bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan, dilahirkan kembali dalam kudeta, dan
dibaptis dengan darah pembantaian (Brian dalam Herlambang, 2015). Pernyataan tersebut
menampar bagian sejarah bangsa Indonesia yang hingga kini masih abu-abu, yakni “Tragedi
1965”. Istilah yang terakhir disebut, merujuk pada tragedi pembunuhan massal golongan
komunis dan yang dikomuniskan pada periode akhir 1965 hingga akhir 1966. “Tragedi 1965”
bukan hanya mengacu peristiwa pada tahun 1965, namun tahun 1965 menjadi gong rentetan
pelanggaran HAM berat serta dimulainya diseminasi logika Orde Baru, hingga sekarang.
Gestok (Gerakan Satu Oktober) – istilah yang digunakan Sukarno dalam menyebut peristiwa
terbunuhnya tujuh perwira – menjadi dalih bagi pihak militer untuk melakukan pemusnahan
golongan komunis. Banyak versi ihwal Gestok. Ada yang mengatakan bahwa kejadian
tersebut dimotori oleh PKI, ada yang mengatakan itu adalah strategi Sukarno, dan ada pula
yang mengamini bahwa pemusnahan massal tersebut dikomando oleh Suharto dengan
bantuan Amerika. Pun hingga kini titik terang sulit ditemukan. Narasi terkuat selama ini
dimiliki oleh Orde Baru dengan menyosialisasikan ke khalayak luas dengan judul Gestapu,
akronim untuk Gerakan 30 September yang dikaitkan dengan polisi rahasia Nazi Jerman
(Rossa, 2009). Legitimasi kekerasan melalui budaya begitu apik dimainkan oleh era ini.
Film, novel, dan karya sastra lain bahu-membahu menyatakan bahwa dalang kejahatan
kemanusiaan ini adalah PKI. Mungkin saja itu benar, begitu pula sebaliknya. Namun 32
tahun Orde Baru berkuasa, hanya segelintir narasi yang beroposisi dengan narasi arus utama.
Masyarakat digiring secara satu arah untuk menyalahkan PKI. Sehingga judul tragedi
pembunuhan perwira diberi akhiran PKI, menjadi G30S/PKI, entah mengapa kroni Orde
Baru tak memakai istilah Gestapu. Strategi produksi pesan anti-komunis sukses
dilaksanakan, dan masih berlanjut pada era Orde Baru kedua, Reformasi.
3
Reformasi memberikan cahaya baru bagi kondisi sosial politik Indonesia. Kran
kebebasan mulai terbuka. Sejumlah narasi mengenai pembukaan mata sejarah 1965 pun
sering terdengar, walau tak dipungkiri masih ditemukan pelarangan kegiatan bertema
“Tragedi 1965”. Mulai dari diskusi-diskusi umum di berbagai kampus, film, hingga seni
pertunjukan. Salah satu film yang membahas narasi 1965 adalah film karya sutradara asal
Amerika, berjudul Jagal dan Senyap. Sedangkan dalam bidang kesenian, seringkali
ditampilkan dalam wujud puisi, lukisan, seni instalasi, serta melalui teater. Salah satu
penggerak teater boneka di Jogjakarta mementaskan narasi 1965, yakni Papermoon Puppet
Theater .
Papermoon Puppet Theater is a contemporary puppet theater in Indonesia, which do experiments
on art by using puppet theater as its media. Not only making performances in theater spaces,
papermoon also do site-specific performances, make lots of workshops for all ages, and open artist
residency for collaborating works (Bio Facebook resmi Pappermoon Puppet Theater).
Entitas teater tersebut didirikan oleh Maria Tri Sulistiyani atau lebih akrab disapa Ria,
pada tahun 2006. Ria menjalankan Pappermoon bersama Iwan Efendi yang tak lain adalah
suaminya sendiri sekaligus pengarah artistik pementasan Pappermoon. Puluhan karya telah
dimiliki oleh Papermoon Puppet Theater, terhitung mulai tahun 2008 hingga 2016.
Mwathirika menjadi karya titik balik perjalanan Papermoon Puppet Theater. Mwathirika
yang dipentaskan pertama kali ditahun 2010 merupakan hasil dari kegelisahan Ria dan Iwan
mengapa karya Papermoon sebelumnya hanya bertahan beberapa hari saja. Padahal jika
ditilik persiapannya, membutuhkan waktu berbulan-bulan. Selain itu pementasan berumur
panjang akan menghasilkan penonton yang lebih banyak dan beragam. Terinspirasi oleh
pementasan di mancanegara yang karyanya bertahan hingga tahunan, dan keresahan ihwal
narasi-narasi “Tragedi 1965”, akhirnya Pappermoon membuat karya berjudul Mwathirika.
Harapan untuk melanggengkan usia karya pun tercapai. Mwathirika berhasil dipentaskan
hingga tahun 2016 di empat benua, yakni Asia, Amerika, Australia, dan Eropa.
