BAB II LANDASAN TEORI A. Signalling Theory Signalling Theory

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Signalling Theory
Signalling Theory (Teori Persinyalan) menurut Brigham dan Houstan
(2001) dalam Yuniarta (2011) merupakan suatu tindakan yang dipilih
manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang
bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan.
Menurut konsep signalling theory dalam Wirakusuma dan Yuniasih
(2007) menyatakan bahwa perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada
pihak luar perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Selain
informasi
keuangan
yang
diwajibkan
perusahaan
juga
melakukan
pengungkapan yang sifatnya sukarela. Salah satu dari pengungkapan sukarela
yang dilakukan oleh perusahaan adalah pengungkapan CSR pada laporan
tahunan
perusahaan.
Dengan
diungkapkannya
Corporate
Social
Responsibility diharapkan dapat memberikan signal kepada pihak eksternal
termasuk investor dan diharapkan akan dapat meningkatkan citra perusahaan
yang pada akhirnya tercermin dengan peningkatan nilai perusahaan.
B. Stakeholders Theory
Terjadi pergeseran orientasi dari shareholders kepada stakeholders di
dalam dunia bisnis telah disebut sebagai penyebab munculnya isu tanggung
jawab sosial perusahaan. Grey et al. dalam Nur Cahyonowati (2003)
7
mengemukakan bahwa teori stakeholders mengasumsikan bahwa eksistensi
perusahaan memerlukan dukungan stakeholders. Semakin kuat stakeholders,
maka
perusahaan
harus
semakin
beradaptasi
dengan
stakeholders.
Pengungkapan sosial kemudian dipandang sebagai dialog antara perusahaan
dengan stakeholder.
Menurut
pendekatan
stakeholders,
organisasi
memilih
untuk
menanggapi banyak tuntutan yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan
(stakeholder) yaitu, setiap kelompok dalam lingkungan luar organisasi tersebut
yang terkena tindakan serta keputusan organisasi. Menurut pendekatan ini,
organisasi akan berusaha untuk memenuhi tuntutan lingkungan dari kelompokkelompok seperti para karyawan, pemasok, investor, serta masyarakat
(P.Robbins & Mary Coulter, 1999). Jika tekanan dari stakeholder sangat kuat
dan berpengaruh terhadap kontinuitas dan kinerja perusahaan, maka
perusahaan harus bisa menyusun kebijakan dan program-program kebijakan
sosial dan lingkungan yang terarah dan terintegrasi (Prasetyo, 2001).
Ada beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan
kepentingan stakeholders, yaitu:
1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam
masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka.
2. Dalam
era
globalisasi
telah
mendorong
produk-produk
yang
diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan.
3. LSM dan pecinta lingkungan makin kritis dalam mengkritik perusahaanperusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan.
8
Lebih lanjut lagi, Grey et al. (Nur Cahyonowati, 2003) menyebutkan
bahwa, agar perusahaan mengetahui apa yang diinginkan oleh stakeholder-nya,
perusahaan harus dapat dapat menilai substantive enviroment yang terdiri atas:
1. Primary level menggambarkan interaksi medium perusahan manufaktur
dengan lingkungan yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi
pertanggung jawaban.
2. Secondary level menggambarkan interaksi sosial perusahaan dalam
penggunaan infrastruktur, pengaruh estetika, kesehatan karyawan dan
kepuasan status, opsi konsumen dan kesejahteraan, advertensi, sampah sisa,
tekhnologi baru dan sumber-sumber serta social oppotunity cost.
3. Tertiary level menggambarkan interaksi dalam sistem organisasional yang
lebih kompleks yaitu berhubungan dengan kualitas kebebasan, sikap,
moral, pendidikan, budaya dan estetika, tingkat informasi (berita), warisan
budaya, dunia ketiga, sistem, pilihan individu, kesehatan, lingkungan,
sistem hukum yang adil.
Dengan
mengungkapkan
kepedulian
pada
lingkungan
melalui
pelaporan keuangan, maka perusahaan dalam jangka panjang bisa terhindar
dari biaya yang sangat besar akibat tuntutan dari masyarakat. Pengeluaran
untuk kepedulian sosial yang diunngkapkan ke publik membantu pengendalian
tidak langsung atas usaha perusahaan oleh masyarakat.
9
C. Value-Based Management
1. Konsep Value-Based Management
Selama ini kinerja sebuah perusahaan lebih banyak diukur
berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu periode tertentu. Rasio
keuangan ini sangat bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang
digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga
seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat, padahal
sebenarnya bisa saja tidak mengalami peningkatan dan bahkan menurun. Hal
ini juga dinyatakan oleh Pradhono dan Christiawan (2004) dalam Hartanti
dan Monika (2008), bahwa ukuran kinerja keuangan yang mendasarkan pada
laba akuntansi (accounting profit), seperti earnings per share, price earnings
ratio, dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk mengevaluasi
efektivitas dan efisiensi perusahaan. Sehingga saat ini, banyak perusahaan
menggunakan ukuran kinerja yang lebih menekankan value (Value-Based
Management/VBM).
Konsep VBM mendorong manajemen lebih termotivasi dan fokus
pada penciptaan arus kas dimasa mendatang bagi pemegang saham. VBM
yang diterapkan secara terus menerus, pada kondisi pasar yang efisien akan
merefleksikan kinerja dan prospek yang baik pada harga saham. ValueBased Management memberikan penilaian yang dinamis serta hasil kinerja
organisasi yang tinggi berdasarkan pada kekuatan finansial, seperti Economic
Value Added (EVA) yang dapat menunjukkan suatu organisasi berhasil atau
gagal. Nilai ekonomis suatu perusahaan komersial hanya terlegitimasi oleh
10
keuangan yang dicapai. Perusahaan yang baik harus memastikan bahwa
pelanggan puas, karyawan diperhatikan dengan baik, tetapi intinya selalu
profit. VBM memiliki dua elemen kunci. Pertama, penciptaan nilai bagi
pemegang saham (shareholder value) sebagai tujuan utama perusahaan.
Kedua, sebagai ukuran kinerja internal perusahaan yang mampu memotivasi
manajemen mengejar tujuan maksimalisasi tersebut.
Menurut Stewart (1999) dalam Iramani dan Febrian (2005) Economic
Value Added adalah metode pengukuran kinerja yang terbaik yang
merupakan salah satu penerapan VBM. Konsep ini dikembangkan pertama
kali oleh Joel M. Stern dan Stewart, analisis keuangan dari perusahaan
konsultan Stern Stewart & Co pada akhir tahun 1980. Menurut Stewart,
earnings dan earnings per share adalah pengukuran yang keliru untuk kinerja
perusahaan. Konsep Economic Value Added (EVA) sebenarnya mirip dengan
pengukuran pendapatan residu (residual income). EVA merupakan metode
penelitian kerja keuangan untuk menghitung profit ekonomi yang sebenarnya
(true economic profit) dari sebuah perusahaan. Eva mengukur perbedaan
tingkat pengembalian antara modal perusahaan dengan biaya modalnya. EVA
positif mengindikasikan bahwa ada penciptaan nilai bagi pemegang saham,
sedangkan EVA negatif mengindikasikan bahwa telah terjadi value
destruction.
