BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah memajukan untuk kesejahteraan umum. Amanat tersebut, antara lain, telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundangundangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan dimantapkan lagi dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil. Neraca pembayaran merupakan bagian integral dari kebijaksanaan pembangunan ekonomi dan mempunyai peranan penting dalam pemantapan stabilitas di bidang ekonomi yang diarahkan guna mendorong pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahan fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap tantangan-tantangan di dalam negeri dan keguncangan-keguncangan ekonomi dunia. 1|PIE “B” Setelah krisis ekonomi yang melanda Indonesia, banyak perusahaanperusahaan yang gulung tikar, hal ini menyebabkan keadaan perekonomian Indonesia memburuk. Banyak investor asing yang menarik modalnya dan berpikir dua kali untuk berinvestasi di Indonesia. Untuk memberbaiki keadaan tersebut, pemerintah melakukan berbagai cara salah satunya yaitu dengan menarik investor asing untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia serta dengan meminjam dana bantuan baik kepada negara-negara maju dan IMF/ World Bank/ Asia Development Bank. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam persoalan tersebut dalam makalah yang berjudul “Dasar Hukum dan Perkembangan Kebijakan Penanaman Modal Asing & Utang Luar Negeri di Indonesia”. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana dasar hukum kebijakan Pengadaan Modal Asing dan Utang Luar Negeri di Indonesia ? 2. Bagaimana Perkembangan Pengadaan Modal Asing dan Utang Luar Negeri di Indonesia ? 1.3 Tujuan 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui dasar hukum kebijakan Pengadaan Modal Asing dan Utang Luar Negeri di Indonesia. b. Mengetahui perkembangan Pengadaan Modal Asing dan Utang Luar Negeri di Indonesia ? 2|PIE “B” 2. Tujuan Subjektif a. Menambah, memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan serta pemahaman aspek ekonomi makro dalam teori dan praktik yang berguna bagi penulis. b. Untuk memenuhi tugas ujian kompetensi dasar IV mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi kelas “B” 1.4 Manfaat 1. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atas permasalahan; dan 2. Penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan sebagai bahan referensi di bidang pemikiran yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang ekonomi. 3|PIE “B” BAB II METODE PENULISAN 2.1 Metode Penelitian Penulisan makalah ini merupakan penulisan makalah normative, karena data yang kami peroleh adalah data yang berasal dari berbagai sumber literatur yang berupa buku, koran, maupun data-data dari media internet yang kredibel. 2.2 Jenis Penelitian Ditinjau dari sifat penulisan, maka penulisan makalah ini tergolong dalam kategori penulisan makalah yang bersifat deskriptif. Penulisan deskriptif merupakan sebuah penulisan yang berupa gambaran terhadap pelaksanaan mekanisme penyelesaian kasus dan mengungkapkan latar belakang suatu kasus terjadi. Penulisan deskriptif ini mempelajari masalah yang timbul di masyarakat serta situasi tertentu termasuk kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 2.3 Jenis Data 2.3.1 Sumber Data Sumber data merupakan subyek darimana data dapat diperoleh. Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah sumber-sumber buku literatur dan rekap website yang berkaitan. 2.3.2 Bahan Hukum Dalam penulisan ini, bahan hukum yang dijadikan acuan data adalah bahan hukum primer. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang- 4|PIE “B” undangan , catatan-catatan resmi atau risalah dalam peraturan perundangundangan. Bahan hukum yang digunakan adalah berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan arus modal asing dan juga utang luar negeri Indonesia. Bahan hukum yang dimaksud antara lain : a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. b. Undang-Undang no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. d. Peraturan Pemerintah no 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah 2.4 Teknik Analisis Data Analisis data adalah kegiatan untuk memaparkan data, sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidak benaran dari suatu hipotesis. Batasan ini diungkapkan bahwa analisis data adalah sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide. Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan suatu penulisan. Penulis belum dapat menarik kesimpulan bagi tujuan penulisannya, sebab data itu masih merupakan data mentah dan masih diperlukan usaha atau upaya untuk mengolahnya. Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif sehingga data yang terkumpul tersebut dibahas, dianalisis, dideskriptifkan dan di kumpulkan secara induktif, sehingga dapat diberikan gambaran yang tepat mengenai hal-hal yang sebenarnya terjadi. 