TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Tanaman padi menurut Steenis (1978) termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim: Graminae atau Glumiflorae), merupakan terna semusim, berakar serabut; batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang; daun sempurna dengan pelepah tegak, daun berbentuk lanset, warna hijau muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar, tertutupi oleh rambut yang pendek dan jarang; bunga tersusun majemuk, tipe malai bercabang, satuan bunga disebut floret, yang terletak pada satu spikelet yang duduk pada panikula. Satu set genom padi terdiri dari 12 kromosom. Padi adalah tanaman diploid, setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual). Hingga sekarang ada dua spesies padi yang dibudidayakan manusia secara massal: Oryza sativa yang berasal dari Asia dan O. glaberrima yang berasal dari Afrika Barat. Pada awal mulanya O. sativa dianggap terdiri dari dua subspesies, indica dan japonica (sinonim sinica). Padi japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, lemmanya memiliki "ekor" atau "bulu" (Ing. awn), bijinya cenderung membulat, dan nasinya lengket. Padi indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, lemmanya tidak ber-"bulu" atau hanya pendek saja, dan bulir cenderung oval sampai lonjong. Walaupun kedua anggota subspesies ini dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik (stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya siap reproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar dari palea dan lemma jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel telur tanaman yang sama (Daradjat dkk., (2001). Pemuliaan Tanaman Padi di Indonesia Usaha peningkatan produksi tanaman padi sering mengalami kendala baik yang bersifat biotik maupun yang bersifat abiotik. Kendala biotik dapat berupa serangan hama penyakit seperti misalnya serangan hama wereng. Sedangkan kendala abiotik dapat berupa tekanan dari lingkungan seperi misalnya cekaman air, kekurangan unsur hara atau tekan lingkungan lainnya. Jonharnas (2009) menyatakan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan hasil per satuan luas dapat ditempuh dengan menanam varietas unggul padi sawah dengan potensi hasil tinggi dan didukung oleh karakteristik low input, tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik dan berkualitas baik. Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan akan tipe varietas yang dihasilkan juga berbedabeda. Daradjat dkk., (2001) menggolongkan varietas padi sawah ke dalam empat tipe, yaitu tipe Bengawan (1943-1967), tipe PB5 (1967-1985), tipe IRxx (Multiple Resistance, 1977 – ...), serta tipe IR64 (1986-...) yang tahan hama dan penyakit utama serta bermutu baik. Menurut Harahap dkk., (1972), dalam Susanto dkk., (2003) persilangan padi di Indonesia dimulai pada tahun 1920-an dengan memanfaatkan gene pool yang dibangun melalui introduksi tanaman. Sampai dengan tahun 1960-an, pemuliaan padi diarahkan pada lahan dengan pemupukan yang rendah, atau tanaman kurang responsif terhadap pemupukan. Telah dilaporkan bahwa pelepasan varietas padi pertama kali dilakukan pada tahun 1943, yaitu varietas Bengawan. Varietas tipe Bengawan memiliki latar belakang genetik yang merupakan perbaikan dari varietas Cina yang berasal dari Cina, Latisail dari India, dan Benong dari Indonesia (Hargrove dkk., (1979) dalam Susanto dkk., (2003)). Karakteristik padi sawah tipe Bengawan menurut Daradjat dkk., (2001) adalah umur 140−155 hari setelah sebar (HSS), tinggi tanaman 145 −165 cm, tidak responsif terhadap pemupukan, rasa nasi pada umumnya enak, dan daya hasil sekitar 3,50−4 t/ha. Contoh varietas tipe Bengawan antar lain adalah Bengawan (1943), Jelita (1955), Dara (1960), Sinta (1963), Bathara (1965), dan Dewi Ratih (1969). Pada tahun 1967 dilepas dua varietas introduksi, yaitu PB8 (1967) dan B5 (1968) dengan potensi hasil 4,50 −5,50 t/ha. Selain dilepas langsung sebagai varietas unggul baru, varietas-varietas introduksi juga merupakan sumber gen untuk memperbaiki sifat-sifat varietas yang sudah ada. Persilangan varietas PB5 dengan Sinta menghasilkan Pelita I-1 dan Pelita I-2. Dari dua varietas yang disebut terakhir selanjutnya berkembang lagi sejumlah varietas baru seperti Cisadane dan Sintanur (Susanto dkk., 2003). Menurut Daradjat dkk., (2001), varietas tipe PB5 memiliki karakteristik umur sedang (135 −145 HSS), postur tanaman pendek -sedang (100−130 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (15−20), panjang malai sedang (75−125 butir/malai), responsif terhadap pemupukan , tahan rebah, daya hasil rata-rata sedang (4-5 t/ ha), serta rasa nasi antara pera sampai pulen. Contoh varietas tipe PB5 adalah Pelita I-1 (1971), Pelita I-2 (1971), Cisadane (1980), Cimandiri (1980), Ayung (1980), dan Krueng Aceh (1981). Pemuliaan Padi Sawah Tipe IRxx (Multiple Resistance) (1977 – ...) mengarah pada peningkatan ketahanan tanaman padi terhadap cekaman biotik dan abiotik. Varietas tipe IRxx menurut Daradjat dkk., (2001) memiliki karakteristik umur sedang (115−125 HSS), postur tanaman pendek sampai sedang (95-115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (15-20), panjang malai sedang (75-125 butir/malai), responsif terhadap pemupukan, daya hasil sedang (4-5 t/ha), tahan hama dan penyakit utama serta cekaman abiotik, serta rasa nasi antara pera sampai pulen. Contoh varietas/galur tipe IRxx untuk tahan wereng coklat biotipe 1 adalah IR26, IR28, IR29, IR30, IR34; tahan wereng coklat biotipe 2 adalah IR32, IR36, IR42, Kencana Bali, Kelara, Babawee, PTb 33; dan tahan wereng coklat biotipe 3 yaitu IR70, IR68, Bahbutong, Barumun, dan Memberamo (Baehaki dan Rifki 1998; Soewito dkk., 2000). Varietas IR64 diintroduksi dan dilepas sebagai varietas unggul di Indonesia pada tahun 1986. Varietas ini sangat digemari oleh petani dan konsumen, terutama karena rasa nasi yang enak, umur genjah, dan hasil relatif tinggi. Karakteristik varietas tipe IR64 menurut Daradjat dkk., (2001) antara lain adalah umur sedang (100−125 HSS), postur tanaman pendek sampai sedang (95−115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (20−25 anakan/rumpun, dengan anakan produktif 15−16 anakan/rumpun), panjang malai sedang, responsif terhadap pemupukan, tahan rebah, daya hasil agak tinggi (5−6 t/ha), tahan hama dan penyakit utama, mutu giling baik, dan rasa nasi enak. Contoh varietas tipe IR64 adalah Way Apo Buru (1988), Widas (1999), Ciherang (2000), Tukad Unda (2000), dan Konawe (2001). Nugraha dkk., (2005) menyatakan bahwa saat ini di Indonesia mulai menerapkan teknologi padi hibrida secara komersial. Padi hibrida yang berkembang di Indonesia berasal dari galur-galur tetua hasil introduksi. Dengan demikian perlu dirakit varietas padi hibrida dengan menggunakan galur padi hasil pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang telah beradaptasi baik di Indonesia. Galur-galur tersebut perlu diidentifikasi sebelum digunakan sebagai tetua padi hibrida dengan cara diuji silang. Di Indonesia padi hibrida yang berkembang berasal dari galur-galur tetua introduksi baik yang dihasilkan oleh institusi pemerintah maupun swasta. Secara umum varietas atau galur introduksi lebih peka terhadap perubahan kondisi lingkungan terutama hama penyakit sehingga hasilnya lebih berfluktuasi dan tidak stabil. Dengan demikian perlu dirakit varietas padi hibrida yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan di Indonesia. Hal