Catatan RAPBN 2012: "Menuju Fiskal Yang Pro

advertisement
Catatan RAPBN 2012: "Menuju Fiskal Yang Pro Growth?"
Rabu, 14 September 2011 23:41
Pemerintah telah mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) 2012. Kesan pertama muncul ketika membaca RAPBN 2012 adalah RAPBN ini lebih
komprehensif dan lebih detil dibandingkan APBN tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah
tampaknya ingin menampilkan pesan bahwa APBN lebih transparan terkait dengan posisi fiskal
kita. Sebagai misal, RAPBN 2012 membahas detil anggaran setiap kementerian dan lembaga
negara, tak terkecuali DPR. RAPBN 2012 juga menampilkan secara informatif tentang postur
anggaran daerah (APBD). Tentunya, ini perlu diapresiasi karena pemerintah mengajak publik
agar dapat memahami secara utuh posisi fiskal kita.
APBN Kita: Pro Growth?
Berdasarkan RAPBN 2012 tersebut, penulis berkesimpulan bahwa APBN kita sejatinya belum
sepenuhnya mendukung pencapaian tema yang selalu diusung pemerintah: pro growth. Untuk
membuktikan kesimpulan ini, analisis berikut akan menjelaskannya.
Pertama, Belanja Pemerintah Pusat (BPP) masih didominasi Belanja Pegawai. Sebagai misal,
pada APBN-P 2011, komponen Belanja Pegawai mencapai Rp182,9 trilyun atau 20,14% dari
BPP. Kecenderungannya pun terus meningkat. Bila pada 2006, porsi Belanja Pegawai terhadap
PDB sebesar 2,2%, pada 2011 mencapai 2,5% terhadap PDB. Sementara itu, sekalipun trenya
terus meningkat, pangsa Belanja Modal terhadap BPP hanya 15,5% terhadap BPP. Sementara
itu, pada RAPBN 2012, komposisi Belanja Pegawai terhadap BPP justru meningkat menjadi
22,6%, sekalipun Belanja Modal juga meningkat menjadi 17,6%.
Kedua, pada dasarnya BPP dibagi ke dalam dua kelompok: Belanja Kementerian/Lembaga
(KL) dan Belanja Non Kementerian/Lembaga (Non KL). Belanja KL adalah belanja yang
dikelola langsung oleh kementerian/lembaga, baik Belanja Pegawai, Belanja Barang, dan
Belanja Modal. Sedangkan, Belanja Non KL adalah belanja yang dikelola oleh Kementerian
Keuangan yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya terpusat, seperti subsidi
dan pembayaran utang pemerintah.
Dalam RAPBN 2012, komposisi Belanja Non KL ternyata lebih besar dibandingkan Belanja KL.
Padahal, Belanja KL sejatinya lebih memberikan manfaat lebih besar dibandingkan Belanja Non
KL. Belanja KL dipergunakan untuk kegiatan konsumsi dan investasi pemerintah yang dapat
memberikan efek langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Belanja Non KL
1/4
Catatan RAPBN 2012: "Menuju Fiskal Yang Pro Growth?"
Rabu, 14 September 2011 23:41
justru sebagian dinikmati oleh luar negeri (seperti pembayaran bunga utang pemerintah),
sedangkan subsidi sesungguhnya kurang produktif.
Dalam RAPBN 2012, dari total BPP sebesar Rp954,1 trilyun, alokasi Belanja KL mencapai
Rp476,6 trilyun atau 49,95% dari BPP, sedangkan Belanja Non KL mencapai Rp477,5 trilyun
atau 50,05% dari BPP. Dari total Belanja Non KL sebesar Rp477,5 trilyun, pembayaran bunga
utang pemerintah mencapai Rp123,07 trilyun atau 12,9% dari BPP dan subsidi mencapai
Rp208,9 triliun atau 21,9% dari BPP, dimana subsidi BBM mencapai Rp123,6 trilyun. Dengan
kata lain, sekitar 34,8% dari BPP sejatinya bukan merupakan anggaran yang dapat
memberikan kontribusi maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, kondisi yang lebih memprihatinkan justru terjadi di daerah. Perlu diketahui, dari total
Belanja Negara, setiap tahunnya sekitar 30% dialokasikan ke daerah dalam bentuk transfer.
Dalam RAPBN 2012 ini, dari total Belanja Negara sebesar Rp1.418,5 trilyun, sebesar Rp464,4
trilyun atau sekitar 32,74% dari Belanja Negara dialokasikan ke daerah.