Alih-alih menceritakan hal-hal yang klise dengan menyalahkan maupun memojokkan
salah satu pihak, Mwathrika mewujudkan kenangan kelam 1965 dengan mengangkat tokoh
anak kecil bernama Tupu yang merasa kehilangan, karena bapak dan kakaknya ditangkap
oleh orang bersenjata. Mwathirika lebih mengkekspos bagaimana keadaan yang kontras
antara sebelum dan sesudah peristiwa kelam terjadi. Tupu yang sebelumnya riang gembira,
4
bermain bersama bapak dan kakaknya tiba-tiba sedih setelah dua manusia yang
membahagiakan hidupnya pergi entah kemana. Bahkan tetangganya sendiri pun mulai
mengurangi interaksi dengan anak kecil tersebut. Unsur simbolik sangat kental dalam
Mwathirika. Dialog sangat minim, hanya sebatas ketika antar tokoh saling memanggil. Pesan
dalam cerita banyak dimainkan menggunakan simbol-simbol, seperti penggunaan warna
merah dan kuning yang erat dikaitkan dengan komunis.
Mwathirika menjadi menarik untuk dibahas karena narasinya diambil dari sudut pandang
korban yang tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Berkebalikan dari kebanyak narasi
di era Orde Baru hingga awal Reformasi. Aspek rasa kehilangan begitu tajam diutarakan.
Pun hal tersebut merupakan esensi penting dalam kehidupan manusia yang selama ini jarang
ditampilkan melalui karya seni dan sastra, dalam konteks “Tragedi 1965”. Seperti sejumlah
karya yang lahir era awal Orde Baru, yakni film dan novel dengan judul yang sama,
Pengkhiantan G30S/PKI. Karya tersebut mengeksploitasi kebrutalan pasukan pembunuh
jenderal dengan sokongan PKI, yang akhirnya menjadi media kamuflase tragedi pembunuhan
massal pasca Gestok.
Maka dari itu, peneliti ingin mengungkap bagaimana struktur naratif yang dimiliki
Mwathirika dalam menarasikan “Tragedi 1965” hingga mampu membius penonton
diberbagai belahan dunia melalui lebih dari lima puluh kali pementasan. Untuk memperkuat
data, peneliti menambahkan data sekunder berupa proses kreatif pembuatan Mwathirika yang
ditanyakan langsung kepada kreator, sejumlah respon penonton Mwathirika, dan berbagai
penelitian-penelitian dalam bentuk buku, jurnal, maupun artikel. Penelitian ini mencoba
untuk melengkapi analisis ihwal “Tragedi 1965” dengan mendedah narasi sejarah yang
dikemas melalui bentuk seni pertunjukan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana Mwathirika menarasikan “Tragedi 1965”?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaiamana Mwathirika menarasikan “Tragedi 1965”?
D. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui bagaimana sebuah pementasan teater mampu menjadi media komunikasi
narasi sejarah yang sensitif.
5
2. Menambah koleksi kajian mengenai seni pertunjukan sebagai media komunikasi
kontemporer di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM.
E. Kerangka Pemikiran
Sebuah pementasan teater memiliki proses yang tidak singkat. Berbagi macam tahapan
dilalui, mulai dari ketika penulis naskah mendapatkan inspirasi dari pengalamannnya untuk
dijadikan sebagai naskah teater, proses negosisasi pemilihan karakter, alur certita, dan teknis
pertunjukan dengan anggota lain dalam kelompok teater, kemudian pada tahapan pementasan
itu sendiri, hingga respon yang muncul setelah pementasan teater terjadi. Begitu banyak
dimensi komunikasi dalam teater.
Melihat banyaknya elemen pada teater yang dapat dijadikan menjadi bahan penelitan,
peneliti menentukan untuk membahas lokus pesan Mwathirika. Sehingga bagaimana
Mwathirika menarasikan “Tragedi 1965” menjadi pertanyaan utama yang harus dijawab
dalam penelitian. Pada bab ini peneliti memberikan kerangka berpikir ihwal teater sebagai
media penyampaian sejarah, model proses komunikasi pada teater, naratif dan teater, serta
perkembangan teori analisis struktur naratif mulai dari prastrukturalisme hingga
pascastrukturalisme.
1. Teater Sebagai Media Penyampaian Sejarah
Pesan dalam teater terus mengalami perkembangan. Pada masa awal teater tradisional
di Indonesia, banyak muatan-muatan mistis dan ritual pemanggilan roh dalam
pementasan teater. Muncul pula pesan-pesan bermuatan kondisi sosial di sebuah daerah
dimana kelompok teater berasal. Setelah beralih ke masa teater modern, muatan mistis
dan ritual pemanggilah roh mulai dihilangkan, walaupun tak dipungkiri teater tradisional
masih dipertahankan masyarakat di berbagai daerah. Pelaku teater pada masa awal teater
modern, banyak memainkan naskah yang bersifat hiburan. Setelah memasuki masa
kontemporer, yang menurut Jakob Sumardjo dimulai dari tahun 1980 hingga kini, pesan
dalam teater menjadi sangat beragam. Dapat berupa pesan sejarah, sosial, drama
romantik, hingga politik. Bahkan di era Orde Baru beberapa kelompok teater mendapat
cekalan dari pihak kepolisian, karena naskah pementasan memuat isu politik yang
menyoroti kinerja pemerintah pada saat itu.
