layout Asasi Januari Pebruari 2014.cdr

advertisement
PEMILU 2014
DAN PROSPEK PEMAJUAN HAM
di INDONESIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
www.elsam.or.id
daftar isi
editorial
4
P(em)ILU:
Menakar Masa Depan Hak Asasi Manusia
Pemilu kali ini akan menjadi pemilu keempat sejak transisi politik
bergulir di tahun 1998. Pertanyaannya, akankah perhelatan
nasional kali ini dapat benar-benar menjadi momen dimana titik
balik perbaikan kondisi Hak Asasi Manusia diletakkan, ataukah
justru terbaca sebagai Pilu karena absennya komitmen 15 partai
peserta pemilu kali ini.
laporan utama
5 - 16
Platform HAM Partai-partai Peserta Pemilu
kesuksesan pileg ditentukan oleh jumlah partisipasi
pemilh yang bisa sesuai target. Oleh karena itu,
masyarakat yang sudah memiliki hak pilih diharapkan
datang ke TPS pada waktuya
ILUSTRASI (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)
Kolom
nasional
20-22
Menelisik Pembahasan RUU KUHP
Penyerahan RKUHP dan RKUHAP pada awal tahun
2013 memicu kembali perdebatan di publik. Pertama,
terkait dengan substansi pengaturannya yang masih
bermasalah, bahkan kini sejumlah lembaga meminta
penarikan, penundaan, atau perbaikan kedua RUU
tersebut telebih dahulu sebelum dibahas di DPR. Kedua,
subtansi RKUHP dan RKUHAP yang sangat berat
(RKUHP terdiri dari 766 Pasal dan RKUHAP terdiri dari
286 Pasal), akan sangat sulit dibahas oleh DPR sekarang
mengingat jangka waktu yang ada.
resensi
23-24
Belajar Demokrasi dari Amerika Latin
Film dokumenter
Beyond Elections: Redefining
Democracy in the Americas oleh Silvia Leindecker dan
Michael Fox, membawa kita ke berbagai eksperimen
demokrasi partisipatoris yang dilakukan di beberapa
Negara di benua Amerika. Eksperimen pertama yang
ditampilkan film ini adalah sistem anggaran partisipatoris
di Brazil.
Partai-partai mengusung isu kesejahteraan rakyat, kesehatan dan
pendidikan cuma-cuma, kredit murah petani, serta anggaran pro
rakyat. Itu semua juga isu hak asasi manusia, yang digolongkan dalam
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Tetapi, tiada platform
perjuangan partai-partai yang mencoba berpaling kepada kejahatan
HAM masa lalu. Sebagian partai yang berlaga malah berusaha
membuang jauh-jauh isu itu.
Rekam Jejak Partai-Partai Politik Peserta
Pemilu 2014 dalam Pemajuan HAM
Rekam jejak partai-partai politik peserta Pemilu 2014 dalam upaya
pemajuan HAM setidaknya bisa ditelisik dari sikap dan tindakan
para anggota fraksi di DPR dan pengurus partai. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendeklarasikan diri sebagai
partai oposisi (walaupun dalam sistem presidensiil, oposisi tidak
dikenal) merupakan partai yang gencar menuntut penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Agenda Prioritas Penyelesaian HAM
DPR RI Hasil Pemilu 2014
Setidaknya ada tiga prioritas penyelesaian masalah HAM yang
dilakukan DPR RI yang akan terbentuk dari hasil Pemilu Legislatif
2014, yakni: (1) mendesak kembali pelaksanaan empat rekomendasi
DPR kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tentang
penyelesaian penghilangan orang secara paksa, (2) mendesak
Pemerintah menjalankan rekomendasi Komisi Nasional HAM tentang
penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat 1965/1966, dan (3)
penyelesaian tahanan politik Papua.
nasional
17-19
Golput, Masihkah Relevan?
Buruknya persepsi dan penilaian publik atas situasi-kondisi lembaga
perwakilan dan partai politik selama ini telah memicu dan menjadi
alasan bagi sebagian warga untuk memilih tidak memilih, atau
menjadi Golput (golongan putih = tidak memilih), dalam pemilihan
umum (Pemilu) legislatif mendatang. Golput memang merupakan
hak, dan pernah populer sebagai pilihan para aktivis di masa Orde
Baru.
Dari redaksi
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
www.elsam.or.id
Redaksional
Penanggung Jawab:
Indriaswati Dyah Saptaningrum
Pemimpin Redaksi:
Otto Adi Yulianto
Redaktur Pelaksana:
Mohamad Zaki Hussein
Dewan Redaksi:
Mohamad Zaki Hussein, Indriaswati Dyah
Saptaningrum,
Zainal Abidin, Wahyu Wagiman
Redaktur:
Indriaswati D.S, Zainal Abidin, Mohamad
Zaki Hussein, Triana Dyah, Wahyu
Wagiman, Wahyudi Djafar, Otto Adi
Yulianto
Sekretaris Redaksi:
Triana Dyah
Sirkulasi/Distribusi:
Khumaedy
Desain & Tata Letak:
alang-alang
Informasi Kursus HAM untuk Pengacara XVIII
Pada tahun 2014, Kursus Hak Asasi Manusia memasuki angkatan
XVIII. Dengan durasi selama 2 minggu, Peserta akan mempelajari
mengenai Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Instrumen Pokok Hak
Asasi Manusia, serta strategi dan teknik penanganan kasus pelanggaran
hak asasi manusia. Dalam setiap tahunnya ada topik-topik terbaru yang
akan dibahas sesuai dengan perkembangan dan situasi hak asasi
manusia yang terjadi di Indonesia. Kursus ini akan membantu para
pengacara dan pekerja hak asasi manusia untuk memiliki pemahaman
mengenai standar hak asasi manusia serta mekanismenya baik di
tingkat Internasional, regional dan nasional. Serta mempelajari
bagaimana melakukan pembelaan kasus –kasus pelanggaran hak asasi
manusia dengan efektif, dengan menggunakan standar hak asasi
manusia. Sejak awal hingga saat ini, Kursus HAM Pengacara telah
memiliki alumni lebih dari 375 orang yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
Kursus akan dilaksanakan pada tanggal 6 – 20 Mei 2014 di Bogor, Jawa
Barat. Para pengacara dan pekerja hak asasi manusia dari seluruh
wilayah Indonesia dapat mengikuti kursus ini. Kami juga
mengharapkan peserta telah terbiasa melakukan kerja-kerja
penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Peserta dalam
kursus ini hanya 25 orang dengan mempertimbangkan perimbangan
gender dan wilayah. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sdri.
Ikhana Indah melalui email [email protected] atau di
[email protected] Atau ke www.elsam.or.id /t elp. 021 – 7972662;
79192564 / email [email protected].
Penerbit:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM)
Penerbitan didukung oleh:
Alamat Redaksi:
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar
Minggu, Jakarta 12510,
Telepon: (021) 7972662, 79192564
Faximile: (021) 79192519
E-mail: [email protected],
[email protected]
Website: www.elsam.or.id.
Redaksi senang menerima tulisan, saran,
kritik dan komentar dari pembaca. Buletin
ASASI bisa diperoleh secara rutin.
Kirimkan nama dan alamat lengkap ke
redaksi. Kami juga menerima pengganti
biaya cetak dan distribusi berapapun
nilainya. Transfer ke rekening
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat
dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar
Minggu No. 127.00.0412864-9
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
03
editorial
P(em)ILU :
Menakar Masa Depan Hak Asasi Manusia
S
eminggu lagi, nasib warga negara dalam lima
tahun ke depan akan kembali ditentukan
melalui Pemilu. Sebanyak 200 ribu caleg
akan memperebutkan sekurangnya 19 ribu
kursi perwakilan baik di tingkat nasional maupun lokal
(http://bit.ly/1fe4EmH). Untuk representasi di tingkat
nasional, sebanyak 6601 calon akan berebut kursi
DPR RI (http://bit.ly/P9zyTu). Berdasarkan data
proyeksi penduduk BPS, jumlah penduduk Indonesia
di tahun 2013 mencapai 242.013.800
(http://bit.ly/1gH4bdK0). Dari total jumlah penduduk
tersebut, sebanyak 186.569.233 orang tercatat dalam
daftar pemilih tetap, dan akan menyalurkan aspirasi
politiknya melalui sejumlah 545.647 TPS yang
tersebar di seluruh provinsi.
Pemilu kali ini akan menjadi pemilu ke empat
sejak transisi politik bergulir di tahun 1998.
Pertanyaannya, akankah perhelatan nasional kali ini
dapat benar-benar menjadi momen titik balik
perbaikan kondisi Hak Asasi Manusia diletakkan,
ataukah justru terbaca sebagai Pilu karena absennya
komitmen 15 partai peserta pemilu kali ini.
Seperti diuraikan dalam laporan utama edisi
ini, hanya segelintir dari lima belas partai peserta
pemilu yang secara eksplisit menegaskan
komitmennya terhadap Hak Asasi Manusia. Sebagian
besar platform partai absen dari perspektif Hak Asasi
Manusia, bahkan sebagian kecil partai politik justru
menentang dan mencurigai agenda hak asasi
manusia sebagai bentuk politisasi. Padahal masalah
besar terkait Hak Asasi Manusia tak melulu soal
pelanggaran HAM di masa lalu, namun juga
setumpuk masalah besar yang terus-menerus
melingkupi keseharian warga, seperti terekam dalam
observasi @elsamnews di awal tahun 2013
(http://bit.ly/1lxQgto ). Situasi ini juga terekam dalam
peta sebaran pelanggaran HAM yang tersebar di
hampir seluruh provinsi (http://bit.ly/1gTlAkl)
Situasi ini tentu bisa dipotret sebagai satu
ironi, sebab bila tak terlanjur lupa, adalah Hak asasi
Manusia bersama semangat anti KKN yang menjadi
tuntutan utama yang mengiringi lengsernya rejim
Orde Baru di bawah Soeharto pada tahun 1998.
Menjadi ironi karena persis setelah dua kali pemilu,
setumpuk agenda dan pekerjaan rumah untuk
menuntaskan berbagai masalah Hak Asasi Manusia
juga menjadi salah satu rapor merah dari pemerintah
baru yang berkuasa sejak tahun 2004.
Selama dua periode, upaya mendorong
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu terbukti
jalan di tempat. Bukan karena masyarakat sipil dan
korban kurang giat dalam bekerja, melainkan karena
sumber daya politikyang tentu tak dikuasai oleh para
korban dan masyarakat sipil tak punya kehendak
politik yang cukup bahkan untuk memulai langkah
awal penyelesaian. Absennya modalitas politik ini
tentu tak lepas dari realitas masih terus bercokolnya
generasi yang berasal dari rejim terdahulu di pusatANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
04
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
pusat kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif.
Barangkali ini menjawab mengapa formula dan
usulan kebijakan yang paling moderat sekalipun
masih terus dianggap sebagai suatu ancaman bagi
stabilitas politik.
Situasi ini masih ditambah dengan makin
menguatnya peran militer dalam politik, baik secara
langsung sebagai penggerak partai-partai politik
maupun dukungan parlemen atas berbagai agenda
penguatan institusi militer dalam kehidupan sosial
politik. Hal terakhir ini tercermin dalam lahirnya
berbagai undang-undang yang memperluas peran
institusi militer melalui fungsi perbantuan dalam
kondisi damai, seperti tercermin dalam lahirnya UU
no 17/2011 tentang Intelijen Negara, dan UU no
7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Selain
itu, semangat yang sama tercermin dalam beberapa
rancangan undang-undang yang sampai saat ini
masih dalam pembahasan di DPR, seperti RUU
tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara,
RUU Hukum Disiplin Militer, dan RUU Keamanan
Nasional.
Dengan demikian, mungkin pemilu kali ini
adalah saat yang tepat untuk mengubah lanskap,
memberi harapan baru bagi perbaikan kondisi Hak
Asasi Manusia dengan membuka ruang bagi generasi
yang lebih baru. Generasi yang di kakinya tidak lagi
melekat rantai beban keterlibatan dengan berbagai
peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Pada
generasi baru inilah, transisi yang belum usai
mungkin mendapat napas baru untuk dituntaskan,
dan agenda mewujudkan perlindungan HAM yang
lebih baik, lebih realistis untuk ditumpukan.
Indriaswati D.S
Direktur Eksekutif ELSAM
laporan utama
Platform HAM Partai-Partai Peserta Pemilu
Oleh Irawan Saptono
(Direktur Eksekutif ISAI)
A
pakah isu hak asasi manusia (HAM), terutama
isu kejahatan HAM berat di masa lalu, masih
merupakan isu yang diperhatikan partai-partai
politik menjelang Pemilu 2014? Partai-partai
mengusung isu kesejahteraan rakyat, kesehatan dan
pendidikan cuma-cuma, kredit murah petani, serta
anggaran pro rakyat. Itu semua juga isu hak asasi
manusia, yang digolongkan dalam hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya (Ekosob). Tetapi, tiada platform
perjuangan partai-partai yang mencoba berpaling
kepada kejahatan HAM masa lalu. Sebagian partai yang
berlaga malah berusaha membuang jauh-jauh isu itu.
Berikut sikap politik dan platform perjuangan partai-partai
yang berlaga di Pemilu 2014 terhadap isu kejahatan HAM
di masa lalu.
(1) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
PDIP diprediksi menang dalam Pemilu Legislatif 2014,
namun sejauh mana keinginan partai ini untuk
menegakkan HAM? PDIP dan Megawati Soekarnopurti
adalah salah satu korban pelanggaran HAM. Ia
disingkirkan dari panggung politik oleh rezim Soeharto,
para pendukungnya dianiaya, dibunuh dan dihilangkan di
seputar Peristiwa 27 Juli 1996. Namun setelah ia
berkuasa, ia tak mampu berbuat apa-apa untuk
mengusut peristiwa-peristiwa kejahatan HAM di masa
lalu.
