PENGANTAR ILMU HUKUM M HOLYONE .NS.SH,MH OLEH : SURYANTO 1141173300148 TRI JENI YANTIK 1141173300057 ZAVIA HADYANTO 1141173300024 SEMESTER 1 Kelas b sore FAKULTAS HUKUM BAB III PEMBAHASAN a. MASYARAKAT HUKUM ( MASYARAKAT HUKUM ADAT ) Dalam penjelasan umum nomor 6 Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, dikatakan bahwa undang-undang ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan nasional. Berdasarkan ketentuan ini, undang-undang pemerintahan desa tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat hukum adat. Dalam kepustakaan hukum, persekutuan hukum adat dibedakan dari masyarakat hukum. Perbedaan ini terletak pada sifat pengertiannya. Masyarakat hukum mengandung pengertian yang bersifat umum dan luas, sedangkan persekutuan hukum mengandung pengertian yang bersifat khusus dan sempit, misalnya persekutuan hukum kekerabatan, ketetanggaan atau keorganisasian. Persekutuan hukum juga bisa dilihat dari lingkungan masyarakatnya. Dalam kehidupan masyarakat yang berkembang maju, seseorang sebagai anggota masyarakat tidak hanya terikat pada satu keanggotaan persekutuan saja, melainkan lebih dari satu kesatuan. Misalnya, seorang warga desa adalah anggota persekutuan kekerabatan (sanak-sedulur), anggota persekutuan ketetanggaan (lembaga sosial desa) dan anggota persekutuan keorganisasian (golongan karya, partai politik, perkumpulan pengajian dan sebagainya). B. PERSEKUTUAN Dalam penjelasan tentang masyarakat hukum terdapat beberapa persekutuan hukum dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu: persekutuan kekerabatan (keluarga, kerabat, marga); persekutuan ketetanggaan (kampung, dusun, desa, kuria, nagari, marga); dan persekutuan keorganisasian (perkumpulan sosial budaya-agama, sosial-ekonomi-politik). Berikut ini penjelasan masing-masing persekutuan tersebut. 1. Persekutuan kekerabatan Persekutuan kekerabatan yaitu bentuk-bentuk hubungan kekerabatan yang terjadi karena ikatan darah (genealogis) berdasarkan keturunan melalui garis ayah (patrilinial) atau melalui garis ibu (matrilinial) atau juga melalui garis kedua orang tua (parental, bilateral). Termasuk dalam hubungan kekerabatan ini adalah anggota-anggota kerabat yang terjadi karena hubungan perkawinan (jujur, semenda, bebas) dan ikatan adat (bersaudara angkat). Persekutuan kekerabatan mempunyai tata tertib adat dan pimpinan sendiri bahkan ada kalanya mempunyai harta bersama untuk kepentingan bersama. Tiga contoh daerah di Indonesia yang menganut persekutuan kekerabatan, yaitu daerah Batak, Lampung dan Minangkabau. Di daerah Batak, persekutuan kekerabatannya bersifat patrilinial. Untuk menyatakan kerabat satu keturunan menurut garis bapak dipakai istilah marga. Jadi marga adalah kesatuan anggota kerabat yang berasal dari satu bapak asal. Nama marga adakalanya merupakan nama daerah, kampung asal dan nama leluhur. Misalnya di daerah Toba, terdapat nama marga Hutabarat, Hutapea, Hutasoit, Hutajulu, Hutauruk dan sebagainya. Nama marga yang merupakan nama leluhur misalnya Panggabean, Simatupang, Silitonga, Siregar, Nasution, Lubis dan sebagainya. Di daerah Karo dipakai istilah merga, misalnya merga Silima yang terdiri dari merga-merga Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan. (Djaren Saragih Cs, 1980:23). Di daerah Lampung, untuk menyatakan kerabat satu keturunan menurut garis bapak dipakai istilah buway. Nama-nama buway dipakai nama bapak asalnya, seperti: Buway Nunyai, Buway Unyi, Buway Nuban, Buway Subing, Buway Bolan, Buway Belunguh, Buway Perja, Buway Pemuka. Sedangkan di daerah Minangkabau yang persekutuan kekerabatannya bersifat matrilinial, untuk menyatakan kerabat satu keturunan ibu asal, dipakai istilah paruik (perut). Sebuah paruik dikepalai oleh penghulu yang dipilih dari anggota kerabat pria yang dianggap cakap. Berbeda dengan daerah Lampung yang memakai istilah punyimbang (pun: yang dihormati; nyimbang: yang mewarisi), misalnya punyimbang buway untuk kepala keturunan, punyimbang menyanak untuk kepala kerabat kecil, punyimbang nuwou untuk kepala kerabat serumah besar dan punyimbang marga untuk kepala kerabat yang semarga. Para punyimbang terdiri dari satu keturunan inti atau gabungan dari beberapa keturunan yang tidak dipilih melainkan berdasarkan keturunan yang dilimpahkan kepada anak laki-laki tertua dari keturunan yang tertua. 