ijtihad dan taqlid dalam pandangan kh abd

advertisement
MN. Harisudin, Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Abd. Muchith Muzadi
IJTIHAD DAN TAQLID
DALAM PANDANGAN K.H. ABD. MUCHITH MUZADI
Oleh: MN. Harisudin1
ABSTRAK
Selama ini, pemahaman tentang ijtihad selalu diartikan berhadaphadapan vis a vis taqlid. Orang yang melakukan ijtihad dipandang
anti taqlid dan sebaliknya, orang yang taqlid tidak melakukan kerjakerja ijtihad. Pandangan modernis ini ditolak oleh Kiai Muchith.
Menurut Kiai Muchith, ijtihad dan taqlid adalah sesuatu yang tidak
harus dipertentangkan. Karena, menurut kamus NU ini, orang yang
melakukan ijtihad kadangkala melakukan taqlid. Begitu sebaliknya,
orang yang melakukan taqlid kadangkala tetap juga melakukan
ijtihad.
Key Word: ijtihad, taqlid, Kiai Muchith Muzadi
Pendahuluan
Perubahan, bagi Kiai Muchith, adalah sebuah keniscayaan. Cara
yang digunakan untuk merespon perubahan tersebut adalah dengan
ijtihad.2 Secara lughawi, kata ijtihad berasal dari kata ijtahada yang berarti
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember
Sewaktu Rasul saw. hendak mengutus Mu'adh ibn Jabal ra untuk menjadi qadi (hakim)
di daerah Yaman, beliau sempat berdialog dengan Mu'adh.
َ َ‫ِّض ن‬
ُ‫َهةً هللا‬
َ ِ‫ فَِِ َُُّة ِِ َزُُى ِل هللا‬:‫ب هللاِ ؟ قَا َل‬
َ َ‫ك ق‬
َ ‫ضً إِ َذا ُعس‬
ِ ‫ فَإِ ٌْ ن َى ْتَ ِج ْد فًِ ِكتَا‬: ‫ قَا َل‬.ِ‫ب هللا‬
ِ ‫ضً بِ ِكتَا‬
ِ ْ‫ أَق‬: ‫ضا ٌء ؟ قَا َل‬
ِ ‫َكيْفَ تَ ْق‬
ُ‫َهةً هللا‬
َ ِ‫ب َزُُى ُل هللا‬
َ ‫ض َس‬
َ َ‫ ف‬: ‫ قَا َل ُي َع ُر‬.‫ب هللاِ ؟ أَجْ تَ ِه ُد بِ َسأيًِ َوالَ آنُى‬
ِ ‫ فَإِ ٌْ ن َى ْتَ ِج ْد فًِ َُُّة ِِ َزُُى ِل هللاِ َوالَ فًِ ِكتَا‬: ‫َعهَ ْي ِه َو َُهة َى قَا َل‬
َ ‫ اَ ْن َح ًْ ُد هللِ انة ِري َوفة‬: ‫َ ْد َزهُ َوقَا َل‬
َ ْ‫ق َزُُى َل َزُُى ِل هللاِ نِ ًَا يَس‬
َ ‫َعهَ ْي ِه َو َُهة َى‬
ِ‫ضً َزُُى ُل هللا‬
"Bagaimana (cara kamu menyelesaikan perkara jika kepadamu diajukan suatu perkara?"
Mu'adh menjawab, "Akan aku putuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam alQur'an ". "Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitab Allah?" Tanya Nabi selanjutnya.
"Akan aku putuskan menurut hukum yang ada dalam Sunah Rasul, " jawab Mu'adh
lebih jauh. "Kalau tidak (juga) kamu jumpai dalam Sunah Rasul dan tidak pula dalam
Kitab Allah?" Nabi mengakhiri pertanyaannya. Mu'adh menjawab, "Aku akan berijtiha>d
dengan seksama, "Kemudian Rasul pun mengakhiri dialognya sambil menepuk-nepuk
dada Mu'adh seraya beliau bersabda, "Segala puji hanya teruntuk Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan RasulNya jalan yang diridai Rasul Allah.” Lihat, Abu
Dawud, Sunan Abi Dawud ( Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), II: 268.
