BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Saham Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau perusahaan. Besarnya kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan diperusahaan (Darmaji dan Fakhruddin, 2008). Keputusan seseorang untuk membeli saham terjadi bila nilai perkiraan suatu saham diatas harga pasar, sebaliknya keputusan menjual saham terjadi bila nilai perkiraan suatu saham dibawah harga pasar. Untuk menentukan nilai saham, pemodal harus melakukan analisis terlebih dahulu terhadap saham-saham yang ada di pasar modal (Sunariyah, 2004). Naik atau turunnya harga saham tergantung dari perubahan satu atau lebih faktor yang mempengaruhi. Pada saat kondisi perusahaan menurun, pada umumnya harga saham perusahaan juga turun, demikian pula sebaliknya. Pada saham biasa (common stock) selain tingkat keuntungan yang belum diketahui terdapat juga ekspektasi bahwa harga saham akan naik sejalan dengan pertumbuhan perusahaan. Hal ini berbeda dengan penilaian untuk saham prioritas dan obligasi, dimana penilaiannya didasarkan atas tingkat keuntungan dengan persentase yang telah diketahui (Pramadika, 2011). 13 2.1.2 Price Earning Ratio (PER) Price earning ratio merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan oleh analisis sekuritas untuk menilai suatu saham tertentu. Pendekatan ini mendasarkan atas rasio antara harga perlembar saham di pasar modal dengan tingkat keuntungan bersih yang tersedia bagi pemegang saham (Brigham dan Houston, 2006:110). Price earning ratio merupakan ukuran yang paling banyak digunakan oleh investor untuk memutuskan apakah investasi modal yang dilakukannya menguntungkan atau merugikan. Price earning ratio juga menunjukkan berapa besar para investor bersedia membayar untuk setiap keuntungan yang dilaporkan perusahaan. Price earning ratio digunakan untuk membangun strategi investasi yang baik dalam memprediksi harga saham di pasar saham, tingginya price earning ratio dapat meningkatkan kinerja saham perusahaan di periode yang akan datang dan menentukan besarnya modal dalam saham. Oleh karena itu, price earning ratio sering menjadi suatu ukuran yang penting bagi para calon investor dalam berinvestasi. Price earning ratio juga merupakan ukuran untuk menentukan bagaimana pasar memberi nilai atau harga pada saham perusahaan. Keinginan investor melakukan analisis saham melalui rasio-rasio keuangan seperti price earning ratio dikarenakan adanya keinginan investor atau calon investor akan hasil (return) yang layak dari suatu 14 investasi saham. Semakin tinggi rasio ini maka pertumbuhan laba yang diharapkan juga akan meningkat (Fahmi, 2012:138). Menurut Sutrisno (2005:240) rasio ini menunjukkan perbandingan antara harga saham atau harga perolehan yang ditawarkan dengan pendapatan yang diterma. Price earning ratio yang tinggi menunjukkan prestasi perusahaan dimasa yang akan datang cukup tinggi. Kegunaan price earning ratio adalah untuk melihat bagaimana pasar menilai kinerja saham suatu perusahaan terhadap kinerja perusahaan yang tercermin pada earning per share (EPS). Perusahaan diharapkan akan mempunyai prospek yang baik maka memiliki price earning ratio yang tinggi, sebaliknya perusahaan yang diharapkan mempunyai prosek yang rendah maka akan memiliki price earning ratio yang rendah. Semakin berkembang dan semakin terintegrasinya pasar modal, maka analisis terhadap faktor yang mempengaruhi price earning ratio mempunyai arti penting bagi investor sebelum mengambil keputusan. Rendahnya price earning ratio dapat terjadi karena menurunnya harga saham dan meningkatnya laba ditahan dibandingkan pembagian dividen, sebaliknya price earning ratio tinggi dapat terjadi karena penurunan laba ditahan, dan meningkatnya pembagian dividen kepada pemegang saham, sehingga permintaan saham meningkat, tetapi investor percaya penurunan laba bersih atau saham tersebut hanya bersifat temporer dan akan pulih pada tahun berikutnya. Investor lebih memperhatikan harga saham dibanding laba di masa depan (Husnan, 2001). 