Human Rights Watch, pada Januari 2003 atau
setengah tahun setelah Megawati Soekarnoputri, Ketua
Umum PDIP, memerintah menggantikan Presiden
Abdurahman Wahid, menulis laporan:
“Meski berhasil menciptakan kestabilan politik, namun
Presiden Megawati dinilai gagal menegakkan hak asasi
manusia (HAM) dan memberantas korupsi di Indonesia.
Kegagalan penegakan hak asasi manusia ini terutama
terkait dengan pengadilan terhadap para pelaku
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer. Selain itu,
juga telah terjadi peningkatan kasus penyiksaan
terhadap warga sipil di daerah konflik, seperti di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Meski selama satu
setengah tahun pemerintahan Presiden Megawati
berhasil menciptakan stabilitas politik, tapi dia gagal
dalam menegakkan HAM. Kegagalan Megawati
tercermin dalam berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh militer, kekerasan terhadap para
pembela HAM, meluasnya korupsi, dan kekerasan
dalam konflik di Aceh, Papua, serta Maluku. Dalam
kasus pelanggaran HAM Timor Leste, pemerintah
dianggap berlaku setengah hati dalam menindak para
pelakunya. Sejauh ini, hanya personil militer dan dua
orang Timor Leste yang dijatuhi hukuman penjara”.
Todung Mulya Lubis, salah seorang pegiat HAM
terkemuka menulis di majalah Tempo, 1 Oktober 2001
berjudul “Megawati dan HAM”. Dia mengkritik Presiden
Megawati karena tidak melakukan upaya maksimal
untuk menegakkan HAM, terutama kejahatan HAM
berat di masa lalu. Tetapi, pada Pemilihan Presiden
2009, Megawati yang berpasangan dengan Prabowo
Subianto, pensiunan jendral yang banyak dikaitkan
dengan kejahatan HAM di dekade sebelumnya, memuat
isu HAM dalam visi dan misinya.
Pada dokumen visi dan misinya, calon Presiden
Megawati dan calon Wakil Presiden Prabowo Subianto
menyatakan perlindungan dan penghormatan terhadap
HAM baru pada tingkat wacana dan retorika meski
sudah tersedia institusi HAM, seperti Komnas HAM, dan
sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang
HAM. Secara umum Megawati-Prabowo melihat fakta
bahwa pasca reformasi pelaksanaan HAM yang
berkembang masih sebatas pada hak sipil-politik warga
untuk lebih bebas berekspresi dan berpartisipasi.
Sementara hak sosial, ekonomi dan budaya warga
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
05
masih belum dipenuhi secara maksimal, terutama hak
atas pekerjaan dan tempat tinggal. Oleh karenanya
Megawati-Prabowo bertekad memenuhi hak warga atas
pekerjaan dan perumahan, sehingga pelaksanaan HAM
di Indonesia lebih utuh dan seimbang.
Keputusan Megawati mengajak Prabowo
dalam Pemilihan Presiden 2009 ditanggapi negatif ketua
Ikatan Orang Hilang (Ikohi) Mugiyanto. Ia kecewa dan
mengatakan:
“Saya sangat kecewa dengan PDIP yang memutuskan
menjadikan Prabowo Subianto sebagai Cawapres-nya
Megawati, karena sebelumnya kami berharap bahwa
PDIP masih memiliki komitmen, walaupun sedikit,
dalam penegakan hak asasi manusia. Indikasi yang
terakhir sebelum pemilu 2009 adalah ketika PDIP
sangat antusias menghidupkan kembali Panitia
Khusus (Pansus) Penghilangan Paksa di DPR pada
bulan September 2008. Sebagaimana diketahui, PDIP
sebagai partai yang lahir dari rahim perjuangan
menentang Orde Baru, bahkan beberapa pimpinannya
sendiri adalah korban kebijakan politik Orde Baru,
mustinya memiliki keberpihakan terhadap para
sesama korban Orde Baru. Dan korban Orde Baru
adalah juga para wong cilik, yang selama ini diklaim
sebagai konstituen PDIP. Oleh karena itu, klaim PDIP
sebagai representasi orang kecil, orang miskin, orang
tertindas menurut saya telah dikhianati begitu PDIP
menjadikan Prabowo Subianto sebagai Cawapresnya
Megawati.”
Dalam dokumen-dokumen Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), seperti Piagam
Perjuangan, Anggaran Dasar, dan Dasa Prasetiya, kata
hak asasi manusia hanya ditemukan sekali. Dasa
Prasteiya adalah arah umum program yang dijadikan
Doktrin Perjuangan, dan disahkan dalam Kongres III
PDIP tahun 2010. Dasa merupakan pelengkap Program
Perjuangan Partai, yang disebut Trias Dinamika Partai.
Dasa ke-10 menyatakan bahwa PDIP akan menegakkan
dan menjunjung tinggi asas keadilan dan hak asasi
manusia. Namun tidak disebutkan apakah PDIP akan
menegakkan keadilan hak asasi manusia, terutama
kejahatan-kejahatan HAM berat di masa lalu. Dasa-dasa
lainnya sebagian besar berkomitmen pada hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, seperti menjaga
kebhinekaan, gotong royong, mufakat, hak rakyat untuk
makmur, pembaruan agraria, menyediakan perumahan,
bebas biaya kesehatan dan pendidikan, dan lain-lain.
Berikut ini Dasa Prasetiya PDI Perjuangan:
1.
2.
Menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, serta
menjaga kebhinekaan bangsa;
Memperkokoh budaya gotong royong dalam
memecahkan masalah bersama;
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
06
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
3.
Memperkuat ekonomi Rakyat melalui penataan
sistem produksi, reforma agraria, pemberian
proteksi, perluasan akses pasar dan permodalan;
4. Menyediakan pangan dan perumahan yang sehat
dan layak bagi Rakyat;
5. Membebaskan biaya berobat dan biaya pendidikan
bagi Rakyat;
6. Memberikan pelayanan umum secara pasti, cepat
dan murah;
7. Melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya
alam, serta menerapkan aturan tata ruang secara
konsisten;
8. Mereformasi birokrasi pemerintahan dalam
membangun tata pemerintahan yang baik, bebas
dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme;
9. M e n e g a k k a n p r i n s i p - p r i n s i p d e m o k r a s i
partisipatoris dalam proses pengambilan
keputusan;
10. Menegakkan hukum dengan menjujung tinggi azas
keadilan dan hak asasi manusia.
Tetapi jika dilihat dari sikap politik para politisi
PDIP, baik yang di parlemen maupun yang di
kepengurusan komitmen pembasmian kejahatan HAM
cukup signifikan.
Misalnya, Ketua DPP PDIP Bidang Hukum,
Trimedya Panjaitan, dalam kedudukannya sebagai
anggota DPR RI mendukung rencana pemerintah
meratifikasi Statuta Roma, yakni statuta tentang
International Criminal Court (ICC), agar penyelesaian
kasus-kasus kejahatan HAM berat bisa lebih cepat.
Menurut Trimedya, statuta tersebut bisa menjadi stimulus
bagi pemerintah menyelesaikan berbagai status
kekerasan HAM di Indonesia. Statuta Roma adalah
statuta tentang Mahkamah Pidana Internasional yang
mengatur tentang kewenangan untuk mengadili
kejahatan HAM berat. Kejahatan itu adalah genosida (the
crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity), kejahatan perang (war
crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Ratifikasi Statuta Roma merupakan mekanisme
sistem keadilan internasional untuk mengakhiri
impunitas peristiwa-peristiwa kejahatan HAM yang berat.
Di pihak lain, untuk mencegah terjadinya peristiwa
kejahatan HAM berat di masa yang akan datang.
Trimedya menjelaskan:
Statuta Roma juga bisa menjadi dorongan
pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Menurutnya, Hal tersebut berbanding lurus
dengan rekomendasi DPR agar penyelesaian
kasus HAM di Indonesia, yang diselesaikan lewat
pengadilan HAM ad hoc. Ratifikasi Statuta Roma
laporan utama
ICC juga tidak akan mengganggu kedaulatan
hukum Indonesia. Meskipun nantinya Indonesia
akan terikat peraturan hukum internasional,
namun penyelesaian HAM bisa diselesaikan
dengan hukum Indonesia. Ratifikasi ini bisa lebih
menekan Indonesia membentuk pengadilan HAM
ad hoc.1
Agung Putri Astrid, seorang aktivis HAM, juga
bergabung dengan PDIP. Ia pernah menjadi Direktur
ELSAM, kini Ketua Departemen Hukum dan HAM di
Dewan Pimpinan Pusat PDIP. Ia mencalonkan diri
sebagai anggota DPR pada Pemilu 2014 dari Bali. Ia
memiliki komitmen memperjuangkan perundangundangan yang akan melindungi HAM terutama yang
bisa melindungi hak-hak perempuan.
(2) Partai Golongan Karya (Golkar)
Partai Golongan Karya adalah partai yang selama
berkuasa, terjadi banyak pelanggaran HAM berat.
Bersama-sama Orde Baru, orde yang dipimpin Jendral
Soeharto, menindas musuh-musuhnya. Dari 1965
hingga 1998 kekuasaan Golkar, sudah sekian banyak
pelanggaran HAM berat dilakukan, dan tidak semua
pelakunya dibawa ke pengadilan. Pelaku pelanggaran
HAM pembantaian orang Timor Timur (1999) dan
Tanjung Priok (1984) dibawa ke pengadilan setelah Orde
Baru kehilangan kekuasaan, tetapi mereka bebas.
Golkar berubah nama menjadi Partai Golkar dan bukan
lagi partai penguasa sejak Pemilu 1999. Suasana
berganti dan Golkar juga mengubah paradigmanya,
semacam pertobatan. Partai ini masih kuat, masih
merupakan partai papan atas. Pemilu 2014 diprediksi
oleh survei-survei pemilih akan bersaing ketat dengan
PDIP.
Partai Golkar mengubah garis perjuangannya
pada 2000 setelah mendeklarasikan dokumen partai
yang berjudul: “Paradigma Baru Partai Golkar”.
Paradigma Baru diputuskan dalam Keputusan Rapim IV
Partai Golkar pada 2000. Hal yang berkaitan dengan
komitmen HAM Golkar adalah sebagai berikut:
“Golkar adalah partai yang berkomitmen pada
penegakan hukum, keadilan dan hak-hak asasi
manusia. Sebagai partai politik yang hidup di negara
yang berdasarkan hukum, maka Golkar senantiasa
mengupayakan terwujudnya supremasi hukum di
segala bidang. Komitmen pada penegakan hukum,
keadilan, dan hak-hak asasi manusia ditempatkan
sebagai pilar utama dalam rangka mewujudkan
pemerintahan dan tata kehidupan bernegara yang
demokratis, konstitusional dan berdasarkan hukum....
Selanjutnya, Partai Golkar mengutamakan
pembangunan hukum untuk keadilan dan tegaknya Hak
Asasi Manusia (HAM). Dalam kerangka ini, maka harus
diupayakan tegaknya supremasi hukum karena
Indonesia adalah Negara hukum. Lebih daripada itu,
supremasi hukum harus ditempatkan sebagai pilar
utama dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang
demokratis, konstitusional dan berdasarkan hukum.
Partai Golkar memandang bahwa reformasi hukum
tidak terbatas pada penyempurnaan sarana dan
prasarana, materi dan aparatur hukum, tetapi juga
pembangunan budaya hukum. Penegakan dan
pemajuan HAM merupakan unsur penting dalam
penghormatan harkat dan martabat kemanusiaan.”
Paradigma Baru Golkar juga memuat komitmen
pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan hakhak sipil. Paradigma Baru itu menyatakan sebagai partai
yang berwawasan kesejahteraan rakyat, maka Partai
Golkar berjuang untuk mengembangkan sistem ekonomi
kerakyatan, yakni sistem ekonomi yang yang berpihak
pada usaha kecil, menengah, dan koperasi tanpa
menafikan tumbuhnya sistem ekonomi konglomerasi
yang tidak monopolistik; mengusahakan ketersediaan
bahan kebutuhan pokok rakyat dengan harga yang serba
terjangkau; mengurangi pengangguran dengan
perluasan lapangan kerja; memperjuangkan upah
minimum regional (UMR) yang memadai, dan jaminan
kerja; serta meningkatkan akses ekonomi rakyat. Partai
Golkar juga mengembangkan prinsip nonsektarian dan
antisektarianisme, dan karena itu juga nondiskriminasi
dan antidiskriminasi.
Tetapi sejauh mana komitmen partai yang
selama berkuasa terlalu banyak melakukan pelanggaran
HAM ini? Dalam masa kampanye Pemilu Legislatif 2014
Golkar justru kembali menyatakan bahwa mereka adalah
partai Orde Baru. Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal
Bakrie, menyatakan kader Partai Golkar dan anggota
organisasi massa yang berafiliasi di dalamnya untuk
tidak malu mengakui bahwa Partai Golkar berjaya pada
era Orde Baru. Bakrie meminta mereka berbangga
terhadap masa kepemimpinan Jendral Soeharto. Bakrie
mengatakan: "Kalau ada orang tanya, Anda Orde Baru?
Jawab, Ya." Bakrie juga menyatakan hal serupa dalam
kampanye-kampanye Golkar di daerah.
(3) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Gerindra adalah partai yang didirikan dan dipimpin
Letnan Jendral Prabowo Subianto. Dia banyak dikaitkan
dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat,
seperti pelanggaran HAM di Timor Timur, penghilangan
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
07
paksa sejumlah aktivis dan peristiwa kerusuhan Mei
1998. Bagaimana sikap Gerindra terhadap penuntasan
peristiwa pelanggaran HAM berat sangat menarik.