Menurut Young (1997) dalam Hartanti dan Monika (2008), EVA
dapat dikatakan lebih inovatif karena: EVA tidak dibatasi oleh GAAP, EVA
dapat diterapkan sampai pada tingkatan yang rendah dalam organisasi. EVA
11
memiliki sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pengukuran keuangan
lainnya yaitu cara pengukuran dan pengkomunikasian kinerja yang dapat
digunakan disemua area, seperti pasar modal, penilaian investasi modal, dan
dalam evalusi serta kompensasi kinerja manajerial.
Berbagai prinsip, konsep, dan tekhnik yang mendasari Value-Based
Management (VBM) semakin berkembang dalam mempengaruhi strategi
perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan
Eropa (Arnold dan Davies, 1999, dalam Yuniarta, 2011). Di tahun 1997,
salah satuperusahaan Jerman, yaitu Siemens, mengumumkan bahwa mereka
telah mengubah haluan kepada VBM dengan menggunakan Economic Value
Added (Hartanti dan Monika, 2008)
2. Pengertian Value-Based Management
Value based management atau manajemen berbasis nilai memiliki
beberapa arti, diantaranya menurut Young dan O’Byrne (2001) Manajemen
berbasis nilai adalah sebuah pendekatan yang memastikan perusahaan tetap
berjalan sesuai dengan nilai, yang telah ditentukan sebelumnya.
“Value Based Management is an approach that ensures corporations
are run consistently on value.”(Young & O’Byrne, 2001).
Menurut Robbins dan Coulter (2002) dalam Yulianti (2008),
Manajemen berbasis nilai merupakan sebuah pendekatan untuk mengelola apa
yang dibangun, dipromosikan, dan dipraktekkan oleh para manajer yang terkait
dengan nilai organisasi bersama. Sebuah nilai organisasi mencerminkan apa
12
yang dituju dan apa yang dipercaya, dalam hal ini adalah apa yang menjadi
tujuan dan kepercayaan sebuah organisasi.
“Values-based management is an approach to managing in which
managers establish, promote, and practice an organization's shared
values. An organization's values reflect what it stands for and what it
believes in.”(Robbins & Coulter, 2002).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa value-based management adalah
sebuah pendekatan untuk memastikan bahwa perusahaan telah berjalan sesuai
dengan tujuan dan nilai yang telah ditentukan.
3. Unsur-unsur dari Manajemen Berbasis Nilai (Value Based Management)
Menurut Black (2004), unsur-unsur dari value-based management
adalah:
a. Menciptakan Nilai; Bagaimana perusahaan dapat meningkatkan atau
menghasilkan nilai masa depan maksimal. Lebih atau kurang sama dengan
strategi.
b. Mengelola untuk Nilai; Pemerintahan, perubahan manajemen, budaya
organisasi, komunikasi, kepemimpinan.
c. Mengukur Nilai; Terkait dengan sebuah penilaian, Manajemen Berbasis
Nilai tergantung pada tujuan perusahaan dan nilai-nilai perusahaan. Tujuan
perusahaan dapat menjadi ekonomi (Nilai Pemegang Saham) atau bisa juga
bertujuan konstituen lain secara langsung (Nilai Pemangku Kepentingan).
13
4. Tujuan penerapan Value-Based Management
Sebuah nilai organisasi bersama membentuk budaya organisasi dan
mempengaruhi cara organisasi beroperasi, kehidupan perusahaan dan
mempraktikkan nilainya, serta mencapai tujuan bersama melalui berbagi
informasi dan keterlibatan tim dalam perencanaan dan pelaksanaan perubahan.
Informasi harus dibagi pada seluruh organisasi agar karyawan didorong untuk
terjadinya perbaikan secara terus menerus. Untuk setiap perusahaan yang
percaya pada nilai dan praktik berbasis manajemen, bersama nilai perusahaan
melayani berbagai tujuan.
Setiap Value-Based Management, menurut Young dan O’Byrne (2001),
memiliki beberapa tujuan, yaitu:
a.
Nilai Organisasi Bersama
Nilai yang ada di dalam suatu organisasi dibagi minimal menjadi
empat tujuan utama. Berikut adalah penjelasannya:
1) Tujuan yang pertama dari nilai bersama adalah bahwa mereka
bertindak sebagai tonggak penunjuk untuk keputusan manajerial dan
tindakan.
2) Tujuan lain dari nilai bersama adalah dampak mereka pada perilaku
karyawan dalam membentuk dan mengomunikasikan apa yang
menjadi harapan organisasi terhadap anggotanya.
3) Pengaruh pemasaran usaha.
4) Nilai bersama adalah cara untuk membangun semangat tim dalam
organisasi.
14
Ketika karyawan menerima nilai perusahaan menyatakan,
mereka mengembangkan komitmen yang lebih pribadi untuk
pekerjaan mereka dan merasa wajib untuk mengambil tanggung jawab
atas tindakan mereka. Karena nilai bersama mempengaruhi jalan kerja
yang dilakukan, sehingga karyawan menjadi lebih antusias bekerja
bersama sebagai sebuah tim untuk mendukung nilai perusahaan.
b.
Mengembangkan Nilai Bersama
Seperti setiap perusahaan yang menggunakan manajemen berbasis
nilai akan memberikan pengetahuan bahwa tidak mudah untuk mendirikan
nilai
sebuah
perusahaan.
Tetapi
komitmen
karyawan
untuk
mengembangkan bersama nilai perusahaan tidak berhenti di situ. Mereka
menyadari bahwa mereka benar-benar
menggunakan nilai untuk
membantu menentukan dan mengembangkan nilai tersebut. Mereka
menyadari bahwa nilai bersama benar-benar penting. Mereka mulai
memahami bahwa mereka adalah bagian dari budaya perusahaan yang
unik di mana nilai berbentuk strategi bisnis.
Perusahaan yang berjalan dan mempraktekkan manajemen berbasis
nilai telah menerima perspektif yang luas tentang komitmen mereka untuk
bertanggung jawab secara sosial dan sosial responsif. Satu nilai tertentu
yang banyak dilakukan oleh para manajer ialah mulai harus menyadari
betapa pentingnya tanggung jawab organisasi dan individu terhadap
lingkungan.
15
D. Economic Value Added (EVA)
1. Konsep dan Definisi Economic Value Added
Economic Value Added (EVA) merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. Konsep
Economic Value Added (EVA) pertama kali diperkenalkan Stern Steward.
Pengertian Economic Value Added (EVA) menurut Amin (2001:1)
adalah:
Economic Value Added (EVA) adalah suatu sistem manajemen
keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan, yang
menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika perusahaan
mampu memenuhi semua biaya operasi (Operating costs) dan biaya
modal (cost of capital).
Sementara itu pengertian Economic Value Added (EVA) menurut
Young & O’Byrne (2001:17), EVA sebagai alat pengukuran kinerja merupakan
cara alternatif untuk meninjau kinerja perusahaan berdasarkan pada gagasan
keuntungan ekonomis yang menyatakan bahwa kekayaan hanya dapat
diciptakan ketika perusahaan mampu memenuhi biaya operasional dan biaya
modalnya.
Economic Value Added (EVA) dianggap merupakan satu-satunya
pengukur kinerja keuangan yang kompleks mempertimbangkan semua beban
dalam rangka penciptaan nilai (value creation) perusahaan. EVA merupakan
keuntungan operasional setelah pajak, dikurangi dengan biaya modal atau
dengan kata lain EVA adalah pengukuran pendapatan sisa (residual income)
yang mengurangkan biaya modal terhadap laba operasi. Berdasarkan
penjelasan tersebut, EVA ditentukan oleh dua hal yaitu keuntungan bersih
16
operasional setelah pajak dan tingkat biaya modal. Laba operasi setelah pajak
menggambarkan hasil penciptaan value di dalam perusahaan, sedangkan biaya
modal dapat diartikan sebagai pengorbanan yang dikeluarkan dalam penciptaan
value tersebut.
Penggunaan konsep EVA mendorong manajer berfikir untuk memilih
investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan
tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat dimaksimumkan.
Walaupun laba operasional setelah pajak naik, belum tentu menaikkan nilai
EVA. Hal ini disebabkan; pertama, naiknya laba operasi dapat mengakibatkan
naiknya resiko bisnis yang dihadapi perusahaan, apabila kenaikan laba operasi
bukan berasal dari efisiensi internal melainkan hasil investasi pada bidang
bisnis-bisnis yang baru. Kenaikan resiko bisnis akan membawa konsekuensi
pada naiknya biaya modal. Kedua, EVA masih tergantung pada struktur modal,
yang kemudian akan menentukan tingkat resiko keuangan dan biaya modal.
EVA dapat ditingkatkan dengan cara, yaitu (1) memperoleh lebih
banyak laba tanpa menggunakan banyak modal, dengan memotong biaya-biaya
dan bekerja dengan biaya produksi serta pemasaran yang lebih rendah agar
diperoleh margin laba yang lebih besar. (2) memperoleh pengembalian return
yang lebih tinggi daripada modal atas investasi baru.
2. Kelebihan dan Kelemahan Konsep EVA
Menurut S. David Young dan Stephen O’Byrne (2001:69-77) kelebihan
dan kelemahan EVA sebagai berikut:
17
Kelebihan EVA antara lain:
1. EVA mengenakan biaya modal atas aktiva, tanpa menghiraukan bagaimana
perusahaan membiayainya, manajer yang bonusnya berdasarkan EVA
memiliki motivasi tinggi untuk memerah sebanyak mungkin keuntungan
dan arus kas dari aktiva.
2. EVA membuat teori keuangan yang dapat dipercaya mudah diterima,
sehingga manajer operasi, dan orang-orang yang tidak memiliki latar
belakang atau pengalaman di bidang akuntansi atau keuangan dapat
menggabungkan pandangan dari bidang ilmu ini kedalam cara para manajer
menjalankan bisnisnya.
Sedangkan kelemahan dari EVA antara lain:
1. Konsep EVA sangat tergantung pada transparansi internal dalam
perhitungan
EVA
perusahaan
kurang
secara
akurat.
transparan
Dalam
dalam
kenyataannya
mengemukakannya
seringkali
kondisi
internalnya.
2. EVA hanya hasil akhir (result)
3. Penentuan Economic Value Added (EVA)
Economic Value Added (EVA) merupakan tujuan korporat untuk
meningkatkan nilai (value) dari modal (capital) yang investor dan pemegang
saham telah tanamkan dalam operasi usaha. Menurut S. David Young dan
Stephen O’Byrne (2001) perhitungan EVA dilakukan dengan menggunakan
formula berikut ini:
18
Rumus:
EVA = NOPAT – (WACC) (Invested Capital)
Atau
EVA = NOPAT - Capital Charges
Dimana:
EVA
= Nilai tambah ekonomis
NOPAT
= Laba operasional bersih setelah pajak
WACC
= Biaya modal rata-rata tertimbang
Invested Capital = Modal yang diinvestasikan
Untuk memperoleh masing-masing variabel tersebut perlu dilakukan
perhitungan sebagai berikut:
a. Menghitung NOPAT (Net Operating After Tax)
NOPAT merupakan penjumlahan laba usaha, penghasilan bunga,
penghasilan pajak, laba atau rugi penjualan aktiva tetap atau investasi
saham, laba atau rugi lain-lain yang terkait dengan operasional
perusahaan.
Berikut adalah rumus NOPAT:
NOPAT = Pendapatan Operasional atau EBIT x (1-tax)
b. Menghitung Weighted Average Cost Of Capital (WACC)
WACC merupakan rata-rata tertimbang biaya hutang dan modal
sendiri,
menggambarkan
tingkat
19
pengembalian
minimum
untuk
mendapatkan required rate of return (tingkat pengembalian yang
diharapkan) oleh investor. WACC ini dibobot berdasarkan proporsi
masing-masing instrumen pembiayaan dalam struktur modal perusahaan
(hutang dan ekuitas). Rumus WACC menurut Brigham Houstan (2006;
484):
WACC = wdkd(1-T) + wpkp + wcks
Dimana:
WACC
= Biaya modal rata-rata tertimbang
kd (1-T)
= Komponen biaya utang setelah pajak
kp
= Biaya komponen saham preferen
ks
= Biaya komponen ekuitas biasa
Berikut ini adalah variabel-variabel yang dibutuhkan dalam
menghitung WACC:
1) Menghitung Cost of Debt (Kd)
Cost of Debt adalah biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan
berkenaan dengan utang yang dimilikinya. Cost of Debt digunakan
untuk menentukan beberapa biaya yang harus ditanggung perusahaan
karena menggunakan modal yang berasal dari pinjaman. Dalam
perhitungan digunakan cost of debt sesudah pajak.
20
Rumus:
Beban Bunga
Kb =
Pinjaman jangka panjang
Kd = Kb x (1-tax)
Dimana:
Kd
= Biaya modal hutang setelah pajak
Kb
= Biaya modal hutang sebelum pajak
tax
= Tarif pajak
2) Menghitung Biaya Saham Preferen (kp)
Komponen biaya saham preferen (cost of preferred stock)
yang digunakan untuk menghitung rata-rata tertimbang biaya modal
(kp) adalah:
Dp
Komponen biaya saham preferen = kp =
Pp
3) Menghitung Biaya Saldo Laba Ditahan (ks) dan Saham Biasa (ke)
Cost of Equity adalah untuk menentukan berapa besarnya
biaya modal sendiri akibat penggunaan sumber modal sendiri yang
terdiri atas laba ditahan dan penerbitan saham baru. Cost of Equity
21
tercermin dari tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor
atas investasi terhadap saham suatu perusahaan.