2. Persekutuan ketetanggaan Ketetanggaan mengandung arti hubungan bertentangan rumah yang ikatannya didasarkan atas rasa kekeluargaan antara sesama anggota karena mendiami satu kesatuan tempat kediaman, di pedukuhan atau di desa. Peribahasa Jawa mengatakan bahwa” dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangan.”Maksud peribahasa ini adalah sanak bukan saudara bukan, jika ada yang mati merasa ikut kehilangan. Peribahasa ini menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia asli yang tradisional di pedesaan namun pengaruhnya terbawa pula oleh masyarakat di kota-kota yang rasa kekeluargaannya masih kuat dalam kehidupan bertetangga. Dalam kepribadian ini berlaku asas tolong menolong tanpa melihat adanya hubungan kekeluargaan, kesukuan, keagamaan, golongan dan aliran. Dalam hubungan ini yang dilihat adalah hubungan ketetanggaan, sebagai tetangga selingkungan tempat kediaman, sekampung, sedesa atau juga setempat bekerja. Pada umumnya di Indonesia, bentuk persekutuan ketetanggaan dibedakan dalam dua macam, yaitu persekutuan yang organisasi kemasyarakatannya berdasarkan kesatuan wilayah semata-mata (territorial) dan persekutuan yang organisasi kemasyarakatannya berdasarkan kesatuan wilayah dan kesatuan keturunan atau kekerabatan (territorial-genealogis). Persekutuan yang semata-mata bersifat territorial, seperti meunasah atau gampong yang dikepalai oleh imeum atau keucik di Aceh, dusun yang dikepalai oleh krio di Sumatera Selatan, lembur yang dikepalai oleh mandor di Pasundan, desa yang dikepalai lurah di Jawa atau klian desa di Bali. Persekutuan yang bersifat territorial-genealogis, seperti huta di Batak atau kampuang di Minangkabau yang dikepalai oleh penghulu, tiyuh yang dikepalai oleh tamukung di Timor (Dawan), soa yang dikepalai oleh kepala soa di Ambon. Adanya dua macam bentuk persekutuan ketetanggaan menyebabkan adanya dua macam sistem kepemimpinan di desa. Untuk desa yang berdasarkan kesatuan wilayah, kepemimpinan desa dipegang oleh kepala desa yang sekaligus menjadi ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan bertindak sebagai kepala adat. Sedangkan untuk desa yang tidak hanya berdasarkan kesatuan wilayah tetapi juga kesatuan kerabat atau adat, kepemimpinan desa dipegang oleh kepala desa dan kepemimpinan adat dipegang oleh kepala adat dengan musyawarah adatnya masing-masing. Dengan lahirnya Undang-Undang pemerintahan desa nomor 5 tahun 1979 yang berlaku sejak tanggal 1 Desember 1979, kedudukan pemerintahan desa diseragamkan. Dalam pasal 1a undang-undang tersebut, yang dimaksud desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Persekutuan keorganisasian Keorganisasian di sini adalah hubungan keanggotaan dalam satu organisasi atau perkumpulan, di mana para anggotanya terikat satu sama lain berdasarkan rasa kekeluargaan karena terhimpun dalam satu kesatuan organisasi. Organisasi merupakan suatu badan (organ) yang mempunyai kepala (ketua), tangan (penulis), perut (bendahara) dan kaki (pelaksana). Organisasi atau perkumpulan dapat berbentuk sederhana yang tidak teratur dan modern yang teratur dengan memakai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tertulis. Misalnya perkumpulan keagamaan, seni budaya, muda-mudi, olah raga, golongan ekonomi, golongan karya, golongan politik dan sebagainya. Namun yang penting dalam menempatkan perkumpulan sebagai persekutuan hukum adalah bahwa berbagai perkumpulan tersebut berdasarkan asas kekeluargaan dan diatur menurut hukum adatnya masing-masing bukan semata-mata berdasarkan kepentingan. Istilah perkumpulan berasal dari bahasa Indonesia ‘kumpul’ yang berarti bersama-sama