BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Economic Value Added (EVA)
Konsep Economic Value Added (EVA) pertama kali diperkenalkan oleh Joel M. Stern
dari SternStewart & Co., perusahaan konsultan Amerika Serikat (Berk, 2007, p.157).
Economic Value Added adalah suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba
ekonomi dalam suatu perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat
tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi (operating costs) dan
biaya modal (cost of capital) (Tunggal, 2001, p.1).
Menurut Young dan O’Byrne (2001, p.21) bahwa ide dasar dibalik EVA bukanlah
hal baru dan esensinya adalah repackaging dalam manajemen keuangan yang dapat
dipercaya serta prinsip keuangan yang telah lama ada. Namun EVA merupakan inovasi
terpenting karena membuat teori keuangan modern dan prakteknya lebih mudah diakses
oleh para manajer perusahaan yang tidak terlatih secara baik dalam hal keuangan.
Bahkan dikatakan dalam jurnal perbankan London oleh Andre Shih dan Charles
Kantor pada tahun 1998:
“Earnings, ROE, and ROA are dead. Long live EVA! A financial performance measure is
only effective if it leads managers on an on-going basis to consistently make correct
decisions, i.e. invest in businesses that create value, and divest of those that destroy it”.
“Among the various performance measures, EVA is the only consistent indicator
of shareholder value creation. For example, earnings performance is not risk-adjusted
like EVA and can lead to the "bigger is better" syndrome. Managers compensated on
earnings growth would be encouraged to invest in projects that may earn a positive
return, yet still destroy shareholder value because the projects do not meet the
shareholders' required return”. (Shih and Kantor, 1998)
Beberapa pengertian EVA yang dikemukakan para ahli antara lain sebagai berikut
(Tunggal, 2001, pp.1):
1. S. David Young
“EVA = NOPAT – Capital charges”
“EVA is just another term for “economic Profit”
Net Sales
- Operational Cost________________________________________
= Earnings Before Interest and Taxes, EBIT
- Taxes_______________________________________________
= Net Operating Profit After Tax, NOPAT
- Capital charges, (invested capital x cost of capital)___________
= Economic Value Added
2. Glen Arnold
“Economic value added is a variant of economic profit, which is the modern term for
residual income. Economic profit for a period is the amont earned by bussiness after
deducting all operating expenses and a charge for the opportunity cost of capital
employed”.
3. Erich A. Helfert
“Economic Value Added represents a yardstick for measuring whether a business is
earnings above cost of capital of resources (capital base) it employs”.
EVA = NOPAT - C. k
Dimana, NOPAT = Net Operating Profit After Taxes (adjusted)
C = Capital base employed (adjusted)
k = Weighted Average Cost of Capital (WACC)
Dan menurut Higgins (2004, p.298):
“In essence, EVA simply extends the cost of capital imperative to performance appraisal.
It says that a company or a business unit creates value for owners only when its
operating income exceeds the cost of capital employed.”
In symbols,
EVA = EBIT (1-Tax rate) – KwC
“Where EBIT (1-Tax rate) is the unit’s after-tax operating income, Kw is its WACC, and
C ist the capital employed by the unit, KwC, then, represents an annual Capital charge,
The capital-employed variable, C, equals the money invested in the unit over time by
creditors and owners.”
Sedangkan pengertian EVA menurut DeMello (2006, p.131) adalah ukuran
kinerja keuangan yang lebih mampu menangkap laba ekonomis perusahaan yang
sebenarnya daripada ukuran-ukuran lain. EVA juga merupakan ukuran kinerja yang
secara langsung berhubungan dengan kekayaan pemegang saham dari waktu ke waktu.
Adanya perbedaan antara neraca biasa dengan neraca EVA dimana pada neraca
EVA sisi kiri, kewajiban jangka pendek yang tidak menanggung bunga dikurangkan
terhadap aktiva operasi jangka pendek seperti persediaan, piutang dan biaya dibayar
dimuka. Sedangkan pada sisi kanan neraca EVA mengacu pada aktiva bersih dan modal
yang diinvestasikan. Dengan mengurangkan kewajiban jangka pendek, kewajiban yang
tidak menanggung bunga (Non-Interest Bearing Current Liabilities/NIBCLs) dari semua
aktiva lancar kecuali kas dan dari modal yang diinvestasikan (Young dan O’Byrne, 2001,
p.45). Perbedaan tersebut digambarkan pada Tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Perbedaan Neraca Biasa dengan Neraca EVA
Neraca Biasa (Regular Balance Sheet)
Aktiva
Kas
Piutang
Persediaan
Pembayaran dibayar dimuka
Aktiva tetap
Pasiva
Hutang jangka pendek
NIBCL (Non-Interest Bearing Current Liabilities)
Hutang jangka panjang
Hutang jangka panjang lainnya
Ekuitas pemegang saham
Neraca EVA (EVA Balance Sheet)
Aktiva
Kas
WCR (Working Capital Requirement)
Aktiva tetap
Pasiva
Hutang jangka pendek
Hutang jangka panjang
Hutang jangka panjang lainnya
Ekuitas pemegang saham
Dapat disimpulkan definisi dari beberapa konsep EVA yang dikemukakan diatas adalah
sebagai berikut:
1. EVA merupakan tujuan korporat untuk meningkatkan nilai (value) dari modal
(capital) yang investor telah tanamkan dalam operasi usaha.
2. EVA merupakan selisih dari NOPAT dikurangi dengan biaya modal.
3. Angka NOPAT dan capital ditambahkan beberapa equity equivalents.
4. Biaya modal perusahaan (cost of capital) merupakan biaya tertimbang dari modal
(WACC) untuk debt dan equity yang digunakan oleh perusahaan. Oleh karena itu
perusahaan harus menghitung berapa besarnya biaya modal atas hutang (cost of
debt) dan biaya modal atas ekuitas (cost of equity).
5. Jika nilai EVA positif, dapat dikatakan bahwa manajemen perusahaan telah
menciptakan nilai (creating value), sebaliknya apabila nilai EVA negatif, artinya
manajemen perusahaan gagal menciptakan nilai.
2.2. Keunggulan Konsep EVA
”EVA improve any business”, hal tersebut karena EVA menunjukkan apakah ada
sustainable profit dari kegiatan operasional perusahaan dalam mengembalikan biaya
modal yang telah diinvestasikan. Dimana EVA juga menunjukkan tidak hanya
berdasarkan sisi akunting saja, tapi dari sisi ekonomis perusahaan dalam menggunakan
modal yang ada. Hal tersebut dinyatakan dalam jurnal ABI/INFORM Global.