Platform perjuangan partai ini menolak Pengadilan HAM.
Dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerakan
Indonesia Raya, penolakan tersebut ditulis secara
eksplisit. Argumentasinya, hak asasi manusia adalah
materi hukum sehingga tidak diperlukan hukum tersendiri
yang mengatur tentang hak asasi manusia. Berikut
kutipan argumentasi tersebut:
“Warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh
negara dapat menggugat negara dan pejabatnya
secara hukum. Hak-hak asasi manusia adalah materi
sistem hukum. Jika hak-hak asasi manusia belum
secara lengkap tercermin dalam hukum positif, maka
sistem hukumnya yang harus disempurnakan. Hal ini
diperlukan untuk menghindari kerancuan sistem.
Karena itu, diperlukan klarifikasi kedudukan hak-hak
asasi manusia di satu pihak, dan sistem hukum pada
pihak lain. Hak-hak asasi manusia yang bersifat
universal seharusnya mempertimbangkan partikularisme budaya dan kepentingan nasional. Negara
menegakkan kemanusiaan yang beradab.
Warga negara terhadap hukum, tidak diperlakukan
sebagai subyek yang secara potensial pelaku
perbuatan pelanggaran hukum. Negara menghargai
kesetiaan rakyat terhadap negara dan amal bakti warga
terhadap masyarakat dan negara. Warga negara harus
menghormati perjanjian luhurnya kepada negara
sebagai organisasi. Siapa saja yang berikrar menjadi
bagian dari organisasi negara dengan sendirinya harus
menghormati hak negara. Negara menghormati hakhak pribadi warga negara sesuai dengan hukum.
Hukum dan kemanusiaan tidak boleh dipandang
sebagai dua substansi yang terpisah. Maka, adanya
Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodig
(berlebihan).
Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia harus
ditempatkan dalam perspektif hukum. Hukum disusun
antara lain untuk mengatur bagaimana warga negara
menjalankan hak-haknya sebagai pribadi. Hak-hak
warga negara secara pribadi tak dapat dijalankan di luar
hukum. Negara sebagai organisasi berjalan sesuai
hukum. Warga negara yang merasa hak-haknya
dilanggar oleh negara dapat menggugat negara dan
pejabatnya secara hukum.Hak-hak asasi manusia
adalah materi sistem hukum. Jika hak-hak asasi
manusia belum secara lengkap tercermin dalam hukum
positif, maka sistem hukumnya yang harus
disempurnakan. Hal ini diperlukan untuk menghindari
kerancuan sistem. Karena itu, diperlukan klarifikasi
kedudukan hak-hak asasi manusia di satu pihak, dan
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
08
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
sistem hukum pada pihak lain. Hak-hak asasi manusia
yang bersifat universal seharusnya mempertimbangkan
partikularisme budaya dan kepentingan nasional.”.
Namun demikian, bertentangan dengan
argumentasi tersebut, dalam platform itu dinyatakan bahwa
“Partai Gerindra berkomitmen untuk berjuang dalam
pemenuhan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang
dimandatkan dalam UUD 1945 demi mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Bagaimana
perjuangan pemenuhan HAM dicapai dengan mengabaikan
instrumen-instrumen HAM, di mana perbuatan pelanggaran
HAM adalah kejahatan menurut hukum domestik dan
internasional? Artinya, jika Gerindra berkuasa, partai ini
akan menghapus semua produk hukum nasional tentang
HAM dan menolak kerjasama pemajuan HAM internasional.
Di bagian lain plafform Gerinda disebutkan, partai
ini mendukung pemurnian agama. Pemurnian agama dalam
praktek di lapangan menimbulkan tindak kekerasan dan
intoleransi yang bermuara pada pelanggaran HAM.
(4) Partai Demokrat
Partai Demokrat adalah penguasa dua periode
pemerintahan. Partai ini dua kali memenangkan Pemilu,
baik Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dua kali.
Dalam dokumen partai berjudul Manifesto Politik dan
Platform Perjuangan Partai Demokrat, partai ini
mencantumkan perjuangan penegakan HAM adalah hal
yang penting. Pada 2013, Ketua Umum Partai Demokrat,
Susilo Bambang Yudhoyono, mendeklarasikan 10 Poin
Pakta Integritas yang mempertegas lagi Manifesto Politik
dan Platform Pejuangan Partai Demokrat.
(5) Partai Hanura
Partai Hati Nurani Rakyat didirikan oleh Jendral Wiranto,
mantan Panglima ABRI. Wiranto juga banyak dikaitkan
dengan kasus-kasus pelanggaran HAM terutama kasuskasus ketika ia menjabat sebagai Panglima ABRI, yakni
kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (1999) dan
kasus penembakan para mahasiswa Universitas Tri Sakti
dan Kerusuhan Mei 1998. Namun demikian, Wiranto tidak
pernah secara formal diselidiki atau bahkan dinyatakan
diberhentikan dari jabatannya karena kasus-kasus
pelanggaran HAM. Berbeda dengan Letjen Prabowo yang
diberhentikan karena menculik sejumlah aktivis mahasiswa
dan politik. Maka, jika dilihat dari platform partainya, Hanura
masif permisif terhadap komitmen penegakan HAM. Dalam
dokumen perjuangannya, Hanura menyatakan antara lain:
“Mendorong terwujudnya rasa keadilan dengan
terlaksananya sistem hukum yang adil, konsekuen dan tidak
diskriminatif serta memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Mendorong
dan memperjuangkan tegaknya HAM sesuai dengan
Deklarasi HAM 1948.”
laporan utama
(6) Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
PKS adalah partai Islam yang sebagian aktivis pendirinya
dulu menjadi korban pelanggaran HAM Orde Baru.
Komitmen HAM PKS cukup jelas, tidak ambivalen, karena
PKS memang tidak memiliki beban pelanggaran HAM di
masa lalu. Platform HAM PKS adalah:
“Pemerintah, partai politik, dan militer
harus
berkomitmen untuk ikut serta dalam pembangunan
masyarakat melalui kerangka demokratisasi.
Pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung
persamaan dalam
bidang politik, hukum, sosial,
ekonomi dan kebudayaan. Hisbah (kontrol publik
berupa amar ma'ruf nahi munkar) merupakan bentuk
kebebasan berekspresi telah terbukti menjadi alat
kontrol yang efektif bagi para penguasa. Penindakan
hukum yang tegas, namun menghormati asas keadilan
dan due process of law. Membuat aturan pelaksanaan
dalam upaya implementasi seluruh materi HAM dalam
konstitusi dan undang-undang menjadi aplikatif.
Melakukan revisi terhadap semua peraturan
perundang-undangan yang tidak sesuai, bertentangan
atau berpotensi bertentangan dengan materi HAM
dalam konstitusi. Memperhitungkan perlindungan HAM
dal am semua kebijakan pemerintah. Memastikan
pemerintah memberikan ruang kebebasan berekspresi,
yang diberlakukan bukan saja sebagai hak asasi warga
negara, tetapi juga sebagai kewajiban warga negara.
Mengoptimalkan posisi Republik Indonesia sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dalam
menciptakan perdamaian dunia, serta memastikan
terjaminnya perlindungan HAM di tingkat internasional
tanpa pandang bulu”.
(7) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
PKB didirikan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Dengan demikian, jelas bahwa komitmen HAM partai ini
tidak diragukan lagi. Gus Dur adalah aktivis HAM di
zaman Orde Baru. Ketika menjadi Presiden RI, ia
meminta maaf atas apa yang dialami orang-orang Partai
Komunis Indonesia (PKI) sekitar 1965-1966. Basis PKB
adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang ketika terjadi
pembantain terhadap orang-orang PKI di seputar 19651966, mereka dilibatkan oleh tentara. Dalam platform
partai yang diberi judul Mabda Syasi disebutkan
perjuangan HAM PKB :
”Cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka,
bersatu, adil dan makmur sejahtera lahir dan batin,
bermartabat dan sederajat dengan bangsa-bangsa lain
didunia, serta mampu mewujudkan suatu pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia menuju tercapainya
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, keadilan sosial dan menjamin terpenuhinya
hak asasi manusia serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia. Bagi Partai Kebangkitan Bangsa, wujud dari
bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat yang
terjamin hak asasi kemanusiaannya yang
mengejawantahkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran,
kesungguhan dan keterbukaan bersumber pada hati
nurani (as-shidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji
serta mampu memecahkan masalah-masalah sosial
yang dihadapi (al-amanah wa al-wafa-u bi al-ahdli),
bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al'adalah), tolong menolong dalam kebajikan (al-ta'awun)
serta konsisten menjalankan ketentuan yang telah
disepakati bersama (al-istiqomah) musyawarah dalam
menyelesaikan persoalan sosial (al-syuro) yang
menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya dan
persamaan kedudukan setiap warga negara didepan
hukum (al-musawa) adalah prinsip dasar yang harus
ditegakkan”.
Untuk mencapai tujuan perjuangan itu maka misi utama
yang dijalankan Partai Kebangkitan Bangsa adalah
tatanan masyarakat beradab yang sejahtera lahir dan
batin, yang setiap warganya mampu mengejawantahkan
nilai-nilai kemanusiaannya. Hal itu meliputi,
terpeliharanya jiwa raga, terpenuhinya kemerdekaan,
terpenuhinya hak-hak dasar manusia seperti pangan,
sandang, dan papan, hak atas penghidupan/
perlindungan pekerjaan, hak mendapatkan keselamatan
dan bebas dari penganiayaan (hifdzu al-Nafs),
terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan
agama (hifdzu al-din), terpeliharanya akal dan jaminan
atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (hifdzu
al-Aql), terpeliharanya keturunan, jaminan atas
perlindungan masa depan generasi penerus (hifdzu alnasl) dan terpeliharanya harta benda (hifdzu al-mal). Misi
ini ditempuh dengan pendekatan amar ma'ruf nahi
munkar, yakni menyerukan kebajikan serta mencegah
segala kemungkinan dan kenyataan yang mengandung
kemungkaran.
(8) Partai Amanat Nasional (PAN)
Pada 1998, ketika PAN didirikan oleh Amien Rais dan
kawan-kawan, salah satu bunyi platform-nya adalah
referendum bagi rakyat Timor Timur. Ini menjadi
kenyataan setahun sesudahnya, pada September 1999,
ketika Presiden Habibie menyetujui referendum.
Hasilnya provinsi itu merdeka. Komitmen HAM PAN
sangat jelas. Berikut komitmen HAM PAN dalam
platform-nya:
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
09
“Memperjuangkan untuk penegakan hukum tanpa
diskriminasi. Seluruh masyarakat harus mendapat
akses pada sistem peradilan yang independen, adil dan
murah. Pemerintah harus menciptakan pra-kondisi
yang memberi kemungkinan yang luas bagi warga
negara untuk mengembangkan hak-hak individu dan
kewajiban sosial-politiknya secara wajar. Seluruh
masyarakat harus mendapat akses pada sistem
peradilan yang independen, adil dan murah.
Memperjuangkan pemberlakuan hak asasi manusia
yang universal dan mendukung pelaksanaan konvensi
PBB mengenai hak asasi manusia. Pemerintah harus
segera menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan
pelanggaran HAM yang masih pending dalam proses
pengadilan yang fair dan terbuka.”
memerintahkan pengambilalihan kantor DPP PDI yang
dikuasai para pendukung PDI pro Megawati
Soekarnoputri. Dalam pengambilalihan itu terjadi
pelanggaran-pelanggaran HAM berat. Tetapi kasusnya
tidak diusut sampai sekarang. PKPI memiliki platform
perjuangan HAM yang tertuang dalam visi-misinya yakni
”Mewujudkan keadilan, kesejahteraan sosial dan hakhak politik rakyat untuk mewujudkan peri-kehidupan
yang adil, beradab, berbudaya dengan menjunjung
tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi
manusia (HAM); Memperkokoh persatuan yang nyata
dalam tatanan masyarakat majemuk melalui peri
kehidupan yang adil, setara, merata dan tidak
diskriminatif; Mewujudkan masyarakat kewargaan (civil
society) yang kuat, sehat, cerdas, professional,
beradab (civilized society) dan bersih (clean society)
melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan serta
penciptaan kesempatan kerja dalam rangka
pengentasan kemiskinan.”
(9) Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
PPP adalah partai yang cukup besar di zaman Orde
Baru. Sekarang menjadi partai papan tengah dan
menurut survei-survei pemilih menjelang Pemilu 2014,
suaranya turun drastis. Dulu PPP bersikap kritis
terhadap tindakan-tindakan keras melanggar HAM yang
dilakukan Orde Baru atas para aktivis Islam. Berikut ini
platform perjuangan HAM partai Islam ini:
“PPP memiliki prinsip perjuangan yang mengandung
nilai-nilai hak asasi manusia dalam upaya
penghormatan terhadap hak-hak publik, yaitu: (1)
persamaan derajat kemanusiaan; (2) kemerdekaan
atau kebebasan dengan pertanggungjawaban moral
dan hukum di dunia dan akhirat; (3) persaudaraan antar
manusia; (4) keadilan yang berintikan pemenuhan
hak-hak manusia berdasarkan prinsip dan
rasa
keadilan; dan (5), setiap warga masyarakat berhak atas
partisipasi dalam urusan publik yang menyangkut
kepentingan bersama”.
(10) Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
Partai ini didirikan Surya Paloh dan pertama kali ikut
Pemilu pada Pemilu 2014. Merupakan pecahan Partai
Golkar. Partai ini dikenal dengan platform yang diberi
nama Restorasi Indonesia. Penegakan HAM adalah
salah satu bagian kecil dari visi Restorasi Indonesia.
