4 TINJAUAN PUSTAKA Habitat dan Penyebaran Nepenthes Tanaman kantong semar tersebar di beberapa bagian di dunia ini, antara lain Asia, Amerika dan Australia. Asia tenggara memiliki populasi terbesar dari tanaman ini. Kantong semar terdiri atas 7 genus dari famili-famili yang berbeda. Menurut Clarke (1997) genus terbesar adalah nepenthes dari famili Nepenthaceae yang tersebar dari Australia bagian utara sampai Asia tenggara dan China di bagian selatan. Spesies lain nepenthes terdapat di Srilanka, India, Seychelles, Madagaskar dan Kaledonia baru, akan tetapi populasi paling banyak terdapat di Borneo dan Sumatera. Dari tempat-tempat tersebut nepenthes banyak hidup di daerah-daerah tropis di dunia. Menurut Pietropaolo dan Patricia (1986) nepenthes dapat hidup pada habitat yang beraneka ragam mulai dari batu berkapur yang lembab, tanah yang berkadar garam tinggi di musim hujan maupun musim kering hingga rawa-rawa yang tergenang air sepanjang tahun. Nepenthes sebagai tanaman epifit dan tumbuh menjalar di atas permukaan tanah. Menurut Mansur (2006), N. mirabilis memiliki daya adaptasi lebih tinggi daripada N. gracilis dan jenis nepenthes lainnya. Jenis ini dapat hidup di berbagai habitat pada lahan basah maupun kering. Penyebaran N. mirabilis juga sangat luas di Asia Tenggara. Di Indonesia tumbuh mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Irian Jaya. N. mirabilis umumnya ditemukan tumbuh baik di bawah ketinggian 500 m di atas permukaan laut pada tanah podsolik merah, tanah liat, tanah gambut maupun tanah kapur. Tanaman ini juga sering tumbuh berdampingan dengan jenis nepenthes lainnya, khususnya N. reinwardtiana, N. gracilis, N. rafflesiana, N. ampularia, N. Bicalcarata, sehingga sering terjadi silang alami antara N. mirabilis dengan jenis nepenthes tersebut. 5 Botani dan Morfologi Nepenthes Menurut Mansur (2006), tanaman nepenthes termasuk kedalam Kerajaan Plantae, Filum Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Subkelas Dilleniidae, Ordo Nepenthales, Famili Nepenthaceae, Genus Nepenthes, Spesies Mirabilis. Gambar 1. Tanaman Nepenthes mirabilis Hidup Menyemak di Habitat Alaminya. (Druce, 2011) Nepenthes merupakan tanaman herba tahunan yang mempunyai batang dengan diameter lebih dari 2 inchi (5 cm). Pada beberapa spesies, panjang batang dapat mencapai 66 kaki (19.8 m). Batang merambat diantara semak belukar dan pohon atau dapat juga tergeletak begitu saja diatas permukaan tanah. Batang ini menunjukkan adanya variasi seperti bentuk batang membulat dan segitiga pada spesies tanaman yang sama (Pietropaolo dan Patricia, 1986). Batang tanaman ini merambat di atas permukaan tanah dan pohon atau dapat juga menyemak (Gambar 1). Bentuk batang dari tiap tanaman nepenthes berbeda tiap jenis spesiesnya. Batang berbentuk segitiga dimiliki oleh N. gracilis dan N. reinwardtiana; batang segi empat dimiliki oleh N. spathulata; dan batang bersudut dimiliki oleh N. adrianii. Batang ini berwarna hijau, kadang-kadang ungu tua atau merah tua. Daun kantong semar akan muncul pada ruas-ruas batang dengan jarak tetap, pada 6 ujung daun tersebut akan muncul sulur panjang dan tipis, sulur ini menjadi penopang ketika ia merambat ke pohon lain dan di ujung sulur inilah akan muncul kantong-kantong yang unik (Tim Redaksi Trubus, 2006). Daun nepenthes mempunyai helaian yang panjang berwarna hijau sampai hijau kekuningan dengan calon kantong terdapat di luar helaian daun keluar dari sulur berbentuk silinder dengan ukuran sama panjang atau lebih panjang dari daun. Ujung sulur yang berwarna kuning kehijauan berkembang menjadi kantong pada lingkungan yang sesuai (Pietropaolo dan Patricia, 1986). Tiap spesies tanaman nepenthes memiliki tipe kantong yang berbeda. Secara umum tanaman ini memiliki dua tipe kantong, kantong atas dan kantong bawah. Kantong bawah berbentuk roset biasanya memiliki mulut (peristome) yang lebar. Kantong roset muncul pada tanaman yang relatif muda atau yang sudah dipangkas. Kantong atas bentuknya cenderung menyerupai corong jika dibandingkan kantong bawah. Kantong atas menyimpan cairan dalam jumlah sedikit dibandingkan kantong bawah sehingga lebih ringan. Kantong tersebut muncul pada ujung sulur yang memiliki warna dan bentuk yang beragam. Kantong tertutup oleh penutup yang beraneka macam bentuknya pada