BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis 2.1.1 Teori keagenan Perspektif teori agensi merupakan dasar yang digunakan untuk memahami isu corporate governance dan earnings management. Adanya pemisahan kepemilikan oleh prinsipal dengan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik keagenan di antara prinsipal dan agen. Dari sudut pandang manajemen keuangan, salah satu tujuan perusahaan adalah untuk memaksimumkan kemakmuran pemegang saham atau stockholder (Brigham dan Daves, 2001). Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul dari satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Adanya asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri, mengakibatkan agen memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong agent untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. 12 13 Permasalahan keagenan ditelusuri dari beberapa kondisi, seperti penggunaan arus kas bebas (free cash flow) pada aktivitas yang tidak menguntungkan, peningkatan kekuasaan manajer dalam melakukan over investment, dan consumption of excessive perquisites (Jensen, 1986), atau disebabkan oleh perbedaan keputusan investasi antara investor dengan manajer (Bhatala, et al 1994). Investor memilih risiko tinggi untuk mendapatkan return tinggi sedangkan manajer memilih risiko rendah untuk mempertahankan posisi atau sebaliknya di dalam perusahaan (Crutchley dan Hansen, 1989). Selain teori keagenan terdapat pula teori akuntansi positif yang mendorong dan melatarbelakangi sifat oportunistik pihak manajemen dalam memperlihatkan kinerja yang baik demi untuk memenuhi kepentingan pihak manajemen. 2.1.2 Teori akuntansi positif Dalam Positive Accounting Theory terdapat tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986) yaitu: 1) Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba lebih banyak menggunakan akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. 2) Hipotesis rencana utang (debt covenant hypothesis) Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak 14 meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. 3) Hipotesis biaya politik (political cost hypothesis) Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pendapatan perusahaan, dan lain-lain. 2.2 Manajemen Laba Copeland (1968) mendefinisikan manajemen laba sebagai "some ability to increase or decrease reported net income at will" yang berarti manajemen laba adalah suatu tindakan memaksimumkan atau meminimumkan laba untuk tujuan tertentu. Manajemen laba dapat menimbulkan masalah-masalah keagenan (agency cost) yang dipicu dari adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara pemegang saham (principal) dengan pengelola atau manajemen perusahaan (agent). Menurut Scott (1997), manajemen laba adalah tindakan manajer untuk melaporkan laba yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan dengan menggunakan kebijakan metode akuntansi. Healy dan Wahlen (1999), membagi motivasi manajemen laba ke dalam tiga kelompok: 1) Motivasi pasar modal (capital market motivation) Motivasi manajemen laba karena alasan pasar modal lebih banyak disebabkan oleh adanya anggapan umum bahwa angka-angka akuntansi, 15 khususnya laba merupakan salah satu sumber informasi penting yang digunakan oleh investor dalam menilai harga saham. Sehingga tidak mengherankan kalau ada sebagian manajer yang berusaha membuat laporan keuangannya tampil baik dengan maksud untuk memengaruhi kinerja saham dalam jangka pendek. Manajemen cenderung melaporkan laba bersih rendah (understate) ketika melakukan buy out dan melaporkan laba lebih tinggi (overstate) ketika melakukan penawaran saham ke publik. 2) Motivasi kontrak (contracting motivation) Motivasi kontrak atas terjadinya manajemen laba dikaitkan dengan penggunaan data akuntansi dalam memonitor dan meregulasi kontrak atas perusahaan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Secara eksplisit maupun implisit, kontrak-kontrak yang berjenis kompensasi manajemen banyak dikaitkan dengan kinerja keuangan perusahaan. Ada alasan khusus yang menyebabkan mengapa manajemen laba terjadi dalam konteks kontrak yaitu baik kreditor maupun komite kompensasi yaitu komite yang menyiapkan berkas kontrak antara manajer perusahaan, merasa bahwa upaya mengungkapkan ada tidaknya manajemen laba adalah upaya yang mahal dan membutuhkan waktu. Kondisi ini seakan menjadi pendorong bagi manajer untuk melakukan praktik manajemen laba. 3) Motivasi peraturan (regulation motivation) Bagi para pembuat standar, perhatian terhadap manajemen laba menjadi penting karena manajemen laba apapun alasannya dapat mengarah 16 kepada penyajian pelaporan keuangan yang tidak benar, dan akhirnya dapat memengaruhi alokasi sumber daya yang ada. Manajer dapat memanipulasi laba dengan berbagai cara, baik yang secara langsung berpengaruh terhadap keputusan operasi, pembiayaan, investasi maupun dalam bentuk (pemilihan prosedur akuntansi yang diperbolehkan dalam Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). 