BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Economic Value Added (EVA) Konsep Economic Value Added (EVA) pertama kali diperkenalkan oleh Joel M. Stern dari SternStewart & Co., perusahaan konsultan Amerika Serikat (Berk, 2007, p.157). Economic Value Added adalah suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi (operating costs) dan biaya modal (cost of capital) (Tunggal, 2001, p.1). Menurut Young dan O’Byrne (2001, p.21) bahwa ide dasar dibalik EVA bukanlah hal baru dan esensinya adalah repackaging dalam manajemen keuangan yang dapat dipercaya serta prinsip keuangan yang telah lama ada. Namun EVA merupakan inovasi terpenting karena membuat teori keuangan modern dan prakteknya lebih mudah diakses oleh para manajer perusahaan yang tidak terlatih secara baik dalam hal keuangan. Bahkan dikatakan dalam jurnal perbankan London oleh Andre Shih dan Charles Kantor pada tahun 1998: “Earnings, ROE, and ROA are dead. Long live EVA! A financial performance measure is only effective if it leads managers on an on-going basis to consistently make correct decisions, i.e. invest in businesses that create value, and divest of those that destroy it”. “Among the various performance measures, EVA is the only consistent indicator of shareholder value creation. For example, earnings performance is not risk-adjusted like EVA and can lead to the "bigger is better" syndrome. Managers compensated on earnings growth would be encouraged to invest in projects that may earn a positive return, yet still destroy shareholder value because the projects do not meet the shareholders' required return”. (Shih and Kantor, 1998) Beberapa pengertian EVA yang dikemukakan para ahli antara lain sebagai berikut (Tunggal, 2001, pp.1): 1. S. David Young “EVA = NOPAT – Capital charges” “EVA is just another term for “economic Profit” Net Sales - Operational Cost________________________________________ = Earnings Before Interest and Taxes, EBIT - Taxes_______________________________________________ = Net Operating Profit After Tax, NOPAT - Capital charges, (invested capital x cost of capital)___________ = Economic Value Added 2. Glen Arnold “Economic value added is a variant of economic profit, which is the modern term for residual income. Economic profit for a period is the amont earned by bussiness after deducting all operating expenses and a charge for the opportunity cost of capital employed”. 3. Erich A. Helfert “Economic Value Added represents a yardstick for measuring whether a business is earnings above cost of capital of resources (capital base) it employs”. EVA = NOPAT - C. k Dimana, NOPAT = Net Operating Profit After Taxes (adjusted) C = Capital base employed (adjusted) k = Weighted Average Cost of Capital (WACC) Dan menurut Higgins (2004, p.298): “In essence, EVA simply extends the cost of capital imperative to performance appraisal. It says that a company or a business unit creates value for owners only when its operating income exceeds the cost of capital employed.” In symbols, EVA = EBIT (1-Tax rate) – KwC “Where EBIT (1-Tax rate) is the unit’s after-tax operating income, Kw is its WACC, and C ist the capital employed by the unit, KwC, then, represents an annual Capital charge, The capital-employed variable, C, equals the money invested in the unit over time by creditors and owners.” Sedangkan pengertian EVA menurut DeMello (2006, p.131) adalah ukuran kinerja keuangan yang lebih mampu menangkap laba ekonomis perusahaan yang sebenarnya daripada ukuran-ukuran lain. EVA juga merupakan ukuran kinerja yang secara langsung berhubungan dengan kekayaan pemegang saham dari waktu ke waktu. Adanya perbedaan antara neraca biasa dengan neraca EVA dimana pada neraca EVA sisi kiri, kewajiban jangka pendek yang tidak menanggung bunga dikurangkan terhadap aktiva operasi jangka pendek seperti persediaan, piutang dan biaya dibayar dimuka. Sedangkan pada sisi kanan neraca EVA mengacu pada aktiva bersih dan modal yang diinvestasikan. Dengan mengurangkan kewajiban jangka pendek, kewajiban yang tidak menanggung bunga (Non-Interest Bearing Current Liabilities/NIBCLs) dari semua aktiva lancar kecuali kas dan dari modal yang diinvestasikan (Young dan O’Byrne, 2001, p.45). Perbedaan tersebut digambarkan pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1 Perbedaan Neraca Biasa dengan Neraca EVA Neraca Biasa (Regular Balance Sheet) Aktiva Kas Piutang Persediaan Pembayaran dibayar dimuka Aktiva tetap Pasiva Hutang jangka pendek NIBCL (Non-Interest Bearing Current Liabilities) Hutang jangka panjang Hutang jangka panjang lainnya Ekuitas pemegang saham Neraca EVA (EVA Balance Sheet) Aktiva Kas WCR (Working Capital Requirement) Aktiva tetap Pasiva Hutang jangka pendek Hutang jangka panjang Hutang jangka panjang lainnya Ekuitas pemegang saham Dapat disimpulkan definisi dari beberapa konsep EVA yang dikemukakan diatas adalah sebagai berikut: 1. EVA merupakan tujuan korporat untuk meningkatkan nilai (value) dari modal (capital) yang investor telah tanamkan dalam operasi usaha. 2. EVA merupakan selisih dari NOPAT dikurangi dengan biaya modal. 3. Angka NOPAT dan capital ditambahkan beberapa equity equivalents. 4. Biaya modal perusahaan (cost of capital) merupakan biaya tertimbang dari modal (WACC) untuk debt dan equity yang digunakan oleh perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus menghitung berapa besarnya biaya modal atas hutang (cost of debt) dan biaya modal atas ekuitas (cost of equity). 5. Jika nilai EVA positif, dapat dikatakan bahwa manajemen perusahaan telah menciptakan nilai (creating value), sebaliknya apabila nilai EVA negatif, artinya manajemen perusahaan gagal menciptakan nilai. 