(11) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
Partai ini diketuai oleh Letnan Jendral (Purn) Sutiyoso,
merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan dan
Persatuan yang tidak lolos batas ambang minimum
perolehan suara dalam Pemilu 1999. Sutiyoso adalah
mantan Panglima Kodam Jaya yang pada 27 Juli 1996
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
10
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
(12) Partai Bulan Bintang
Partai Bulan Bintang (PBB) adalah partai berasas Islam.
Partai ini berdiri pada 1998, saat reformasi politik terjadi
setelah jatuhnya Soeharto, sebagai penerus Partai
Masyumi, yang dibubarkan Presiden Soekarno. Tokohtokoh PBB antara lain Yusril Ihza Mahendra dan MS
Kaban. Partai ini memperjuangkan Syariat Islam dalam
sistem hukum Indonesia.Dalam dokumen berjudul Tafsir
Asas Partai Bulan Bintang, PBB merujuk pada ajaran
Islam. Dalam dokumen ini, PBB menghormati harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan.
Semua manusia pada hakikatnya duduk sama rendah
dan tegak sama tinggi. Satu-satunya yang membedakan
seorang manusia dengan yang lain adalah ketakwaan
dan kedekatan dirinya kepada Allah. Karena itu, warga
PBB menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (HAM) yang sejalan dengan prinsip-prinsip
Islam. Kewajiban menghormati HAM merupakan
kewajiban setiap orang, lembaga, negara, organisasi,
partai, maupun badan internasional. Warga PBB berjuang
untuk menegakkan HAM agar setiap orang dapat hidup
aman dan sentosa sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai manusia.
Dalam platform PBB, partai ini juga mengusung
pemenuhan hak-hal sosial, ekonomi, dan budaya serta hakhak sipil dan politik.
Keterangan
1
“Basmi Kekerasan HAM, PDIP Dukung Ratifikasi Statuta
Roma ICC,” Liputan6.com, 14 Maret 2013.
laporan utama
Rekam Jejak Partai-Partai Politik
Peserta Pemilu 2014 dalam Pemajuan HAM
Oleh Irawan Saptono
(Direktur Eksekutif ISAI)
R
ekam jejak partai-partai politik peserta Rekomendasi Pansus DPR RI: Presiden SBY lakukan
Pemilu 2014 dalam upaya pemajuan HAM Obstruction of Justice” Berikut ini isi pernyataannya:
setidaknya bisa ditelisik dari sikap dan
Dua tahun pengabaian Presiden Susilo Bambang
tindakan para anggota fraksi di DPR dan
Yudhyono
(SBY) atas rekomendasi DPR RI untuk
p engurus partai. Partai Demokrasi Indonesia
kasus
Penculikan
dan Penghilangan Paksa
Perjuangan (PDIP) yang mendeklarasikan diri
1997/1998 adalah tindakan yang tidak bisa
sebagai partai oposisi (walaupun dalam sistem
ditoleransi akal sehat. Pada 30 September 2009,
presidensiil oposisi tidak dikenal) merupakan partai
DPR RI telah mengirimkan surat resmi kepada
yang gencar menuntut penyelesaian kasus-kasus
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mereka juga
menindaklanjuti 4 (empat) rekomendasi Panitia
gencar menuntut pemenuhan hak-hak dasar warga
Khusus (Pansus) DPR RI mengenai kasus
negara, seperti hak akan pangan dan papan yang
Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998.
murah, dan menolak pencabutan subsidi bahan bakar
Rekomendasi tersebut meminta Presiden SBY
minyak.
dan institusi pemerintah yang terkait untuk;
Eva Kusuma Sundari, anggota DPR
membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, melakukan
pengkritik pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia
pencarian terhadap 13 (tigabelas) orang korban
terus mengkritik Presiden Susilo Bambang
yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan
Yudhoyono yang dianggapnya tidak punya komitmen
kompensasi kepada keluarga korban yang hilang
politik dalam menyelesaikan sejumlah kasus
dan meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua
menyangkut HAM, seperti yang sudah
Orang dari Penghilangan Paksa.
direkomendasikan DPR. Pada 30 September 2009,
Pengabaian selama dua tahun adalah bentuk
DPR RI berkirim surat kepada Presiden Susilo
obstruction of justice dari seorang kepala negara,
B a m b a n g Yu d h o y o n o a g a r p e m e r i n t a h
Presiden SBY dengan sengaja mengulur waktu
menindaklanjuti empat rekomendasi Panitia Khusus
(Pansus) DPR RI mengenai kasus penculikan dan
penghilangan paksa para aktivis di seputar 19971998. Rekomendasi tersebut meminta Presiden dan
institusi pemerintah terkait untuk membentuk
Pengadilan HAM ad hoc, melakukan pencarian
terhadap tiga belas orang korban yang masih hilang,
merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada
keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi
Konvensi Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa.
Eva, bersama Trimedya Panjaitan, Korban
dan Keluarga Korban Penculikan dan Penghilangan
Paksa, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Korban
Penghilangan Paksa Indonesia (IKOHI), Effendi
Simbolon (Ketua Pansus DPR RI Kasus Penculikan
dan Penghilangan Paksa 1997/1998) politisi PDIP,
Darmayanto (Wakil Ketua Pansus DPR RI Kasus
Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998),
Nasir Jamil (Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera), Yahdil Abdi Harahap (Komisi III DPR RI,
Fraksi Partai Amanat Nasional), dan Ahmad Yani
(Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Persatuan
Pembangun) menandatangani pernyataan yang Belasan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
provokatif. Judul pernyataan ini: “Pengabaian menggelar aksi untuk memilih caleg yang bersih dari pelanggaran HAM
(sumber:gresnews.com)
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
11
dan menghalangi korban dan keluarga korban
penculika n d a n p enghilangan paksa untuk
mendapatkan kebenaran (truth) keadilan (justice)
dan pemulihan (redress) sesegera mungkin.
Presiden SBY harusnya menyadari dan taat
hukum, bahwa rekomendasi DPR RI kepada
Presiden untuk kasuskasus pelanggaran HAM
berat adalah mandat konstitusional yang diatur
dalam pasal 43 ayat (2) UU No 26 tahun 2000
te n tang pengadilan HAM ad hoc, bahwa
pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM
berat dibentuk atas usulan DPR RI kepada
Presiden. Pelanggaran HAM berat dalam kasus
penghilangan paksa adalah kejahatan yang
berkelanjutan (continuing crime), selama para
korban belum ditemukan maka selama itu pula
negara melakuka n kejahatan kem a nusiaan
terhadap para korban. Alasan politik apapun tidak
dibenarkan untuk menghalangi korban dan
keluarga k orban mendapatkan hak-haknya.
Stabilitas politik dan kekuasaan yang dibangun
tidak boleh menggadaikan hak-hak para korban
kejahatan negara, sebagai kepala negara
Presiden SBY harus berdiri diatas hukum dan
kepentingan rakyat, bukan justru gentar terhadap
ancaman politik dari kelompok atau golongan yang
tidak menginginkan kasus ini diselesaikan secara
adil dan bermartabat.
Dalam momentum 2 tahun rekomendasi Pansus
DPR RI untuk kasus penculikan dan penghilangan
paksa, kami mendesak: Pertama, Presiden SBY
segera membentuk Tim Pencarian 13 korban yang
masih hilang dan menggerakkan semua lembaga
dan institusi negara terkait untuk menindaklanjuti 4
(empat) rekomendasi Pansus DPR RI. Kedua,
DPR RI segera mengambil langkah yang efektif
dan konstitusional untuk mempertanyakan dan
mendesak Presiden SBY agar menindaklanjuti
e m pat rekome n dasi DPR RI . Jakarta, 28
September 2011.
Ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) pada 2012 mengumumkan hasil
penyelidikannya tentang peristiwa 1965, PDIP
meminta agar pemerintah segera menindaklanjuti
hasil penyelidikan Komnas HAM. Permintaan ini
dinyatakan Eva Kusuma Sundari juga. Menurut
Eva, jika pemerintah tidak menindaklanjuti, para
korban dan keluarganya bisa membawa kasus
tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional di
Den Haag. Hingga sekarang Pemerintah Susilo
B a m b a n g Yu d h o y o n o t i d a k m e r e s p o n
rekomendasi Komnas HAM.
Walaupun platform Partai Golkar tentang
penegakan Hak Asasi Manusia sangat ideal, namun
sebagai partai yang di masa kejayaannya banyak
melakukan pelanggaran HAM, Partai Golkar defensif
terhadap upaya-upaya penyelidikan dan penyidikan
pelanggaran HAM di masa lalu. Sikap defensif ini
tampak ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
12
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
pada 2012 mengumumkan hasil penyelidikannya
tentang peristiwa 1965. Komnas HAM menemukan
pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap
kemanusiaan yang meluas dan sistemik. Komnas
HAM menemukan bukti telah terjadi sembilan dari
sepuluh
perbuatan yang tergolong kejahatan
pelanggaran HAM berat sesuai UU No 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Sepuluh perbuatan yang
dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebut: pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa, perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan,
perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau
kejahatan apartheid. Kesimpulan penyelidikan ini
didapat dari 340 berita acara pemeriksaaan dan
ratusan bukti dari hasil penyelidikan yang telah
dilakukan dalam kurun empat tahun sejak 2008. Hasil
penyelidikan diserahkan ke Kejaksaan Agung pada
20 Juli 2012. Kejaksaan Agunglah yang berwenang
melakukan penyidikan.
Atas hasil penyelidikan ini, Partai Golkar
memberika n respon negatif. Respon neg a tif
disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar
Leo Nababan yang mengatakan bahwa rekomendasi
Komnas HAM yang menyatakan terjadi pelanggaran
HAM berat dalam peristiwa itu tak perlu diteruskan ke
pengadilan HAM dan meminta agar desakan
pemulihan hak-hak politik para korban dan keluarga
peristiwa 1965 dihentikan. Menurut Nababan, masih
ada Tap MPRS Nomor 1966 tentang ajaran komunis
yang belum dicabut dan itu bisa dijadikan dasar
antikomunis di Indonesia. Ditambahkannya, sejumlah
ormas yang tergabung dalam Front Pancasila akan
siap menolak tindak lanjut rekomendasi Komnas
HAM ini. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golongan
Karya, Priyo Budi Santoso juga menolak hasil
penyelidikan Komnas HAM. Menurut Priyo Budi
Sant o so , pelanggara n HAM pada masa lalu
sebaiknya diposisikan sebagai semangat untuk
menolak terjadinya kembali hal yang sama. Menurut
Priyo, membuka sejarah lama ini tidak akan
menyelesaikan masalah. Ia menganjurkan Komnas
HAM untuk berkonsentrasi mengurus kasus-kasus
pelanggaran HAM sejak reformasi 1998. Baginya,
Peristiwa 1965, tidak perlu diungkit sebab itu
menimbulkan reaksi yang tidak enak.
Permintaan Golkar agar Komnas HAM hanya
menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM setelah
reformasi tentu saja hanya menguntungkannya.
Pertama, karena pelanggaran-pelanggaran HAM
berat terjadi di masa kekuasaan Golkar. Kedua,
dengan hanya fokus menyelidiki pelanggaranpelanggaran HAM pasca reformasi Golkar akan
terbebas dari pengusutan karena tidak lagi berkuasa.
Ini semua tidak sesuai dengan Paradigma Baru Partai
Golkar yang dideklarasikan pada 2000.
laporan utama
Tabel 1. Sikap Partai Politik terhadap Hasil Penyelidikan Komnas HAM tentang Peristiwa 1965
Partai
Demokrat
Sikap
“Terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu, sebaiknya ada rekonsiliasi. Kalau memang
ada kewajiban pemerintah untuk minta maaf, dengan dasar yang jelas, terukur, tidak ada
salahnya minta maaf, asal jelas dulu persoalannya. Mempermasalahkan kasus pelanggaran
HAM masa lalu merupakan kemunduran pemikiran. Kasusnya sudah hampir setengah abad.
Masa kita masih berpikirnya mundur sejauh itu, orang-orangnya (para pelakunya) juga tidak
tahu ke mana, sudah banyak yang mati. Apa yang mau diadili.“ (Marzuki Ali, Ketua DPR,
Fraksi Demokrat).
“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa serta-merta meminta maaf atas peristiwa
1965 yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM terhadap para anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan keluarganya.” (Djoko Suyanto, Menkopolkam, Pengurus DPP Partai
Demokrat)
Golkar
PDI
Menolak hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM tentang Peristiwa 1965-1966.
“Penyelesaian kejahatan HAM 1965/1966 seharusnya dapat diselesaikan secara politik dan
kemanusiaan. Salah satu caranya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat
pernyataan permohonan maaf kepada para korban kejahatan HAM 1965/1966. Selain itu,
Presiden harus merehabilitasi mereka yang telah dan masih menjadi tahanan politik akibat
peristiwa 1965/1966 dan memberikan ganti rugi atas dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Presiden juga harus menggelar forum rekonsiliasi bangsa. Para pihak yang terlibat dalam
peristiwa tersebut bisa saling bermaaf-maafan dan menghapuskan dendam sejarah sehingga
bangsa ini dapat segera melanjutkan pembangunan ke arah yang lebih baik.”
(Ahmad Basarah, anggota DPR Fraksi PDIP, Wakil Sekjen PDIP)
PKB
Tidak ada.
PAN
“Komisi Hukum DPR mendesak pemerintah melalui Kejagung menuntaskan kasus HAM
berat di masa lalu. Kalangan anggota Komisi III DPR tak bisa menerima alasan Kejagung
belum menuntaskan kasus-kasus itu karena kesulitan menemukan bukti. Kalau tidak
diingatkan, kasus-kasus tersebut tidak akan pernah tuntas. DPR juga sudah
merekomendasikan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan Presiden SBY
sudah terlanjur berjanji. Mesti segera dituntaskan, ingat negara-negara di dunia
memperhatikan keseriusan pemerintah Indonesia.” (Taslim Chaniago, Anggota Komisi III
DPR, Fraksi Partai Amanat Nasional)
Gerindra
Tidak ada.