6
Setelah semakin makin berkembangnya fungsi teater, muatan sejarah menjadi penting
ditilik dalam teater. Teater menjadi media yang memberikan tawaran lebih dalam
penyampaian sejarah dibandingkan dengan buku-buku sejarah, kolom di surat kabar,
hingga film. Dalam pertunjukan teater, penonton seakan-akan begitu dekat dengan
peristiwa sejarah. Melalui aspek-aspek teknis teater seperti penggunaan tokoh, dialog,
tata letak, tata lampu, artistik dan gerak akan membuat penonton lebih tersentuh
emosinya dan selanjutnya memunculkan ingatan dalam benak penonton. Ingatan itu
muncul melalui pengalaman-pengalaman penonton, baik karena pernah mengalaminya
sendiri, mendengarkan cerita orang lain, atau melalui pembacaan media tekstual. Ada dua
kemungkinan perihal ingatan, yang pertama bisa jadi apa yang selama ini dipercayai
penonton mengenai sejarah diamini oleh pertunjukan teater, yang kedua adalah
pertunjukan teater membawakan narasi sejarah yang bertolak belakang dengan ingatan
penonton, dan akhirnya akan menimbulkan pertanyaan, “Mana yang benar?”.
Sejumlah kelompok teater tercatat pernah membawakan lakon bertema sejarah,
termasuk Pappermonn Puppet Theatre melalui lakon Saidja dan Mwathirika. Saidja
bercerita mengenai kisah cinta di tengah masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Lakon ini
menggunakan tiga bahasa, yakni Indonesia, Inggris, dan Belanda. Pun diproduksi oleh
seniman yang berasal dari dua bangsa pelaku di masa tersebut, yakni Pappermoon Puppet
dari Indonesia dan Het Volkoperahuis dari Belanda. Peneliti Sejarah Abdul Wahid
mengemukakan, kisah tokoh fiksi Saidja yang diilhami dari kisah nyata sejarah masa lalu
Indonesia di Jawa Barat ini mengemukakan bahwa pertunjukan tersebut merupakan
inovasi yang sangat menarik dan penting untuk diangkat, karena mampu memandang
masa lalu dari dua bangsa yang langsung terlibat dalam peristiwa itu dengan bentuk seni
(Estuningsih, 2015). Sedangkan Mwathirika menceritakan sejarah 1965 melalui sudut
pandang anak yang keluarganya “dihilangkan” karena komunis. Kedua contoh lakon
tersebut menjadi bukti bahwa masih banyak narasi sejarah yang tidak ditemui di mediamedia arus utama. Bahkan terkadang kita terkesan menutupi narasi-narasi yang mampu
membuat gejolak atau dengan kata lain bersifat sensitif.
Benar atau tidaknya narasi sejarah tak mudah untuk dibuktikan, apalagi untuk
kalangan yang tidak mengalami sendiri, melainkan melalui pemaknaan terhadap narasi
dari berbagai media komunikasi. Maka dari itu sebaiknya pendistribusian narasi sejarah
7
ke masyarakat tidak dibatasi oleh narasi-narasi yang bertendensi mementingkan satu
pihak, harus dibuka secara bebas dan agar masyarakat memiliki otoritas untuk memilih
narasi manakah yang pantas dirujuk menjadi pedoman sejarah.
2. Komunikasi dalam Teater
Teater merupakan salah satu media komunikasi pada bidang seni. Ada kreator, ada
pesan dan ada khalayak. Kreator teater bisa diwakili oleh sutradara dan penulis naskah.
Pesan yakni apa yang disajikan melalui elemen-elemen pementasan teater, seperti
dialog, tata rias, kostum, tata panggung, tata cahaya, gerak, dan musik. Kompleks adalah
kata yang tepat untuk merepresentasikan jenis pesan dalam teater. Pesan tersebut
merupakan bentuk dari pengilhaman seorang sutradara maupun penulis naskah pada
fenomena di lingkungan masyarakat atau yang dialaminya sendiri. Segala imajinasi
sutradara, bebas hidup dalam teater, tidak ada pengekangan. Sedangkan khalayak
merupakan penonton yang hadir dalam pementasan secara langsung, atau menonton
pementasan secara tidak langsung, melalui berbagai jenis dokumentasi pementasan,
biasanya berupa video. Menonton teater secara langsung, membuat penonton dapat
merasakan sisi personal penerimaan pesan, melalui balutan komposisi visual, suara, dan
gerak. Dibandingkan dengan cara menerima pesan melalui media lain, teater
memberikan pengalaman yang lebih personal dalam menerima dan memaknai pesan.
Bagan di bawah menunjukan model proses komunikasi pada teater (Dimyati, 2010) :
Karya
Seni (KS)
Seniman
(S)
Apresiator
(AP)
Kehidupan
(K)
8
Keterangan:
a. Garis S-K (Inspirasi)
Tidak ada karya seni lahir dari kekosongan nilai. Melainkan terinspirasi oleh
fenomena yang ada, baik dari diri seniman maupun dari lingkungan sosial.
Fenomena yang diwujudkan menjadi karya merupakan stimulus dari pengalaman
estetis dan kemudian berbuah karya seni.
b. Garis S-KS (Simbolisasi)
Proses ini dinamakan sebagai encoding atau pembuatan pesan dengan
menggunakan simbol-simbol. Komposisi simbol yang digunakan seniman dalam
karya seninya merupa pada elemen-elemen utama dan pendukung teater.