(Anonymous, 2002)
Keunggulan pengukuran kinerja dengan menggunakan konsep EVA adalah
dengan diperhitungkannya beban biaya modal yang timbul sebagai akibat dari investasi
yang dilakukan oleh perusahaan, baik biaya modal yang timbul sebagai akibat dari
investasi yang dilakukan oleh perusahaan, baik biaya modal atas hutang maupun biaya
modal atas ekuitas, sehingga konsep EVA relatif lebih akurat dalam menghitung nilai
tambah yang diciptakan oleh perusahaan.
Seperti yang dikatakan oleh L Neal Freeman dalam jurnal ABI/INFORM Trade &
Industry bahwa:
“EVA analysis is more reliable. A stated advantage of EVA is that EVA analysis is more
consistant with the overall goals of the company than ROI analysis.ROI analysis is
commonly critized the short term performance at the expense of long term goals. EVA
analysis tends to overcome this deficiency”. (Freeman, 2004)
Meskipun EVA sebagai alat pengukuran kinerja, tetapi EVA juga dapat
digunakan untuk menyusun perencanaan strategi perusahaan, menentukan alokasi
perencanaan struktur modal perusahaan dan menentukan anggaran operasionalnya. Selain
itu EVA juga dapat digunakan dalam kompensasi manajemen serta EVA dapat dijadikan
sebagai alat komunikasi internal perusahaan dan alat komunikasi eksternal dengan pasar
modal. menurut Young dan O’Byrne (2001, p.18).
Dalam jurnal Strategic Management (Hillman and Source, 2001) memuat
pernyataan:
“Bennett Stewart, creator of the financial management system based on Economic Value
Added (EVA), argues that 'to increase shareholder value, a company must address the
needs of its stake- holders more efficiently and effectively than the companies against
which it competes' (Birchard, 1995: 49)”.
Dengan EVA, manajemen akan lebih memperhatikan dan dapat menentukan
kebijakan alokasi perencanaan struktur modalnya. Karena secara eksplisit EVA
memperhitungkan biaya modal atas ekuitas dan mengakui bahwa tingkat resiko yang
dihadapi pemilik ekuitas lebih tinggi karena besarnya cost of equity lebih tinggi daripada
tingkat biaya modal atas hutang (cost of debt).
Dimana dikatakan oleh Peter C Brewer; Gyan Chandra; dan S.A.M. Clayton A
Hock, dalam Advanced Management Journal, yaitu:
“EVA can provide a valuable measure of wealth creation and can be used to help align
managerial decisions making with firm preferences, however it still need conjuction with
a balance set of measures that provide a complete picture of performance”. (Brewer,
Chandra and Hock, 1999)
Pernyataan lain juga dikatakan oleh Terrance L. Pohlen dalam International
Journal of Physical Distribution & Logistics Management terkait dengan tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen terkait dengan hasil analisa EVA:
“Alignment is necessary to overcome suboptimization or conflicting objectives within the
core functional areas. An extension to the EVA analyses at the process level provides a
linkage from individual performance to shareholder value. This cause and effect linkage
enables managers and the individuals performing these activities to understand better
how their performance contributes to the outcomes valued by their customer and how this
leads to improved shareholder value. Managers can also work backwards from a
targeted increase in shareholder value to determine what actions and levels of
performance must occur to achieve the desired outcomes. Most importantly, the analyses
demonstrate that to achieve growth in shareholder value continuously, the firm must look
to the supply chain for additional opportunities”. (Pohlen, 2003)
Oleh karena itu, EVA mengakui bahwa pemilik ekuitas menghadapi resiko yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihadapi oleh kreditur sehingga biaya modal atas
ekuitas relatif lebih tinggi daripada biaya modal atas hutang. Maka dibawah konsep EVA
perusahaan akan didorong untuk lebih memperhatikan kebijakan struktur modalnya
terutama terhadap modal ekuitas yang secara prakteknya seringkali dianggap sebagai
dana murah, meskipun sebenarnya tidak, sehingga seringkali dana tersebut tidak
dikompensasi dengan tingkat pengembaliannya.
Penggunaan EVA sebagai salah satu ukur manajemen merupakan bagian dari
Value-based management (VBM) yang merupakan alat ukur dalam melihat keuntungan
ekonomis dari suatu perusahaan, dikatakan oleh Philippe Haspeslagh, Tomo Noda, dan
Fares Boulos dalam jurnal Harvard Business Review:
“Value-based management (VBM) programs sound seductively simple. Theoretically,
they involve just 2 steps. First, adopt an economic profit metric, such as SternStewart's
Economic Value Added (EVA), as a key measure of performance. Second, tie
compensation to agreed-upon improvement targets in that metric. For large companies
with flagging share prices, this looks like a miracle cure. All they have to do is boost
their market value is call in consultants to revamp their accounting system, install the
new measure of performance, align their incentive systems, and everything will fall into
place. If only it were that easy. As recent reports in the press indicate, almost half of the
companies that have adopted a VBM metric have met with mediocre success”.
(Haspeslagh, Noda and Boulos, 2001)
EVA dapat digunakan untuk menetapkan tujuan dan strategi perusahaan, serta
bagi perusahaan yang mengadopsi penggunaan EVA akan menghasilkan persepsi yang
sama dalam membuat keputusan, khususnya keputusan jangka panjang dengan
mengevaluasi kinerja perusahaan yang dapat digunakan untuk mengukur nilai yang dapat
diciptakan pada setiap pilihan strategi.
EVA juga memberikan gambaran penciptaan nilai tambah yang dapat
memberikan manfaat berupa kemudahan bagi pemegang saham dalam menilai kinerja
manajemen dengan melihat seberapa besar kemampuan manajemen dalam menciptakan
nilai tambah bagi perusahaan.
Sehingga bisa menjadi acuan bagi investor untuk mengatur portofolio sahamnya
dengan baik, seperti yang dikatakan oleh Drew Fountain; Douglas J Jordan; G Michael
Phillips, dalam Quarterly Journal of Finance and Accounting pada tahun 2008 bahwa:
“EVA can be used for investor to manage the portfolio separation criteria”.
