ROMA Roma adalah sebuah kota dengan kekayaan sejarah di setiap sudutnya, yang memperlihatkan kehebatan kota ini di bidang seni, arsitektur dan teknik, dan sebagai pemilik salah satu sistem politik paling kuat yang pernah ada. Sejarah panjang Tak salah bila orang-orang mengatakan bahwa hidup saya menyenangkan. Hari-hari saya di Roma dimulai dengan berjalan pagi, sekedar mengikuti langkah kaki, menyusuri jalanan yang kosong sambil memotret. Saya suka sekali saat-saat seperti ini, ketika toko-toko masih tutup, pasar masih kosong dan jalanan hanya diisi kendaraan antar-jemput sekolah, petugas pembersih jalan dan para pedagang yang sedang bersiap membuka toko mereka. Truk menurunkan barang dagangan ke toko-toko, sementara sang pemilik menaikkan rolling door hingga ke plafon. Para pekerja kantoran singgah untuk membeli kopi sekaligus menikmati keindahan fasad bangunan di sekitarnya. Pons Fabricius, jembatan Romawi tertua di Roma Roma memang kota yang ramah bagi pejalan kaki, dan salah satu tempat favorit saya di pagi hari adalah Jewish Ghetto atau Perkampungan Yahudi, kawasan berusia 500 tahun yang dibangun di atas Circus Flaminius, bekas pusat kegiatan politik yang dulunya memiliki belasan kuil. Ke mana pun saya berjalan, saya bisa melihat peninggalan kekaisaran Roma hingga detaildetailnya, seperti pilar bekas kuil yang disatukan dengan tembok sebagai hiasan atau relief pada batu nisan marmer. Melewati kawasan yang kini sebagian besar menjadi pedestrian, saya tiba di Portico d’Ottavia, fasad kuil dengan bagian atas berbentuk segitiga yang ditopang oleh pilar-pilar setinggi 10 meter. Bangunan berusia 1700 tahun ini dulunya adalah gerbang monumental yang mengarah ke kompleks kuil, dan kini menjadi pintu masuk ke situs arkeologi. Saya melewati deretan pilar di koridor sepanjang 50 meter, dan cahaya matahari yang sedari tadi menghangatkan bahu saya menghilang, terhalang oleh Teater Marcellus, bangunan tiga lantai berlapis marmer travertine peninggalan abad pertama SM, yang fasadnya mirip Colosseum. Fungsinya pun sama dengan Colosseum, yakni sebagai tempat hiburan. Namun, yang ditampilkan di sini adalah pertunjukan teater, komedi, drama dan tragedi. The Church of the Most Holy Name of Mary dan Column of Trajan. Bunyi klakson mobil membawa pikiran saya kembali ke abad 21. Saya berjalan menanjak di sebuah kawasan modern menuju keramaian Via del Teatro di Marcello, salah satu jalanan kontemporer di kota Roma. Menuruni jalanan berkelok, saya tiba di San Nicola in Carcere, sebuah gereja dengan arsitektur Baroque yang diapit pilar-pilar kuno. Pilar-pilar tersebut kini menyatu dengan dinding eksterior gereja. San Nicola sebenarnya dibangun tahun 1178. Akan tetapi, gereja ini berdiri di atas fondasi tiga kuil era Republik. Artinya, saat saya memasuki ruang bawah tanah gereja, saya menjejakkan kaki di antara kuil-kuil berusia 2.300 tahun yang menjadi fondasinya. Setiap kali berjalan di sini, saya merinding membayangkan saya berjalan di atas jejak kaki para pedagang, saudagar dan penjelajah Romawi. Sungai mengalir membelah kota Roma adalah kota dengan tujuh bukit dan sebuah sungai yang mengalir di antaranya. Sungai bernama Tiber ini merupakan jalur utama penghubung Roma dengan kawasan Mediterania dan kekaisarannya, sehingga menjadi sumber kehidupan Kota Roma. Di masa lalu, pinggiran sungai dipenuhi deretan gudang yang setiap hari memuat barang-barang untuk dikirim ke Roma, kota metropolitan pertama di dunia dengan penduduk satu juta jiwa. Setelah kemunduran Kekaisaran Roma dan memasuki abad pertengahan, kehidupan di kota ini semakin bergantung pada Sungai Tiber. Bangunan-bangunan tempat tinggal pun bermunculan di sepanjang tepi sungai, kebanyakan digunakan oleh nelayan, pabrik terapung dan kapal. Circus Maximus, taman arkeologikal yang baru dibuka. Dulu, situs ini mampu menampung 200.000 penonton Kini, meski keagungan Sungai Tiber telah sirna oleh pembangunan muraglioni, tembok masif yang melindungi kota dari banjir, sungai ini dan jembatannya tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari warga Roma. Sejak adanya Lungotevere, jalan raya yang membentang di kedua sisi tembok muraglioni, rumah dan jalan di sepanjang kota ini telah berganti dengan lalu lintas mobil, bus dan sepeda motor, yang dihubungkan oleh ponti atau jembatan. Saya bergerak menuju Isola Tiberina atau Pulau Tiber, pulau kecil berbentuk perahu di sebelah selatan sungai. Dahulu, Pulau Tiber dikenal dengan nama Insula Inter-Duos-Pontes, yang berarti pulau di antara dua jembatan. Pulau ini menghubungkan pusat Roma dan Trastevere melalui dua jembatan batu, yakni