15 Price earning ratio yang rendah dapat mengidentifikasi bahwa perusahaan tersebut mencatat perolehan laba yang statis atau beresiko tinggi, sehingga investor tidak tertarik untuk membeli saham. Price earning ratio digunakan sebagai indikator kepercayaan pasar terhadap prospek pertumbuhan perusahaan 2.1.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Price Earning Ratio Faktor-faktor yang mempengaruhi price earning ratio menurut Husnan (2003:297) adalah sebagai berikut: 1) Dividen Payout Ratio (DPR) Merupakan bagian atas laba yang dibagikan dalam bentuk kas dividen kepada para pemegang saham, semakin tnggi dividend payout ratio maka semakin tinggi pula price earning ratio . 2) Tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh pemodal, semakin tinggi tingkat keuntungan yang diisyaratkan oleh pemodal, maka akan mengakibatkan nilai price earning ratio semakin rendah. 3) Expected Growth Rate Merupakan ekspektasi pertumbuhan laba yang diperoleh suatu perusahaan pada tahun tertentu, semakin tinggi expected menghasilkan price earning ratio yang semakin tinggi. 16 growth rateakan 2.1.4 Likuiditas Keputusan investasi yang dibuat perusahaan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan menghasilkan kas yang dapat memenuhi kebutuhan jangka pendek atau yang disebut likuiditas perusahaan. Likuiditas merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan keputusan pendanaan melalui hutang, namun penjelasan tersebut menyatakan besarnya pembayaran hutang yang harus ditanggung perusahaan (Hidayat, 2010). Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya dalam jangka waktu pendek dengan aset lancar yang tersedia. Aset lancar adalah aset yang diharapkan menjadi kas dalam jangka waktu singkat (biasanya kurang dari satu tahun) yang meliputi kas, efek yang diperdagangkan, piutang usaha, dan persediaan, sedangkan hutang lancar merupakan hutang yang harus dipenuhi dalam waktu dekat misalnya membayar gaji, membayar biaya operasional, membayar hutang jangka pendek, dan lain sebagainya yang membutuhkan pembayaran segera. Agar perusahaan selalu likuid, maka posisi dana lancar yang tersedia harus lebih besar daripada hutang lancar. Perusahaan yang tidak likuid berarti perusahaan itu tidak sehat (Wiagustini, 2010:76). Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan akan mulai lambat membayar tagihan (utang usaha), pinjaman bank, dan kewajiban lainnya yang akan meningkatkan kewajiban lancar. Jika kewajiban lancar naik lebih cepat daripada aset lancar, rasio lancar akan turun, dan ini merupakan pertanda adanya masalah (Brigham dan Houston, 2010:135). 17 Satu keunggulan dari melihat aset dan kewajiban lancar adalah nilai buku dan nilai pasarnya kemungkinan besar akan sama. Sering kali aset dan kewajiban tidak bertahan cukup lama sehingga menyebabkan kedua nilai tadi berbeda terlalu jauh. Aset dan kewajiban lancar berubah dengan cepat, sehingga jumlah aset dan kewajiban hari ini mungkin bukan panduan yang dapat diandalkan untuk masa depan (Ross, et al. 2009:79). Rasio likuiditas adalah rasio yang paling banyak mendapatkan perhatian baik dari para analis maupun investor. Walaupun analisis terhadap likuiditas ini membutuhkan bantuan lain, sepeti anggaran kas (cash budget), penggunaan rasio ini mudah dan cepat (Raharjaputra, 2009:199). Rasio likuiditas yang sudah umum dikenal sebagai berikut: 1) Current ratio: rasio ini dihitung dengan membagi aset lancar (current asets) dengan hutang (current liabilities). Secara umum aset lancar terdiri dari kas dan setara kas, surat berharga, piutang dagang, persediaan, biaya dibayar dimuka, dan aset lancar lainnya. Utang lancar terdiri atas utang dagang, utang bank, utang pajak, utang muka pelanggan, dan lainnya. Rasio ini digunakan sebagai alat ukur atas kemampuan perusahaan dalam memenuhi utang dan kewajiban jangka pendeknya (Raharjaputra, 2009:199). Semakin tinggi rasio lancar, maka akan semakin besar kemampuan perusahaan membayar berbagai tagihannya, akan tetapi rasio ini harus dianggap sebagai ukuran kasar karena tidak memperhitungkan likuiditas dari setiap komponen aktiva lancar. Perusahaan yang memiliki aktiva lancar sebagian besar terdiri atas kas dan 18 piutang yang belum jatuh tempo, umunya akan dianggap lebih likuid daripada perusahaan yang aktiva lancarnya terutama terdiri atas persediaan (Horne dan Machowicz, 2012:207). 