2.2. Keunggulan Konsep EVA ”EVA improve any business”, hal tersebut karena EVA menunjukkan apakah ada sustainable profit dari kegiatan operasional perusahaan dalam mengembalikan biaya modal yang telah diinvestasikan. Dimana EVA juga menunjukkan tidak hanya berdasarkan sisi akunting saja, tapi dari sisi ekonomis perusahaan dalam menggunakan modal yang ada. Hal tersebut dinyatakan dalam jurnal ABI/INFORM Global. (Anonymous, 2002) Keunggulan pengukuran kinerja dengan menggunakan konsep EVA adalah dengan diperhitungkannya beban biaya modal yang timbul sebagai akibat dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan, baik biaya modal yang timbul sebagai akibat dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan, baik biaya modal atas hutang maupun biaya modal atas ekuitas, sehingga konsep EVA relatif lebih akurat dalam menghitung nilai tambah yang diciptakan oleh perusahaan. Seperti yang dikatakan oleh L Neal Freeman dalam jurnal ABI/INFORM Trade & Industry bahwa: “EVA analysis is more reliable. A stated advantage of EVA is that EVA analysis is more consistant with the overall goals of the company than ROI analysis.ROI analysis is commonly critized the short term performance at the expense of long term goals. EVA analysis tends to overcome this deficiency”. (Freeman, 2004) Meskipun EVA sebagai alat pengukuran kinerja, tetapi EVA juga dapat digunakan untuk menyusun perencanaan strategi perusahaan, menentukan alokasi perencanaan struktur modal perusahaan dan menentukan anggaran operasionalnya. Selain itu EVA juga dapat digunakan dalam kompensasi manajemen serta EVA dapat dijadikan sebagai alat komunikasi internal perusahaan dan alat komunikasi eksternal dengan pasar modal. menurut Young dan O’Byrne (2001, p.18). Dalam jurnal Strategic Management (Hillman and Source, 2001) memuat pernyataan: “Bennett Stewart, creator of the financial management system based on Economic Value Added (EVA), argues that 'to increase shareholder value, a company must address the needs of its stake- holders more efficiently and effectively than the companies against which it competes' (Birchard, 1995: 49)”. Dengan EVA, manajemen akan lebih memperhatikan dan dapat menentukan kebijakan alokasi perencanaan struktur modalnya. Karena secara eksplisit EVA memperhitungkan biaya modal atas ekuitas dan mengakui bahwa tingkat resiko yang dihadapi pemilik ekuitas lebih tinggi karena besarnya cost of equity lebih tinggi daripada tingkat biaya modal atas hutang (cost of debt). Dimana dikatakan oleh Peter C Brewer; Gyan Chandra; dan S.A.M. Clayton A Hock, dalam Advanced Management Journal, yaitu: “EVA can provide a valuable measure of wealth creation and can be used to help align managerial decisions making with firm preferences, however it still need conjuction with a balance set of measures that provide a complete picture of performance”. (Brewer, Chandra and Hock, 1999) Pernyataan lain juga dikatakan oleh Terrance L. Pohlen dalam International Journal of Physical Distribution & Logistics Management terkait dengan tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen terkait dengan hasil analisa EVA: “Alignment is necessary to overcome suboptimization or conflicting objectives within the core functional areas. An extension to the EVA analyses at the process level provides a linkage from individual performance to shareholder value. This cause and effect linkage enables managers and the individuals performing these activities to understand better how their performance contributes to the outcomes valued by their customer and how this leads to improved shareholder value. Managers can also work backwards from a targeted increase in shareholder value to determine what actions and levels of performance must occur to achieve the desired outcomes. Most importantly, the analyses demonstrate that to achieve growth in shareholder value continuously, the firm must look to the supply chain for additional opportunities”. (Pohlen, 2003) Oleh karena itu, EVA mengakui bahwa pemilik ekuitas menghadapi resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihadapi oleh kreditur sehingga biaya modal atas ekuitas relatif lebih tinggi daripada biaya modal atas hutang. Maka dibawah konsep EVA perusahaan akan didorong untuk lebih memperhatikan kebijakan struktur modalnya terutama terhadap modal ekuitas yang secara prakteknya seringkali dianggap sebagai dana murah, meskipun sebenarnya tidak, sehingga seringkali dana tersebut tidak dikompensasi dengan tingkat pengembaliannya. Penggunaan EVA sebagai salah satu ukur manajemen merupakan bagian dari Value-based management (VBM) yang merupakan alat ukur dalam melihat keuntungan ekonomis dari suatu perusahaan, dikatakan oleh Philippe Haspeslagh, Tomo Noda, dan Fares Boulos dalam jurnal Harvard Business Review: “Value-based management (VBM) programs sound seductively simple. Theoretically, they involve just 2 steps. First, adopt an economic profit metric, such as SternStewart's Economic Value Added (EVA), as a key measure of performance. Second, tie compensation to agreed-upon improvement targets in that metric. For large companies with flagging share prices, this looks like a miracle cure. All they have to do is boost their market value is call in consultants to revamp their accounting system, install the new measure of performance, align their incentive systems, and everything will fall into place. If only it were that easy. As recent reports in the press indicate, almost half of the companies that have adopted a VBM metric have met with mediocre success”. (Haspeslagh, Noda and Boulos, 2001) EVA dapat digunakan untuk menetapkan tujuan dan strategi perusahaan, serta bagi perusahaan yang mengadopsi penggunaan EVA akan menghasilkan persepsi yang sama dalam membuat keputusan, khususnya keputusan jangka panjang dengan mengevaluasi kinerja perusahaan yang dapat digunakan untuk mengukur nilai yang dapat diciptakan pada setiap pilihan strategi. EVA juga memberikan gambaran penciptaan nilai tambah yang dapat memberikan manfaat berupa kemudahan bagi pemegang saham dalam menilai kinerja manajemen dengan melihat seberapa besar kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Sehingga bisa menjadi acuan bagi investor untuk mengatur portofolio sahamnya dengan baik, seperti yang dikatakan oleh Drew Fountain; Douglas J Jordan; G Michael Phillips, dalam Quarterly Journal of Finance and Accounting pada tahun 2008 bahwa: “EVA can be used for investor to manage the portfolio separation criteria”. Penjelasan keunggulan-keunggulan di atas juga di dukung oleh Al Ehrbar dalam jurnal ABI/ INFORM Global yang mengatakan perusahaan yang mengadop EVA secara pengalaman menunjukkan adanya return yang didapatkan investor lebih tinggi dibanding investasi di perusahaan kompetitor lain. (Ehrbar, 1999) Contoh nyata dibuktikan oleh perusahaan Maskapai ACNZ yang menyatakan bahwa: “The adoption of EVA as a method of benchmarking performance and controlling monopoly earnings has been a successful strategy for ACNZ. The initial approach focused on an EVA reserve in which excess monopoly profits were transferred to a reserve