2.3 Kategori Manajemen Laba Menurut Gunny (2005) manajemen laba dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: fraudulent accounting, accruals management dan real earnings management. 1) Fraudulent accounting Fraudulent accounting merupakan pilihan akuntansi yang melanggar General Accepted Accounting Principles (GAAP), accrual earnings management meliputi aneka pilihan dalam GAAP yang menutupi kinerja ekonomi yang sebenarnya dan real earnings management terjadi ketika manajer melakukan tindakan yang menyimpang dari praktik yang sebenarnya untuk meningkatkan laba yang dilaporkan. 2) Manajemen laba akrual Manajemen laba berbasis akrual dilakukan karena adanya keleluasaan kebijakan dari manajemen dalam menentukan suatu praktik akuntansi terhadap suatu account dalam neraca. Menurut Sulistyanto (2008), praktik akrual ini dilakukan dengan mempermainkan komponen- 17 komponen akrual dalam laporan keuangan, sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan orang yang melakukan pencatatan dan menyusun laporan keuangan. Praktik manajemen laba berbasis akrual dapat dilakukan apabila manajemen telah memiliki pengetahuan yang baik dalam bidang akuntansi. Manajer sama sekali tidak melibatkan arus kas perusahaan dan hanya bermain pada pos-pos neraca di akhir tahun neraca. Praktik berbasis akrual menyatakan bahwa perusahaan dapat mengakui pendapatan atau beban sesuai dengan waktu substansinya dan tidak memperhatikan kapan arus kas masuk atau keluar. Biaya dapat diakui dalam waktu tertentu walaupun pengeluaran kas telah terjadi pada waktu sebelumnya, begitu juga sebaliknya, jika biaya baru diakui di periode yang akan datang walaupun pengeluaran kas telah terjadi di periode berjalan. 3) Manajemen laba riil Menurut Roychowdhury (2006), kegiatan manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil merupakan kegiatan yang berangkat dari praktik operasional yang normal, yang dimotivasi oleh manajer yang berkeinginan untuk menyesatkan beberapa stakeholder untuk percaya bahwa tujuan pelaporan keuangan tertentu telah dipenuhi dalam operasi normal. Kegiatan manipulasi aktivitas riil sebenarnya tidak memberikan kontribusi untuk nilai perusahaan walaupun mungkin tujuan para manajer tercapai dalam penentuan target laba yang mereka harapkan. 18 Gunny (2005), melakukan penelitian tentang konsekuensi dari manajemen laba riil. Empat aktivitas utama manajemen laba riil yang digunakan adalah: a) mengurangi biaya diskresioner riset dan pengembangan, b) mengurangi biaya diskresioner penjualan dan biaya administrasi dan umum, c) melakukan timing penjualan aktiva tetap untuk menaikkan laba, dan d) overproduction, diskon harga atau keringanan kredit untuk menaikkan penjualan atau mengurangi biaya produksi. Terdapat dua alasan yang mendasari dipilihnya manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil daripada manipulasi akrual yaitu (1) manipulasi akrual lebih sering dijadikan pusat pengamatan atau inspeksi oleh auditor dan regulator daripada keputusan tentang penentuan harga dan produksi. Sehingga pilihan akuntansi yang dilakukan terkait dengan akrual pada perusahaan mempunyai risiko yang lebih besar terhadap pemeriksaan oleh pihak yang berwenang di pasar modal dan perusahaan akan mendapatkan sanksi apabila terbukti melakukan penyimpangan standar akuntansi yang berlaku umum dengan tujuan untuk memanipulasi laba, dan (2) hanya menitikberatkan perhatian pada manipulasi akrual merupakan tindakan yang berisiko. Selain itu, perusahaan mungkin mempunyai fleksibilitas yang terbatas untuk mengatur akrual, misalnya keterbatasan dalam melaporkan akrual diskresioner (Graham, et al 2005). Menurut Roychowdhury (2006), manajemen laba riil dapat dideteksi melalui 3 hal yaitu arus kas operasi, biaya produksi dan biaya diskresioner perusahaan. 