Ada dua metode atau pendekatan yang dapat digunakan
untuk menghitung besarnya biaya ekuitas saham biasa, diantaranya:
a) Deviden Growth Model (Model Pertumbuhan Deviden)
Merupakan pendekatan yang mengasumsikan bahwa nilai
perlembar saham sama dengan present value dari deviden yang
akan datang.
Rumus:
D1
Re =
+g
Po
Keterangan:
Re
= Tingkat hasil minimum
D1
= Deviden tahun ke 1
Po
= Harga pasar
g
= Tingkat pertumbuhan Deviden
g = (Tingkat retensi) (ROE) = (1,0 – Tingkat Pembayaran) (ROE)
Model pertumbuhan dividen merupakan pendekatan yang
relatif popular untuk menghitung biaya ekuitas. Tetapi kesukaran
utamanya adalah memperkirakan pertumbuhan dividennya.
22
b) Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis hubungan
antara rasio dengan tingkat pembalian. Model ini mendasarkan
pada kondisi ekuilibrium tingkat keuntungan yang disyaratkan
oleh suatu saham akan dipengaruhi oleh risiko saham tersebut.
CAPM memberikan implikasi tingkat pengembalian yang diminta
untuk bagian saham biasa
Rumus untuk menghitung biaya modal saham dengan
pendekatan CAPM menurut Husnan (2000:489) adalah sebagai
berikut:
Ke = Krf + β (Krm – Krf)
Keterangan:
Ke
= Tingkat hasil minimum dari pemegang saham
Krf
= Suku bunga bebas risiko
β
= Ukuran risiko sistematik dari saham
Krm
= Perkiraan tingkat hasil minimum dalam pasar secara
keseluruhan.
Untuk menghitung dengan menggunakan model ini,
variabel yang diperlukan sebagai berikut:
1) Tingkat Pengembalian Bebas Risiko (Krf)
Diambil dari investasi dengan tingkat suku bunga yang
bebas risiko atau merupakan tingkat pengembalian yang pasti
23
diperoleh tanpa resiko apapun yang biasa diwakili oleh tingkat
bunga obligasi pemerintah atau SBI.
2) Perhitungan Pengembalian Pasar
Perhitungan ini didasarkan pada indeks harga saham
gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dengan rumus:
IHSGt – IHSGt-1
Rmt =
IHSGt-1
Keterangan:
Rmt
= Tingkat hasil pengembalian portofolio pasar
periode t
IHSGt = Indeks harga saham gabungan periode t
IHSGt-1 = Indeks harga saham gabungan sebelum periode t
3) Tingkat Pengembalian Saham Individual
Untuk menghitung tingkat pengembalian saham individual,
diperoleh data dari perkembangan saham individual. Berikut
ini adalah rumus perhitungan tingkat pengembalian saham
individual:
Pit – Pi(t-1) + Dit
Rit =
Pi(t-1)
24
Keterangan:
Rit
= Tingkat hasil pengembalian saham i pada periode t
Pit
= Harga saham i pada periode t
Pi(t-1)
= Harga saham periode i sebelum periode t
Dit = Deviden i pada periode t
4) Pengukuran Risiko Beta
Beta merupakan koefisien regresi antara dua variabel, yaitu
kelebihan tingkat keuntungan portofolio dan kelebihan
keuntungan saham. Pengukuran Beta dapat dilakukan dengna
menggunakan pendekatan regresi yaitu:
n ∑xy - ∑x ∑y
β=
n ∑x2 – (∑x)2
Keterangan:
β = Koefisien beta
n = Banyaknya periode pangamatan
x = Tingkat hasil pengembalian dari portofolio pasar (Rmt)
y = Tingkat hasil pengembalian saham individu (Rit)
c. Invested Capital (IC)
Invested Capital merupakan hasil penjabaran perkiraan dalam neraca
untuk melihat besarnya modal yang diinvestasikan dalam perusahaan oleh
25
kreditur dan pemegang saham serta seberapa modal yang diinvestasikan
dalam aktivitas operasional lainnya.
Rumus:
IC = ( Total Liabilitas + Total Ekuitas Pemegang Saham) – Utang Lancar
Nilai EVA yang dihasilkan dari perhitungan EVA sangat membantu
dalam menilai kinerja perusahaan dan membantu dalam mempertimbangkan
keputusan manajemen. Untuk mengetahui apakah terjadi nilai tambah atau
tidak, maka dapat diungkapkan dengan penjelasan sebagai berikut:
Jika EVA > 0 (positif),
berarti terjadi proses pertambahan nilai ekonomis
dalam
perusahaan
tersebut,
kinerja
keungan
perusahaan baik.
Jika EVA = 0,
Berarti secara ekonomis “impas” karena semua laba
digunakan untuk membayar kewajiban kepada
penyandang dana baik kreditur maupun pemegang
saham.
Jika EVA < 0 (negatif),
berarti total biaya modal perusahaan lebih besar dari
pada laba operasi setelah pajak yang diperolehnya,
sehingga kinerja keuangan tersebut tidak baik.
Dengan penilain tersebut, maka kondisi EVA mencerminkan tingkat
kompensasi yang lebih tinggi dari biaya modal. Semakin positif EVA, maka
26
semakin bagus kinerja perusahaan, dan semakin negatif EVA, maka terdapat
penurunan nilai kekayaan perusahaan.
E. Corporate Social Responsibility
1. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)
Konsep Corporate Social Responsibility sebagai salah satu tonggak
penting dalam manajemen korporat. Meskipun konsep Corporate Social
Responsibility baru dikenal pada awal tahun 1970-an, namun konsep ini sudah
dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 (Kartini, 2009, dalam
Yuniarta, 2011)
Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan klaim atas inisiatif yang
menunjukan bahwa bisnis tak hanya beroperasi untuk kepentingan para
pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk kemaslahatan pihak
stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal,
pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan.
Global Compact Initiative (2002) menyebut pemahaman CSR dengan
3P (profit, people, planet). Konsep ini memuat pengertian bahwa bisnis tidak
hanya sekedar mencari keuntungan (profit), melainkan juga kesejahteraan
orang (people), dan menjamin keberlangsungan hidup (planet) (Nugroho,
2007, dalam Eko, 2011). Perusahaanpun semakin menyadari bahwa
kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan
dengan masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi. Hal ini
27
sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki
kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya.
Corporate Social Responsibility sebagai konsep akuntansi yang baru
merupakan transparansi pengungkapan sosial atas kegiatan atau aktivitas sosial
yang dilakukan oleh perusahaan, dimana transparansi informasi yang
diungkapkan tidak hanya informasi keuangan perusahaan, tetapi perusahaan
juga diharapkan mengungkapkan informasi mengenai dampak sosial dan
lingkungan hidup yang diakibatkan aktivitas perusahaan.