5|PIE “B” 2.5 Teknik Pengolahan Data Menurut Sugiyono, yang dimaksud dengan pengelolaan data adalah proses untuk mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan catatan kecil dilapangan. Dalam penelitian ini, analisis data di sederhanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut. Tahapan pertama mengidentifikasi data yang diperoleh dari lapangan. Baik dengan cara wawancara, interview, observasi, maupun dokumentasi, yang bersumber dari buku, literatur dan foto. Tahapan kedua yakni mengklasifikasikan data yang masuk , kemudian disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penulisan. Tahap ketiga yakni melakukan interpretatif terhadap faktor yang mempengaruhi. Hasil analisis data disajikan secara gabungan antara informal dan formal. Informal, yaitu penguraian dalam deskripsi kata-kata (naratif). Secara sistematika, sajian penulisan penelitian ini dituangkan dalam empat bab, tiaptiap bab dikembangkan menjadi sub bab-sub bab dan seterusnya. 6|PIE “B” BAB III PEMBAHASAN 3.1 Dasar Hukum Kebijakan Pengadaan Modal Asing dan Utang Luar Negeri 3.1.1 Dasar Hukum Kebijakan Pengadaan Modal Asing Di Indonesia dasar hukum utama dalam penerapan kebijakan pengadaan/ penanaman modal asing adalah Undang-Undang no 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Penanaman modal harus menjadi penyelenggaraan nasional dan bagian dari perekonomian ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan. Pembentukan Undang-Undang tentang Penanaman Modal didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif sehingga Undang-Undang tentang Penanaman Modal mengatur hal-hal yang 7|PIE “B” dinilai penting, antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk badan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan, penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa. Undang-Undang ini mencakupi semua kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor. Undang-Undang ini juga memberikan jaminan perlakuan yang sama dalam rangka penanaman modal. Selain itu, UndangUndang ini memerintahkan agar Pemerintah meningkatkan koordinasi antar instansi Pemerintah, antarinstansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, dan antarinstansi Pemerintah dengan pemerintah daerah. Koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat otonomi daerah. Pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan atau dekonsentrasi. Oleh karena itu, peningkatan koordinasi kelembagaan tersebut harus dapat diukur dari kecepatan pemberian perizinan dan fasilitas penanaman modal dengan biaya yang berdaya saing. Agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi, Undang-Undang ini juga memerintahkan penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan 8|PIE “B” yang terbuka dengan persyaratan, termasuk bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Permasalahan pokok yang dihadapi penanam modal dalam memulai usaha di Indonesia diperhatikan oleh Undang-Undang ini sehingga terdapat pengaturan mengenai pengesahan dan perizinan yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelayanan terpadu satu pintu. Dengan sistem itu, sangat diharapkan bahwa pelayanan terpadu di pusat dan di daerah dapat menciptakan penyederhanaan perizinan dan percepatan penyelesaiannya. Selain pelayanan penanaman modal di daerah, Badan Koordinasi Penanaman Modal diberi tugas mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan penanam modal. Badan Koordinasi Penanaman Modal dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jabaran tugas pokok dan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal pada dasarnya memperkuat peran badan tersebut guna mengatasi hambatan penanaman modal, meningkatkan kepastian pemberian fasilitas kepada penanam modal, dan memperkuat peran penanam modal. Peningkatan peran penanaman modal tersebut harus tetap dalam koridor kebijakan pembangunan nasional yang direncanakan dengan tahap memperhatian kestabilan makroekonomi dan keseimbangan ekonomi antarwilayah, sektor, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat, mendukung peran usaha nasional, serta memenuhi kaidah tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Fasilitas penanaman modal diberikan dengan mempertimbangkan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor. Meskipun demikian, pemberian fasilitas penanaman modal tersebut juga diberikan sebagai upaya mendorong penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi 9|PIE “B” kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih menguntungkan kepada penanam modal yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan produksi dalam negeri, serta fasilitas terkait dengan lokasi penanaman modal di daerah tertinggal