awal pembentukan (Tim Redaksi Trubus, 2006). Biasanya serangga-serangga mendatangi kantong nepenthes karena tertarik oleh bentuk, warna dan aroma dari cairan nepenthes yang khas. Cairan ini berguna untuk menjebak serangga atau binatang kecil lainnya yang terbang mengerumuni, sehingga terjerumus masuk ke dalam kantong (Pudjiastuti et al., 1997). Cairan khas ini sebenarnya merupakan enzim protease (nepenthesin). Enzim ini dikeluarkan oleh kelenjar yang ada pada dinding kantong di zona pencernaan yang berfungsi sebagai enzim pengurai. Enzim ini juga dikenal sebagai enzim nepenthesin, bekerja dengan cara mengurai protein serangga atau binatang lain yang terperangkap di dalam cairan kantong menjadi zat-zat yang lebih sederhana, seperti nitrogen, fosfor, kalium dan garam-garam mineral (Gambar 2). Zat-zat sederhana inilah yang kemudian diserap oleh tanaman untuk kebutuhan hidupnya. Aktivitas enzim ini sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) cairan kantong, dan setiap jenis nepenthes memiliki nilai pH cairan yang berbeda-beda, umumnya di bawah 4 (Mansur, 2006). 7 Gambar 2. Kantong Pada Tanaman Nepenthes mirabilis. (Druce, 2011) Nepenthes termasuk jenis tanaman berumah dua.Bunga jantan dan betina terpisah pada tanaman yang berbeda. Bunga dihasilkan dari apex pada batang tanaman yang telah dewasa dan untuk menghasilkan biji pada tanaman ini dibutuhkan polen dari tanaman jantan untuk ditransfer ke stigma pada tanaman betina (Gambar 3). Fertilisasi dibantu oleh angin atau serangga. Ovary akan berkembang menjadi buah setelah fertilisasi berlangsung baik (Clarke, 1997). (A) (B) Gambar 3. Bunga Betina Tanaman Nepenthes (A) dan Bunga Jantan Nepenthes (B). (Druce, 2011) 8 Buah nepenthes membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk berkembang penuh hingga masak setelah masa fertilisasi. Ketika masak, buah akan retak menjadi empat bagian dan biji-bijinya akan terlepas. Penyebaran biji biasanya dengan bantuan angin. Kapsul buah nepenthes tersebut banyak yang rusak karena gigitan ngengat (Clarke, 1997). Biji yang dihasilkan tanaman nepenthes memiliki sayap yang panjangnya dapat mencapai 30 mm, sangat ringan dengan endosperm yang kecil. Terdapat lebih dari 500 biji dalam satu kapsul biji yang masak, tapi diantaranya banyak yang merupakan biji-biji steril. Kultur Jaringan Nepenthes Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Metode ini banyak mengalami perkembangan dan telah dipergunakan dalam industri tanaman. Dasar pemikiran teknik kultur jaringan adalah suatu konsep yang dinamakan totipotensi cell yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwan. Totipotensi artinya total genetic potential. Hal ini berarti di dalam tubuh multiselular, setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yang mampu memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (George dan Sherrington, 1984). Semua bagian tanaman dapat digunakan sebagai eksplan tetapi sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lebih lanjut sulit ditumbuhkan dibandingkan dengan sel-sel meristematik. Ukuran eksplan yang dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil akan mengurangi daya tahan tanaman ketika dikulturkan. Sementara bila terlalu besar akan sulit mendapatkan eksplan yang steril (Gunawan, 1992). 9 Penelitian tentang kutur jaringan tanaman karnivora khususnya nepenthes sudah banyak dilakukan di negara lain seperti Malaysia dan Australia, akan tetapi ketersediaan informasi tentang hasil-hasil penelitian kultur jaringan nepenthes masih sangat terbatas karena sebagian besar penelitian yang dilakukan hanya untuk produksi tanaman secara komersial. Rasco dan Maquilan (2005) mempelajari perkecambahan Nepenthes truncata secara in vitro. Salah satu perlakuan yang digunakan adalah penggunaan media yang berbeda. Media yang digunakan pada percobaan tersebut adalah MS, WPM dan KC masing-masing dengan konsentrasi penuh, ¾, ½ dan ¼ komposisi hara makro dan mikro media tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Hasil yang diperoleh terbaik pada peubah persentase inisiasi perkecambahan adalah pada perlakuan media ¼ komposisi hara makro dan mikro media WPM (17.5 %), sedangkan peubah rata-rata perkecambahan terbaik pada media MS (1.8 % perkecambahan per hari) dan peubah perkecambahan akhir terbaik pada media KC (95 %). Pada peubah bentuk kantong, kondisi daun dan panjang pucuk terbaik pada media ¼ komposisi hara makro dan mikro media KC, sedangkan pada media lainnya tanaman mengalami abnormalitas. Penelitian tentang pengaruh media terhadap pertumbuhan dan perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan sebelumnya oleh Sayekti (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik adalah ¼ komposisi hara makro dan mikro media KC dan ½ komposisi hara makro dan mikro MS, sedangkan menurut Alitalia (2008) inisiasi tunas tercepat didapatkan dengan pemberian BAP sebesar 1 mg/l. