1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sampai saat ini, pengobatan terhadap penyakit degeneratif seperti myocardial infarction, Parkinson’s, dan diabetes masih terus dikembangkan. Timbulnya penyakit degeneratif tersebut disebabkan adanya sel-sel yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena mengalami kerusakan atau kematian. Alternatif pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan terapi sel untuk menggantikan sel-sel yang rusak dalam tubuh dengan sel-sel yang secara fungsional dapat menggantikan sel-sel yang rusak tersebut (Doss et al. 2004). Salah satu sumber sel yang dapat digunakan sebagai terapi sel adalah stem cell atau sel punca, yang dengan kondisi tertentu dapat berkembang menjadi sel-sel khusus yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik menggantikan sel-sel yang rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya (NIH 2001; Mummery et al. 2002). Beberapa penyakit yang telah terbukti dapat disembuhkan dengan terapi sel punca pada mencit dan hewan laboratorium lainnya diantaranya adalah: myocardial infarction, hati (Guasch & Fuchs 2005), Alzheimer, diabetes, dan Parkinson (Doss et al. 2004). Sel punca adalah sel-sel yang belum berdiferensiasi serta memiliki kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dengan fungsi yang lebih spesifik. Kemampuan tersebut disebabkan adanya daya plastisitas yang dimilikinya (Yu & Thomson 2006). Sampai saat ini telah dikenal tiga jenis sel punca, yaitu embryonic stem cells (ESC), adult stem cells, dan embryonic germ cells. Salah satu jenis sel punca yang sering digunakan untuk penelitian biomedis adalah ESC, merupakan sel punca yang berasal dari inner cell mass (ICM) embrio tahap blastosis (Wobus & Boheler 2005). Setelah dikultur dan dikembangkan pada kondisi yang sesuai, ICM akan menghasilkan sel punca yang belum berdiferensiasi dan bersifat pluripoten, yaitu memiliki kemampuan untuk berproliferasi, dan dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel tubuh, termasuk menjadi cardiomyocyte (sel otot jantung). Sel-sel tersebut dapat digunakan dalam terapi sel untuk mengatasi penyakit degeneratif seperti myocardial infarction (Passier & Mummery 2005; Smits et al. 2005). 2 Kerangka Pemikiran Penelitian pemanfaatan ESC untuk menggantikan cardiomyocyte yang rusak telah banyak dilakukan, terutama dengan menggunakan mencit sebagai model (Murashov et al. 2005). Beberapa metode yang telah dikembangkan untuk mengarahkan perkembangan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, antara lain dengan penambahan faktor pertumbuhan (seperti retinoic acid, activin-a, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor (Schuldiner et al. 2000), transforming growth factor-β dan bone morphogenic protein 2 (Behfar et al. 2002), dimethy sulfoxide (Singla et al. 2005), cardiogenol C (Parker 2004)) dan atau penggunaan conditioned medium (Miwa et al. 2003). Conditioned medium (CM) yang dimaksud merupakan medium yang didapat dari kultur primer cardiomyocyte yang berasal dari jantung mencit umur 1-3 hari, dan dilaporkan telah digunakan dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte karena mudah dalam pembuatannya dan lebih ekonomis. Penggunaan CM tersebut pada kultur pengarahan ESC dapat meningkatkan jumlah cardiomyocyte yang terbentuk, karena di dalam CM terdapat faktor pertumbuhan (protein) serta lingkungan kultur primer yang mendukung pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte (Miwa et al. 2003). Penambahan faktor pertumbuhan dalam memproduksi CM untuk pengarahan ESC telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dari CM untuk pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte, sehingga jumlah cardiomyocyte yang didapatkan akan lebih meningkat (Behfar et al. 2002). Leukemia inhibitory factor (LIF) dapat dijadikan sebagai alternatif faktor pertumbuhan yang dapat ditambahkan dalam memproduksi CM, karena penambahan LIF pada kultur primer cardiomyocyte dapat meningkatkan sintesis protein dari cardiomyocyte dalam kultur primer tersebut (Kodama et al. 1997). Namun demikian, hal itu masih perlu dibuktikan lebih lanjut dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte dengan penggunaan CM yang diberi penambahan LIF pada pengarahan ESC tersebut. Berdasarkan pemikiran di atas, dalam penelitian ini dilakukan analisis pengaruh penggunaan LIF terhadap kemampuan CM dalam peningkatan pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte. Adapun ESC yang digunakan dalam penelitian ini adalah ESC yang berasal dari mencit. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan LIF terhadap kemampuan CM dalam pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendapatkan kondisi yang optimal dan efisien dalam pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte. Aplikasi pengarahan ESC mencit ini juga dapat dikembangkan sebagai model dalam penelitian medis, terutama yang berhubungan dengan myocardial infarction. Hipotesis Penelitian Pada penelitian ini diajukan hipotesis bahwa penambahan LIF pada kultur primer cardiomyocyte mencit neonatal dapat meningkatkan kemampuan CM dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte.