BAB II LANDASAN TEORI A. Signalling Theory Signalling Theory (Teori Persinyalan) menurut Brigham dan Houstan (2001) dalam Yuniarta (2011) merupakan suatu tindakan yang dipilih manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Menurut konsep signalling theory dalam Wirakusuma dan Yuniasih (2007) menyatakan bahwa perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pihak luar perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Selain informasi keuangan yang diwajibkan perusahaan juga melakukan pengungkapan yang sifatnya sukarela. Salah satu dari pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan adalah pengungkapan CSR pada laporan tahunan perusahaan. Dengan diungkapkannya Corporate Social Responsibility diharapkan dapat memberikan signal kepada pihak eksternal termasuk investor dan diharapkan akan dapat meningkatkan citra perusahaan yang pada akhirnya tercermin dengan peningkatan nilai perusahaan. B. Stakeholders Theory Terjadi pergeseran orientasi dari shareholders kepada stakeholders di dalam dunia bisnis telah disebut sebagai penyebab munculnya isu tanggung jawab sosial perusahaan. Grey et al. dalam Nur Cahyonowati (2003) 7 mengemukakan bahwa teori stakeholders mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan memerlukan dukungan stakeholders. Semakin kuat stakeholders, maka perusahaan harus semakin beradaptasi dengan stakeholders. Pengungkapan sosial kemudian dipandang sebagai dialog antara perusahaan dengan stakeholder. Menurut pendekatan stakeholders, organisasi memilih untuk menanggapi banyak tuntutan yang dibuat oleh para pihak yang berkepentingan (stakeholder) yaitu, setiap kelompok dalam lingkungan luar organisasi tersebut yang terkena tindakan serta keputusan organisasi. Menurut pendekatan ini, organisasi akan berusaha untuk memenuhi tuntutan lingkungan dari kelompokkelompok seperti para karyawan, pemasok, investor, serta masyarakat (P.Robbins & Mary Coulter, 1999). Jika tekanan dari stakeholder sangat kuat dan berpengaruh terhadap kontinuitas dan kinerja perusahaan, maka perusahaan harus bisa menyusun kebijakan dan program-program kebijakan sosial dan lingkungan yang terarah dan terintegrasi (Prasetyo, 2001). Ada beberapa alasan yang mendorong perusahaan perlu memperhatikan kepentingan stakeholders, yaitu: 1. Isu lingkungan melibatkan kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka. 2. Dalam era globalisasi telah mendorong produk-produk yang diperdagangkan harus bersahabat dengan lingkungan. 3. LSM dan pecinta lingkungan makin kritis dalam mengkritik perusahaanperusahaan yang kurang peduli terhadap lingkungan. 8 Lebih lanjut lagi, Grey et al. (Nur Cahyonowati, 2003) menyebutkan bahwa, agar perusahaan mengetahui apa yang diinginkan oleh stakeholder-nya, perusahaan harus dapat dapat menilai substantive enviroment yang terdiri atas: 1. Primary level menggambarkan interaksi medium perusahan manufaktur dengan lingkungan yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi pertanggung jawaban. 2. Secondary level menggambarkan interaksi sosial perusahaan dalam penggunaan infrastruktur, pengaruh estetika, kesehatan karyawan dan kepuasan status, opsi konsumen dan kesejahteraan, advertensi, sampah sisa, tekhnologi baru dan sumber-sumber serta social oppotunity cost. 3. Tertiary level menggambarkan interaksi dalam sistem organisasional yang lebih kompleks yaitu berhubungan dengan kualitas kebebasan, sikap, moral, pendidikan, budaya dan estetika, tingkat informasi (berita), warisan budaya, dunia ketiga, sistem, pilihan individu, kesehatan, lingkungan, sistem hukum yang adil. Dengan mengungkapkan kepedulian pada lingkungan melalui pelaporan keuangan, maka perusahaan dalam jangka panjang bisa terhindar dari biaya yang sangat besar akibat tuntutan dari masyarakat. Pengeluaran untuk kepedulian sosial yang diunngkapkan ke publik membantu pengendalian tidak langsung atas usaha perusahaan oleh masyarakat. 9 C. Value-Based Management 1. Konsep Value-Based Management Selama ini kinerja sebuah perusahaan lebih banyak diukur berdasarkan rasio-rasio keuangan selama satu periode tertentu. Rasio keuangan ini sangat bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan perusahaan. Sehingga seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat, padahal sebenarnya bisa saja tidak mengalami peningkatan dan bahkan menurun. Hal ini juga dinyatakan oleh Pradhono dan Christiawan (2004) dalam Hartanti dan Monika (2008), bahwa ukuran kinerja keuangan yang mendasarkan pada laba akuntansi (accounting profit), seperti earnings per share, price earnings ratio, dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi perusahaan. Sehingga saat ini, banyak perusahaan menggunakan ukuran kinerja yang lebih menekankan value (Value-Based Management/VBM). Konsep VBM mendorong manajemen lebih termotivasi dan fokus pada penciptaan arus kas dimasa mendatang bagi pemegang saham. VBM yang diterapkan secara terus menerus, pada kondisi pasar yang efisien akan merefleksikan kinerja dan prospek yang baik pada harga saham. ValueBased Management memberikan penilaian yang dinamis serta hasil kinerja organisasi yang tinggi berdasarkan pada kekuatan finansial, seperti Economic Value Added (EVA) yang dapat menunjukkan suatu organisasi berhasil atau gagal. Nilai ekonomis suatu perusahaan komersial hanya terlegitimasi oleh 10 keuangan yang dicapai. Perusahaan yang baik harus memastikan bahwa pelanggan puas, karyawan diperhatikan dengan baik, tetapi intinya selalu profit. VBM memiliki dua elemen kunci. Pertama, penciptaan nilai bagi pemegang saham (shareholder value) sebagai tujuan utama perusahaan. Kedua, sebagai ukuran kinerja internal perusahaan yang mampu memotivasi manajemen mengejar tujuan maksimalisasi tersebut. Menurut Stewart (1999) dalam Iramani dan Febrian (2005) Economic Value Added adalah metode pengukuran kinerja yang terbaik yang merupakan salah satu penerapan VBM. Konsep ini dikembangkan pertama kali oleh Joel M. Stern dan Stewart, analisis keuangan dari perusahaan konsultan Stern Stewart & Co pada akhir tahun 1980. Menurut Stewart, earnings dan earnings per share adalah pengukuran yang keliru untuk kinerja perusahaan. Konsep Economic Value Added (EVA) sebenarnya mirip dengan pengukuran pendapatan residu (residual income). EVA