dapat dilakukan dengan menggunakan varietas atau galur yang telah beradapsi di Indonesia sebagai bahan genetik. Bahan genetik tersebut berupa varietas unggul dan galur-galur yang dihasilkan dalam program pemuliaan padi konvensional (inbrida). Contoh padi hibrida antara lain Maro, Rokan, Hipa 3, Hipa 4, hipa7 dan Hipa 8 Pioner Daradjat dkk., (2001). Selain padi hibrida saat ini dikembangkan padi tipe baru (PTB) yang dihasilkan melalui persilangan antara padi jenis indica dengan japonica. Potensi hasil PTB 10-25% tebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini (Las dkk., 2003). Karakteristik padi tipe baru menurut Peng dkk., (1994) dalam Khush (1996) adalah potensi hasil tinggi, malai lebat (± 250 butir gabah/malai), jumlah anakan produktif lebih dari 10 dengan pertumbuhan yang serempak, tanaman pendek (± 90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua, senescence lambat, tahan rebah, perakaran kuat, batang lurus, tegak, besar, dan berwarna hijau gelap, sterilitas gabah rendah, berumur genjah (100 −130 hari), beradaptasi tinggi pada kondisi musim yang berbeda, IP mencapai 0,60, efektif dalam translokasi fotosintat dari source ke sink (biji), responsif terhadap pemupukan berat, dan tahan terhadap hama dan penyakit. Contoh padi tipe baru adalah Cimilati, Gilirang dan Fatmawati. Subandi dkk., (1979) dalam Aryana (2009) menegaskan bahwa dalam pembentukan varietas unggul perlu diperhatikan stabilitas hasil secara sistematis dan kontinyu mulai dari pembentukan populasi dasar sampai pengujian varietas. Dalam hal ini hasil merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi daya adaptasi dan stabilitas hasil suatu genotipe. Pengukuran stabilitas relatif dari suatu genotipe pada rentang wilayah yang luas penting untuk menentukan efisiensi pemuliaan Pengujian pada berbagai lingkungan perlu dilakukan karena di Indonesia lingkungan tumbuh padi sangat beragam baik dari tipe lahan yang digunakan, jenis tanah, cara budidaya, pola tanam maupun musim tanam. Sutami (2004) mengemukakan bahwa keragaman lingkungan tumbuh tersebut akan berpengaruh terhadap hasil gabah persatuan luas. Dengan adanya fenomena interaksi genotipe dengan lingkungan, dengan hasil suatu genotipe sering tidak konsisten dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Hal ini menyulitkan pemulia dalam memilih genotipe terbaik. Besarnya interaksi genotipe dengan lingkungan perlu diperhatikan untuk menghindari kehilangan genotipe unggul. Suatu genotipe yang stabil dan berdaya hasil tinggi sangat diperlukan oleh para petani yang berlahan sempit untuk mengurangi resiko kegagalan panen akibat perubahan faktor lingkungan yang tidak dapat diperkirakan. Stabilitas Genotipe Pengujian varietas/galur pada berbagai fenomena interaksi kompleksnya kondisi galur/varietas dengan lingkungan. Secara lingkungan sering menjumpai lingkungan, sebagai akibat dari sederhana interaksi genotipe x lingkungan dapat dibedakan ke dalam: (a) perbedaan respon antara dua atau lebih genotipe (galur/varietas) berubah/berbeda dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain, dan fenomena ini tidak mengubah urutan (ranking) genotipe-genotipe dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya, dan (b) perbedaan respon dua/lebih genotipe dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain diikuti oleh perubahan urutan genotipe-genotipe tersebut. Pada kondisi pertama, hal ini tidak begitu berpengaruh terhadap program pemuliaan, tetapi pada kondisi kedua sangat berpengaruh karena fenomena ini akan mengeliminasi peluang untuk mendapatkan suatu genotipe yang unggul pada semua lingkungan (Miller, 1989). Becker (1981) dalam Kang (2002) mengemukakan bahwa