PEMILU 2014 DAN PROSPEK PEMAJUAN HAM di INDONESIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 www.elsam.or.id daftar isi editorial 4 P(em)ILU: Menakar Masa Depan Hak Asasi Manusia Pemilu kali ini akan menjadi pemilu keempat sejak transisi politik bergulir di tahun 1998. Pertanyaannya, akankah perhelatan nasional kali ini dapat benar-benar menjadi momen dimana titik balik perbaikan kondisi Hak Asasi Manusia diletakkan, ataukah justru terbaca sebagai Pilu karena absennya komitmen 15 partai peserta pemilu kali ini. laporan utama 5 - 16 Platform HAM Partai-partai Peserta Pemilu kesuksesan pileg ditentukan oleh jumlah partisipasi pemilh yang bisa sesuai target. Oleh karena itu, masyarakat yang sudah memiliki hak pilih diharapkan datang ke TPS pada waktuya ILUSTRASI (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja) Kolom nasional 20-22 Menelisik Pembahasan RUU KUHP Penyerahan RKUHP dan RKUHAP pada awal tahun 2013 memicu kembali perdebatan di publik. Pertama, terkait dengan substansi pengaturannya yang masih bermasalah, bahkan kini sejumlah lembaga meminta penarikan, penundaan, atau perbaikan kedua RUU tersebut telebih dahulu sebelum dibahas di DPR. Kedua, subtansi RKUHP dan RKUHAP yang sangat berat (RKUHP terdiri dari 766 Pasal dan RKUHAP terdiri dari 286 Pasal), akan sangat sulit dibahas oleh DPR sekarang mengingat jangka waktu yang ada. resensi 23-24 Belajar Demokrasi dari Amerika Latin Film dokumenter Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas oleh Silvia Leindecker dan Michael Fox, membawa kita ke berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris yang dilakukan di beberapa Negara di benua Amerika. Eksperimen pertama yang ditampilkan film ini adalah sistem anggaran partisipatoris di Brazil. Partai-partai mengusung isu kesejahteraan rakyat, kesehatan dan pendidikan cuma-cuma, kredit murah petani, serta anggaran pro rakyat. Itu semua juga isu hak asasi manusia, yang digolongkan dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Tetapi, tiada platform perjuangan partai-partai yang mencoba berpaling kepada kejahatan HAM masa lalu. Sebagian partai yang berlaga malah berusaha membuang jauh-jauh isu itu. Rekam Jejak Partai-Partai Politik Peserta Pemilu 2014 dalam Pemajuan HAM Rekam jejak partai-partai politik peserta Pemilu 2014 dalam upaya pemajuan HAM setidaknya bisa ditelisik dari sikap dan tindakan para anggota fraksi di DPR dan pengurus partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi (walaupun dalam sistem presidensiil, oposisi tidak dikenal) merupakan partai yang gencar menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Agenda Prioritas Penyelesaian HAM DPR RI Hasil Pemilu 2014 Setidaknya ada tiga prioritas penyelesaian masalah HAM yang dilakukan DPR RI yang akan terbentuk dari hasil Pemilu Legislatif 2014, yakni: (1) mendesak kembali pelaksanaan empat rekomendasi DPR kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tentang penyelesaian penghilangan orang secara paksa, (2) mendesak Pemerintah menjalankan rekomendasi Komisi Nasional HAM tentang penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat 1965/1966, dan (3) penyelesaian tahanan politik Papua. nasional 17-19 Golput, Masihkah Relevan? Buruknya persepsi dan penilaian publik atas situasi-kondisi lembaga perwakilan dan partai politik selama ini telah memicu dan menjadi alasan bagi sebagian warga untuk memilih tidak memilih, atau menjadi Golput (golongan putih = tidak memilih), dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif mendatang. Golput memang merupakan hak, dan pernah populer sebagai pilihan para aktivis di masa Orde Baru. Dari redaksi ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA www.elsam.or.id Redaksional Penanggung Jawab: Indriaswati Dyah Saptaningrum Pemimpin Redaksi: Otto Adi Yulianto Redaktur Pelaksana: Mohamad Zaki Hussein Dewan Redaksi: Mohamad Zaki Hussein, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman Redaktur: Indriaswati D.S, Zainal Abidin, Mohamad Zaki Hussein, Triana Dyah, Wahyu Wagiman, Wahyudi Djafar, Otto Adi Yulianto Sekretaris Redaksi: Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: alang-alang Informasi Kursus HAM untuk Pengacara XVIII Pada tahun 2014, Kursus Hak Asasi Manusia memasuki angkatan XVIII. Dengan durasi selama 2 minggu, Peserta akan mempelajari mengenai Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia, serta strategi dan teknik penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dalam setiap tahunnya ada topik-topik terbaru yang akan dibahas sesuai dengan perkembangan dan situasi hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Kursus ini akan membantu para pengacara dan pekerja hak asasi manusia untuk memiliki pemahaman mengenai standar hak asasi manusia serta mekanismenya baik di tingkat Internasional, regional dan nasional. Serta mempelajari bagaimana melakukan pembelaan kasus –kasus pelanggaran hak asasi manusia dengan efektif, dengan menggunakan standar hak asasi manusia. Sejak awal hingga saat ini, Kursus HAM Pengacara telah memiliki alumni lebih dari 375 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kursus akan dilaksanakan pada tanggal 6 – 20 Mei 2014 di Bogor, Jawa Barat. Para pengacara dan pekerja hak asasi manusia dari seluruh wilayah Indonesia dapat mengikuti kursus ini. Kami juga mengharapkan peserta telah terbiasa melakukan kerja-kerja penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Peserta dalam kursus ini hanya 25 orang dengan mempertimbangkan perimbangan gender dan wilayah. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sdri. Ikhana Indah melalui email [email protected] atau di [email protected] Atau ke www.elsam.or.id /t elp. 021 – 7972662; 79192564 / email [email protected]. Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Penerbitan didukung oleh: Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail: [email protected], [email protected] Website: www.elsam.or.id. Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini: [email protected] ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 03 editorial P(em)ILU : Menakar Masa Depan Hak Asasi Manusia S eminggu lagi, nasib warga negara dalam lima tahun ke depan akan kembali ditentukan melalui Pemilu. Sebanyak 200 ribu caleg akan memperebutkan sekurangnya 19 ribu kursi perwakilan baik di tingkat nasional maupun lokal (http://bit.ly/1fe4EmH). Untuk representasi di tingkat nasional, sebanyak 6601 calon akan berebut kursi DPR RI (http://bit.ly/P9zyTu). Berdasarkan data proyeksi penduduk BPS, jumlah penduduk Indonesia di tahun 2013 mencapai 242.013.800 (http://bit.ly/1gH4bdK0). Dari total jumlah penduduk tersebut, sebanyak 186.569.233 orang tercatat dalam daftar pemilih tetap, dan akan menyalurkan aspirasi politiknya melalui sejumlah 545.647 TPS yang tersebar di seluruh provinsi. Pemilu kali ini akan menjadi pemilu ke empat sejak transisi politik bergulir di tahun 1998. Pertanyaannya, akankah perhelatan nasional kali ini dapat benar-benar menjadi momen titik balik perbaikan kondisi Hak Asasi Manusia diletakkan, ataukah justru terbaca sebagai Pilu karena absennya komitmen 15 partai peserta pemilu kali ini. Seperti diuraikan dalam laporan utama edisi ini, hanya segelintir dari lima belas partai peserta pemilu yang secara eksplisit menegaskan komitmennya terhadap Hak Asasi Manusia. Sebagian besar platform partai absen dari perspektif Hak Asasi Manusia, bahkan sebagian kecil partai politik justru menentang dan mencurigai agenda hak asasi manusia sebagai bentuk politisasi. Padahal masalah besar terkait Hak Asasi Manusia tak melulu soal pelanggaran HAM di masa lalu, namun juga setumpuk masalah besar yang terus-menerus melingkupi keseharian warga, seperti terekam dalam observasi @elsamnews di awal tahun 2013 (http://bit.ly/1lxQgto ). Situasi ini juga terekam dalam peta sebaran pelanggaran HAM yang tersebar di hampir seluruh provinsi (http://bit.ly/1gTlAkl) Situasi ini tentu bisa dipotret sebagai satu ironi, sebab bila tak terlanjur lupa, adalah Hak asasi Manusia bersama semangat anti KKN yang menjadi tuntutan utama yang mengiringi lengsernya rejim Orde Baru di bawah Soeharto pada tahun 1998. Menjadi ironi karena persis setelah dua kali pemilu, setumpuk agenda dan pekerjaan rumah untuk menuntaskan berbagai masalah Hak Asasi Manusia juga menjadi salah satu rapor merah dari pemerintah baru yang berkuasa sejak tahun 2004. Selama dua periode, upaya mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu terbukti jalan di tempat. Bukan karena masyarakat sipil dan korban kurang giat dalam bekerja, melainkan karena sumber daya politikyang tentu tak dikuasai oleh para korban dan masyarakat sipil tak punya kehendak politik yang cukup bahkan untuk memulai langkah awal penyelesaian. Absennya modalitas politik ini tentu tak lepas dari realitas masih terus bercokolnya generasi yang berasal dari rejim terdahulu di pusatANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 04 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 pusat kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif. Barangkali ini menjawab mengapa formula dan usulan kebijakan yang paling moderat sekalipun masih terus dianggap sebagai suatu ancaman bagi stabilitas politik. Situasi ini masih ditambah dengan makin menguatnya peran militer dalam politik, baik secara langsung sebagai penggerak partai-partai politik maupun dukungan parlemen atas berbagai agenda penguatan institusi militer dalam kehidupan sosial politik. Hal terakhir ini tercermin dalam lahirnya berbagai undang-undang yang memperluas peran institusi militer melalui fungsi perbantuan dalam kondisi damai, seperti tercermin dalam lahirnya UU no 17/2011 tentang Intelijen Negara, dan UU no 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Selain itu, semangat yang sama tercermin dalam beberapa rancangan undang-undang yang sampai saat ini masih dalam pembahasan di DPR, seperti RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, RUU Hukum Disiplin Militer, dan RUU Keamanan Nasional. Dengan demikian, mungkin pemilu kali ini adalah saat yang tepat untuk mengubah lanskap, memberi harapan baru bagi perbaikan kondisi Hak Asasi Manusia dengan membuka ruang bagi generasi yang lebih baru. Generasi yang di kakinya tidak lagi melekat rantai beban keterlibatan dengan berbagai peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Pada generasi baru inilah, transisi yang belum usai mungkin mendapat napas baru untuk dituntaskan, dan agenda mewujudkan perlindungan HAM yang lebih baik, lebih realistis untuk ditumpukan. Indriaswati D.S Direktur Eksekutif ELSAM laporan utama Platform HAM Partai-Partai Peserta Pemilu Oleh Irawan Saptono (Direktur Eksekutif ISAI) A pakah isu hak asasi manusia (HAM), terutama isu kejahatan HAM berat di masa lalu, masih merupakan isu yang diperhatikan partai-partai politik menjelang Pemilu 2014? Partai-partai mengusung isu kesejahteraan rakyat, kesehatan dan pendidikan cuma-cuma, kredit murah petani, serta anggaran pro rakyat. Itu semua juga isu hak asasi manusia, yang digolongkan dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Tetapi, tiada platform perjuangan partai-partai yang mencoba berpaling kepada kejahatan HAM masa lalu. Sebagian partai yang berlaga malah berusaha membuang jauh-jauh isu itu. Berikut sikap politik dan platform perjuangan partai-partai yang berlaga di Pemilu 2014 terhadap isu kejahatan HAM di masa lalu. (1) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) PDIP diprediksi menang dalam Pemilu Legislatif 2014, namun sejauh mana keinginan partai ini untuk menegakkan HAM? PDIP dan Megawati Soekarnopurti adalah salah satu korban pelanggaran HAM. Ia disingkirkan dari panggung politik oleh rezim Soeharto, para pendukungnya dianiaya, dibunuh dan dihilangkan di seputar Peristiwa 27 Juli 1996. Namun setelah ia berkuasa, ia tak mampu berbuat apa-apa untuk mengusut peristiwa-peristiwa kejahatan HAM di masa lalu. Human Rights Watch, pada Januari 2003 atau setengah tahun setelah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, memerintah menggantikan Presiden Abdurahman Wahid, menulis laporan: “Meski berhasil menciptakan kestabilan politik, namun Presiden Megawati dinilai gagal menegakkan hak asasi manusia (HAM) dan memberantas korupsi di Indonesia. Kegagalan penegakan hak asasi manusia ini terutama terkait dengan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer. Selain itu, juga telah terjadi peningkatan kasus penyiksaan terhadap warga sipil di daerah konflik, seperti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Meski selama satu setengah tahun pemerintahan Presiden Megawati berhasil menciptakan stabilitas politik, tapi dia gagal dalam menegakkan HAM. Kegagalan Megawati tercermin dalam berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer, kekerasan terhadap para pembela HAM, meluasnya korupsi, dan kekerasan dalam konflik di Aceh, Papua, serta Maluku. Dalam kasus pelanggaran HAM Timor Leste, pemerintah dianggap berlaku setengah hati dalam menindak para pelakunya. Sejauh ini, hanya personil militer dan