1
2
51
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
usaha sungguh-sungguh, kerja keras, pengerahan daya upaya dan
pengerahan daya pikir. 3
Menurut Kiai Muchit, ijtihad adalah usaha pemikiran serius dalam
memahami Qur'an dan Hadis untuk diterapkan pada kasus tertentu.4 Di
tempat lain, Kiai Muchith mendefinisikan ijtihad secara istilahi sebagai
penggunaan daya pikir semaksimal mungkin untuk menemukan
kesimpulan pendapat keagamaan Islam tentang suatu hal atau kasus yang
tidak ada keterangan yang sharih atau qathi dalam al Quran maupun al
Hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum yang terdapat dalam al
Quran maupun al Hadits menurut metode yang dapat dipertanggung
jawabkan yang memenuhi disiplin keagamaan (Islam). 5
Definisi Ijtihad
Definisi ijtihad sangat banyak dikemukakan oleh para ahli ushul
fiqh. Misalnya, Abu Zahra Ia mengatakan 6 :
7
ِ‫برل انفقيه وُعه في اُتَِّاط االحكاو انعًهيِ يٍ ادنتها انتفصيهي‬
Artinya: “Mengerahkan segala kemampuan bagi seorang ahli fikih dalam
melakukan istinbat hukum yang bersifat amali dari dalil-dalil
yang terperinci”.
Sementara itu, Fazlur Rahman mendefinisikan ijtihad sebagai “the
effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the past,
containing a rule and the alter that rule by extending or restricting or otherwise
modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by a
new solution”. (Ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau
preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah
aturan tersebut dengan cara memperluas, membatasi atau memodifikasinya
dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru
dapat dicakup ke dalamnya dengan suatu solusi baru). 8
K.H. Abd. Muchith Muzadi, Sistem Bermadzhab Paling Proporsional Realistik, 15, makalah
tidak diterbitkan.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Secara bahasa, ijtihad adalah : ‫برل غايِ الج هد في انىَىل اني ايس يٍ االيىز او فعم يٍ االفعال‬
Artinya: Mengerahkan segala kemampuan untuk sampai pada suatu perkara atau
perbuatan. Lihat, Muhammad Abu Zahra, Us}ul al-Fiqh, (Dar al-Fikr Al-Arabi: 1957), 379.
7 Ibid.
8 Ghufron A. Mas'adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), 148.
3
52
MN. Harisudin, Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Abd. Muchith Muzadi
Namun, ijtihad yang ditawarkan oleh Kiai Muchith adalah ijtihad
yang standard, tegak lurus dan terpelihara kemurniannya dalam proses
pewarisan ajaran Islam. Ijtihad yang demikian ini adalah ijtihad yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya karena ijtihad ini memahami
kandungan al-Quran dan hadis sesuai prosedur. Kiai Muchith mengkritik
model ijtihad yang langsung kembali pada al-Quran dan Hadis secara
bebas, tanpa pola, tanpa metode dan tanpa prosedur. 9
Menurut Kiai Muchit, terma ijtihad menegasikan beberapa hal yang
tidak masuk dalam kategori ijtihad: (1) mengerahkan daya pikir untuk
mendapatkan kesimpulan apakah sebidang tanah tertentu sebaiknya
ditanami padi atau ditanami mangga tidak termasuk ijtihad karena bukan
pendapat keagamaan, (2). Berpikir menyimpulkan bahwa shalat lima waktu
itu wajib tidak pula termasuk ijtihad karena sudah demikian sharih dalilnya
dalam al-Quran dan Hadis. (3) Berpikir dan menyimpulkan bahwa
mendirikan pabrik di tengah-tengah pemukiman dilarang dengan dasar
undang-undang tidak termasuk ijtihad karena tidak menggunakan dalil
umum al-Quran dan Hadis. 10
Pasca meninggalnya Rasulullah Saw, ketika daerah Islam
bertambah luas dan berbagai problematika yang tidak pernah ada di masa
Nabi berkembang luas, maka kebutuhan untuk menjawab permasalahan ini
adalah dengan cara ijtihad. Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah
tumbuh sejak masaawal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad saw.,
dan kemudian berkembang pada masa-masa sah}abat dan tabi’in serta
masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan pasang
surut dan karakteristiknya masing-masing.11
Demikian pula, para ulama seperti Imam Jakfar Sadiq, Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ibn Hanbal, An-Nakhai, Imam
as-Tsauri, dan seterusnya menjadi para mujtahid yang memiliki kompetensi
luar biasa dalam menjawab perkembangan zaman. Sehingga, berbagai
problematika yang berkembang sekian abad di masa lalu ini akhirnya dapat
terjawab dan terselesaikan.