Pemilihan simbol manakah yang akan dipilih seniman, murni diinterpretasi
seniman melalui penglihatan di lingkungan sosial maupun imajinasinya sendiri.
c. Garis AP-KS (Apresiasi)
Apresiator memaknai simbol-simbol (decoding) yang ada pada teater. Setiap
apresiator memiliki apresiasi memiliki kesaman dan perbedaan dengan apresiator
lain dalam pemaknaan teater. Keadaan-keadaan personal maupun teknis
pertunjukan juga memengaruhi proses ini.
d. Garis AP-K (Referensi)
Garis yang menghubungkan antara apresiator dengan pengalaman seniman
saat terlibat dalam kehidupan masyarakat. Pengalaman yang berbeda tiap
apresiator dan perbedaan sensasi dalam menerima pesan teater menimbulkan
presepsi yang berbeda pula dalam memaknai simbol. Proses ini bisa dilihat secara
tekstual, yakni sesuai dengan apa yang dilihat saat pementasan, atau kontekstual,
yakni disesuaikan dengan konteks di luar pertunjukan, apakah konteks politik,
sosial, budaya, atau yang lain.
Dimyati (2010) menambahkan bahwa teater memiliki tiga jenjang komunikasi.
Perhatikan bagan berikut :
9
Naskah
Jenjang 1
Sutradara
Jenjang 2
Elemen
Pertunjukan
Pertunjukan
Jenjang 3
Penonton
bagan tersebut dikhususkan pada teater yang naskahnya bukan dibuat oleh sutradara.
Bisa merupakan naskah dari orang lain di luar tim produksi teater, atau naskah yang
murni ditulis oleh penulis naskah tanpa intervensi dari sutradara. Jenjang 1 dapat
diartikan sebagai proses pemaknaan naskah oleh sutradara. Pada proses ini sutradara
memikirkan bagaimana naskah akan ditampilkan dalam pementasan. Latar belakang
sutradara memengaruhi proses pemaknaan tersebut. Sutradara bisa saja menambahkan
adegan-adegan atau menguranginya sesuai dengan selera sutradara. Pada Jenjang 2 ,
sutradara mewujudkan pemaknaannya terhadap naskah kepada elemen-elemen teater,
seperti aktor, kostum, tata panggung, tata cahaya, dan lainnya. Apa yang diyakini
10
sutradara dalam pemaknaan naskah dihidupkan dalam bentuk visual, gerak, maupun
suara. Sehingga diharapkan penonton mengetahui pemaknaan sutradara terhadap naskah
melalui elemen-elemen tersebut. Jenjang 3 merupakan proses komunikasi antara
pertunjukan teater dengan penonton. Komunikasi berjalan secara terus menerus dari
awal pertunjukan hingga akhir. Bahkan dalam prosesnya, penonton akan merasakan
perubahan-perubahan dalam pemaknaan pertunjukan. Aspek teknis serta subjektif sangat
lekat pada proses ini. Ketiga jenjang tersebut mampu mengamini bahwa komunikasi
dalam teater merupakan komunikasi yang kompleks.
Umberto Eco (dalam Sahid, 2004) memberikan sebuah alternatif proses komunikasi
yang dapat diterapkan dalam komunikasi teater. Berikut ini beberapa faktor yang terlibat
dalam proses tersebut.
Noise (gangguan)
Source transmittersignalchannelsignalrecievermessagedestination
Code
Source atau sumber informasi dalam aktivitas komunikasi dapat berupa ide
komunikator atau sebuah fenomena aktual yang harus dikomunikasikan. Transmitter
yang digunakan oleh sumber dapat berupa suara komunikator, email, komputer, atau
yang lain , yang mampu mengirim suatu signal. Selama perjalanan di sepanjang
channel, berpeluang besar untuk mengalami gangguan oleh noise. Kemudian signal
diambil oleh reciever atau penerima yang dapat berupa amplifier, mata, telinga,
sehingga dapat dikonversi suatu pesan yang dapat dipahami oleh destination atau tujuan.
Komunikasi teater berdasarkan diagram milik Umberto ini mengartikan bahwa
pertunjukan teater mengandung faktor-faktor yang kompleks. Pada setiap tahapan proses
komunikasi muncul komponen-komponen yang tidak tunggal. Misalnya, kita dapat
mengidentifikasi dramawan dan sutradara yang keputusannya banyak memilih
transmiter-transmiter yang berperan sebagai pengirim pesan, sedangkan penonton
sebagai penerima pesan.
11
Sedangkan konsep Mounin mengenai komunikasi teater merupakan suatu konsep
stimulus-respon. Yaitu siginal-signal satu arah dan mencetuskan “refleks-refleks
otomatis” yang pada gilirannya tidak komunikatif di sepanjang aksis-aksis yang sama.
Proses ini dipresentasikan sebagai berikut.
Stimulus
(Pertunjukan)
Respon
Pengirim
Penerima
(Performer/aktor)
Kode
Menurut Mounin (dalam Sahid, 2004), pengirim dan penerima pesan harus samasama berada dalam satu posisi yang memungkinkan untuk memakai saatu kode tunggal,
dan sekumpulan channel-channel fisik, sehingga dapat mentransmisi signal-signal yang
sama.