Penjelasan keunggulan-keunggulan di atas juga di dukung oleh Al Ehrbar dalam
jurnal ABI/ INFORM Global yang mengatakan perusahaan yang mengadop EVA secara
pengalaman menunjukkan adanya return yang didapatkan investor lebih tinggi dibanding
investasi di perusahaan kompetitor lain. (Ehrbar, 1999)
Contoh nyata dibuktikan oleh perusahaan Maskapai ACNZ yang menyatakan
bahwa:
“The adoption of EVA as a method of benchmarking performance and controlling
monopoly earnings has been a successful strategy for ACNZ. The initial approach
focused on an EVA reserve in which excess monopoly profits were transferred to a
reserve and managed. The reserve was eventually exhausted. Changes in the environment
in which Airways Corporation operates, with possible competition in its previous
monopoly activities, shareholder demands (the government) for larger dividends and
possible future privatisation have led to a change from minimising EVA to using EVA as
a general guide to pricing and other policies”. (Austin, 2005)
2.3. Teori Perhitungan EVA
Untuk menjadi alat pengukuran kinerja maka EVA dihitung sebagaimana ditunjukan oleh
Young dan O’Byrne (2001, p.35) sebagai berikut:
Penjualan bersih
- Biaya operasi___________________________________________
= Laba operasi atau pendapatan sebelum bunga dan pajak, EBIT
- Pajak__________________________________________________
= Laba operasi bersih setelah pajak, NOPAT
- Capital charges, (invested capital x cost of capital)______________
= Economic Value Added
Langkah awal untuk mendapatkan nilai EVA adalah melakukan penyesuaian akuntansi
dengan tujuan menghilangkan distorsi akuntansi, sehingga didapatkan nilai equity
equivalent. Kemudian menghitung NOPAT (Net Operating Profit After Tax) atau laba
operasi bersih setelah pajak dan menghitung modal (capital). Laba operasi didapat dari
penjualan bersih dikurangi dengan biaya operasi, kemudian dikurangi dengan pajak
sehingga menjadi laba operasi bersih.
Langkah selanjutnya menghitung biaya modal yang dimaksud adalah seluruh
modal yang diinvestasikan (invested capital) dan diambil rata-ratanya dan modal awal
(modal pada akhir tahun lalu) dan modal akhir (modal pada akhir tahun berjalan)
sebagaimana diterangkan Young dan O’Byrne (2001, p.54).
Setelah itu, menghitung biaya modal, berupa biaya modal rata-rata tertimbang
(Weighted Average Cost of Capital atau WACC) yang merupakan gabungan dan biaya
hutang (cost of debt) dan biaya modal sendiri atau biaya ekuitas (cost of equity) sesuai
dengan proporsinya dalam struktur modal. Jika hal-hal tersebut sudah didapat maka
kemudian dihitung berapa Capital charge yaitu biaya modal dikali dengan modal yang
diinvestasikan. EVA kemudian dapat dihitung yaitu NOPAT dikurangi dengan Capital
charge.
2.4. Equity Equivalent
Menurut Young dan O’Byrne, (2001, p.267) penyesuaian dilakukan dengan cara
menambahkan equity equivalent ke dalam capital, dan menambahkan perubahan equity
equivalent per periode ke dalam NOPAT. Penyesuaian diperlukan untuk merubah nilai
buku akuntansi (accounting book value) menjadi nilai buku ekonomis (economic book
value), yang merupakan pengukuran sebenarnya dari kas yang diinvestasikan oleh
investor dengan menanggung resiko dan mengharapkan return.
Tidak lebih dari 15 penyesuaian yang perlu dibuat didalam menghitung EVA,
menurut para penyokong utama EVA. Bahkan dalam tahun-tahun berikutnya jumlah
penyesuaian yang direkomendasikan para konsultan menurun hingga 10 dan akhir-akhir
ini sekitar 3 penyesuaian menjadi normal. Selain itu ada beberapa kriteria penyesuaian
terhadap equity equivalent, antara lain:
ƒ
Nilainya cukup material.
ƒ
Penyesuaian tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai EVA.
ƒ
Data dari penyesuaian dapat diambil dengan mudah. dan masuk akal atau dapat
dikatakan tersedia informasi yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian
equity equivalent dalam catatan laporan keuangan.
ƒ
Para profesional non keuangan dapat mengerti mengapa equity equivalent
dilakukan.
Apabila suatu penyesuaian memenuhi keempat kriteria tersebut diatas, maka penyesuaian
tersebut layak dilakukan. Setelah dilakukan penyesuaian, maka dapat dilihat arus kas
yang sebenarnya dari operasi perusahaan.
Kesimpulannya adalah jumlah penyesuaian seharusnya minimal dan disesuaikan
dengan bisnis perusahaan, bahkan bagi kebanyakan perusahaan asumsi tanpa penyesuaian
merupakan titik awal yang logis dalam memutuskan bagaimana EVA diukur.
Berikut dibawah ini adalah beberapa contoh penyesuaian terhadap equity
equivalent menurut G. Bennet Steward. JR (Tunggal, 2001, p.6) :
Add to Capital Equity Equivalents
Deferred tax reserve
LIFO reserve
Cumulative goodwill amortization
Unrecorded goodwill
(Net) capitalized intangibles
Full-cost reserve
Cumulative unusual loss (gain) after taxes
Other reserves for such things as
bad debts serve,
Add to NOPAT Equity Equivalents
Increase in deferred tax reserve
Increase in LIFO reserve
Goodwill amortization
Increase in (net) capitalized intangibles
Increase in full-cost reserve
Unusual loss (gain) after taxes
Increase in other reserve
inventory obsolescence reserve
warranties reserve
deferred income reserve
2.5. Net Operating Profit After Tax (NOPAT)
Net Operating Profit After Tax atau NOPAT merupakan laba operasi bersih setelah pajak
yang sudah terbebas dari pengaruh hutang dan biaya non kas, tetapi sebelum biaya
pendanaan (financing costs) dan pencatatan-pencatatan non kas (non cash bookkeeping
entries, yaitu depresiasi). Besar laba operasi setelah pajak tidak memberi dampak pada
profitabilitas ataupun resiko kepada bisnis perusahaan, artinya baik perusahaan dibiayai
dengan hutang maupun dengan modal sendiri, sehingga hasil NOPAT-nya akan identik.
Perhitungan NOPAT tidak memasukkan laba rugi dari faktor non-operasional, seperti
laba rugi atas penjualan aktiva tetap, penghentian usaha, penjualan investasi, semua
kegiatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kegiatan operasional perusahaan
serta semua catatan atas laporan keuangan yang tidak mempunyai keterangan jelas tidak
akan diikutsertakan dalam penghitungan NOPAT. NOPAT merupakan jumlah dari laba
usaha, penghasilan bunga, beban/penghasilan pajak penghasilan, tax shield on interest
expenses, equity gain or loss dan laba rugi lainnya yang terkait dengan kegiatan
operasional perusahaan.
Mengacu kepada Stewart (1991, p.86) laba operasi dihitung setelah depresiasi dan
amortisasi karena walaupun depresiasi dan amortisasi merupakan non kas tetapi
merupakan biaya ekonomis yang mengindikasikan biaya yang harus dikeluarkan untuk
mempertahankan operasi yang sama, atau biaya yang harus disisihkan untuk nanti dapat
digunakan mengganti aset lama dengan aset baru sehingga operasi dapat dipertahankan.