2) Acid test ratio/quick ratio: rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dengan mengurangkan persediaan yang dianggap kurang likuid karena prosesnya cukup panjang, yaitu melalui penjualan dan kemudian piutang dagang atau tunai (Raharjaputra, 2009:200). Quick ratio memberikan ukuran yang mendalam tentang likuiditas daripada rasio lancar (Horne dan Machowicz, 2012:207). 3) Rasio kas (cash ratio): rasio kas merupakan perbandingan antara kas dengan total hutang lancar, yang dapat juga dihitung dengan mengikutsertakan suratsurat berharga. Kas dan surat berharga merupakan alat likuid yang paling dipercaya. Rasio kas juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk membayar utang yang segera harus dipenuhi dengan kas yang tersedia dalam perusahaan dan surat-surat berharga yang segera dapat diuangkan. Bertambah tinggi cash ratio berarti jumlah uang tunai yang tersedia makin besar sehingga pelunasan utang pada saat jatuh tempo tidak akan mengalami kesulitan (Riyanto, 2001:121) Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kecukupan sumber kas perusahaan untuk memenuhi kewajiban yang berkaitan dengan kas dalam jangka pendek. Perusahaan dikatakan tidak 19 mengalami kesulitan dalam mendanai investasinya apabila perusahaan mampu menghasilkan kas dalam membiayai investasi. Semakin besar likuiditas perusahaan struktur modalnya atau hutangnya akan semakin berkurang, karena dengan likuiditas yang tinggi, perusahaan memiliki dana tersedia yang dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan perusahaan dengan modal sendiri, dalam pengambilan keputusan investasi biaya modal sendiri justru diperhitungkan daripada menanggung risiko. Likuiditas dalam penelitian ini diproksikan dengan current ratio, yaitu rasio antara aktiva lancar dengan hutang lancar. 2.1.5 Dividend Payout Ratio (DPR) Perusahaan harus menetapkan kebijakan dividen untuk mencapai tujuan perusahaan, karena menyangkut masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham. Kebijakan dividen berpengaruh terhadap perilaku investor, sehinggakebijakan dividen merupakan salah satu keputusan penting dalam pengambilan keputusan investasi (Wiagustini, 2010:255). Dividend payout ratio adalah rasio yang mencerminkan kemampuan perusahaan di dalam membayar dividen kepada para pemegang sahamnya (Khurniaji, 2013). Dividend payout ratio yang tinggi, akan ditangkap sebagai sinyal positif bagi investor. Rakhimsyah dan Gunawan (2011) menyatakan bahwa tingkat dividend payout ratioyang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki tingkat pembagian dividen yang menjanjikan di masa yang 20 akan datang. Sinyal tersebut secara tidak langsung akan berdampak terhadap peningkatan keputusan investasi suatu perusahaan. Dividend payout ratio adalah perbandingan antara dividen yang dibagikan dengan laba bersih yang didapatkan dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Semakin tinggi dividend payout ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan, namu dividend payout ratio semakin kecil akan merugikan investor (para pemegang saham) tetapi internal financial perusahaan akan semakin kuat. Perusahaan hanya dapat membagikan dividen semakin besar jika perusahaan mampu menghasilkan laba yang semakin besar, jika laba yang dihasilkan besarnya tetap, perusahaan tidak bisa membagikan dividen yang makin besar karena hal ini berarti perusahaan akan membagikan modal sendiri. Kebijakan dividen merupakan