BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada
parameter-parameter iklim yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah
kaca. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas yang menghasilkan gas karbon
dan metana tersebut menyelimuti atmosfer dan bertahan hingga waktu yang cukup
lama. Perubahan iklim menyebabkan dampak yang serius terutama bagi kawasan
pesisir. Menurut United States Environmental Protection Agency (US-EPA) (2013),
terdapat 4 dampak penting perubahan iklim pada wilayah pesisir. Dampak perubahan
iklim ini antara lain adalah pada kenaikan muka air laut, pada seruak badai dan curah
hujan, perubahan suhu perairan dan pengasaman laut.
Hubungan perubahan iklim jelas sangat berkaitan dengan kenaikan muka air
laut. Penyebab kenaikan muka air laut adalah mencairnya es di kutub akibat iklim
ekstrim dan penuurnan permukaan tanah. Temperature atmosfer yang terus mengalami
kenaikan dapat berimbas pada naiknya intensitas dan frekuensi bencana alam yang
salah satunya adalah naiknya muka air laut (IPCC, 2007). Kenaikan muka air laut tentu
saja dapat menyebabkan mundurnya garis pantai ke arah darat dan mundurnya garis
pantai ini tentunya juga dapat menyebabkan terendamnya wilayah-wilayah yang
berada di sekitar pesisir tersebut. Adanya pasang surut air laut menambah wilayah yang
terdampak kenaikan muka air laut ini akan semakin luas.
Wilayah kepesesisiran pada dasarnya memiliki potensi sumberdaya yang
tinggi. Hal ini meliputi sumberdaya perikanan yang berupa tangkapan nelayan maupun
budidaya di tambak, selain itu pesisir memiliki potensi pariwisata yang sangat tinggi.
Tingginya potensi tersebut tidak terlepas dengan adanya ancaman bahaya yang dapat
datang kapanpun, khususnya ancaman kenaikan muka air laut yang berdampak pada
penggenangan wilayah pesisir. Bahaya yang ada di wilayah kepesisiran antara lain
adalah: bahaya penggenangan meliputi inundasi, high velocity floatwater; bahaya
gelombang meliputi non-breaking waves, breaking waves, wave rump, dan tsunami;
1
bahaya angin; dan bahaya erosi yang meliputi erosi jangka pendek, scour, dan erosi
jangka panjang (Marfai dkk., 2008).
Bahaya inundasi atau penggenangan akibat kenaikan muka air laut di Indonesia
banyak terjadi di kota-kota yang terletak di wilayah kepisisiran terutama di sepanjang
Pantai Utara Jawa seperti Jakarta, Pekalongan, Semarang, Demak, Jepara dan lain-lain.
Kabupaten Jepara yang termasuk pada salah satu daerah yang terletak di Pantai Utara
Jawa memiliki potensi sumberdaya yang tinggi namun hal ini diikuti oleh bahaya
kepesisiran yang juga tinggi pula. Permasalahan utama di pesisir Kabupaten Jepara
adalah erosi/abrasi dan sedimentasi yang berimbas pada pencemaran serta kerusakan
pesisir. Terdapat 3 kecamatan di Kabupaten Jepara yang mempunyai potensi
erosi/abrasi yang tinggi, yaitu Kecamatan Kedung, Tahunan, dan Jepara. Hal ini
dikarenakan oleh faktor gelombang yang tinggi di kawasan ini. Tiga wilayah
kecamatan tersebut mempunyai arah hadap pantai menuju arah baratlaut dan langsung
terkena imbas angin yang dominan berasal dari arah baratlaut dengan frekuensi ratarata 20,67% (Sunarto dkk., 2014).
Menurut hasil observasi penyusunan Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil Kebupaten Jepara, terdapat 10 desa dalam 5 kecamatan yang
mengalami erosi pantai di Kabupaten Jepara. Perubahan yang secara langsung mudah
untuk diidentifikasi adalah proses erosi pantai yang berdampak pada mundurnya garis
pantai). Terjadinya erosi pantai menyebabkan wilayah tersebut terancam banjir
genangan karena air laut menjadi mudah untuk naik ke darat akibat hilangnya
penghalang gelombang. Hutan mangrove yang merupakan tanggul alami untuk
menghalangi gelombang laut pun secara langsung telah terkena dampaknya.
Berdasarkan penelitian tahun 1998-2002 telah terjadi pengurangan hutan mangrove
seluas 37,82 ha. (Mardiatno dkk, 2014).
Potensi genangan banjir rob di Jepara dapat berdampak pada hilangnya daratan
hingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Selain itu, dampak genangan banjir rob
adalah terganggunya aktivitas keseharian termasuk kegiatan rumah tangga,
terganggunya aksesibilitas jalan, keterbatasan penggunaan saran dan prasarana.
2
Timpangnya ekosistem pesisir dan kelautan, dan tempat-tempat dengan estetika serta
terganggunya jasa-jasa lingkungan laut yang bermanfaat bagi masyarakat pun telah
menjadi masalah utama di kawasan ini (Marfai dkk, 2008; Mardiatno dkk., 2014).
Menurut Wibawa dkk. (2007), kedalaman air akibat banjir rob di Pantai Utara
Jawa dapat mencapai 20-60 cm dengan luas genangan diperkirakan mencapai 32,6 km².