menjadi satu. Kumpulan artinya kelompok yang telah berkumpul sedangkan perkumpulan berarti tempat berkumpul atau tempat berhimpun menjadi satu. Perkumpulan disebut juga himpunan. Di Indonesia baik di desa maupun di kota, terdapat banyak perkumpulan dengan berbagai nama, menurut tujuan perkumpulan, nama tempat atau pemimpinnya dan sebagainya. Perkumpulan juga ada yang bersifat lokal, terbatas pada lingkungan tertentu atau tempat tertentu. Misalnya perkumpulan mahasiswa dan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia yang tujuannya memperkuat kekeluargaan sedaerah asal. Selain itu, perkumpulan juga ada yang bersifat nasional, misalnya Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Golongan Karya (GOLKAR) dan partai-partai politik lainnya. Semua bentuk organisasi yang beraneka ragam itu mempunyai pemerintahan organisasi sendiri, pengurus yang tetap dan teratur berdasarkan hukum adatnya masing-masing. Dengan demikian, pengertian organisasi atau perkumpulan yang dimaksud adalah sebagaimana dikatakan Robert V. Presthus ”Organization is a system of structural interpersona relations” (Sutarto, 1981:27). Jadi organisasi adalah suatu sistem susunan hubunganhubungan antar pribadi, di mana hubungan-hubungan itu berlaku menurut hukum adat terlepas dari hukum ketatanegaraan yang umum. Demikianlah penjelasan tentang masyarakat hukum adat dan berbagai persekutuan, yang meliputi persekutuan kekerabatan, persekutuan ketetanggaan dan persekutuan keorganisasian dalam masyarakat. C. BATASAN MASYARAKAT HUKUM Masyarakat hukum adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dimana dalam kelompok tersebut berlaku suatu rangkaian peraturan yang menjadi tingkah laku bagi setiap kelompok dalam pergaulan hidup mereka. Peraturan-peratuan itu di buat oleh kelompok itu sendiri dan berlaku bagi mereka sendiri. Kadang-kadang secara sadar dan sengaja bahwa suatu aturan memang di ciptakan dan dikehendaki oleh para anggota masyarakat, namun ada kalanya bahwa terjadinya peeraturan tingkah laku tersebut disebabkan oleh kebiasaan beberapa orang yang bertingkah laku demikian secara berulang-ulang dan anggota masyarakat lainnya mengikutinya, karena mereka yakin bahwa memang seharusnya demikian. Kelompok lain belum tentu mempunyai perilaku atau pedoman tingkah laku yang sama, sehingga timbul perbedaan aturan diantara sesama kelompok. d. pembentukan kelompok Kelompok tersebut terjadi karena kodrat manusia itu sendiri sebagai mahkluk sosial yang selalau ingin hidup berkelompok. Sekarang mahkluk pribadi manusia memang mempunyai kehidupan dan jiwa sendiri, tetapi sebagai mahkluk sosial wezen ( mahkluk sosial ) manusia tidak mungkin memisahkan secara keseluruhan dari masyarakat, karena sejak lahir, hidup dan berkembang serta meninggala dunia berada di tengah-tengah masyarakat. Dala masyarakat terkecil terdiri dari sekurang-kurangnya 2 orang seperti:” masyarakat keluarga yang terdiri dari suami dan istri. Dan lama kelamaan akan berkembang menjadi besar . Dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya, manusia sebagia mahkluk individu tidak dapat mencapainnya tanpa bantuan manusia lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa manusia selalu cenderung untuk hidup bersama dengan sesamanya. E. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG UNTUK BERMASYARAKAT Faktor-faktor yang mendorong agar manusia selalu hidup berkelompok dengan sesamanya atau hiduo bermasyarakat ialah karena didorong oleh ( Marhainis 1984 : 24 ). 