and managed. The reserve was eventually exhausted. Changes in the environment in which Airways Corporation operates, with possible competition in its previous monopoly activities, shareholder demands (the government) for larger dividends and possible future privatisation have led to a change from minimising EVA to using EVA as a general guide to pricing and other policies”. (Austin, 2005) 2.3. Teori Perhitungan EVA Untuk menjadi alat pengukuran kinerja maka EVA dihitung sebagaimana ditunjukan oleh Young dan O’Byrne (2001, p.35) sebagai berikut: Penjualan bersih - Biaya operasi___________________________________________ = Laba operasi atau pendapatan sebelum bunga dan pajak, EBIT - Pajak__________________________________________________ = Laba operasi bersih setelah pajak, NOPAT - Capital charges, (invested capital x cost of capital)______________ = Economic Value Added Langkah awal untuk mendapatkan nilai EVA adalah melakukan penyesuaian akuntansi dengan tujuan menghilangkan distorsi akuntansi, sehingga didapatkan nilai equity equivalent. Kemudian menghitung NOPAT (Net Operating Profit After Tax) atau laba operasi bersih setelah pajak dan menghitung modal (capital). Laba operasi didapat dari penjualan bersih dikurangi dengan biaya operasi, kemudian dikurangi dengan pajak sehingga menjadi laba operasi bersih. Langkah selanjutnya menghitung biaya modal yang dimaksud adalah seluruh modal yang diinvestasikan (invested capital) dan diambil rata-ratanya dan modal awal (modal pada akhir tahun lalu) dan modal akhir (modal pada akhir tahun berjalan) sebagaimana diterangkan Young dan O’Byrne (2001, p.54). Setelah itu, menghitung biaya modal, berupa biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost of Capital atau WACC) yang merupakan gabungan dan biaya hutang (cost of debt) dan biaya modal sendiri atau biaya ekuitas (cost of equity) sesuai dengan proporsinya dalam struktur modal. Jika hal-hal tersebut sudah didapat maka kemudian dihitung berapa Capital charge yaitu biaya modal dikali dengan modal yang diinvestasikan. EVA kemudian dapat dihitung yaitu NOPAT dikurangi dengan Capital charge. 2.4. Equity Equivalent Menurut Young dan O’Byrne, (2001, p.267) penyesuaian dilakukan dengan cara menambahkan equity equivalent ke dalam capital, dan menambahkan perubahan equity equivalent per periode ke dalam NOPAT. Penyesuaian diperlukan untuk merubah nilai buku akuntansi (accounting book value) menjadi nilai buku ekonomis (economic book value), yang merupakan pengukuran sebenarnya dari kas yang diinvestasikan oleh investor dengan menanggung resiko dan mengharapkan return. Tidak lebih dari 15 penyesuaian yang perlu dibuat didalam menghitung EVA, menurut para penyokong utama EVA. Bahkan dalam tahun-tahun berikutnya jumlah penyesuaian yang direkomendasikan para konsultan menurun hingga 10 dan akhir-akhir ini sekitar 3 penyesuaian menjadi normal. Selain itu ada beberapa kriteria penyesuaian terhadap equity equivalent, antara lain: Nilainya cukup material. Penyesuaian tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai EVA. Data dari penyesuaian dapat diambil dengan mudah. dan masuk akal atau dapat dikatakan tersedia informasi yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian equity equivalent dalam catatan laporan keuangan. Para profesional non keuangan dapat mengerti mengapa equity equivalent dilakukan. Apabila suatu penyesuaian memenuhi keempat kriteria tersebut diatas, maka penyesuaian tersebut layak dilakukan. Setelah dilakukan penyesuaian, maka dapat dilihat arus kas yang sebenarnya dari operasi perusahaan. Kesimpulannya adalah jumlah penyesuaian seharusnya minimal dan disesuaikan dengan bisnis perusahaan, bahkan bagi kebanyakan perusahaan asumsi tanpa penyesuaian merupakan titik awal yang logis dalam memutuskan bagaimana EVA diukur. Berikut dibawah ini adalah beberapa contoh penyesuaian terhadap equity equivalent menurut G. Bennet Steward. JR (Tunggal, 2001, p.6) : Add to Capital Equity Equivalents Deferred tax reserve LIFO reserve Cumulative goodwill amortization Unrecorded goodwill (Net) capitalized intangibles Full-cost reserve Cumulative unusual loss (gain) after taxes Other reserves for such things as bad debts serve, Add to NOPAT Equity Equivalents Increase in deferred tax reserve Increase in LIFO reserve Goodwill amortization Increase in (net) capitalized intangibles Increase in full-cost reserve Unusual loss (gain) after taxes Increase in other reserve inventory obsolescence reserve warranties reserve deferred income reserve 2.5. Net Operating Profit After Tax (NOPAT) Net Operating Profit After Tax atau NOPAT merupakan laba operasi bersih setelah pajak yang sudah terbebas dari pengaruh hutang dan biaya non kas, tetapi sebelum biaya pendanaan (financing costs) dan pencatatan-pencatatan non kas (non cash bookkeeping entries, yaitu depresiasi). Besar laba operasi setelah pajak tidak memberi dampak pada profitabilitas ataupun resiko kepada bisnis perusahaan, artinya baik perusahaan dibiayai dengan hutang maupun dengan modal sendiri, sehingga hasil NOPAT-nya akan identik. Perhitungan NOPAT tidak memasukkan laba rugi dari faktor non-operasional, seperti laba rugi atas penjualan aktiva tetap, penghentian usaha, penjualan investasi, semua kegiatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kegiatan operasional perusahaan serta semua catatan atas laporan keuangan yang tidak mempunyai keterangan jelas tidak akan diikutsertakan dalam penghitungan NOPAT. NOPAT merupakan jumlah dari laba usaha, penghasilan bunga, beban/penghasilan pajak penghasilan, tax shield on interest expenses, equity gain or loss dan laba rugi lainnya yang terkait dengan kegiatan operasional perusahaan. Mengacu kepada Stewart (1991, p.86) laba operasi dihitung setelah depresiasi dan amortisasi karena walaupun depresiasi dan amortisasi merupakan non kas tetapi merupakan biaya ekonomis yang mengindikasikan biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan operasi yang sama, atau biaya yang harus disisihkan untuk nanti dapat digunakan mengganti aset lama dengan aset baru sehingga operasi dapat dipertahankan. Dalam perhitungan EVA terdapat 2 dua pendekatan yaitu pendekatan finansial dan operasional serta beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan yang kesemuanya itu untuk menghilangkan pengaruh hutang, menghilangkan distorsi finansial dan distorsi akuntansi. Terkait dengan