BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 21 Maret 2006, bertempat di Jakarta ditetapkanlah sebuah peraturan pemerintah yang baru, yang dikenal sebagai Peraturan Bersama dua Menteri (selanjutnya akan disebut PBM). Peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri H. M. Ma’aruf dan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, secara umum berisi tentang upaya pemerintah untuk menjaga kerukunan umat beragama.1 Dengan mendirikan Forum Kerukunan Umat Beragama (selanjutnya disebut FKUB) maka diharapkan semua pemuka agama dapat hadir di sana, berdialog mengenai isu-isu yang sifatnya universal, semisal mengenai permasalahan bangsa Indonesia. Dengan begitu semua pemuka dapat bersatu, menggumuli bersama dan mencari solusi bersama tanpa adanya kecurigaan satu terhadap yang lain. Sehingga kerukunan antar umat beragama dapat tercapai. Minimal itulah yang diharapkan oleh pemerintah melalui sebuah PBM, untuk mengatur segala sesuatunya mengenai kerukunan umat beragama. Pendirian rumah ibadah juga diatur dalam PBM. Melalui PBM dijelaskan bahwa ijin untuk mendirikan rumah ibadah dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. Dalam memberikan ijin, pemerintah daerah memerlukan rekomendasi dari FKUB yang dianggap sebagai aspirasi masyarakat. Jadi FKUB merupakan sebuah forum penting bagi umat beragama yang tentunya diwakili oleh para pemuka agama masing-masing. Apabila ijin untuk mendirikan sebuah rumah ibadah masih menyulitkan maka PBM juga mengatur ijin pemanfaatan gedung yang sifatnya temporer. Hubungan antaragama khususnya Kristen-Islam kelihatannya belum dalam situasi yang harmonis. Setidaknya asumsi ini berkembang dari realita yang terjadi di mana ketegangan menjadi sesuatu yang kerap terdengar dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. 1 PBM ini dapat dilihat salah satunya dalam Libertus Jehani, Tanya Jawab tentang SKB 2 Menteri, Jakarta: VisimMedia 2006, Hlm. 39-59. 1 Perlakuan anarkhis dari orang-orang atau kelompok yang tidak bertanggung-jawab sering dirasakan atau menjadi bagian dari kehidupan Gereja-gereja di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri fakta bahwa orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering merasa tidak aman. Karena kaum minoritas biasanya akan mengalami perlakuan yang tidak semestinya. Bukan rahasia lagi bahwa banyak Gereja mengalami masa-masa menyedihkan (penutupan bahkan perusakan/pembakaran) di beberapa daerah Indonesia. Sehingga dapatlah kita berasumsi bahwa sulit untuk hidup tenang sebagai umat beragama Kristen di bumi Indonesia seperti saudara sesama “Agama Abraham” lainnya yang merupakan kaum mayoritas. Mungkin salah satu penyebab hubungan yang tidak harmonis ini karena adanya isu-isu kristenisasi. Sehingga umat Islam sebagai umat mayoritas merasa gerah dengan isu yang berkembang ini. Oleh karena itu segala tindakan Gereja bisa saja menjadi dicurigai, bahkan yang dengan niatan tulus sekalipun dapat menjadi permasalahan apalagi yang sifatnya kelihatan begitu agresif dalam mengerjakan panggilan tugas gerejawinya. Sehingga persoalan-persoalan di seputar ketegangan dalam hubungan Kristen-Islam di Indonesia menjadi persoalan yang mudah saja untuk diciptakan. Karena apabila diprovokasi oleh orang atau kelompok yang tidak bertanggung-jawab maka konflik antar Kristen-Islam ini langsung dapat terbakar. B. Pokok Permasalahan Tetapi berbarengan dengan masa-masa itu, agama Kristen (kelompok Konservatif dan Fundamentalis) tetap dengan gigih melakukan pekabaran Injil yang sifatnya untuk menobatkan orang-orang di luar Gereja. Masa-masa sulit bagi Gereja tidak dipandang sebagai pelajaran untuk mencoba lebih efektif dan arif dalam mengerjakan pekerjaan misi tetapi dipakai sebagai cambuk untuk lebih giat lagi dalam kegiatan-kegiatan misi yang cenderung disamakan dengan pekabaran Injil verbal.2 Penderitaan para tokoh-tokoh dalam Perjanjian Baru sering dipakai sebagai acuan untuk menguatkan iman, 2 Dalam kotbah-kotbah, kelompok Konservatif dan Fundamentalis (khususnya kalangan Karismatik) biasanya menggunakan cerita-cerita heroik tokoh-tokoh dalam Alkitab sebagai cambuk untuk membangkitkan semangat pekabaran Injil. 