dan di daerah dengan infrastruktur terbatas yang akan diatur lebih terperinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan memperhatikan hal tersebut, Undang-Undang ini juga memberikan ruang kepada Pemerintah untuk mengambil kebijakan guna mengantisipasi berbagai perjanjian internasional yang terjadi dan sekaligus untuk mendorong kerja sama internasional lainnya guna memperbesar peluang pasar regional dan internasional bagi produk barang dan jasa dari Indonesia. Kebijakan pengembangan ekonomi di wilayah tertentu ditempatkan sebagai bagian untuk menarik potensi pasar internasional dan sebagai daya dorong guna meningkatkan daya tarik pertumbuhan suatu kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian nasional. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur hak pengalihan aset dan hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hukum, kewajiban fiskal, dan kewajiban sosial yang harus diselesaikan oleh penanam modal. Kemungkinan timbulnya sengketa antara penanam modal dan Pemerintah juga diantisipasi Undang-Undang ini dengan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus guna memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal terhadap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat, memberikan penghormatan atas tradisi budaya masyarakat, dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak 10 | P I E “ B ” dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan. Perekonomian dunia ditandai oleh kompetisi antarbangsa yang semakin ketat sehingga kebijakan penanaman modal harus didorong untuk menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Perekonomian dunia juga diwarnai oleh adanya blok perdagangan, pasar bersama, dan perjanjian perdagangan bebas yang didasarkan atas sinergi kepentingan antarpihak atau antarnegara yang mengadakan perjanjian. Hal itu juga terjadi dengan keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional yang terkait dengan penanaman modal, baik secara bilateral, regional maupun multilateral (World Trade Organization/WTO), menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati. Berbagai pertimbangan di atas dan mengingat hukum penanaman modal yang telah berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun semakin mendesak kebutuhan Undang-Undang tentang Penanaman Modal sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang selama ini merupakan dasar hukum bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional melalui konstruksi pembangunan hukum nasional di bidang penanaman modal yang berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan nasional. 11 | P I E “ B ” 3.1.2 Dasar Hukum Utang Luar Negeri Dalam menjalankan segala kebijakan dalam pelaksanaan utang luar negeri, Indonesia menggunakan dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun dalam pelaksanaannya dibuatlah suatu peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan bahwa untuk membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, Pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan/atau menerima Hibah baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan pinjaman atau hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah/BUMN/ Badan Usaha Milik Daerah. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 38 ayat (4) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pinjaman Luar Negeri dan Hibah Pemerintah memerlukan dasar hukum yang ditetapkan dengan suatu peraturan pemerintah untuk menjamin terlaksananya tertib administrasi dan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah. Dasar hukum Pinjaman Luar Negeri dan hibah luar negeri telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Namun dalam perkembangannya, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, perkembangan pasar keuangan, serta tuntutan terhadap prinsip pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah yang baik (good governance). Hal ini menghendaki penyempurnaan Peraturan 12 | P I E “ B ” Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Dalam Peraturan Pemerintah ini telah diakomodasi berbagai ketentuan mengenai pengelolaan Pinjaman Luar Negeri yang berupa pemisahan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing institusi yang terkait, penyempurnaan konsep mengenai batas maksimal Pinjaman Luar Negeri yang dimaksudkan sebagai alat pengendali dalam rangka pengelolaan portofolio utang secara optimal dan pemenuhan kebutuhan riil pembiayaan, konsep mengenai fleksibilitas pemilihan sumber pembiayaan, Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri, penerimaan Hibah melalui Dana Perwalian. Selain itu memperjelas kebijakan peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri baik untuk kebutuhan pembiayaan APBD melalui Pinjaman Luar Negeri dan pemberian Hibah oleh Pemerintah yang bersumber dari Pinjaman Luar Negeri untuk pembiayaan kegiatan tertentu bagi Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan Pemerintah maupun untuk kebutuhan BUMN untuk investasi. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan perkembangan pengelolaan Pinjaman Luar Negeri dan Hibah, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri kedalam suatu peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. 13 | P I E “ B ” 3.2 Perkembangan Arus Modal Asing dan Utang Luar Negeri Indonesia 3.2.1 Perkembangan Arus Modal Asing Indonesia Tabel 1 Perkembangan PDB, Utang luar negeri, dan Penanaman Modal Asing di Indonesia Tidak semua negara yang digolongkan dalam kelompok negara dunia ketiga, atau negara yang sedang berkembang , merupakan negara miskin, dalam arti tidak memiliki sumberdaya ekonomi. Banyak negara dunia ketiga yang justru memiliki kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Masalahnya adalah kelimpahan sumberdaya alam tersebut masih bersifat potensial, artinya belum diambil dan didayagunakan secara optimal. Sedangkan sumberdaya manusianya yang besar, belum sepenuhnya dipersiapkan, dalam arti pendidikan dan ketrampilannya, untuk mampu menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas dan berproduktivitas tinggi. Salah satu contoh negara yang mengalami kondisi seperti itu adalah Indonesia. Pada kondisi yang seperti itu, maka Indonesia membutuhkan adanya sumberdaya modal yang dapat digunakan sebagai katalisator pembangunan, agar pembangunan ekonomi dapat berjalan dengan lebih baik, lebih cepat, dan berkelanjutan. Dengan adanya sumberdaya modal, maka semua potensi kelimpahan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dimungkinkan untuk lebih didayagunakan dan dikembangkan. Tetapi di Indonesia, ketidaktersediaan sumberdaya modal seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri. Beberapa penyebabnya antara lain: 14 | P I E “ B ” (1) pendapatan per kapita Diagram 1 Pendapatan Perkapita Indonesia penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan, juga rendah. (2) Lemahnya perbankan sektor nasional menyebabkan dana masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif. (3) Kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan dana murah dalam berekspansi. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas seperti itu, jelas tidak dapat diandalkan untuk mampu mendukung tingkat pertumbuhan output nasional yang tinggi seperti yang diharapkan. Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (Penanaman Modal Asing / PMA); portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor). Modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta. 15 | P I E “ B ” Jumlah modal asing yang didapat akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain : 1. Ketersediaan dana dari negara kreditur yang umumnya adalah negaranegara industri maju. 2. Daya serap negara penerima (debitur). Artinya, negara debitur akan mendapat bantuan modal asing sebanyak yang dapat digunakan untuk membiayai investasi yang bermanfaat. Daya serap mencakup kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan, mengubah struktur perekonomian, dan mengalokasikan kembali resources. Struktur perekonomian yang simultan dengan pendayagunaan kapasitas nasional yang ada akan menjadi landasan penting bagi daya serap suatu negara. 3. Ketersediaan sumber daya alam dan sumberdaya manusia di negara penerima, karena tanpa ketersediaan yang cukup dari kedua sumberdaya tersebut dapat menghambat pemanfaatan modal asing secara efektif. 4. Kemampuan negara penerima bantuan untuk membayar kembali (repayment). 5. Kemauan dan usaha negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil, kecuali jika disertai dengan usaha untuk memanfaatkan dengan benar oleh negara penerima. Sehingga, peranan modal asing sebenarnya adalah sebagai sarana efektif untuk memobilisasi keinginan suatu negara. Perkembangan realisasi PMA di Indonesia setiap tahunnya mengalami fluktuasi. Pada tahun 2000 besarnya PMA yang terealisasi di Indonesia mencapai 9.877,4 juta US$ atau terjadi kenaikan sebesar 20,01%. Namun pada tahun 2001, realisasi PMA mengalami penurunan sebesar 64,47% menjadi 3.509,4 juta US$. Hal ini disebabkan oleh faktor stabilitas nasional yang belum kondusif sehingga banyak investor tidak berselera menanamkan modalnya karena iklim investasi yang labil. 