penjelasan di atas, dalam salah satu artikel di jurnal Euromoney (Morris, 2002) dikatakan: “The advantage of EVA is that it attempts to correct the imbalances of EBITDA by adding back some of what EBITDA leaves out. It is calculated by taking operating profit after tax and then subtracting the sum of net assets, multiplied by the weighted average cost of capital. "EVA does not encourage over-payment because there's a sense that, if a company makes an investment that costs, then it has to make a return on that," says Erik Stern, managing director Europe for SternStewart.” “EVA is not perfect - critics say it doesn't really work as a long-term incentive but the measure has its merits. "The strongest part of the SternStewart metric is that it tells management that shareholder capital is not free," says Alan Judes, a remuneration consultant at pensions and personnel consultancy Hewitt, Bacon & Woodrow. "When shareholders invest money they expect a higher return than banks get on a loan and yet there is no visible charge for share capital in company accounts”. 2.5.1. Menghitung NOPAT Dengan Pendekatan Finansial Dengan pendekatan finansial perhitungan NOPAT diawali dari laba bersih. Untuk membebaskan dari pengaruh hutang maka beban bunga atas hutang ditambahkan ke laba bersih dan dikurangi dengan penghematan pajak atas bunga tersebut (tax shield) sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.87). Dengan demikian maka pengaruh struktur keuangan telah dihilangkan dan didapat suatu pendapatan setelah pajak yang murni seolah-olah dibiayai hanya oleh ekuitas ehingga return yang dihasilkan menjadi benar-benar mengukur kinerja usaha (menghilangkan pengaruh hutang) adalah: NOPAT_____________________________ = Laba bersih + Beban bunga - Penghematan pajak atas bunga (tax shield ) Selanjutnya menghilangkan distorsi finansial atau pengaruh yang mungkin terjadi akibat perubahan komposisi keuangan dalam modal, yaitu dengan cara menambahkan kedalam NOPAT pendapatan yang disebabkan oleh adanya saham preferen (equity provided by preferred stockholders) dan hak minoritas (minority investors). Dengan demikian maka NOPAT sepenuhnya mencerminkan suatu return yang diberikan kepada seluruh penyandang modal sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.90). Pada tahap ini perhitungannya menjadi: NOPAT________________________________ = Laba bersih + Preferred dividend + Hak minoritas atas laba bersih + Beban bunga - Penghematan pajak atas bunga (tax shield ) Kemudian dan langkah terakhir adalah menghilangkan distorsi akuntansi dengan menambahkan kedalam NOPAT perubahan periodik dan cadangan yang ekuivalen dengan ekuitas (equity equivalent reserve) seperti perubahan pada LIFO (Last In First Out) reserve, deferred income tax reserve, akumulasi amortisasi goodwill, kapitalisasi biaya Research and Development (R&D) serta cumulative unusual losses or gains after taxes dan other equity equivalent reserve. Dengan demikian NOPAT lebih memberikan ukuran yang realistik terhadap cash yield yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.92). Perhitungannya menjadi: NOPAT______________________________ = Laba bersih + Kenaikan equity equivalent + Preferred dividend + Hak minoritas atas laba bersih + Beban bunga - Penghematan pajak atas bunga (tax shield) Cadangan yang equity equivalent akan menambah nilai buku akuntansi (accounting book value), sehingga menjadi menjadi nilai buku ekonomis (economic book value). Nilai buku ekonomis dianggap lebih baik dalam menilai market value perusahaan karena telah menghilangkan distorsi-distorsi yang mungkin terjadi. Jika harga saham perusahaan melebihi nilai buku ekonomis dari common equity, maka perusahaan dikatakan memberikan nilai tambah. Dapat diuraikan lagi cara penghitungan NOPAT melalui pendekatan finansial sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.2 NOPAT Financing Approach NOPAT FINANCING APPROACH Income available to common Increase in equity equivalent Deffered taxes reserve LIFO reserve Goodwill amortization (Net) Capitalized intangibles Full cost reserve Unusual Loss/ Gain Bad Debt Reserve Inventory obsolescence reserve Warranty reserve Deffered income reserved xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx Adjusted income available to common Interest expense Interest expense non- capital lease Adjusted interest expense Xxx xxx xxx xxx Tax benefit of interest expense Interest expense after taxes Minority interest of subsidiaries xxx xxx xxx NOPAT financing approach Xxx Xxx (Sumber: Stewart, 1991, p.92) 2.5.2. Menghitung NOPAT dengan Pendekatan Operasional Seperti halnya pendekatan finansial, pendekatan operasional juga memerlukan penyesuaian-penyesuaian terhadap aktiva tertentu yang termasuk cadangan equity equivalent, yaitu: penambahan LIFO reserve atas akun persediaan, bad-debt reserve atas akun piutang, akumulasi amortisasi goodwill atas akun goodwill, the balance capitalized intangibles atas akun aktiva tetap bersih dan lain-lain. Dalam pendekatan operasional NOPAT dihitung melalui hasil penjualan dikurangi dengan biaya operasi serta depresiasi, didapat laba operasi kemudian dikurangi dengan cash operating tax, yaitu pajak penghasilan (income tax) yang telah dikurangi dengan kenaikan pajak yang ditangguhkan (increase in deferred income tax), ditambah dengan penghematan pajak atas beban bunga (tax shield) sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.93). Perhitungannya adalah sebagai berikut: NOPAT_____________________________ = Penjualan - Operating expenses & depreciation - Pajak penghasilan + Kenaikan deffered income tax - Penghematan pajak atas bunga (tax shield) Melalui pendekatan operating, penghitungan NOPAT diuraikan pada Tabel 2.4 berikut ini: Tabel 2.3 NOPAT Operating Approach NOPAT OPERATING APPROACH Net Sales COGS Depreciation Selling General & Administrative Deffered taxes reserve LIFO reserve Cummulative goodwill amortization (Net) Capitalized intangibles Full cost reserve Unusual Loss/ Gain Bad Debt Reserve Inventory obsolescence reserve Warranty reserve Deffered income reserved Increase in equity equivalent Operating expenses Adjusted net operating profit Other Income NOPBT Cash operating taxes NOPAT operating approach xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx (Sumber: Stewart, 1991, p.93) 2.6. Modal Modal atau capital adalah seluruh kas yang ada tanpa diperhatikan dari mana