Sementara itu, konsep yang lebih kuat mengenai proses komunikasi teater yang
cenderung diterima secara umum menyebutkan bahwa penerima musti cukup akrab
dengan kode si pengirim agar mampu memaknai pesan. Franco Ruffini mengomentari
pendapat Mounin tersebut dengan mengatakan bahwa jika pengirim dan penerima
mengetahui kode satu sama lain, maka kedua kode itu tidak perlu serupa atau antara
pengirim dengan penerima tak perlu menterjemahkan pesan secara akurat satu sama lain
(Elam, 2001). Penonton teater yang berpengalaman akan mampu memaknai pertunjukan
secara tepat berdasarkan kode-kode pada pertunjukan.
3. Naratif dan Teater
Naratif adalah sebuah cerita atau kisah mengenai sesuatu yang terjadi atau dialami
oleh manusia, bintatang, dan lainnya (Berger, 1993). Cerita mengandung rangkaian
peristiwa yang ditempatkan dalam sebuah periode waktu tertentu. Periode waktu dalam
cerita bisa pendek seperti dongeng anak-anak hingga yang panjang seperti novel, teater,
12
maupun
film.
Naratif
merupakan
cara
utama
manusia
mengorganisasikan
pengalamannya kedalam episode-episode yang berarti. Menurut Jerome Burner (1986)
penalaran naratif adalah satu dari dua cara menyadarkan manusia. Cara yang lain adalah
logika ilmiah yang mampu melihat kondisi sebenarnya, sedangkan naratif mencari faktafakta dari rangkaian peristiwa. Kedua cara tersebut merupakan cara yang rasional dalam
membuat pemaknaan.
Di dunia yang didominasi oleh media cetak dan elektronik ini, kesadaran akan realitas
ditingkatkan melalui naratif (Fulton, 2005). Film mengenalkan kita cerita tentang diri
kita sendiri dan dunia yang kita tinggali. Televisi membicarakan realitas dengan bentuk
hiperbola dan parodi. Jurnalisme cetak mengubah kehidupan sehari-hari menjadi naratif.
Iklan menarasikan fantasi dan hasrat kita. Hingga karya-karya seni dan sastra yang
gemar menggunakan naratif untuk bertemu dengan penikmatnya. Setiap media memiliki
cara tersendiri dalam menemui audiensnya. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap teks
naratif yang dihadirkan memiliki motif tersendiri, apakah itu ekonomi, sosial, atau
politik. Sehingga setiap media memiliki strategi masing-masing agar selalu bisa
digemari oleh audiens. Tipe-tipe yang muncul sebenarnya juga merupakan bentukan dari
kreator-kreator media untuk memisahkan karakter masyarakat yang begitu banyak,
sehingga teks naratif akan berlangsung lebih efektif dan tepat sasaran. Akhirnya
masyarakat dikonstruksi pengetahuannya dan perasaannya melalui teks naratif, tak
terkecuali dalam teater.
Dalam konteks teater, teks naratif diproduksi oleh individu atau kelompok yang
disebut sebagai penulis naskah dan divisualisasikan dan dipertunjukan melalui arahan
sutradara. Untuk melihat bagaimana pesan dapat memberikan efek bagi penonton dan
masyarakat, kita tidak boleh memisahkan focal points dalam menganalisis media, yakni
artists, artworks, medium, society, dan audiences. Kelima elemen tersebut saling
memiliki pengaruh. Pun setiap bentuk teater memiliki karakteristik tersendiri dalam
menganalisisnya. Jika dilihat dari struktur dramatiknya ada sembilan bentuk teater
(Riantiarno, 2010)
a. Tragedi, berasal dari dua kata Yunani, tragos dan otde yang artinya kambing
dan nyanyian (= nyanian kambing). Kisah berakhir duka. Biasanya maut
menjemput sang tokoh utama di akhir lakon. Tragedi mengisahkan pergulatan
13
manusia melawan takdirnya. Memiliki bobot pertentangan gerak laku dalam
yang menyiratkan atau memantulkan rasa duka.
b. Komedi, adalah kisah penuh tawa gembira dan berakhir dengan sukacita.
Memiliki bobot pertentangan gerak laku yang menyiratkan atau memantulkan
kegembiraan, keceriaan. Biasanya, menimbulkan tawa.
c. Tragikomedi, adalah gabungan antara tragedi dan komedi. Tangis dan tawa
berbaur.
d. Melodrama, adalah kisah yang menguras air mata. Biasanya dipadu dengan
musik.
e. Farce, adalah gerak yang disajikan berlebihan dan tidak wajar menurut ukuran
standar, tetapi memang itulah gaya yang dipilih.
f. Parodi, adalah fakta dan kenyataan yang diputarbalikkan dengan maksud
menjadi bahan olok-olok. Orang biasanya mengenal tokoh atau fakta itu,
sehingga komunikasi terjalin.
g.
Satire, berasal dari kata satiricon, yakni cemoohan atau ejekan terhadap tokoh
atau keadaan yang disajikan penuh kegetiran.
h. Musikal, seluruhnya atau nyaris seluruhnya diiringi dengan musik dan
nyanyian. Dialog diubah menjadi nyanyian.
i. Opera, seluruh lakon dinyanyikan oleh pemeran dengan iringan orkestra
lengkap dan dilakukan dengan teknik menyanyi yang berkualitas.