Hanura
Tidak ada.
PKS
“Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil secara tidak langsung mendukung
rekomendasi Komnas HAM agar pemerintah menindak lanjuti rekomendasi Komnas HAM
karena tidak ada kemauan semua pihak, terutama pemerintah, untuk menyelesaikan kasus
HAM.
Kalaupun ada rekomendasi dari DPR ke presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad
hoc, DPR tidak dalam posisi menuntut agar rekomendasi itu dilaksanakan oleh presiden.
Seharusnya DPR menagih dan menuntut ke presiden. Namun, karena semua sudah disandera
oleh kepentingan-kepentingan politik, akhirnya gerak anggota DPR pun tidak leluasa. Lebih
lanjut ia mengatakan, mungkin banyak dari anggota DPR yang menganggap bahwa untuk apa
mengurus orang mati, yang hidup saja sulit. Akibatnya, tidak ada desakan kuat ke presiden.
Atau ada kekhawatiran dari beberapa pihak, bahwa jika dibentuk Pengadilan HAM ad hoc
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
13
PKS
akan terjadi blunder, gejolak politik, dan mengancam kelompok tertentu. Seharusnya,
Indonesia memiliki keberanian untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, baik
lewat pengadilan atau cara lainnya guna memberikan dampak positif dan pemulihan bagi para
korban sekaligus menjadi pembelajaran agar kasus serupa tidak terulang.
Ia berharap DPR sebagai penyeimbang, tidak hanya memberikan rekomendasi tapi
bagaimana mendesak presiden agar mengeluarkan Keppres untuk kepentingan bangsa.
Jangan dibayang-bayangi kekhawatiran, kepentingan kelompok.”
Sikap Gerindra terhadap pelanggaran HAM seputar
1998 yang melibatkan pendirinya, Prabowo Subianto
juga sangat defensif. Dalam platform perjuangannya,
partai ini menolak Pengadilan HAM dan berusaha
meredusir substansi pelanggaran HAM dalam bagian
tidak penting dalam sistem hukum Indonesia. Fadli
Zon, salah satu pengurus Gerindra, dalam berbagai
kesempatan menyatakan bahwa kasus penculikan
aktivis yang melibatkan Ketua Dewan Pembina
Gerindra, Prabowo, sudah selesai dan Prabowo
sudah bertanggung jawab. Ia juga mengatakan dalam
berbagai forum bahwa kasus kerusuhan Mei 1998
tidak dianggap penting oleh pemilih berdasarkan hasil
survei pemilih.
Demokrat merupakan partai berkuasa yang
berhati-hati dalam masalah penyelesaian HAM.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memerintahkan pengusutan kasus pembunuhan
Munir, walaupun pengadilan gagal membuktikan
siapa dalang pembunuhan aktivis HAM itu. Para
anggota DPR dari Demokrat juga tidak memiliki
keinginan yang kuat untuk mendorong pemerintahan
yang mereka kuasai selama 10 tahun untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Terkait Pemerintahan pasca Pemilu 2014,
jika pemerintahan dikuasai PDI Perjuangan,
akankah kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
masa lalu terselesaikan? Kita menaruh harapan
pada PDI Perjuangan dan pemerintahan Jokowi,
yang memiliki peluang besar jadi presiden, untuk
menuntaskannya.
Keterangan
1
“Wasekjen Golkar Minta Rekomendasi Kasus HAM 1965
Ditolak” Beritasatu.com, 22 Agustus 2012.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
14
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
INGAT !!!
UNTUK
MEMIMPIN
BUKAN
BERKUASA
laporannasional
utama
Agenda Prioritas Penyelesaian HAM
DPR RI Hasil Pemilu 2014
Oleh Irawan Saptono
(Direktur Eksekutif ISAI)
S
etidaknya ada tiga prioritas penyelesaian
masalah HAM yang harus dilakukan DPR RI
yang akan terbentuk dari hasil Pemilu
Legislatif 2014, yakni: (1) mendesak
kembali pelaksanaan empat rekomendasi DPR
kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
tentang penyelesaian penghilangan orang secara
paksa, (2) mendesak Pemerintah menjalankan
rekomendasi Komisi Nasional HAM tentang
penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat
1965/1966, dan (3) penyelesaian tahanan politik
Papua.
Pada 30 September 2009, Pansus DPR
mengeluarkan empat rekomendasi untuk dijalankan
Presiden atas kasus penghilangan orang secara
paksa. Namun, hingga 2014, rekomendasi itu tidak
dijalankan.. Keempat rekomendasi tersebut adalah:
(1) Merekomendasikan kepada Presiden untuk
membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; (2)
Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap
institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk
segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang
oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang; (3)
Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk
merehabilitasi dan memberikan kompensasi
terhadap keluarga korban yang hilang; dan (4)
Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera
meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa
sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk
menghentikan praktik Penghilangan Paksa di
Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin
memiliki beban masa lalu untuk meyelesaikan
penghilangan aktivis di seputar 1997-1998, pasalnya
pada tahun-tahun itu ia adalah perwira tinggi di
Markas Besar ABRI. Pansus pernah berjanji untuk
menggunakan hak interpelasi, yakni hak untuk
meminta keterangan kepada Presiden, mengapa
Presiden mengabaikan rekomendasi Pansus. Namun
mungkin isu ini dianggap tidak memiliki bobot politik
yang kuat, sehingga sampai
2014 menjelang
berakhirnya masa tugas DPR periode 2009-2014,
hak interpelasi tidak dijalankan.
Jika Presiden RI periode 2014-2019 adalah
Jokowi, bukan calon-calon lain yang terkait dengan
beban masa lalu, maka akan lebih mudah bagi DPR
untuk mendesakkan kembali empat rekomendasi
penyelesaian kasus penghilangan paksa ini. Agenda
ini harus menjadi agenda HAM hari pertama Komisi I
DPR periode 2014-2019. Jokowi memahami kasus
Dok poto: Putra Bagus
penghilangan orang secara paksa ini. Ia mengenal
Wiji Thukul, penyair asal Solo, anggota Jaringan
Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), organisasi yang
berpayung pada Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Thukul adalah salah satu korban penghilangan orang
secara paksa. Dalam perjalanan ke Solo di dalam
pesawat, ia pernah sepesawat dengan Wahyu Susilo,
adik Thukul. Ia menghampiri Wahyu Susilo dan
menyampaikan bahwa ia tidak akan lupa dengan
Thukul. Koalisi dengan Partai Gerindra dalam
pemilihan Gubernur Jakarta, menurut Jokowi,
disebabkan PDI Perjuangan tidak bisa mencalonkan
gubernur sendirian karena kekurangan jumlah kursi.
Maka, rekomendasi DPR kepada presiden, jika
Jokowi yang menjadi Presiden RI, tidak sulit untuk
dijalankan, karena komitmen Jokowi terhadap korban
penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Prioritas kedua DPR periode mendatang
adalah membantu hasil penyelidikan Komnas HAM
atas peristiwa pelanggaran HAM seputar 1965-1966.
Pada Juli 2012, Komnas HAM mengumumkan hasil
penyelidikan dan menyampaikan dua rekomendasi.
Hasil penyelidikan itu adalah terdapatnya bukti
permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu
bentuk pelanggaran HAM, diantaranya pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan
kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara
sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
penganiayaan (persekusi), penghilangan orang
secara paksa. Dari temuan bukti-bukti itu Komnas
HAM menyampaikan dua rekomendasi. Pertama,
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung diminta
menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan
melakukan penyidikan. Kedua, sesuai dengan
ketentuan pasal 47 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
15
Isu HAM bukan untuk memenangkan atau menggagalkan capres tertentu. Isu HAM
dibutuhkan untuk mengawal proses politik agar lebih berhati nurani, bermartabat,
dan berperikemanusiaan,” (Mimin Dwi Hartono: penyelidik Komnas HAM) sumber
www.http://nefosnews.com/
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
maka hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan
melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya
rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.
Namun kedua rekomendasi itu tidak dijalankan
pemerintah. Rekomendasi pertama, Kejaksaan
Agung yang memiliki kewenangan penyidikan dan
penuntutan, mengembalikan berkas penyelidikan ke
Komnas HAM. Dan pada akhirnya mempetieskan
kasus ini. Rekomendasi kedua, Presiden tidak
sedikitpun merespon, apalagi menjalankannya.
Ini agenda yang cukup berat untuk DPR periode
2014-2019, mengingat resistensi partai-partai di
dalam DPR sendiri sangat kuat. Partai Golkar dan
Demokrat sudah menolak hasil penyelidikan ini.
Kemungkinan partai-partai yang memiliki beban
masa lalu dengan peristiwa 1965 juga akan menolak
mendorong pemerintah menjalankannya. Partaipartai itu antara lain Partai Kebangkitan Bangsa,
Partai Gerindra, Partai Hanura dan PKPI. Tetapi jika
PDIP, yang menyambut baik hasil penyelidikan
Komnas HAM ini gencar mendesakkan agenda ini
tersebut kepada pemerintah, bukan mustahil
pemerintah yang kemungkinan besar akan dikuasai
PDIP akan menjalankannya, setidaknya menjalankan
rekomendsi kedua. Namun tantangannya cukup kuat,
di luar parlemen, kekuatan yang akan menentang
implementasi rekomendasi Komnas HAM ini sangat
kuat, antara lain Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi
massa pemudanya Gerakan Pemuda Ansor, dan
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
16
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gerakan Pemuda
Ansor sudah menolak rekomendasi Komnas HAM
segera setelah Komnas mengumumkan hasilnya.
Prioritas ketiga adalah pembebasan narapidana
politik dan tahanan politik. Indonesia adalah negara
demokrasi, tetapi memiliki narapidana politik (Napol)
dan tahanan politik (Tapol). Dalam praktek politik,
tidak ada negara demokrasi yang mengadili warga
negaranya karena menyatakan ekspresi politiknya
secara damai. Sekarang ini, negara memenjarakan
Napol dan Tapol dari Provinsi Maluku, Papua dan
Papua Barat. Sebagian besar diadili dengan tuduhan
makar karena melakukan aksi menuntut pemisahan
diri dengan cara damai (pengibaran Bendera RSM di
Ambon dan Bendera Bintang Kejora di Papua dan
Papua Barat) dari Indonesia dan sebagian kecil
lainnya karena aksi-aksi kekerasan. Lembaga hak
asasi manusia internasional terus-menerus
mengecam pemenjaraan aksi-aksi damai menuntut
pemisahan diri, terutama di Papua dan Papua Barat.
Indonesia dituduh melakukan pelanggaran HAM dan
menindas hak-hak politik dan kebebasan berekspresi
warganegaranya sendiri.
Terdapatnya tahanan politik (Tapol/ mereka
yang masih menunggu upaya hukum) dan narapidana
politik (Napol/ mereka yang sudah menjalani hukuman
yang sudah berkekuatan tetap) yang dipenjara karena
aksi non-kekerasan merupakan salah satu
pelanggaran HAM. Adanya Tapol/Napol di Papua
merupakan indikasi bahwa demokrasi dan
penghormatan HAM belum berjalan sebagaimana
mestinya. Pendekatan hukum masih digunakan untuk
mengatasi masalah-masalah politik. Di Papua
terdapat 48 Tapol/Napol. Sebagian besar bersikeras
bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran hukum.
Grasi akan diberikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, namun mereka menolak mengajukan
grasi karena mereka merasa tidak bersalah. DPR
periode mendatang setidaknya bisa mencari jalan lain
pembebasan tahanan politik Papua dengan
menghindari grasi.
monitoringnasional
sidang
laporan utama
Golput, Masihkah Relevan?
Oleh Otto Adi Yulianto
(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan ELSAM)
B
juga relatif lebih dimungkinkan. Partai politik,
termasuk yang baru, dapat mengikuti Pemilu sejauh
memenuhi persyaratan dalam undang-undang.
Penyelenggaraan Pemilu juga berlangsung secara
lebih baik, bebas, dan fair.
Dalam Pemilu saat ini, meski sebelumnya
merupakan partai penguasa, belum tentu partai
tersebut akan tetap menjadi partai pemenang Pemilu,
seperti Golkar di masa Orde Baru. Usaha untuk
bertindak curang demi memenangi Pemilu, bisa jadi
ada. Namun kontrol publik kini sudah berkembang
dan lebih bebas, seiring dengan pembangunan
kelembagaan serta perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi. Partai peserta Pemilu,
terutama partai penguasa, tidak bisa lagi seleluasa
dulu bila hendak bertindak curang.
Siapa yang akan menjadi partai pemenang
dalam Pemilu yang akan datang, juga berapa banyak
perolehan suaranya, kini hanya bisa diprediksi atau
dikira-kira, tanpa bisa dipastikan. Survei diperlukan
demi meyakinkan perkiraan. Semuanya masih serba
belum pasti. Hasilnya bisa jadi berbeda dari yang
diprediksikan, apalagi diharapkan. Dengan situasikondisi kelembagaan Pemilu yang kini sudah jauh
berbeda dan lebih baik dibanding masa Orde Baru,
mengapa gagasan/pilihan untuk menjadi Golput
Konteks Kelahiran Golput
dalam Pemilu mendatang masih tetap tumbuh,
1
Di masa Orde Baru, Golput lahir dan menjadi pilihan bahkan berkembang?
karena institusi Pemilu dinilai bermasalah. Yang saat
itu berlangsung sejatinya bukanlah Pemilu, tetapi Keterwakilan Politik yang Bermasalah
seolah-olah Pemilu, atau Pemilu seolah-olah.