sumber pembiayaannya, apakah itu dari hutang (debt) ataupun dan modal sendiri (equity), serta tanpa diperhatikan pula apakah ia digunakan untuk modal kerja (working capital) ataupun untuk pembelian aktiva tetap (fixed asset). Modal dapat juga dijabarkan sebagai modal yang diinvestasikan (invested capital) yaitu jumlah seluruh keuangan perusahaan (firm’s fiinancing) yang sudah terlepas dari kewajiban jangka pendek, yang tidak menanggung bunga (Non-Interest Bearing Current Liabilities, NIBCLs) seperti hutang usaha, upah yang akan jatuh tempo (accrued wages) dan pajak yang akan jatuh tempo (accrued taxes). Maka demikian modal yang diinvestasikan (invested capital) sama dengan merupakan jumlah seluruh ekuitas pemegang saham dan seluruh hutang jangka pendek maupun panjang yang menanggung bunga serta kewajiban jangka panjang lainnya, menurut Young dan O’Byrne (2001, p.43). Pernyataan Young dan O’Byrne di dukung oleh Stanley Paulo (2002) terkait dengan modal perusahaan dalam Journal of Managerial Issues bahwa EVA lebih relevan dibanding dengan pendapatan operasional bagi publik untuk menilai kinerja dari suatu perusahaan karena adanya perhitungan biaya modal yang diinvestasikan. 2.6.1. Menghitung Modal Dengan Pendekatan Finansial Dengan pendekatan finansial perhitungan modal diawali dan nilai ekuitas (common equity). Untuk membebaskan dari pengaruh hutang maka semua nilai hutang yang mengandung beban bunga (interest-bearing debt) termasuk nilai sekarang dari leasing yang tidak dikapitalisasi, ditambahkan ke nilai ekuitas (common equity). Leasing dianggap ekuivalen dengan hutang karena walaupun tidak perlu dikapitalisasi untuk keperluan pencatatan akuntansi tetapi jika manajemen menggunakan aset hasil leasing tersebut secara permanen maka harus dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai ekuivalen aset dan hutang sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.87). Pada tahap perhitungannya dapat dijelaskan sebagai berikut: MODAL_______________________ = Nilai ekuitas + Hutang (dan nilai sekarang leasing) Untuk menyesuaikan ekuitas, maka perlu menambah ekuitas saham preferen dan hak minoritas kedalam modal sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.90), dengan tujuan menghilangkan distorsi finansial . Pada tahap ini perhitungannya adalah: MODAL____________________ = Nilai ekuitas + Hutang + Saham preferen + Hak minoritas atas aktiva bersih Terakhir untuk menghilangkan distorsi akuntansi dilakukan dengan mengkonversi sistem pencatatan akuntansi akrual (accrual accounting) ke sistem pencatatan akuntansi berbasis kas dan dari successfull effort ke full cost accounting serta menambahkan cadangan yang ekuivalen dengan ekuitas (equity equivalent reserve) ke modal sehingga akan menambah nilai buku akuntansi menjadi nilai buku ekonomis. Cadangan equity equivalent yang perlu ditambahkan adalah seperti LIFO (Last In First Out) reserve, deferred income tar reserve, akumulasi amortisasi goodwill, kapitalisasi biaya research and development (R&D) serta cumulative unusual losses, less gains, after taxes sebagaimana diterangkan Stewart (1991, p.91). Perhitungannya akan menjadi: MODAL_______________________ = Nilai ekuitas + Hutang (dan nilai sekarang leasing ) + Saham preferen + Hak minoritas atas aktiva bersih + Equity equivalent Dapat diuraikan lagi, cara perhitungan modal dengan pendekatan finansial adalah sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.5 berikut ini: Tabel 2.4 Capital Financing Approach CAPITAL FINANCING APPROACH Short-term debt Long-term debt Other long-term debt Total debt Minority interest of subsidiaries Total equity Equity equivalent Deffered taxes reserve LIFO reserve Goodwill amortization (Net) Capitalized intangibles Full cost reserve Unusual Loss/ Gain Bad Debt Reserve Inventory obsolescence reserve Warranty reserve Deffered income reserved xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx Capital financing approach (Sumber: Stewart, 1991, p.92) 2.6.2. Menghitung Modal dengan Pendekatan Operasional Dalam pendekatan operasional, modal pada dasarnya adalah Net Working Capital (NWC) ditambah Net Fixed Assets (NFA), dimana NWC sendiri merupakan current asset yang sudah terbebas dan Non-Interest Bearing Current Liabilities (NIBCLs). Dengan demikian maka untuk menghitung modal diawali dari current asset atau aktiva lancar yang dikurangi dengan kewajiban lancar yang tidak menanggung bunga atau NIBCLs, menambahkan NFA berupa Net Property, Plant and Equipment (net PPE) dan kemudian dilakukan penyesuaian menyangkut equity equivalent dengan menambahkan bad-debt reserve ke receivables, LIFO reserve ke akun persediaan, nilai sekarang dari leasing yang tidak dikapitalisasi ke akun net PPE, akumulasi amortisasi goodwill ke akun goodwill serta net capitalized intangibles seperti biaya R&D yang dikapitalisasi dan biaya pemasaran yang dikapitalisasi sebagaimana dari yang diterangkan Stewart (1991, p.93 dan p.112). Perhitungannya adalah: MODAL_____________________ = Current asset - NIBCLs_____________________ = Net PPE + Bad-debt reserve + LIFO reserve + Present value of non-cap. lease + Gross goodwill + Net capitalized intangibles Dapat dijabarkan, cara perhitungan modal dengan pendekatan operasional adalah sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.6 berikut ini: Tabel 2.5 Capital Operating Approach CAPITAL OPERATING APPROACH Operating cash Net receivables Net inventory LIFO reserve xxx xxx xxx xxx Other current assets Adjusted current assets Account Payable Accrued expenses Income taxes payable NIBCLs Net working capital xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx Net property plant & equipment PV of non-cap leases Adjusted property plant & equipment xxx xxx Goodwill Cummulative goodwill amortization Gross goodwill xxx xxx Other assets Other equity equivalent Unrecorded goodwill LIFO reserve (Net) Capitalized intangibles Full cost reserve Cummulative Unusual Loss/ Gain Bad Debt Reserve Inventory obsolescence reserve Warranty reserve Deffered income reserved Capital operating approach xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx (Sumber: Stewart, 1991, p.93) 2.7. Biaya Modal (Cost Of Capital) Raphael Amit dan Christoph Zott mengatakan dalam Strategic Management Journal tahun 2001 bahwa: “A firm's resources and capabilities 'are valuable if, and only if, they reduce a firm's costs or increase its