Penggunaan lahan yang pada awalnya digunakan masyarakat sekitar untuk lahan
produktif pun terancam hilang karena adanya banjir genangan tersebut. Kemiringan
lereng di Pesisir Jepara masuk pada klasifikasi datar-landai dengan kemiringan 0,017,7° (Sunarto dkk., 2014). Kemiringan ini menjadikan wilayah kepesisiran Jepara
rawan terjadi genangan banjir rob. Letak Kabupaten Jepara yang secara langsung
berhadapan dengan Laut Jawa juga menjadikan lokasi ini berpotensi langsung terkena
imbas dari banjir genangan akibat kenaikan muka air laut. Selain itu, faktor gelombang
tinggi dan cuaca yang tidak menentu akibat dari perubahan iklim global menjadi
beberapa faktor terjadinya banjir genangan.
Bentuk upaya mitigasi dan kesiapsiagaaan dari ancaman bahaya genangan
banjir rob adalah dengan melakukan prediksi luasan genangan banjir rob pada tahuntahun mendatang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi bertambahnya kerugian yang
timbul dari bahaya genangan banjir rob pada wilayah-wilayah di kawasan pesisir
Kabupaten Jepara. Selain itu, pemodelan spasial dapat dilakukan menggunakan
software ILWIS untuk mengetahui ilustrasi genangan jika banjir rob ini terjadi. Kajian
spasial telah banyak dihasilkan oleh para peneliti namun untuk kajian temporal masih
belum banyak dilakukan. Hasil pemodelan ini selanjutnya dapat digunakan untuk
menentukan kebijakan pembangunan dan arah mitigasi yang baik dan tepat. Melihat
fenomena tersebut menjadi menarik untuk menganalisis banjir genangan secara spasial
dan temporal di Kabupaten Jepara.
Perumusan Masalah
Kenaikan muka air laut adalah mencairnya es di kutub akibat iklim ekstrim
sehingga menyebabkan volume air di perairan laut menjadi semakin tinggi. Fenomena
ini terus terjadi dan merupakan dinamika alam yang tidak dapat dihentikan.
3
Temperature atmosfer yang terus mengalami kenaikan dapat berimbas pada naiknya
intensitas dan frekuensi bencana alam yang salah satunya adalah naiknya muka air laut.
(IPCC, 2007). Kenaikan muka air laut akan berdampak mundurnya garis pantai ke arah
darat. Mundurnya garis pantai ini tentunya juga dapat menyebabkan terendamnya
wilayah-wilayah yang berada di sekitar pesisir tersebut.
Kondisi pesisir di Kabupaten Jepara yang landai dan tingginya intensitas banjir
rob dan kerusakan wilayah pesisir lainnya menjadi landasan utama penelitian ini
dilakukan. Tingginya potensi sumberdaya pesisir meliputi permukiman, perikanan dan
pariwisata di Kabupaten Jepara ini menjadi obyek yang terancam terdampak banjir
genangan. Wilayah pesisir di Kabupaten Jepara mencakup delapan kecamatan dan 22
desa. Kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Kembang, Donorejo, Keling, Bangsri,
Mlonggo, Jepara, Tahunan dan Kedung. Kecamatan Kedung, Tahunan, dan Jepara
merupakan tiga daerah yang mengalami erosi pantai terbanyak menurut Rencana Tata
Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebupaten Jepara (2006). Menurut Sunarto
dkk. (2014) ancaman bahaya di wilayah kepesisiran Jepara adalah erosi pantai yang
disebabkan oleh karakteristik gelombang laut dan ombak yang besar dan karakteristik
pesisir yang datar-landai. Wilayah dengan erosi pantai yang tinggi akan sangat rentan
terhadap adanya banjir genangan. Selain itu, naiknya permukaan laut akibat pasang
surut menjadi salah satu faktor utama terjadinya banjir genangan.
Bahaya genangan banjir rob di wilayah kepesisiran Pantai Utara Jawa secara
langsung dapat menyebabkan hilangnya lahan milik masyarakat di sekitar pesisir.
Selain itu, lahan sawah atau tegalan dan juga infrakstruktur yang ada juga terancam
mengalami penggenangan. Mata pencaharian masyarakat wilayah pesisir yang
mayoritas sebagai nelayan dan petani tambak menjadi obyek menjai obyek terdampak
secara tidak langsung. Masyarakat menjadi kehilangan mata pencahariannya dan
ekonominya mengalami kemerosotan. Hal-hal tersebut menyebabkan kerugian secara
langsung kepada masyarakat di sekitar wilayah kepesisiran Jepara baik secara materiil
maupun immateriil. Selain menimbulkan dampak langsung, banjir rob juga dapat
menimbulkan dampak tidak langsung berupa tercemarnya air tanah, munculnya wabah
4
penyakit, hilangnya akses transportasi dan fasilitas serta persediaan makanan.
Dampaknya dalam jangka panjang dari banjir rob yaitu kesulitan ekonomi akibat
kerusakan permukiman dan fasilitas umum serta menurunnya kualitas lingkungan di
wilayah sekitar pesisir.