Laporan keuangan tahunan merupakan salah satu media yang dapat
digunakan untuk pengungkapan informasi sosial dan lingkungan perusahaan.
Dalam PSAK No.1 (Revisi 2009) Paragraf 9 dinyatakan bahwa:
“Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti
laporan mengenai lingkungan hidup dan nilai tambah (value added
statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor
lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri
yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan
keuangan yang memegang peranan penting”
Peraturan di Indonesia yang mengatur perusahaan-perusahaan yang
melakukan kegiatan di bidang atau yang berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan terdapat didalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Pasal 74 Tahun 2007 yang mulai
diberlakukan pada tanggal 16 Agustus 2007. Pengungkapan informasi CSR
dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk
membangun, dan mempertahankan kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi
dan politis (Guthrie dan Parker, 1990, dalam Sayekti dan Wondabio, 2007).
28
2. Definisi Corporate Social Responsibility
Konsepsi mengenai CSR mulai diperkenalkan Bowen pada 1953 dalam
sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha (Caroll,
1999). The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
(Nurlela dan Islahuddin, 2008) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis
untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan,
melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga
mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan
kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri
maupun untuk pembangunan.
Pandangan lain tentang CSR yang lebih komprehensif, dinyatakan oleh
Prince of Wales International Business Forum (Teguh, 2005:46), yang di
Indonesia dipromosikan oleh Indonesia Business Links. CSR menyangkut lima
pilar, antara lain:
1. Building human; menyangkut kemampuan perusahaan untuk memiliki
dukungan sumber daya manusia yang andal (internal) dan eksternal
(masyarakat). Perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan, biasanya
melalui community development,
2. Strengthening economies; memberdayakan ekonomi komunitas,
3. Assessing social cohesion; maksudnya perusahaan menjaga keharmonisan
dengan masyarakat sekitar agar tidak menimbulkan konflik,
4. Encouraging good governance; perusahaan dijalankan dalam tata kelola
yang baik,
29
5. Protecting the environment; perusahaan harus menjaga kelestarian
lingkungan.
Versi lain mengenai definisi CSR dilontarkan oleh World Bank,
lembaga keungan global ini memandang CSR sebagai:
“the commitment of business to contribute to sustainable economic
development working with employees and their representatives the
local community and society at large to improve quality of life, in ways
that are both good for business and good for decelopment”.
Menurut pengertian dari Philip Kotler & Nancy lee (2005), CSR
sebagai:
“Corporate Social Responsibility is a commitment to improve
community well-being through discretionary business practices and
contributions of corporate resources”.
“Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen untuk
memperbaiki komunitas melalui praktik bisnis yang bijaksana dan
kontribusi dari daya sumber perusahaan.”
Menurut Wibisono (2007), definisi CSR adalah tanggung jawab
perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis,
meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang
mencangkup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
tanggung jawab sosial merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban yang
dilakukan perusahaan atas dampak
operasionalnya.
30
yang
ditimbulkan dari aktivitas
3. Tujuan Corporate Social Responsibility
Garriga dan Mele (2004) menjelaskan tanggung jawab sosial
perusahaan mempunyai fokus pada empat aspek utama, yaitu:
1. Mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan.
2. Menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab.
3. Mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial.
4. Berkontribusi kedalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang
beretika.
Listyorini dan Greg Anggana (1998) menjelaskan adanya dua
pandangan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan. Pandangan pertama,
argumen yang mendukung perlunya tanggung jawab sosial bagi perusahaan
antara lain:
1. Kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin banyak sehingga tidak
mungkin bisnis modern dapat berkembang tanpa menghiraukan dimensi
sosial kehidupan manusia. Maka dalam rangka itulah perusahaan
mempunyai tanggung jawab sosial yang sangat besar, bukan sekedar
tanggung jawab ekonomis.
2. Kewajiban moral bahwa dalam hubungannya dengan sistem sosial modern
yang sedemikian kompleks dan terkait satu sama lain, tidak dapat dipungkiri
bahwa semua kegiatan bisnis bahkan yang bersifat internal sekalipun mau
tidak mau mempunyai dampak bagi dunia eksternal.
3. Terbatasnya sumber-sumber daya, bahwa bisnis yang berlangsung di dalam
kondisi sumber daya yang terbatas oleh sebab itu perusahaan memanfaatkan
31
secara bertanggung jawab serta bijaksana guna memenuhi kebutuhan
manusia dengan mempertimbangkan kelangsungannya dimasa mendatang.
4. Pertimbangan tanggung jawab dan kekuasaan bisnis mempengaruhi
lingkungan, konsumen, kondisi masyarakat, dan lain sebagainya. Kekuasaan
bisnis yang terlalu besar dan tidak diimbangi dengan tanggung jawab, akan
menyebabkan bisnis menjadi kekuatan yang merusak masyarakat.
5. Lingkungan sosial yang lebih baik, perusahaan mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab untuk ikut memelihara lingkungan sosialnya ke arah yang
lebih baik.
6. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya yang berguna, argumen ini
menyatakan bahwa perusahaan tidak hanya memiliki uang yang dapat
dipakai untuk hal-hal yang bersifat sosial, melainkan juga mempunyai
tenaga manajer yang kompeten, tenaga ahli yang terampil, tenaga keuangan
yang profesional yang semuanya sangat berguna bagi masyarakat.
7. Keuntungan jangka panjang bahwa tanggung jawab sosial adalah
merupakan nilai yang lebih positif bagi perkembangan dan kelangsungan
hidup perusahaan, dapat menciptakan citra positif dimata masyarakat.
Pandangan kedua, argumen yang menentang perlunya tanggung jawab
sosial bagi suatu perusahaan, yaitu:
1. Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Argumen ini
menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (bila ada) adalah
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
32
2. Tujuan yang terbagi-bagi dan harapan yang membingungkan bahwa
keterlibatan sosial perusahaan akan menimbulkan minat dan perhatian yang
bermacam-macam
dari
para
pemimpin
perusahaan
yang
dapat
membingungkan, dimana kebingungan ini akan berdampak negatif dalam
pengambilan keputusan perusahaan.
3. Biaya keterlibatan sosial. Bahwa keterlibatan perusahaan dibidang sosial
justru malah memberatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan biaya yang
digunakan untuk keterlibatan sosial tersebut bukanlah biaya yang datang
dari perusahaan, melainkan biaya yang dibebankan pada produk yang
dijual.
4. Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai sehingga sudah tidak
membutuhkan lagi dukungan dari masyarakat yang harus dibayar dengan
tanggung jawab sosial. Hal ini disebabkan bisnis mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap seluruh kehidupan manusia.
5. Kurangnya tenaga terampil bahwa banyak pemimpin perusahaan dan
tenaga bisnis mempunyai keterampilan di bidang kegiatan sosial secara
memadai. Maka tidak relevan bila menuntut keterlibatan sosial dari
perusahaan.