dua orang Timor Leste yang dijatuhi hukuman penjara”. Todung Mulya Lubis, salah seorang pegiat HAM terkemuka menulis di majalah Tempo, 1 Oktober 2001 berjudul “Megawati dan HAM”. Dia mengkritik Presiden Megawati karena tidak melakukan upaya maksimal untuk menegakkan HAM, terutama kejahatan HAM berat di masa lalu. Tetapi, pada Pemilihan Presiden 2009, Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, pensiunan jendral yang banyak dikaitkan dengan kejahatan HAM di dekade sebelumnya, memuat isu HAM dalam visi dan misinya. Pada dokumen visi dan misinya, calon Presiden Megawati dan calon Wakil Presiden Prabowo Subianto menyatakan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM baru pada tingkat wacana dan retorika meski sudah tersedia institusi HAM, seperti Komnas HAM, dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang HAM. Secara umum Megawati-Prabowo melihat fakta bahwa pasca reformasi pelaksanaan HAM yang berkembang masih sebatas pada hak sipil-politik warga untuk lebih bebas berekspresi dan berpartisipasi. Sementara hak sosial, ekonomi dan budaya warga ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 05 masih belum dipenuhi secara maksimal, terutama hak atas pekerjaan dan tempat tinggal. Oleh karenanya Megawati-Prabowo bertekad memenuhi hak warga atas pekerjaan dan perumahan, sehingga pelaksanaan HAM di Indonesia lebih utuh dan seimbang. Keputusan Megawati mengajak Prabowo dalam Pemilihan Presiden 2009 ditanggapi negatif ketua Ikatan Orang Hilang (Ikohi) Mugiyanto. Ia kecewa dan mengatakan: “Saya sangat kecewa dengan PDIP yang memutuskan menjadikan Prabowo Subianto sebagai Cawapres-nya Megawati, karena sebelumnya kami berharap bahwa PDIP masih memiliki komitmen, walaupun sedikit, dalam penegakan hak asasi manusia. Indikasi yang terakhir sebelum pemilu 2009 adalah ketika PDIP sangat antusias menghidupkan kembali Panitia Khusus (Pansus) Penghilangan Paksa di DPR pada bulan September 2008. Sebagaimana diketahui, PDIP sebagai partai yang lahir dari rahim perjuangan menentang Orde Baru, bahkan beberapa pimpinannya sendiri adalah korban kebijakan politik Orde Baru, mustinya memiliki keberpihakan terhadap para sesama korban Orde Baru. Dan korban Orde Baru adalah juga para wong cilik, yang selama ini diklaim sebagai konstituen PDIP. Oleh karena itu, klaim PDIP sebagai representasi orang kecil, orang miskin, orang tertindas menurut saya telah dikhianati begitu PDIP menjadikan Prabowo Subianto sebagai Cawapresnya Megawati.” Dalam dokumen-dokumen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), seperti Piagam Perjuangan, Anggaran Dasar, dan Dasa Prasetiya, kata hak asasi manusia hanya ditemukan sekali. Dasa Prasteiya adalah arah umum program yang dijadikan Doktrin Perjuangan, dan disahkan dalam Kongres III PDIP tahun 2010. Dasa merupakan pelengkap Program Perjuangan Partai, yang disebut Trias Dinamika Partai. Dasa ke-10 menyatakan bahwa PDIP akan menegakkan dan menjunjung tinggi asas keadilan dan hak asasi manusia. Namun tidak disebutkan apakah PDIP akan menegakkan keadilan hak asasi manusia, terutama kejahatan-kejahatan HAM berat di masa lalu. Dasa-dasa lainnya sebagian besar berkomitmen pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti menjaga kebhinekaan, gotong royong, mufakat, hak rakyat untuk makmur, pembaruan agraria, menyediakan perumahan, bebas biaya kesehatan dan pendidikan, dan lain-lain. Berikut ini Dasa Prasetiya PDI Perjuangan: 1. 2. Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, serta menjaga kebhinekaan bangsa; Memperkokoh budaya gotong royong dalam memecahkan masalah bersama; ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 06 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 3. Memperkuat ekonomi Rakyat melalui penataan sistem produksi, reforma agraria, pemberian proteksi, perluasan akses pasar dan permodalan; 4. Menyediakan pangan dan perumahan yang sehat dan layak bagi Rakyat; 5. Membebaskan biaya berobat dan biaya pendidikan bagi Rakyat; 6. Memberikan pelayanan umum secara pasti, cepat dan murah; 7. Melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta menerapkan aturan tata ruang secara konsisten; 8. Mereformasi birokrasi pemerintahan dalam membangun tata pemerintahan yang baik, bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme; 9. M e n e g a k k a n p r i n s i p - p r i n s i p d e m o k r a s i partisipatoris dalam proses pengambilan keputusan; 10. Menegakkan hukum dengan menjujung tinggi azas keadilan dan hak asasi manusia. Tetapi jika dilihat dari sikap politik para politisi PDIP, baik yang di parlemen maupun yang di kepengurusan komitmen pembasmian kejahatan HAM cukup signifikan. Misalnya, Ketua DPP PDIP Bidang Hukum, Trimedya Panjaitan, dalam kedudukannya sebagai anggota DPR RI mendukung rencana pemerintah meratifikasi Statuta Roma, yakni statuta tentang International Criminal Court (ICC), agar penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM berat bisa lebih cepat. Menurut Trimedya, statuta tersebut bisa menjadi stimulus bagi pemerintah menyelesaikan berbagai status kekerasan HAM di Indonesia. Statuta Roma adalah statuta tentang Mahkamah Pidana Internasional yang mengatur tentang kewenangan untuk mengadili kejahatan HAM berat. Kejahatan itu adalah genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression). Ratifikasi Statuta Roma merupakan mekanisme sistem keadilan internasional untuk mengakhiri impunitas peristiwa-peristiwa kejahatan HAM yang berat. Di pihak lain, untuk mencegah terjadinya peristiwa kejahatan HAM berat di masa yang akan datang. Trimedya menjelaskan: Statuta Roma juga bisa menjadi dorongan pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc. Menurutnya, Hal tersebut berbanding lurus dengan rekomendasi DPR agar penyelesaian kasus HAM di Indonesia, yang diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc. Ratifikasi Statuta Roma laporan utama ICC juga tidak akan mengganggu kedaulatan hukum Indonesia. Meskipun nantinya Indonesia akan terikat peraturan hukum internasional, namun penyelesaian HAM bisa diselesaikan dengan hukum Indonesia. Ratifikasi ini bisa lebih menekan Indonesia membentuk pengadilan HAM ad hoc.1 Agung Putri Astrid, seorang aktivis HAM, juga bergabung dengan PDIP. Ia pernah menjadi Direktur ELSAM, kini Ketua Departemen Hukum dan HAM di Dewan Pimpinan Pusat PDIP. Ia mencalonkan diri sebagai anggota DPR pada Pemilu 2014 dari Bali. Ia memiliki komitmen memperjuangkan perundangundangan yang akan melindungi HAM terutama yang bisa melindungi hak-hak perempuan. (2) Partai Golongan Karya (Golkar) Partai Golongan Karya adalah partai yang selama berkuasa, terjadi banyak pelanggaran HAM berat. Bersama-sama Orde Baru, orde yang dipimpin Jendral Soeharto, menindas musuh-musuhnya. Dari 1965 hingga 1998 kekuasaan Golkar, sudah sekian banyak pelanggaran HAM berat dilakukan, dan tidak semua pelakunya dibawa ke pengadilan. Pelaku pelanggaran HAM pembantaian orang Timor Timur (1999) dan Tanjung Priok (1984) dibawa ke pengadilan setelah Orde Baru kehilangan kekuasaan, tetapi mereka bebas. Golkar berubah nama menjadi Partai Golkar dan bukan lagi partai penguasa sejak Pemilu 1999. Suasana berganti dan Golkar juga mengubah paradigmanya, semacam pertobatan. Partai ini masih kuat, masih merupakan partai papan atas. Pemilu 2014 diprediksi oleh survei-survei pemilih akan bersaing ketat dengan PDIP. Partai Golkar mengubah garis perjuangannya pada 2000 setelah mendeklarasikan dokumen partai yang berjudul: “Paradigma Baru Partai Golkar”. Paradigma Baru diputuskan dalam Keputusan Rapim IV Partai Golkar pada 2000. Hal yang berkaitan dengan komitmen HAM Golkar adalah sebagai berikut: “Golkar adalah partai yang berkomitmen pada penegakan hukum, keadilan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai partai politik yang hidup di negara yang berdasarkan hukum, maka Golkar senantiasa mengupayakan terwujudnya supremasi hukum di segala bidang. Komitmen pada penegakan hukum, keadilan, dan hak-hak asasi manusia ditempatkan sebagai pilar utama dalam rangka mewujudkan pemerintahan dan tata kehidupan bernegara yang demokratis, konstitusional dan berdasarkan hukum.... Selanjutnya, Partai Golkar mengutamakan pembangunan hukum untuk keadilan dan tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kerangka ini, maka harus diupayakan tegaknya supremasi hukum karena Indonesia adalah Negara hukum. Lebih daripada itu, supremasi hukum harus ditempatkan sebagai pilar utama dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang demokratis, konstitusional dan berdasarkan hukum. Partai Golkar memandang bahwa reformasi hukum tidak terbatas pada penyempurnaan sarana dan prasarana, materi dan aparatur hukum, tetapi juga pembangunan budaya hukum. Penegakan dan pemajuan HAM merupakan unsur penting dalam penghormatan harkat dan martabat kemanusiaan.” Paradigma Baru Golkar juga memuat komitmen pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan hakhak sipil. Paradigma Baru itu menyatakan sebagai partai yang berwawasan kesejahteraan rakyat, maka Partai Golkar berjuang untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan, yakni sistem ekonomi yang yang berpihak pada usaha kecil, menengah, dan koperasi tanpa menafikan tumbuhnya sistem ekonomi konglomerasi yang tidak monopolistik; mengusahakan ketersediaan bahan kebutuhan pokok rakyat dengan harga yang serba terjangkau; mengurangi pengangguran dengan perluasan lapangan kerja; memperjuangkan upah minimum regional (UMR) yang memadai, dan jaminan kerja; serta meningkatkan akses ekonomi rakyat. Partai Golkar juga mengembangkan prinsip nonsektarian dan antisektarianisme, dan karena itu juga nondiskriminasi dan antidiskriminasi. Tetapi sejauh mana komitmen partai yang selama berkuasa terlalu banyak melakukan pelanggaran HAM ini? Dalam masa kampanye Pemilu Legislatif 2014 Golkar justru kembali menyatakan bahwa mereka adalah partai Orde Baru. Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, menyatakan kader Partai Golkar dan anggota organisasi massa yang berafiliasi di dalamnya untuk tidak malu mengakui bahwa Partai Golkar berjaya pada era Orde Baru. Bakrie meminta mereka berbangga terhadap masa kepemimpinan Jendral Soeharto. Bakrie mengatakan: "Kalau ada orang tanya, Anda Orde Baru? Jawab, Ya." Bakrie juga menyatakan hal serupa dalam kampanye-kampanye Golkar di daerah. (3) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Gerindra adalah partai yang didirikan dan dipimpin Letnan Jendral Prabowo Subianto. Dia banyak dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat, seperti pelanggaran HAM di Timor Timur, penghilangan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 07 paksa sejumlah aktivis dan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Bagaimana sikap Gerindra terhadap penuntasan peristiwa pelanggaran HAM berat sangat menarik. Platform perjuangan partai ini menolak Pengadilan HAM. Dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya, penolakan tersebut ditulis secara eksplisit. Argumentasinya, hak asasi manusia adalah materi hukum sehingga tidak diperlukan hukum tersendiri yang mengatur tentang hak asasi manusia. Berikut kutipan argumentasi tersebut: “Warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh negara dapat menggugat negara dan pejabatnya secara hukum. Hak-hak asasi manusia adalah materi sistem hukum. Jika hak-hak asasi manusia belum secara lengkap tercermin dalam hukum positif, maka sistem hukumnya yang harus disempurnakan. Hal ini diperlukan untuk menghindari kerancuan sistem. Karena itu, diperlukan klarifikasi kedudukan hak-hak asasi manusia di satu pihak, dan sistem hukum pada pihak lain. Hak-hak asasi manusia yang bersifat universal seharusnya mempertimbangkan partikularisme budaya dan kepentingan nasional. Negara menegakkan kemanusiaan yang beradab. Warga negara terhadap hukum, tidak diperlakukan sebagai subyek yang secara potensial pelaku perbuatan pelanggaran hukum. Negara menghargai kesetiaan rakyat terhadap negara dan amal bakti warga terhadap masyarakat dan negara. Warga negara harus menghormati perjanjian luhurnya kepada negara sebagai organisasi. Siapa saja yang berikrar menjadi bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus menghormati hak negara. Negara menghormati hakhak pribadi warga negara sesuai dengan hukum. Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig (berlebihan). Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia harus ditempatkan dalam perspektif hukum. Hukum disusun antara lain untuk mengatur bagaimana warga negara menjalankan hak-haknya sebagai pribadi. Hak-hak warga negara secara pribadi tak dapat dijalankan di luar hukum. Negara sebagai organisasi berjalan sesuai hukum. Warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh negara dapat menggugat negara dan pejabatnya secara hukum.Hak-hak asasi manusia adalah materi sistem hukum. Jika hak-hak asasi manusia belum secara lengkap tercermin dalam hukum positif, maka sistem hukumnya yang harus disempurnakan. Hal ini diperlukan untuk menghindari kerancuan sistem. Karena itu, diperlukan klarifikasi kedudukan hak-hak asasi manusia di satu pihak, dan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 08 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 sistem hukum pada pihak lain. Hak-hak asasi manusia yang bersifat universal seharusnya mempertimbangkan partikularisme budaya dan kepentingan nasional.”