Penelitian identifikasi genangan banjir rob menggunakan metode analisis
spasial telah banyak dilakukan oleh para peneliti maupun praktisi. Namun analisis
secara temporal yang menggunakan data tahun-tahun sebelumnya untuk diproyeksikan
di masa mendatang belum banyak dilakukan. Hal ini penting dilakukan untuk
mengetahui simulasi dan proyeksi wilayah terdampak dengan asumsi tidak adanya
pembangunan alat pemecah ombak dan peninggian talud di wilayah tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Berapa besar kenaikan muka air laut yang terjadi di wilayah kepesisiran Jepara
pada tahun 2020, 2030, 2040, 2050, dan 2060?
2. Berapa luasan genangan dari banjir rob akibat kenaikan muka air laut pada
tahun 2020, 2030, 2040, 2050, dan 2060?
3. Penggunaan lahan apa yang paling banyak terdampak banjir genangan akibat
kenaikan muka air laut pada tahun 2020, 2030, 2040, 2050, dan 2060
berdasarkan penggunaan lahan eksisting?
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian ini maka diperoleh dasar
pemikiran bahwa kenaikan muka air laut dapat menyebabkan terjadinya banjir
genangan di wilayah kepesisiran dan berdampak pada hilangnya penggunaan lahan di
kawasan tersebut, sehingga penulis memilih judul penelitian skripsi: “ANALISIS
SPASIO-TEMPORAL BANJIR GENANGAN AKIBAT KENAIKAN MUKA
AIR LAUT DI WILAYAH KEPESISIRAN KABUPATEN JEPARA (Kasus:
Kecamatan Kedung, Tahunan, dan Jepara)”
5
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis besar kenaikan muka air laut yang terjadi di wilayah kepesisiran
Kabupaten Jepara pada tahun 2020, 2030, 2040, 2050, dan 2060
2. Menganalisis luasan terdampak banjir genangan akibat kenaikan muka air laut
di wilayah kepesisiran Kabupeten Jepara pada tahun 2020, 2030, 2040, 2050,
dan 2060
3. Menganalisis luasan penggunaan lahan yang terdampak banjir genangan pada
tahun 2020, 2030, 2040, 2050, dan 2060 berdasarkan penggunaan lahan
eksisting
Manfaat Penelitian
Manfaat utama dari penelitian ini adalah memberikan gambaran wilayah yang
berpotensi terdampak terhadap bahaya banjir genangan akibat kenaikan muka air laut
di Pesisir Jepara. Penelitian ini juga diharapkan memberikan sumbangsih dalam
perkembangan ilmu geografi dalam penggunaannya untuk analisis kebencanaan.
Analisis kebencanaan menggunakan pendekatan geografi merupakan salah satu
keuntungan karena mempertimbangkan aspek spasial dan temporal beserta ekologis
secara bersamaan. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat
baik dalam bidang ilmu pengetahuan yang lain.
Secara praktis, penelitian ini merupakan salah satu bagian dari mitigasi non
struktural yang dilakukan oleh akademisi untuk digunakan baik oleh masyarakat di
kawasan pesisir Kabupaten Jepara maupun oleh pemerintah setempat untuk digunakan
sebagai acuan perencanaan dan pengelolaan wilayah. Kajian analisis spasial dan
temporal banjir genangan dapat menggambarkan sebaran spasial wilayah yang
berpotensi terdampak banjir genangan akibat kenaikan muka air laut dan proyeksinya
di tahun-tahun mendatang. Pemerintah dalam hal ini merupakan policy maker dapat
6
mendasarkan pembangunan wilayah dengan mempertimbangkan risiko bahaya yang
terjadi pada setiap wilayah agar pembangunan tersebut dapat berjalan berkelanjutan.
Telaah Pustaka
1.5.1.
Wilayah Kepesisiran
Wilayah kepesisiran merupakan suatu jalur darat yang kering dan ruang laut di
sekitarnya berupa daratan berair dan tenggelam. Jalur tersebut meliputi proses-proses
daratan dan penggunaan lahan yang secara langsung mempengaruhi proses-proses dan
pemanfaatan lautan dan sebaliknya (Ketchum, 1973 dalam Sunarto, 2004). Wilayah
atau daerah kepesisiran mempunyai ciri-ciri pokok yang menurut Kay dkk. (1999) pada
Sunarto (2004) adalah sebagai berikut:
a. Daerah kepesisiran mencakup komponen-komponen darat dan laut
b. Mempunyai batas darat dan laut yang ditentukan oleh tingkat pengaruh darat
pada laut dan laut pada darat
c. Tidak memiliki lebar kearah laut bagi daerah kepesisiran, batasnya adalah pada
lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut terendah
Kawasan pesisir dapat juga diartikan sebagai bentuk definisi dari berbagai
macam jenis yang meliputi administrasi, kenampakan fisik, dan kebijakan. Hal ini
meliputi batas desa dan atau batas jalan pada arti administrasi, dan proses-proses fisik
yang terdapat di kawasan ini (Marfai, 2014). Wilayah pesisir juga dapat didefinisikan
sebagai wilayah yang secara geografi membentuk antarmuka antara daratan dan lautan.
Proses-proses yang ada didalamnya meliputi proses fisik dan biologi berlangsung
didalamnya dan mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap daratan dan lautan.
(Bappenas, 1997 dalam Marfai, 2014).