2 mempertebal keyakinan akan pekabaran Injil dan sebagai teladan bahwa toh para pendahulu juga telah menderita, sehingga orang Kristen juga tidak perlu takut untuk mengalami masa-masa sulit ketika memberitakan keselamatan. Keyakinan kelompok kekristenan Konservatif dan Fundamentalis3 bahwa mereka sedang mengerjakan sebuah amanat yang sering disebut sebagai Amanat Agung, menyebabkan kelompok itu menjadi bersemangat dan cenderung agresif mengabarkan Injil. Amanat Agung yang terdapat dalam Matius 28:19 itu dipahami sempit sebagai usaha untuk menjadikan segala bangsa murid Yesus dan membaptis yang artinya harus menjadi anggota Gereja. Menurut mereka amanat ini dikatakan langsung oleh Yesus, sehingga sah-lah ini merupakan sebuah kewajiban. Ketaatan kelompok ini dikarenakan, menurut mereka yang memberi perintah adalah Yesus, sehingga kelompok ini menjadi berani dan agresif dalam menjalankan misi amanat itu. Pemahaman bahwa waktu-waktu ini adalah masa-masa penuaian makin membuat kalangan Karismatik menjadi makin agresif untuk menuai, bukan hanya orang nonKristen yang menjadi sasaran, orang dari denominasi berbedapun tidak luput dari usaha penuaian mereka. Oleh karena banyaknya tuaian maka wadah juga harus diperbanyak. Hal ini yang sering dipakai sebagai alasan kalangan Karismatik untuk mendirikan Gereja. Sehingga pendirian atau penanaman Gereja menjadi hal yang lumrah bagi mereka. sebagai contoh dapat dilihat dari pernyataan seorang Pendeta GBI Bethany Medan4 3 Pemakaian istilah Konservatif, pada skripsi ini mengarah kepada kalangan Injili. Karena dalam bukunya, Togardo Siburian (seorang Injili) mengklaim bahwa mereka (kaum Injili) lebih berpendekatan konservatif dan bukan fundamentalistik. Beliau juga mengatakan bahwa kalangan Injili dalam isu kepelbagaian lebih dekat dengan kaum Karismatik dan berseberangan dengan kaum Oikumene yang lebih dekat dengan kaum Katolik. Sehingga dalam tulisan-tulisan selanjutnya dalam skripsi ini istilah konservatif otomatis mengarah kepada kalangan/ kaum Injili. Lih Togardo Siburian, M.Th, Kerangka Teologi Religionum Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan kekristenan dengan agama-agama lain, Bandung: Penerbit STTB 2004, Hlm. 230. Sedangkan istilah Fundamentalis, pada skripsi ini mengarah kepada kelompok Pentakostalisme dan sejenisnya, termasuk gerakan Karismatik. Meskipun latar-belakang fundamentalis hanya dapat dijumpai pada kasus-kasus tertentu dari gerakan Karismatik tetapi warna fundamentalis memang sedikitnya terdapat dalam gerakan Karismatik. Sehingga untuk pemakaian istilah fundamentalisme pada skripsi ini akan mengarah kepada kelompok Pentakostal atau Karismatik. Untuk lebih jelas mengenai variasi-variasi kelompok Fundamentalisme dapat dilihat pada, James Barr, Fundamentalisme (terj), Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996, Hlm. 216-250. 