19 Cara yang digunakan oleh manajer dalam praktik manipulasi arus kas operasi tersebut diantaranya adalah dengan melakukan manipulasi penjualan. Manajer menggunakan kebijakan diskon besar-besaran sebagai salah satu cara untuk meningkatkan penjualan dan berdampak pada arus kas operasi yang masuk ke dalam perusahaan. Dengan demikian, volume penjualan perusahaan pada tahun tersebut akan naik. Cara yang lainnya adalah dengan pemberian kredit ringan yang akan meningkatkan penjualan namun memperkecil arus kas operasi yang masuk ke dalam perusahaan atau penundaan pembayaran bahan baku kepada supplier sehingga volume arus kas di dalam perusahaan menjadi tinggi. Pihak manajemen memanipulasi biaya produksi dengan cara membesarkan volume produksi di tahun berjalan. Pada penelitian yang dilakukan Roychowdhury (2006), biaya produksi merupakan jumlah dari harga pokok penjualan dan perubahan persediaan selama periode berjalan. Dengan semakin banyaknya unit produksi yang dihasilkan, biaya fixed overhead per unit semakin menurun, bila diasumsikan biaya marginal produksi tidak meningkat maka efeknya adalah biaya total per unit yang akan menurun. Menurunnya biaya total per unit akan berpengaruh terhadap menurunnya nilai harga pokok penjualan sehingga laba perusahaan di tahun berjalan akan meningkat. Proksi dari manajemen laba riil yang selanjutnya adalah biaya diskresioner. Biaya diskresioner merupakan biaya yang outputnya tidak bisa diukur secara moneter dan bergantung pada kebijakan manajemen. 20 Roychowdhury (2006), menyebutkan bahwa biaya diskresioner merupakan penjumlahan dari biaya iklan, biaya penelitian dan pengembangan, biaya pemeliharaan serta biaya penjualan, umum dan administrasi. Manajemen sering kali mengurangi volume biaya diskresioner ini karena biaya–biaya ini tidak segera menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Dengan berkurangnya biaya diskresioner ini, laba perusahaan akan meningkat dan arus kas operasi juga akan meningkat. 2.4 Praktik Manajemen Laba Perusahaan maupun prinsipal dapat melakukan berbagai cara dalam melakukan praktik manajemen laba. Menurut Scott (1997), manajemen laba dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1) Taking a bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. 2) Income minimizations Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya 3) Income maximizations Praktik manajemen laba ini dilakukan pada saat laba suatu perusahaan sedang menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk 21 melaporkan net income yang tinggi untuk bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang. 4) Income smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 2.5 Nilai Perusahaan Nurlela dan Islahuddin (2008), menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Wahyudi (2006), menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual. Salah satu alternatif yang digunakan dalam menilai nilai perusahaan adalah dengan menggunakan Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh Profesor James Tobin (1980). Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental. Jika rasio-Q di atas satu, ini menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi, hal ini akan merangsang investasi baru. Jika rasio-Q di bawah satu, investasi dalam aktiva tidaklah menarik. Jadi rasio-Q merupakan ukuran yang lebih teliti tentang seberapa efektif manajemen memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomis dalam kekuasaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Copeland (1968), Lindenberg dan Ross (1981), yang dikutip 22 oleh Darmawati (2004), menunjukkan bagaimana rasio-Q dapat diterapkan pada masing-masing perusahaan. Mereka menemukan bahwa beberapa perusahaan dapat mempertahankan rasio-Q yang lebih besar dari satu. Teori ekonomi mengatakan bahwa rasio-Q yang lebih besar dari satu akan menarik arus sumber daya dan kompetisi baru sampai rasio-Q mendekati satu. Suatu perusahaan dikatakan mempunyai nilai yang baik jika kinerja perusahaan juga baik. Nilai perusahaan dapat tercermin dari harga sahamnya. Jika nilai sahamnya tinggi bisa dikatakan nilai perusahaannya juga baik. Karena tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Wahidahwati, 2002). 