Daerah kepesisiran (coastal area) merupakan daerah bentangan dari darat
hingga laut dengan batas di darat adalah sejauh pengaruh laut masuk ke darat atau
secara morfogenesis masih dipengaruhi aktivitas marin dan batas laut di laut sejauh
pengaruh darat masuk ke laut atau zona pecah gelombang. (Sunarto, 2001; Gunawan
7
dkk, 2005). Jika daerah kepesisiran merupakan daerah yang membentang dari darat ke
laut, maka pesisir (coast) adalah daerah yang membentang di darat saja, sedangkan
pantai (shore) merupakan satu jalur yang membatasi antara pesisir dan laut (Sunarto,
2001). Pantai (shore) juga didefinisikan sebagai pertemuan antara daratan dan laut
yang meliputi daerah di antara garis air tertinggi dan garis air terendah. (CERC, 1984
dalam Sunarto, 2004) Selain itu, gisik (beach) didefinisikan juga sebagai material
lepas-lepas yang terendapkan di zona pantai, sedangkan pesisir (coast) adalah daerah
yang terletak di bagian pedalaman atau bagian daratan dari sejauh terjadi perubahan
topografi pertama di permukaan daratan (Snead, 1982 dalam Sunarto, 2004).
Pesisir juga merupakan sistem yang dinamis yang dipengaruhi oleh banyak
faktor dan tekanan baik dari proses fisik maupun dari aktivitas manusia yang terjadi di
dalam sebidang daratan atau lahan yang membentang sepanjang batas garis pantai ke
arah daratan hingga batas perubahan kenampakan medan pertama kali. (Marfai dkk,
2008b; CERC, 1984 dalam Sunarto, 2004). Menurut definisi-definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa wilayah kepesisiran merupakan suatu zona dengan batasan
ditentukan dari masih dipengaruhinya aktivitas darat dan laut.
Gambar 1.1. Batasan wilayah kepesisiran (Supriharyono, 2000 dalam Sunarto, 2001)
8
1.5.2.
Kenaikan Muka Air Laut
Kenaikan muka air laut merupakan fenomena atau masalah global yang
menjadi isu dunia pada saat ini yang merupakan konsekuensi dari naiknya suhu muka
bumi (Aldrian dkk, 2011 dalam Khakhim dkk, 2014). Kenaikan muka air laut pada
dasarnya dapat disebebkan oleh tiga hal, yaitu mencairnya es di kutub, kejadian iklim
ekstrim dan turunnya permukaan tanah akibat beban diatas tanah yang melebihi
ambang
batas
kemampuan
lahan.
Meningkatnya
aktivitas
manusia
dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu udara di bumi. Akibat terjadinya
pemanasan global, muka air laut mengalami peningkatan secara signifikasn pada akhirakhir ini. Rata-rata suhu permukaan global meningkat sebesar 0,6 ± 0,2°C sejak akhir
abad 19. Peningkatan ini dinilai akan mempengaruhi kenaikan muka air laut setinggi 9
hingga 88 cm hingga tahun 2100 dari tahun 1990 (Cruch dkk., 2001).
Kenaikan tinggi muka air laut merupakan salah satu dampak dari pemanasan
global dengan intensitas kenaikan yang cenderung meninggi dari tahun ke tahun. Hal
ini juga dapat disebabkan oleh faktor manusia terkait dengan eksploitasi airtanah di
wilayah pesisir secara berlebihan, pengerukan alur pelayaran, peribahan penggunaan
lahan, peningkatan infrakstruktur, dan reklamasi pantai (Wahyudi, 2011; Handayani,
2012 dalam Hardoyo dkk, 2014). Kenaikan muka air laut menurut (Aldrian dkk, 2011
dalam Khakhim dkk, 2014) disebabkan oleh memuainya molekul air dan melelehnya
salju di daratan. Permukaan air laut dapat meningkat secara lokal dan dapat dipastikan
akan meningkat lebih lanjut. Adanya reklamasi pantai dan penanggulan pada pesisir
pasang surut akan meningkatkan risiko banjir akibat beban yang berlebih ketika air
pasang sedang tinggi. (Robins dkk., 2011). Kenaikan tinggi muka air laut akan
berdampak pada terjadinya perubahan garis panti, terjadinya erosi pantai dan abrasi,
mengakibatkan naiknya air laut ke daratan dan terjadinya banjir rob yang menggenangi
area di wilayah kepesisiran (Gregory dkk., 2001 dalam Handayani, 2012).
9
1.5.3.
Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan suatu gejala alam yang tampak nyata di
perairan laut dengan gerakan vertical dari seluruh partikel massa air laut di permukaan
hingga bagian terdalam dari dasar laut akobat pengaruh gaya Tarik bumi dengan bendabenda angkasa terutama matahari dan bulan (Wibisono, 2005). Posisi bulan dan bumi
akan secara langsung mempengaruhi besar kecilnya tunggang air. Tunggang air (tidal
range) yaitu perbedaan tinggi air antara pasang maksimum (high water) dan pasang
minimum (low water) dengan tinggi air rata-rata mencapai beberapa meter hingga
puluhan meter (Khakhim dkk., 2014). Gaya Tarik gravitasi menarik ke laut kea rah
bulan dan matahari sehingga menghasilkan tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional
di laut. Lintang dari tonjolah pasang surut ditentukan oleh sudut deklinasi, yaitu sudut
antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Hutabarat dkk., 1988
dalam Khakhim dkk., 2014). Menurut Hinton (2000) dalam Marfai dkk. (2008) siklus
pasang surut memiliki efek pada proses pantai lainnya, rentang pasut mempengaruhi
ketinggian antar muka air dengan kecepatan pasang surut menentukan durasi genangan
di setiap tingkat. Fenomena tersebut pada umumnya disebut banjir genang pasang di
pesisir.