Dalam perhitungan EVA terdapat 2 dua pendekatan yaitu pendekatan finansial
dan operasional serta beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan yang kesemuanya itu
untuk menghilangkan pengaruh hutang, menghilangkan distorsi finansial dan distorsi
akuntansi.
Terkait dengan penjelasan di atas, dalam salah satu artikel di jurnal Euromoney
(Morris, 2002) dikatakan:
“The advantage of EVA is that it attempts to correct the imbalances of EBITDA by
adding back some of what EBITDA leaves out. It is calculated by taking operating profit
after tax and then subtracting the sum of net assets, multiplied by the weighted average
cost of capital. "EVA does not encourage over-payment because there's a sense that, if a
company makes an investment that costs, then it has to make a return on that," says Erik
Stern, managing director Europe for SternStewart.”
“EVA is not perfect - critics say it doesn't really work as a long-term incentive but the measure has its merits. "The strongest part of the SternStewart metric is that it
tells management that shareholder capital is not free," says Alan Judes, a remuneration
consultant at pensions and personnel consultancy Hewitt, Bacon & Woodrow. "When
shareholders invest money they expect a higher return than banks get on a loan and yet
there is no visible charge for share capital in company accounts”.
2.5.1. Menghitung NOPAT Dengan Pendekatan Finansial
Dengan pendekatan finansial perhitungan NOPAT diawali dari laba bersih. Untuk
membebaskan dari pengaruh hutang maka beban bunga atas hutang ditambahkan ke laba
bersih dan dikurangi dengan penghematan pajak atas bunga tersebut (tax shield)
sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.87).
Dengan demikian maka pengaruh struktur keuangan telah dihilangkan dan didapat
suatu pendapatan setelah pajak yang murni seolah-olah dibiayai hanya oleh ekuitas
ehingga return yang dihasilkan menjadi benar-benar mengukur kinerja usaha
(menghilangkan pengaruh hutang) adalah:
NOPAT_____________________________
= Laba bersih
+ Beban bunga
- Penghematan pajak atas bunga (tax shield )
Selanjutnya menghilangkan distorsi finansial atau pengaruh yang mungkin terjadi akibat
perubahan komposisi keuangan dalam modal, yaitu dengan cara menambahkan kedalam
NOPAT pendapatan yang disebabkan oleh adanya saham preferen (equity provided by
preferred stockholders) dan hak minoritas (minority investors). Dengan demikian maka
NOPAT sepenuhnya mencerminkan suatu return yang diberikan kepada seluruh
penyandang modal sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.90).
Pada tahap ini perhitungannya menjadi:
NOPAT________________________________
= Laba bersih
+ Preferred dividend
+ Hak minoritas atas laba bersih
+ Beban bunga
- Penghematan pajak atas bunga (tax shield )
Kemudian dan langkah terakhir adalah menghilangkan distorsi akuntansi dengan
menambahkan kedalam NOPAT perubahan periodik dan cadangan yang ekuivalen
dengan ekuitas (equity equivalent reserve) seperti perubahan pada LIFO (Last In First
Out) reserve, deferred income tax reserve, akumulasi amortisasi goodwill, kapitalisasi
biaya Research and Development (R&D) serta cumulative unusual losses or gains after
taxes dan other equity equivalent reserve.
Dengan demikian NOPAT lebih memberikan ukuran yang realistik terhadap cash
yield yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis sebagaimana diterangkan Stewart (1991,
p.92). Perhitungannya menjadi:
NOPAT______________________________
= Laba bersih
+ Kenaikan equity equivalent
+ Preferred dividend
+ Hak minoritas atas laba bersih
+ Beban bunga
- Penghematan pajak atas bunga (tax shield)
Cadangan yang equity equivalent akan menambah nilai buku akuntansi (accounting book
value), sehingga menjadi menjadi nilai buku ekonomis (economic book value). Nilai
buku ekonomis dianggap lebih baik dalam menilai market value perusahaan karena telah
menghilangkan distorsi-distorsi yang mungkin terjadi. Jika harga saham perusahaan
melebihi nilai buku ekonomis dari common equity, maka perusahaan dikatakan
memberikan nilai tambah. Dapat diuraikan lagi cara penghitungan NOPAT melalui
pendekatan finansial sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 NOPAT Financing Approach
NOPAT FINANCING APPROACH
Income available to common
Increase in equity equivalent
Deffered taxes reserve
LIFO reserve
Goodwill amortization
(Net) Capitalized intangibles
Full cost reserve
Unusual Loss/ Gain
Bad Debt Reserve
Inventory obsolescence reserve
Warranty reserve
Deffered income reserved
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
Adjusted income available to common
Interest expense
Interest expense non- capital lease
Adjusted interest expense
Xxx
xxx
xxx
xxx
Tax benefit of interest expense
Interest expense after taxes
Minority interest of subsidiaries
xxx
xxx
xxx
NOPAT financing approach
Xxx
Xxx
(Sumber: Stewart, 1991, p.92)
2.5.2. Menghitung NOPAT dengan Pendekatan Operasional
Seperti halnya pendekatan finansial, pendekatan operasional juga memerlukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap aktiva tertentu yang termasuk cadangan equity
equivalent, yaitu: penambahan LIFO reserve atas akun persediaan, bad-debt reserve atas
akun piutang, akumulasi amortisasi goodwill atas akun goodwill, the balance capitalized
intangibles atas akun aktiva tetap bersih dan lain-lain.
Dalam pendekatan operasional NOPAT dihitung melalui hasil penjualan
dikurangi dengan biaya operasi serta depresiasi, didapat laba operasi kemudian dikurangi
dengan cash operating tax, yaitu pajak penghasilan (income tax) yang telah dikurangi
dengan kenaikan pajak yang ditangguhkan (increase in deferred income tax), ditambah
dengan penghematan pajak atas beban bunga (tax shield) sebagaimana diterangkan
Stewart (1991, p.93). Perhitungannya adalah sebagai berikut:
NOPAT_____________________________
= Penjualan
- Operating expenses & depreciation
- Pajak penghasilan
+ Kenaikan deffered income tax
- Penghematan pajak atas bunga (tax shield)
Melalui pendekatan operating, penghitungan NOPAT diuraikan pada Tabel 2.4 berikut
ini:
Tabel 2.3 NOPAT Operating Approach
NOPAT OPERATING APPROACH
Net Sales
COGS
Depreciation
Selling General & Administrative
Deffered taxes reserve
LIFO reserve
Cummulative goodwill amortization
(Net) Capitalized intangibles
Full cost reserve
Unusual Loss/ Gain
Bad Debt Reserve
Inventory obsolescence reserve
Warranty reserve
Deffered income reserved
Increase in equity equivalent
Operating expenses
Adjusted net operating profit
Other Income
NOPBT
Cash operating taxes
NOPAT operating approach
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
Xxx
Xxx
Xxx
Xxx
Xxx
(Sumber: Stewart, 1991, p.93)
2.6. Modal
Modal atau capital adalah seluruh kas yang ada tanpa diperhatikan dari mana sumber
pembiayaannya, apakah itu dari hutang (debt) ataupun dan modal sendiri (equity), serta
tanpa diperhatikan pula apakah ia digunakan untuk modal kerja (working capital)
ataupun untuk pembelian aktiva tetap (fixed asset).