Seperti yang dikatakan Kiai Muchith, apa yang telah dilakukan oleh
para mujtahid pada masa dulu adalah bentuk ijtihad yang mengikuti pola
dan prosedur sehingga tidak menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad
Saw. Produk ijtihad yang standard dan baku ini pada tahap selanjutnya
menjadi sebuah bangunan madzhab yang kokoh dan digunakan banyak
K.H. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqh Kontekstual (LKPSM NU: Yogyakarta, 1995), 54.
K.H. Abd. Muchith Muzadi, Sistem Bermadzhab Paling Proporsional Realistik, 15,
makalah tidak diterbitkan.
11 Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam, ( Jakarta: INIS, 1991),
45-46.
9
10
53
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
umat Islam hingga kini. Jika para imam madzhab ini melakukan ijtihad,
maka umat Islam yang merupakan awam al-muslimin (muslim awam)
melakukan taqlid. 12
Menurut Kiai Muchith, tidak selamanya orang melakukan ijtihad.
Kritik tajam Kiai Muchith pada kalangan yang merasa berijtihad, adalah
bahwa sesungguhnya mereka tidak sepenuhnya berijtihad. Mereka yang
merasa sudah berijtihadpun dan anti madzhab secara de facto melakukan
taqlid pada Muhammad Abduh, K.H. Ahmad Dahlan, Fazlurrahman, dan
sebagainya. Dengan kata lain, mereka sesungguhnya masih ikut madzhab;
hanya saja madzhabnya Muhammad Abduh, Fazlurrahman, dan
sebagainya 13.
Pandangan Kiai Muchith tentang Ijtihad dan Taklid
Bagi Kiai Muchith, terma ijtihad tidak selalu dihadap-hadapkan
secara vis a vis dengan taqlid, sebagaimana dipahami kaum modernis.
Kendati taqlid (dan atau bermadzhab) juga tidak lepas dari kritik karena
sifatnya yang melemahkan semangat belajar umat misalnya, namun
eksistensi pola beragama menggunakan bermadzhab tidak dapat serta
merta dihilangkan. Kalau ada yang kurang, maka menurut kiai asal Tuban
ini, yang demikian ini yang harus diperbaiki. 14
Menurut Kiai Muchith, cara beragama yang terbaik adalah dengan
menjadi muqallid yang terus-menerus seantiasa belajar meningkatkan pola
keberagamaan umat. Atau meminjam bahasa Abdurrahman Mas'ud, yaitu
menjadi muqallid kritis, sebagaimana dilakukan oleh Syaikh Nawawi alJawi.15 Posisi Kiai Muchith yang menjadi muqallid kritis bisa dipahami
karena Kiai Muchith hidup dan tumbuh di lingkungan pesantren yang
sangat ta'dzim pada guru yang bersambung sanad belajar pada para muallif
kitab dan (bahkan) pendiri madzhab.
Ketika di kalangan tradisional dihembuskan wacana untuk
bermadzhab secara manhaji, maka Kiai Muchith termasuk tokoh yang
mengamininya. Bagi Kiai Muchith, bermadzhab seharusnya memang tidak
hanya mengikuti diktum-diktum qaul al-ulama yang juga disebut madzhab
Qauli, namun selayaknya juga mengikuti manhaj (metode) yang
Secara rinci, Kiai Muchith berhasil membuat skema model keberagamaan awamul
muslim dirunut dari atas, yaitu Allah Swt pada Nabi Muhammad, dan seterusnya.