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan, menurut Wattimena et al. (1992), antara lain eksplan, media tanam, kondisi fisik media, zat pengatur tumbuh (ZPT) dan lingkungan tumbuh. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan kultur jaringan: 10 Eksplan Eksplan merupakan sebutan bagi bahan tanaman yang dikulturkan. Menurut Harjadi (1989) bagian tanaman yang digunakan menjadi eksplan mencakup ujung pucuk (shoot tips), irisan-irisan batang, daun, bunga, keping biji, akar, buah, embrio, meristem, pucuk apikal dan jaringan nuselar. Rasco dan Maquilan (2005) menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. truncata, Sayekti (2007) juga menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. mirabilis dan N. ampularia, sedangkan Alitalia (2008) menggunakan eksplan batang mikro pada studi pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro nepenthes mirabilis. Menurut Gunawan (1987) ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang daya tahan ketika dikultur, sedangkan bila ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan steril. Eksplan harus diusahakan agar dalam keadaan aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Melalui eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang axenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat dapat beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis dan embriogenesis. Organogenesis merupakan suatu proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar, sedangkan embriogenesis merupakan suatu proses terbentuknya embrio somatik. Embrio somatik yang terbentuk ini bukan dari zigot, melainkan dari sel somatik tanaman. Media Kultur Gunawan (1987) melaporkan bahwa keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media ini tidak hanya menyediakan unsur hara (makro dan mikro) tetapi juga karbohidrat (gula) sebagai sumber energi. Hasil yang lebih baik akan kita peroleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. 11 Umumnya media kultur jaringan tersusun atas komposisi hara makro, hara mikro, vitamin, gula, asam amino dan N-organik, persenyawaan kompleks alami (air kelapa, ekstrak ragi, jus tomat, dsb), bufer, arang aktif, zat pengatur tumbuh (terutama auksin dan sitokinin) dan bahan pemadat. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam kultur jaringan adalah pengaturan pH media. Tingkat keasaman media harus diatur supaya tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH sitoplasma (Gunawan, 1987). Gamborg dan Shyluk (1981) menambahkan bahwa sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam antara 5.5-5.8. Secara umum menurut Wiendi et al. (1991), pembentukan tunas in vitro baik melalui morfogenesis langsung maupun tidak langsung sangat bergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, an-organik dan zat pengatur tumbuh. Namun tidak berarti bahwa suatu kombinasi medium hanya untuk satu jenis tanaman. Penambahan agar-agar ke dalam media kultur bertujuan agar tekstur media menjadi lebih padat untuk menopang tanaman agar tetap berdiri tegak, jika media berbentuk cair, kultur harus selalu di goyang dengan shaker agar aerasi yang baik tetap terjaga, apabila media tidak digoyang, maka eksplan akan tenggelam seluruhnya yang dapat menyebabkan terjadinya kematian eksplan karena kondisi anaerobik (Wetherell, 1982). Menurut Alitalia (2008) media ½ komposisi hara makro dan mikro media MS dengan pemberian BAP hingga 1 mg/l terbukti mampu memberikan waktu inisiasi tunas (17.8 HST), waktu inisiasi daun (27.3 HST) dan waktu inisiasi kantong (41.4 HST) tercepat, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah kantong terbanyak tiap minggunya dan menghasilkan tanaman tertinggi (10.2 mm). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh mempunyai peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur, karena zat ini mengawali reaksi-reaksi biokimia dan mengubah komposisi di dalam media tanam. Sebagai akibat 12 pengubahan komposisi kimia, terjadilah pembentukan organ tanaman seperti akar, tunas, daun, bunga, dan lainnya (Wattimena, 1988). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan adalah sitokinin dan auksin. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level zat pengatur tumbuh sel. Auksin Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pembentukan tunas, merangsang pemanjangan sel, suspensi sel dan organ. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya tergantung atas tipe pertumbuhan yang dikehendaki, kandungan auksin endogen, dan kemampuan jaringan mensintesis auksin. Auksin yang secara alami terdapat dalam tumbuhan adalah Indole-3Acetic Acid (IAA). Bentuk-bentuk auksin eksogen yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur adalah 2.4-D, IBA, NAA, dan IAA. Zat pengatur tumbuh NAA merupakan ZPT yang sering digunakan dalam kultur jaringan. Jika penggunaan konsentrasi NAA lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin, maka dapat mempercepat inisiasi akar. Auksin dalam konsentrasi rendah akan memacu akar adventif sedangkan konsentrasi tinggi mendorong terbentuknya kalus (Pierik, 1987). Gambar 4. Struktur Molekul Naphthalene Acetic Acid (NAA). (National Center for Biotechnology Information, 2011) 13 NAA memiliki sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim. Anwar (2007) menyatakan bahwa NAA merupakan auksin sintetik yang sering digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah. Naphthalene Acetic Acid / Naphtyl Acetic Acid (NAA) memiliki bobot molekul 186.21 dengan rumus molekul C12H10O2 (Gambar 4). Pengaruh fisiologi auksin NAA terjadi pada pemanjangan sel dimana NAA merangsang pemanjangan sel dan juga akan berakibat pada pemanjangan koleoptil dan batang. Distribusi NAA yang tidak merata dalam batang dan akar akan menimbulkan pembesaran sel yang tidak sama disertai dengan pembengkakan organ. Sel – sel meristem dalam kultur kalus dan struktur organ juga tumbuh akibat pengaruh dari NAA. NAA umumnya menghambat pemanjangan sel jaringan akar kecuali pada konsentrasi yang sangat rendah. Sitokinin Kinetin merupakan sitokinin tiruan pertama kali yang ditemukan oleh Miller dan Skoog yang didapat dari DNA ikan Herring yang di autoclave dalam larutan yang asam. Kinetin mempunyai berat molekul 215.21 g/mol dengan rumus kimia C10H9N5O (Gambar 6). Kinetin biasa dipakai dalam kultur jaringan tanaman untuk induksi kalus dan untuk merangsang pertumbuhan tunas yang berasal dari kalus. Gambar 5. Struktur Molekul Kinetin. (Amasino, 2011) 14 Sitokonin adalah turunan dari adenin. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Wiendi et al. (1991) memperkuat gagasan tersebut dengan menyatakan bahwa pembelahan mitosis tidak akan terjadi tanpa sitokinin. Sitokinin terutama berperan dalam pembentukan benang gelendong. Ketika periode pembelahan sel dan pembesaran di dalam benih (embrio dan endosperma) sitokinin dibentuk dengan konsentrasi yang tinggi. Sitokinin mempercepat terjadinya sitokinesis (Bewley dan Black, 1994). Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, menginduksi pertumbuhan tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik, 1987). Sitokinin digunakan untuk merangsang pembentukan tunas dan memecah dormansi sel (Hartmann et al., 1997). Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan yaitu: kinetin (6furfuryl amino purine) (Gambar 5), zeatin, 2iP, BAP, PBA, 2C 1-4 PU, 2.6-C1-4 dan thidiazuron (TDZ). Penggunaan sitokinin dalam konsentrasi yang melebihi auksin dapat mempercepat inisiasi tunas, sedangkan jika keduanya digunakan dalam konsentrasi yang berimbang cenderung membentuk kalus. Gambar 6. Struktur Molekul 6-Benzyl amino purine (BAP). (National Center for Biotechnology Information, 2011) 6-Benzyl amino purine (BAP) merupakan sitokinin sintetik yang memiliki berat molekul sebesar 225.26 dengan rumus molekul C12H11N5 (Gambar 6). Wattimena (1988) menyatakan bahwa BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada posisi 6 adalah yang memiliki aktivitas kimia paling aktif.BAP