salah satu keputusan perusahaan yang dipengaruhi oleh struktur kepemilikan dalam perusahaan. Dividen dapat digunakan untuk mengurangi agency problem dalam perusahaan (Shubiri et al. 2012). Setiap perusahaan memiliki proporsi pembagian dividen yang berbedabeda tergantung dari laba yang diperoleh dan saham yang dimiliki. Besarnya dividen yang akan dibagikan tergantung dari keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Perusahaan dalam membagikan dividen juga didasarkan pada kebijakan dividen. Kebijakan dividen menentukan pendapatan laba, yaitu antara 21 membayar kepada pemegang saham dan menginvestasikan kembali dalam perusahaan. Osegbue et al. (2014) menyatakan dividen dialokasikan sebagai jumlah tetap per saham kepada pemilik atau pemegang saham usaha periode tertentu. Biasanya sebagai pembagian keuntungan dan rekomendasi yang dibuat oleh manajer keuangan. Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya mengurangi sumber dana internal, sebaliknya jika perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperoleh, maka kemampuan pembentukan dana internal akan semakin besar (Sartono, 2010:281). Kebijakan dividen berpengaruh terhadap aliran dana, struktur finansial, likuiditas perusahaan dan perilaku investor. Kebijakan dividen merupakan salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi suatu perusahaan, karena dipengaruhi oleh tersedianya dana dan biaya modal. Ketersediaan dana dan biaya modal dipengaruhi oleh besar kecilnya laba yang ditahan. Alfredo (2011), menyatakan dividen yang dibagikan kepada para pemegang saham dapat berbentuk: 1) Dividen yang berbentuk uang Pembagian dividen yang paling sering dilakukan adalah dalam bentuk uang. Para pemegang saham akan menerima dividen seberapa tarif per lembar dikalikan jumlah lembar yang dimiliki. 22 2) Dividen yang berbentuk aktiva (selain kas dan saham sendiri) Dividen yang dibagikan kadang-kadang tidak berbentuk uang tunai, tetapi berupa aktiva seperti saham perusahaan atau barang-barang hasil produksi perusahaan yang membagikan dividen tersebut. Pemegang saham yang menerima dividen seperti ini mencatat dalam bukunya dengan jumlah sebesar harga pasar yang diterimanya. 3) Dividen saham (stock dividend) Penerimaan dividen dalam bentuk saham dari perusahaan yang membagi saham disebut dividen saham. Saham yang diterima berbetuk saham yang sama dengan yang dimiliki atau saham jenis yang lain Perusahaan yang memiliki peluang investasi yang menguntungkan cenderung menghasilkan sasaran rasio pembayaran yang rendah, dan kemampuan perusahaan untuk mempercepat atau menunda memungkinkan perusahaan memiliki kebijakan dividen yang stabil. proyek Abdul Halim (2005), menyatakan bahwa rasio pembayaran dividen atau dividend payout ratio melihat bagian earning (pendapatan) yang dibayarkan sebagai dividen kepada investor. Bagian lain yang tidak dibagikan akan diinvestasikan kembali ke perusahaan. Perusahaan yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi akan mempunyai rasio pembayaran dividen yang rendah. Pembayaran dividen penting bagi perusahaan yang melakukan investasi karena dividen memberikan kepastian bagi pemegang 23 saham dengan mengamankan penghasilannya saat ini dan membantu menjaga harga pasar saham (Gill et al,. 2010) Dividend payout ratio merupakan perbandingan antara dividend per share (DPS) dengan earning per share (EPS), jadi perspektif yang dilihat adalah pertumbuhan DPS terhadap pertumbuhan EPS. 2.1.6 Kesempatan Investasi Esensi pertumbuhan bagi suatu perusahaan adalah adanya kesempatan investasi yang menghasilkan keuntungan. Jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka manajer berusaha mengambil peluang-peluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham, karena semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan maka investasi yang dilakukan akan semakin besar (Prapaska, 2012). Buniarto (2011), menjelaskan kesempatan investasi merupakan hasil dari