1. kebutuhan biologis 2. persamaan nasib 3. persamaan kepentingan 4. persamaan ideologi 5. persamaan tujuan Faktor-faktor terrsebut dapat diarngkum menjadi 3 faktor pokok: a. faktor ekonomis b. faktor biologis c. faktor keamanan f. macam-macam bentuk masyarakat hukum 1. menurut dasar pembentukannya, dapat di bagi menjadi 3: a. masyarakat teratur,masyarakat yang diatur dengan tujuan tertentu. b. masyarakat yang teratur yang terjadi dengan sendirinya. c.masyarakat yang tidak teratur 2. menurut dasar hubungan yang diciptakan oleh para anggota masyarakat: a. masyarakat paguyuban b. masyarakat patembayan 3. menurut dasar perikehidupannnya atau kebudayaannya. a. masyarakat primitif dan modern b. masyarakat desa dan kota c. masyarakat teritorial d. masyarakat genealogis e. masyarakat terotorial genealogis 4. menurut hubungan keluarga, a. keluarga inti b. keluarg luas c. suku bangsa d. bangsa g.Pengaturan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA/KMH) secara internasional DAN NASIONAL Tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia memegang kendali dan menentukan sendiri kehidupannya. Persekutuan hukumnya disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat pertanyaan kemudian “hukum yang mana dan bagaimanakah yang kemudian ada sebagai akibat dari perubahan ketatanegaraan itu?” ada keinginan untuk menjadikan hukum yang berlaku adalah hukum Negara sesuai dengan hukum bumi putera, tetapi ternyata pada saat itu tidak semudah yang diinginkan. Maka pendiri bangsa kala itu, berusaha mencari solusi yakni mengakui hukum adat secara sementara seperti dalam Aturan Peralihan Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945, dengan alasan sumber hukum tertinggi adalah Undang-Undang Dasar (UUD). Dengan diakuinya hukum adat maka keberadaan KMHA secara eksplisit juga diakui sebagai kekayaan budaya Indonesia yang patut dilindungi secara hukum. Oleh itu terdapat beberapa pengaturan mengenai KMHA yang ditujukan untuk pengakuan KMHA itu sendiri. A. Pengaturan Secara Internasional Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat, hal ini nampak pada salah satu puncak penghormatan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat pada tahun 1993 Indigenous People Year oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang merupakan tidak lanjut dari rangkaian kesepakatan konvensi-konvensi dunia yang menekankan pentingnya pemerintah negara-negara anggota PBB untuk segera melaksanakan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Konvensi dunia tersebut antara lain adalah; a. Konvensi International Labour Organization (ILO) 169 tahun 1989, Pengaturan KMHA/KMH di Konvensi ILO terdapat pada Pasal 6 memuat prinsip partisipasi dan konsultasi dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan yang menimbulkan dampak terhadap kelompok masyarakat ini pada tingkat nasional. Pasal 7 sampai Pasal 12 mencakup berbagai aspek mengenai hubungan antara “sistem hukum adat” dan “sistem hukum nasional”. Pasal 13 sampai Pasal 19 memuat pengaturan tentang “Hakhak atas tanah adat” b. Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Budaya dan Sosial Dalam Pasal 27 dimana dalam pasal tersebut disebutkan terdapat Hak kelompok minoritas haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri. Selain hal pengaturan melalui konvenan internatonal, terdapat beberapa wacana nasional yang digalakkan olek Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Wacana Internasional tersebut telah memiliki ketetapan dan landasan yuridis untuk mengakui keberadaan KMHA. Peraturan tersebut antara lain; a. Deklarasi Rio 1992 dan Agenda 21 1992 Pada intinya pada pasal 22 menekankan perlunya pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, yang mana masyarakat hukum adat diharapkan mendapat perlakuan yang lebih adil. 1. Rancangan Naskah PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (Dokumen PBB no.E/CN.4/Sub.2/1993/29) mempertegas perlunya keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini terabaikan. 2. Keputusan Strategi Konservasi Dunia “menjaga bumi” (Resolution of World Conservation Strategy, Caring for the Earth) 1991, yang mendukung peran khusus dan penting dari Masyarakt Adat sedunia dalam menjaga lingkungan. 3. Resolution of 18th General assembly of World Conservation Union, IUCN, yang secara aklamasi mendukung hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk menggunakan sumber aya alam setempat secara bijaksana menurut tradisi mereka. 