6. Perusahaan tidak mampu membuat pilihan moral, argumen ini menyatakan
bahwa pada dasarnya perusahaan tidak mempunyai kemampuan untuk
membuat pilihan-pilihan moral, dikarenakan perusahaan adalah makhluk
buatan yang tidak mempunyai rasio, tidak mempunyai kemauan dan suara
hati.
33
4. Manfaat dari CSR yang di dapat oleh Perusahaan serta Mayarakat
CSR sangat efektif untuk membantu pencitraan perusahaan. Menurut
Fajri dalam Sinar Harapan (2006) CSR akan dianggap bermanfaat jika mampu
meningkatkan loyalitas konsumen. Sedangkan secara korporasi, CSR dianggap
sukses
jika
mampu
mengembangkan
dan
memberikan
solusi
bagi
permasalahan yang terjadi dimasyarakat, terutama masalah-masalah yang
berkaitan dengan bisnis inti tersebut
Menurut Nurmansyah (2004) dalam Gunawan dan Utami (2008)
setidaknya ada tujuh manfaat CSR, yakni:
1. Daya saing berkelanjutan, dimana CSR sangat berpengaruh terhadap daya
saing perusahaan,
2. Menciptakan peluang bisnis baru,
3. Menarik dan mempertahankan investor dan mitra bisnis yang berkualitas,
4. Kerjasama dengan komunitas lokal,
5. Menghindari krisis akibat malpraktek CSR,
6. Mendapat dukungan pemerintah karena banyak pemerintahan yang
menyediakan insentif keuangan terhadap inisiatif-inisiatif CSR yang baik,
dan
7. Membantu modal politik, mempengaruhi peraturan, menata ulang institusi
publik dimana perusahaan bergantung serta meningkatkan citra publik
perusahaan.
34
Menurut Nugroho (2007) dalam Wibisono (2007), banyak sekali
manfaat yang akan diterima dari pelaksanaan CSR, baik bagi perusahaan,
masyarakat (termasuk buruh/pekerjanya), lingkungan ataupun negara:
1. Bagi perusahaan, ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan
dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan
dapat tumbuh dan berkelanjutan dimana perusahaan akan mendapatkan
citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih
mudah memperoleh akses terhadap modal (capital). Ketiga, perusahaan
dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang
berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan
keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan
mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management),
2. Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai tambah
adanya perusahaan disuatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja,
meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap
akan mendapatkan perlindungan dan hak-haknya sebagai pekerja. Jika
tersapat masyarakat adat atau masyarakat lokal, praktik CSR akan
menghargai keneradaan tradisi dan budaya lokal tersebut,
3. Bagi lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas
sumber daya alam, menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat
polusi dan justru perusahaan terlibat mempengaruhi lingkungannya,
4. Bagi negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut
“corporate misconduct” atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada
35
aparat negara atau aparat hukum yang memicu tingginya korupsi. Selain itu
negara akan menikmati pendapatan dari pajak yang wajar (yang tidak
digelapkan) oleh perusahaan.
5. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga
disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting
(Mathews, 1995, dalam Eddy, 2005) atau corporate social responsibility
merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari
kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan
dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas
tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), diluar peran tradisionalnya
untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya
pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan
mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba
untuk pemegang saham (Gray et.al.,1987, dalam Eddy, 2005).
Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan
yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah
pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan
kinerja organisasi dan produknya didalam konteks pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) (Nurlela dan Islahuddin, 2008). Sustainability
Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh
sosial terhadap kinerja organisasi.
36
Retno (2006) mengidentifikasikan hal-hal yang berkaitan dengan
pelaporan sosial perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1. Lingkungan, meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau
perbaikan
terhadap
kerusakan
lingkungan,
konservasi
alam,
dan
pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan,
2. Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi,
3. Praktik bisnis yang wajar, meliputi pemberdayaan terhadap minoritas dan
perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial,
4. Sumber daya manusia, meliputi aktivitas dalam suatu komunitas dalam
kaitannya dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan seni,
5. Produk, meliputi keamanan, pengurangan polusi, dan lain-lain.
Hendriksen
(1991)
dalam
Nurlela
dan
Islahuddin
(2008)
mendefinisikan pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian sejumlah
informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal
yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu
pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan
pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary)
yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari
peraturan yang berlaku.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2009) paragraf sembilan secara implisit
menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah sosial
sebagai berikut:
37
“perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan
mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added
statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup
memegang peran penting dan bagi industri yang menganggap pegawai
sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.”
Implikasi Corporate Social Responsibility di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UndangUndang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal. Dalam Undang-Undang
No.40 Tahun Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu pada pasal 74 ayat
1, menyatakan bahwa “Perseroan yang mnejalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan”.
Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 15
juga mengatur tentang Corporate Social Responssibility, yang menyatakan
bahwa “Setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan”.
Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan
diharapkan dapat memberikan informasi tambahan kepada para investor selain
dari yang sudah tercakup dalam laba akuntansi dan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi investor dalam pengambilan keputusan
6. Standar Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Standar Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam
penelitian ini merujuk kepada standar yang dikembangkan oleh Global
Reporting Initiatives (GRI). Dalam standar GRI (GRI, 2006) indikator kinerja
38
dibagi menjadi 3 komponen utama, yaitu ekonomi, lingkungan hidup, dan
sosial yang mencakup hak asasi manusia, praktek ketenagakerjaan dan
lingkungan kerja, tanggung jawab produk, dan masyarakat.
Daftar indikator pengungkapan CSR menurut GRI mencapai 79
indikator, terdiri dari 9 indikator ekonomi, 30 indikator lingkungan hidup, 14
indikator praktek tenaga kerja, 9 indikator Hak Asasi Manusia, 8 indikator
kemasyarakatan, dan 9 indikator tanggung jawab produk.
Penilaian luas pengungkapan CSR dalam penelitian ini memberikan
skor pada item-item yang mengacu pada indikator yang disebutkan dalam GRI
guidelines, antara lain:
1. Indikator kinerja ekonomi, meliputi aspek kinerja ekonomi, keberadaan
pasar dan dampak ekonomi tidak langsung.
2. Indikator kinerja lingkungan hidup, meliputi aspek material, energi, air,
keanekaragaman hayati, emisi, effluent, dan limbah; produk dan jasa, aspek
kesesuaian, transportasi, dan aspek secara keseluruhan.
3. Indikator kinerja praktek ketenagakerjaan dan lingkungan kerja, meliputi
aspek
ketenagakerjaan,
hubungan
tenaga
kerja
atau
manajemen,
keselamatandan kesehatan kerja, pendidikan dan pelatihan, serta aspek
keanekaragaman dan kesempatan yang sama.