4. Perkembangan Analisis Struktur Naratif
Kemunculan naratologi -- ilmu turunan teori strukturalisme yang mempelajari
struktur naratif dan bagaimana struktur tersebut memengaruhi komunikan – telah
dimulai pada prastrukturalisme oleh Aristoteles dengan membuahkan karya Six
Constituents of Tragedy yakni plot, character, diction, thought, spectacle, dan song.
Aristoteles melihat bahwa plot lah yang menjadi elemen terpenting dari sebuah tragedi.
Karakter itu penting, tapi yang kedua setelah plot (Fulton, 2005). Plot yang baik adalah
yang mengkontruksi dengan baik, memiliki kesatuan di setiap rangkaian ceritanya, dan
mudah diingat. Dalam menganalisis sebuah struktur naratif, Aristoteles memang
mementingkan plot sebagai elemen utama yang diprioritaskan, namun elemen lain tetap
tidak boleh ditinggalkan.
14
Setelah Aristoteles, muncul generasi naratolog seperti Vladimir Propp, Benjamin,
Bakhtin, dan Levi-Strauss. Namun Propp lah yang memengaruhi munculnya naratolognaratolog berikutnya. Propp telah meneliti 100 cerita dongeng Rusia, dan menghasilkan
buku The Morphology of The Folktale. Formalis asal Rusia itu meyakini bahwa setiap
teks naratif memiliki struktur yang sama, hanya polanya yang berbeda. Propp berhasil
menemukan metode untuk menganalisis struktur naratif melalui 31 fungsi pelaku.
Fungsi tersebut mampu membedah keseluruhan rangkaian teks naratif dengan memiliki
jalinan cerita yang dibawakan oleh sejumlah karakater. Setiap fungsi pelaku memiliki
lambang yang berbeda, contohnya: Hero diperkenalkan diberi lambang α , Villain
mendapatkan informasi korban diberi lambang ξ, Hero menikah diberi lambang W.
Walaupun dalam penelitiannya Propp memakai dongeng, analisis struktur naratif Propp
ini bisa diaplikasikan ke dalam berbagai media lain seperti acara televisi, film, novel,
dan teater. Pun 31 fungsi pelaku tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
teks naratif yang akan diteliti. Selanjutnya Propp mengusulkan untuk mendistribusikan
fungsinya menjadi lebih spesifik diantara para karaketer. Ditemukan tujuh lingkungan
tindakan yang membuat bergabungnya beberapa fungsi pelaku karena memiliki
kesamaan jalinann logis sebuah cerita. Propp membantu kita untuk mengerti apa yang
terjadi dalam cerita, bagaimana plot distrukturisasi, dan aturan-aturan berbagai karakter
yang ada (Berger, 1993).
Beralih ke teori pascastrukturalisme mengenai analisis struktur naratif. Gerard
Gennete menjadi tokoh yang berpengaruh pada masa ini. Dia menawarkan metode
analisis struktur naratif yang berbeda dengan milik Propp. Ada berbagai elemen yang
ditawarkan Gennete dalam mengkaji teks naratif, diantaranya: narrative mood, narrative
instance, narrative levels, dan narrative time. Keempat elemen tersebut memiliki
kecenderungan untuk meneliti bagaimana ucapan dan fungsi narator, kapan waktu narasi
diutarakan, sudut pandang mana yang dipilih dalam teks naratif, serta menghitung
kecepatan pergerakan antar narasi. Metode ini cocok digunakan untuk narasi-narasi yang
memiliki banyak dialog.
15
F. Kerangka Konsep
Mwathirika
Analisis Struktur
Naratif Propp
Dideskripsikan dan
dianalisis dengan
tambahan data
sekunder.
Disimpulkan menggunakan
model proses komunikasi
tiga jenjang.
Peneliti memetakan konsep penelitian seperti bagan diatas. Mula-mula pertunjukan
Mwathirika dibedah menggunakan analisis struktur naratif Propp dengan 31 fungsi
pelaku yang dimiliki. Alasan menggunakan model Propp dibanding dengan model lain
karena model Propp dapat menjelaskan struktur naratif pertunjukan teater secara
sederhana, lebih fokus pada tokoh dan pergerakan cerita, dapat dimodifikasi dengan
merujuk pada konten pertunjukan, serta dapat diaplikasikan pada pertunjukan minim
dialog seperti Mwathirika.
Syahdan, setelah analisis struktur naratif dilakukan, peneliti menyajikan data terlebih
dahulu dengan menggunakan lambang-lambang yang ada pada 31 fungsi pelaku Propp,
sehingga muncul pola rangkaian cerita Mwathirika. Peneliti menambahkan aspek-aspek
seperti analisis plot, ketokohan, dan jenis struktur dramatik yang ada pada Mwathirika.
Pada bahasan tersebut, peneliti memasukan data sekunder guna memperdalam analisis.
Terakhir, peneliti menyimpulkan penelitian dengan menggunakan model proses
komunikasi tiga jenjang yang dirujuk oleh Dimyati. Model tiga jenjang dipilih karena
dapat menjelaskan keterkaitan tiga elemen utama dalam teater yakni: kreator16
pertunjukan-penonton. Pada jenjang 1 dan 3 dijelaskan menggunakan data sekunder,
sedangkan hasil analisis struktur naratif Propp dijelaskan secara ringkas pada jenjang 2
dengan menambahkan data penunjang seperti analisis tokoh dan plot.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menghasilkan
data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang dapat
diamati dari orang-orang yang diteliti (Taylor dan Bodgan, 1984). Pendekatan ini
diharapkan mampu membantu peneliti untuk menguraikan makna dalam pertunjukan
Mwathirika.