1.5.4.
Banjir Rob/ Banjir Genangan
Banjir merupakan bencana yang sering terjadi diantara kejadian bencana yang
lain (Sivakumar, 2005). Banjir genangan air laut sering disebut banjir rob. Banjir rob
merupakan wujud dari bentuk bencana banjir akibat pasang surut air laut yang banyak
terjadi di dataran rendah pesisir (Hardoyo dkk., 2014). Banjir yang terjadi di pesisir
secara umum merupakan akumulasi dari banjir genangan air laut (tidal flood), banjir
kiriman, dan luapan sungai (Khakhim dkk., 2014). Sementara itu di kebanyakan kota
di Indonesia, banjir pesisir merupakan akibat dari genangan pasang surut, banjir luapan
sungai, dan penurunan tanah. Sebagai contoh adalah di kota-kota di pantai utara Jawa
yang secara alami terjadi penurunan muka tanah dan berdampak pada naiknya muka
air laut menuju ke daratan.
10
Banjir rob juga dapat didefinisikan sebagai banjir akibat pola fluktuasi muka
air laut yang dipengaruhi oleh gaya Tarik benda-benda angkasa, terutama oleh bulan
dan amtahari terhadap massa air laut di bumi (Sunarto dkk, 2013) Sementara itu,
menurut (Marfai dkk, 2008) banjir rob merupakan konsekuensi dari kenaikan muka
laut dan terjadi melalui proses naiknya pasang air laut, gelombang pasang, tingginya
aliran air sungai, dan kenaikan paras muka air laut. Menurut Pramudianti dkk. (2013)
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir rob adalah sebagai berikut:
1. Faktor alam, seperti iklim (angin, durasi hujan dan tingginya intensitas curah
hujan), oseanografi (pasang surut), dan geomorfologi (tipologi pesisir)
2. Aktivitas manusia yang berdampak pada perubahan tata ruang dan ekosistem
seperti penggundulan hutan mangrove, konversi lahan, pemanfaatan lahan pada
area sempadan pantai, dan pembangunan fisik di kawasan pesisir yang akan
menimbulkan penurunan muka tanah karena beban fisik bangunan tersebut
3. Tidak berfungsinya bangunan pelindung seperti tanggul
4. Genangan banjir rob terjadi selama beberapa jam dan ditentukan oleh waktu gerak
pasang surut air laut sehingga banjir rob akan terjadi secara berulang sesuai dengan
berulangnya aktivitas pasang surut air laut yang terjadi sepanjang waktu. Luas
daerah yang mengalami penggenangan oleh banjir rob dipengaruhi oleh ketinggian
air laut ketika pasang, elevasi tempat di atas permukaan laut, dan tempat yang
mengalami penurunan muka tanah.
Sementara itu, dampak banjir rob dapat meliputi kerusakan bangunan, tempat tinggal,
salinitas air tanah, kerusakan lahan tambak, kehilangan lahan, dan kerusakan pada
kendaraan atau peralatan kerja. (Desmawan, 2012).
1.5.5.
Penggunaan Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam dan lingkungan fisik yang
mencakup dan dipengaruhi oleh tanah, iklim, relief hidrologi, vegetasi, dan bendabenda yang ada di atasnya termasuk juga hasil aktivitas manusia pada masa sekarang
dan masa lampau yang mempunyai pengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1975,
11
dalam Arsyad, 1989; Sitorus, 2001). Setiap aktivitas manusia secara langsung maupun
tidak langsung akan selalu terkait dengan lahan, seperti aktivitas untuk permukiman,
pertanian, transportasi dan sebagainya. Lahan merupakan sesuatu yang dinamis,
aktivitas manusia yang terus berlangsung akan secara cepat berpengaruh terhadap
penggunaannya.
Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap
sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup (Vink, 1975).
Penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penggunaan lahan pertanian
dan non pertanian (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan pertanian didefinisikan sebagai
penggunaan lahan dengan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Selain itu,
penggunaan lahan pertanian dapat digolongkan sebagai penggunaan lahan produktif
secara ekonomi. Sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, dan hutan merupakan
berbagai penggunaan lahan pertanian yang produktif. Penggunaan lahan non pertanian
merupakan penggunaan lahan untuk infrakstruktur seperti permukiman (desa dan
kota), industri, tempat rekreasi, dan sebagainya.
Penggunaan lahan juga sering disamakan dengan penutup lahan. Penutup lahan
merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan
kegiatan manusia terhadap obyek tersebut (Lillesand dkk, 1990). Perbedaaannya
terdapat pada faktor campur tangan manusia. Campur tangan manusia sangat
berpengaruh terhadap kondisi di suatu lahan tertentu, namun proses alam juga
mempunyai pengaruh penting terhadap penggunaan lahan. Proses yang terjadi di alam
seperti bencana alam dan perubahan iklim yang ekstrim dapat mempengaruhi
perubahan penggunaan lahan dengan cepat. Perubahan penggunaan lahan adalah suatu
proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lainnya
yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Hal ini dapat bersifat sementara
maupun permanen dan merupakan bentuk konsekuensi adanya dinamika dan
perubahan ekosistem di sekitarnya (Winoto dkk, 1996).