4. International Tropical Timber Agreement (Persetujuan Kayu Tropis Internasional) tahun 1994 dalam ITTO Guidelines, menyatakan bahwa kegiatan pengelolan hutan harus mengakui kepentingan masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya yang hidup bergantung pada hutan 5. IUCN Working Group on Community Involvement in Forest Management (kelompok Kerja IUCN mmengenai Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan) pada tahun 1996 merekomendasikan agar regenerasi hutan secara alamiah yang ada dalam sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat harus diakui sebagai alternatif pemulihan hutan. 6. Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati) tahun 1992 telah di Ratifikasi dan di Undangkan dengan UU no 5 tahun 1994. Sebagai suatu usaha perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan intelektual (intelectual property right,IPR) dari masyarakat adat, Pertukaran Teknologi (Sharing Technology) dan Keamanan Hayati (Bio-Savety). 7. United Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination (Deklarasi dan Program Aksi PBB untuk menetang rasisme dan diskriminasi rasial) yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1978 pada pasal 21 mengakui hak masyarakat adat untuk memelihara struktur ekonomi tradisional dan budaya mereka, termasuk bahasa, dan hubungan khusus dengan tanah dan sumber daya alam tidak boleh direngut dari mereka. 8. World Council of Indigenous Peoples (WCIP) di Kiruna Swedia 1966 menekankan bahwa hak masyarakat adat atas tanah adalah hak milik penuh, tidak melihat apakah mereka memegang hak resmi yang diterbitkan oleh penguasa ataupun tidak. 9. Manifesto Mexico dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke X tahun 1985 menekankan perlunya pengakuan kelembagaan masyarakat adat beserta pengetahuan aslinya untuk dapat mengelola hutan termasuk kegiatan perlindungan dan pemanfaatan hutan dan disebut sebagai community based forest management. 10. Demikian pula dengan hasil Kongres Kehutanan Sedunia ke XI tahun 1991 di Paris menekankan kembali tentang pentingnya keberpihakan kepada masyarakat yang terpinggirkan termasuk masyarakat adat dan sekaligus memandatkan pentingnya suatu rencana aksi yang disebut Tropical Forest Action Plan (TFAP) dan setiap negara akan membuat National Forest Action Plan (NFAP) yang juga merupakan turunan dari Agenda 21 pasal 11. 11. Dalam Basic Principles FAO tentang National Forestry Action Plan diatakan dalam prinsip dasar no 4 tentang Partisipasi dalam perencanaan proram Kehutanan dikatakan bahwa proses konsultasi yang melibatkan semua pihak termasuk masyarakat adat dan kelompok perempuan perlu dilakukan dan pada prinsip no 5 tentang pendekatan Holistik dan Inter-sectoral dikatakan bahwa Masyarakat Adat dan masyarakat yang tinggal didalam hutan harus dilihat sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari ekosistem. 12. Hasil deklarasi International Alliance of Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest (Aliansi Masyarakat Adat di Wilayah Hutan Tropis) tahun 1996 dikatakan bahwa; Masyarakat adat mengakui bahwa untuk kepentingan jangka panjang kehidupannya akan menggunakan sumber daya hutan secara lestari dan menghargai kepentingan konservasi lingkungan. Masyarakat adat mengakui bahwa kemampuan organisasi konservasi dapat membantu meningkatkan pengembangan swadaya dan mendapatkan hubungan yang saling menguntungkan berdasar atas saling percaya, keterbukaan dan akuntabilitas. Dengan adanya pengaturan-pengaturan tersebut, sagat jelas bahwa secara internasional KMHA/KMH diakui keberadaannya bersamaan dengan hak-hak dan memberikan peluang unuk menguatkan keberadaan KMHA/KMH. B. Peraturan Nasional Terdapat beberapa peraturan secara nasional yang mengatur tentan KMHA/KMH. Pengaturan tersebut ditujukan untuk pengakuan keberadaan KMHA/KMH tersebut. Berikut adalah peraturan perundang-Undagan secara nasional yang mengakui keberadaan KMHA/KMH. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 pada Alinea Keempat, berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia . . . . . . . . . . . . “. Penjelasan kata “segenap bangsa Indonesia” menunjuk pada pengakuan atas realitas keragaman, yang semuanya harus mendapat perlindungan. Salah satu bentuk keragaman tersebut adalah adanya masyarakat tertentu yang merupakan satu kesatuan hukum tersendiri yang memiliki karateristik kultur, struktur, dan pemerintahan yang berbeda-beda berdasarkan hukum adat yang berkembang dan berlaku pada masyarakat tersebut. Kalau dilihat dalam Pasal II Aturan Peralihan yang menyatakan “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang‐Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang‐Undang Dasar ini.” Pengakuan KMHA/KMH secara eksplisit telah diakomodir dengan berusaha mengaturnya secara kedepannya dengan tidak menutupi peluang KMHA/KMH untuk menggunakan hukum adatnya. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) Dalam Pasal 144 Pada Ayat (1), berbunyi “Perkara perdata dan perkara hukuman perdata, semata-mata masuk perkara jang diadili oleh pengadilan2 jang diadakan atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang, termasuk dalamnja hakim daerah Swapradja, hakim adat dan hakim agama”. Selain itu, Dalam Pasal 145 Pada Ayat (2) berbunyi “Asas ini hanja berlaku terhadap pengadilan Swapradja dan pengadilan adat, sekadar telah diatur tjara meminta pertimbangan kepada hakim jang ditundjuk dengan undang-undang”. Dan dalam Pasal 146 Pada Ayat (1) berbunyi “Segala keputusan kehakiman harus berisi alasan2nja dan dalam perkara hukuman harus menjebut aturan2 undang-undang dan aturan2 hukum adat jang didjadikan dasar hukuman itu”. Dengan pengaturan tersebut Konstitusi RIS mengakui KMHA/KMH, dikarenakan hukum adat mash dapat diterapkan dalam sistem hukum nasional yang ada kala itu. KMHA/KMH diakui keberadaannya walau bukan KMHA/KMH namaya pada saat itu, tetap masyarakat adat nyata terdapat di RIS sehingga konstitusi RIS mengatur untuk itu sebagai pokok Negara hukum yang harus mengaturnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 UUDS 1950 juga mengakui keberadaan KMHA/KMH. Pengaturan tersebut terdapat dalam beberapa pasal di dalamnya. Pengaturan KMHA/KMH dalam UUDS 1950 antara lain; Pasal 104 (1) Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannja dan dalam perkara hukuman menjebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat jang didjadikan dasar hukuman itu. Pasal 132 (1) Kedudukan daerah-daerah Swapradja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannja harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusjawaratan dan perwakilan dalam sistim pemerintahan negara. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 UUD NRI 1945) Semangat untuk mengakui Kesatuan Masyarakat Hukum/Masyarakat Hukum Adat setelah reformasi mengakibatkan adanya semangat untuk mengatur KMHA/KMH di dalam konstitusi. Kemudian dari semagat tersebut maka amandemen UUD dilakukan dengan mencantumkan KMHA/KMH secara tegas sebagai bentuk pengakuan beserta hak-haknya. Pengaturan KMHA/KMH di UUD NKRI 1945 antara lain terdapat dalam Pasal 18B yang menyatakan; (1) Negara mengakui dan menghormati satuan‐satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. Untuk penjelasan pada ayat (2) dapat dijelaskan sebagai hal pengakuan dalam konstitusi. Dalam ayat (2) Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat mengandung empat konsekuensi. Pertama, suatu kesatuan masyarakat, diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum sehingga dapat bertindak sebagai subyek hukum. Kedua, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban, serta dapat melakukan tindakan hukum. Ketiga, pada saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum/masyarakat hukum adat, maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan kesatuan masyarakat itu sebagai kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum/masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhaadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat. Penegakan HAM juga mewarnai amandemen UUD, sehingga HAM diatur dari konstitusi. KMHA/KMH diakui sebagai subjek hukum yang memiliki hak budaya. Dalam Pasal 28I Pada Ayat (3), menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban”, hal ini merupakan sebuah Pengakuan dan penghormatan KMHA/KMH yang tidak hanya terhadap identitas budaya, tetapi juga terhadap eksistensinya sebagai subyek hukum. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pada tahun 1999, semangat reformasi menggema diseluruh negeri oleh karena itu desakan untuk pengakuan KMHA/KMH secara konkrit juga diadakan di Indonesa melalui pencatuman di Undang-Undang. Seperti halnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Identitas budaya masyarakat hukum/masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Kalau dilihat mengenai ketentuan hak ini, secara nyata dan jelas KMHA/KMH diakui hakhaknya sebagai subjek hukum yang patut diakui keberadaannya. Walau terdapat kata selaras dengan jaman, bukan berarti KMHA/KMH yang tidak sesuai dengan jaman dikesampingkan. Oleh karena KMHA/KMH adalah subjek hukum yang diakui maka terdapat suatu hal yang patut diperhatikan bahwa KMHA/KMH juga memiliki Hak yang dianggap seperti Hak sebagai manusia. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2006 Tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa Pasal 1 angka 3 Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayahyang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian Undang –Undang Yang pada akhirnya mengatur KMHA/KMH demi tujuan melindungi KMHA/KMH adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menjelaskan; Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Hak yang dimiliki orang mencakup pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. h. Pengakuan KMHA/KMH Di Bali Di Bali pengakuan KMHA/KMH terdapat dalam Perdan Nomor 3 tahun 2001tentang desa Pakraman dan Perda Propinsi No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali Tahun 2009-2029, yang menegaskan; Pasal 1 Angka 68 Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat(KMHA/KMH) di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Angka 70 Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, lembaga dan/atau badan hukum non pemerintahan yang mewakili kepentingan individu, kelompok, sektor, profesi kawasan atau wilayah tertentu dalam penyelenggaraan penataan ruang. Demikianlah pengakuan keberadaan KMHA/KMH di Bali, KMHA/KMH dalah pelesatari hukum adat dan ini sangat penting. Jika berkaca bahwa KMHA/KMH adalah kekayaan negeri ini maka sepatutnyalah Indonesia mengakui keberadaannya. Sebab dalam fakta masa lalu KMHA/KMH dengan hukum adat semakin terkikis akan jaman yang semakin berubah dan global. Terr Harr dan van Vollenhoven pernah berpesan dan berulang-ulang mengemukakan bahwa di masa akan datang, pelajaran dan ilmu hukum adat hanya dapat lebih lanjut, jika banyak orang Indonesia mencurahkan tenaganya kearah itu. BAB IV KESIMPULAN Bahwa dalam hal eksistensi KMHA/KMH sebagai asset milik bangsa Indonesia, secara yuridis pengakuan keberadaan KMHA/KMH sebagai subjek hukum dapat telah diakui secara internasinal melalui konvenan dan kesepakatan-kesepatan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Peraturan Nasionalpun KMHA/KMH diakui didalam Beberapa undang-Undang baik eksplisit maupun nyata dituliskan sebagai klausul dalam Undang-Undang. Sangat penting bagi KMHA/KMH itu sendiri untuk diakui. Jika berkaca bahwa KMHA/KMH adalah kekayaan negeri ini maka sepatutnyalah Indonesia mengakui keberadaannya. Sebab dalam fakta masa lalu KMHA/KMH dengan hukum adat semakin terkikis akan jaman yang semakin berubah dan global. Terr Harr dan van Vollenhoven pernah berpesan dan berulang-ulang mengemukakan bahwa di masa akan datang, pelajaran dan ilmu hukum adat hanya dapat lebih lanjut, jika banyak orang Indonesia mencurahkan tenaganya kearah itu. Dan pada akhirnya dapat menikmati hak-haknya.