4 Sebuah pengajaran dari Pdt. R. Bambang Jonan, seorang Gembala Sidang GBI Bethany Medan. Pengajaran yang diberi judul Hujan Lebat Telah Turun, Siapkan Wadah!. Dapat dilihat dari, http://www.bethanyr4.or.id/pengajaran/Hujan%20Lebat.htm, August 11, 2007, 12:20:09 AM 3 berikut ini: “Hari-hari ini adalah masa dimana Tuhan sedang mencurahkan pengurapan dan berkatNya yang berlimpah-limpah. Banyak orang menanti-nantikan hujan itu, namun bagi kita gerejaNya, tuntunan Tuhan jelas yaitu sekaranglah waktunya hujan awal dan hujan akhir itu sedang dicurahkan dengan deras. Masalahnya adalah ketika hujan yang lebat telah turun, apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasinya? Sebab kalau kehilangan momentum lawatan Allah, kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi lagi. Kita akan melihat penuaian besar-besaran yang akan terjadi dalam pelayanan ini. Saudara akan lihat tahun 2001 Rayon IV yang meliputi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat akan mengalami hujan yang sangat besar. Nubuatan ini sudah lama saya dapat namun baru disampaikan sekarang. Tuhan memberitahukan bahwa kita harus mengotonomkan cabang-cabang yang ada.” Permasalahannya, di Indonesia kekristenan adalah kalangan minoritas, sehingga tidaklah tepat apabila pendekatan dalam rangka pekerjaan misi adalah pendekatan yang agresif dengan menekankan target-target pencapaian (jumlah pertobatan atau tahun pertobatan). Karena cara seperti itu (agresif, eksklusif, dan sebagainya) akan menyebabkan gesekan antara umat beragama. Sehingga perlunya sebuah pengkajian mengenai misi yang sehat, yang tidak mengusik ketenteraman umat lain. Supaya dengan begitu dapat memperkecil skala terjadinya konflik yang menimbulkan rasa takut bagi umat Kristen. Sekaligus juga dengan misi yang sehat ini, umat dapat belajar lebih menghargai umat lain bukannya menjadikan mereka (umat lain) sebagai sasaran kristenisasi melainkan sasaran kasih Allah yang holistik. C. Hipotesa Tidak mungkin terjadi konflik apabila tidak ada persoalan. Sehingga sudah pasti ada persoalan yang menyebabkan curiga-mencurigai dalam hubungan antaragama khususnya antar umat Kristen-Islam di Indonesia. Kalau dikatakan sebagai negara yang menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya maka seharusnya PBM ataupun peraturanperaturan yang menyangkut agama tidak diperlukan. Toh beragama adalah panggilan hati. Kalau begini berarti ada kesalahan yang pernah terjadi yang menyebabkan hadirnya intervensi pemerintah dalam ranah agama yang kelihatannya tidak dapat diselesaikan 4 oleh orang beragama sendiri. D. Tujuan Penelitian Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis menyusun skripsi ini dengan tujuan-tujuan sebagai berikut: - Memperlihatkan bahwa gagasan-gagasan konsep misi kalangan Kristen Konservatif atau Fundamentalis menimbulkan ketegangan di antara umat beragama di Indonesia. - Menawarkan sebuah konsep misi ekumenis kontekstual yang dapat menjamin hubungan harmonis antara umat beragama. E. Batasan Masalah Skripsi ini menjabarkan tindakan kelompok Kristen Konservatif dan Fundamentalis dalam rangka menjalankan misi, lalu melihat reaksi apa yang timbul dari umat beragama lain sehubungan dengan pekerjaan misi mereka. F. Metode Penelitian Dalam kaitan dengan penyusunan skripsi ini penulis akan memakai pola pendekatan deskriptif analitis dengan mengandalkan hasil studi literatur yang mendukung. Metode deskripsi digunakan untuk memaparkan konsep-konsep misi kalangan Konservatif atau Fundamentalis dan pengaruhnya dalam hubungannya dengan umat beragama lain. Sedangkan penggunaan metode analisa adalah untuk menemukan konsep misi yang seperti apa yang menyebabkan ketegangan di antara umat beragama, lalu kemudian melihat sebuah konsep misi yang ekumenis dan cocok untuk konteks masyarakat Indonesia. F. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan. BAB II Zaman Pencerahan dan Misi Gereja. BAB III Perjumpaan Kristen-Islam di Indonesia. BAB IV Sebuah teologi misi yang ekumenis dan kontekstual. BAB V Kesimpulan. 5