilitas (reliability) data dari waktu ke
waktu dan kondisi. Artinya bahwa jika pekerjaan itu diulang dalam konteks yang
sama, dengan metode yang sama dan dengan peserta yang sama maka hasil yang
sama akan diperoleh. Peneliti melaporkan secara detail setiap proses penelitian
kepada pembimbing untuk menilai apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah
sesuai sehingga data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat lebih objektif.
Confirmability
Confirmability mengacu pada objektifitas atau netralitas data, dimana
tercapai persetujuan antara dua orang atau lebih tentang relevansi dan arti data.
Confirmability tercapai jika peneliti dapat meyakinkan orang lain bahwa data
yang dikumpulkan adalah data yang objektif, seperti apa adanya di lapangan.
Peneliti melakukan teknik triangulasi dan “audit trail”. Triangulasi data dilakukan
Universitas Sumatera Utara
60
dengan melakukan pengambilan data dengan cara focus group discussion (FGD),
in-depth interview dan self report. Audit trail dilakukan dengan cara membuat
tabel atau diagram yang berisi tentang alur kegaiatan secara rinci yang meliputi
jenis kegiatan, tujuan, sasaran, partisipan dan waktu pelaksanaan kegiatan.
Authenticity
Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan adil dan dengan
tepat menunjukkan kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika
laporan tersebut dapat menyampaikan perasaan partisipan sebagaimana mereka
hidup. Sebuah teks memiliki keaslian jika dapat mengajak pembaca merasakan
sebuah pengalaman kehidupan yang digambarkan, dan memungkinkan pembaca
untuk mengembangkan kepekaan yang meningkat dengan masalah yang
digambarkan. Ketika teks mencapai keaslian, pembaca lebih mampu memahami
kehidupan yang digambarkan ‘in the round” dengan berbagai suasana hati,
perasaan, pengalaman, bahasa, dan konteks hidup.
2.7
Landasan Teori
2.7.1 Konsep Abraham Maslow “Hirarki Kebutuhan Dasar Manusia” dalam
Caregiver Pada Pasien Stroke
Pasien stroke mengalami masalah kebutuhan dasar manusia sehingga
membutuhkan peran caregiver. Maka teori keperawatan ini diberikan jika
kebutuhan bio-psiko-sosio-kultural pasien tidak terpenuhi.
Universitas Sumatera Utara
61
Fokus Konsep
Dalam memberikan asuhan keperawatan harus memperhatikan kebutuhan
bio-psiko-sosio-kultural klien. Abraham Maslow (1968) mengembangkan sebuah
hirarki kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk menentukan prioritas
kebutuhan klien. Kebutuhan tertentu dapat lebih penting daripada kebutuhan dasar
yang lain. Hirarki Maslow disusun berdasarkan teori bahwa sesuatu dikatakan
kebutuhan dasar bila: 1) jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dapat
menimbulkan sakit, 2) jika kebutuhan tersebut terpenuhi dapat mencegah sakit, 3)
kebutuhan tersebut merapakan indikator seseorang dikatakan sehat, 4) ada
perasaan kehilangan jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, 5) ada kepuasan jika
kebutuhan tersebut terpenuhi.
Dengan adanya hirarki Maslow membantu dalam memahami hubungan di
antara kebutuhan dasar manusia dan menentukan prioritas diantara kebutuhankebutuhan dasar tersebut. Seseorang berusaha memenuhi kebutuhan tersebut,
minimal kebutuhan yang paling utama sebelum memenuhi kebutuhan yang berada
di tingkat berikutnya. Hirarki Maslow menggambarkan lima tingkat kebutuhan
dasar manusia, yaitu : 1) tingkat I: Kebutuhan fisiologi, 2) tingkat II: Kebutuhan
keamanan dan keselamatan, 3) tingkat III: Kebutuhan mencintai dan memiliki, 4)
tingkat IV : Kebutuhan harga diri, 5) tingkat V : Kebutuhan aktualisasi diri.
Hirarki Maslow memberikan kerangka dalam pengkajian keperawatan dan
memahami kebutuhan klien pada semua tingkat kebutuhan sehingga dalam
mengembangkan rencana keperawatan, perawat harus memasukkan intervensi
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Contoh : pada saat perawat dinas di
Universitas Sumatera Utara
62
ruangan dan merawat pasien stroke gangguan menelan, selain perawat
memperhatikan kebutuhan fisiologi klien (misal memasang NGT), perawat juga
memperhatikan kebutuhan mencintai dan memiliki klien (dengan membiarkan
klien ditunggu keluarga).