Sayangnya, kualitas penyerapan anggaran daerah sangat rendah. Sebagian besar APBD
dipergunakan untuk membiayai operasional, seperti Belanja Pegawai. Sementara alokasi
Belanja Modal untuk menggerakkan perekonomian daerah justru sangat rendah. Sehingga,
tidak mengherankan kini desentralisasi fiskal banyak digugat karena hanya membebani
anggaran negara. Sebagai misal, pada APBD Propinsi 2011, komposisi masing-masing belanja
terhadap APBD adalah Belanja Pegawai (24,7%), Belanja Barang (26,3%), Belanja Modal
(20,7%), dan Lainnya (28,2%).
Kondisi yang lebih memprihatinkan justru terjadi di tingkat Kabupaten/Kota. Pada APBD 2011,
komposisi Belanja Pegawai justru mencapai 51,1% dari total APBD Kabupaten/Daerah seluruh
Indonesia. Sementara itu, Belanja Barang sebesar 18,2%, sedangkan Belanja Modal hanya
22,5%.
Berdasarkan analisis APBN di atas (baik di tingkat pusat dan daerah), APBN kita tampaknya
masih sulit untuk membawa perekonomian kita keluar dari perangkap (trap) pertumbuhan
ekonomi rendah. Oleh karenanya, bila tidak ada perubahan mendasar terhadap kebijakan fiskal
kita, rasanya sulit perekonomian Indonesia bisa tumbuh di atas 7%, sebagaimana yang
cita-citakan dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025.
2/4
Catatan RAPBN 2012: "Menuju Fiskal Yang Pro Growth?"
Rabu, 14 September 2011 23:41
Strategi Fiskal Ke Depan
MP3EI 2011-2015 telah mencanangkan suatu “gerakan” mewujudkan pertumbuhan ekonomi
tinggi (pro growth). Tentunya, untuk mewujudkan “gerakan” ini, kebijakan fiskal harus
menopangnya. Caranya, APBN harus mampu menjadi komponen investasi nasional.
Pengalaman negara-negara yang berhasil mencapai pertumbuhan tinggi, karena mereka
berhasil menjaga investasi di level tinggi. India dan China, misalnya, memiliki rasio investasi
terhadap PDB sekitar 40% per tahun. Sementara, Indonesia baru mencapai 30% pada tahun
2009. Itu pun dengan tingkat pertumbuhan yang relatif rendah.
Suatu studi menunjukkan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-9%
dibutuhkan dana investasi dari pemerintah (APBN) sekitar Rp240 trilyun per tahun. Mampukah
APBN kita mengalokasikan Belanja Modal sebesar ini? Tentu mampu, sepanjang ada
perubahan kebijakan mendasar dalam fiskal kita. Setidaknya, penulis mencatat tiga hal yang
perlu dilakukan terkait kebijakan fiskal kita. Pertama, pemerintah harus berani melakukan
reformasi reformasi birokrasi, seperti pemangkasan birokrat secara signifikan, baik di pusat dan
daerah. Tanpa langkah ini, rasanya sulit APBN kita bergerak ke pro investasi dan pro
grwoth
.
Kedua, pemerintah harus konsisten menjalankan kebijakan fiskal yang pro productive budget,
sekalipun tidak populer. Sebagai misal, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi beban
subsidi BBM secara bertahap. Komitmen ini telah terlihat pada APBN 2009, dimana subsidi
BBM hanya mencapai Rp45 trilyun, jauh di bawah APBN 2008 (Rp139,1 trilyun), APBN 2007
(Rp83,8 trilyun, dan APBN 2006 (Rp64,2 trilyun). Sayangnya, komitmen ini tidak berhasil dijaga.
Pada APBN 2010, subsidi BBM meningkat lagi menjadi Rp82,4 trilyun, APBN 2011 sebesar
Rp129,7 trilyun, dan pada RAPBN 2012 mencapai Rp123,6 trilyun.
Terlihat bahwa kebijakan alokasi fiskal kita masih relatif lebih berat di sektor yang tidak produktif
(cenderung konsumtif) dengan memperbesar subsidi BBM. Seandainya kebijakan fiskal kita
dapat konsisten mengurangi subsidi BBM, tentunya akan terdapat alokasi anggaran yang lebih
besar untuk belanja modal yang lebih produktif.
3/4
Catatan RAPBN 2012: "Menuju Fiskal Yang Pro Growth?"
Rabu, 14 September 2011 23:41
Ketiga, pemerintah harus mengupayakan pengurangan utang pemerintah secara signifikan
untuk mengurangi beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang pemerintah yang setiap
tahun meningkat. Jika berhasil mengupayakan ini tentunya, APBN kita bisa lebih fleksibel
dalam mengalokasikan anggarannya untuk membiayai kegiatan produktif. ***
*Analisis ini dimuat oleh Koran Tempo, Kamis, 25 Agustus 2011. Sunarsip adalah Ekonom
Kepala
The Indonesia Economic Intelligence (IEI),
Jakarta
4/4
Download