. Namun demikian, bertentangan dengan argumentasi tersebut, dalam platform itu dinyatakan bahwa “Partai Gerindra berkomitmen untuk berjuang dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang dimandatkan dalam UUD 1945 demi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Bagaimana perjuangan pemenuhan HAM dicapai dengan mengabaikan instrumen-instrumen HAM, di mana perbuatan pelanggaran HAM adalah kejahatan menurut hukum domestik dan internasional? Artinya, jika Gerindra berkuasa, partai ini akan menghapus semua produk hukum nasional tentang HAM dan menolak kerjasama pemajuan HAM internasional. Di bagian lain plafform Gerinda disebutkan, partai ini mendukung pemurnian agama. Pemurnian agama dalam praktek di lapangan menimbulkan tindak kekerasan dan intoleransi yang bermuara pada pelanggaran HAM. (4) Partai Demokrat Partai Demokrat adalah penguasa dua periode pemerintahan. Partai ini dua kali memenangkan Pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dua kali. Dalam dokumen partai berjudul Manifesto Politik dan Platform Perjuangan Partai Demokrat, partai ini mencantumkan perjuangan penegakan HAM adalah hal yang penting. Pada 2013, Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, mendeklarasikan 10 Poin Pakta Integritas yang mempertegas lagi Manifesto Politik dan Platform Pejuangan Partai Demokrat. (5) Partai Hanura Partai Hati Nurani Rakyat didirikan oleh Jendral Wiranto, mantan Panglima ABRI. Wiranto juga banyak dikaitkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM terutama kasuskasus ketika ia menjabat sebagai Panglima ABRI, yakni kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (1999) dan kasus penembakan para mahasiswa Universitas Tri Sakti dan Kerusuhan Mei 1998. Namun demikian, Wiranto tidak pernah secara formal diselidiki atau bahkan dinyatakan diberhentikan dari jabatannya karena kasus-kasus pelanggaran HAM. Berbeda dengan Letjen Prabowo yang diberhentikan karena menculik sejumlah aktivis mahasiswa dan politik. Maka, jika dilihat dari platform partainya, Hanura masif permisif terhadap komitmen penegakan HAM. Dalam dokumen perjuangannya, Hanura menyatakan antara lain: “Mendorong terwujudnya rasa keadilan dengan terlaksananya sistem hukum yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Mendorong dan memperjuangkan tegaknya HAM sesuai dengan Deklarasi HAM 1948.” laporan utama (6) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) PKS adalah partai Islam yang sebagian aktivis pendirinya dulu menjadi korban pelanggaran HAM Orde Baru. Komitmen HAM PKS cukup jelas, tidak ambivalen, karena PKS memang tidak memiliki beban pelanggaran HAM di masa lalu. Platform HAM PKS adalah: “Pemerintah, partai politik, dan militer harus berkomitmen untuk ikut serta dalam pembangunan masyarakat melalui kerangka demokratisasi. Pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Hisbah (kontrol publik berupa amar ma'ruf nahi munkar) merupakan bentuk kebebasan berekspresi telah terbukti menjadi alat kontrol yang efektif bagi para penguasa. Penindakan hukum yang tegas, namun menghormati asas keadilan dan due process of law. Membuat aturan pelaksanaan dalam upaya implementasi seluruh materi HAM dalam konstitusi dan undang-undang menjadi aplikatif. Melakukan revisi terhadap semua peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai, bertentangan atau berpotensi bertentangan dengan materi HAM dalam konstitusi. Memperhitungkan perlindungan HAM dal am semua kebijakan pemerintah. Memastikan pemerintah memberikan ruang kebebasan berekspresi, yang diberlakukan bukan saja sebagai hak asasi warga negara, tetapi juga sebagai kewajiban warga negara. Mengoptimalkan posisi Republik Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dalam menciptakan perdamaian dunia, serta memastikan terjaminnya perlindungan HAM di tingkat internasional tanpa pandang bulu”. (7) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) PKB didirikan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur). Dengan demikian, jelas bahwa komitmen HAM partai ini tidak diragukan lagi. Gus Dur adalah aktivis HAM di zaman Orde Baru. Ketika menjadi Presiden RI, ia meminta maaf atas apa yang dialami orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) sekitar 1965-1966. Basis PKB adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang ketika terjadi pembantain terhadap orang-orang PKI di seputar 19651966, mereka dilibatkan oleh tentara. Dalam platform partai yang diberi judul Mabda Syasi disebutkan perjuangan HAM PKB : ”Cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur sejahtera lahir dan batin, bermartabat dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain didunia, serta mampu mewujudkan suatu pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia menuju tercapainya kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, keadilan sosial dan menjamin terpenuhinya hak asasi manusia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Bagi Partai Kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya yang mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan bersumber pada hati nurani (as-shidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-amanah wa al-wafa-u bi al-ahdli), bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al'adalah), tolong menolong dalam kebajikan (al-ta'awun) serta konsisten menjalankan ketentuan yang telah disepakati bersama (al-istiqomah) musyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial (al-syuro) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya dan persamaan kedudukan setiap warga negara didepan hukum (al-musawa) adalah prinsip dasar yang harus ditegakkan”. Untuk mencapai tujuan perjuangan itu maka misi utama yang dijalankan Partai Kebangkitan Bangsa adalah tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan batin, yang setiap warganya mampu mengejawantahkan nilai-nilai kemanusiaannya. Hal itu meliputi, terpeliharanya jiwa raga, terpenuhinya kemerdekaan, terpenuhinya hak-hak dasar manusia seperti pangan, sandang, dan papan, hak atas penghidupan/ perlindungan pekerjaan, hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari penganiayaan (hifdzu al-Nafs), terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan agama (hifdzu al-din), terpeliharanya akal dan jaminan atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (hifdzu al-Aql), terpeliharanya keturunan, jaminan atas perlindungan masa depan generasi penerus (hifdzu alnasl) dan terpeliharanya harta benda (hifdzu al-mal). Misi ini ditempuh dengan pendekatan amar ma'ruf nahi munkar, yakni menyerukan kebajikan serta mencegah segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung kemungkaran. (8) Partai Amanat Nasional (PAN) Pada 1998, ketika PAN didirikan oleh Amien Rais dan kawan-kawan, salah satu bunyi platform-nya adalah referendum bagi rakyat Timor Timur. Ini menjadi kenyataan setahun sesudahnya, pada September 1999, ketika Presiden Habibie menyetujui referendum. Hasilnya provinsi itu merdeka. Komitmen HAM PAN sangat jelas. Berikut komitmen HAM PAN dalam platform-nya: ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 09 “Memperjuangkan untuk penegakan hukum tanpa diskriminasi. Seluruh masyarakat harus mendapat akses pada sistem peradilan yang independen, adil dan murah. Pemerintah harus menciptakan pra-kondisi yang memberi kemungkinan yang luas bagi warga negara untuk mengembangkan hak-hak individu dan kewajiban sosial-politiknya secara wajar. Seluruh masyarakat harus mendapat akses pada sistem peradilan yang independen, adil dan murah. Memperjuangkan pemberlakuan hak asasi manusia yang universal dan mendukung pelaksanaan konvensi PBB mengenai hak asasi manusia. Pemerintah harus segera menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang masih pending dalam proses pengadilan yang fair dan terbuka.” memerintahkan pengambilalihan kantor DPP PDI yang dikuasai para pendukung PDI pro Megawati Soekarnoputri. Dalam pengambilalihan itu terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM berat. Tetapi kasusnya tidak diusut sampai sekarang. PKPI memiliki platform perjuangan HAM yang tertuang dalam visi-misinya yakni ”Mewujudkan keadilan, kesejahteraan sosial dan hakhak politik rakyat untuk mewujudkan peri-kehidupan yang adil, beradab, berbudaya dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM); Memperkokoh persatuan yang nyata dalam tatanan masyarakat majemuk melalui peri kehidupan yang adil, setara, merata dan tidak diskriminatif; Mewujudkan masyarakat kewargaan (civil society) yang kuat, sehat, cerdas, professional, beradab (civilized society) dan bersih (clean society) melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan serta penciptaan kesempatan kerja dalam rangka pengentasan kemiskinan.” (9) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) PPP adalah partai yang cukup besar di zaman Orde Baru. Sekarang menjadi partai papan tengah dan menurut survei-survei pemilih menjelang Pemilu 2014, suaranya turun drastis. Dulu PPP bersikap kritis terhadap tindakan-tindakan keras melanggar HAM yang dilakukan Orde Baru atas para aktivis Islam. Berikut ini platform perjuangan HAM partai Islam ini: “PPP memiliki prinsip perjuangan yang mengandung nilai-nilai hak asasi manusia dalam upaya penghormatan terhadap hak-hak publik, yaitu: (1) persamaan derajat kemanusiaan; (2) kemerdekaan atau kebebasan dengan pertanggungjawaban moral dan hukum di dunia dan akhirat; (3) persaudaraan antar manusia; (4) keadilan yang berintikan pemenuhan hak-hak manusia berdasarkan prinsip dan rasa keadilan; dan (5), setiap warga masyarakat berhak atas partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama”. (10) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Partai ini didirikan Surya Paloh dan pertama kali ikut Pemilu pada Pemilu 2014. Merupakan pecahan Partai Golkar. Partai ini dikenal dengan platform yang diberi nama Restorasi Indonesia. Penegakan HAM adalah salah satu bagian kecil dari visi Restorasi Indonesia. (11) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Partai ini diketuai oleh Letnan Jendral (Purn) Sutiyoso, merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan dan Persatuan yang tidak lolos batas ambang minimum perolehan suara dalam Pemilu 1999. Sutiyoso adalah mantan Panglima Kodam Jaya yang pada 27 Juli 1996 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 10 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 (12) Partai Bulan Bintang Partai Bulan Bintang (PBB) adalah partai berasas Islam. Partai ini berdiri pada 1998, saat reformasi politik terjadi setelah jatuhnya Soeharto, sebagai penerus Partai Masyumi, yang dibubarkan Presiden Soekarno. Tokohtokoh PBB antara lain Yusril Ihza Mahendra dan MS Kaban. Partai ini memperjuangkan Syariat Islam dalam sistem hukum Indonesia.Dalam dokumen berjudul Tafsir Asas Partai Bulan Bintang, PBB merujuk pada ajaran Islam. Dalam dokumen ini, PBB menghormati harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan. Semua manusia pada hakikatnya duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Satu-satunya yang membedakan seorang manusia dengan yang lain adalah ketakwaan dan kedekatan dirinya kepada Allah. Karena itu, warga PBB menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Kewajiban menghormati HAM merupakan kewajiban setiap orang, lembaga, negara, organisasi, partai, maupun badan internasional. Warga PBB berjuang untuk menegakkan HAM agar setiap orang dapat hidup aman dan sentosa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam platform PBB, partai ini juga mengusung pemenuhan hak-hal sosial, ekonomi, dan budaya serta hakhak sipil dan politik. Keterangan 1 “Basmi Kekerasan HAM, PDIP Dukung Ratifikasi Statuta Roma ICC,” Liputan6.com, 14 Maret 2013. laporan utama Rekam Jejak Partai-Partai Politik Peserta Pemilu 2014 dalam Pemajuan HAM Oleh Irawan Saptono (Direktur Eksekutif ISAI) R ekam jejak partai-partai politik peserta Rekomendasi Pansus DPR RI: Presiden SBY lakukan Pemilu 2014 dalam upaya pemajuan HAM Obstruction of Justice” Berikut ini isi pernyataannya: setidaknya bisa ditelisik dari sikap dan Dua tahun pengabaian Presiden Susilo Bambang tindakan para anggota fraksi di DPR dan Yudhyono (SBY) atas rekomendasi DPR RI untuk p engurus partai. Partai Demokrasi Indonesia kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Perjuangan (PDIP) yang mendeklarasikan diri 1997/1998 adalah tindakan yang tidak bisa sebagai partai oposisi (walaupun dalam sistem ditoleransi akal sehat. Pada 30 September 2009, presidensiil oposisi tidak dikenal) merupakan partai DPR RI telah mengirimkan surat resmi kepada yang gencar menuntut penyelesaian kasus-kasus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mereka juga menindaklanjuti 