4. Indikator kinerja hak asasi manusia, maliputi aspek praktek investasi dan
pengadaan, aspek non-diskriminasi, kebebasan berserikat dan daya tawar
kelompok, tenaga kerja anak, pegawai tetap dan kontrak, praktik
keselamatan, serta hak masyarakat (adat).
39
5. Indikator kinerja masyarakat, meliputi aspek kemasyarakatan, kebbijakan
mengenai korupsi, kebijakan umum/publik, perilaku anti persaingan, dan
aspek kesesuaian.
6. Indikator kinerja tanggung jawab produk, yang meliputi aspek keselamatan
dan kesehatan konsumen, labeling produk dan jasa, komunikasi pemasaran,
privasi konsumen dan aspek kesesuaian.
F. Nilai Perusahaan
1. Konsepsi Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham
secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi
harga saham, maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham. Nilai
perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti halnya
penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahuddin (2008).
Menurut Keown, dkk (2006:249) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008),
nilai pasar adalah nilai yang berlaku dipasaran. Nilai ini ditentukan oleh
kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Untuk mencapai nilai perusahaan
umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional.
Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.
Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan
bahwa enterprise value (EV) merupakan konsep penting bagi investor, karena
merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan.
Menurut Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan
40
harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut
dijual.
2. Metode Pengukuran Nilai Perusahaan
Suatu perusahaan akan berusaha untuk memaksimalkan nilai
perusahaannya. Peningkatan nilai perusahaan biasanya ditandai dengan
naiknya harga saham di pasar. Penelitian ini menggunakan Rasio Tobin’s Q
untuk pengukuran nilai perusahaan. Wannerfield dkk (1988) dalam Nurlela
Islahuddin (2008) menyimpulkan bahwa tobin’s Q dapat digunakan sebagai
alat ukur dalam menentukan kinerja perusahaan. Rasio Tobin’s Q
dikembangkan oleh Profesor James Tobin (1967). Rasio ini merupakan
konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan saat ini
tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental.
Rasio ini dinilai dapat memberikan informasi paling baik, karena dalam
Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan,
tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang
dimasukkan, namun seluruh asset perusahaan.
Menurut Smithers dan Wright (2007:37) Tobin’s Q dihitung dengan
membandingkan rasio nilai pasar saham perusahaan dengan nilai buku
ekuitas perusahaan.
Rumusnya sebagai berikut:
(EMV + D)
q=
(EBV + D)
41
Dimana:
q
= Nilai perusahaan
EMV
= Nilai pasar ekuitas (EMV = closing price x jumlah
saham beredar)
D
= Nilai buku dari total utang
EBV
= Nilai buku dari total aktiva
Jika rasio-q diatas 1 (satu), ini menunjukkan bahwa investasi dalam
aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada
pengeluaran investasi, hal ini kan merangsang investasi baru. Jika rasio-q
dibawah 1 (satu), investasi dalam aktiva tidaklah menarik (Weston dan
Copeland, 2008:245).
Jika rasio-q merupakan ukuran yang lebih teliti tentang seberapa
efektif manajemen memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomis dalam
kekuasaannya. Penelitian ini dilakukan oleh Lindenberg dan Ross (1981)
dalam Copeland (2002), menunjukkan bagaimana rasio-q dapat diterapkan
pada masing-masing perusahaan. Mereka menemukan bahwa beberapa
perusahaan dapat mempertahankan rasio-q yang lebih besar dari 1 (satu).
Teori ekonomi mengatakan bahwa rasio-q yang >1 (lebih besar dari satu)
akan menarik arus sumber daya dan kompetisi baru sampai rasio-q mendekati
satu. Seringkali sukar untuk menentukan apakah rasio-q yang tinggi
mencerminkan superioritas manajemen dan keuntungan dari dimilikinya hak
paten.
42
Menurut Smithers dan Wright (2007:40) keunggulan Tobin’s Q
adalah:
a. Tobin’s Q mencerminkan asset perusahaan secara keseluruhan.
b. Tobin’s Q mencerminkan sentimen pasar, misalnya analisis dilihat dari
prospek perusahaan spekulasi.
c. Tobin’s Q mencerminkan modal intelektual perusahaan.
d. Tobin’s Q dapat mengatasi masalah dalam memperkirakan tingkat
keuntungan dan biaya manajerial.
Menurut Smither dan Wright (2007:42) kelemahan Tobin’s Q adalah:
Tobin’s Q dapat menyesatkan dalam pengukuran kekuatan pasar
karena sulitnya memperkirakan biaya atas pergantian atas harta,
pengeluaran untuk iklan dan penelitian serta pengembangan
menciptakan aset tidak berwujud.
G. Penelitian Terdahulu
Banyak literatur yang menegaskan bahwa aktivitas CSR yang tertuang
dalam pengungkapan sosial perusahaan berpengaruh dan memiliki hubungan
positif dengan nilai perusahaan. Dalam penelitian empiris, beberapa peneliti
telah mencoba untuk mengungkapkan hal ini dalam berbagai perspektif yang
berbeda.
Nurlela dan Islahuddin (2008) menguji pengaruh Corporate Social
Responsibility terhadap nilai perusahaan dengan kepemilikan manajemen
sebagai variabel pemoderasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa Corporate
Social Responsibility, persentase kepemilikan, serta interaksi antara
43
Corporate Social Responsibility dengan persentase kepemilikan manajemen
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
Barbara Gunawan dan Suharti Sri Utami (2008) meneliti tentang
Peranan Corporate Social Responsibility Dalam Nilai Perusahaan. Hasil
penelitian menunjukkan, variabel CSR, persentase kepemilikan manajemen,
dan interaksi antara CSR dengan persentase kepemilikan manajemen secara
simultan berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Namun, hasil yang berbeda diperoleh oleh Widaryanti dan
Ndaruningpuri (2008), penelitian ini mencoba melihat hubungan antara luas
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja keuangan
perusahaan (studi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta).
Hasilnya menunjukkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial yang
terdiri dari tema lingkungan dan energi, tema tenagakerja, tema konsumen
dan produk, serta kemasyarakatan secara bersama-sama tidak berpengaruh
signifikan terhadap kinerja keuangan yang diproksi dalam Return On Assets
(ROA).
Dwi Hartanti dan Elsa Rumiris Monika (2008) meneliti tentang
hubungan antara Corporate Social Responsibility dengan Value Based
Management menemukan bahwa kinerja sosial perusahaan tidak berpengaruh
terhadap pencapaian value based management yang diproksi dengan
Economic Value Added baik di tahun yang sama maupun di tahun berikutnya.
Gede Adi Yuniarta (2011) meneliti tentang pengaruh Value Based
Management (VBM) pada nilai ekuitas perusahaan dengan Corporate Social
44
Responsibility
(CSR)
sebagai
variabel
permoderasi.
Hasil
penelitian
menemukan bahwa pengungkapan Corporate Social Responsibility tidak
terbukti secara signifikan sebagai variabel pemoderasi hubungan antara Value
Based Management dengan nilai ekuitas perusahaan. Dengan indikator Value
Based Management yang diukur dengan EVA maka investor tidak
memperhatian CSR dalam mengambil keputusan investasi.