12
1.5.6.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan suatu system mengumpulkan,
menyimpan, memodelkan, menganalisis, dan menyajikan kumpulan data keruangan
yang memiliki referensi geografis atau acuan lokasi menggunakan computer dan
mengacu pada lokasi geografis yang berguna untuk membantu pengambilan keputusan
(Johnson, 1996; Puspics, 2004). Kemampuan SIG dapat berupa penggabungan
berbagai data pada suatu lokasi, menghubungkan, menganalisis, dan memetakan
hasilnya. Input data dalam SIG adalah data spasial yang berorientasi geografis dengan
system koordinat tertentu. SIG juga merupakan suatu perangkat keras, perangkat lunak,
data, manusia, organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, menganalisis, dan menyebarkan informasi-informasi menggenai daerahdaerah di permukaan bumi (Chrisman, 1997).
Komponen SIG merupakan suatu system yang kompleks dengan terdiri dari
bebreapa komponen. Beberapa komponen yang mendukung SIG antara lain adalah:
perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna, dan aplikasi. Terdapat banyak
perangkat lunak yang membangun SIG, yaitu: ArcInfo, ArcView, ArcGIS, ENVI,
ERDAS, MapInfo, ILWIS dan sebagainya. Analisis yang dilakukan pada pemodelan
genangan pada umumnya mempunyai basis raster. Model data raster mempunyai
struktur data yang tersusun dalam bentuk matriks atau piksel dan membentuk grid.
Setiap matriks tersebut berisi sejumlah sel yang memiliki nilai tertentu dan mewakili
suatu fenomena geografik tertentu. Model data raster biasanya ditampilkan
mengguunakan DEM atau Digital Elevation Model. DEM merupakan suatu
representasi statistic permukaan tanah yang kontinu dari titik-titik yang memuat
koordinat x, y, dan z (Petrie dkk, 1991).
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini pada dasarnya mempunyai beberapa acuan dari penelitian
sebelumnya. Penelitian ini mempunyai kesamaan pada beberapa hal namun secara
mendasar tetap mempunyai perbedaan dari penelitian sebelumnya. Hal ini dilakukan
13
dengan tujuan untuk penyempurnaan metode dan perluasan lokasi kajian. Terdapat 7
(tujuh) acuan dari penelitian sebelumnya yang bertemakan sama dengan penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Marfai dkk. (2008) yang berjudul Tidal Inundation
Mapping Under Enhanced Land Subsidence in Semarang Central Java mempunyai
kesamaan dengan penelitian ini perihal topik penelitian, perbedaan terletak pada
metode, tujuan, lokasi dan hasil penelitian. Tujuan penelitian ini sama-sama
memodelkan banjir rob namun berbeda dalam hal penyebab. Penelitian ini
mendasarkan pada pengaruh kenaikan model air laut, sedangkan oleh Marfai dan King
(2008) pada pengaruh land subsidence atau penurunan muka tanah. Penelitian oleh
Susanto (2010) juga mengkaji tentang dampak banjir rob, bentuk kesamaan terletak
pada adanya perhitungan luasan genangan dan proyeksi genangan di tahun mendatang.
Perbedaan terletak pada metode analisis genangan, oleh Susanto (2010) penelitian juga
mendasarkan pada perhitungan kerentanan pesisir dan metode interpolasi yang
berbeda.
Penelitian oleh Purnomo (2011) memiliki kesamaan dengan penelitian ini
dalam hal tujuan dan metode. Tujuan dari penelitian dari Purnomo (2011) adalah sama
dalam perihal melakukan pemodelan genangan dan proyeksi pada tahun mendatang.
Perbedaan terletak pada lokasi kajian dan tahun proyeksi genangan banjir rob, dan
metode analisisnya. Sedangkan Anggraini (2011) memodelkan banjir rob untuk
kalkulasi dampaknya terhadap penggunaan lahan dan infrakstruktur. Pada penelitian
ini hanya dilakukan perhitungan dampak pada penggunaan lahan. Hal serupa terdapat
pada penelitian oleh Hermawan (2011), Putra (2012), dan Kasbullah (2014) yang
masing-masing menghitung dampak dari banjir rob terhadap kerugian lahan pertanian,
kualitas permukiman, dan kerugian pada tanaman lahan pertanian padi. Selain
perbedaan pada metode, terdapat perbedaan pada lokasi kajian. Lokasi kajian
penelitian ini adalah Kabupaten Jepara yang belum pernah dilakukan penelitian.