Lihat, Moch, Eksan, Biografi Kiai Muchith,
13 K.H. Abd. Muchith Muzadi, NU dan Fikih Kontekstual,23
14 K.H. Abd. Muchith Muzadi, NU dan Fikih Kontekstual,23
15 Abdurrahman Mas'ud, Intelektual Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2005), 56.
12
54
MN. Harisudin, Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Abd. Muchith Muzadi
digunakan para ulama dalam melakukan istinbat hukum Islam (istinbat}
al-ahkam as-syar’iyah). 16
Dengan bermadzhab secara manhaji, hukum Islam akan bertambah
progresif dalam merespon perkembangan zaman. Sebaliknya, bermadzhab
secara qauli dengan mengacu pada teks masa lampau tidak lagi memadai
untuk menjawab semua persoalan di masa kini. Selain karena situasi sosial,
politik dan kebudayaan yang berbeda, juga karena hukum itu selalu
berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Di situlah, makanya dibutuhkan
manhaj, atau metodologi yang digunakan para ulama dulu, baik dalam
bentuk ushul fiqh maupun qawaid al-fiqh (kaidah-kaidah fiqh). 17
Oleh karena itu, meski memegang teguh pola beragama madzhab,
Kiai Muchith tidak alergi terhadap ijtihad. Menurut Kiai Muchith ini,
semakin pesat peradaban, semakin banyak diperlukan ijtihad. Namun,
yang perlu diperhatikan, adalah bahwa persyaratannya pun semakin berat.
Di samping persyaratan yang telah disebutkan dalam kitab-kibat fiqih,
seorang mujtahid harus benar-benar mengetahui persoalan yang dibahas,
tidak hanya mengetahui ilmu agama. Ketika membahas asuransi misalnya,
mujtahid tidak bisa berjalan sendirian. Ia harus melibatkan ahli ekonomi
yang paham asuransi. Begitu pula ketika harus berhadapan dengan bidang
ilmu lainnya, ia harus menggunakan mekanisme yang sama.18
Sebenarnya yang mendesak dijadikan sasaran ijtihad adalah hal-hal
baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak ada keterangan atau
penjelasan dalam al-Qur'an dan hadis, seperti bayi tabung, cloning,
cangkok mata, cangkok ginjal, dan sebagainya. Semuanya memerlukan
ijtihad mustaqil. Pintu ijtihad tidak dikunci, kendati pintu ijtihad mutlak
mustaqil tidak ada lagi yang mampu memasukinya. Namun ijtihad harus
dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar memenuhi syarat, dengan
harapan kerja ijtihadnya berhasil dengan baik. Kiai Muchith menegaskan,
mereka yang tidak memenuhi syarat dan lalu berijtihad, akan
menghasilkan ijtihad yang bisa menyimpang jauh dari kehendak wahyu.
Lebih fatal lagi apabila ijtihad tersebut diikuti orang lain. Yang bukan
Di kalangan Nahdlatul Ulama, tepatnya Munas Nahdlatul Ulama di Lampung 21-25
Januari 1992, diputuskan sistem pengambilan keputusan yang tidak saja bermadzhab
secara qauli, namun juga bermadzhab secara manhaji. Oleh banyak pengamat, ini
merupakan satu langkah maju yang memberikan jawaban atas berbagai masalah
keagamaan. M. Imdadudin Rahmat (ed), Kritik Nalar Fiqih NU, (Jakarta: Lakpesdam,
2002 ), 26.
17 Ibid, xiv- xv.
18 Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi,
(Surabaya: Khalista, 2008), 57-62.
16
55
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
dokter, sebaiknya memang tidak melakukan diagnose dan terapi. Pasien
sebaiknya taklid kepada dokter.19
Gagasan perlunya ijtihad ini membuktikan bahwa Kiai Muchith telah
memiliki pemikiran progresif yang berbeda dari ulama-ulama tradisional
pada umumnya. Beliau menginginkan pembaharuan arus pemikiran,
dalam arti pengembangan yang bersifat positif-konstruktif yang relevan
dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Munculnya hal-hal baru
membutuhkan kerja intelektual yang bersungguh-sungguh dan juga
bertanggung jawab. 20
Pada aspek lain, kata Kiai Muchith, tingkatan mujtahid ini pun
berbeda-beda sesuai dengan kapasitasnya. Dalam hal ini, ia menulis:
“Ada mujtahid mutlak, itu seorang tokoh yang dalam memahami alQuran dan Hadits mempunyai pemikiran sendiri, metodologi sendiri. Tapi,
di samping itu, di bawah tingkatan itu, banyak sekali mujtahid yang dalam
memahami al-Quran dan Hadits masih menggunakan metode yang
digunakan para imam mujtahid mutlak. Dan ini bertingkat-tingkat sampai
yang paling rendah. ”21
Dalam khazanah Usul Fiqh, mujtahid yang paling tinggi
tingkatannya disebut dengan mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil.