pilihan-pilihan untuk membuat investasi dimasa mendatang. Kesempatan investasi menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari prospek pertumbuhan. Prospek pertumbuhan merupakan suatu harapan yang diinginkan oleh pihak manajemen dan investor. Kesempatan investasi juga dikenal dengan investment opportunity set (IOS). Secara umum kesempatan investasi menggambarkan tentang luasnya atau peluang investasi bagi suatu perusahaan namun sangat bergantung pada pengeluaran perusahaan untuk kepentingan di masa yang akan datang. Dapat 24 dikatakan bahwa kesempatan investasi bersifat diobservasi sehingga perlu dipilih satu proksi yang dapat dihubungkan dengan variabel kebijakan dan lain-lain. Terdapat beberapa proksi yang digunakan untuk mengukur kesempatan investasi. Kallapur dan Trombley (2001) menyatakan bahwa proksi kesempatan investasi digolongkan menjadi empat, yaitu: 1) Proksi berbasis pada harga Kesempatan investasi berbasis harga merupakan proksi yang menyatakan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan, sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Proksi ini didasari atas suatu ide yang menyatakan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan secara parsial dinyatakan dalam harga-harga saham dan perusahaan yang tumbuh akan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi secara relatif untuk aktiva yang dimiliki. Kesempatan investasi yang didasari atas harga akan terbentuk suatu rasio sebagai suatu ukuran aktif yang dimiliki dan nilai pasar perusahaan. Macam proksi kesempatan investasi berbasis harga misalnya, Market to Book of Equity, Market to Book Value of Asets, ProxyTobin’Q, Earning to Price Ratio. 2) Proksi berbasis investasi Kesempatan investasi berdasarkan investasi mengungkapkan bahwa suatu kegiatan investasi yang besar berkaitan secara positif dengan nilai kesempatan investasi suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki kesempatan investasi yang tinggi seharusnya juga memiliki suatu tingkat investasi yang tinggi pula dalam bentuk aktiva yang ditempatkan atau yang diinvestasikan untuk waktu 25 yang lama dalam suatu perusahaan. Proksi ini berbentuk suatu rasio yang membandingkan suatu pengukuran investasi yang telah diinvestasikan dalam bentuk aktiva tetap, misalnya: the ratio of R&D assets, the ratio of R&D to sales, investment intensisity, ratio of capital expenditure to book value of assets. 3) Proksi berbasis varian Proksi kesempatan investasi berbasis varian mengungkapkan bahwa suatu opsi akan lebih bernilai jika menggunakan variability return yang mendasari peningkatan aktiva. Contoh proksi set kesempatan investasi berbasis varian, yaitu: variance of return, assets betas, and varianceof assets deflated sales. 4) Proksi gabungan dari proksi individual Alternatif proksi gabungan kesempatan investasi dilakukan sebagi upaya untuk mengurangi measurement error yang ada pada proksi individual, sehingga akan menghasilkan pengukuran yang lebih baik untuk kesempatan investasi. Metode dapat dilakukan untuk menggabungkan beberapa proksi individual menjadi satu proksi yang akan diuji lebih lanjut adalah dengan menggunakan analisis faktor. Berdasarkan keempat jenis proksi yang menggambarkan beragam ukuran kesempatan investasi akan memungkin peneliti menggunakan beragam rasio sebagai proksi kesempatan investasi. Kesempatan investasi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rasio market to book value yang merupakan proksi berbasis harga. Hal ini didasarkan pada penelitian Paranita 26 (2011) dan didukung berdasarkan hasil penelitian Sami et al. (2004) yang menunjukkan bahwa market to book value terbukti secara konsisten memiliki korelasi yang tinggi dengan realisasi pertumbuhan perusahaan. Market to book value memberikan indikasi pandangan investor atas perusahaan. Perusahaan yang dianggap baik oleh investor yang artinya perusahaan dengan laba dan arus kas yang aman serta terus mengalami