14
Tabel 1.1. Daftar Penelitian Sebelumnya
No
Peneliti
Tempat/tahun
Judul penelitian
Tujuan
Metode
Hasil
1
Marfai dan King Jerman, 2008
(2008)
Tidal
Inundation
Mapping
Under
Enhanced
Land
Subsidence
in
Semarang Central Java
Mengetahui
persebaran
genangan banjir rob
berdasarkan
penurunan
muka
tanah
Analisis DEM dan
ILWIS
dengan
metode
neighborhood
operation
dan
iterasi
Peta
genangan
banjir
rob
berdasarkan
penurunan muka
tanah
2
Susanto (2010)
Proyeksi
kenaikan
permukaan laut dan
dampaknya
terhadap
banjir
geanngan
kawasan pesisir
Memperkitakan
kenaikan muka laut
dan potensi banjir
Menentukan
kondisi kerentanan
pesiisr
berdasar
kondisi fisik dan
sosial ekonomi
Memperkirakan
tingkat
rasio
wilayah
yang
Perhitungan regresi
linier,
metode
interpolasi spline
with barrier dan
rata-rata
selisih
pasang surut untuk
mengetahui
kenaikan muka air
laut
Peta
prediksi
genangan
tahun
2010-2050,
prediksi
jumlah
desa
dan
infrakstruktur
tergenang
pada
tahun 2010-2050,
prediksi
tingkat
kerugian ekonomi
Yogyakarta,
2010
15
Lanjutan Tabel 1.1.
dan
kerentanan
genangan
mengalami banjir
dan infrakstruktur
yang tergenang
3
Purnomo (2011)
Yogyakarta,
2011
4
Anggraini
Yogyakarta,
2011
(2011)
5
Hermawan
(2011)
Yogyakarta,
2011
Banjir
Genangan
Akibat Kenaikan Muka
Air Laut: Pemodelan
Spasio Temporal dan
Analisis Dampak Studi
Kasus
Kabupaten
Demak Tahun 20102050
Pemodelan
Spasial
Genangan Banjir Rob
dan
Dampaknya
Terhadap Penggunaan
Lahan
dan
Infrakstruktur
di
Kawasan Pesisir (Studi
Kasus
Kec.
Penjaringan,
Jakarta
Utara, DKI Jakarta
Pemetaan banjir rob dan
Penilaian
Potensi
Kerugian
Lahan
Pertanian Padi Sawah
Akibat Banjir Rob di
Wilayah
Pesisir
Kecamatan Bonang dan
Wedung, Kab Demak
Mengetauhi
kenaikan muka air
laut,
luasan
tergenangan
dan
penggunaan lahan
yang
dominan
tergenang
tahun
2010-2050
Membuat
pemodelan banjir
rob dan mengetahui
dampak genangan
banjir rob
Analisis
regresi
untuk
proyeksi
kenaikan muka air
laut,
interpolasi
moving average dan
analisis iterasi pada
ILWIS
Memetakan
genangan
banjir
rob,
mengetahui
luasan terdampak
dan
menaksir
potensi
kerugian
ekonomi kegiatan
pertanian
padi
sawah
Map
moving
average dan iterasi
pada ILWIS serta
estimasi
potensi
kerugian
dengan
pendekatan
kerugian produksi
bersih dan harga
produk domestik
Menggunakan
ILWIS
untuk
pemodelan
genangan
dan
perhitungan luasan
melalui
overlay
peta
penggunaan
lahan
Hasil perhitungan
kenaikan muka air
laut tahun 20102050, perhitungan
luasan genangan
dan penggunanaan
lahan
dominan
tergenang
Pemodelan
genangan banjir
rob
dan
perhitungan luasan
dan infrakstruktur
terdampak
Peta
genangan
banjir rob, luasan
genangan dan nilai
potensi kerugian
16
Lanjutan Tabel 1.1.
6
Putra (2012)
Yogyakarta,
2012
7
Kasbullah
Yogyakarta,
2014
(2014)
Identifikasi
Dampak
Banjir
Genangan
(ROB)
terhadap
Lingkungan
Permukiman
di
Kecamatan
Pademangan
Jakarta
Utara
Pemodelan
Spasial
Genangan Banjir Rob
dan Penilaian Potensi
Kerugian pada Lahan
Pertanian Sawah Padi
Studi Kasus Wilayah
Pesisir
Kabupaten
Pekalongan
Jawa
Tengah
Mengetahui
distribusi genangan
banjir rob dan
luasan terdampak
pada penggunaan
lahan
dan
infrakstruktur
Metode iterasi pada
ILWIS, interpolasi
moving
average
pada DEM, dan
iterasi
untuk
scenario ketinggian
banjir rob
Memetakan daerah
terdampak banjir
rob,
luasan
penggunaan lahan
terdampak,
dan
besar
kerugian
ekonomi kegiatan
pertanian
sawah
padi
Menggunakan
metode
operasi
neighborhood dan
iterasi pada ILWIS
dan
perhitungan
nilai
kerugian
pertanian
sawah
padi
Pemodelan
genangan
,
perhitungan luasan
genangan
dan
luasan penggunaan
lahan
dan
infrakstruktur
terdampak
Pemodelan
genangan,
perhitungan luasan
terdampak
dan
penaksiran
kerugian ekonomi
17
Kerangka Pemikiran
Penggenangan daratan oleh air laut atau banjir genangan merupakan salah satu
bahaya yang dapat terjadi di wilayah pesisir. Bahaya ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik faktor fisik dari dalam wilayah pesisir maupun faktor fisik dari kondisi di
sekitar wilayah tersebut. Kenaikan muka air laut merupakan faktor yang dapat berasal
dari dalam maupun dari luar wilayah kepesisiran. Pesisir di Jawa bagian utara memiliki
karakteristik pantai landai, dengan gelombang laut dan ombak yang besar. Aktivitas
manusia yang tinggi di wilayah kepesisiran seperti banyaknya permukiman, rekreasi di
tempat wisata, aktivitas industri dan sebagainya juga akan berdampak pada penurunan
muka tanah di wilayah ini dan juga ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak
pada kerusakan lingkungan pesisir.