Mujtahid mutlak adalah mujtahid yang berdiri sendiri dimana tidak
menggunakan kaedah yang dirumuskan oleh mujtahid lain. Oleh karena
itu, mujtahid di tingkat ini mampu menggali dan merumuskan hukum
langsung dari al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ketentuan dan cara mereka
sendiri tanpa sandaran dan pegangan pada ketentuan dan cara mujtahid
lain. Menurut yang dicatat oleh Abu Zahrah para mujtahid yang menempati
tingkat ini ialah para fuqaha dan sahabat Nabi, semua fuqaha tabi’in,
seperti Sa’id ibn Musayyad, Ibrahim al-Nakha’i, Ja’far al-Shadiq,
Muhammad al-Baqir, Imam Abu Hanifah, Imam Malik ibn Anas, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hambal, Imam Auza’i, Imam al Laitsi ibn Sa’ad,
Sufyan al Tsauri, Abu Thur, dan banyak lagi yang lainnya.22
Kelihatannya para ulama pendiri madzhab dan para ulama mujtahid
sebelum mereka, termasuk para mujtahid yang menggunakan kaedah yang
sudah dirumuskan oleh pata mujtahid mutlak, sedangkan hasil ijtihadnya
terkait dengan hasil ijtihad pata mujtahid itu, bahkan mungkin ijtihadnya
Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia, 57-62.
Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia, 57-62.
21 Anom Surya Putra, et. al, KH. Abdul Muchith Muzadi: Dengan Fikih Semua Bisa Halal,
Jurnal Gerbang, (Vol. 05, No.2, Oktober Desember 1999), Surabaya, eLSAD, 122.
22Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 389
19
20
56
MN. Harisudin, Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Abd. Muchith Muzadi
saja berbeda atau bertentangan dengan hasil ijtihad para mujtahid mutlak.
Menurut Imam Abu> Zahrah, para mujtahid ini memilih pendapat salah
satu imam madzhab dalam masalah yang pokok (prinsip) dan dapat saja
berbeda dengan furu’ (pengembangan/ penjebaran).23 Pada umumnya
ulama tergolong dalam tingkatan ini ialah ulama yang berasal dari
pendukung madzhab yang sudah ada, seperti Abu Yusuf, Muhammad ibn
Hasan, dan Zufar ibn Huzail dari madzhab Hanafi, Muzni>, Suyut}i,
Quffal, Abu Ali dan Qad{i dari madzhab Syafi’i, Ibn Taymiyah dan Ibn
Qayyim dari madzhab hambali. Tiwana menamakan mereka ini mujtahib
mutlak mutanasib24.
Tingkatan di bawah mujtahid mutanasib
dinamakan mujtahid
madzhab, yaitu mujtahid yang berijtihad di sekitar pembangunan madzhab
yang mereka dukung kaedah dan cata yang sudah digunakan oleh para
mujtahid dalam madzhab yang diikutnya, mereka gunakan ladi dalam
menbembangan pengapat madzhabnya. Mereka berijtihad untuk
memperkokoh pendapat madzhabnya dengan memeprkuat hubungan
antara illat dan hukum atau menambah dan memperkuat kedudukan illat
itu sendiri terhadap hukum yang ditumbulkannya.
Menurut Abu Zahrah, mujtahid
ini mengikuti dan
mempertahankan saja apa yang telah diijtihadkan oleh mujtahid
madzhabnya. Mereka baru berijtihad bila suatu kasus belum terijtihadkan
oleh mujtahid madzhabnya. Hasil ijtihad tidak boleh bertentangan dengan
hasil ijtihad atau pendapat madzhabnya.25 Mereka tidak akan berijtihad lagi
tentang suatu masalah yang telah ditetapkan hukumnya oleh para mujtahid
di madzhabnya, ulama yang termasuk dalam kelompok tingkatan ini ialah
para pengikut dan penyebar madzhabnya yang memahami benar pada
madzhabnya, baik berkenaan dengan fiqhnya, maupun dengan kaedahkaedah ushulnya, seperti ulama pendukung dan penerus yang setia
madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Tingkatan di bawah mujtahid madhab dinamakan mujtahid murajjih.