revenues compared to what would have been the case if the firm did not possess those resources' (Barney, 1997: 147)”. Biaya modal adalah tingkat pengembalian (return) minimal yang diharapkan oleh penyandang dana, jika dana tersebut diinvestasikan ditempat lain dengan resiko yang sebanding. Dikatakan demikian karena return tersebut harus bisa diperoleh perusahaan agar dapat memenuhi break even point atas modal yang diinvestasikan. Berarti itu mencerminkan resiko yang dihadapi penyandang dana dalam melakukan investasinya. Dengan kata lain biaya modal merupakan biaya kesempatan (opportunity cost) dan biaya ini didasarkan pada sesuatu yang diharapkan, bukan pada pengembalian historis. Perusahaan biasa akan melakukan pengujian biaya modal dari kombinasi hutang, saham biasa dan saham istimewa yang tujuannya adalah menentukan struktur pembiayaan yang paling murah sehingga akan memaksimumkan nilai dari perusahaan. Selain itu perhitungan biaya modal diperlukan dalam menentukan investasi, dapat dijelaskan apabila suatu investasi memiliki future value dari future cash flow yang didiskon dengan cost of capital perusahaan melebihi biaya dari investasi maka investasi tersebut akan diterima. Biaya modal berkaitan erat dengan struktur modal atau struktur keuangan perusahaan karena lazimnya perusahaan memiliki kebijakan tertentu dalam menentukan rasio antara hutang (debt) dan ekuitas (equity) atau modal sendiri. Jadi bergantung juga kepada seberapa banyak dan masing-masing itu dimiliki dalam struktur modal. Hubungan itu semua kemudian digabungkan (blended) dalam biaya modal rata-rata tertimbang atau Weighted Average Cost of Capital (WACC) yang dalam perhitungannya harus melibatkan biaya modal atas hutang dan biaya modal atas ekuitas. Pernyataan dari Charles B. Stabell dan Oystein D. Fjeldstad dalam Strategic Management Journal (1998), yaitu: “The cost behavior of value activities is determined by structural factors that are defined as cost drivers. Identification of structural factors provides a heuristic for assessing the cost behavior and cost economics of the value activities for a firm. The relative importance and absolute magnitude of cost drivers will vary from industry to industry and from firm to firm. Exploiting and shaping these structural factors is a main source of competitive advantage”. Terkait dengan penjelasan biaya modal di atas, dikatakan oleh Laurent L. Jacque dan Paul M. Vaaler dalam Journal of International Business Studies (2001) bahwa: “Unlike similar conventional accounting measures of profit derived from an individual firm's income state- ment EVA first takes into account the cost of all capital, that is not only the cost of debt capital (readily visible as interest expense in the income state- ment) but also the cost of equity capital. Second, EVA is not constrained by generally accepted accounting principles ("GAAP") thereby allowing managers to capitalize R&D, marketing, training and related costs into the asset base committed to the profitgenerating project”. 2.7.1. Biaya Modal atas Hutang (Cost of Debt) Komponen dari biaya hutang adalah tingkat bunga yang harus dibayarkan perusahaan atas obligasi yang dikeluarkan maupun yang diterima perusahaan. Tidak semua hutang mengandung bunga, jadi biaya hutang terdiri dari hutang yang mengandung biaya bunga. Cost of debt (rd) adalah yang paling mudah diverifikasi (verify) yaitu berupa tingkat suku bunga yang diminta oleh kreditur atas sejumlah dana yang dipinjamkan kepada perusahaan. Adanya hutang oleh perusahaan menyebabkan pajak yang dibayarkan lebih kecil, karena bunga merupakan tax deductible expenses. Artinya biaya hutang adalah beban bunga setelah dikurangi bagian penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan akibat adanya hutang. Biaya hutang setelah pajak adalah sebagai berikut: rd = rd (1-T) Dimana, rd = Biaya hutang sebelum pajak T = Tingkat pajak Cara lain adalah, jika perusahaan mengeluarkan obligasi sebagai sarana pembiayaannya maka untuk menghitung cost of debt adalah dengan melihat kepada yield to maturity (tingkat keuntungan yang diperoleh jika obligasi dipegang sampai saat jatuh tempo) dan obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Atau jika obligasi perusahaan memiliki rating maka kita dapat memakai perkiraan tingkat suku bunga dan yang diberikan oleh obligasi perusahaan lain dengan rating sejenis. 2.7.2. Biaya Modal atas Ekuitas (Cost of Equity) Penambahan modal perusahaan dapat berasal dari dua sumber yaitu internal maupun eksternal. Pembiayaan melalui kedua cara tersebut memiliki tingkat biaya yang merupakan biaya dari saham biasa. Tingkat biaya ekuitas adalah tingkat pengembalian yang sama dengan tingkat pengembalian terbaik dari investasi yang mungkin dilakukan. Tingkat biaya ekuitas merupakan biaya dari internal ekuitas yang harus ditanggung oleh perusahaan. Menurut Young dan O’Byrne (2001, p.161) bahwa Cost of equity lebih abstrak karena bukan merupakan cash-to-cash yield yang mudah diamati atau pada tingkat yang paling sederhana, bahwa investasi ekuitas adalah lebih beresiko bagi seorang investor dibandingkan meminjamkannya kepada perusahaan yang sama maka biaya ekuitas sepatutnya mencakup suatu premi resiko diatas yang dibayarkan perusahaan kepada pemberi pinjamannya. Masalahnya bahwa tidak dapat diamati secara langsung tingkat kebutuhan pengembalian ini karena berbeda dengan kasus dalam pembiayaan hutang dimana sebuah kontrak akan menentukan syarat-syarat pembayaran kembali termasuk tingkat suku bunga. Penyelesaiannya adalah mencoba berasumsi mengenal seberapa besar yang dituntut investor dengan cara mengamati perilaku pasar modal. Caranya memerlukan suatu model dari bagaimana suatu aktiva beresiko seperti saham dalam perusahaan bisnis dihargai oleh pasar modal. Model yang paling populer untuk tujuan ini disebut model Capital Asset Pricing Model (CAPM). CAPM dikembangkan secara independen oleh Profesor William Sharpe dan Universitas Standford dan John Lintner dari Universitas Harvard dengan mengacu terhadap teori keuangan sebelumnya oleh James Tobin dan Harry Markowitz. CAPM bergantung kepada tiga hal yaitu tingkat pengembalian tanpa resiko atau risk free rate (rf), premi resiko pasar atau Market Risk Premium (MRP) dan faktor resiko berupa koefisien beta (β). MRP sendiri adalah selisih antara tingkat pengembalian pasar saham (rm) dengan tingkat pengembalian tanpa