merupakan metode penelitian kerja keuangan untuk menghitung profit ekonomi yang sebenarnya (true economic profit) dari sebuah perusahaan. Eva mengukur perbedaan tingkat pengembalian antara modal perusahaan dengan biaya modalnya. EVA positif mengindikasikan bahwa ada penciptaan nilai bagi pemegang saham, sedangkan EVA negatif mengindikasikan bahwa telah terjadi value destruction. Menurut Young (1997) dalam Hartanti dan Monika (2008), EVA dapat dikatakan lebih inovatif karena: EVA tidak dibatasi oleh GAAP, EVA dapat diterapkan sampai pada tingkatan yang rendah dalam organisasi. EVA 11 memiliki sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh pengukuran keuangan lainnya yaitu cara pengukuran dan pengkomunikasian kinerja yang dapat digunakan disemua area, seperti pasar modal, penilaian investasi modal, dan dalam evalusi serta kompensasi kinerja manajerial. Berbagai prinsip, konsep, dan tekhnik yang mendasari Value-Based Management (VBM) semakin berkembang dalam mempengaruhi strategi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa (Arnold dan Davies, 1999, dalam Yuniarta, 2011). Di tahun 1997, salah satuperusahaan Jerman, yaitu Siemens, mengumumkan bahwa mereka telah mengubah haluan kepada VBM dengan menggunakan Economic Value Added (Hartanti dan Monika, 2008) 2. Pengertian Value-Based Management Value based management atau manajemen berbasis nilai memiliki beberapa arti, diantaranya menurut Young dan O’Byrne (2001) Manajemen berbasis nilai adalah sebuah pendekatan yang memastikan perusahaan tetap berjalan sesuai dengan nilai, yang telah ditentukan sebelumnya. “Value Based Management is an approach that ensures corporations are run consistently on value.”(Young & O’Byrne, 2001). Menurut Robbins dan Coulter (2002) dalam Yulianti (2008), Manajemen berbasis nilai merupakan sebuah pendekatan untuk mengelola apa yang dibangun, dipromosikan, dan dipraktekkan oleh para manajer yang terkait dengan nilai organisasi bersama. Sebuah nilai organisasi mencerminkan apa 12 yang dituju dan apa yang dipercaya, dalam hal ini adalah apa yang menjadi tujuan dan kepercayaan sebuah organisasi. “Values-based management is an approach to managing in which managers establish, promote, and practice an organization's shared values. An organization's values reflect what it stands for and what it believes in.”(Robbins & Coulter, 2002). Sehingga dapat disimpulkan bahwa value-based management adalah sebuah pendekatan untuk memastikan bahwa perusahaan telah berjalan sesuai dengan tujuan dan nilai yang telah ditentukan. 3. Unsur-unsur dari Manajemen Berbasis Nilai (Value Based Management) Menurut Black (2004), unsur-unsur dari value-based management adalah: a. Menciptakan Nilai; Bagaimana perusahaan dapat meningkatkan atau menghasilkan nilai masa depan maksimal. Lebih atau kurang sama dengan strategi. b. Mengelola untuk Nilai; Pemerintahan, perubahan manajemen, budaya organisasi, komunikasi, kepemimpinan. c. Mengukur Nilai; Terkait dengan sebuah penilaian, Manajemen Berbasis Nilai tergantung pada tujuan perusahaan dan nilai-nilai perusahaan. Tujuan perusahaan dapat menjadi ekonomi (Nilai Pemegang Saham) atau bisa juga bertujuan konstituen lain secara langsung (Nilai Pemangku Kepentingan). 13 4. Tujuan penerapan Value-Based Management Sebuah nilai organisasi bersama membentuk budaya organisasi dan mempengaruhi cara organisasi beroperasi, kehidupan perusahaan dan mempraktikkan nilainya, serta mencapai tujuan bersama melalui berbagi informasi dan keterlibatan tim dalam perencanaan dan pelaksanaan perubahan. Informasi harus dibagi pada seluruh organisasi agar karyawan didorong untuk terjadinya perbaikan secara terus menerus. Untuk setiap perusahaan yang percaya pada nilai dan praktik berbasis manajemen, bersama nilai perusahaan melayani berbagai tujuan. Setiap Value-Based Management, menurut Young dan O’Byrne (2001), memiliki beberapa tujuan, yaitu: a. Nilai Organisasi Bersama Nilai yang ada di dalam suatu organisasi dibagi minimal menjadi empat tujuan utama. Berikut adalah penjelasannya: 1) Tujuan yang pertama dari nilai bersama adalah bahwa mereka bertindak sebagai tonggak penunjuk untuk keputusan manajerial dan tindakan. 2) Tujuan lain dari nilai bersama adalah dampak mereka pada perilaku karyawan dalam membentuk dan mengomunikasikan apa yang menjadi harapan organisasi terhadap anggotanya. 3) Pengaruh pemasaran usaha. 4) Nilai bersama adalah cara untuk membangun semangat tim dalam organisasi. 14 Ketika karyawan menerima nilai perusahaan menyatakan, mereka mengembangkan komitmen yang lebih pribadi untuk pekerjaan mereka dan merasa wajib untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka. Karena nilai bersama mempengaruhi jalan kerja yang dilakukan, sehingga karyawan menjadi lebih antusias bekerja bersama sebagai sebuah tim untuk mendukung nilai perusahaan. b. Mengembangkan Nilai Bersama Seperti setiap perusahaan yang menggunakan manajemen berbasis nilai akan memberikan pengetahuan bahwa tidak mudah untuk mendirikan nilai sebuah perusahaan. Tetapi komitmen karyawan untuk mengembangkan bersama nilai perusahaan tidak berhenti di situ. Mereka menyadari bahwa mereka benar-benar menggunakan nilai untuk membantu menentukan dan mengembangkan nilai tersebut. Mereka menyadari bahwa nilai bersama benar-benar penting. Mereka mulai memahami bahwa mereka adalah bagian dari budaya perusahaan yang unik di mana nilai berbentuk strategi bisnis. Perusahaan yang berjalan dan mempraktekkan manajemen berbasis nilai telah menerima perspektif yang luas tentang komitmen mereka untuk bertanggung jawab secara sosial dan sosial responsif. Satu nilai tertentu yang banyak dilakukan oleh para manajer ialah mulai harus menyadari betapa pentingnya tanggung jawab organisasi dan individu terhadap lingkungan. 