2. Metode Penelitian
Metode ini membedah sebuah pertunjukan dengan 31 fungsi pelaku. Fungsi pelaku
tersebut memiliki lambang masing-masing. Setiap peristiwa pertunjukan akan diberikan
lambang sesuai dengan ceritanya masing-masing. Setelah peneliti memberi lambang pada
setiap cerita maka akan terlihat fungsi mana saja yang dipakai dalam pertunjukan dan
pergerakan certia berjalin. Fungsi pelaku Propp ini dapat diadaptasi dan dimodifikasi
sesuai dengan kebutuhan peneliti dalam menelaah pertunjukan. Berikut urutan 31 fungsi
pelaku yang diteliti Propp (2009):
1. Seorang anggota keluarga meninggalkan rumah (definisi: ketidakhadiran;
lambang β).
2. Sebuah larangan ditujukan kepada Hero (definisi: larangan, lambang γ).
3. Larangan dilanggar (definisi: pelanggaran, lambang δ).
4. Penjahat menyelidiki bagaimana cara menghalangi atau mencelakai Hero
(definisi: pengintaian, lambang Ɛ).
5. Penjahat menerima informasi tentang korbannya (definisi: penyampaian
informasi, lambang δ).
6. Penjahat memperdaya korbannya dengan tujuan memilikinya atau mendapatkan
yang dimiliki korbannya (definisi: penipuan, lambang ε).
7. Korban terperdaya oleh tipuan dan tanpa sadar membantu musuhnya (definisi:
keterlibatan, lambang ζ).
17
8. Penjahat merusak atau melukai salah seorang anggota keluarga (definisi:
kejahatan, lambang A).
Seorang anggota keluarga kekurangan sesuatu atau ingin memiliki sesuatu
(definisi: kekurangan, lambang a).
9. Ketidakberuntungan atau kekurangan membuat Hero dikenal, Hero diminta atau
diperintah, diizinkan untuk pergi atau menjadi penghubung tindakan balasan
(definisi: mediasi, peristiwa penghubung, lambang B).
10. Hero bersepakat untuk melakukan tindak balas (definisi: permulaan tindak
balas, lambang C).
11. Hero meninggalkan rumah (definisi: keberangkatan, lambang ↑).
12. Hero diuji, ditanya, diserang dan lain-lain yang menyebabkannya menerima
sesutau alat magis atau penolong (definisi: fungsi pertama donor, lambang D).
13. Hero mereaksi tindakan calon donor (definisi: reaksi Hero, lambang E).
14. Hero memperoleh cara penggunaan alat magis (definisi: penerimaan alat magis,
lambang F).
15. Hero dipindahkan, dikirim, atau dipandu ke tempat-tempat keberadaan objek
yang dicari (definisi: perpindahan di antara dua ruang, penduan, lambang G).
16. Hero dan penjahat terlibat peperangan (definisi: perjuangan, lambang H).
17. Hero ditandai (definisi: penandaan, lambang J).
18. Penjahat dikalahkan atau dibinasakan (definisi: kemenanangan, lambang I).
19. Kekurangan awal diatasi (lambang K). Fungsi ini dan fungsi kejahatan
membentuk satu pasangan. Naratif sampai pada puncaknya pada fungsi ini.
20. Hero kembali/pulang (definisi: kepulangan, lambang ↓).
21. Hero dikejar (definisi: pengejaran, lambang Pr).
22. Hero diselamatkan (definisi: penyelamatan, lambang: Rs).
23. Hero yang tidak dikenali tiba di negerinya atau di negeri lain (definisi:
kedatangan tidak dikenali, lambang O).
24. Hero palsu mempersembahkan tuntutan palsu (definisi: tuntutan palsu, lambang
L).
25. Tugas berat direncanakan untuk Hero (definisi: tugas berat, lambang M).
26. Tugas diselesaikan (definisi: penyelesaian, lambang N).
18
27. Hero dikenali (definisi: pengenalan, lambang Q).
28. Hero palsu atau penjahat terbongkar (definisi: pembongkaran, lambang: Ex).
29. Hero diberi wujud baru (definisi: perubahan wujud, lambang T).
30. Penjahat palsu dihukum (definisi: hukuman lambang U).
31. Hero menikah dan naik tahta (definisi: perkawinan, lambang W).
3. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah lakon dari Papermoon Puppet Theatre yang berjudul
Mwathirika. Pertunjukan yang telah dipentaskan sebanyak lebih dari lima puluh kali
sejak tahun 2010 ini akan diteliti melalui hasil dokumentasi pertunjukan perdana
Mwathirika yang telah diunggah di kanal Youtube.
4. Metode Pengumpulan Data
a. Data Primer
Peneliti menggunakan dokumentasi berupa video pertunjukan pertama
Mwathirika sebagai data primer. Sebenarnya peneliti mengamati dokumentasi
Mwathirika dalam bentuk compact disk (cd), namun karena cd macet dan tidak
bisa diputar dengan lancar, peneliti mengamati kembali melalui kanal Youtube.