Hirarki Maslow menggambarkan lima tingkat kebutuhan dasar manusia,
yaitu: 1) kebutuhan fisiologis yaitu berada pada tingkat yang paling dasar dalam
hirarki Maslow. Kebutuhan fisiologi adalah kebutuhan yang paling essensial,
penting agar seseorang dapat bertahan hidup sehingga menempati prioritas yang
tertinggi. Kebutuhan fisiologi meliputi: Oksigenasi, Cairan, Nutrisi, Temperatur,
Eliminasi, Tempat tinggal/perlindungan, Istirahat, Seksualitas. Kebutuhan
fisiologi tersebut minimal harus terpenuhi untuk mempertahankan hidup, 2)
kebutuhan keamanan dan keselamatan yaitu menempati tingkat kebutuhan yang
kedua dalam hirarki Maslow. Kebutuahn keamanan dan keselamatan meliputi
keamanan dan keselamatan fisik dan emosi. Keselamatan fisik berarti melindungi
seseorang dari bahaya yang aktual maupun potensial. Ada beberapa tindakan yang
dapat dilakukan perawat untuk menjamin keamanan dan keselamatan klien,
diantaranya: Cuci tangan dan penggunaan tehnik steril yang benar, Memberikan
pengobatan dengan prinsip 5 benar, Menggunakan skill yang tepat saat
memindahkan klien. Keamanan dan keselamatan emosi ditunjukkan dengan
adanya rasa percaya kepada orang lain, adanya perasaan bebas dari rasa takut dan
cemas. Seringkali klien masuk ke rumah sakit merasa ketakutan ataupun
kecemasan karena banyak hal-hal yang tidak ia ketahui baik tentang penyakitnya,
prosedur yang akan dijalani, dan sebagaianya sehingga akan membutuhkan
Universitas Sumatera Utara
63
keamanan dan keselamatan secara emosi. Perawat yang selama 24 jam bersama
klien dapat membantu memenuhi kebutuhan klien tersebut dengan mengajak klien
berdoa sebagai cara untuk memberikan kekuatan dan support pada klien, 3)
kebutuhan mencintai dan memiliki merupakan kebutuhan dasar yang berada pada
level yang lebih tinggi. Kebutuhan mencintai dan memiliki meliputi adanya
bagaimana kita memahami dan menerima orang lain, bagaimana seseorang ingin
dimengerti dan diterima oleh orang lain, termasuk juga adanya perasaan memiliki
orang yang berarti seperti teman, keluarga, tetangga dan lingkungan masyarakat.
Orang yang kebutuhan mencintai dan memilikinya tidak terpenuhi akan
merasakan kesepian dan merasa terisolasi. Sehingga mereka akan menarik diri
secara fisik dan emosi, atau mungkin saja mereka menjadi pribadi yang sensitif
dan sering mengkritik. Berikut ini adalah tindakan-tindakan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan mencintai dan memiliki: melibatkan keluarga maupaun
teman klien dalam asuhan keperawatan klien, membina hubungan perawat-klien
berdasarkan saling memahami dan saling percaya, 4) kebutuhan harga diri adalah
kebutuhan harga diri. Kebutuhan harga diri adalah keinginan seseorang untuk
dihargai. Seseorang yang terpenuhi kebutuhan harga dirinya akan merasa
percayan diri dan mandiri. Jika tidak terpenuhi makan seseorang akan merasa
helpless dan rendah diri. Banyak faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang
diantaranya perubahan peran, perubahan gambaran diri. Perawat dapat memenuhi
kebutuhan harga diri klien dengan cara menerima nilai-nilai dan keyakinan klien,
memberikan support pada klien untuk mencapai apa yang di gunakannya dan
memfasilitasi agar keluarga ataupun orang-orang yang berarti bagi klien
Universitas Sumatera Utara
64
senantiasa mendukung klien, 5) kebutuhan aktualisasi diri adalah tingkat
kebutuhan yang menempati tingkat yang paling tinggi. Kebutuhan aktualisai diri
adalah kebutuhan individu untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal
sesuai kemampuan yang dimilikinya. Proses aktualisasi diri berjalan sepanjang
kehidupan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan aktualisai diri klien, perawat harus
berfokus pada kemampuan dan kesempatan yang dimiliki klien. Berikut ini adalah
ciri-ciri kebutuhan aktualisasi diri terpenuhi: Memecahkan masalah sendiri,
membantu orang lain memecahkan masalah, menerima saran orang lain, memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik sebagai pendengar dan komunikator,
menikmati privacy, mencari pengalaman dan pengetahuan baru, memiliki
kepercayaan dalam kemampuan dan mengambil keputusan, mengantisipasi
masalah dan berhasil menyenangi diri sendiri.
2.7.2 Penerapan Teori Maslow
Hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow dapat diterapkan dalam proses
keperawatan baik itu dalam pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Hirarki Maslow juga dapat diterapkan pada berbagai usia, di berbagai tempat
pelayanan kesehatan, dapat diterapkan baik dalam kondisi sehat maupaun sakit.