kestabilan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kestabilan statis dan kestabilan dinamis. Suatu genotipe dikatakan stabil statis jika respon genotipe tersebut stabil antar lingkungan dan tidak ada keragaman respon antar lingkungan. Konsep kestabilan ini sering disebut konsep kestabilan biologi. Sedangkan genotipe yang dikatakan stabil dinamis adalah genotipe yang merespon kondisi lingkungan paralel dengan rata-rata respon seluruh genotipe yang diuji. Konsep kestabilan ini sering disebut konsep kestabilan agronomis. Lin dkk., (1986) dalam Sumertajaya (2005) mengklasifikasikan kestabilan menjadi tiga tipe, yaitu: 1. Tipe pertama Suatu genotipe dianggap stabil apabila keragaman respon antara lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lain kecil. 2. Tipe kedua Suatu genotipe dianggap stabil apabila responnya terhadap lingkungan sama dengan rata-rata respon semua genotipe. 3. Tipe ketiga Suatu genotipe dianggap stabil apabila kuadrat tengah sisaan dari model regresi terhadap indeks lingkungan kecil. Dari ketiga tipe kestabilan di atas, konsep kestabilan statis sama dengan kestabilan tipe pertama, sedangkan konsep kestabilan dinamis sama dengan kestabilan tipe kedua. Analisis AMMI Pada percobaan lokasi ganda, rancangan perlakuan yang biasa digunakan adalah rancangan faktorial dua faktor, dengan faktor pertama adalah genotipe dan faktor kedua adalah lingkungan. Uji ini dilakukan seperti halnya rancangan percobaan biasa, perbedaannya yaitu blok disarangkan ke dalam lingkungan. Analisis ini sering disebut analisis ragam gabungan dengan model linier sebagai berikut: Ybgi=µ+βb+Gg+Li+GLgi+εbgi…………………..…………………………………..1 Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data dengan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinier ganda. Analisis ini menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan pemodelan linier pada pengaruh interaksi (Zobel dkk., 1988). Zobel and Gauch (1988) mengemukakan bahwa dalam model AMMI pengaruh interaksi genotipe x lingkungan diuraikan dengan model bilinier, sehingga kesesuaian lingkungan bagi genotipe dipetakan secara simultan dengan menggunakan biplot. Metode ini merupakan gabungan dari pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi pada analisis komponen utama. Tujuan terpenting dari penggunaan analisis AMMI adalah: (a) menjelaskan interaksi genotipe x lingkungan, di mana AMMI dengan biplot meringkas pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan, dan interaksi genotipe x lingkungan; dan (b) meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi genotipe x lingkungan. Gauch (1992) mengemukakan tiga tujuan penggunaan analisis AMMI. Pertama analisis AMMI dapat digunakan sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat. Jika tidak ada satupun komponen yang nyata maka pemodelan cukup dengan model aditif saja. Sebaliknya jika hanya pengaruh ganda saja yang yang nyata maka pemodelan sepenuhnya ganda berarti analisis yang tepat hanyalah analisis komponen utama saja. Sedangkan jika semua komponen interaksi nyata berarti pengaruh interaksi benar-benar sangat kompleks, tidak memungkinkan dilakukannya tanpa kehilangan informasi penting. Kegunaan kedua dari analisis AMMI adalah untuk menjelaskan interaksi galur x lokasi. AMMI dengan biplotnya meringkas pola hubungan antar galur, antar lokasi dan antara galur dan lokasi. Kegunaan ketiga adalah meningkatkan keakuratan dengan respon interaksi galur X lokasi. Hal ini terlaksana jika hanya sedikit komponen AMMI saja yang nyata dan tidak mencakup seluruh jumlah kuadrat interaksi. Dengan sedikitnya komponen yang nyata sama artinya dengan menyatakan bahwa jumlah kuadrat sisanya hanya galat saja. Dengan menghilangkan galat ini berarti lebih memperakurat dugaan respon per galur x lokasi. Perkembangan metode AMMI sampai saat ini sudah dapat diterapkan untuk model tetap yaitu jika genotipe dan lingkungan ditentukan secara subjektif oleh peneliti dan kesimpulan yang diharapkan hanya terbatas pada genotipe dan lingkungan yang dicobakan saja (Sumertajaya, 2007). Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh interaksi. Pemodelan linier bagi pengaruh interaksi genotipe dengan lokasi ( GLgi) pada analisis ini adalah sebagai berikut: GLgi=Σ√λ1φg1ρi1+ Σ√λ2φg2ρi2+ Σ√λ2φg2ρi2+…………+ Σ√λnφgnρin (Gauch, 1988). Sehingga model (1) dapat ditulis menjadi model AMMI sebagai berikut: Ybgi=µ+βb+Gg+Li+ Σ√λnφgnρin +δge+εbgi Ybgi=µ+βb+Gg+Li+Σ√λ1φg1ρi1+Σ√λ2φg2ρi2+Σ√λ2φg2ρi2+…+Σ√λnφgnρin +δge+εbgi.…2 Tahapan analisis AMMI yang dilakukan adalah : 1. Menyusun matriks pengaruh interaksi dalam bentuk matriks Ig x l 2. Melakukan penguraian bilinear terhadap matriks Ig x l melalui SVD (singular value decomposition) 3. Menentukan banyaknya Komponen Utama I (KUI) nyata melalui postdictive success 4. Membuat biplot AMMI (Mattjik, 1998) Suatu galur dianggap stabil jika posisinya berada dekat dengan sumbu utama. Galur dianggap spesifik pada lokasi tertentu dapat dilihat melalui posisi masing-masing galur terhadap garis lokasi. Analisis Lintas Daya hasil merupakan karakter kuantitatif yang sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil maupun karakter agronomi lain yang terkait dengan daya hasil. karakter lain Keeratan hubungan antara karakter daya hasil dengan yang mempengaruhi daya hasil dapat diduga menghitung nilai koefisien korelasi antara kedua karakter. dengan Kelemahan analisis korelasi adalah sering menimbulkan salah penafsiran karena adanya efek multikolinearitas antar karakter. Di samping itu, nilai koefisien korelasi merupakan pengaruh langsung masing-masing karakter dan pengaruh tidak langsung suatu karakter melalui karakter lain terhadap karakter tidak bebas yang telah dipilih sebelumnya (Dewey dan Lu, 1959 dalam Bizeti dkk., 2004). Korelasi antar sifat merupakan fenomena umum yang terjadi pada tanaman. Pengetahuan tentang adanya korelasi antar sifat-sifat tanaman merupakan hal yang sangat berharga dan dapat digunakan sebagai dasar program seleksi agar lebih efisien. Tetapi dengan hanya menggunakan analisis korelasi tidak cukup menggambarkan hubungan tersebut. Hal ini disebabkan karena antar komponen-komponen hasil saling berkorelasi dan pengaruh tidak langsung melalui komponen hasil dapat lebih berperan dari pada pengaruh langsung. Dengan analisis lintas (sidik lintas) masalah ini dapat diatasi, karena masingmasing sifat yang dikorelasikan dengan hasil dapat diurai menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Li, 1956 dalam Gaspersz, 1992). Analisis lintas merupakan pengembangan metode analisis korelasi. Analisis lintas dapat menjelaskan keeratan hubungan antar karakter dengan cara menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Jika dibandingkan dengan analisis korelasi, maka analisis lintas tidak hanya memberikan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter, tetapi juga menjelaskan mekanisme hubungan kausal antar karakter. Mekanisme hubungan kausal diperoleh dari penguraian koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung masing-masing karakter dan pengaruh tidak langsung masing-masing karakter melalui karakter lain (Singh dan Chaudhary. 1977). Analisis lintas merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kriteria seleksi, terutama untuk plasma nutfah yang berumur panjang. Guna melakukan seleksi secara tidak langsung maka karakter yang digunakan sebagai kriteria seleksi harus diwariskan dan berkorelasi positif dengan karakter yang akan diseleksi.