pertumbuhan. Market to book value merupakan rasio harga pasar suatu saham terhadap nilai bukunya yang diukur dengan membandingkan harga pasar per lembar saham dengan nilai buku perlembar sahamnya (Brigham dan Houston, 2010:151). Nilai buku suatu aktiva adalah nilai akuntansi dari aktiva tersebut. Nilai buku perusahaan sama dengan perbedaan nilai uang antara aktiva (aset) total perusahaan dengan kewajibannya serta saham preferennya, seperti yang tercantum dalam neracanya, sedangkan nilai pasar aktiva adalah harga pasar dari aktiva jika diperdagangkan di pasar terbuka. Nilai pasar sering kali dipilih dari nilai tertinggi antara likuiditas atau kelangsungan usaha perusahaan (Horne dan Machowicz, 2012:108) Sartono (2000:146) menyatakan bahwa tidak jarang perusahaan menghadapi masalah lain dalam memilih kesempatan investasi sementara di pihak lain perusahaan dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana. Kesempatan investasi di dalam perusahaan adalah menyangkut pemilihan investasi yang diinginkan dari sekelompok atau set kesempatan investasi yang ada, memilih salah satu atau lebih alternatif investasi 27 yang dinilai paling menguntungkan. Memilih investasi yang paling menguntungkan dan risiko yang paling kecil, disini manajer dapat mengelola keuangan dengan baik dan akan menarik investor. Semakin baiknya keputusan investasi yang diambil perusahaan, maka investor akan menaruh kepercayaannya untuk mendapatkan keuntungan.Semakin banyaknya investor yang tertarik maka permintaan saham pun bertambah dan akan meningkatkan nilai penjualan. 2.1.7 Leverage Struktur utang atau leverage merupakan gambaran dari jumlah besar atau kecilnya pemakaian utang oleh suatu perusahaan yang digunakan untuk membiayai aktivitas operasionalnya. Rizqia, dkk (2013) menyatakan bahwa dalam menajemen keuangan, leverage adalah penggunaan aset dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham. Tujuan perusahaan menggunakan leverage adalah agar keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya aset dan sumber dananya, dengan demikian akan meningkatkan variabilitas (risiko) keuntungan, karena jika perusahaan ternyata mendapat keuntungan yang lebih rendah dari biaya tetapnya maka penggunaan leverage akan menurunkan keuntungan pemegang saham. Konsep leverage ini sangat penting terutama untuk menunjukkan kepada analis keuangan dalam melihat trade-off antara risiko dan tingkat keuntungan dari berbagai keputusan finansial. Leverage dapat dipahami sebagai 28 penaksir risiko yang melekat pada suatu perusahaan. Hal ini berarti leverage yang semakin besar menunjukkan risiko investasi yang besar pula. Leverage keuangan merupakan total utang dilaporkan ke ekuitas sebuah perusahaan, yang mencerminkan kapasitas manajer keuangan untuk menarik sumber daya eksternal keuangan dalam rangka meningkatkan efisiensi ekuitas (Kzistami,2011). Keputusan pendanaan keuangan perusahaan akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya selain juga berpengaruh terhadap risiko perusahaan itu sendiri. Jika perusahaan meningkatkan porsi hutangnya, maka perusahaan ini dengan sendirinya akan meningkatkan risiko keuangan (Joni dan Lina, 2010). Keputusan pembiayaan suatu perusahaan pada dasarnya harus mengarah pada struktur modal optimal. Struktur modal menunjuk pada perbedaan pilihan yang digunakan perusahaan untuk membiayai modalnya (Saleem et al. 2013). Modal sebagai komponen struktur modal relevan dengan nilai perusahaan, dan jangka panjang hutang juga ditemukan menjadi penentu utama nilai perusahaan (Antwi, 2012) Tingkat leverage suatu perusahaan dapat menggambarkan risiko keuangan perusahaan, karena leverage merupakan suatu alat ukur besar atau kecilnya perusahan yang bergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Walaupun hutang berarti risiko, hal ini juga memberikan potensi bagi pemilik perusahaan. Jika hutang dikelola dengan baik dan bila laba usaha lebih besar dan cukup untuk menutup beban