15 D. Economic Value Added (EVA) 1. Konsep dan Definisi Economic Value Added Economic Value Added (EVA) merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. Konsep Economic Value Added (EVA) pertama kali diperkenalkan Stern Steward. Pengertian Economic Value Added (EVA) menurut Amin (2001:1) adalah: Economic Value Added (EVA) adalah suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi (Operating costs) dan biaya modal (cost of capital). Sementara itu pengertian Economic Value Added (EVA) menurut Young & O’Byrne (2001:17), EVA sebagai alat pengukuran kinerja merupakan cara alternatif untuk meninjau kinerja perusahaan berdasarkan pada gagasan keuntungan ekonomis yang menyatakan bahwa kekayaan hanya dapat diciptakan ketika perusahaan mampu memenuhi biaya operasional dan biaya modalnya. Economic Value Added (EVA) dianggap merupakan satu-satunya pengukur kinerja keuangan yang kompleks mempertimbangkan semua beban dalam rangka penciptaan nilai (value creation) perusahaan. EVA merupakan keuntungan operasional setelah pajak, dikurangi dengan biaya modal atau dengan kata lain EVA adalah pengukuran pendapatan sisa (residual income) yang mengurangkan biaya modal terhadap laba operasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, EVA ditentukan oleh dua hal yaitu keuntungan bersih 16 operasional setelah pajak dan tingkat biaya modal. Laba operasi setelah pajak menggambarkan hasil penciptaan value di dalam perusahaan, sedangkan biaya modal dapat diartikan sebagai pengorbanan yang dikeluarkan dalam penciptaan value tersebut. Penggunaan konsep EVA mendorong manajer berfikir untuk memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat dimaksimumkan. Walaupun laba operasional setelah pajak naik, belum tentu menaikkan nilai EVA. Hal ini disebabkan; pertama, naiknya laba operasi dapat mengakibatkan naiknya resiko bisnis yang dihadapi perusahaan, apabila kenaikan laba operasi bukan berasal dari efisiensi internal melainkan hasil investasi pada bidang bisnis-bisnis yang baru. Kenaikan resiko bisnis akan membawa konsekuensi pada naiknya biaya modal. Kedua, EVA masih tergantung pada struktur modal, yang kemudian akan menentukan tingkat resiko keuangan dan biaya modal. EVA dapat ditingkatkan dengan cara, yaitu (1) memperoleh lebih banyak laba tanpa menggunakan banyak modal, dengan memotong biaya-biaya dan bekerja dengan biaya produksi serta pemasaran yang lebih rendah agar diperoleh margin laba yang lebih besar. (2) memperoleh pengembalian return yang lebih tinggi daripada modal atas investasi baru. 2. Kelebihan dan Kelemahan Konsep EVA Menurut S. David Young dan Stephen O’Byrne (2001:69-77) kelebihan dan kelemahan EVA sebagai berikut: 17 Kelebihan EVA antara lain: 1. EVA mengenakan biaya modal atas aktiva, tanpa menghiraukan bagaimana perusahaan membiayainya, manajer yang bonusnya berdasarkan EVA memiliki motivasi tinggi untuk memerah sebanyak mungkin keuntungan dan arus kas dari aktiva. 2. EVA membuat teori keuangan yang dapat dipercaya mudah diterima, sehingga manajer operasi, dan orang-orang yang tidak memiliki latar belakang atau pengalaman di bidang akuntansi atau keuangan dapat menggabungkan pandangan dari bidang ilmu ini kedalam cara para manajer menjalankan bisnisnya. Sedangkan kelemahan dari EVA antara lain: 1. Konsep EVA sangat tergantung pada transparansi internal dalam perhitungan EVA perusahaan kurang secara akurat. transparan Dalam dalam kenyataannya mengemukakannya seringkali kondisi internalnya. 2. EVA hanya hasil akhir (result) 3. Penentuan Economic Value Added (EVA) Economic Value Added (EVA) merupakan tujuan korporat untuk meningkatkan nilai (value) dari modal (capital) yang investor dan pemegang saham telah tanamkan dalam operasi usaha. Menurut S. David Young dan Stephen O’Byrne (2001) perhitungan EVA dilakukan dengan menggunakan formula berikut ini: 18 Rumus: EVA = NOPAT – (WACC) (Invested Capital) Atau EVA = NOPAT - Capital Charges Dimana: EVA = Nilai tambah ekonomis NOPAT = Laba operasional bersih setelah pajak WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang Invested Capital = Modal yang diinvestasikan Untuk memperoleh masing-masing variabel tersebut perlu dilakukan perhitungan sebagai berikut: a. Menghitung NOPAT (Net Operating After Tax) NOPAT merupakan penjumlahan laba usaha, penghasilan bunga, penghasilan pajak, laba atau rugi penjualan aktiva tetap atau investasi saham, laba atau rugi lain-lain yang terkait dengan operasional perusahaan. Berikut adalah rumus NOPAT: NOPAT = Pendapatan Operasional atau EBIT x (1-tax) b. Menghitung Weighted Average Cost Of Capital (WACC) WACC merupakan rata-rata tertimbang biaya hutang dan modal sendiri, menggambarkan tingkat 19 pengembalian minimum untuk mendapatkan required rate of return (tingkat pengembalian yang diharapkan) oleh investor. WACC ini dibobot berdasarkan proporsi masing-masing instrumen pembiayaan dalam struktur modal perusahaan (hutang dan ekuitas). Rumus WACC menurut Brigham Houstan (2006; 484): WACC = wdkd(1-T) + wpkp + wcks Dimana: WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang kd (1-T) = Komponen biaya utang setelah pajak kp = Biaya komponen saham preferen ks = Biaya komponen ekuitas biasa Berikut ini adalah variabel-variabel yang dibutuhkan dalam menghitung WACC: 1) Menghitung Cost of Debt (Kd) Cost of Debt adalah biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan berkenaan dengan utang yang dimilikinya. Cost of Debt digunakan untuk menentukan beberapa biaya yang harus ditanggung perusahaan karena menggunakan modal yang berasal dari pinjaman. Dalam perhitungan digunakan cost of debt sesudah pajak. 20 Rumus: Beban Bunga Kb = Pinjaman jangka panjang Kd = Kb x (1-tax) Dimana: Kd = Biaya modal hutang setelah pajak Kb = Biaya modal hutang sebelum pajak tax = Tarif pajak 2) Menghitung Biaya Saham Preferen (kp) Komponen biaya saham preferen (cost of preferred stock) yang digunakan untuk menghitung rata-rata tertimbang biaya modal (kp) adalah: Dp Komponen biaya saham preferen = kp = Pp 3) Menghitung Biaya Saldo Laba Ditahan (ks) dan Saham Biasa (ke) Cost of Equity adalah untuk menentukan berapa besarnya biaya modal sendiri akibat penggunaan sumber modal sendiri yang terdiri atas laba ditahan dan penerbitan saham baru. Cost of Equity 21 tercermin dari tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor atas investasi terhadap saham suatu perusahaan. Ada dua metode atau pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya biaya ekuitas saham biasa, diantaranya: a) Deviden Growth Model (Model Pertumbuhan Deviden) Merupakan pendekatan yang mengasumsikan bahwa nilai perlembar saham sama dengan present value dari deviden yang akan datang. Rumus: D1 Re = +g Po Keterangan: Re = Tingkat hasil minimum D1 = Deviden tahun ke 1 Po = Harga pasar g = Tingkat pertumbuhan Deviden g = (Tingkat retensi) (ROE) = (1,0 – Tingkat Pembayaran) (ROE) Model pertumbuhan dividen merupakan pendekatan yang relatif popular untuk menghitung biaya ekuitas. Tetapi kesukaran utamanya adalah memperkirakan pertumbuhan dividennya. 