Eko Adhy Kurnianto (2011) meneliti tentang pengaruh Corporate
Social Responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan (Studi empiris
pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun
2005-2008).
Hasil penelitian
menemukan
bahwa
Corporate
Social
Responsibility Disclosure tidak berpengaruh terhadap nilai ROEt+1 dan
Return realisasi. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa investor
masih
berorientasi
jangka
pendek
dan
tidak
mempertimbangkan
pengungkapan CSR didalam melakukan investasi pada perusahaan perbankan
pada tahun 2005-2008, dan UU No.40 Th.2007 tidak mempengaruhi aktivitas
pengungkapan CSR pada perusahaan perbankan.
Hasil-hasil penelitian terdahulu menjadi kajian empiris dalam
penelitian ini. Penelitian ini mencoba mengembangkan penelitian-penelitian
sebelumnya
dengan
cara
melakukan
perluasan
pengamatan
dan
pengembangan proksi dari variabel-variabel penelitian. Pengembangan
variabel penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Value-Based
Management dan Corporate Social
Responsibility sebagai variabel
independen, sedangkan sebagai variabel dependen adalah nilai perusahaan.
45
Dalam penelitian ini, rentang waktu pengamatan terhitung mulai
tahun 2010 sampai dengan tahun 2011, dan peneliti akan mengkhususkan
sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pengkhususan
sampel dapat menghindari hasil penelitian yang bias, dikarenakan perbedaan
karakteristik perusahaan yang terdaftar di BEI.
Ringkasan beberapa penelitian sebelumnya dapt dilihat pada tabel 2.1.
No
1.
Peneliti, Tahun
Penelitian
Nurlela
dan
Islahuddin,
2008
Variabel
CSR,
Nilai
Perusahaan,
Kepemilikan
Manajemen
2.
Barbara
Gunawan dan
Suharti
Sri
Utami, 2008
CSR,
Persentase
Kepemilikan
Manajemen,
Nilai
Perusahaan
3.
Widaryanti dan
Ndaruningpuri,
2008
Luas
Pengungkapan
Tanggung
Jawab Sosial
Perusahaan,
Kinerja
Keuangan
Perusahaan
4.
Dwi
dan
CSR,
Value
Hartanti
Elsa
Based
46
Hasil Penelitian
 Corporate
Social
Responsibility, persentase
kepemilikan, serta interaksi
antara Corporate Social
Responsibility
dengan
persentase
kepemilikan
manajemen secara simultan
berpengaruh
signifikan
terhadap nilai perusahaan.
 variabel CSR, persentase
kepemilikan manajemen,
dan interaksi antara CSR
dengan
persentase
kepemilikan
manajemen
secara
simultan
berpengaruh terhadap nilai
perusahaan.
 pengungkapan
tanggung
jawab sosial yang terdiri
dari tema lingkungan dan
energi, tema tenagakerja,
tema
konsumen
dan
produk,
serta
kemasyarakatan
secara
bersama-sama
tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap kinerja keuangan
yang
diproksi
dalam
Return On Assets (ROA).
 kinerja sosial perusahaan
(CSR) tidak berpengaruh
Rumiris
Monika, 2008
Management,
5.
Gede
Adi
Yuniarta, 2011
Value Based
Management,
Nilai Ekuitas
Perusahaan,
CSR
6.
Eko
Adhy
Kurnianto
(2011)
CSR,
Kinerja
Keuangan
terhadap pencapaian value
based management yang
diproksi dengan Economic
Value Added baik di tahun
yang sama maupun di
tahun berikutnya.
 pengungkapan Corporate
Social Responsibility tidak
terbukti secara signifikan
sebagai
variabel
pemoderasi
hubungan
antara
Value
Based
Management dengan nilai
ekuitas perusahaan.
 Dengan indikator Value
Based Management yang
diukur dengan EVA maka
investor
tidak
memperhatian CSR dalam
mengambil
keputusan
investasi.
 Corporate
Social
Responsibility Disclosure
tidak berpengaruh terhadap
nilai ROEt+1 dan Return
realisasi.
H. Kerangka Pemikiran
Signalling
Theory
merupakan
suatu
tindakan
yang
diambil
manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang
bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Jika investor ingin
melihat seberapa besar perusahaan menghasilkan return atas investasi maka
biasanya yang akan mereka lihat pertama kali adalah rasio-rasio yang terkait
dengan kemampuan perusahaan menghasilkan laba (Hartanti dan Monika,
2008). Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar kemampuan perusahaan
47
dalam menghasilkan laba, yang pada akhirnya dapat menjadi sinyal positif
bagi investor dalam melakukan investasi. Namun, menurut Pradhono dan
Christiawan (2004) dalam Hartanti dan Monika (2008), bahwa ukuran kinerja
keuangan yang mendasarkan pada laba akuntansi (accounting profit), seperti
earnings per share, price earning ratio dan return on equity, dianggap tidak
lagi memadai untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi perusahaan.
Sehingga saat ini, banyak perusahaan menggunakan ukuran kinerja yang
lebih menekankan value atau Value-Based Management.
Menurut
konsep
signalling
theory
-pun
menyatakan
bahwa
perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pihak luar perusahaan dengan
tujuan meningkatkan nilai perusahaan (Wirakusuma dan Yuniasih, 2007).
Selain informasi keuangan yang diwajibkan perusahaan juga melakukan
pengungkapan yang sifatnya sukarela. Salah satu dari pengungkapan sukarela
yang dilakukan oleh perusahaan adalah pengungkapan CSR pada laporan
tahunan
perusahaan.
Dengan
diungkapkannya
Corporate
Social
Responsibility diharapkan dapat memberikan signal kepada pihak eksternal
termasuk investor dan diharapkan akan dapat meningkatkan citra perusahaan
yang pada akhirnya tercermin dengan peningkatan nilai perusahaan.
Pengungakapan corporate social responsibility dalam penelitian ini diukur
dengan standar GRI.
Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham
secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Nilai
perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti halnya
48
penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahuddin (2008). Dalam
penelitian ini, nilai perusahaan diukur dengan rasio Tobin’s Q yang
mencerminkan penilaian akhir. Penilaian ini mengikhtisarkan pandangan
investor tentang perusahaan secara keseluruhan. Oleh karenanya dengan
melihat rasio ini dapat dilihat reaksi pasar atas sinyal positif dari perusahaan
tentang adanya informasi Corporate Social Responsibility dan kinerja baik
perusahaan berupa Value-Based Management dengan menggunakan Economic
Value Added (EVA).
Hubungan antara value based management, dan pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan terhadap nilai perusahaan, digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Value-Based Management
Nilai Perusahaan
Pengungkapan
Corporate Social Responsibility
Keterangan:
Pengaruh secara individual / Parsial Uji t
49
Download