16 | P I E “ B ” Begitupun tahun berikutnya, penurunannya sebesar 12,16% menjadi 3.082,6 juta US$. Table 1Perkembangan PDB, Utang Luar Negeri, Penanaman Modal Asing di Indonesia Pada tahun 2003, realisasi PMA meningkat kembali sebesar 76,65% menjadi 5.445,3 juta US$. Kurang kondusifnya iklim perekonomian pada tahun kenaikan 2004 harga akibat bahan bakar minyak membuat realisasi PMA menurun sebesar16,02% menjadi 4.572.7 juta US$. Namun pada tahun 2005, mengalami peningkatan kembali menjadi 8.911 juta US$atau naik sebesar 94,87%. Namun hal ini tidak bertahan lama, karena tahun berikutnya realisasi PMA turun sebesar 32,76% atau hanya mencapai 5.991,7 juta US$. Dua tahun berikutnya, realisasi PMA di Indonesia mengalami peningkatan. Tahun 2007 meningkat sebesar 72,59% atau nilainya sebesar 10.341,4 juta US$. Kemudian pada tahun 2008 realisasi PMA mencapai 14.871,4 juta US$. Peningkatannya sebesar 43,80% dari tahun sebelumnya. Namun di tahun 2009 realisasi PMA kembali menurun pada angka 10.815,2 juta US$ atau menurun sebesar 37,56%. Dan pada tahun-tahun selanjutnya PMA tumbuh melambat. Investasi di Indonesia memang mengalami banyak kendala akibat ketidakstabilan kebijakan serta buruknya infrastruktur. 17 | P I E “ B ” 3.2.2 Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia Sejak Diagram 2 Perkembangan Utang Pemerintah Orde pemerintahan baru sampai pemerintahan Indonesia bersatu , salah satu kebijakan ekonomi yang tidak pernah berubah adalah penggunaan utang luar negeri sebagai salah satu sumber pendaan bagi pembagunan, yang senantiasa tercantum dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Maka tidak mengherankan bila penumpukan utang luar negeri semakin membengkak saja dari tahun ke tahun. Bahkan pembubaran IGGI pada pemerintahan Soeharto, maupun pembubaran CGI pada pemerintahan SBY-JK, ternyata tidak berperan sama sekali dalam menurunkan jumlah utang luar negeri. Alih-alih menurunkan jumlah utang luar negeri, justru yang terjadi malah sebaliknya, jumlah utang luar negeri cenderung semakin meningkat pada setiap tahunnya.Pada tahun 2000 jumlah utang mencapai 141.693 juta US$ dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2009 sebesar 172.871 juta US$.Dengan peningkatan jumlah utang tersebut, tidak bisa dihindari adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga tiap tahunnya, yang merupakan beban bagi APBN. 18 | P I E “ B ” Table 2 Perkembangan Belanja Bungan Utang , 2007-2012 (Triliun Rupiah) Setiap tahunnya pemerintah berkewajiban dalam membayar utang luar negeri.Untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga, pemerintah terpaksa harus mengusahakan utang baru yang jumlahnya tidak pernah mencukupi dalam membayar utang pada setiap anggaran berjalan.Pada tahun 2001 jumlah penambahan utang baru sebesar 5.511 juta US$ sedangkan cicilan pokok utang dan bunga sebesar 7.157 juta US$, sehingga terdapat selisih sebesar 1.646 juta US$.Selama periode 2001-2008 selisih tersebut pun terus mengalami peningkatan tiap tahunnya hingga mencapai 4.949 juta US$ pada tahun 2008. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut bangsa Indonesia telah masuk ke dalam perangkap jebakan utang (debt trap), yang memaksa pemerintah Table 3 Dastar Negara/ Lembaga Kreditor (Pemberi Utang Luar Negeri) terbesar untuk Indonesia 19 | P I E “ B ” untuk melakukan “gali lubang tutup lubang” dalam membayar utang luar negeri setiap tahunnya. Memang rasio utang terhadap PDB yang mengindikasikan kemampuan pemerintah Indonesia dalam membayar utang, cenderung mengalami penurunan pada setiap tahunnya. Pada tahun 2001 rasio utang terhadap PDB sebesar 77% dan cenderung menurun hingga sebesar 32% pada tahun 2009. Namun peningkatan eskalasi utang luar negeri yang mengarah pada jebakan utang tentunya akan memberikan beberapa dampak negatif yang akan menimpa bangsa Indonesia. Seperti pembayaran cicilan utang pun masih sangat tinggi dan akibatnya pemerintah memotong jatah dana pembangunan dari APBN. Hal ini tentu saja akan memperlambat kegiatan pembangunan dalam negeri. Table 4 Posisi Utang Luar Negri (ULN) Indonesia Menurut Instrumen Selain itu rendahnya nilai tambah utang sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan, seperti utang luar negeri yang tidak tepat guna, menjadikan utang luar negeri memberikan dampak negatif dalam tujuan utama utang luar negeri meningkatkan modal yang akan berdampak pada pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Beberapa studi membuktikan bahwa semakin besar utang suatu negara, semakin besar potensi korupsi dan penyalahgunaan dana utang tersebut. 