4 (empat) rekomendasi Panitia gencar menuntut pemenuhan hak-hak dasar warga Khusus (Pansus) DPR RI mengenai kasus negara, seperti hak akan pangan dan papan yang Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998. murah, dan menolak pencabutan subsidi bahan bakar Rekomendasi tersebut meminta Presiden SBY minyak. dan institusi pemerintah yang terkait untuk; Eva Kusuma Sundari, anggota DPR membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, melakukan pengkritik pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia pencarian terhadap 13 (tigabelas) orang korban terus mengkritik Presiden Susilo Bambang yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan Yudhoyono yang dianggapnya tidak punya komitmen kompensasi kepada keluarga korban yang hilang politik dalam menyelesaikan sejumlah kasus dan meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua menyangkut HAM, seperti yang sudah Orang dari Penghilangan Paksa. direkomendasikan DPR. Pada 30 September 2009, Pengabaian selama dua tahun adalah bentuk DPR RI berkirim surat kepada Presiden Susilo obstruction of justice dari seorang kepala negara, B a m b a n g Yu d h o y o n o a g a r p e m e r i n t a h Presiden SBY dengan sengaja mengulur waktu menindaklanjuti empat rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI mengenai kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis di seputar 19971998. Rekomendasi tersebut meminta Presiden dan institusi pemerintah terkait untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc, melakukan pencarian terhadap tiga belas orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Eva, bersama Trimedya Panjaitan, Korban dan Keluarga Korban Penculikan dan Penghilangan Paksa, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Korban Penghilangan Paksa Indonesia (IKOHI), Effendi Simbolon (Ketua Pansus DPR RI Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998) politisi PDIP, Darmayanto (Wakil Ketua Pansus DPR RI Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998), Nasir Jamil (Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Yahdil Abdi Harahap (Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Amanat Nasional), dan Ahmad Yani (Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Persatuan Pembangun) menandatangani pernyataan yang Belasan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) provokatif. Judul pernyataan ini: “Pengabaian menggelar aksi untuk memilih caleg yang bersih dari pelanggaran HAM (sumber:gresnews.com) ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 11 dan menghalangi korban dan keluarga korban penculika n d a n p enghilangan paksa untuk mendapatkan kebenaran (truth) keadilan (justice) dan pemulihan (redress) sesegera mungkin. Presiden SBY harusnya menyadari dan taat hukum, bahwa rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk kasuskasus pelanggaran HAM berat adalah mandat konstitusional yang diatur dalam pasal 43 ayat (2) UU No 26 tahun 2000 te n tang pengadilan HAM ad hoc, bahwa pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM berat dibentuk atas usulan DPR RI kepada Presiden. Pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan paksa adalah kejahatan yang berkelanjutan (continuing crime), selama para korban belum ditemukan maka selama itu pula negara melakuka n kejahatan kem a nusiaan terhadap para korban. Alasan politik apapun tidak dibenarkan untuk menghalangi korban dan keluarga k orban mendapatkan hak-haknya. Stabilitas politik dan kekuasaan yang dibangun tidak boleh menggadaikan hak-hak para korban kejahatan negara, sebagai kepala negara Presiden SBY harus berdiri diatas hukum dan kepentingan rakyat, bukan justru gentar terhadap ancaman politik dari kelompok atau golongan yang tidak menginginkan kasus ini diselesaikan secara adil dan bermartabat. Dalam momentum 2 tahun rekomendasi Pansus DPR RI untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa, kami mendesak: Pertama, Presiden SBY segera membentuk Tim Pencarian 13 korban yang masih hilang dan menggerakkan semua lembaga dan institusi negara terkait untuk menindaklanjuti 4 (empat) rekomendasi Pansus DPR RI. Kedua, DPR RI segera mengambil langkah yang efektif dan konstitusional untuk mempertanyakan dan mendesak Presiden SBY agar menindaklanjuti e m pat rekome n dasi DPR RI . Jakarta, 28 September 2011. Ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2012 mengumumkan hasil penyelidikannya tentang peristiwa 1965, PDIP meminta agar pemerintah segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Permintaan ini dinyatakan Eva Kusuma Sundari juga. Menurut Eva, jika pemerintah tidak menindaklanjuti, para korban dan keluarganya bisa membawa kasus tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Hingga sekarang Pemerintah Susilo B a m b a n g Yu d h o y o n o t i d a k m e r e s p o n rekomendasi Komnas HAM. Walaupun platform Partai Golkar tentang penegakan Hak Asasi Manusia sangat ideal, namun sebagai partai yang di masa kejayaannya banyak melakukan pelanggaran HAM, Partai Golkar defensif terhadap upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM di masa lalu. Sikap defensif ini tampak ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 12 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 pada 2012 mengumumkan hasil penyelidikannya tentang peristiwa 1965. Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang meluas dan sistemik. Komnas HAM menemukan bukti telah terjadi sembilan dari sepuluh perbuatan yang tergolong kejahatan pelanggaran HAM berat sesuai UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sepuluh perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid. Kesimpulan penyelidikan ini didapat dari 340 berita acara pemeriksaaan dan ratusan bukti dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan dalam kurun empat tahun sejak 2008. Hasil penyelidikan diserahkan ke Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012. Kejaksaan Agunglah yang berwenang melakukan penyidikan. Atas hasil penyelidikan ini, Partai Golkar memberika n respon negatif. Respon neg a tif disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Leo Nababan yang mengatakan bahwa rekomendasi Komnas HAM yang menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa itu tak perlu diteruskan ke pengadilan HAM dan meminta agar desakan pemulihan hak-hak politik para korban dan keluarga peristiwa 1965 dihentikan. Menurut Nababan, masih ada Tap MPRS Nomor 1966 tentang ajaran komunis yang belum dicabut dan itu bisa dijadikan dasar antikomunis di Indonesia. Ditambahkannya, sejumlah ormas yang tergabung dalam Front Pancasila akan siap menolak tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM ini. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golongan Karya, Priyo Budi Santoso juga menolak hasil penyelidikan Komnas HAM. Menurut Priyo Budi Sant o so , pelanggara n HAM pada masa lalu sebaiknya diposisikan sebagai semangat untuk menolak terjadinya kembali hal yang sama. Menurut Priyo, membuka sejarah lama ini tidak akan menyelesaikan masalah. Ia menganjurkan Komnas HAM untuk berkonsentrasi mengurus kasus-kasus pelanggaran HAM sejak reformasi 1998. Baginya, Peristiwa 1965, tidak perlu diungkit sebab itu menimbulkan reaksi yang tidak enak. Permintaan Golkar agar Komnas HAM hanya menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM setelah reformasi tentu saja hanya menguntungkannya. Pertama, karena pelanggaran-pelanggaran HAM berat terjadi di masa kekuasaan Golkar. Kedua, dengan hanya fokus menyelidiki pelanggaranpelanggaran HAM pasca reformasi Golkar akan terbebas dari pengusutan karena tidak lagi berkuasa. Ini semua tidak sesuai dengan Paradigma Baru Partai Golkar yang dideklarasikan pada 2000. laporan utama Tabel 1. Sikap Partai Politik terhadap Hasil Penyelidikan Komnas HAM tentang Peristiwa 1965 Partai Demokrat Sikap “Terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu, sebaiknya ada rekonsiliasi. Kalau memang ada kewajiban pemerintah untuk minta maaf, dengan dasar yang jelas, terukur, tidak ada salahnya minta maaf, asal jelas dulu persoalannya. Mempermasalahkan kasus pelanggaran HAM masa lalu merupakan kemunduran pemikiran. Kasusnya sudah hampir setengah abad. Masa kita masih berpikirnya mundur sejauh itu, orang-orangnya (para pelakunya) juga tidak tahu ke mana, sudah banyak yang mati. Apa yang mau diadili.“ (Marzuki Ali, Ketua DPR, Fraksi Demokrat). “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa serta-merta meminta maaf atas peristiwa 1965 yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keluarganya.” (Djoko Suyanto, Menkopolkam, Pengurus DPP Partai Demokrat) Golkar PDI Menolak hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM tentang Peristiwa 1965-1966. “Penyelesaian kejahatan HAM 1965/1966 seharusnya dapat diselesaikan secara politik dan kemanusiaan. Salah satu caranya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat pernyataan permohonan maaf kepada para korban kejahatan HAM 1965/1966. Selain itu, Presiden harus merehabilitasi mereka yang telah dan masih menjadi tahanan politik akibat peristiwa 1965/1966 dan memberikan ganti rugi atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Presiden juga harus menggelar forum rekonsiliasi bangsa. Para pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut bisa saling bermaaf-maafan dan menghapuskan dendam sejarah sehingga bangsa ini dapat segera melanjutkan pembangunan ke arah yang lebih baik.” (Ahmad Basarah, anggota DPR Fraksi PDIP, Wakil Sekjen PDIP) PKB Tidak ada. PAN “Komisi Hukum DPR mendesak pemerintah melalui Kejagung menuntaskan kasus HAM berat di masa lalu. Kalangan anggota Komisi III DPR tak bisa menerima alasan Kejagung belum menuntaskan kasus-kasus itu karena kesulitan menemukan bukti. Kalau tidak diingatkan, kasus-kasus tersebut tidak akan pernah tuntas. DPR juga sudah merekomendasikan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan Presiden SBY sudah terlanjur berjanji. Mesti segera dituntaskan, ingat negara-negara di dunia memperhatikan keseriusan pemerintah Indonesia.” (Taslim Chaniago, Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Amanat Nasional) Gerindra Tidak ada. Hanura Tidak ada. PKS “Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil secara tidak langsung mendukung rekomendasi Komnas HAM agar pemerintah menindak lanjuti rekomendasi Komnas HAM karena tidak ada kemauan semua pihak, terutama pemerintah, untuk menyelesaikan kasus HAM. Kalaupun ada rekomendasi dari DPR ke presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc, DPR tidak dalam posisi menuntut agar rekomendasi itu dilaksanakan oleh presiden. Seharusnya DPR menagih dan menuntut ke presiden. Namun, karena semua sudah disandera oleh kepentingan-kepentingan politik, akhirnya gerak anggota DPR pun tidak leluasa. Lebih lanjut ia mengatakan, mungkin banyak dari anggota DPR yang menganggap bahwa untuk apa mengurus orang mati, yang hidup saja sulit. Akibatnya, tidak ada desakan kuat ke presiden. Atau ada kekhawatiran dari beberapa pihak, bahwa jika dibentuk Pengadilan HAM ad hoc ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 13 PKS akan terjadi blunder, gejolak politik, dan mengancam kelompok tertentu. Seharusnya, Indonesia memiliki keberanian untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, baik lewat pengadilan atau cara lainnya guna memberikan dampak positif dan pemulihan bagi para korban sekaligus menjadi pembelajaran agar kasus serupa tidak terulang. Ia berharap DPR sebagai penyeimbang, tidak hanya memberikan rekomendasi tapi bagaimana mendesak presiden agar mengeluarkan Keppres untuk kepentingan bangsa. Jangan dibayang-bayangi kekhawatiran, kepentingan kelompok.” Sikap Gerindra terhadap pelanggaran HAM seputar 1998 yang melibatkan pendirinya, Prabowo Subianto juga sangat defensif. Dalam platform perjuangannya, partai ini menolak Pengadilan HAM dan berusaha meredusir substansi pelanggaran HAM dalam bagian tidak penting dalam sistem hukum Indonesia. Fadli Zon, salah satu pengurus Gerindra, dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa kasus penculikan aktivis yang melibatkan Ketua Dewan Pembina Gerindra, Prabowo, sudah selesai dan Prabowo sudah bertanggung jawab. Ia juga mengatakan dalam berbagai forum bahwa kasus kerusuhan Mei 1998 tidak dianggap penting oleh pemilih berdasarkan hasil survei pemilih. Demokrat merupakan partai berkuasa yang berhati-hati dalam masalah penyelesaian HAM. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan pengusutan kasus pembunuhan Munir, walaupun pengadilan gagal membuktikan siapa dalang pembunuhan aktivis HAM itu. Para anggota DPR dari Demokrat juga tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mendorong pemerintahan yang mereka kuasai selama 10 tahun untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Terkait Pemerintahan pasca Pemilu 2014, jika pemerintahan dikuasai PDI Perjuangan, akankah kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu terselesaikan? Kita menaruh harapan pada PDI Perjuangan dan pemerintahan Jokowi, yang memiliki peluang besar jadi presiden, untuk menuntaskannya. Keterangan 1 “Wasekjen Golkar Minta Rekomendasi Kasus HAM 1965 Ditolak” Beritasatu.com, 22 Agustus 2012. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 14 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 INGAT !!! UNTUK MEMIMPIN BUKAN BERKUASA laporannasional utama Agenda Prioritas Penyelesaian HAM DPR RI Hasil Pemilu 2014 Oleh Irawan Saptono (Direktur Eksekutif ISAI) S etidaknya ada tiga prioritas penyelesaian masalah HAM yang harus dilakukan DPR RI yang akan terbentuk dari hasil Pemilu Legislatif 2014, yakni: (1) mendesak kembali pelaksanaan empat rekomendasi DPR kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tentang penyelesaian penghilangan orang secara paksa, (2) mendesak Pemerintah menjalankan rekomendasi Komisi Nasional HAM tentang penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat 1965/1966, dan (3) penyelesaian tahanan politik Papua. Pada 30 September 2009, Pansus DPR mengeluarkan empat rekomendasi untuk dijalankan Presiden atas kasus penghilangan orang secara paksa. Namun, hingga 2014, rekomendasi itu tidak dijalankan.. Keempat rekomendasi tersebut adalah: (1) Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; (2) Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang; (3) Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang; dan (4) Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin memiliki beban masa lalu untuk meyelesaikan penghilangan aktivis di seputar 1997-1998, pasalnya pada tahun-tahun itu ia adalah perwira tinggi di Markas Besar ABRI. Pansus pernah berjanji untuk menggunakan hak interpelasi, yakni hak untuk meminta keterangan kepada Presiden, mengapa Presiden mengabaikan rekomendasi Pansus. Namun mungkin isu ini dianggap tidak memiliki bobot politik yang kuat, sehingga sampai 2014 menjelang berakhirnya masa tugas DPR periode 2009-2014, hak interpelasi tidak dijalankan. Jika Presiden RI periode 2014-2019 adalah Jokowi, bukan calon-calon lain yang terkait dengan beban masa lalu, maka akan lebih mudah bagi DPR untuk mendesakkan kembali empat rekomendasi penyelesaian kasus penghilangan paksa ini. Agenda ini harus menjadi agenda HAM hari pertama Komisi I DPR periode 2014-2019. Jokowi memahami kasus Dok poto: Putra Bagus penghilangan orang secara paksa ini. Ia mengenal Wiji Thukul, penyair asal Solo, anggota Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), organisasi yang berpayung pada Partai Rakyat Demokratik (PRD). Thukul adalah salah satu korban penghilangan orang secara paksa. Dalam perjalanan ke Solo di dalam pesawat, ia pernah sepesawat dengan Wahyu Susilo, adik Thukul. Ia menghampiri Wahyu Susilo dan menyampaikan bahwa ia tidak akan lupa dengan Thukul. Koalisi dengan Partai Gerindra dalam pemilihan Gubernur Jakarta, menurut Jokowi, disebabkan PDI Perjuangan tidak bisa mencalonkan gubernur sendirian karena kekurangan jumlah kursi. Maka, rekomendasi DPR kepada presiden, jika Jokowi yang menjadi Presiden RI, tidak sulit untuk dijalankan, karena komitmen Jokowi terhadap korban penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Prioritas kedua DPR periode mendatang adalah membantu hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa pelanggaran HAM seputar 1965-1966. Pada Juli 2012, Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikan dan menyampaikan dua rekomendasi. Hasil penyelidikan itu adalah terdapatnya bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM, diantaranya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan (persekusi), penghilangan orang secara paksa. Dari temuan bukti-bukti itu Komnas HAM menyampaikan dua rekomendasi. Pertama, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan melakukan penyidikan. Kedua, sesuai dengan ketentuan pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 15 Isu HAM bukan untuk memenangkan atau menggagalkan capres tertentu. Isu HAM dibutuhkan untuk mengawal proses politik agar lebih berhati nurani, bermartabat, dan berperikemanusiaan,” (Mimin Dwi Hartono: penyelidik Komnas HAM) sumber www.http://nefosnews.com/ Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Namun kedua rekomendasi itu tidak dijalankan pemerintah. Rekomendasi pertama, Kejaksaan Agung yang memiliki kewenangan penyidikan dan penuntutan, mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM. Dan pada akhirnya mempetieskan kasus ini. Rekomendasi kedua, Presiden tidak sedikitpun merespon, apalagi menjalankannya. Ini agenda yang cukup berat untuk DPR periode 2014-2019, mengingat resistensi partai-partai di dalam DPR sendiri sangat kuat. Partai Golkar dan Demokrat sudah menolak hasil penyelidikan ini. Kemungkinan partai-partai yang memiliki beban masa lalu dengan peristiwa 1965 juga akan menolak mendorong pemerintah menjalankannya. Partaipartai itu antara lain Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, Partai Hanura dan PKPI. Tetapi jika PDIP, yang menyambut baik hasil penyelidikan Komnas HAM ini gencar mendesakkan agenda ini tersebut kepada pemerintah, bukan mustahil pemerintah yang kemungkinan besar akan dikuasai PDIP akan menjalankannya, setidaknya menjalankan rekomendsi kedua. Namun tantangannya cukup kuat, di luar parlemen, kekuatan yang akan menentang implementasi rekomendasi Komnas HAM ini sangat kuat, antara lain Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi massa pemudanya Gerakan Pemuda Ansor, dan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 16 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gerakan Pemuda Ansor sudah menolak rekomendasi Komnas HAM segera setelah Komnas mengumumkan hasilnya. Prioritas ketiga adalah pembebasan narapidana politik dan tahanan politik. Indonesia adalah negara demokrasi, tetapi memiliki narapidana politik (Napol) dan tahanan politik (Tapol). Dalam praktek politik, tidak ada negara demokrasi yang mengadili warga negaranya karena menyatakan ekspresi politiknya secara damai. Sekarang ini, negara memenjarakan Napol dan Tapol dari Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat. Sebagian besar diadili dengan tuduhan makar karena melakukan aksi menuntut pemisahan diri dengan cara damai (pengibaran Bendera RSM di Ambon dan Bendera Bintang Kejora di Papua dan Papua Barat) dari Indonesia dan sebagian kecil lainnya karena aksi-aksi kekerasan. Lembaga hak asasi manusia internasional terus-menerus mengecam pemenjaraan aksi-aksi damai menuntut pemisahan diri, terutama di Papua dan Papua Barat. Indonesia dituduh melakukan pelanggaran HAM dan menindas hak-hak politik dan kebebasan berekspresi warganegaranya sendiri. Terdapatnya tahanan politik (Tapol/ mereka yang masih menunggu upaya hukum) dan narapidana politik (Napol/ mereka yang sudah menjalani hukuman yang sudah berkekuatan tetap) yang dipenjara karena aksi non-kekerasan merupakan salah satu pelanggaran HAM. Adanya Tapol/Napol di Papua merupakan indikasi bahwa demokrasi dan penghormatan HAM belum berjalan sebagaimana mestinya. Pendekatan hukum masih digunakan untuk mengatasi masalah-masalah politik. Di Papua terdapat 48 Tapol/Napol. Sebagian besar bersikeras bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran hukum. Grasi akan diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun mereka menolak mengajukan grasi karena mereka merasa tidak bersalah. DPR periode mendatang setidaknya bisa mencari jalan lain pembebasan tahanan politik Papua dengan menghindari grasi. monitoringnasional sidang laporan utama Golput, Masihkah Relevan? Oleh Otto Adi Yulianto (Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan ELSAM) B juga relatif lebih dimungkinkan. Partai politik, termasuk yang baru, dapat mengikuti Pemilu sejauh memenuhi persyaratan dalam undang-undang. Penyelenggaraan Pemilu juga berlangsung secara lebih baik, bebas, dan fair. Dalam Pemilu saat ini, meski sebelumnya merupakan partai penguasa, belum tentu partai tersebut akan tetap menjadi partai pemenang Pemilu, seperti Golkar di masa Orde Baru. Usaha untuk bertindak curang demi memenangi Pemilu, bisa jadi ada. Namun kontrol publik kini sudah berkembang dan lebih bebas, seiring dengan pembangunan kelembagaan serta perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Partai peserta Pemilu, terutama partai penguasa, tidak bisa lagi seleluasa dulu bila hendak bertindak curang. Siapa yang akan menjadi partai pemenang dalam Pemilu yang akan datang, juga berapa banyak perolehan suaranya, kini hanya bisa diprediksi atau dikira-kira, tanpa bisa dipastikan. Survei diperlukan demi meyakinkan perkiraan. Semuanya masih serba belum pasti. Hasilnya bisa jadi berbeda dari yang diprediksikan, apalagi diharapkan. Dengan situasikondisi kelembagaan Pemilu yang kini sudah jauh berbeda dan lebih baik dibanding masa Orde Baru, mengapa gagasan/pilihan untuk menjadi Golput Konteks Kelahiran Golput dalam Pemilu mendatang masih tetap tumbuh, 1 Di masa Orde Baru, Golput lahir dan menjadi pilihan bahkan berkembang? karena institusi Pemilu dinilai bermasalah. Yang saat itu berlangsung sejatinya bukanlah Pemilu, tetapi Keterwakilan Politik yang Bermasalah seolah-olah Pemilu, atau Pemilu seolah-olah. “Pemilu” di masa itu merupakan ritual lima tahunan Menurut pendapat pengamat maupun hasil survei, untuk melegitimasi pemerintahan Jenderal Soeharto. jumlah Golput dalam Pemilu 2014 diprediksi masih relatif Sejak awal pelaksanaan, Golkar sebagai partai besar, lebih dari 30%. Tingginya angka Golput ini penguasa sudah dapat dipastikan akan menjadi merupakan akibat dari masih kuatnya ketidakpercayaan pemenang. Sementara partai lainnya - yang dibatasi publik kepada tokoh maupun partai peserta Pemilu, dan dikerucutkan menjadi dua, yakni PPP dan selain penilaian pemilih bahwa keikutsertaan dalam PDIhanya menjadi ornamen/hiasan pendamping, Pemilu tidak menghasilkan perubahan dan penyelenggaraan Pemilu tidak berkorelasi positif dengan sekadar supaya Pemilu seolah demokratis. 2 Tanpa perlu melakukan survei seperti yang peningkatan kesejahteraan warga. Sulit untuk disangkal, meski situasi-kondisi saat ini marak, perolehan suara Golkar dalam Pemilu di masa itu sudah bisa dipastikan di atas 2/3 dari (institusi) Pemilu di masa reformasi sudah relatif lebih jumlah suara pemilih. Pasca Pemilu, DPR (DPR/MPR) baik bila dibanding masa Orde Baru, namun ternyata yang dihasilkan juga sudah bisa dipastikan akan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dihasilkannya memilih Jenderal Soeharto sebagai presiden. (masih) menyisakan pelbagai masalah. Dari persoalan Selanjutnya, DPR yang normatifnya sebagai institusi kedisiplinan dan keseriusan anggota DPR dalam penyeimbang dan pengontrol eksekutif, sudah bisa mengikuti sidang hingga relatif banyaknya anggota dipastikan akan menjadi (sekadar) lembaga pemberi DPR yang terjerat kasus korupsi maupun skandal stempel “setuju” bagi kebijakan eksekutif/pemerintah lainnya. Juga, relatif banyaknya produk legislasi yang di bawah Jenderal Soeharto. Bila semuanya sudah masih menuai protes serta pengajuan judicial review, seperti UU Penamanan Modal, UU Sistem Pendidikan serba pasti seperti itu, lantas buat apa (ikut) memilih? Saat ini, institusi Pemilu relatif jauh lebih baik Nasional, UU Perkebunan, UU Penanganan Konflik bila dibanding masa Orde Baru. Pendirian partai politik Sosial, UU Organisasi Kemasyarakatan, dsb. uruknya persepsi dan penilaian publik atas situasi-kondisi lembaga perwakilan dan partai politik selama ini telah memicu dan menjadi alasan bagi sebagian warga untuk memilih tidak memilih, atau menjadi Golput (golongan putih = tidak memilih), dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif mendatang. Golput memang merupakan hak, dan pernah populer sebagai pilihan para aktivis di masa Orde Baru. Persepsi dan penilaian publik tersebut juga tidak keliru. Sejumlah bukti, dari persoalan korupsi anggota DPR hingga pembuatan regulasi yang tidak nyambung dengan kepentingan dan aspirasi warga, termasuk dalam persoalan HAM, yang menimbulkan protes publik maupun pengajuan judicial review, dapat dengan mudah dipaparkan untuk menguatkan persepsi dan penilaian tersebut. Dengan begitu, apakah kemudian menjadi Golput dalam Pemilu mendatang (masih) relevan sebagai pilihan? Sebagai pilihan, apakah Golput cukup strategis, atau setidaknya dapat memberikan efek/kontribusi yang signifikan bagi perbaikan situasikondisi yang dikritiknya, termasuk dalam hubungannya dengan penghormatan HAM? ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 17 Berbeda dengan Pemilu di masa Orde Baru, persoalan Pemilu di masa reformasi ini bukan pada aspek penyelenggaraannya, namun pada hasilnya. Jadi, persoalan utamanya bukan bagaimana agar Pemilu berlangsung baik, bebas dan fair, meski hal ini juga penting, namun bagaimana agar Pemilu yang sudah berjalan relatif baik, bebas, dan fair ini hasilnya (baik dari segi output, outcome, maupun dampak) juga nyambung dengan kepentingan dan aspirasi publik, menghasilkan perubahan, dan peningkatan kesejahteraan warga. Pemilu yang secara prosedural kini sudah menjadi jauh lebih baik, ternyata masih belum berhasil memberikan makna dalam menghadirkan “demokrasi yang substansial.” Mengapa? Problemnya bukan terletak pada aspek penyelenggaraan Pemilu -seperti yang terjadi di masa Orde Baru-namun pada kualitas keterwakilan politik yang dihasilkannya. Mereka yang dicalonkan dan terpilih untuk duduk di lembaga-lembaga perwakilan cenderung masih didominasi oleh “orangorang buruk”, yang lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya dibanding kepentingan dan aspirasi warga, termasuk dalam hubungannya dengan pemajuan/penghormatan HAM. Saat ini, perbaikan keterwakilan politik sangat dibutuhkan dan dimungkinkan. Perbaikan keterwakilan politik dapat menepis lahirnya produk legislasi yang tidak nyambung dengan kepentingan dan aspirasi warga, apalagi bertentangan dengan prinsip HAM. Sebaliknya, dapat menjadi sarana memperbesar peluang untuk menanam dan mengarusutamakan HAM dalam kebijakan maupun regulasi negara. Sementara membiarkan orangorang buruk menguasai lembaga perwakilan akan membuat situasi-kondisi HAM cenderung (terus) mengalami defisit. Dalam situasi-kondisi Pemilu yang sudah berlangsung baik, meski merupakan hak, memilih Golput justru dapat kontraproduktif bagi perbaikan keterwakilan politik. Memilih Golput, yang tidak berusaha memajukan dan memilih calon yang baik, dapat memberi peluang bagi orang-orang buruk untuk semakin leluasa menguasai dan mendominasi lembaga-lembaga perwakilan dan proses pengambilan keputusan di dalamnya. Selama ini, orang memilih Golput karena dilandasi penilaian bahwa para calon anggota lembaga perwakilan yang ditawarkan dalam Pemilu tidak mempunyai kualitas keutamaan yang sepadan untuk mengisi lembaga terhormat tersebut. Kalaupun ada calon yang baikseorang yang punya kualitas keutamaan yang memadai, termasuk komitmennya pada HAMsejauh tidak memiliki modal finansial yang cukup, mereka dinilai akan sulit terpilih menjadi anggota DPR. Kalaupun kemudian ada yang berhasil terpilih, mereka belum tentu mampu menghadapi arus dominan dalam partai dan parlemen yang dinilai masih dalam situasi-kondisi yang buruk. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 18 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 Di sisi lain, orang-orang baik, yang punya kualitas keutamaan memadai untuk dipilih menjadi anggota lembaga perwakilan, justru malah (masih) kurang berminat, dan minim dukungan, untuk ikut berkompetisi dalam Pemilu agar selanjutnya dapat mengisi dan mewarnai lembaga-lembaga perwakilan. Padahal sebelumnya mereka aktif terlibat dalam usaha perbaikan kelembagaan Pemilu, seperti mengusahakan agar Pemilu dapat berlangsung secara lebih baik, bebas, dan fair. Setelah lembaga Pemilu mengalami perbaikan, mereka malah cenderung tidak memanfaatkannya, lebih memilih meninggalkan arena, dan menyerahkannya pada partai politik dan orang-orang yang ada, yang kemudian terbukti tidak mewakili kepentingan dan aspirasi warga. Kalaupun ada yang berusaha mengisi, mereka masih belum bisa mewarnai secara signifikan, terutama karena dari segi jumlah, masih (sangat) minoritas. Memperbaiki Keterwakilan Politik Berbeda dengan yang terjadi di masa Orde Baru, usaha memperbaiki keterwakilan politik melalui Pemilu kini dimungkinkan. Dalam Pemilu saat ini, mereka yang berkelimpahan modal finansial belum tentu akan selalu mendominasi proses tersebut. Modal finansial memang penting, namun modal yang dibutuhkan bagi keberhasilan dalam Pemilu tidak terbatas hanya modal finansial. Modal finansial bukan satu-satunya modal untuk unggul dalam Pemilu Modal lain yang tak kalah pentingnya, yang juga dimungkinkan dimiliki oleh orang-orang baik adalah modal pengetahuan, keahlian, otoritas, dan yang lebih utama lagi adalah dukungan massa yang signifikan, dan menjadikannya sebagai modal politik dalam Pemilu. Strategi untuk mengolah segenap sumber daya atau modal yang dimiliki sehingga menjadi kekuatan politik yang signifikan untuk berlaga dalam Pemilu lebih menentukan daripada sekadar kepemilikan modal finansial. Dalam pemilihan kepala daerah, hal tersebut terlihat dari pengalaman keberhasilan Jokowi yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Keberhasilan Jokowi tidak sekadar memecahkan mitos bahwa mereka yang punya sumber daya atau modal finansial yang besar, bahkan nyaris tak terbatas, yang akan menguasai dan memenangkan politik elektoral. Namun juga membuka mata bahwa politik elektoral ternyata dapat melahirkan pejabat publik yang mampu menjawab kepentingan dan aspirasi warganya. Eksperimen yang lebih terlembaga dalam memperbaiki keterwakilan politik sudah dilakukan Omah Tani di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Organisasi berbasis petani, yang kemudian juga merangkul kelas menengah dan buruh, ini, telah memanfaatkan institusi Pemilu untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi anggotanya. Omah Tani mampu mengolah sumber nasional daya yang mereka miliki dan menyiapkan calon sendiri, baik untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun Pemilu legislatif. Dalam Pilkada di awal 2012 lalu, calon yang mereka siapkan dan usung berhasil terpilih menjadi Bupati Batang periode 2012-2017. Dalam Pemilu 2014 nanti, mereka berupaya untuk mengirimkan anggotanya sebagai calon legislatif lewat partai yang bersedia mengakomodir kepentingan dan aspirasi mereka. Para anggota yang dimajukan sebagai calon legislatif ini dipilih melalui kongres Omah Tani jauhjauh hari. Sebelumnya, dalam Pemilu 2009, salah satu anggotanya berhasil menjadi anggota DPRD Kabupaten Batang dan berperan signifikan, misalnya, dalam mendorong kebijakan agar rumah sakit daerah tidak melakukan diskriminasi kepada pasien dan ibu yang hendak melahirkan dari keluarga miskin, yang kebanyakan berasal dari keluarga petani. berwenang menyusun serta memutuskan pelbagai kebijakan dan regulasi. Kebijakan dan regulasi yang mereka buat akan mengikat dan menentukan kehidupan warga, termasuk bagi mereka yang memilih Golput. Dengan begitu, meninggalkan partisipasi dalam Pemilu dan memilih Golput: masihkah relevan? Keterangan 1. Pengamat politik dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, memprediksi bahwa jumlah Golput dalam Pemilu 2014 di atas 30%. Yakni di kisaran 35% hingga 37%. Sementara, menurut hasil survei Lembaga Riset dan Polling Indonesia, 23,4% responden menyatakan sudah pasti tidak akan memilih, sementara 37% menyatakan masih ragu apakah akan memilih dalam Pemilu 2014 mendatang. Sementara hasil polling Yahoo Indonesia selama 6-10 Februari 2014, 40% responden menyampaikan tidak akan datang untuk memilih dalam Pemilu legislatif dan pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 nanti. Bandingkan dengan jumlah Golput dalam Pilpres 2009 yang sebesar 29% atau sekitar 49 j u t a o r a n g p e m i l i h . L i h a t d a l a m https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/angkagolput-pembaca-yahoo-indonesia-095124289.html. 2. Dari polling Yahoo Indonesia, diketahui bahwa 70% responden tidak ingin memilih, karena tidak percaya dengan tokoh maupun partai politik yang ada saat ini. Sementara 25% responden tidak ingin ikut memilih karena menilai tidak ada perubahan nyata dari keikutsertaan dalam Pemilu. Lihat dalam https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/angkagolput-pembaca-yahoo-indonesia-095124289.html. Kemudian, menurut pengamat politik dan peneliti dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, dalam diskusi bulanan Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWIR), Golput terjadi karena Pemilu dinilai tidak memiliki korelasi positif dengan perbaikan kesejahteraan. Selain juga akibat perilaku buruk elit politik dan kegagalan pemerintah di bidang ekonomi dan penegakan hukum. Lihat dalam http://www.beritasatu.com/pemilu2014-aktualitas/171344tak-berkorelasi-dengan-kesejahteraan-penyebab-tingginyaangka-golput.html Penutup Baik memilih maupun tidak memilih dalam Pemilu, keduanya adalah hak. Sebagai hak, terlebih dalam situasi normal, penikmatannya tidak boleh dilarang ataupun dihambat. Namun sayang kalau hak tersebut hanya sekadar dinikmati, tanpa berusaha menjadikannya sebagai sarana yang efektif dan bermakna untuk memajukan hak-hak lainnya. Keterlibatan dalam Pemilu, dengan memajukan dan memilih calon yang baik, yang mempunyai komitmen memajukan HAM, berarti telah ikut menambah peluang bagi penambahan jumlah orang baik di lembaga perwakilan, yang saat ini masih langka. Memilih calon yang baik dalam Pemilu bukan berarti menjerumuskan mereka dalam kekotoran politik, namun justru menambah kemungkinan bagi perbaikan keterwakilan (dan kultur) politik, termasuk dalam hubungannya dengan penghormatan HAM. Tentunya dengan tetap disertai usaha untuk aktif secara berkelanjutan melakukan pengawalan pasca Pemilu, termasuk memberikan dukungan dan melakukan kontrol publik. Sementara memilih Golput justru mengurangi peluang bagi kemungkinan tersebut. Selain juga membuat para calon yang buruk, terutama para politisi yang selama ini telah membajak institusi demokrasi demi kepentingannya sendiri maupun kelompoknya, akan semakin mudah melenggang masuk ke lembaga-lembaga perwakilan, untuk kemudian membajaknya kembali. Memilih Golputdi mana tidak berusaha terlibat dalam Pemilu, memajukan maupun memilih calon sama artinya dengan meninggalkan arena, yang kini sudah relatif baik, bebas, dan fair. Pilihan ini juga tidak berdampak pada legitimasi Pemilu. Legitimasi politik Pemilu saat ini sudah jauh lebih baik bila dibanding Pemilu di masa Orde Baru. Mereka yang terpilih lewat Pemilu, selanjutnya akan duduk sebagai anggota dewan yang ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 19 nasional Menelisik Pembahasan RUU KUHP Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran: 1 Oleh Zainal Abidin Suatu Kemajuan (Deputi Direktur Pengembangan Sumberdaya HAM ELSAM) Oleh Rina Komaria Santoso P dalamdan RKUHP hanya ada 2 bagian, yakni ketentuan emerintah, melalui Kementerian HukumEkonomi dan HAMSosial (Kepala Seksi Pemajuan Hak-hak Budaya Kementerian Luar Negeri RI) umum (Kemenkum HAM) pada awal tahun 2013 (buku I) dan kejahatan (buku II). RKUHP tidak memberikan menyerahkan Rancangan KUHP (RKUHP) dan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Tim KUHAP (RKUHAP) ke Dewan Perwakilan Rakyat Penyusun RKUHP mengusulkan satu sistem dalam (DPR). Seluruh fraksi di DPR menyetujui untuk membahas merumuskan tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut, kedua RUU tersebut, dan kemudian Komisi III membentuk dengan satu istilah “tindak pidana”. Konsekuensinya, Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan 26 orang dari penggabungan ini menjadikan berbagai 'pelanggaran' berbagai fraksi. Kini, pembahasan masih berlangsung di menjadi 'kejahatan', dan inilah salah satu yang menyebakan tengah sejumlah pandangan yang menarik atau menunda RKUHP 'overkriminalisasi'. Dalam titik inilah, RKUHP tampak disusun tanpa pembahasan hingga terpilihnya anggota DPR baru. Sebagai catatan, RKUHP dan RKUHAP telah menjadi berdasar pada realitas dan perkembangan sosial. Tidak agenda untuk dibahas di DPR sejak tahun 2005,1 namun jelas politik kriminalisasi atau dekriminalisasi, mana masih harus dipertahankan sebagai 'tindak gagal. Dalam Prolegnas 2009-2014, kedua RUU tersebut tindakan Dok poto: yang Putra Bagus pidana' dan mana yang seharusnya dihapuskan sebagai tetap masuk sebagai RUU prioritas yang akan dibahas. Penyerahan RKUHP dan RKUHAP pada awal 'kejahatan'. Dalam RKUHP, hampir seluruh materi dalam tahun 2013 memicu kembali perdebatan di publik. Pertama, KUHP sekarang tetap dicantumkan di dalamnya, dan terkait dengan substansi pengaturannya yang masih memasukkan ketentuan-ketentuan pidana yang saat ini bermasalah, bahkan kini sejumlah lembaga meminta ada di luar KUHP. Akibatnya, terjadi cukup banyak terjadi penarikan, penundaan, atau perbaikan kedua RUU tersebut duplikasi pengaturan. Dalam buku I RKUHP, yang mengatur mengenai terlebih dahulu sebelum dibahas di DPR. Kedua, substansi RKUHP dan RKUHAP yang sangat berat (RKUHP terdiri asas, prinsip, pertanggung jawaban pidana, bentuk-bentuk dari 766 Pasal dan RKUHAP terdiri dari 286 Pasal), akan hukuman, dan sebagainya, juga dalam sejumlah sangat sulit dibahas oleh DPR sekarang mengingat jangka perumusan masih bermasalah. Meski demikian, RKUHP waktu yang ada. Meski akan tetap dibahas, dikhawatirkan memperkenalkan beberapa konsep baru, seperti akan menghasilkan UU yang tidak cukup berkualitas. Tahun pertanggungjawaban pidana perusahaan (corporate 2014 merupakan tahun politik, dan dikhawatirkan DPR tidak criminal responsibility) dan diterapkannya asas 'vicarious liability', dan juga bentuk-bentuk pemidanaan lain yang akan bekerja dengan maksimal. Tulisan ini hanya akan membahas tentang sebelumnya tidak ada di KUHP, yakni kerja sosial. RKUHP mempertahankan hukuman mati sebagai perkembangan pembahasan RKUHP, khususnya terkait dengan sejumlah isu krusial yang diatur dan diperdebatkan hukuman pokok yang bersifat alternatif, setidaknya dalam 15 Pasal. Perkembangan dalam RKUHP, pelaksanaan selama dibahas di DPR. hukuman mati dapat ditunda berdasarkan 'review' oleh Menteri Hukum dan HAM setelah 10 tahun, yang Sekilas Proses Penyusunan dan Isi RKUHP menunjukkan perubahan sikap pemerintah mengenai Melihat kembali perjalanan penyusunan RKUHP dan hukuman mati sekaligus memberikan peluang bagi RKUHAP, telah dimulai sejak lama. Untuk RKUHP, telah terpidana hukuman mati untuk tidak dieksekusi berdasarkan dimulai pada tahun 80an dengan dibentuknya Tim pada perubahan selama menjalani pidana. Meski demikian, Pengkajian untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP masih adanya hukuman mati ini merupakan pengaturan 4 yang bertugas melakukan pengkajian dan membuat yang tidak sesuai dengan HAM. Dalam Buku II, RKUHP mempertahankan tindak RKUHP baru. Tahun 1993, Tim Pengkajian di bawah Koordinasi Departemen Kehakiman juga menghasilkan pidana dalam KUHP saat ini dan berbagai jenis tindak RKUHP baru. Penyusunan RKUHP kembali bergulir saat pidana baru atau yang telah tersebar dalam berbagai UU Muladi menjabat sebagai Menteri Kehakiman, dan lainnya. Tindak pidana 'baru' tersebut misalnya tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap proses peradilan menghasilkan draft RKUHP tahun 2000.2 Rancangan tersebut mendapatkan kritikan dari (salah satunya soal contempt of court), tindak pidana publik, yang kemudian direvisi dan selesai pada akhir tahun terhadap hak asasi manusia, tindak pidana penyiksaan, 2004 serta diserahkan ke Menteri Kehakiman Hamid tindak pidana kesusilaan dan pornografi, tindak pidana Awaluddin. Rancangan KUHP ini juga mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Inilah kritikan, diantaranya substansi pengaturan tentang model yang dianggap oleh perumus sebagai bentuk 5 kejahatan yang berlebihan (overcriminalization). 