Karakter pesisir ditambah dengan aktivitas manusia ini dapat memicu beberapa
kejadian seperti penurunan muka tanah dan pasang surut air laut. Pasang surut air laut
juga dapat secara langsung menyebabkan banjir genangan. Hal ini dikarenakan oleh
muka tanah yang rendah menjadikan air pasang mudah untuk menggenangi daratan.
Selain itu, kenaikan muka air laut juga dapat menyebabkan penggenangan daratan oleh
air laut dikarenakan oleh peningkatan volume air laut. Naiknya muka air laut selain
berasal dari aktivitas pasang surut juga dapat dipengaruhi oleh kondisi iklim global.
Pemanasan global yang dipicu oleh gas rumah kaca akan menyebabkan salju yang ada
di kutub mencair. Mencairnya salju akan berdampak pada volume air laut di lautan di
bumi menjadi bertambah. Oleh sebab itu, dengan bertambahnya volume air laut akan
menyebabkan kenaikan muka air laut secara global.
Beberapa aktivitas di pesisir meliputi penurunan muka tanah, pasang surut air
laut, dan kenaikan muka air laut merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya
banjir genangan/ rob di wilayah kepesisiran. Kenaikan muka air laut dan pasang surut
air laut pada dasarnya merupakan faktor yang menjadi perhatian utama karena hal
inilah yang secara langsung terjadinya banjir genangan. Adanya keniakan muka air laut
dan pasang surut secara langsung terjadi dan diasumsikan di seluruh wilayah memiliki
karakteristik pesisir yang sama yaitu datar/ landai dan gelombang laut yang besar.
18
Dampak dari adanya banjir genangan yaitu penggenangan daratan oleh air laut.
Obyek utama yang tergenang adalah penggunaan lahan di wilayah tersebut.
Penggunaan lahan di wilayah pesisir didominasi oleh permukiman, sawah, tegalan, dan
tambak ikan. Penggunaan lahan tersebut merupakan sektor-sektor produktif yang jika
lahan tersebut tergenang maka aktivitas ekonomi masyarakat akan terganggu. Analisis
dari banjir genangan ini dapat dilakukan dengan perhitungan luasan tergenang. Hal ini
dapat untuk mengetahui distribusi genangan dan penggunaan lahan apa saja yang
terdampak genangan. Selain itu, proyeksi banjir genangan dapat dilakukan untuk
mengetahui penggunaan lahan yang berpotensi mengalami perubahan. Kerangka teori
dari analisis dampak banjir genangan terhadap penggunaan lahan dapat dilihat di
gambar 1.2.
Pemanasan
Global
Dinamika
Kepesisiran
Pencairan
Salju/Es
Sedimentasi
Penurunan
Muka
Tanah
Pasang Surut
Air Laut
Banjir
Genangan/Rob
Kenaikan
Muka Air
Laut
Peningkatan
Volume Air
Penggenangan Daratan
oleh Air Laut
Perubahan
Penggunaan Lahan
Gambar 1.2. Bagan Kerangka Pemikiran
19
Batasan Istilah
Banjir pasang/ banjir genangan adalah fenomena meluapnya air laut ke
daratan akibat proses pasang surut air laut yang menggenangi lahan di kawasan pesisir
yang lebih rendah dari permukaan air laut rata-rata (mean sea level) (Marfai dkk, 2008).
Kenaikan muka air laut adalah suatu fenomena yang pada dasarnya dapat
disebebkan oleh tiga hal, yaitu mencairnya es di kutub, kejadian iklim ekstrim dan
turunnya permukaan tanah akibat beban diatas tanah yang melebihi ambang batas
kemampuan lahan (Aldrian dkk, 2011 dalam Khakhim dkk, 2014).
Pemodelan spasio temporal adalah bentuk analisis dari suatu permasalahan
yang ada dengan menggunakan metode penelitian jangka panjang dalam suatu lingkup
daerah (Prasetyo dkk, 2012).
Penggunaan Lahan adalah bentuk campur tangan manusia terhadap bagian
dari bentang alam dan lingkungan fisik yang mencakup dan dipengaruhi oleh tanah,
iklim, relief hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya termasuk juga
hasil aktivitas manusia pada masa sekarang dan masa lampau yang mempunyai
pengaruh terhadap lahan (FAO, 1975, dalam Arsyad, 1989; Sitorus, 2001; Vink, 1975).
Pada penelitian ini ditentukan penggunaan lahan eksisting atau yang ada pada saat
penelitian ini berlangsung. Hal ini didasarkan karena asumsi penggunaan lahan tidak
akan berubah secara signifikan pada tahun-tahun mendatang. Selain itu, penggunaan
lahan eksisting juga dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk perencanaan
pembangunan wilayah di daerah tersebut pada tahun-tahun mendatang.
Wilayah kepesisiran adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut dengan
wilayah darat mencakup kering maupun terendam air dan masih terpengaruhi sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angina laut, dan perembesan air asin. Wilayah laut mencakup
bagian laut yang terpengaruhi oleh proses-proses yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran alir tawar, maupun yang disebabkan oleh kegitan manusia di
darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1974 Dahuri, 2001).
20
Download