Modal dapat juga dijabarkan sebagai modal yang diinvestasikan (invested capital)
yaitu jumlah seluruh keuangan perusahaan (firm’s fiinancing) yang sudah terlepas dari
kewajiban jangka pendek, yang tidak menanggung bunga (Non-Interest Bearing Current
Liabilities, NIBCLs) seperti hutang usaha, upah yang akan jatuh tempo (accrued wages)
dan pajak yang akan jatuh tempo (accrued taxes). Maka demikian modal yang
diinvestasikan (invested capital) sama dengan merupakan jumlah seluruh ekuitas
pemegang saham dan seluruh hutang jangka pendek maupun panjang yang menanggung
bunga serta kewajiban jangka panjang lainnya, menurut Young dan O’Byrne (2001,
p.43).
Pernyataan Young dan O’Byrne di dukung oleh Stanley Paulo (2002) terkait
dengan modal perusahaan dalam Journal of Managerial Issues bahwa EVA lebih relevan
dibanding dengan pendapatan operasional bagi publik untuk menilai kinerja dari suatu
perusahaan karena adanya perhitungan biaya modal yang diinvestasikan.
2.6.1. Menghitung Modal Dengan Pendekatan Finansial
Dengan pendekatan finansial perhitungan modal diawali dan nilai ekuitas (common
equity). Untuk membebaskan dari pengaruh hutang maka semua nilai hutang yang
mengandung beban bunga (interest-bearing debt) termasuk nilai sekarang dari leasing
yang tidak dikapitalisasi, ditambahkan ke nilai ekuitas (common equity). Leasing
dianggap ekuivalen dengan hutang karena walaupun tidak perlu dikapitalisasi untuk
keperluan pencatatan akuntansi tetapi jika manajemen menggunakan aset hasil leasing
tersebut secara permanen maka harus dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai ekuivalen
aset dan hutang sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.87). Pada tahap
perhitungannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
MODAL_______________________
= Nilai ekuitas
+ Hutang (dan nilai sekarang leasing)
Untuk menyesuaikan ekuitas, maka perlu menambah ekuitas saham preferen dan hak
minoritas kedalam modal sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.90), dengan tujuan
menghilangkan distorsi finansial . Pada tahap ini perhitungannya adalah:
MODAL____________________
= Nilai ekuitas
+ Hutang
+ Saham preferen
+ Hak minoritas atas aktiva bersih
Terakhir untuk menghilangkan distorsi akuntansi dilakukan dengan mengkonversi sistem
pencatatan akuntansi akrual (accrual accounting) ke sistem pencatatan akuntansi berbasis
kas dan dari successfull effort ke full cost accounting serta menambahkan cadangan yang
ekuivalen dengan ekuitas (equity equivalent reserve) ke modal sehingga akan menambah
nilai buku akuntansi menjadi nilai buku ekonomis.
Cadangan equity equivalent yang perlu ditambahkan adalah seperti LIFO (Last In
First Out) reserve, deferred income tar reserve, akumulasi amortisasi goodwill,
kapitalisasi biaya research and development (R&D) serta cumulative unusual losses, less
gains, after taxes sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.91). Perhitungannya akan
menjadi:
MODAL_______________________
= Nilai ekuitas
+ Hutang (dan nilai sekarang leasing )
+ Saham preferen
+ Hak minoritas atas aktiva bersih
+ Equity equivalent
Dapat diuraikan lagi, cara perhitungan modal dengan pendekatan finansial adalah
sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.5 berikut ini:
Tabel 2.4 Capital Financing Approach
CAPITAL FINANCING APPROACH
Short-term debt
Long-term debt
Other long-term debt
Total debt
Minority interest of subsidiaries
Total equity
Equity equivalent
Deffered taxes reserve
LIFO reserve
Goodwill amortization
(Net) Capitalized intangibles
Full cost reserve
Unusual Loss/ Gain
Bad Debt Reserve
Inventory obsolescence reserve
Warranty reserve
Deffered income reserved
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
Capital financing approach
(Sumber: Stewart, 1991, p.92)
2.6.2. Menghitung Modal dengan Pendekatan Operasional
Dalam pendekatan operasional, modal pada dasarnya adalah Net Working Capital (NWC)
ditambah Net Fixed Assets (NFA), dimana NWC sendiri merupakan current asset yang
sudah terbebas dan Non-Interest Bearing Current Liabilities (NIBCLs).
Dengan demikian maka untuk menghitung modal diawali dari current asset atau
aktiva lancar yang dikurangi dengan kewajiban lancar yang tidak menanggung bunga
atau NIBCLs, menambahkan NFA berupa Net Property, Plant and Equipment (net PPE)
dan
kemudian
dilakukan
penyesuaian
menyangkut
equity
equivalent
dengan
menambahkan bad-debt reserve ke receivables, LIFO reserve ke akun persediaan, nilai
sekarang dari leasing yang tidak dikapitalisasi ke akun net PPE, akumulasi amortisasi
goodwill ke akun goodwill serta net capitalized intangibles seperti biaya R&D yang
dikapitalisasi dan biaya pemasaran yang dikapitalisasi sebagaimana dari yang
diterangkan Stewart (1991, p.93 dan p.112). Perhitungannya adalah:
MODAL_____________________
= Current asset
- NIBCLs_____________________
= Net PPE
+ Bad-debt reserve
+ LIFO reserve
+ Present value of non-cap. lease
+ Gross goodwill
+ Net capitalized intangibles
Dapat dijabarkan, cara perhitungan modal dengan pendekatan operasional adalah
sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.6 berikut ini:
Tabel 2.5 Capital Operating Approach
CAPITAL OPERATING APPROACH
Operating cash
Net receivables
Net inventory
LIFO reserve
xxx
xxx
xxx
xxx
Other current assets
Adjusted current assets
Account Payable
Accrued expenses
Income taxes payable
NIBCLs
Net working capital
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
Net property plant & equipment
PV of non-cap leases
Adjusted property plant & equipment
xxx
xxx
Goodwill
Cummulative goodwill amortization
Gross goodwill
xxx
xxx
Other assets
Other equity equivalent
Unrecorded goodwill
LIFO reserve
(Net) Capitalized intangibles
Full cost reserve
Cummulative Unusual Loss/ Gain
Bad Debt Reserve
Inventory obsolescence reserve
Warranty reserve
Deffered income reserved
Capital operating approach
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
xxx
(Sumber: Stewart, 1991, p.93)
2.7. Biaya Modal (Cost Of Capital)
Raphael Amit dan Christoph Zott mengatakan dalam Strategic Management Journal
tahun 2001 bahwa:
“A firm's resources and capabilities 'are valuable if, and only if, they reduce a firm's
costs or increase its revenues compared to what would have been the case if the firm did
not possess those resources' (Barney, 1997: 147)”.