Dalam mengaplikasikan teori kebutuhan dasar menurut Maslow, perawat
harus memahami bahwa setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda,
sehingga bisa saja pada satu klien kebutuhan fisiologi menempati kebutuhan
prioritas dibandingkan kebutuhan keamanan dan keselamatan tetapi pada klien
yang lain sebaliknya. Hal ini menjadi dasar mengapa kita harus melibatkan klien
dan keluarga dalam menentukan prioritas masalah.
Universitas Sumatera Utara
65
Dalam
memenuhi
kebutuhan dasar
klien,
perawat
tidak
hanya
memperhatikan kebutuhan yang paling dasar, tetapi juga memenuhi kebutuhan
yang ada ditingkat berikutnnya. Jadi bisa saja, perawat memenuhi dua kebutuhan
dasar atau lebih dalam satu waktu. Contoh : saat merawat klien dengan sesak
nafas, perawat memberikan oksigen untuk memenuhi kebutuhan fisiologinya
tetapi juga memasang pengaman tempat tidur untuk memenuhi kebutuhan
keamanan dan keselamatannya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan teori
kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu: Hubungan diantara kebutuhan
Adakalanya dalam memenuhi kebutuhan dasar seseorang, kita tidak mengikuti
sesuai urutan hirarki Maslow, karena pada individu yang berbeda pendapatan atau
perbedaan tingkat kebutuhan. Sehingga pada saat melakukan asuhan keperawatan,
perawat jangan berasumsi bahwa kebutuhan tingkat yang lebih bawah selalu
menjadi prioritas. Jelaslah bahwa asuhan keperawatan yang diberikan bersifat
individu. Contoh : seorang janda yang tinggal sendiri di kawasan rawan kejahatan
dirawat di rumah sakit karena tidak dapat buang air kecil. Dia mengeluh khawatir
dengan keamanan rumahanya. Pada saat itu, kebutuhan eliminasi tidak menjadi
prioritas tetapi kebutuhan keamanan dan keselamatan yang menjadi lebih prioritas
untuk menghilangkan rasa cemas klien tersebut.
Simultan dalam memenuhi kebutuhan dalam memenuhi kebutuhan dasar
klien, setelah mengindentifikasi kebutuhan klien, perawat bersama klien
menyusun prioritas. Menyusun prioritas bukan berarti perawat hanya memenuhi
Universitas Sumatera Utara
66
satu kebutuhan pada satu waktu, tetapi kebutuhan yang lain juga dipenuhi secara
simultan.
Pada contoh kasus diatas, pada saat yang bersamaan selain perawat
memeberikan ketenangan pada janda tersebut, perawat juga memasang kateter
untuk mengatasi masalah tidak dapat buang air kecilnya.
Faktor yang mempengaruhi prioritas kebutuhan dasar adanya berbagai
macam tingkat kebutuhan dasar manusia, mengharuskan perawat menyusun
prioritas agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih fokus dan lebih efektif.
Situasi yang mengancam kehidupan tentunya menempati prioritas yang tertinggi.
Dalam menentukan prioritas kebutuhan, perawat harus mempertimbangkan halhal berikut ini: kepribadian dan mood, persepsi klien, struktur keluarga,
pertimbangkan hubungan kebutuhan dasar,
Satu hal yang penting adalah dalam menyusun prioritas dan perencanaan
kebutuahan dasar manusia, perawat haras melibatkan klien dan keluarga. Asuhan
keperawatan klien yang holistik mempertimbangkan semua dimensi yang
mempengaruhi kebutuhan dasar manusia dalam rentang sehat sakit.
2.8
Kerangka Konsep
Penyusunan kerangka konsep dilakukan berdasarkan landasan teori
keperawatan Abraham Maslow yang dikaitkan dengan pengembangan model
family centered care (FCC) bagi caregiver yang merawat pasien stroke gangguan
disfagia di rumah dalam Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar Medan.
Universitas Sumatera Utara
67
67
Kerangka konsepnya adalah sebagai berikut :
RR
Ruangan
Puskesmas
Simalingkar
Medan
R
Tentative
Model
FCC bagi
Caregiver
Task:
RR
Model
RF
RF
RF
A&O
A&O
A&O
Oriented
Nursing
FCC Bagi
Caregiver
Theory Maslow
(kebutuhan dasar
manusia):
1. Fisiologis
2. Keamanan dan
keselamatan
3. Mencintai dan
memiliki
4. Harga diri
5. Aktualisasi diri
Final Validation
Practice
R
: Rencana Tindakan
RR
: Rencana Revisi
1. FGD
2. Self report
3. Observation
A & O : aplikasi tindakan &
observasi
RF
Model FCC Bagi
Caregiver Yang
Merawat Pasien
Stroke Di Rumah
Dalam Wilayah Kerja
Puskesmas
Simalingkar
: Refleksi
Gambar 2.2: Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
Download