Pons Fabricius dan Pons Cestius. Saya menyeberang ke pulau lewat Pons Fabricius. Sampai sekarang, pulau ini masih sama seperti ratusan tahun lalu. Sebuah rumah sakit dan kompleks gereja berdiri di situs kuil kuno Aesculapius, dewa penyembuhan Yunani. Saat menyusuri pulau, saya terpesona melihat ukiran pada batu dengan detail dari desain aslinya yang bertahan hingga kini. Pulau Tiberina, dikelilingi oleh tumbuhan dan pohon, serta dibasuh air dari Sungai Tiber Di tengah sungai ada sebuah jembatan patah bernama Ponte Motto, atau dulunya Pons Aemilius. Di tepi sungai, saya melihat sebuah pelengkung kecil dari batu vulkanik yang tersembunyi di antara tetumbuhan dan grafiti. Yang saya lihat ini adalah Cloaca Maxima, salah satu sistem drainase paling tua di dunia. Pada dasarnya Cloaca Maxima adalah sebuah kanal dari abad ke-6 SM yang mengubah lembah sungai yang subur menjadi Forum Romawi dan pusat kerajaan. Saya takjub membayangkan di tempat inilah kejayaan Roma bermula. Menjelajahi lanskap khas Romawi Kembali ke Pons Fabricius, saya menyeberang menuju tempat yang dulu disebut Forum Boarium, pusat perdagangan paling tua di Roma dan pasar ternak purba di sudut Via Luigi Petroselli dan Via di Vico Jugario. Persimpangan yang ramai menyambut para pekerja yang datang ke kota dan wisatawan yang ingin mengunjungi situs-situs arkeologi. Di hadapan saya ada Sant’Omobono, area terbuka yang dipenuhi reruntuhan batu vulkanik dan sisa-sisa kuil dari abad ketujuh SM sampai abad kedua Masehi. Di sebelah kanan dan selatan saya ada dua kuil yang masih terawat baik, yakni Hercules, kuil bundar yang indah, dan Portunus, kuil persegi panjang dari akhir abad kedua SM. Pemandangan Theater Marcellus dari Bukit Capitoline Setelah itu saya melintasi Via di Vico Jugario, yang dulu merupakan jalur untuk membawa barang dagangan dari tepi sungai, melalui forum holitorium (pasar sayur) ke Forum Romawi, yang menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Di atas saya terdapat tebing Bukit Capitoline, pusat pemerintahan Roma. Lalu saya berbelok ke kanan dan menikmati tersesat di jalanan kuno Velabrum, jalanan indah yang diapit dua bukit bersejarah, Capitoline dan Palatine. Circus Maximus Dari Velabrum saya berjalan ke Arch of Janus, sebuah bangunan besar dengan pelengkung di keempat sisinya, yang berfungsi sebagai tempat berdagang. Lalu saya berjalan melewati plaza Alda Fendi Foundation yang baru dipugar. Proyek kolaborasi Fendi dan arsitek Jean Nouvel ini memberi sentuhan seni kontemporer pada bangunan paling kuno di Roma. Zaman memang berubah, namun Roma tetaplah Roma, kata saya dalam hati saat tiba di lapangan yang agak kosong. Lembah yang tertutup rumput di antara bukit Palatine dan kebun mawar Aventine ini tak lain adalah Circus Maximus, tempat olahraga terbesar di Roma. Selama empat abad, lintasan oval sepanjang 500 meter dengan kapasitas lebih dari 200.000 penonton ini dipakai untuk balap kereta kuda, perburuan binatang dan parade ritual. Kini, Circus Maximus menjadi ruang terbuka untuk acara santai, olahraga dan konser rock setiap musim panas. Saya kemudian bergerak ke ujung timur, menuju sebuah tempat wisata abad pertengahan, dan menemukan jejak-jejak masa lalu Circus di sebuah tempat tertutup, yang dapat dikunjungi pada akhir pekan. Menjelajahi situs ini dan melihat sisa-sisa bangku penonton, toko, toilet dan gerbang kemenangan, saya benarbenar bisa merasakan kebesaran dan nilai sejarahnya. Taman mawar bersejarah di Bukit Aventine Dari menara abad pertengahan saya menuju Viale di Parco del Celio. Bukit yang rimbun ini dihiasi reruntuhan bangunan kuno, termasuk sebuah bangunan dengan tujuh pelengkung. Pelengkung ini adalah pintu masuk ke situs arkeologi Case Romane, bangunan berkubah dari era kekaisaran, yang pernah digunakan untuk menyimpan jasad martir abad keempat Masehi, Yohanes dan Paulus. Pembagian ruangnya mencakup ruang makan, ruang tamu, ruang penyimpanan serta sebuah antikuarium. Yesus dan para martirnya ditampilkan pada lukisan dinding yang tersembunyi di lantai atas, dan di bawah tangga, tempat para martir dimakamkan. Pada bagian belakang terdapat museum kecil dan inovatif, dengan dinding batu bata yang menampilkan detail kekaisaran. Situs-situs tersembunyi inilah yang menjadikan Roma sebuah kota yang kaya akan sejarah dan misteri. Perjalanan saya berakhir di sebuah lapangan yang dikelilingi pohon pinus Romawi. Pohon indah berbentuk payung ini menaungi Celimontana, sebuah taman yang rimbun dengan air mancur serta jalanan mendaki, dan termasuk salah satu dari tujuh bukit di era Roma kuno. Ya, hidup saya memang indah.