3 kodifikasi hukum pidana. Mencermati berbagai perumusan tindak pidana Pemerintah kemudian melanjutkan proses perubahan, dan menghasilkan naskah RKUHP tahun 2012, namun tidak dalam RKUHP, pada satu sisi perlu diapresiasi, karena jauh berubah dari naskah tahun 2005. Naskah inilah yang memasukkan tindak pidana yang sebelumnya telah diusulkan oleh masyarakat, misalnya tindak pidana kemudian diserahkan kepada DPR. 6 R K U H P m e n g a t u r s e j u m l a h p e r u b a h a n 'penyiksaan' sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan. fundamental mengenai arah pembaruan hukum pidana di Berbagai kejahatan penyiksaan saat ini masih diadili Indonesia, yang berbeda dengan KUHP saat ini. KUHP saat dengan pasal-pasal tentang 'penganiayaan' yang seringkali ini terdiri dari 3 bagian, yakni bagian umum (buku I), gagal dalam memberikan penghukuman yang setimpal kejahatan (buku II), dan pelanggaran (buku III), sementara kepada para pelakunya. Namun di sisi lain, RKUHP juga ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 20 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 nasional masih bermasalah dalam perumusannya jika dilihat dari norma-norma dan standar HAM. Sejumlah pasal dalam KUHP yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, dimasukkan kembali sebagai tindak pidana. Hal ini seperti pencantuman kembali pasal-pasal hatzai artikelen, misalnya pasal-pasal penghinaan terhadap presiden. Pasal-pasal terkait dengan pelarangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme juga masih ada di bawah Bab tentang Tindak Pidana Keamanan Negara. Berbagai tindak pidana “baru” dalam RKUHP juga terlihat sudah terlalu jauh masuk ke wilayah paling personal yang mengganggu hak privasi warga negara dan mengancam kebebasan sipil (civil liberties). Perumusan dalam RKUHP telah mencampur-aduk moralitas, dosa, adab kesopanan, dengan norma hukum, akibatnya hampir-hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana. Hal lain yang menjadi sorotan adalah adanya Bab tentang “Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia”, yang mengatur 3 jenis kejahatan yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, serta kejahatan penyiksaan. Ketiga jenis kejahatan yang pertama (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang), dalam penjelasannya merujuk pada sejumlah konvensi internasional (di antaranya Konvensi Genosida,7 Konvensi Jenewa,8 dan Konvensi Anti Penyiksaaan), meski perumusannya mengadopsi dari ketentuan dalam Statuta Roma 1998, dan merupakan kejahatan yang masuk dalam kategori 'the most serious crimes'. Selain itu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah diatur dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.9 Merujuk pada salah satu pengaturan dalam kejahatan yang termasuk 'kejahatan serius' tersebut, menunjukkan ketidakjelasan konsep dan konsekuensi dalam RKUHP. Pertama, dari sisi penamaan Bab, penempatan di bawah judul “kejahatan terhadap hak asasi manusia', akan mengulangi kesalahan penamaan kejahatan-kejahatan tersebut sebagai “pelanggaran HAM yang berat” dalam UU No. 26/2000. Penamaan judul bab yang demikian menunjukkan kebingungan menempatkan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan penyiksaan dalam RKUHP. Selain itu, dalam konteks penerjemahan berbagai kejahatan tersebut dari instrumen yang dirujuk, kemudian dirumuskan sebagai tindak pidana dalam RKUHP juga bermasalah.10 Kedua, penempatan berbagai kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang dalam RKUHP, masih menimbulkan perdebatan tentang bagaimana penegakan kejahatan-kejahatan tersebut, yang selama ini berada dalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Hal ini juga terkait dengan bagaimana sesungguhnya RKUHP akan menempatkan kejahatan-kejahatan internasional dalam sistem hukum pidana. Dalam sejumlah pengalaman negara-negara lain, yang melakukan proses pengadopsian kejahatan-kejahatan internasional atau kejahatankejahatan serius ke dalam hukum nasionalnya, ada proses panjang dan perdebatan yang memadai. Misalnya Kanada, Jerman, dan Norwegia adalah negara-negara yang cukup “serius” memikirkan tentang penempatan kejahatankejahatan serius tersebut dalam hukum nasionalnya.11 revisi hukum pidana, namun di sisi lain mengkhawatirkan tentang substansi yang dirumuskan. Banyaknya tindak pidana yang akan diatur dan dinyatakan sebagai kejahatan, dianggap sebagai bagian dari upaya untuk mengontrol perilaku warga negara, bahkan sampai masuk ke dalam ruang-ruang privat, dan mengancam kebebasan sipil. Perdebatan di ruang publik mengemuka, yang justru terkait dengan sejumlah isu yang cukup 'ringan' misalnya, terkait perumusan kejahatan tentang santet. Perdebatan publik pun berkembang agak maju ketika publik mengetahui bahwa ada ketentuan dalam Bab “Zina dan Perbuatan Cabul” yang memasukkan hal baru, yakni akan dipidananya laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dan melakukan persetubuhan. Ketentuan tersebut dianggap telah masuk sangat dalam ke privasi warga negara, terlebih ada ketentuan bahwa pengaduan dapat dilakukan oleh “pihak ketiga”. Sementara, dalam RKUHP masih banyak perumusan dalam berbagai isu yang sebetulnya membutuhkan ruang diskusi dan partisipasi publik yang cukup. Sejumlah ketentuan yang penting untuk dicermati dan didiskusikan secara luas adalah yang terkait dengan larangan penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme, permasalahan hukuman mati, penghinaan presiden, kejahatan yang terkait dengan ketertiban umum, dan sebagainya. Padahal, sejumlah kejahatan yang dirumuskan tersebut adalah tindakan-tindakan yang bersinggungan erat dengan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menjadi bagian dari kebebasan sipil yang harus dilindungi negara. Perdebatan lainnya adalah mengenai metode untuk melakukan reformasi KUHP, apakah akan melanjutkan model kodifikasi atau melalui perubahan secara parsial dan bertahap. Model perubahan secara parsial dan bertahap dianggap sebagai model revisi yang 'masuk akal' daripada membahas keseluruhan perubahan dengan membentuk KUHP baru, tanpa disertai metode pembahasan yang baik di DPR. Merujuk pada jangka waktu yang tersedia dalam pembahasan, 'kualitas' anggota DPR, dan kemungkinan para anggota DPR saat memasuki masa Pemilu, pembahasan menyeluruh untuk perubahan RKUHP tampak 'tidak masuk akal.' Sejumlah organisasi masyarakat sipil merespon pembahasan RKHUP dalam dua hal, yakni terkait dengan subtansi dan metode pembahasan/revisi KUHP. Berbagai rekomendasi tersebut diantaranya; Pemerintah dan DPR tidak memaksakan untuk melakukan re-kodifikasi secara menyeluruh terhadap KUHP yang berlaku saat ini, karena ada potensi memunculkan situasi kekacauan hukum, dan melakukan perubahan berdasarkan model-model yang memungkinkan. Pembaruan politik hukum pidana lebih penting dan diperlukan untuk menjamin perlindungan kebebasan sipil dan kebebasan warga negara, serta pembaruan KUHP harus ditempatkan dalam rangka mengfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara demokratis, bukan sebaliknya menjadi instrumen “penekan” bagi rezim yang berkuasa, dan sedapat mungkin mendekatkannya pada standar baku hukum pidana modern.12 DPR merespon berbagai kritik masyarakat, namun tetap melanjutkan pembahasan RKUHP. Komisi III DPR mengundang berbagai kalangan untuk memberikan masukan tentang RKHUP, baik dari masyarakat sipil, akademisi, dan perwakilan lembaga-lembaga negara. Pada Respon dan Perkembangan Pembahasan RKUHP Oktober 2013, DPR menyatakan seluruh fraksi telah Sesaat ketika RKUHP diserahkan ke DPR dan akan mulai menyelesaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) RKUHP dibahas, publik merespon dengan pro dan kontra. Di satu dan RKUHAP, dan kemudian diserahkan kepada RKUHP hal ini menyetujui bahwa perlu ada penyegeraan dalam Pemerintah. DIM yang dihimpun mencakup, untuk buku kesatu 1704 DIM dan buku kedua 1596 DIM.13 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 21 Kontroversi pembahasan RKUHP tidak berhenti dan masih banyak keberatan dari berbagai lembaga negara14 dan masyarakat sipil.15 Sejumlah ketentuan dalam RKUHP masih bermasalah dan pendeknya jangka waktu pembahasan oleh DPR, dikhawatirkan akan menghasilkan produk KUHP yang buruk dan bermasalah. Permintaan untuk menarik pembahasan RKUHP (dan RKUHAP) kemudian terus mengemuka. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, sejumlah anggota DPR dari Komisi III juga menyatakan pesimis akan mampu menyelesaikan permbahasan RKUHP (dan RKUHAP).16 Merespon berbagai kritikan ini, Wakil Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, yang juga merupakan Ketua Panja, mengakui masih ada perbedaan pandangan dalam pembahasan RUU KUHAP dan KUHP. Ia juga menyatakan bahwa pemerintah, seperti Polri, kejaksaan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu mensinkronkan pandangan. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, meminta Komisi III DPR mendengarkan pandangan dan masukan masyarakat terkait dengan pembahasan kedua RUU itu. Sementara Ketua DPR, Marzuki Alie, menyatakan pembahasan RKUHP dan RKUHAP di DPR harus terus berjalan, namun pembahasan itu harus melibatkan KPK dan pakar hukum progresif lainnya. Anggota Komisi III lainnya, Trimedya Panjaitan, menyatakan bahwa masih terlalu banyak yang perlu dibahas terkait kedua RUU (KUHP serta KUHAP) dan juga penolakan dari berbagai pihak, serta secara substansi terlalu berat untuk dikebut.17 Trimedya menambahkan bahwa dalam RUU tersebut terlalu banyak DIM yang harus dibahas, dan mengingat pendeknya waktu serta berbarengannya dengan waktu pemilu, ia menyatakan pesimistis pembahasannya dapat diselesaikan pada tahun ini.18 Dari pihak pemerintah, Menteri Hukum dan HAM, Amir Sjamsuddin, menyatakan RKUHP dan RKUHAP tidak dapat ditarik pemerintah tanpa persetujuan DPR karena sedang dibahas di Komisi III DPR. Pada bulan Maret 2014, sikap pemerintah melalui pelaksana tugas Dirjen Perundang-undangan Kemhukham, Mualimin Abdi, menyetujui memprioritaskan pembahasan buku I KUHP. Pandangan pemerintah ini berdasarkan alasan masa kerja DPR hanya tersisa sekitar 3 bulan atau kurang dari 100 hari.19 Merujuk pada pandangan ini, pihak Pemerintah tampak tidak lagi memaksakan untuk mencoba menyelesaikan pembahasan RKUHP pada tahun 2014 ini. Menyikapi situasi ini, akan lebih baik jika dilakukan penundaan pembahasan RKUHP di DPR hingga terpilihnya anggota DPR baru hasil pemilu 2014. DPR baru yang akan bekerja 5 tahun ke depan, akan mempunyai waktu yang cukup untuk membahas perubahan RKHUP dengan lebih mendalam, dan mempertimbangkan berbagai masukan masyarakat secara luas. Bagi pemerintah, penundaan pembahasan juga akan memberikan kesempatan untuk memperbaiki berbagai perumusan dalam RKUHP yang selama ini dikritik oleh masyarakat. Keterangan 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Tunda Pembahasan 14. Situasi di DPR saat ini, khususnya para anggotanya yang akan sibuk kampanye dan mengikuti pemilu legislatif, pembahasan RKUHP di DPR tampak tidak dalam situasi yang cukup ideal. Substansi RKUHP yang sedemikian 'berat' merujuk pada 766 pasal dengan total 3300 daftar inventaris masalah, bukan merupakan pekerjaan 'ringan' yang akan selesai dalam waktu kurang dari 3 bulan masa kerja DPR. Model pembahasan RKUHP di DPR yang dilakukan dengan cara yang 'biasa', dengan membentuk Panja dan meminta masukan publik secara terbatas, memang cukup mengkhawatirkan. Terlebih dengan begitu banyaknya substansi ketentuan tentang kejahatan yang akan diatur, yang melingkupi hampir seluruh tindak-tanduk warga negara. Pembahasan RKUHP yang sembarangan, sembrono, dan tidak penuh kehati-hatian hanya akan berimplikasi pada terancamnya kebebasan sipil warga negara. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA 22 ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014 15. 16. 17. 18. 19. Rapat paripurna ke 13 DPR, 1 Februari 2005 menetapkan sebanyak 284 rancangan UU disetujui untuk menjadi prioritas periode 2005‐ 2009, termasuk RKUHP dan RKUHAP. Lihat ELSAM, “Tinjauan Umum Terhadap RKUHP”, ELSAM, 2005. Dokumen dapat diakses di Seri Advokasi RUU KUHP ELSAM di http://advokasi.elsam.or.id/advokasiruu-kuhp/. RUU KUHP mulai disiapkan oleh pemerintah sejak 1982 dan dilengkapi dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) yang dipersiapkan oleh, antara lain, Prof. Oemar Senoadji (alm.), S.H., Prof. R. Soedarto (alm.), S.H., Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., dan Prof. Muladi. Pada 2004 dibentuk Panitia Penyusunan RUU KUHP yang anggotanya meliputi pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), unsur penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung yang diketuai oleh Prof. Muladi. Position Paper, “Ke arah Mana Pembaruan KUHP: Tinjauan Kritis atas RUU KUHP”. ELSAM, 2005. Lihat juga Zainal Abidin, “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP 2005”. ELSAM, 2005. Mengenai kodifikasi dalam RKUHP dapat dilihat dalam buku, “Pembaruan KUHP, Tinjauan Terhadap Gagasan, Konseptualisasi dan Formulasinya”, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007. The International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 9 Desember 1948. Geneva Convention of the 1949 for the Protection of Victims of War, serta Protokol I dan II Kovensi tersebut. Kajian mengenai tindak pidana HAM dalam RKUHP dapat dilihat dialam buku, “Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP.”, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007. Fadillah Agus, “Milestone, Flaws in Draft Penal Code.”, The Jakarta Post, 27 Maret 2014. Lihat Morten Bergsmo, Mad Harlem and Nobuo Hayashi (editors), “Importing Core International Crimes into National Law”, Forum for International Criminal and Humanitarian Law (FICHL), 2010. Kertas Posisi, “Meluruskan Arah Pembaruan KUHP, Catatan Kritis atas RKUHP 2012,” Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2013. www.dpr.go.id , “DPR Serahkah DIM RUU KUHP dan KUHAP” 27 O k t o b e r 2 0 1 3 . S u m b e r : h t t p : / / w w w. d p r. g o . i d / i d / b e r i t a / komisi3/2013/okt/11/6854/dpr-serahkan-dim-ruu-kuhp-dan-kuhap. www.hukumonline.com , “KHN Usul Rancangan KUHAP dan KUHP D i c a b u t ” 1 7 D e s e m b e r 2 0 1 3 . S u m b e r : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b03f8fe57cd/khn-usulrancangan-kuhap-dan-kuhp-dicabut. www.antaranews.com, “DPR Diusulkan Tunda Bahas Revisi UU KUHP”, 11 Februari 2014. Sumber: https://id.berita.yahoo.com/dpr-diusulkantunda-bahas-revisi-uu-kuhp-165031901.html Lihat Medanbisnisdaily.com, “DPR Pesimis Tuntas Bahas RUU KUHAP dan KUHP”, 18 April 2013. www.jppn.com , “DPR Isyaratkan RUU KUHAP DAN KUHP Batal Syah Tahun Ini”, 7 Maret 2014. Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/ 03/07/220507/DPR-Isyaratkan-RUU-KUHAP-&-KUHP-Batal-SahTahun-Iniwww.kompas.com , “Terlalu Banyak Masalah, RUU KUHAP-KUHP Sulit D i r a m p u n g k a n Ta h u n I n i ” , 6 M a r e t 2 0 1 4 . S u m b e r : http://nasional.kompas.com/read/2014/03/06/1048080/Terlalu.Banyak. Masalah.RUU.KUHAP-KUHP.Sulit.Dirampungkan.Tahun.Ini www.detik.com , “Kemenkum Akan Prioritaskan Pembahasan Buku I KUHP”, 5 Maret 2014. Sumber: http://news.detik.com/read/2014/ 03/05/160246/2516305/10/kemenkum-akan-prioritaskan-pembahasanbuku-i-kuhp?9922032 resensi Belajar Demokrasi dari Amerika Latin Oleh Mohamad Zaki Hussein (Program Officer Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan) Judul: Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas Sutradara/Produser: Silvia Leindecker dan Michael Fox Penerbit: PM Press/Estreito Meios Productions, 2008 Durasi: 114 menit S ejak kejatuhan Soeharto, Indonesia sudah Regional, yang anggotanya dipilih oleh komunitas- menggelar tiga kali Pemilu. Dan tidak lama lagi, kita akan menghadapi Pemilu yang keempat. Selama ini, Pemilu tidak banyak berdampak pada perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Padahal Pemilu adalah salah satu pilar demokrasi, yang memiliki arti 'kekuasaan oleh rakyat.' Tetapi, setelah mencoblos pilihannya, rakyat nyaris tidak punya kuasa apa-apa lagi atas Negara. Yang berkuasa hanyalah segelintir elit. Gagasan normatif tentang demokrasi berkontradiksi dengan praktek riil demokrasi. Di Indonesia, yang normatif menyerah pada yang riil. Makna demokrasi tereduksi hanya menjadi seperangkat prosedur, aturan dan institusi, yang tidak bisa mewujudkan 'kekuasaan oleh rakyat' dan perbaikan hidup rakyat. Namun, di belahan dunia lain, upaya mendorong yang riil menuju yang normatif terus dilakukan. Film dokumenter Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas oleh Silvia Leindecker dan Michael Fox, membawa kita ke berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris yang dilakukan di beberapa Negara di benua Amerika. Eksperimen pertama yang ditampilkan film ini adalah sistem anggaran partisipatoris di Brazil. Anggaran partisipatoris pertama kali diterapkan di Porto Alegre pada 1989, setelah Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) memenangkan posisi walikota. Dengan sistem ini, warga bisa berpartisipasi dalam penentuan alokasi anggaran kota untuk kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan sistem ini, Porto Alegre dibagi menjadi 16 'region anggaran.' Di tingkat region, ada Forum Anggaran Regional, sementara di bawahnya, ada komunitas-komunitas ketetanggaan. Adapun di tingkat kota, terdapat Dewan Anggaran Kota (Abers, 2007). Komunitas ketetanggaan menetapkan pospos anggaran (sekolah, kebersihan, dan sebagainya) yang menjadi prioritas mereka. Prioritas ini kemudian dibahas dan diseleksi lagi di Forum Anggaran komunitas ketetanggaan dan pertemuan-pertemuan regional. Adapun Dewan Anggaran Kota, yang anggotanya dipilih oleh pertemuan-pertemuan regional, memutuskan pembagian dana diantara region dan pos-pos anggaran. Pada perkembangannya, dibentuk Forum-Forum Tematik untuk membahas anggaran di hal-hal yang lebih bersifat makro-perkotaan, seperti perencanaan kota, transportasi, dan sebagainya (Abers, 2007). Sistem anggaran partisipatoris bisa dibilang sukses. Di film, terdapat beberapa komentar warga Porto Alegre yang puas dengan sistem ini, karena hasilnya dirasakan oleh mereka, seperti terbangunnya daycare atau tempat daur ulang sampah di komunitas mereka. Sistem ini pun dicoba diterapkan di kota-kota lain. Pada 1997, sistem anggaran partisipatoris diterapkan sampai ke tingkat negara bagian Rio Grande do Sul. Namun, pada 2004, Partai Buruh kehilangan posisi walikota di Porto Alegre. Sejak saat itu, sistem anggaran partisipatoris di Porto Alegre mengalami kemunduran. Eksperimen kedua yang dibahas film ini adalah Dewan Komunal (Consejos Comunales) di Venezuela. Sistem Dewan Komunal diterapkan pada 2006 dengan UU Dewan Komunal, yang diperbaharui pada 2009. Dengan Dewan Komunal, warga bisa menetapkan rencana pembangunan di lingkungan mereka dan mengajukan permintaan dana ke pemerintah. Tiap Dewan Komunal merepresentasikan 150-400 keluarga. Struktur dewan komunal terdiri dari lima unit, yaitu pertemuan komunitas, unit eksekutif, unit anti-korupsi, unit keuangan dan kolektif koordinasi komunitas (Suggett, 2009; Ellner, 2009). Dewan komunal hanyalah salah satu institusi partisipatif di Venezuela. Ada institusiinstitusi partisipatif lainnya di sana, seperti koperasi, anggaran partisipatif, komite kesehatan, dan lain-lain. Selain mengulas eksperimen yang berasal dari inisiatif Negara, film Beyond Elections juga mengulas beberapa eksperimen yang berasal dari inisiatif gerakan sosial. Salah satunya adalah gerakan pengambilalihan pabrik di Argentina sebagai respon terhadap krisis tahun 2001. Di saat itu, pabrik-pabrik ditutup dan PHK merajalela. Jumlah pengangguran dan setengah-menganggur (underemployment) meningkat sampai 35% dari 37 juta penduduk. Lebih dari 60% penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Untuk menyelamatkan hidup mereka, para buruh pun melancarkan gerakan pengambilalihan pabrik. Pada 2005, terdapat lebih dari 200 pabrik yang dikelola buruh, dan lebih dari 55.000 buruh bekerja di pabrik-pabrik ini (Gautreau, 2009). Di dalam pabrik, mereka menerapkan demokrasi dan kesetaraan. Perbedaan gaji antarpekerja dibuat sekecil mungkin. Keputusan diambil berdasarkan prinsip satu orang, satu suarabukan satu saham, satu suara. Hasilnya, kehidupan mereka menjadi lebih baik. Di pabrik Zanon Ceramics yang berubah menjadi Fabricas sin Patrones (Pabrik Tanpa Bos), misalnya, jika sebelumnya, terdapat rata-rata 300 kecelakaan kerjadimana setengahnya adalah kecelakaan seriusdan 1 orang mati per tahun, maka setelah dikelola sendiri oleh para buruhnya, angka ini turun drastis menjadi 33 kecelakaan kecil per tahun. Para buruhnya pun sekarang memiliki akses ke pelayanan kesehatan dan asuransi jiwa (Gautreau, 2009). Pengambilalihan pabrik tidak hanya berdampak positif pada para buruh di pabrik yang diambil, tetapi juga masyarakat luar pabrik. Sebagai contoh, Fabricas sin Patrones menyumbang ratusan meter persegi keramik ke rumah sakit, sekolah, gereja, perpustakaan, dan lain-lain, di Provinsi Neuquén, tempat mereka berada, sebagai tanda terima kasih atas dukungan institusi-institusi tersebut atas perjuangan mereka. Kemudian, Fabricas sin Patrones juga membangun sebuah pusat kesehatan untuk warga sekitar pabrik yang miskin (Gautreau, 2009). Eksperimen-eksperimen lain dari gerakan sosial yang dibahas di film ini adalah koperasi, termasuk koperasi di Amerika Serikat (AS); gerakan 'Kampanye Lain' (La Otra Campaña) yang diluncurkan Zapatista; Gerakan untuk Keadilan di El Barrio (Movement for Justice in El Barrio) di Harlem, New York, yang merupakan bagian dari gerakan 'Kampanye Lain,' dan Gerakan Buruh-Tani Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) di Brazil. Kemudian, film ini juga membahas Majelis Konstitusi di Venezuela, Ekuador dan Bolivia. Selain mengulas berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris, film Beyond Elections juga mengkritik kemunafikan para elit AS yang menuduh beberapa negara Amerika Latin sebagai kediktatoran. Padahal, masalahnya ada di standar demokrasi para elit AS, yang menganggap sebuah negara itu demokratis hanya jika negara tersebut menerima keberadaan pangkalan militer AS dan perusahaan-perusahaan multi-nasional. Demokrasi di AS sendiri bermasalah, karena didominasi oleh korporasi dan dua partai utama di AS serta mengeksklusi sebagian elemen masyarakat, seperti perempuan, kaum non-kulit putih, dan sebagainya. Film ini juga mengkritik watak tidak demokratis dari beberapa organisasi internasional, seperti PBB dan IMF. Karena eksperimen yang dibahas cukup banyak, film ini tidak membahas tiap eksperimen secara mendalam. Oleh sebab itu, kita tidak mendapatkan gambaran yang rinci tentang kerangka kelembagaan dan mekanisme yang ada dalam bentuk-bentuk demokrasi partisipatoris yang dieksperimentasikan. Begitu pula, kita tidak mendapatkan gambaran yang memadai mengenai konteks sosial-politik yang lebih luas dari berbagai eksperimen itu. Namun demikian, di tengah situasi demokrasi yang tidak bermakna di Indonesia, film ini sangat relevan untuk ditonton, karena bisa membuat kita berpikir, bahwa demokrasi yang lebih dekat dengan makna sejatinya sebagai 'kekuasaan oleh rakyat' itu mungkin untuk diwujudkan. Pustaka Tambahan 1Abers, Rebecca. (2007). “Porto Alegre and the Participatory Budget: Civic Education, Politics and the Possibilities for Replication.” Dalam Diane Laberge et al. (Ed.), Building Local and Global Democracy (hlm. 83-98). Kanada: Carold Institute. D i u n d u h d a r i h t t p : / / w w w. c a r o l d . c a / p u b l i c a t i o n s / BLGD/Carold_BuildingDemocracy.pdf. Ellner, Steve. (2009). “A New Model With Rough Edges: Venezuela's Community Councils.” NACLA Report on the A m e r i c a s , 11 J u n i 2 0 0 9 . D i u n d u h d a r i http://venezuelanalysis.com/analysis/4512. Gautreau, Ginette. (2009). “The Rise of Worker Cooperatives in Argentina: Zanon Ceramics laying out the tiles for Argentine socialism.” The Atlantic International Studies Journal, Volume 5, Musim Semi 2009. Diunduh dari http://atlismta.org/onlinejournals/0809-journal-intervention/the-rise-of-workercooperatives-in-argentina/. Suggett, James. (2009). “Venezuela's Reformed Communal Council Law Aims at Increasing Participation.” Venezuelanalysis.com, 25 November 2009. Diunduh dari http://venezuelanalysis.com/news/4951.