22 b) Capital Asset Pricing Model (CAPM) Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara rasio dengan tingkat pembalian. Model ini mendasarkan pada kondisi ekuilibrium tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh suatu saham akan dipengaruhi oleh risiko saham tersebut. CAPM memberikan implikasi tingkat pengembalian yang diminta untuk bagian saham biasa Rumus untuk menghitung biaya modal saham dengan pendekatan CAPM menurut Husnan (2000:489) adalah sebagai berikut: Ke = Krf + β (Krm – Krf) Keterangan: Ke = Tingkat hasil minimum dari pemegang saham Krf = Suku bunga bebas risiko β = Ukuran risiko sistematik dari saham Krm = Perkiraan tingkat hasil minimum dalam pasar secara keseluruhan. Untuk menghitung dengan menggunakan model ini, variabel yang diperlukan sebagai berikut: 1) Tingkat Pengembalian Bebas Risiko (Krf) Diambil dari investasi dengan tingkat suku bunga yang bebas risiko atau merupakan tingkat pengembalian yang pasti 23 diperoleh tanpa resiko apapun yang biasa diwakili oleh tingkat bunga obligasi pemerintah atau SBI. 2) Perhitungan Pengembalian Pasar Perhitungan ini didasarkan pada indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dengan rumus: IHSGt – IHSGt-1 Rmt = IHSGt-1 Keterangan: Rmt = Tingkat hasil pengembalian portofolio pasar periode t IHSGt = Indeks harga saham gabungan periode t IHSGt-1 = Indeks harga saham gabungan sebelum periode t 3) Tingkat Pengembalian Saham Individual Untuk menghitung tingkat pengembalian saham individual, diperoleh data dari perkembangan saham individual. Berikut ini adalah rumus perhitungan tingkat pengembalian saham individual: Pit – Pi(t-1) + Dit Rit = Pi(t-1) 24 Keterangan: Rit = Tingkat hasil pengembalian saham i pada periode t Pit = Harga saham i pada periode t Pi(t-1) = Harga saham periode i sebelum periode t Dit = Deviden i pada periode t 4) Pengukuran Risiko Beta Beta merupakan koefisien regresi antara dua variabel, yaitu kelebihan tingkat keuntungan portofolio dan kelebihan keuntungan saham. Pengukuran Beta dapat dilakukan dengna menggunakan pendekatan regresi yaitu: n ∑xy - ∑x ∑y β= n ∑x2 – (∑x)2 Keterangan: β = Koefisien beta n = Banyaknya periode pangamatan x = Tingkat hasil pengembalian dari portofolio pasar (Rmt) y = Tingkat hasil pengembalian saham individu (Rit) c. Invested Capital (IC) Invested Capital merupakan hasil penjabaran perkiraan dalam neraca untuk melihat besarnya modal yang diinvestasikan dalam perusahaan oleh 25 kreditur dan pemegang saham serta seberapa modal yang diinvestasikan dalam aktivitas operasional lainnya. Rumus: IC = ( Total Liabilitas + Total Ekuitas Pemegang Saham) – Utang Lancar Nilai EVA yang dihasilkan dari perhitungan EVA sangat membantu dalam menilai kinerja perusahaan dan membantu dalam mempertimbangkan keputusan manajemen. Untuk mengetahui apakah terjadi nilai tambah atau tidak, maka dapat diungkapkan dengan penjelasan sebagai berikut: Jika EVA > 0 (positif), berarti terjadi proses pertambahan nilai ekonomis dalam perusahaan tersebut, kinerja keungan perusahaan baik. Jika EVA = 0, Berarti secara ekonomis “impas” karena semua laba digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun pemegang saham. Jika EVA < 0 (negatif), berarti total biaya modal perusahaan lebih besar dari pada laba operasi setelah pajak yang diperolehnya, sehingga kinerja keuangan tersebut tidak baik. Dengan penilain tersebut, maka kondisi EVA mencerminkan tingkat kompensasi yang lebih tinggi dari biaya modal. Semakin positif EVA, maka 26 semakin bagus kinerja perusahaan, dan semakin negatif EVA, maka terdapat penurunan nilai kekayaan perusahaan. E. Corporate Social Responsibility 1. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) Konsep Corporate Social Responsibility sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen korporat. Meskipun konsep Corporate Social Responsibility baru dikenal pada awal tahun 1970-an, namun konsep ini sudah dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 (Kartini, 2009, dalam Yuniarta, 2011) Tanggung jawab sosial perusahaan merupakan klaim atas inisiatif yang menunjukan bahwa bisnis tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk kemaslahatan pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan. Global Compact Initiative (2002) menyebut pemahaman CSR dengan 3P (profit, people, planet). Konsep ini memuat pengertian bahwa bisnis tidak hanya sekedar mencari keuntungan (profit), melainkan juga kesejahteraan orang (people), dan menjamin keberlangsungan hidup (planet) (Nugroho, 2007, dalam Eko, 2011). Perusahaanpun semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi. Hal ini 27 sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya. Corporate Social Responsibility sebagai konsep akuntansi yang baru merupakan transparansi pengungkapan sosial atas kegiatan atau aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan, dimana transparansi informasi yang diungkapkan tidak hanya informasi keuangan perusahaan, tetapi perusahaan juga diharapkan mengungkapkan informasi mengenai dampak sosial dan lingkungan hidup yang diakibatkan aktivitas perusahaan. Laporan keuangan tahunan merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk pengungkapan informasi sosial dan lingkungan perusahaan. Dalam PSAK No.1 (Revisi 2009) Paragraf 9 dinyatakan bahwa: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan keuangan yang memegang peranan penting” Peraturan di Indonesia yang mengatur perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang atau yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan terdapat didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Pasal 74 Tahun 2007 yang mulai diberlakukan pada tanggal 16 Agustus 2007. Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, dan mempertahankan kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Guthrie dan Parker, 1990, dalam Sayekti dan Wondabio, 2007). 