Mujtahid murajjih adalah para ulama yang melakukan ijtihad untuk
menetapkan pendapat yang terkuat dari beberapa pendapat dalam satu
madzhab. Mereka tidak menggali dan merumuskan hukum baru yang
sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi. Maka sudah
cukup puas dengan rumusan hukum para tokoh madzhab mereka masingmasing.26 Antara mujtahid madzhab dan murajjih itu perbedaanya sangat
Ibid 393.
Muhammad Muza Tiwana, 357-361.
25Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 395
26Muhammad Abu Zahrah, Tarikh, 118
23
24
57
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
sedikit sekali, sehingga menurut Imam Nawawi> itu yang diikuti oleh
Imam Abu Zahrah, kedua tingkatan mujtahid itu sebenarnya satu tingkat.27
Pada saat ini, nampaknya para ulama sudah tidak menggunakan
ijtihad lagi, tetapi mereka cukup menggunakan pendapat madzhabnya
mereka masing-masing. Mereka tidak lagi mencari, mana yang paling kuat
dalilnya, tidak berusaha lagi mencari illat hukum yang digunakan untuk
merumuskan hukum itu, tetapi cukup mengatakan bahwa itu yang benar
menurut madzhab mereka. Bila menemukan suatu masalah yang perlu
menetapkan hukumnya, mereka tetapkan dengan fatwa berdasarkan
pendapat para imam mereka atau diqiyaskan kepada imam itu, mereka
tidak berusaha lagi menceri pendapat yang kuat dalilnya.28
Bila diperhatikan pembedaan para mujtahid itu dalam tingkatantingkatan tadi, diperoleh kesan bahwa pembagian tingkat itu, sekaligus
menunjukkan periodisasi pertumbungan dan perkembangan ijtihad. Para
imam madzab itu merupakan mujtahid mutlak terakhir. Sehabis zaman
mereka, seolah-olah tidak ada lagi mujtahid mutlak itu. Bila dugaan itu
benar, mengapa mujtahid mulak tidak muncul lagi setelah para imam
madzhab itu? Bila itu tidak benar, siapa mujtahid mutlak mustaqil itu yang
muncul sesudah periode imam madzhab itu?
Yang jelas dan tidak perlu diragukan lagi ialah bahwa tingkatan
mujtahid itu adalah ulama sebagai pertumbuhan dan perkembangan
ijtihad. Nas al-Qur’an danAl-Sunnah Rasul tidak membatasi masa dan
kegiatan ijtihad, juga tidak menentukan cara berijtihad, karena itu para
sahabat Nabi dan tabi’in melakukan ijtihad apabila situasi dan kondisi
memelukannya, dalam rangka mempermudah dan menggiatkan
pengamalan ajaran-ajaran agama.
Mereka tidak memberikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi ileh agama melakukan ijtihad dan fatwa tidak
menyebut-nyebut tingkatan dan periodisasi hal ini baru dibiarkan oleh para
mujtahid yang datang sesudah berlalu zaman mujtahid mutlak mustaqil.
Tentu saja mujtahid zaman sekarang tidak ada larangan untuk berbicara dan
merumuskan kembali, asal saja rumusan itu tidak mengurangi atau
merusak kemuliaan dan keagungannya syaria’at.
Menjadi mujtahid mutlak bagi Kiai Muchith, meski tidak ditutup
sangat kecil peluangnya. Karena ia dituntut untuk memiliki semua
kemampuan. Namun, jika menjadi mujtahid yang tidak mutlak, maka
masih memungkinkan dan peluang sangat besar. Namun, menurut Kiai
Muchith, selain yang mujtahid mutlaq disebut muqallid. Muqallid, adalah
Ibid, 396
Muhammad Abu Zahrat, Tarikh, 396.
27
28
58
MN. Harisudin, Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Abd. Muchith Muzadi
mereka yang disebut awamul muslimin yang hanya mampu mengikuti
pendapat (hasil ijtihad) orang lain. 29
Menurut Kiai Muchith, setidaknya ada empat tingkatan orang yang
disebut muqallid, 30yaitu:
a. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengerti dalil-dalil,
argumentasi (hujjah) dan metode yang dipergunakan oleh tokoh yang
diikuti.
b. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengetahui dalil yang
dipergunakan secara fragmentaris dan sporadis (sepotong-sepotong)
saja.
c. Mengikuti pendapat tokoh tertentu, hanya dengan kepercayaan bahwa
pendapat yang diikuti itu adalah benar, sesuai dengan ajaran Islam
sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW tanpa mengetahui
dalil-dalil, argumentasi, metode dan lain sebagainya.
d. Mengikuti pendapat tokoh tertentu dengan mengikuti pelajaran atau
pengajuan yang diterimanya dari kiai, ulama, ustadz atau gurunya di
pesantren, di madrasah, di sekolah, di kursus atau ceramah atau di
majalah dan sebagainya. Mereka yakin atas kemampuan dan kejujuran
para pengajar itu.