resiko (rf). Koefisien beta (β) merupakan ukuran tingkat resiko sistematis suatu sekuritas dibandingkan dengan pasar. Beta pasar dinyatakan dengan angka 1, sekuritas yang memiliki resiko tinggi memiliki beta lebih besar dari 1 (β > 1), sedangkan sekuritas dengan resiko yang lebih rendah, memiliki beta lebih kecil dari 1 (β < 1). Suatu beta (β) perusahaan ditentukan oleh tiga variable yaitu: Tipe bisnis dimana perusahaan berada. Degree of operating leverage dalam perusahaan. Tingkat hutang perusahaan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan estimasi Market risk Premium (MRP): Perbedaan keadaan ekonomi, risk premium akan lebih tinggi pada Negara yang ekonominya tidak stabil, seperti pada Negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan Negara maju. Resiko politik, besaran risk premium akan lebih tinggi pada Negara yang mempunyai keadaan politik yang tidak stabil, karena hal itu berdampak pada ketidakstabilan ekonomi. Struktur pasar, jika suatu pasar modal diisi oleh perusahaan-perusahaan yang besar, jenis perusahaannya sangat terdiversifikasi dan stabil maka risk premium untuk berinvestasi saham akan lebih rendah. Semakin banyak perusahaan kecil dan beresiko di pasar modal maka risk premium-nya akan meningkat. Dengan pendekatan model ini maka cost of equity (re) dapat dicari melalui penjumlahan tingkat pengembalian tanpa resiko dengan perkalian antara faktor resiko dengan premi resiko pasar, dapat dirumuskan dengan persamaan: re = rf + β (rm – rf) re = rf + β (MRP) dimana, re = Cost of equity rf = Risk free rate β = Faktor resiko berupa koefisien beta MRP = Market Risk Premium 2.7.3. Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang (WACC) Tingkat biaya modal rata-rata tertimbang (rWACC) merupakan tingkat biaya gabungan keseluruhan dan sistim pembiayaan yang digunakan oleh perusahaan, yang menggambarkan tingkat pengembalian investasi minimum yang harus dicapai untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh kreditor dan pemegang saham. Dengan demikian maka perhitungannya akan mencakup cost of debt dan cost of equity serta bobot atau proporsi dan masing-masing dalam struktur modal sebagaimana diterangkan menurut Young dan O’Byrne (2001, p.163). Adapun pernyataan lain mengenai WACC adalah: “The WACC, or Weighted Average Cost of Capital, includes the number of units issued, as with the earlier simpler calculations, but adds in the price of the units sold and the amount of annual payout they are burdened with. The higher the unit price and the lower the distribution the unit has to make, the lower the yield they have to pay out to investors, which is a true estimate of the cost of capital. The same calculation is done with the debt”. (Anonymous, 2004) Persamaan dari WACC adalah: rWACC = [{D/(E+D)}rd(1-T)] + {E/(E+D)}re Dimana, rWACC = Tingkat biaya modal rata-rata tertimbang E = Equity atau modal sendiri atau ekuitas D = Debt atau hutang E/(E+D) = Bobot atau proporsi dan ekuitas D/(E+D) = Bobot atau proporsi dan hutang re = Biaya modal atas ekuitas rd = Biaya modal atas hutang T = Tax rate atau tingkat pajak penghasilan yang berlaku rd (1 -T) = Biaya modal atas hutang setelah pajak 2.8. Capital charge Capital charge merupakan total biaya modal (total costs of capital) yaitu tingkat biaya modal rata-rata tertimbang (rWACC) dikalikan dengan modal yang diinvestasikan. Capital charge adalah biaya modal yang memperhitungkan biaya kewajiban yang harus dibayarkan kepada para kreditor, serta biaya ekuitas yang seharusnya dibayarkan kepada para pemegang saham. Selama ini dalam akuntansi konvensional biaya ekuitas ini tidak tercermin dalam perhitungannya. Jika Capital charge lebih kecil dari NOPAT maka terdapat nilai tambah ekonomis EVA. Dalam perhitungannya dapat dirumuskan: Capital charges = WACC x invested capital dimana, WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang, mencakup cost of debt dan cost of equity serta bobot atau proporsi dan masing-masing struktur modal. Invested capital = Modal yang diinvestasikan, jumlah seluruh keuangan perusahaan terlepas dari kewajiban jangka pendek yang tidak menanggung bunga (non-interest bearing current liabilities/NIBCLs). Menurut Young dan O’Byrne (2001, p.43) mengenai invested capital adalah penjabaran dari modal, sebagai modal yang diinvestasikan (invested capital) yaitu jumlah seluruh keuangan perusahaan (firm’s financing) yang sudah terlepas dari kewajiban jangka pendek, yang tidak menanggung bunga (non-interest bearing current liabilities, NIBCLs) seperti hutang usaha, upah yang akan jatuh tempo (accrued wages) dan pajak yang akan jatuh tempo (accrued taxes). Maka, invested capital sama dengan merupakan jumlah seluruh ekuitas pemegang saham dan seluruh hutang jangka pendek maupun panjang yang menanggung bunga serta kewajiban jangka panjang lainnya. Dimana dikatakan oleh John C. Groth dalam jurnal MCB University Press (2006) bahwa: “EVA is a currently-popular term that refers to a principle that has existed for centuries. Generating an economic rate of return on capital that exceeds the required rate of return on invested capital results in EVA”. 2.9. Analisis Regresi Analisis regresi merupakan salah satu dari ilmu statistik yang memberikan penjelasan tentang 2 variabel atau lebih, dimana diantara variabel-variabel tersebut memiliki hubungan atau tidak. Yang dimaksud dengan hubungan adalah berbanding lurus atau sebaliknya, atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali. Dan bagaimana penekanan hubungan antar variabel tersebut, signifikan atau tidak. Menurut Stephan dan Berenson (2005, p.512): “Regression analysis is used primarily for the purpose of prediction. In addition to prediction, regression analysis is use to study the relationship between a dependent variable and an independent variable and to quantify the effect that changes in the independent variable have on the dependent variables”. “Simple linear linear regression is a statistical technique that uses a single numerical independent variable X to predict the numerical dependent variable Y.” Simple Linear Regression Model: Yi = β0 + β1Xi + ei Where, β0 = Y intercept for the population β1 = Slope for the population ei = random error in Y for observation Terkait dengan analisis regresi dengan penelitian ini adalah maksud dari SternStewart mengembangkan EVA untuk menggabungkan dua prinsip dasar keuangan ke dalam pengambilan keputusan mereka. Pertama adalah bahwa tujuan keuangan utama adalah perusahaan haruslah memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Kedua adalah bahwa nilai suatu perusahaan tergantung pada sejauh mana investor berharap laba di masa depan melebihi atau kurang dari biaya modal. Menurut definisi, peningkatan EVA secara terusmenerus akan membawa peningkatan nilai pasar bagi perusahaan yang berdampak pada peningkatan pada kekayaan pemegang saham. (DeMello, 2006, p.132)\ Meskipun begitu, Robert Ferguson, Joel Rentzler, dan Susana Yu mengatakan dalam jurnal Applied Finance (2005) bahwa: “There is insufficient evidence to conclude that poorstock performance leads firms to adopt EVA or that adopting EVA improve stock performance. Firms that adopt EVA appear to have above average profitability relative to theirpeers. There is some evidence that EVA adopters experience increase profitability relative to their peers”. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Madhav V. Rajan dalam Journal of Accounting Research tahun 2000 menyatakan bahwa: “Value-added contributed by using EVA as a measure for evaluating managerial performance. A key finding is that this expression can be restated as a function of the observed correlations of each of the metrics with stock price”. “In support of the theoretical result, the authors find a positive associa- tion, after controlling for other factors such as size, leverage, and growth opportunities. For the rest of my discussion, I will focus first on the theoretical aspects”. Begitu pula yang dikatakan oleh Gerald T. Garvey dan Todd T. Milbourn dalam Journal of Accounting Research (2000), menyatakan: “We find that the simple correlation between EVA or earnings and stock returns is a reasonably reliable guide to its value as an incentive contracting tool. That is, a firm could reasonably gauge the merits of adding a measure like EVA by examining its correlation with the firm's stock price. This is not because stock returns are themselves an ideal performance measure; rather it is because correlation places appropriate weights on both the signal and noise components of alternative measures. We then calibrate the theoretical improvement in incentive contracts from optimally using EVA in addition to accounting earnings. Specifically, we empirically estimate the "value-added" of EVA by firm and industry. These estimates are positive and significant in predicting which firms have actually adopted EVA as an internal perfomance measure”. “Compared to such common performance measures as return on capital, return on equity, growth in earnings per share, and growth in cash flow, EVA has the highest statistical correlation with the creation of value for shareholders”. Dari penjelasan di atas, bisa dikatakan EVA mempunyai korelasi hubungan dengan nilai harga saham. Namun, perlu dilakukan analisis regresi untuk mendukung pendapat SternStewart dan tokoh-tokoh lain di atas yang mendukung pendapat tersebut. Karena ada penelitian di dalam negeri yang dilakukan oleh Noer Sasongko dan Nila Wulandari yang melakukan penelitian untuk menguji kembali pengaruh EVA (Economic Value Added) dan rasio-rasio profitabilitas yang diukur dengan ROA (Return on Asset), ROE (Return on Equity), ROS (Return on Sales), EPS (Earning Per Share), dan BEP (Basic Earning Power) terhadap harga saham perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta untuk periode 2001-2002. Dimana hasil uji t parsial menunjukkan bahwa return on asset, return on equity, return on sale, basic earning power, dan economic value added tidak berpengaruh terhadap harga saham. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji t yang ditolak pada taraf signifikansi 5% (p>0,05). Artinya ROA, ROE, ROS, BEP, dan EVA tidak dapat digunakan untuk menentukan nilai perusahaan. (Noer Sasongko dan Nila Wulandari, 2006) Penelitian di luar negeri juga dilakukan oleh Gary C. Biddle, Robert M. Bowen, dan James S. Wallace dalam jurnal Managerial finance (1998) yang menyimpulkan bahwa: “EVA has become the rapidly rising mantra of share holder wealth creation. The popular press bandies about bold claims and anecdotal evidence proclaiming its beneficial effects. A natural question to ask is whether these claims are supported by empirical evidence. However, clear evidence is still lacking that these effects have, in fact, translated into in creased share holder value. This is the subject of ongoing investigation”. Penelitian lain yang dilakukan oleh Baddarruzaman Anshari dengan judul “Analisis Hubungan Struktur Modal dengan Economic Value Added (EVA) guna menilai Kinerja Perbankan (Studi Kasus Saham Lima Bank Terbesar Berdasarkan Aset dan Modal di BEJ tahun 2003–2004)” yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perubahan proporsi saham dengan perubahan EVA. Namun, nilai korelasi menunjukkan pengaruh positif antara perubahan saham dengan perubahan EVA. (Anshari, 2005) Selain penelitian-penelitian di atas, dikatakan oleh Stephen P Keef dan Melvin L Roush dalam jurnal Agribusiness (2003) bahwa: “Economic value added, which we have conceptualized as economic profit, is an enigma. We have illustrated that the underlying theoretical construct shares, at best, a tenuous link with stock market performance. The empirical literature, see, for example, Turvey et al. (2000), Bacidore et al. (1997), and Biddle et al. (1997), shows that the signal contained in economic value added is no better than the signal contained in the conventional profit figure”. Pernyataan lainnya adalah seperti yang dijelaskan dalam CGA Magazines (1999) oleh Michael Senyshen bahwa: “Economic value added (EVA) is a shareholder value analysis technique developed by SternStewart & Co. that is being adopted by firms wishing to enhance returns for their investors. It is a financial performance measurement that focuses on whether a firm is making enough profit not only to cover operating expenses, but also the cost of capital. EVA's popularity is due to its relationship with share prices. However, not all researchers have found a strong correlation between EVA and stock prices”. (Senyshen, 1999) Oleh karena itu, beberapa penerapan EVA memiliki hasil yang cukup beragam dalam mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. Sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap masing-masing perusahaan yang ingin di analisa.