hutang, tingkat pengembalian akan 29 memperbesar bagian pemegang saham karena adanya leverage keuangan (Fraser dan Ormiston, 2001:185). Secara umum dalam manajemen keuangan dikenal dua macam leverage, yaitu sebagai berikut (Maryam, 2014) 1) Leverage operasi Leverage operasi merupakan penggunaan aktiva dengan biaya tetap dengan harapan bahwa revenue atau penerimaan yang diperoleh pengguna aktiva itu cukup untuk menutup biaya tetap dan biaya varibel. Yang merupakan suatu cara untuk mengukur risiko usaha dari suatu perusahaan. Biaya tetap tersebut misalnya, beban penyusutan gedung dan peralatan kantor, biaya asuransi, dan biaya lain yang muncul dari penggguna fasilitas manajemen. Biaya operasi tetap dikeluarkan agar volume penjualan dapat menghasilkan penerimaan yang lebih besar daripada seluruh biaya operasi yang tetap dan variabel. 2) Leverage keuangan ( financial leverage) Financial leverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham. Berdasarkan aspek keuangan, leverage dapat dihitung dengan rasio yang tergolong dalam rasio solvabilitas atau disebut juga rasio leverage. Rasio leverage merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjangnya (Hanafi, 2009:81). Perusahaan yang tidak solvable, berarti total hutang yang dimiliki perusahaan 30 lebih besar daripada total asetnya. Perusahaan yang memiliki rasio solvabilitas yang rendah akan menghadapi risiko kerugian yang lebih kecil pada saat perekonomian sedang menurun, tetapi memiliki tingkat return yang rendah pada saat perekonomian tinggi dan sebaliknya (Wiagustini, 2010:76). Leverage dapat diukur dengan debt to equity ratio (DER). DER merupakan rasio yang mengukur risiko struktur modal dengan membandingkan dana dari kreditur (hutang) dengan investor (Fraser dan Ormiston, 2001:185). 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh likuiditas terhadap price earning ratio Investasi saham yang dibiayai dana internal perusahaan dipengaruhi oleh likuiditas. Kondisi likuiditas dapat ditunjukkan oleh nilai arus kas yaitu laba ditahan yang digunakan untuk membiayai investasi perusahaan (Christian: 2013). Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan mendanai operasional perusahan dan melunasi kewajban jangka pendeknya. Artinya jika kewajibankewajiban finansial jangka pendek jatuh tempo mampukah pihak perusahaan mengatasi hal tersebut (Hidayat, 2010). Semakin tinggi rasio ini berarti semakin besar kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka pendek, dengan semakin meningkatnya likuditas perusahaan ada kemungkinan akan meningkatkan harga saham perusahaan yang diakibatkan dari meningkatnya permintaan saham oleh investor, sehingga akan mempengaruhi 31 price earning ratio. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan antara likuiditas terhadap price earning ratio (Pramadika, 2011) Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Halim (2005), Kurnianto (2013), Harmono (2004), dan Hayati (2010) yang mengatakan bahwa likuiditas berpengaruh positif signifikan terhadap price earning ratio. Berdasakan uraian di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Likuiditas berpengaruh positif signifikan terhadap price earning ratio. 2.2.2 Pengaruh dividend payout ratio terhadap price earning ratio Perubahan atas dividend payout ratio dapat mempengaruhi perubahan price earning ratio (Husnan, 2001). Dividend payout ratio juga mencerminkan keadaan perusahaan, dimana nilai dividend payout ratio yang kecil dapat mencerminkan laba perusahaan yang berkurang, yang berarti dapat digunakan untuk mengidentifikasikan keadaan sebuah perusahaan yang sedang kekurangan dana. Nilai dividend payout ratio yang kurang, sangat mempengaruhi minat investor dalam berinvestasi. Investor yang berorientasi pada dividen mengharapkan dividend payout ratio ini tinggi sehingga harga saham akan mengalami peningkatan dan kemudian investor akan memperoleh capital gain. Apabila laba yang ditahan semakin kecil maka pertumbuhan laba yang akan dibagikan kepada investor akan semakin besar sehingga penilaian saham akan meningkat yang menyebabkan investor tertarik untuk berinvestasi sehingga price earning ratio perusahaan akan meningkat. 