Jika dirunut, maka Kiai Muchith berhasil membuat lapisan
keberagamaan umat, sebagaimana skema berikut:
Skema Keberagamaan Umat versi Kiai Muchith
Mujtahid
Mutlak
Mujtahid Muntasib
Mujtahid Madzhab
Mujtahid Murajjih
Mengikuti lengkap pendapat, tahu dalil dan
metode
Mengikuti pendapat tertentu dengan dalil sporadis
Mengikuti pendapat tokoh tertentu dengan keyakinan tokoh itu benar
kuti pendapat tokoh tertentu dengan mengikuti pelajaran dari ustadz, kiai, guru
baik di pesantren, madrasah atau sekolah
29
30
K.H. Abd. Muchith Muzadi, Sistem Bermadzhab Paling Proporsional dan Realistis,
Ibid.
59
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Dari skema tersebut, tampak bahwa pola keberagamaan umat tidak
bisa dianggap tunggal, misalnya semua orang harus melakukan ijtihad.
Justru, dengan demikian, Islam benar-benar menjadi agama semua
kalangan: orang pintar dan orang bodoh, seorang guru besar dan pedagang
di pasar, dan sebagainya. Upaya untuk membuat tunggal Islam misalnya
hanya untuk orang yang pandai adalah menyalahi kodrat alam.
Penutup
Dari paparan di atas, tampak bahwa pola keberagamaan umat Islam
tidak bisa dianggap tunggal sehingga kemudian disimpulkan bahwa semua
orang harus melakukan ijtihad. Justru, dengan demikian, Islam benar-benar
menjadi agama semua kalangan: orang pintar dan orang bodoh, seorang
guru besar dan pedagang di pasar, dan sebagainya. Upaya untuk membuat
tunggal Islam misalnya hanya untuk orang yang pandai adalah menyalahi
kodrat alam.
Selama ini, pemahaman tentang ijtihad selalu diartikan berhadaphadapan vis a vis taqlid. Orang yang melakukan ijtihad dipandang anti
taqlid dan sebaliknya, orang yang taqlid tidak melakukan kerja-kerja
ijtihad. Kiai Muchith menolak pandangan modernis ini. Menurut Kiai
Muchith, ijtihad dan taqlid adalah sesuatu yang tidak harus
dipertentangkan. Karena, menurut kamus NU ini, orang yang melakukan
ijtihad kadangkala melakukan taqlid. Begitu sebaliknya, orang yang
melakukan taqlid kadangkala tetap juga melakukan ijtihad.
60
MN. Harisudin, Ijtihad dan Taqlid dalam Pandangan KH. Abd. Muchith Muzadi
DAFTAR PUSTAKA
Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952, II.
Muzadi, K.H. Abd. Muchith, Sistem Bermadzhab Paling Proporsional Realistik,
Makalah tidak diterbitkan.
_____________, NU dan Fiqh Kontekstual, LKPSM NU: Yogyakarta, 1995.
Zahra, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Dar al-Fikr Al-Arabi: 1957.
Mas'adi, Ghufron A., Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997.
Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam, Jakarta:
INIS, 1991.
Mas'ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2005,
Rahmat, M. Imdadudin (ed), Kritik Nalar Fiqih NU, Jakarta: Lakpesdam,
2002.
Sutarto, Ayu, Menjadi NU Menjadi Indonesia Pemikiran K.H. Abdul Muchith
Muzadi, Surabaya: Khalista, 2008.
Putra, Anom Surya, et. al, KH. Abdul Muchith Muzadi: Dengan Fikih Semua
Bisa Halal, Jurnal Gerbang, (Vol. 05, No.2, Oktober Desember 1999),
Surabaya, eLSAD.
61
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
62
Download