28 2. Definisi Corporate Social Responsibility Konsepsi mengenai CSR mulai diperkenalkan Bowen pada 1953 dalam sebuah karya seminarnya mengenai tanggung jawab sosial pengusaha (Caroll, 1999). The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) (Nurlela dan Islahuddin, 2008) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan. Pandangan lain tentang CSR yang lebih komprehensif, dinyatakan oleh Prince of Wales International Business Forum (Teguh, 2005:46), yang di Indonesia dipromosikan oleh Indonesia Business Links. CSR menyangkut lima pilar, antara lain: 1. Building human; menyangkut kemampuan perusahaan untuk memiliki dukungan sumber daya manusia yang andal (internal) dan eksternal (masyarakat). Perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan, biasanya melalui community development, 2. Strengthening economies; memberdayakan ekonomi komunitas, 3. Assessing social cohesion; maksudnya perusahaan menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar agar tidak menimbulkan konflik, 4. Encouraging good governance; perusahaan dijalankan dalam tata kelola yang baik, 29 5. Protecting the environment; perusahaan harus menjaga kelestarian lingkungan. Versi lain mengenai definisi CSR dilontarkan oleh World Bank, lembaga keungan global ini memandang CSR sebagai: “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for decelopment”. Menurut pengertian dari Philip Kotler & Nancy lee (2005), CSR sebagai: “Corporate Social Responsibility is a commitment to improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resources”. “Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen untuk memperbaiki komunitas melalui praktik bisnis yang bijaksana dan kontribusi dari daya sumber perusahaan.” Menurut Wibisono (2007), definisi CSR adalah tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencangkup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple bottom line). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian tanggung jawab sosial merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan perusahaan atas dampak operasionalnya. 30 yang ditimbulkan dari aktivitas 3. Tujuan Corporate Social Responsibility Garriga dan Mele (2004) menjelaskan tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai fokus pada empat aspek utama, yaitu: 1. Mencapai tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan. 2. Menggunakan kekuatan bisnis secara bertanggung jawab. 3. Mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan sosial. 4. Berkontribusi kedalam masyarakat dengan melakukan hal-hal yang beretika. Listyorini dan Greg Anggana (1998) menjelaskan adanya dua pandangan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan. Pandangan pertama, argumen yang mendukung perlunya tanggung jawab sosial bagi perusahaan antara lain: 1. Kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin banyak sehingga tidak mungkin bisnis modern dapat berkembang tanpa menghiraukan dimensi sosial kehidupan manusia. Maka dalam rangka itulah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial yang sangat besar, bukan sekedar tanggung jawab ekonomis. 2. Kewajiban moral bahwa dalam hubungannya dengan sistem sosial modern yang sedemikian kompleks dan terkait satu sama lain, tidak dapat dipungkiri bahwa semua kegiatan bisnis bahkan yang bersifat internal sekalipun mau tidak mau mempunyai dampak bagi dunia eksternal. 3. Terbatasnya sumber-sumber daya, bahwa bisnis yang berlangsung di dalam kondisi sumber daya yang terbatas oleh sebab itu perusahaan memanfaatkan 31 secara bertanggung jawab serta bijaksana guna memenuhi kebutuhan manusia dengan mempertimbangkan kelangsungannya dimasa mendatang. 4. Pertimbangan tanggung jawab dan kekuasaan bisnis mempengaruhi lingkungan, konsumen, kondisi masyarakat, dan lain sebagainya. Kekuasaan bisnis yang terlalu besar dan tidak diimbangi dengan tanggung jawab, akan menyebabkan bisnis menjadi kekuatan yang merusak masyarakat. 5. Lingkungan sosial yang lebih baik, perusahaan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut memelihara lingkungan sosialnya ke arah yang lebih baik. 6. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya yang berguna, argumen ini menyatakan bahwa perusahaan tidak hanya memiliki uang yang dapat dipakai untuk hal-hal yang bersifat sosial, melainkan juga mempunyai tenaga manajer yang kompeten, tenaga ahli yang terampil, tenaga keuangan yang profesional yang semuanya sangat berguna bagi masyarakat. 7. Keuntungan jangka panjang bahwa tanggung jawab sosial adalah merupakan nilai yang lebih positif bagi perkembangan dan kelangsungan hidup perusahaan, dapat menciptakan citra positif dimata masyarakat. Pandangan kedua, argumen yang menentang perlunya tanggung jawab sosial bagi suatu perusahaan, yaitu: 1. Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Argumen ini menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (bila ada) adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. 32 2. Tujuan yang terbagi-bagi dan harapan yang membingungkan bahwa keterlibatan sosial perusahaan akan menimbulkan minat dan perhatian yang bermacam-macam dari para pemimpin perusahaan yang dapat membingungkan, dimana kebingungan ini akan berdampak negatif dalam pengambilan keputusan perusahaan. 3. Biaya keterlibatan sosial. Bahwa keterlibatan perusahaan dibidang sosial justru malah memberatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan biaya yang digunakan untuk keterlibatan sosial tersebut bukanlah biaya yang datang dari perusahaan, melainkan biaya yang dibebankan pada produk yang dijual. 4. Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai sehingga sudah tidak membutuhkan lagi dukungan dari masyarakat yang harus dibayar dengan tanggung jawab sosial. Hal ini disebabkan bisnis mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seluruh kehidupan manusia. 5. Kurangnya tenaga terampil bahwa banyak pemimpin perusahaan dan tenaga bisnis mempunyai keterampilan di bidang kegiatan sosial secara memadai. Maka tidak relevan bila menuntut keterlibatan sosial dari perusahaan. 