Penggunaan metode penelitian analisis struktur naratif, menjadikan sebuah
pertunjukan menjadi data utama dalam penelitian.
b. Data Sekunder
Peneliti mewawancarai kreator utama Pappermoon Puppet Theatre, yakni Ria
Pappermoon dan Iwan Effendi. Wawancara tersebut bertujuan untuk mengetahui
profil Papermoon Puppet Theater dan bagaimana proses kreatif Mwathirika,
meliputi latar belakang kemunculan ide Mwathirika, riset yang dilakukan, proses
penentuan tokoh, plot, serta artistik. Selain itu, peneliti menambahkan respon
penonton Mwathirika yang terarsip pada laman www.mwathirika.blogspot.com.
Untuk memperkuat data mengenai topik penelitian, peneliti melakukan studi
pustaka yang bersumber pada buku, jurnal, artikel, dan penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan topik penelitian.
19
5. Metode Analisis Data
Analisis struktur naratif Propp memiliki khitah untuk membedah struktur naratif pada
dongeng tekstual, sehingga memiliki tahapan analisis yang detail. Peneliti mendapatkan
referensi penelitian seni pertunjukan dengan analisis struktur naratif Propp sebagai
metode penelitiannya, yakni penelitian berjudul” Lakon Baratayuda Versi Klaten: Kajian
Struktur Naratif” karya Endah Budiarti1 yang menyederhanakan analisis struktur naratif
Propp, misal: fungsi pelaku a memiliki fungsi pelaku turunan seperti a1, a2, a3, namun
dalam penelitian itu hanya dituliskan fungsi pelaku a saja tanpa disertai fungsi pelaku
turunan. Peneliti mengamini adaptasi tersebut, karena jika disimak dalam buku
Morphology of the Folktales, dengan hanya menyebutkan fungsi utama tanpa
menyertakan fungsi turunan sudah cukup untuk menjelaskan peristiwa pada seni
pertunjukan, serta memudahkan pembaca untuk memahami analisis data.
Berdasar pada metode analisis stuktur naratif Propp, penelitian ini memiliki
beberapa tahapan dalam menganalisis data, antara lain :
a. Kategorisasi karakter
Dalam buku Morphology of Folktales, kategorisasi tokoh menjadi Hero,
Penjahat, atau Donor didasarkan pada perilaku tokoh, sehingga murni dari
pemaknaan penelti terhadap tokoh dalam pergerakan cerita. Pun dalam penelitian
Endah
Budiarti
yang
mengangkat
lakon
Baratayuda,
semua
Pandawa
diidentifikasi sebagai Hero, dan semua Kurawa diidentifikasi sebagai Villain.
Pada penelitian ini, peneliti memetakan siapa saja yang menjadi tokoh pada
Mwathirika berikut karakter yang dibawakan. Ada tiga karakter yang dipilih,
yakni Hero (Tokoh utama/ Protagonis), Penjahat – terjemahan dari Villain (Tokoh
antagonis, pencipta konflik), dan Donor (dermawan/orang yang membantu Hero).
Setiap karakter dapat dimainkan oleh beberapa tokoh.
b. Pencatatan seluruh peristiwa dan pemberian lambang
Pada saat melakukan pengamatan melalui video dokumentasi Mwathirika,
peneliti mencatat keseluruhan peristiwa berikut tokoh-tokoh yang ada dalam
1
Tercantum dalam Jurnal Resital Vol 13 Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni
Indonesia Yogyakarta
20
Mwathirika sesuai dengan metode analisis struktur naratif Propp. Dalam
penulisannya, analisis struktur naratif Propp memberikan keterangan pada tiap
peristiwa dengan menggunakan 31 fungsi pelaku beserta lambangnya. Peneliti
melakukan modifikasi sejumlah fungsi pelaku guna menyesuaikan dengan
konteks cerita Mwathirika dan untuk memudahkan pembaca dalam memaknai
penelitian yang akan dijelaskan pada Bab IV.
Mwathirika merupakan pertunjukan yang bersifat minim dialog, sehingga
peneliti menambahkan unsur penjelasan peristiwa dengan memberikan analisis
peneliti terhadap simbol-simbol dalam Mwathirika dan dibantu dengan pendapat
kreator ihwal makna dari sejumlah simbol. Selanjutnya peneliti mendeskripsikan
data melalui pergerakan cerita Mwathirika yang telah dijabarkan melalui analisis
struktur naratif Propp
Peneliti menyajikan data berupa rangkaian struktur cerita dalam Mwathirika
dengan menyertakan rangkaian lambang yang mewakili peristiwa pertama hingga
akhir. Setelah itu peneliti memberikan analisis konten dan konteks Mwathririka
melalui pengamatan pergerakan cerita. Analisis tersebut meliputi plot,
penggunaan tokoh, jenis struktur dramatik, dengan membubuhkan data sekunder
guna memperdalam kerja analisis.
c. Kesimpulan
Penarikan kesimpulan berdasar pada analisis data yang telah disajikan melalui
metode analisis struktur naratif Propp dan ditambahkan dengan data sekunder.
Hasil
dari
penelitian
ini
dapat
menyimpulkan
bagaimana
Mwathirika
menghadirkan narasi “Tragedi 1965”. Pada tahap ini, peneliti menggunakan
model pola komunikasi tiga jenjang dalam menjabarkan temuan penelitian.
21
Download