“Pemilu” di masa itu merupakan ritual lima tahunan Menurut pendapat pengamat maupun hasil survei,
untuk melegitimasi pemerintahan Jenderal Soeharto. jumlah Golput dalam Pemilu 2014 diprediksi masih relatif
Sejak awal pelaksanaan, Golkar sebagai partai besar, lebih dari 30%. Tingginya angka Golput ini
penguasa sudah dapat dipastikan akan menjadi merupakan akibat dari masih kuatnya ketidakpercayaan
pemenang. Sementara partai lainnya - yang dibatasi publik kepada tokoh maupun partai peserta Pemilu,
dan dikerucutkan menjadi dua, yakni PPP dan selain penilaian pemilih bahwa keikutsertaan dalam
PDIhanya menjadi ornamen/hiasan pendamping, Pemilu tidak menghasilkan perubahan dan
penyelenggaraan Pemilu tidak berkorelasi positif dengan
sekadar supaya Pemilu seolah demokratis.
2
Tanpa perlu melakukan survei seperti yang peningkatan kesejahteraan warga.
Sulit untuk disangkal, meski situasi-kondisi
saat ini marak, perolehan suara Golkar dalam Pemilu
di masa itu sudah bisa dipastikan di atas 2/3 dari (institusi) Pemilu di masa reformasi sudah relatif lebih
jumlah suara pemilih. Pasca Pemilu, DPR (DPR/MPR) baik bila dibanding masa Orde Baru, namun ternyata
yang dihasilkan juga sudah bisa dipastikan akan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dihasilkannya
memilih Jenderal Soeharto sebagai presiden. (masih) menyisakan pelbagai masalah. Dari persoalan
Selanjutnya, DPR yang normatifnya sebagai institusi kedisiplinan dan keseriusan anggota DPR dalam
penyeimbang dan pengontrol eksekutif, sudah bisa mengikuti sidang hingga relatif banyaknya anggota
dipastikan akan menjadi (sekadar) lembaga pemberi DPR yang terjerat kasus korupsi maupun skandal
stempel “setuju” bagi kebijakan eksekutif/pemerintah lainnya. Juga, relatif banyaknya produk legislasi yang
di bawah Jenderal Soeharto. Bila semuanya sudah masih menuai protes serta pengajuan judicial review,
seperti UU Penamanan Modal, UU Sistem Pendidikan
serba pasti seperti itu, lantas buat apa (ikut) memilih?
Saat ini, institusi Pemilu relatif jauh lebih baik Nasional, UU Perkebunan, UU Penanganan Konflik
bila dibanding masa Orde Baru. Pendirian partai politik Sosial, UU Organisasi Kemasyarakatan, dsb.
uruknya persepsi dan penilaian publik atas
situasi-kondisi lembaga perwakilan dan
partai politik selama ini telah memicu dan
menjadi alasan bagi sebagian warga untuk
memilih tidak memilih, atau menjadi Golput (golongan
putih = tidak memilih), dalam pemilihan umum
(Pemilu) legislatif mendatang. Golput memang
merupakan hak, dan pernah populer sebagai pilihan
para aktivis di masa Orde Baru.
Persepsi dan penilaian publik tersebut juga
tidak keliru. Sejumlah bukti, dari persoalan korupsi
anggota DPR hingga pembuatan regulasi yang tidak
nyambung dengan kepentingan dan aspirasi warga,
termasuk dalam persoalan HAM, yang menimbulkan
protes publik maupun pengajuan judicial review, dapat
dengan mudah dipaparkan untuk menguatkan
persepsi dan penilaian tersebut.
Dengan begitu, apakah kemudian menjadi
Golput dalam Pemilu mendatang (masih) relevan
sebagai pilihan? Sebagai pilihan, apakah Golput
cukup strategis, atau setidaknya dapat memberikan
efek/kontribusi yang signifikan bagi perbaikan situasikondisi yang dikritiknya, termasuk dalam
hubungannya dengan penghormatan HAM?
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
17
Berbeda dengan Pemilu di masa Orde Baru,
persoalan Pemilu di masa reformasi ini bukan pada
aspek penyelenggaraannya, namun pada hasilnya.
Jadi, persoalan utamanya bukan bagaimana agar
Pemilu berlangsung baik, bebas dan fair, meski hal ini
juga penting, namun bagaimana agar Pemilu yang
sudah berjalan relatif baik, bebas, dan fair ini hasilnya
(baik dari segi output, outcome, maupun dampak)
juga nyambung dengan kepentingan dan aspirasi
publik, menghasilkan perubahan, dan peningkatan
kesejahteraan warga.
Pemilu yang secara prosedural kini sudah
menjadi jauh lebih baik, ternyata masih belum
berhasil memberikan makna dalam menghadirkan
“demokrasi yang substansial.” Mengapa?
Problemnya bukan terletak pada aspek
penyelenggaraan Pemilu -seperti yang terjadi di
masa Orde Baru-namun pada kualitas keterwakilan
politik yang dihasilkannya. Mereka yang dicalonkan
dan terpilih untuk duduk di lembaga-lembaga
perwakilan cenderung masih didominasi oleh “orangorang buruk”, yang lebih mengutamakan kepentingan
mereka sendiri dan kelompoknya dibanding
kepentingan dan aspirasi warga, termasuk dalam
hubungannya dengan pemajuan/penghormatan
HAM.
Saat ini, perbaikan keterwakilan politik
sangat dibutuhkan dan dimungkinkan. Perbaikan
keterwakilan politik dapat menepis lahirnya produk
legislasi yang tidak nyambung dengan kepentingan
dan aspirasi warga, apalagi bertentangan dengan
prinsip HAM. Sebaliknya, dapat menjadi sarana
memperbesar peluang untuk menanam dan
mengarusutamakan HAM dalam kebijakan maupun
regulasi negara. Sementara membiarkan orangorang buruk menguasai lembaga perwakilan akan
membuat situasi-kondisi HAM cenderung (terus)
mengalami defisit.
Dalam situasi-kondisi Pemilu yang sudah
berlangsung baik, meski merupakan hak, memilih
Golput justru dapat kontraproduktif bagi perbaikan
keterwakilan politik. Memilih Golput, yang tidak
berusaha memajukan dan memilih calon yang baik,
dapat memberi peluang bagi orang-orang buruk
untuk semakin leluasa menguasai dan mendominasi
lembaga-lembaga perwakilan dan proses
pengambilan keputusan di dalamnya.
Selama ini, orang memilih Golput karena
dilandasi penilaian bahwa para calon anggota
lembaga perwakilan yang ditawarkan dalam Pemilu
tidak mempunyai kualitas keutamaan yang sepadan
untuk mengisi lembaga terhormat tersebut. Kalaupun
ada calon yang baikseorang yang punya kualitas
keutamaan yang memadai, termasuk komitmennya
pada HAMsejauh tidak memiliki modal finansial yang
cukup, mereka dinilai akan sulit terpilih menjadi
anggota DPR. Kalaupun kemudian ada yang berhasil
terpilih, mereka belum tentu mampu menghadapi
arus dominan dalam partai dan parlemen yang dinilai
masih dalam situasi-kondisi yang buruk.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
18
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
Di sisi lain, orang-orang baik, yang punya
kualitas keutamaan memadai untuk dipilih menjadi
anggota lembaga perwakilan, justru malah (masih)
kurang berminat, dan minim dukungan, untuk ikut
berkompetisi dalam Pemilu agar selanjutnya dapat
mengisi dan mewarnai lembaga-lembaga perwakilan.
Padahal sebelumnya mereka aktif terlibat dalam
usaha perbaikan kelembagaan Pemilu, seperti
mengusahakan agar Pemilu dapat berlangsung
secara lebih baik, bebas, dan fair. Setelah lembaga
Pemilu mengalami perbaikan, mereka malah
cenderung tidak memanfaatkannya, lebih memilih
meninggalkan arena, dan menyerahkannya pada
partai politik dan orang-orang yang ada, yang
kemudian terbukti tidak mewakili kepentingan dan
aspirasi warga. Kalaupun ada yang berusaha
mengisi, mereka masih belum bisa mewarnai secara
signifikan, terutama karena dari segi jumlah, masih
(sangat) minoritas.
Memperbaiki Keterwakilan Politik
Berbeda dengan yang terjadi di masa Orde Baru,
usaha memperbaiki keterwakilan politik melalui
Pemilu kini dimungkinkan. Dalam Pemilu saat ini,
mereka yang berkelimpahan modal finansial belum
tentu akan selalu mendominasi proses tersebut.
Modal finansial memang penting, namun modal yang
dibutuhkan bagi keberhasilan dalam Pemilu tidak
terbatas hanya modal finansial. Modal finansial bukan
satu-satunya modal untuk unggul dalam Pemilu
Modal lain yang tak kalah pentingnya, yang
juga dimungkinkan dimiliki oleh orang-orang baik
adalah modal pengetahuan, keahlian, otoritas, dan
yang lebih utama lagi adalah dukungan massa yang
signifikan, dan menjadikannya sebagai modal politik
dalam Pemilu. Strategi untuk mengolah segenap
sumber daya atau modal yang dimiliki sehingga
menjadi kekuatan politik yang signifikan untuk berlaga
dalam Pemilu lebih menentukan daripada sekadar
kepemilikan modal finansial.
Dalam pemilihan kepala daerah, hal tersebut
terlihat dari pengalaman keberhasilan Jokowi yang
terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Keberhasilan
Jokowi tidak sekadar memecahkan mitos bahwa
mereka yang punya sumber daya atau modal finansial
yang besar, bahkan nyaris tak terbatas, yang akan
menguasai dan memenangkan politik elektoral.
Namun juga membuka mata bahwa politik elektoral
ternyata dapat melahirkan pejabat publik yang
mampu menjawab kepentingan dan aspirasi
warganya.
Eksperimen yang lebih terlembaga dalam
memperbaiki keterwakilan politik sudah dilakukan
Omah Tani di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Organisasi berbasis petani, yang kemudian juga
merangkul kelas menengah dan buruh, ini, telah
memanfaatkan institusi Pemilu untuk
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi
anggotanya. Omah Tani mampu mengolah sumber
nasional
daya yang mereka miliki dan menyiapkan calon
sendiri, baik untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada)
maupun Pemilu legislatif.
Dalam Pilkada di awal 2012 lalu, calon yang
mereka siapkan dan usung berhasil terpilih menjadi
Bupati Batang periode 2012-2017. Dalam Pemilu
2014 nanti, mereka berupaya untuk mengirimkan
anggotanya sebagai calon legislatif lewat partai yang
bersedia mengakomodir kepentingan dan aspirasi
mereka. Para anggota yang dimajukan sebagai calon
legislatif ini dipilih melalui kongres Omah Tani jauhjauh hari. Sebelumnya, dalam Pemilu 2009, salah satu
anggotanya berhasil menjadi anggota DPRD
Kabupaten Batang dan berperan signifikan, misalnya,
dalam mendorong kebijakan agar rumah sakit daerah
tidak melakukan diskriminasi kepada pasien dan ibu
yang hendak melahirkan dari keluarga miskin, yang
kebanyakan berasal dari keluarga petani.
berwenang menyusun serta memutuskan pelbagai
kebijakan dan regulasi. Kebijakan dan regulasi yang
mereka buat akan mengikat dan menentukan
kehidupan warga, termasuk bagi mereka yang
memilih Golput. Dengan begitu, meninggalkan
partisipasi dalam Pemilu dan memilih Golput:
masihkah relevan?
Keterangan
1.
Pengamat politik dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, memprediksi bahwa jumlah
Golput dalam Pemilu 2014 di atas 30%. Yakni di kisaran 35%
hingga 37%. Sementara, menurut hasil survei Lembaga Riset
dan Polling Indonesia, 23,4% responden menyatakan sudah
pasti tidak akan memilih, sementara 37% menyatakan masih
ragu apakah akan memilih dalam Pemilu 2014 mendatang.
Sementara hasil polling Yahoo Indonesia selama 6-10
Februari 2014, 40% responden menyampaikan tidak akan
datang untuk memilih dalam Pemilu legislatif dan pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 nanti. Bandingkan dengan jumlah
Golput dalam Pilpres 2009 yang sebesar 29% atau sekitar 49
j u t a o r a n g p e m i l i h . L i h a t d a l a m
https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/angkagolput-pembaca-yahoo-indonesia-095124289.html.
2.
Dari polling Yahoo Indonesia, diketahui bahwa 70% responden
tidak ingin memilih, karena tidak percaya dengan tokoh
maupun partai politik yang ada saat ini. Sementara 25%
responden tidak ingin ikut memilih karena menilai tidak ada
perubahan nyata dari keikutsertaan dalam Pemilu. Lihat dalam
https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/angkagolput-pembaca-yahoo-indonesia-095124289.html.
Kemudian, menurut pengamat politik dan peneliti dari
Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, dalam
diskusi bulanan Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi
(PWIR), Golput terjadi karena Pemilu dinilai tidak memiliki
korelasi positif dengan perbaikan kesejahteraan. Selain juga
akibat perilaku buruk elit politik dan kegagalan pemerintah di
bidang ekonomi dan penegakan hukum. Lihat dalam
http://www.beritasatu.com/pemilu2014-aktualitas/171344tak-berkorelasi-dengan-kesejahteraan-penyebab-tingginyaangka-golput.html
Penutup
Baik memilih maupun tidak memilih dalam Pemilu,
keduanya adalah hak. Sebagai hak, terlebih dalam
situasi normal, penikmatannya tidak boleh dilarang
ataupun dihambat. Namun sayang kalau hak tersebut
hanya sekadar dinikmati, tanpa berusaha
menjadikannya sebagai sarana yang efektif dan
bermakna untuk memajukan hak-hak lainnya.