6. Perusahaan tidak mampu membuat pilihan moral, argumen ini menyatakan bahwa pada dasarnya perusahaan tidak mempunyai kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan moral, dikarenakan perusahaan adalah makhluk buatan yang tidak mempunyai rasio, tidak mempunyai kemauan dan suara hati. 33 4. Manfaat dari CSR yang di dapat oleh Perusahaan serta Mayarakat CSR sangat efektif untuk membantu pencitraan perusahaan. Menurut Fajri dalam Sinar Harapan (2006) CSR akan dianggap bermanfaat jika mampu meningkatkan loyalitas konsumen. Sedangkan secara korporasi, CSR dianggap sukses jika mampu mengembangkan dan memberikan solusi bagi permasalahan yang terjadi dimasyarakat, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan bisnis inti tersebut Menurut Nurmansyah (2004) dalam Gunawan dan Utami (2008) setidaknya ada tujuh manfaat CSR, yakni: 1. Daya saing berkelanjutan, dimana CSR sangat berpengaruh terhadap daya saing perusahaan, 2. Menciptakan peluang bisnis baru, 3. Menarik dan mempertahankan investor dan mitra bisnis yang berkualitas, 4. Kerjasama dengan komunitas lokal, 5. Menghindari krisis akibat malpraktek CSR, 6. Mendapat dukungan pemerintah karena banyak pemerintahan yang menyediakan insentif keuangan terhadap inisiatif-inisiatif CSR yang baik, dan 7. Membantu modal politik, mempengaruhi peraturan, menata ulang institusi publik dimana perusahaan bergantung serta meningkatkan citra publik perusahaan. 34 Menurut Nugroho (2007) dalam Wibisono (2007), banyak sekali manfaat yang akan diterima dari pelaksanaan CSR, baik bagi perusahaan, masyarakat (termasuk buruh/pekerjanya), lingkungan ataupun negara: 1. Bagi perusahaan, ada empat manfaat yang diperoleh bagi perusahaan dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan dimana perusahaan akan mendapatkan citra (image) yang positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap modal (capital). Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources) yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko (risk management), 2. Bagi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai tambah adanya perusahaan disuatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan perlindungan dan hak-haknya sebagai pekerja. Jika tersapat masyarakat adat atau masyarakat lokal, praktik CSR akan menghargai keneradaan tradisi dan budaya lokal tersebut, 3. Bagi lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan justru perusahaan terlibat mempengaruhi lingkungannya, 4. Bagi negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut “corporate misconduct” atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada 35 aparat negara atau aparat hukum yang memicu tingginya korupsi. Selain itu negara akan menikmati pendapatan dari pajak yang wajar (yang tidak digelapkan) oleh perusahaan. 5. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting (Mathews, 1995, dalam Eddy, 2005) atau corporate social responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), diluar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray et.al.,1987, dalam Eddy, 2005). Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya didalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (Nurlela dan Islahuddin, 2008). Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi. 36 Retno (2006) mengidentifikasikan hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan, yaitu sebagai berikut: 1. Lingkungan, meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam, dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan, 2. Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi, 3. Praktik bisnis yang wajar, meliputi pemberdayaan terhadap minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial, 4. Sumber daya manusia, meliputi aktivitas dalam suatu komunitas dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan, pendidikan dan seni, 5. Produk, meliputi keamanan, pengurangan polusi, dan lain-lain. Hendriksen (1991) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) mendefinisikan pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2009) paragraf sembilan secara implisit menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah sosial sebagai berikut: 37 “perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peran penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.” Implikasi Corporate Social Responsibility di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UndangUndang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal. Dalam Undang-Undang No.40 Tahun Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu pada pasal 74 ayat 1, menyatakan bahwa “Perseroan yang mnejalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 15 juga mengatur tentang Corporate Social Responssibility, yang menyatakan bahwa “Setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan diharapkan dapat memberikan informasi tambahan kepada para investor selain dari yang sudah tercakup dalam laba akuntansi dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi investor dalam pengambilan keputusan 6. Standar Pengungkapan Corporate Social Responsibility Standar Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam penelitian ini merujuk kepada standar yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI). Dalam standar GRI (GRI, 2006) indikator kinerja 38 dibagi menjadi 3 komponen utama, yaitu ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial yang mencakup hak asasi manusia, praktek ketenagakerjaan dan lingkungan kerja, tanggung jawab produk, dan masyarakat. Daftar indikator pengungkapan CSR menurut GRI mencapai 79 indikator, terdiri dari 9 indikator ekonomi, 30 indikator lingkungan hidup, 14 indikator praktek tenaga kerja, 9 indikator Hak Asasi Manusia, 8 indikator kemasyarakatan, dan 9 indikator tanggung jawab produk. Penilaian luas pengungkapan CSR dalam penelitian ini memberikan skor pada item-item yang mengacu pada indikator yang disebutkan dalam GRI guidelines, antara lain: 1. Indikator kinerja ekonomi, meliputi aspek kinerja ekonomi, keberadaan pasar dan dampak ekonomi tidak langsung. 2. Indikator kinerja lingkungan hidup, meliputi aspek material, energi, air, keanekaragaman hayati, emisi, effluent, dan limbah; produk dan jasa, aspek kesesuaian, transportasi, dan aspek secara keseluruhan. 3. Indikator kinerja praktek ketenagakerjaan dan lingkungan kerja, meliputi aspek ketenagakerjaan, hubungan tenaga kerja atau manajemen, keselamatandan kesehatan kerja, pendidikan dan pelatihan, serta aspek keanekaragaman dan kesempatan yang sama. 4. Indikator kinerja hak asasi manusia, maliputi aspek praktek investasi dan pengadaan, aspek non-diskriminasi, kebebasan berserikat dan daya tawar kelompok, tenaga kerja anak, pegawai tetap dan kontrak, praktik keselamatan, serta hak masyarakat (adat). 