32 Pengaruh devidend payout ratio terhadap price earning ratio, seperti yang dinyatakan oleh Suryaputri dan Astuti (2003), Mangku (2000) menyatakan bahwa dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap price earning ratio, hal ini berarti bahwa semakin tinggi dividend payout ratio yang dibagikan perusahaan kepada investor maka akan semakin tinggi pula price earning ratio, sebaliknya semakin rendah dividend payout ratio yang dibagikan perusahaan kepada investor maka akan semakin rendah pula price earning ratio. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damasita (2012), Fegriadi (2013), Susilowati (2003), Halim (2005), Suryaputri dan Astuti (2003) menemukan bukti empiris bahwa dividend payout ratio berpengaruh positif terhadap price earning ratio. Berdasakan uraian di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Dividend payout ratio berpengaruh positif signifikan terhadap price earning ratio. 2.2.3 Pengaruh kesempatan investasi terhadap price earning ratio Kesempatan investasi menentukan kemampuannya memperoleh keuntungan dari prospek pertumbuhan. Potensi pertumbuhan dapat diitunjukkan dengan perbedaan antara nilai pasar saham dengan nilai buku dan adanya kesempatan investasi yang dapat menghasilkan keuntungan. Semakin tinggi kesempatan investasi maka perusahaan akan memiliki nilai dimasa mendatang dan akan dinilai tinggi oleh investor (Jati 2005). 33 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Terestiani (2011), Ayuningtias dan Kurnia (2013) dan Zaki (2013) menunjukkan terdapat pengaruh positif signifikan kesempatan investasi terhadap price earning ratio. Price earning ratioperusahaan dipengaruhi oleh kesempatan investasi, karena semakin besar kesempatan investasi yang menguntungkan maka laba yang dihasilkan semakin besar, dalam hal ini manajer berusaha mengambil peluang-peluang tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham, dengan adanya daya tarik tersebut akan berdampak pada semakin banyaknya calon investor untuk memiliki saham perusahaan dan pada akhirnya akan meningkatkan price earning ratio. Berdasakan uraian diatas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Kesempatan investasi berpengaruh positif signifikan terhadap price earning ratio. 2.2.4 Pengaruh leverage terhadap price earning ratio. Ukuran leverage dapat menggambarkan seberapa jauh suatu perusahaan dibelanjakan dengan hutang, dimana menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansialnya. Semakin besar leverage mencerminkan resiko perusahaan yang relatif tinggi karena hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan tersebut masih membutuhkan modal pinjaman untuk membiayai operasional perusahaan. Apabila perusahaan tersebut masih membutuhkan modal pinjaman, dapat dipastikan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan akan difokuskan untuk mengembalikan pinjaman modal, akibatnya para investor cenderung menghindari saham-saham yang memiliki 34 leverage yang tinggi. Ketika terdapat penambahan jumlah hutang secara absolut maka akan menurunkan tingkat solvabilitas perusahaan, yang selanjutnya akan berdampak dengan menurunnya nilai return perusahaan, sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi leverage maka price earning ratio perusahaan akan semakin kecil (Melati, 2011). Mangku (2000), Anggraini (2012) dan Halim (2005) menyatakan bahwa leverage akan berpengaruh negatif terhadap price earning ratio, hal ini berarti bahwa semakin tinggi leverage yang ditanggung perusahaan maka akan semakin rendah price earning ratio. Berdasakan uraian diatas dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4: Leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap price earning ratio. 35