Biaya modal adalah tingkat pengembalian (return) minimal yang diharapkan oleh
penyandang dana, jika dana tersebut diinvestasikan ditempat lain dengan resiko yang
sebanding. Dikatakan demikian karena return tersebut harus bisa diperoleh perusahaan
agar dapat memenuhi break even point atas modal yang diinvestasikan. Berarti itu
mencerminkan resiko yang dihadapi penyandang dana dalam melakukan investasinya.
Dengan kata lain biaya modal merupakan biaya kesempatan (opportunity cost) dan biaya
ini didasarkan pada sesuatu yang diharapkan, bukan pada pengembalian historis.
Perusahaan biasa akan melakukan pengujian biaya modal dari kombinasi hutang,
saham biasa dan saham istimewa yang tujuannya adalah menentukan struktur
pembiayaan yang paling murah sehingga akan memaksimumkan nilai dari perusahaan.
Selain itu perhitungan biaya modal diperlukan dalam menentukan investasi, dapat
dijelaskan apabila suatu investasi memiliki future value dari future cash flow yang
didiskon dengan cost of capital perusahaan melebihi biaya dari investasi maka investasi
tersebut akan diterima.
Biaya modal berkaitan erat dengan struktur modal atau struktur keuangan
perusahaan karena lazimnya perusahaan memiliki kebijakan tertentu dalam menentukan
rasio antara hutang (debt) dan ekuitas (equity) atau modal sendiri. Jadi bergantung juga
kepada seberapa banyak dan masing-masing itu dimiliki dalam struktur modal. Hubungan
itu semua kemudian digabungkan (blended) dalam biaya modal rata-rata tertimbang atau
Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang dalam perhitungannya harus
melibatkan biaya modal atas hutang dan biaya modal atas ekuitas.
Pernyataan dari Charles B. Stabell dan Oystein D. Fjeldstad dalam Strategic
Management Journal (1998), yaitu:
“The cost behavior of value activities is determined by structural factors that are defined
as cost drivers. Identification of structural factors provides a heuristic for assessing the
cost behavior and cost economics of the value activities for a firm. The relative
importance and absolute magnitude of cost drivers will vary from industry to industry
and from firm to firm. Exploiting and shaping these structural factors is a main source of
competitive advantage”.
Terkait dengan penjelasan biaya modal di atas, dikatakan oleh Laurent L. Jacque
dan Paul M. Vaaler dalam Journal of International Business Studies (2001) bahwa:
“Unlike similar conventional accounting measures of profit derived from an individual
firm's income state- ment EVA first takes into account the cost of all capital, that is not
only the cost of debt capital (readily visible as interest expense in the income state- ment)
but also the cost of equity capital. Second, EVA is not constrained by generally accepted
accounting principles ("GAAP") thereby allowing managers to capitalize R&D,
marketing, training and related costs into the asset base committed to the profitgenerating project”.
2.7.1. Biaya Modal atas Hutang (Cost of Debt)
Komponen dari biaya hutang adalah tingkat bunga yang harus dibayarkan perusahaan
atas obligasi yang dikeluarkan maupun yang diterima perusahaan. Tidak semua hutang
mengandung bunga, jadi biaya hutang terdiri dari hutang yang mengandung biaya bunga.
Cost of debt (rd) adalah yang paling mudah diverifikasi (verify) yaitu berupa
tingkat suku bunga yang diminta oleh kreditur atas sejumlah dana yang dipinjamkan
kepada perusahaan. Adanya hutang oleh perusahaan menyebabkan pajak yang dibayarkan
lebih kecil, karena bunga merupakan tax deductible expenses. Artinya biaya hutang
adalah beban bunga setelah dikurangi bagian penghematan pajak yang didapat oleh
perusahaan akibat adanya hutang. Biaya hutang setelah pajak adalah sebagai berikut:
rd = rd (1-T)
Dimana,
rd = Biaya hutang sebelum pajak
T = Tingkat pajak
Cara lain adalah, jika perusahaan mengeluarkan obligasi sebagai sarana pembiayaannya
maka untuk menghitung cost of debt adalah dengan melihat kepada yield to maturity
(tingkat keuntungan yang diperoleh jika obligasi dipegang sampai saat jatuh tempo) dan
obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Atau jika obligasi perusahaan memiliki rating
maka kita dapat memakai perkiraan tingkat suku bunga dan yang diberikan oleh obligasi
perusahaan lain dengan rating sejenis.
2.7.2. Biaya Modal atas Ekuitas (Cost of Equity)
Penambahan modal perusahaan dapat berasal dari dua sumber yaitu internal maupun
eksternal. Pembiayaan melalui kedua cara tersebut memiliki tingkat biaya yang
merupakan biaya dari saham biasa. Tingkat biaya ekuitas adalah tingkat pengembalian
yang sama dengan tingkat pengembalian terbaik dari investasi yang mungkin dilakukan.
Tingkat biaya ekuitas merupakan biaya dari internal ekuitas yang harus ditanggung oleh
perusahaan.
Menurut Young dan O’Byrne (2001, p.161) bahwa Cost of equity lebih abstrak
karena bukan merupakan cash-to-cash yield yang mudah diamati atau pada tingkat yang
paling sederhana, bahwa investasi ekuitas adalah lebih beresiko bagi seorang investor
dibandingkan meminjamkannya kepada perusahaan yang sama maka biaya ekuitas
sepatutnya mencakup suatu premi resiko diatas yang dibayarkan perusahaan kepada
pemberi pinjamannya. Masalahnya bahwa tidak dapat diamati secara langsung tingkat
kebutuhan pengembalian ini karena berbeda dengan kasus dalam pembiayaan hutang
dimana sebuah kontrak akan menentukan syarat-syarat pembayaran kembali termasuk
tingkat suku bunga. Penyelesaiannya adalah mencoba berasumsi mengenal seberapa
besar yang dituntut investor dengan cara mengamati perilaku pasar modal. Caranya
memerlukan suatu model dari bagaimana suatu aktiva beresiko seperti saham dalam
perusahaan bisnis dihargai oleh pasar modal. Model yang paling populer untuk tujuan ini
disebut model Capital Asset Pricing Model (CAPM). CAPM dikembangkan secara
independen oleh Profesor William Sharpe dan Universitas Standford dan John Lintner
dari Universitas Harvard dengan mengacu terhadap teori keuangan sebelumnya oleh
James Tobin dan Harry Markowitz. CAPM bergantung kepada tiga hal yaitu tingkat
pengembalian tanpa resiko atau risk free rate (rf), premi resiko pasar atau Market Risk
Premium (MRP) dan faktor resiko berupa koefisien beta (β). MRP sendiri adalah selisih
antara tingkat pengembalian pasar saham (rm) dengan tingkat pengembalian tanpa resiko
(rf).