Keterlibatan dalam Pemilu, dengan
memajukan dan memilih calon yang baik, yang
mempunyai komitmen memajukan HAM, berarti telah
ikut menambah peluang bagi penambahan jumlah
orang baik di lembaga perwakilan, yang saat ini masih
langka. Memilih calon yang baik dalam Pemilu bukan
berarti menjerumuskan mereka dalam kekotoran
politik, namun justru menambah kemungkinan bagi
perbaikan keterwakilan (dan kultur) politik, termasuk
dalam hubungannya dengan penghormatan HAM.
Tentunya dengan tetap disertai usaha untuk aktif
secara berkelanjutan melakukan pengawalan pasca
Pemilu, termasuk memberikan dukungan dan
melakukan kontrol publik.
Sementara memilih Golput justru mengurangi
peluang bagi kemungkinan tersebut. Selain juga
membuat para calon yang buruk, terutama para politisi
yang selama ini telah membajak institusi demokrasi
demi kepentingannya sendiri maupun kelompoknya,
akan semakin mudah melenggang masuk ke
lembaga-lembaga perwakilan, untuk kemudian
membajaknya kembali.
Memilih Golputdi mana tidak berusaha terlibat
dalam Pemilu, memajukan maupun memilih calon
sama artinya dengan meninggalkan arena, yang kini
sudah relatif baik, bebas, dan fair. Pilihan ini juga tidak
berdampak pada legitimasi Pemilu. Legitimasi politik
Pemilu saat ini sudah jauh lebih baik bila dibanding
Pemilu di masa Orde Baru.
Mereka yang terpilih lewat Pemilu,
selanjutnya akan duduk sebagai anggota dewan yang
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
19
nasional
Menelisik Pembahasan RUU KUHP
Ratifikasi
Konvensi Pekerja
Migran:
1
Oleh Zainal Abidin
Suatu
Kemajuan
(Deputi Direktur
Pengembangan
Sumberdaya HAM ELSAM)
Oleh Rina Komaria Santoso
P
dalamdan
RKUHP
hanya
ada 2 bagian,
yakni
ketentuan
emerintah,
melalui
Kementerian
HukumEkonomi
dan HAMSosial
(Kepala Seksi
Pemajuan
Hak-hak
Budaya
Kementerian
Luar
Negeri
RI) umum
(Kemenkum HAM) pada awal tahun 2013 (buku I) dan kejahatan (buku II). RKUHP tidak memberikan
menyerahkan Rancangan KUHP (RKUHP) dan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Tim
KUHAP (RKUHAP) ke Dewan Perwakilan Rakyat Penyusun RKUHP mengusulkan satu sistem dalam
(DPR). Seluruh fraksi di DPR menyetujui untuk membahas merumuskan tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut,
kedua RUU tersebut, dan kemudian Komisi III membentuk dengan satu istilah “tindak pidana”. Konsekuensinya,
Panitia Kerja (Panja) yang beranggotakan 26 orang dari penggabungan ini menjadikan berbagai 'pelanggaran'
berbagai fraksi. Kini, pembahasan masih berlangsung di menjadi 'kejahatan', dan inilah salah satu yang menyebakan
tengah sejumlah pandangan yang menarik atau menunda RKUHP 'overkriminalisasi'.
Dalam titik inilah, RKUHP tampak disusun tanpa
pembahasan hingga terpilihnya anggota DPR baru.
Sebagai catatan, RKUHP dan RKUHAP telah menjadi berdasar pada realitas dan perkembangan sosial. Tidak
agenda untuk dibahas di DPR sejak tahun 2005,1 namun jelas politik kriminalisasi atau dekriminalisasi, mana
masih harus dipertahankan sebagai 'tindak
gagal. Dalam Prolegnas 2009-2014, kedua RUU tersebut tindakan
Dok poto: yang
Putra Bagus
pidana' dan mana yang seharusnya dihapuskan sebagai
tetap masuk sebagai RUU prioritas yang akan dibahas.
Penyerahan RKUHP dan RKUHAP pada awal 'kejahatan'. Dalam RKUHP, hampir seluruh materi dalam
tahun 2013 memicu kembali perdebatan di publik. Pertama, KUHP sekarang tetap dicantumkan di dalamnya, dan
terkait dengan substansi pengaturannya yang masih memasukkan ketentuan-ketentuan pidana yang saat ini
bermasalah, bahkan kini sejumlah lembaga meminta ada di luar KUHP. Akibatnya, terjadi cukup banyak terjadi
penarikan, penundaan, atau perbaikan kedua RUU tersebut duplikasi pengaturan.
Dalam buku I RKUHP, yang mengatur mengenai
terlebih dahulu sebelum dibahas di DPR. Kedua, substansi
RKUHP dan RKUHAP yang sangat berat (RKUHP terdiri asas, prinsip, pertanggung jawaban pidana, bentuk-bentuk
dari 766 Pasal dan RKUHAP terdiri dari 286 Pasal), akan hukuman, dan sebagainya, juga dalam sejumlah
sangat sulit dibahas oleh DPR sekarang mengingat jangka perumusan masih bermasalah. Meski demikian, RKUHP
waktu yang ada. Meski akan tetap dibahas, dikhawatirkan memperkenalkan beberapa konsep baru, seperti
akan menghasilkan UU yang tidak cukup berkualitas. Tahun pertanggungjawaban pidana perusahaan (corporate
2014 merupakan tahun politik, dan dikhawatirkan DPR tidak criminal responsibility) dan diterapkannya asas 'vicarious
liability', dan juga bentuk-bentuk pemidanaan lain yang
akan bekerja dengan maksimal.
Tulisan ini hanya akan membahas
tentang sebelumnya tidak ada di KUHP, yakni kerja sosial.
RKUHP mempertahankan hukuman mati sebagai
perkembangan pembahasan RKUHP, khususnya terkait
dengan sejumlah isu krusial yang diatur dan diperdebatkan hukuman pokok yang bersifat alternatif, setidaknya dalam
15 Pasal. Perkembangan dalam RKUHP, pelaksanaan
selama dibahas di DPR.
hukuman mati dapat ditunda berdasarkan 'review' oleh
Menteri Hukum dan HAM setelah 10 tahun, yang
Sekilas Proses Penyusunan dan Isi RKUHP
menunjukkan perubahan sikap pemerintah mengenai
Melihat kembali perjalanan penyusunan RKUHP dan hukuman mati sekaligus memberikan peluang bagi
RKUHAP, telah dimulai sejak lama. Untuk RKUHP, telah terpidana hukuman mati untuk tidak dieksekusi berdasarkan
dimulai pada tahun 80an dengan
dibentuknya Tim pada perubahan selama menjalani pidana. Meski demikian,
Pengkajian untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP masih adanya hukuman mati ini merupakan pengaturan
4
yang bertugas melakukan pengkajian dan membuat yang tidak sesuai dengan HAM.
Dalam Buku II, RKUHP mempertahankan tindak
RKUHP baru. Tahun 1993, Tim Pengkajian di bawah
Koordinasi Departemen Kehakiman juga menghasilkan pidana dalam KUHP saat ini dan berbagai jenis tindak
RKUHP baru. Penyusunan RKUHP kembali bergulir saat pidana baru atau yang telah tersebar dalam berbagai UU
Muladi menjabat sebagai Menteri Kehakiman, dan lainnya. Tindak pidana 'baru' tersebut misalnya tindak
pidana terorisme, tindak pidana terhadap proses peradilan
menghasilkan draft RKUHP tahun 2000.2
Rancangan tersebut mendapatkan kritikan dari (salah satunya soal contempt of court), tindak pidana
publik, yang kemudian direvisi dan selesai pada akhir tahun terhadap hak asasi manusia, tindak pidana penyiksaan,
2004 serta diserahkan ke Menteri Kehakiman Hamid tindak pidana kesusilaan dan pornografi, tindak pidana
Awaluddin. Rancangan KUHP ini juga mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Inilah
kritikan, diantaranya substansi pengaturan tentang model yang dianggap oleh perumus sebagai bentuk
5
kejahatan yang berlebihan (overcriminalization). 3 kodifikasi hukum pidana.
Mencermati
berbagai
perumusan tindak pidana
Pemerintah kemudian melanjutkan proses perubahan, dan
menghasilkan naskah RKUHP tahun 2012, namun tidak dalam RKUHP, pada satu sisi perlu diapresiasi, karena
jauh berubah dari naskah tahun 2005. Naskah inilah yang memasukkan tindak pidana yang sebelumnya telah
diusulkan oleh masyarakat, misalnya tindak pidana
kemudian diserahkan kepada DPR.
6
R K U H P m e n g a t u r s e j u m l a h p e r u b a h a n 'penyiksaan' sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan.
fundamental mengenai arah pembaruan hukum pidana di Berbagai kejahatan penyiksaan saat ini masih diadili
Indonesia, yang berbeda dengan KUHP saat ini. KUHP saat dengan pasal-pasal tentang 'penganiayaan' yang seringkali
ini terdiri dari 3 bagian, yakni bagian umum (buku I), gagal dalam memberikan penghukuman yang setimpal
kejahatan (buku II), dan pelanggaran (buku III), sementara kepada para pelakunya. Namun di sisi lain, RKUHP juga
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
20
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
nasional
masih bermasalah dalam perumusannya jika dilihat dari
norma-norma dan standar HAM.
Sejumlah pasal dalam KUHP yang telah
dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,
dimasukkan kembali sebagai tindak pidana. Hal ini seperti
pencantuman kembali pasal-pasal hatzai artikelen,
misalnya pasal-pasal penghinaan terhadap presiden.
Pasal-pasal terkait dengan pelarangan penyebaran ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme juga masih ada di bawah
Bab tentang Tindak Pidana Keamanan Negara. Berbagai
tindak pidana “baru” dalam RKUHP juga terlihat sudah
terlalu jauh masuk ke wilayah paling personal yang
mengganggu hak privasi warga negara dan mengancam
kebebasan sipil (civil liberties). Perumusan dalam RKUHP
telah mencampur-aduk moralitas, dosa, adab kesopanan,
dengan norma hukum, akibatnya hampir-hampir semua
perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah adanya Bab
tentang “Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia”, yang
mengatur 3 jenis kejahatan yakni kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, serta
kejahatan penyiksaan. Ketiga jenis kejahatan yang pertama
(genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang), dalam penjelasannya merujuk pada sejumlah
konvensi internasional (di antaranya Konvensi Genosida,7
Konvensi Jenewa,8 dan Konvensi Anti Penyiksaaan), meski
perumusannya mengadopsi dari ketentuan dalam Statuta
Roma 1998, dan merupakan kejahatan yang masuk dalam
kategori 'the most serious crimes'. Selain itu kejahatan genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah diatur dalam UU
No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.9
Merujuk pada salah satu pengaturan dalam
kejahatan yang termasuk 'kejahatan serius' tersebut,
menunjukkan ketidakjelasan konsep dan konsekuensi dalam
RKUHP. Pertama, dari sisi penamaan Bab, penempatan di
bawah judul “kejahatan terhadap hak asasi manusia', akan
mengulangi kesalahan penamaan kejahatan-kejahatan
tersebut sebagai “pelanggaran HAM yang berat” dalam UU
No. 26/2000. Penamaan judul bab yang demikian
menunjukkan kebingungan menempatkan kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang, dan kejahatan penyiksaan dalam RKUHP. Selain itu,
dalam konteks penerjemahan berbagai kejahatan tersebut
dari instrumen yang dirujuk, kemudian dirumuskan sebagai
tindak pidana dalam RKUHP juga bermasalah.10
Kedua, penempatan berbagai kejahatan
genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang
dalam RKUHP, masih menimbulkan perdebatan tentang
bagaimana penegakan kejahatan-kejahatan tersebut, yang
selama ini berada dalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Hal ini
juga terkait dengan bagaimana sesungguhnya RKUHP
akan menempatkan kejahatan-kejahatan internasional
dalam sistem hukum pidana. Dalam sejumlah pengalaman
negara-negara lain, yang melakukan proses pengadopsian
kejahatan-kejahatan internasional atau kejahatankejahatan serius ke dalam hukum nasionalnya, ada proses
panjang dan perdebatan yang memadai. Misalnya Kanada,
Jerman, dan Norwegia adalah negara-negara yang cukup
“serius” memikirkan tentang penempatan kejahatankejahatan serius tersebut dalam hukum nasionalnya.11
revisi hukum pidana, namun di sisi lain mengkhawatirkan
tentang substansi yang dirumuskan. Banyaknya tindak
pidana yang akan diatur dan dinyatakan sebagai kejahatan,
dianggap sebagai bagian dari upaya untuk mengontrol
perilaku warga negara, bahkan sampai masuk ke dalam
ruang-ruang privat, dan mengancam kebebasan sipil.
Perdebatan di ruang publik mengemuka, yang
justru terkait dengan sejumlah isu yang cukup 'ringan'
misalnya, terkait perumusan kejahatan tentang santet.
Perdebatan publik pun berkembang agak maju ketika publik
mengetahui bahwa ada ketentuan dalam Bab “Zina dan
Perbuatan Cabul” yang memasukkan hal baru, yakni akan
dipidananya laki-laki dan perempuan yang masing-masing
tidak terikat dalam perkawinan yang sah dan melakukan
persetubuhan. Ketentuan tersebut dianggap telah masuk
sangat dalam ke privasi warga negara, terlebih ada ketentuan
bahwa pengaduan dapat dilakukan oleh “pihak ketiga”.