20 | P I E “ B ” Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas maka dapat dikatakan bahwa ternyata pemerintah berutang pada luar negeri sebagian besar dialokasikan untuk membayar cicilan pokok utang dan bunga, maka wajar saja bila dana yang dialokasikan untuk pembanguan ekonomi dalam negeri tidak efektif dalam mempengaruhi pembangunan sehingga pengaruhnya tidak signifikan dalam pertumbuhan PDB. Besarnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dari tahun ke tahun berdampak pada kebutuhan alokasi belanja bunga utang dalam APBN yang terus mengalami peningkatan dari sisi nominalnya. Selama periode 20072012, secara nominal pembayaran bunga utang menunjukkan peningkatan rata-rata 8,1 persen per tahun, dari Rp79,8 triliun (2,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, diperkirakan mencapai Rp117,8 triliun (1,4 persen terhadap PDB) di tahun 2012. Namun demikian, seiring dengan semakin efisiennya pengelolaan utang Pemerintah dan kondusifnya kondisi perekonomian dalam negeri, rasio pembayaran bunga utang terhadap total belanja negara menunjukkan trend penurunan. Pada tahun 2007, porsi bunga utang mencapai 10,5 persen dari total belanja negara, rasio tersebut semakin menurun hingga diperkirakan mencapai 7,6 persen pada tahun 2012. Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam periode jangka pendek, utang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Sehingga dengan terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat bertumbuh hingga sebelum terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan dalam jangka panjang akumulasi dari utang luar negeri pemerintah ini tetap saja harus dibayar melalui APBN, artinya menjadi tanggung jawab para wajib pajak. Dengan demikian, maka dalam jangka 21 | P I E “ B ” panjang pembayaran utang luar negeri oleh pemerintah Indonesia sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia masa mendatang. Defisit current account ditutup dengan surplus capital account, terutama dengan modal yang bersifat jangka pendek (portfolio invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga, apabila terjadi rush akan mengancam posisi cadangan devisa negara, akhirnya akan mengakibatkan terjadinya krisis nilai tukar mata uang nasional terhadap valuta asing. Hal inilah yang menyebabkan beban utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, bertambah berat bila dihitung berdasarkan nilai mata uang rupiah. Semakin bertambahnya utang luar negeri pemerintah, berarti juga semakin memberatkan posisi APBN RI, karena utang luar negeri tersebut harus dibayarkan beserta dengan bunganya. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan utang baru, karena pada saat krisis ekonomi penerimaan rutin pemerintah, terutama dari sektor pajak, tidak dapat ditingkatkan sebanding dengan kebutuhan anggaran belanjanya. 22 | P I E “ B ” BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. a. Dasar hukum kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia adalah Undang-Undang no 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. b. Sedangkan Dasar Hukum kebijakan Utang Luar Negeri (ULN) di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan peraturan pelaksananya adalah Peraturan Pemerintah no 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. 2. a. Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia setiap tahun selalu mengalami pertumbuhan walaupun pertumbuhannya cenderung melambat. Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia memang mengalami banyak kendala akibat ketidakstabilan kebijakan serta buruknya infrastruktur. b. Perkembangan pertambahan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia masih relative banyak. Keberadaan Utang Luar Negeri yang banyak tersebut akan mempengaruhi kesehatan APBN Indonesia karena apabila Utang Luar Negeri semakin bertambah, maka beban pembayaran cicilan Utang dan juga Bunga utang akan semakin bertambah pula setiap tahunnya. 4.2 Saran 1. Perlu adanya perbaikan infrastruktur untuk menunjang peningkatan PMA di Indonesia. 2. Kebijakan ULN Indonesia harus di pertegas demi mewujudkan APBN yang dapat mensejahterakan rakyat masa kini dan masa mendatang. 3. Perlu penghematan pengeluaran belanja pegawai dari Pemerintah sebagai wujud penghematan yang akan mengurangi ULN Indonesia. 23 | P I E “ B ” DAFTAR PUSTAKA Buku dan website : Arwiny Fajriah Anwar. 2011. Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Dan Penanaman Modal Asing Terhadap Produk Domestik Bruto Di Indonesia Periode 2000-2009. http://www.mediafire.com/view/oi4cabe8n740v9z/ABSTRAK.pdf [akses 23 Juni 2013 Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Beberapa Indikator SosialEkonomi Indonesia (Edisi Mei 2013) . Jakarta : BPS Bank Indonesia. 2013. Laporan Perekonomian Indonesia 2012. Jakarta : Bank Indonesia M. Khairin Majid. 2013. Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (ULN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1986-2011. http://elibrary.ub.ac.id/handle/123456789/28299?mode=full [akses 23 Juni 2013] Republik Indonesia. 2013. Nota Keuangan & Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Jakarta : RI Perundang-undangan : Republik Indonesia. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Republik Indonesia. Undang-Undang no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah no 10 tahun 2011 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah 24 | P I E “ B ”