2.6 Kualitas Audit Audit merupakan suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan menggunakan pihak luar untuk memberikan pengesahan terhadap laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham akan mengambil keputusan berdasarkan pada laporan yang telah dibuat oleh auditor mengenai laporan keuangan suatu perusahaan. Hal ini berarti auditor mempunyai peranan penting dalam pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu kualitas audit perlu dipertimbangkan. Kualitas audit (audit quality) didefinisikan sebagai probabilitas gabungan dari kemampuan seorang auditor untuk menemukan suatu pelanggaran dalam pelaporan keuangan klien dan melaporkan pelanggaran tersebut (Angelo, 1981). Karena kualitas audit sulit untuk diobservasi, studi kualitas audit lebih banyak 23 menarik kesimpulan penelitian berdasarkan ukuran dari kualitas laba (Becker, et al 1998; Gul, et al 2009). Ketepatan informasi yang dihasilkan oleh auditor yang diturunkan dari laporan keuangan tergantung pada kualitas auditor. Titman dan Trueman (1986), mengasumsikan bahwa auditor yang berkualitas lebih tinggi akan mengenakan fee audit yang lebih tinggi pula. Calon investor akan mendapatkan estimasi yang lebih tepat tentang aliran kas masa depan sebuah perusahaan jika mereka sadar bahwa pilihan pemilik atas kualitas auditor mencerminkan informasi privat yang dimiliki oleh pemilik. Di dalam kondisi ekuilibrium, pemilik akan memiliki insentif untuk memilih auditor dengan level kualitas yang bisa dengan benar mengungkapkan informasi privat mereka. Dengan demikian, makin menguntungkan (favorable) informasi tersebut, makin tinggi kualitas auditor yang dipilih. Para peneliti menyatakan bahwa tidak ada satu ukuran karakteristik tertentu yang dapat mewakili kualitas audit secara utuh karena kualitas audit memiliki sifat multidimensi (Bamber dan Bamber, 2009). Kualitas audit dapat diukur dengan proksi Audit Quality Metric Score (AQMS). Variabel AQMS merupakan penjumlahan skor dari lima proksi (i-v) meliputi dimensi “kompetensi” (ukuran KAP, spesialisasi industri, dan masa penugasan audit), dan dimensi “independensi” (client importance, serta kesediaan dan keakuratan opini audit going concern). 1) Ukuran kantor akuntan publik (KAP) Ukuran KAP (BIG4) merupakan salah satu indikator dari kualitas audit yang tinggi (Becker, et al 1998; Krishnan, 2003). Kualitas audit yang 24 tinggi diukur dengan variabel dummy BIG4, diberi angka satu, jika KAP merupakan KAP yang berafiliasi dengan Big 4; dan diberi angka nol, jika lainnya. 2) Spesialisasi industri KAP (SPCL) KAP dikategorikan sebagai KAP dengan spesialisasi industri (SPCL) yang menandakan kualitas audit yang tinggi jika memiliki industry share yang terbesar dalam industri tertentu (Gul, et al 2009). SPCL diberi angka satu, jika memiliki industry share terbesar, diukur dengan rasio dari jumlah aset klien KAP dalam industri tertentu dibagi dengan jumlah aset klien untuk seluruh KAP dalam satu industri; dan diberi skor nol jika lainnya. 3) Masa penugasan audit (tenure) Mengikuti Francis dan Yu (2009), Johnson, et al (2002), Gul, et al (2009), maka pengukuran masa penugasan audit lebih dari tiga tahun dan kurang dari sembilan tahun dianggap cukup untuk memperoleh pemahaman yang memadai terhadap klien dan industri klien, namun tidak mengurangi independensi dari KAP. Tenure diberi angka satu jika masa penugasan KAP berada dalam interval lebih dari tiga tahun dan kurang dari sembilan tahun yang menandakan kualitas audit yang tinggi, dan diberi nilai nol jika lainnya. 4) Client importance (CI) Client importance (CI) merupakan ukuran dari kualitas audit untuk menguji kecenderungan auditor memiliki economic dependence sehingga 25 dapat mengurangi independensi auditor (Reynolds dan Francis, 2001; Francis dan Yu, 2009; Chen, et al 2010). 5) Ketersediaan dan keakuratan pelaporan opini audit going concern (RQA) Proksi Reporting Quality Audit Report (RQA) menggunakan opini audit GC dan menguji tingkat akurasi dari pelaporan opini GC. Operasionalisasi pengukuran kesediaan dan keakuratan opini GC (RQA) menggunakan kriteria sebagai berikut: (i) diberi skor satu, jika KAP memberikan opini GC pada tahun berjalan, dan pada satu tahun mendatang klien mengalami kondisi financial distress; diberi skor nol jika sebaliknya (reporting error tipe 1); atau (ii) diberi skor satu, jika KAP tidak memberikan opini GC pada tahun berjalan, dan klien pada satu tahun mendatang tidak mengalami kondisi financial distress; diberi skor nol jika sebaliknya (reporting error tipe 2). Kondisi financial distress dari klien harus memenuhi minimal salah satu kondisi berikut, yaitu: (i) mengalami arus kas operasi (CFO) negatif; atau (ii) rugi bersih (Reynold dan Francis, 2001).