Koefisien beta (β) merupakan ukuran tingkat resiko sistematis suatu sekuritas
dibandingkan dengan pasar. Beta pasar dinyatakan dengan angka 1, sekuritas yang
memiliki resiko tinggi memiliki beta lebih besar dari 1 (β > 1), sedangkan sekuritas
dengan resiko yang lebih rendah, memiliki beta lebih kecil dari 1 (β < 1). Suatu beta (β)
perusahaan ditentukan oleh tiga variable yaitu:
ƒ
Tipe bisnis dimana perusahaan berada.
ƒ
Degree of operating leverage dalam perusahaan.
ƒ
Tingkat hutang perusahaan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan estimasi Market risk
Premium (MRP):
ƒ
Perbedaan keadaan ekonomi, risk premium akan lebih tinggi pada Negara yang
ekonominya tidak stabil, seperti pada Negara berkembang lebih tinggi
dibandingkan dengan Negara maju.
ƒ
Resiko politik, besaran risk premium akan lebih tinggi pada Negara yang
mempunyai keadaan politik yang tidak stabil, karena hal itu berdampak pada
ketidakstabilan ekonomi.
ƒ
Struktur pasar, jika suatu pasar modal diisi oleh perusahaan-perusahaan yang
besar, jenis perusahaannya sangat terdiversifikasi dan stabil maka risk premium
untuk berinvestasi saham akan lebih rendah. Semakin banyak perusahaan kecil
dan beresiko di pasar modal maka risk premium-nya akan meningkat.
Dengan pendekatan model ini maka cost of equity (re) dapat dicari melalui penjumlahan
tingkat pengembalian tanpa resiko dengan perkalian antara faktor resiko dengan premi
resiko pasar, dapat dirumuskan dengan persamaan:
re = rf + β (rm – rf)
re = rf + β (MRP)
dimana,
re = Cost of equity
rf = Risk free rate
β = Faktor resiko berupa koefisien beta
MRP = Market Risk Premium
2.7.3. Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang (WACC)
Tingkat biaya modal rata-rata tertimbang (rWACC) merupakan tingkat biaya gabungan
keseluruhan dan sistim pembiayaan
yang digunakan oleh perusahaan, yang
menggambarkan tingkat pengembalian investasi minimum yang harus dicapai untuk
mendapatkan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh kreditor dan pemegang saham.
Dengan demikian maka perhitungannya akan mencakup cost of debt dan cost of equity
serta bobot atau proporsi dan masing-masing dalam struktur modal sebagaimana
diterangkan menurut Young dan O’Byrne (2001, p.163).
Adapun pernyataan lain mengenai WACC adalah:
“The WACC, or Weighted Average Cost of Capital, includes the number of units issued,
as with the earlier simpler calculations, but adds in the price of the units sold and the
amount of annual payout they are burdened with. The higher the unit price and the lower
the distribution the unit has to make, the lower the yield they have to pay out to investors,
which is a true estimate of the cost of capital. The same calculation is done with the
debt”. (Anonymous, 2004)
Persamaan dari WACC adalah:
rWACC = [{D/(E+D)}rd(1-T)] + {E/(E+D)}re
Dimana,
rWACC = Tingkat biaya modal rata-rata tertimbang
E = Equity atau modal sendiri atau ekuitas
D = Debt atau hutang
E/(E+D) = Bobot atau proporsi dan ekuitas
D/(E+D) = Bobot atau proporsi dan hutang
re = Biaya modal atas ekuitas
rd = Biaya modal atas hutang
T = Tax rate atau tingkat pajak penghasilan yang berlaku
rd (1 -T) = Biaya modal atas hutang setelah pajak
2.8. Capital charge
Capital charge merupakan total biaya modal (total costs of capital) yaitu tingkat biaya
modal rata-rata tertimbang (rWACC) dikalikan dengan modal yang diinvestasikan. Capital
charge adalah biaya modal yang memperhitungkan biaya kewajiban yang harus
dibayarkan kepada para kreditor, serta biaya ekuitas yang seharusnya dibayarkan kepada
para pemegang saham.
Selama ini dalam akuntansi konvensional biaya ekuitas ini tidak tercermin dalam
perhitungannya. Jika Capital charge lebih kecil dari NOPAT maka terdapat nilai tambah
ekonomis EVA. Dalam perhitungannya dapat dirumuskan:
Capital charges = WACC x invested capital
dimana,
WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang, mencakup cost of debt dan cost of
equity serta bobot atau proporsi dan masing-masing struktur modal.
Invested capital = Modal yang diinvestasikan, jumlah seluruh keuangan perusahaan
terlepas dari kewajiban jangka pendek yang tidak menanggung
bunga (non-interest bearing current liabilities/NIBCLs).
Menurut Young dan O’Byrne (2001, p.43) mengenai invested capital adalah
penjabaran dari modal, sebagai modal yang diinvestasikan (invested capital) yaitu jumlah
seluruh keuangan perusahaan (firm’s financing) yang sudah terlepas dari kewajiban
jangka pendek, yang tidak menanggung bunga (non-interest bearing current liabilities,
NIBCLs) seperti hutang usaha, upah yang akan jatuh tempo (accrued wages) dan pajak
yang akan jatuh tempo (accrued taxes). Maka, invested capital sama dengan merupakan
jumlah seluruh ekuitas pemegang saham dan seluruh hutang jangka pendek maupun
panjang yang menanggung bunga serta kewajiban jangka panjang lainnya.
Dimana dikatakan oleh John C. Groth dalam jurnal MCB University Press (2006)
bahwa: “EVA is a currently-popular term that refers to a principle that has existed for
centuries. Generating an economic rate of return on capital that exceeds the required
rate of return on invested capital results in EVA”.
2.9. Analisis Regresi
Analisis regresi merupakan salah satu dari ilmu statistik yang memberikan penjelasan
tentang 2 variabel atau lebih, dimana diantara variabel-variabel tersebut memiliki
hubungan atau tidak. Yang dimaksud dengan hubungan adalah berbanding lurus atau
sebaliknya, atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali. Dan bagaimana penekanan
hubungan antar variabel tersebut, signifikan atau tidak.