39 5. Indikator kinerja masyarakat, meliputi aspek kemasyarakatan, kebbijakan mengenai korupsi, kebijakan umum/publik, perilaku anti persaingan, dan aspek kesesuaian. 6. Indikator kinerja tanggung jawab produk, yang meliputi aspek keselamatan dan kesehatan konsumen, labeling produk dan jasa, komunikasi pemasaran, privasi konsumen dan aspek kesesuaian. F. Nilai Perusahaan 1. Konsepsi Nilai Perusahaan Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham. Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti halnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahuddin (2008). Menurut Keown, dkk (2006:249) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008), nilai pasar adalah nilai yang berlaku dipasaran. Nilai ini ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris. Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Menurut Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan 40 harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual. 2. Metode Pengukuran Nilai Perusahaan Suatu perusahaan akan berusaha untuk memaksimalkan nilai perusahaannya. Peningkatan nilai perusahaan biasanya ditandai dengan naiknya harga saham di pasar. Penelitian ini menggunakan Rasio Tobin’s Q untuk pengukuran nilai perusahaan. Wannerfield dkk (1988) dalam Nurlela Islahuddin (2008) menyimpulkan bahwa tobin’s Q dapat digunakan sebagai alat ukur dalam menentukan kinerja perusahaan. Rasio Tobin’s Q dikembangkan oleh Profesor James Tobin (1967). Rasio ini merupakan konsep yang berharga karena menunjukkan estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap dolar investasi inkremental. Rasio ini dinilai dapat memberikan informasi paling baik, karena dalam Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan, namun seluruh asset perusahaan. Menurut Smithers dan Wright (2007:37) Tobin’s Q dihitung dengan membandingkan rasio nilai pasar saham perusahaan dengan nilai buku ekuitas perusahaan. Rumusnya sebagai berikut: (EMV + D) q= (EBV + D) 41 Dimana: q = Nilai perusahaan EMV = Nilai pasar ekuitas (EMV = closing price x jumlah saham beredar) D = Nilai buku dari total utang EBV = Nilai buku dari total aktiva Jika rasio-q diatas 1 (satu), ini menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang memberikan nilai yang lebih tinggi daripada pengeluaran investasi, hal ini kan merangsang investasi baru. Jika rasio-q dibawah 1 (satu), investasi dalam aktiva tidaklah menarik (Weston dan Copeland, 2008:245). Jika rasio-q merupakan ukuran yang lebih teliti tentang seberapa efektif manajemen memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomis dalam kekuasaannya. Penelitian ini dilakukan oleh Lindenberg dan Ross (1981) dalam Copeland (2002), menunjukkan bagaimana rasio-q dapat diterapkan pada masing-masing perusahaan. Mereka menemukan bahwa beberapa perusahaan dapat mempertahankan rasio-q yang lebih besar dari 1 (satu). Teori ekonomi mengatakan bahwa rasio-q yang >1 (lebih besar dari satu) akan menarik arus sumber daya dan kompetisi baru sampai rasio-q mendekati satu. Seringkali sukar untuk menentukan apakah rasio-q yang tinggi mencerminkan superioritas manajemen dan keuntungan dari dimilikinya hak paten. 42 Menurut Smithers dan Wright (2007:40) keunggulan Tobin’s Q adalah: a. Tobin’s Q mencerminkan asset perusahaan secara keseluruhan. b. Tobin’s Q mencerminkan sentimen pasar, misalnya analisis dilihat dari prospek perusahaan spekulasi. c. Tobin’s Q mencerminkan modal intelektual perusahaan. d. Tobin’s Q dapat mengatasi masalah dalam memperkirakan tingkat keuntungan dan biaya manajerial. Menurut Smither dan Wright (2007:42) kelemahan Tobin’s Q adalah: Tobin’s Q dapat menyesatkan dalam pengukuran kekuatan pasar karena sulitnya memperkirakan biaya atas pergantian atas harta, pengeluaran untuk iklan dan penelitian serta pengembangan menciptakan aset tidak berwujud. G. Penelitian Terdahulu Banyak literatur yang menegaskan bahwa aktivitas CSR yang tertuang dalam pengungkapan sosial perusahaan berpengaruh dan memiliki hubungan positif dengan nilai perusahaan. Dalam penelitian empiris, beberapa peneliti telah mencoba untuk mengungkapkan hal ini dalam berbagai perspektif yang berbeda. Nurlela dan Islahuddin (2008) menguji pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap nilai perusahaan dengan kepemilikan manajemen sebagai variabel pemoderasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa Corporate Social Responsibility, persentase kepemilikan, serta interaksi antara 43 Corporate Social Responsibility dengan persentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Barbara Gunawan dan Suharti Sri Utami (2008) meneliti tentang Peranan Corporate Social Responsibility Dalam Nilai Perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan, variabel CSR, persentase kepemilikan manajemen, dan interaksi antara CSR dengan persentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Namun, hasil yang berbeda diperoleh oleh Widaryanti dan Ndaruningpuri (2008), penelitian ini mencoba melihat hubungan antara luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan kinerja keuangan perusahaan (studi pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Hasilnya menunjukkan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial yang terdiri dari tema lingkungan dan energi, tema tenagakerja, tema konsumen dan produk, serta kemasyarakatan secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan yang diproksi dalam Return On Assets (ROA). Dwi Hartanti dan Elsa Rumiris Monika (2008) meneliti tentang hubungan antara Corporate Social Responsibility dengan Value Based Management menemukan bahwa kinerja sosial perusahaan tidak berpengaruh terhadap pencapaian value based management yang diproksi dengan Economic Value Added baik di tahun yang sama maupun di tahun berikutnya. Gede Adi Yuniarta (2011) meneliti tentang pengaruh Value Based Management (VBM) pada nilai ekuitas perusahaan dengan Corporate Social 44 Responsibility (CSR) sebagai variabel permoderasi. Hasil penelitian menemukan bahwa pengungkapan Corporate Social Responsibility tidak terbukti secara signifikan sebagai variabel pemoderasi hubungan antara Value Based Management dengan nilai ekuitas perusahaan. Dengan indikator Value Based Management yang diukur dengan EVA maka investor tidak memperhatian CSR dalam mengambil keputusan investasi. Eko Adhy Kurnianto (2011) meneliti tentang pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan (Studi empiris pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005-2008). Hasil penelitian menemukan bahwa Corporate Social Responsibility Disclosure tidak berpengaruh terhadap nilai ROEt+1 dan Return realisasi. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa investor masih berorientasi jangka pendek dan tidak mempertimbangkan pengungkapan CSR didalam melakukan investasi pada perusahaan perbankan pada tahun 2005-2008, dan UU No.40 Th.2007 tidak mempengaruhi aktivitas pengungkapan CSR pada perusahaan perbankan. Hasil-hasil penelitian terdahulu menjadi kajian empiris dalam penelitian ini. Penelitian ini mencoba mengembangkan penelitian-penelitian sebelumnya dengan cara melakukan perluasan pengamatan dan pengembangan proksi dari variabel-variabel penelitian. Pengembangan variabel penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Value-Based Management dan Corporate Social Responsibility sebagai variabel independen, sedangkan sebagai variabel dependen adalah nilai perusahaan. 45 Dalam penelitian ini, rentang waktu pengamatan terhitung mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2011, dan peneliti akan mengkhususkan sampel pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Pengkhususan sampel dapat menghindari hasil penelitian yang bias, dikarenakan perbedaan karakteristik perusahaan yang terdaftar di BEI. Ringkasan beberapa penelitian sebelumnya dapt dilihat pada tabel 2.1. No 1. Peneliti, Tahun Penelitian Nurlela dan Islahuddin, 2008 Variabel CSR, Nilai Perusahaan, Kepemilikan Manajemen 2. Barbara Gunawan dan Suharti Sri Utami, 2008 CSR, Persentase Kepemilikan Manajemen, Nilai Perusahaan 3. Widaryanti dan Ndaruningpuri, 2008 Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Kinerja Keuangan Perusahaan 4. Dwi dan CSR, Value Hartanti Elsa Based 46 Hasil Penelitian Corporate Social Responsibility, persentase kepemilikan, serta interaksi antara Corporate Social Responsibility dengan persentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. variabel CSR, persentase kepemilikan manajemen, dan interaksi antara CSR dengan persentase kepemilikan manajemen secara simultan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. pengungkapan tanggung jawab sosial yang terdiri dari tema lingkungan dan energi, tema tenagakerja, tema konsumen dan produk, serta kemasyarakatan secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan yang diproksi dalam Return On Assets (ROA). kinerja sosial perusahaan (CSR) tidak berpengaruh Rumiris Monika, 2008 Management, 5. Gede Adi Yuniarta, 2011 Value Based Management, Nilai Ekuitas Perusahaan, CSR 6. Eko Adhy Kurnianto (2011) CSR, Kinerja Keuangan terhadap pencapaian value based management yang diproksi dengan Economic Value Added baik di tahun yang sama maupun di tahun berikutnya. pengungkapan Corporate Social Responsibility tidak terbukti secara signifikan sebagai variabel pemoderasi hubungan antara Value Based Management dengan nilai ekuitas perusahaan. Dengan indikator Value Based Management yang diukur dengan EVA maka investor tidak memperhatian CSR dalam mengambil keputusan investasi. Corporate Social Responsibility Disclosure tidak berpengaruh terhadap nilai ROEt+1 dan Return realisasi. H. Kerangka Pemikiran Signalling Theory merupakan suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Jika investor ingin melihat seberapa besar perusahaan menghasilkan return atas investasi maka biasanya yang akan mereka lihat pertama kali adalah rasio-rasio yang terkait dengan kemampuan perusahaan menghasilkan laba (Hartanti dan Monika, 2008). Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar kemampuan perusahaan 47 dalam menghasilkan laba, yang pada akhirnya dapat menjadi sinyal positif bagi investor dalam melakukan investasi. Namun, menurut Pradhono dan Christiawan (2004) dalam Hartanti dan Monika (2008), bahwa ukuran kinerja keuangan yang mendasarkan pada laba akuntansi (accounting profit), seperti earnings per share, price earning ratio dan return on equity, dianggap tidak lagi memadai untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi perusahaan. Sehingga saat ini, banyak perusahaan menggunakan ukuran kinerja yang lebih menekankan value atau Value-Based Management. Menurut konsep signalling theory -pun menyatakan bahwa perusahaan memberikan sinyal-sinyal kepada pihak luar perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan (Wirakusuma dan Yuniasih, 2007). Selain informasi keuangan yang diwajibkan perusahaan juga melakukan pengungkapan yang sifatnya sukarela. Salah satu dari pengungkapan sukarela yang dilakukan oleh perusahaan adalah pengungkapan CSR pada laporan tahunan perusahaan. Dengan diungkapkannya Corporate Social Responsibility diharapkan dapat memberikan signal kepada pihak eksternal termasuk investor dan diharapkan akan dapat meningkatkan citra perusahaan yang pada akhirnya tercermin dengan peningkatan nilai perusahaan. Pengungakapan corporate social responsibility dalam penelitian ini diukur dengan standar GRI. Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti halnya 48 penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahuddin (2008). Dalam penelitian ini, nilai perusahaan diukur dengan rasio Tobin’s Q yang mencerminkan penilaian akhir. Penilaian ini mengikhtisarkan pandangan investor tentang perusahaan secara keseluruhan. Oleh karenanya dengan melihat rasio ini dapat dilihat reaksi pasar atas sinyal positif dari perusahaan tentang adanya informasi Corporate Social Responsibility dan kinerja baik perusahaan berupa Value-Based Management dengan menggunakan Economic Value Added (EVA). Hubungan antara value based management, dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap nilai perusahaan, digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Value-Based Management Nilai Perusahaan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Keterangan: Pengaruh secara individual / Parsial Uji t 49