Menurut Stephan dan Berenson (2005, p.512): “Regression analysis is used
primarily for the purpose of prediction. In addition to prediction, regression analysis is
use to study the relationship between a dependent variable and an independent variable
and to quantify the effect that changes in the independent variable have on the dependent
variables”.
“Simple linear linear regression is a statistical technique that uses a single
numerical independent variable X to predict the numerical dependent variable Y.”
Simple Linear Regression Model:
Yi = β0 + β1Xi + ei
Where,
β0 = Y intercept for the population
β1 = Slope for the population
ei = random error in Y for observation
Terkait dengan analisis regresi dengan penelitian ini adalah maksud dari SternStewart
mengembangkan EVA untuk menggabungkan dua prinsip dasar keuangan ke dalam
pengambilan keputusan mereka. Pertama adalah bahwa tujuan keuangan utama adalah
perusahaan haruslah memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Kedua adalah bahwa
nilai suatu perusahaan tergantung pada sejauh mana investor berharap laba di masa depan
melebihi atau kurang dari biaya modal. Menurut definisi, peningkatan EVA secara terusmenerus akan membawa peningkatan nilai pasar bagi perusahaan yang berdampak pada
peningkatan pada kekayaan pemegang saham. (DeMello, 2006, p.132)\
Meskipun begitu, Robert Ferguson, Joel Rentzler, dan Susana Yu mengatakan
dalam jurnal Applied Finance (2005) bahwa:
“There is insufficient evidence to conclude that poorstock performance leads firms to
adopt EVA or that adopting EVA improve stock performance. Firms that adopt EVA
appear to have above average profitability relative to theirpeers. There is some evidence
that EVA adopters experience increase profitability relative to their peers”.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Madhav V. Rajan dalam Journal of
Accounting Research tahun 2000 menyatakan bahwa: “Value-added contributed by using
EVA as a measure for evaluating managerial performance. A key finding is that this
expression can be restated as a function of the observed correlations of each of the
metrics with stock price”.
“In support of the theoretical result, the authors find a positive associa- tion,
after controlling for other factors such as size, leverage, and growth opportunities. For
the rest of my discussion, I will focus first on the theoretical aspects”.
Begitu pula yang dikatakan oleh Gerald T. Garvey dan Todd T. Milbourn dalam
Journal of Accounting Research (2000), menyatakan: “We find that the simple
correlation between EVA or earnings and stock returns is a reasonably reliable guide to
its value as an incentive contracting tool. That is, a firm could reasonably gauge the
merits of adding a measure like EVA by examining its correlation with the firm's stock
price. This is not because stock returns are themselves an ideal performance measure;
rather it is because correlation places appropriate weights on both the signal and noise
components of alternative measures. We then calibrate the theoretical improvement in
incentive contracts from optimally using EVA in addition to accounting earnings.
Specifically, we empirically estimate the "value-added" of EVA by firm and industry.
These estimates are positive and significant in predicting which firms have actually
adopted EVA as an internal perfomance measure”.
“Compared to such common performance measures as return on capital, return
on equity, growth in earnings per share, and growth in cash flow, EVA has the highest
statistical correlation with the creation of value for shareholders”.
Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan EVA mempunyai korelasi hubungan
dengan nilai harga saham. Namun, perlu dilakukan analisis regresi untuk mendukung
pendapat SternStewart dan tokoh-tokoh lain di atas yang mendukung pendapat tersebut.
Karena ada penelitian di dalam negeri yang dilakukan oleh Noer Sasongko dan
Nila Wulandari yang melakukan penelitian untuk menguji kembali pengaruh EVA
(Economic Value Added) dan rasio-rasio profitabilitas yang diukur dengan ROA (Return
on Asset), ROE (Return on Equity), ROS (Return on Sales), EPS (Earning Per Share),
dan BEP (Basic Earning Power) terhadap harga saham perusahaan manufaktur di Bursa
Efek Jakarta untuk periode 2001-2002. Dimana hasil uji t parsial menunjukkan bahwa
return on asset, return on equity, return on sale, basic earning power, dan economic
value added tidak berpengaruh terhadap harga saham. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji
t yang ditolak pada taraf signifikansi 5% (p>0,05). Artinya ROA, ROE, ROS, BEP, dan
EVA tidak dapat digunakan untuk menentukan nilai perusahaan. (Noer Sasongko dan
Nila Wulandari, 2006)
Penelitian di luar negeri juga dilakukan oleh Gary C. Biddle, Robert M. Bowen,
dan James S. Wallace dalam jurnal Managerial finance (1998) yang menyimpulkan
bahwa:
“EVA has become the rapidly rising mantra of share holder wealth creation. The
popular press bandies about bold claims and anecdotal evidence proclaiming its
beneficial effects. A natural question to ask is whether these claims are supported by
empirical evidence. However, clear evidence is still lacking that these effects have, in
fact, translated into in creased share holder value. This is the subject of ongoing
investigation”.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Baddarruzaman Anshari dengan judul
“Analisis Hubungan Struktur Modal dengan Economic Value Added (EVA) guna menilai
Kinerja Perbankan (Studi Kasus Saham Lima Bank Terbesar Berdasarkan Aset dan
Modal di BEJ tahun 2003–2004)” yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
perubahan proporsi saham dengan perubahan EVA. Namun, nilai korelasi menunjukkan
pengaruh positif antara perubahan saham dengan perubahan EVA. (Anshari, 2005)
Selain penelitian-penelitian di atas, dikatakan oleh Stephen P Keef dan Melvin L
Roush dalam jurnal Agribusiness (2003) bahwa:
“Economic value added, which we have conceptualized as economic profit, is an enigma.
We have illustrated that the underlying theoretical construct shares, at best, a tenuous
link with stock market performance. The empirical literature, see, for example, Turvey et
al. (2000), Bacidore et al. (1997), and Biddle et al. (1997), shows that the signal
contained in economic value added is no better than the signal contained in the
conventional profit figure”.
Pernyataan lainnya adalah seperti yang dijelaskan dalam CGA Magazines (1999)
oleh Michael Senyshen bahwa:
“Economic value added (EVA) is a shareholder value analysis technique developed by
SternStewart & Co. that is being adopted by firms wishing to enhance returns for their
investors. It is a financial performance measurement that focuses on whether a firm is
making enough profit not only to cover operating expenses, but also the cost of capital.
EVA's popularity is due to its relationship with share prices. However, not all
researchers have found a strong correlation between EVA and stock prices”. (Senyshen,
1999)
Oleh karena itu, beberapa penerapan EVA memiliki hasil yang cukup beragam
dalam mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. Sehingga perlu dilakukan penelitian
terhadap masing-masing perusahaan yang ingin di analisa.
Download