Sementara, dalam RKUHP masih banyak
perumusan dalam berbagai isu yang sebetulnya
membutuhkan ruang diskusi dan partisipasi publik yang
cukup. Sejumlah ketentuan yang penting untuk dicermati dan
didiskusikan secara luas adalah yang terkait dengan larangan
penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme,
permasalahan hukuman mati, penghinaan presiden,
kejahatan yang terkait dengan ketertiban umum, dan
sebagainya. Padahal, sejumlah kejahatan yang dirumuskan
tersebut adalah tindakan-tindakan yang bersinggungan erat
dengan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menjadi
bagian dari kebebasan sipil yang harus dilindungi negara.
Perdebatan lainnya adalah mengenai metode untuk
melakukan reformasi KUHP, apakah akan melanjutkan model
kodifikasi atau melalui perubahan secara parsial dan bertahap.
Model perubahan secara parsial dan bertahap dianggap
sebagai model revisi yang 'masuk akal' daripada membahas
keseluruhan perubahan dengan membentuk KUHP baru,
tanpa disertai metode pembahasan yang baik di DPR. Merujuk
pada jangka waktu yang tersedia dalam pembahasan, 'kualitas'
anggota DPR, dan kemungkinan para anggota DPR saat
memasuki masa Pemilu, pembahasan menyeluruh untuk
perubahan RKUHP tampak 'tidak masuk akal.'
Sejumlah organisasi masyarakat sipil merespon
pembahasan RKHUP dalam dua hal, yakni terkait dengan
subtansi dan metode pembahasan/revisi KUHP. Berbagai
rekomendasi tersebut diantaranya; Pemerintah dan DPR
tidak memaksakan untuk melakukan re-kodifikasi secara
menyeluruh terhadap KUHP yang berlaku saat ini, karena
ada potensi memunculkan situasi kekacauan hukum, dan
melakukan perubahan berdasarkan model-model yang
memungkinkan. Pembaruan politik hukum pidana lebih
penting dan diperlukan untuk menjamin perlindungan
kebebasan sipil dan kebebasan warga negara, serta
pembaruan KUHP harus ditempatkan dalam rangka
mengfungsikan hukum pidana dalam tatanan negara
demokratis, bukan sebaliknya menjadi instrumen
“penekan” bagi rezim yang berkuasa, dan sedapat mungkin
mendekatkannya pada standar baku hukum pidana
modern.12
DPR merespon berbagai kritik masyarakat,
namun tetap melanjutkan pembahasan RKUHP. Komisi III
DPR mengundang berbagai kalangan untuk memberikan
masukan tentang RKHUP, baik dari masyarakat sipil,
akademisi, dan perwakilan lembaga-lembaga negara. Pada
Respon dan Perkembangan Pembahasan RKUHP
Oktober 2013, DPR menyatakan seluruh fraksi telah
Sesaat ketika RKUHP diserahkan ke DPR dan akan mulai menyelesaikan DIM (Daftar Inventaris Masalah) RKUHP
dibahas, publik merespon dengan pro dan kontra. Di satu dan RKUHAP, dan kemudian diserahkan kepada
RKUHP
hal ini menyetujui bahwa perlu ada penyegeraan dalam Pemerintah. DIM yang dihimpun mencakup, untuk
buku kesatu 1704 DIM dan buku kedua 1596 DIM.13
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
21
Kontroversi pembahasan RKUHP tidak berhenti
dan masih banyak keberatan dari berbagai lembaga
negara14 dan masyarakat sipil.15 Sejumlah ketentuan dalam
RKUHP masih bermasalah dan pendeknya jangka waktu
pembahasan oleh DPR, dikhawatirkan akan menghasilkan
produk KUHP yang buruk dan bermasalah. Permintaan
untuk menarik pembahasan RKUHP (dan RKUHAP)
kemudian terus mengemuka. Dalam berbagai kesempatan
sebelumnya, sejumlah anggota DPR dari Komisi III juga
menyatakan pesimis akan mampu menyelesaikan
permbahasan RKUHP (dan RKUHAP).16
Merespon berbagai kritikan ini, Wakil Ketua
Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, yang juga merupakan
Ketua Panja, mengakui masih ada perbedaan pandangan
dalam pembahasan RUU KUHAP dan KUHP. Ia juga
menyatakan bahwa pemerintah, seperti Polri, kejaksaan,
serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu
mensinkronkan pandangan. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi
Santoso, meminta Komisi III DPR mendengarkan
pandangan dan masukan masyarakat terkait dengan
pembahasan kedua RUU itu.
Sementara Ketua DPR, Marzuki Alie, menyatakan
pembahasan RKUHP dan RKUHAP di DPR harus terus
berjalan, namun pembahasan itu harus melibatkan KPK
dan pakar hukum progresif lainnya. Anggota Komisi III
lainnya, Trimedya Panjaitan, menyatakan bahwa masih
terlalu banyak yang perlu dibahas terkait kedua RUU
(KUHP serta KUHAP) dan juga penolakan dari berbagai
pihak, serta secara substansi terlalu berat untuk dikebut.17
Trimedya menambahkan bahwa dalam RUU tersebut
terlalu banyak DIM yang harus dibahas, dan mengingat
pendeknya waktu serta berbarengannya dengan waktu
pemilu, ia menyatakan pesimistis pembahasannya dapat
diselesaikan pada tahun ini.18
Dari pihak pemerintah, Menteri Hukum dan HAM,
Amir Sjamsuddin, menyatakan RKUHP dan RKUHAP tidak
dapat ditarik pemerintah tanpa persetujuan DPR karena
sedang dibahas di Komisi III DPR. Pada bulan Maret 2014,
sikap pemerintah melalui pelaksana tugas Dirjen
Perundang-undangan Kemhukham, Mualimin Abdi,
menyetujui memprioritaskan pembahasan buku I KUHP.
Pandangan pemerintah ini berdasarkan alasan masa kerja
DPR hanya tersisa sekitar 3 bulan atau kurang dari 100
hari.19 Merujuk pada pandangan ini, pihak Pemerintah
tampak tidak lagi memaksakan untuk mencoba
menyelesaikan pembahasan RKUHP pada tahun 2014 ini.
Menyikapi situasi ini, akan lebih baik jika dilakukan
penundaan pembahasan RKUHP di DPR hingga terpilihnya
anggota DPR baru hasil pemilu 2014. DPR baru yang akan
bekerja 5 tahun ke depan, akan mempunyai waktu yang
cukup untuk membahas perubahan RKHUP dengan lebih
mendalam, dan mempertimbangkan berbagai masukan
masyarakat secara luas. Bagi pemerintah, penundaan
pembahasan juga akan memberikan kesempatan untuk
memperbaiki berbagai perumusan dalam RKUHP yang
selama ini dikritik oleh masyarakat.
Keterangan
1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Tunda Pembahasan
14.
Situasi di DPR saat ini, khususnya para anggotanya yang
akan sibuk kampanye dan mengikuti pemilu legislatif,
pembahasan RKUHP di DPR tampak tidak dalam situasi
yang cukup ideal. Substansi RKUHP yang sedemikian 'berat'
merujuk pada 766 pasal dengan total 3300 daftar inventaris
masalah, bukan merupakan pekerjaan 'ringan' yang akan
selesai dalam waktu kurang dari 3 bulan masa kerja DPR.
Model pembahasan RKUHP di DPR yang
dilakukan dengan cara yang 'biasa', dengan membentuk
Panja dan meminta masukan publik secara terbatas,
memang cukup mengkhawatirkan. Terlebih dengan begitu
banyaknya substansi ketentuan tentang kejahatan yang
akan diatur, yang melingkupi hampir seluruh tindak-tanduk
warga negara. Pembahasan RKUHP yang sembarangan,
sembrono, dan tidak penuh kehati-hatian hanya akan
berimplikasi pada terancamnya kebebasan sipil warga
negara.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
22
ASASI EDISI JANUARI-PEBRUARI 2014
15.
16.
17.
18.
19.
Rapat paripurna ke 13 DPR, 1 Februari 2005 menetapkan sebanyak 284
rancangan UU disetujui untuk menjadi prioritas periode 2005‐
2009,
termasuk RKUHP dan RKUHAP. Lihat ELSAM, “Tinjauan Umum
Terhadap RKUHP”, ELSAM, 2005. Dokumen dapat diakses di Seri
Advokasi RUU KUHP ELSAM di http://advokasi.elsam.or.id/advokasiruu-kuhp/.
RUU KUHP mulai disiapkan oleh pemerintah sejak 1982 dan dilengkapi
dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) yang dipersiapkan oleh,
antara lain, Prof. Oemar Senoadji (alm.), S.H., Prof. R. Soedarto (alm.),
S.H., Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., dan Prof. Muladi. Pada
2004 dibentuk Panitia Penyusunan RUU KUHP yang anggotanya
meliputi pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), unsur
penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah
Agung yang diketuai oleh Prof. Muladi.
Position Paper, “Ke arah Mana Pembaruan KUHP: Tinjauan Kritis atas
RUU KUHP”. ELSAM, 2005.
Lihat juga Zainal Abidin, “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam
Rancangan KUHP 2005”. ELSAM, 2005.
Mengenai kodifikasi dalam RKUHP dapat dilihat dalam buku,
“Pembaruan KUHP, Tinjauan Terhadap Gagasan, Konseptualisasi dan
Formulasinya”, Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007.
The International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984.
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide,
9 Desember 1948.
Geneva Convention of the 1949 for the Protection of Victims of War, serta
Protokol I dan II Kovensi tersebut.
Kajian mengenai tindak pidana HAM dalam RKUHP dapat dilihat dialam
buku, “Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP.”, Aliansi
Nasional Reformasi KUHP, 2007.
Fadillah Agus, “Milestone, Flaws in Draft Penal Code.”, The Jakarta Post,
27 Maret 2014.
Lihat Morten Bergsmo, Mad Harlem and Nobuo Hayashi (editors),
“Importing Core International Crimes into National Law”, Forum for
International Criminal and Humanitarian Law (FICHL), 2010.
Kertas Posisi, “Meluruskan Arah Pembaruan KUHP, Catatan Kritis atas
RKUHP 2012,” Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2013.
www.dpr.go.id , “DPR Serahkah DIM RUU KUHP dan KUHAP” 27
O k t o b e r 2 0 1 3 . S u m b e r : h t t p : / / w w w. d p r. g o . i d / i d / b e r i t a /
komisi3/2013/okt/11/6854/dpr-serahkan-dim-ruu-kuhp-dan-kuhap.
www.hukumonline.com , “KHN Usul Rancangan KUHAP dan KUHP
D i c a b u t ” 1 7 D e s e m b e r 2 0 1 3 . S u m b e r :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52b03f8fe57cd/khn-usulrancangan-kuhap-dan-kuhp-dicabut.
www.antaranews.com, “DPR Diusulkan Tunda Bahas Revisi UU KUHP”,
11 Februari 2014. Sumber: https://id.berita.yahoo.com/dpr-diusulkantunda-bahas-revisi-uu-kuhp-165031901.html
Lihat Medanbisnisdaily.com, “DPR Pesimis Tuntas Bahas RUU KUHAP
dan KUHP”, 18 April 2013.
www.jppn.com , “DPR Isyaratkan RUU KUHAP DAN KUHP Batal Syah
Tahun Ini”, 7 Maret 2014. Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/
03/07/220507/DPR-Isyaratkan-RUU-KUHAP-&-KUHP-Batal-SahTahun-Iniwww.kompas.com , “Terlalu Banyak Masalah, RUU KUHAP-KUHP Sulit
D i r a m p u n g k a n Ta h u n I n i ” , 6 M a r e t 2 0 1 4 . S u m b e r :
http://nasional.kompas.com/read/2014/03/06/1048080/Terlalu.Banyak.
Masalah.RUU.KUHAP-KUHP.Sulit.Dirampungkan.Tahun.Ini
www.detik.com , “Kemenkum Akan Prioritaskan Pembahasan Buku I
KUHP”, 5 Maret 2014. Sumber: http://news.detik.com/read/2014/
03/05/160246/2516305/10/kemenkum-akan-prioritaskan-pembahasanbuku-i-kuhp?9922032
resensi
Belajar Demokrasi dari Amerika Latin
Oleh Mohamad Zaki Hussein
(Program Officer Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan)
Judul: Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas
Sutradara/Produser: Silvia Leindecker dan Michael Fox
Penerbit: PM Press/Estreito Meios Productions, 2008
Durasi: 114 menit
S
ejak kejatuhan Soeharto, Indonesia sudah Regional, yang anggotanya dipilih oleh komunitas-
menggelar tiga kali Pemilu. Dan tidak lama
lagi, kita akan menghadapi Pemilu yang
keempat. Selama ini, Pemilu tidak banyak
berdampak pada perbaikan kehidupan rakyat
Indonesia. Padahal Pemilu adalah salah satu pilar
demokrasi, yang memiliki arti 'kekuasaan oleh rakyat.'
Tetapi, setelah mencoblos pilihannya, rakyat nyaris
tidak punya kuasa apa-apa lagi atas Negara. Yang
berkuasa hanyalah segelintir elit. Gagasan normatif
tentang demokrasi berkontradiksi dengan
praktek riil demokrasi.
Di Indonesia, yang normatif menyerah pada yang riil.
Makna demokrasi tereduksi hanya menjadi
seperangkat prosedur, aturan dan institusi, yang tidak
bisa mewujudkan 'kekuasaan oleh rakyat' dan
perbaikan hidup rakyat. Namun, di belahan dunia lain,
upaya mendorong yang riil menuju yang normatif terus
dilakukan. Film dokumenter Beyond Elections:
Redefining Democracy in the Americas oleh Silvia
Leindecker dan Michael Fox, membawa kita ke
berbagai eksperimen demokrasi partisipatoris yang
dilakukan di beberapa Negara di benua Amerika.
Eksperimen pertama yang ditampilkan film ini
adalah sistem anggaran partisipatoris di Brazil.
Anggaran partisipatoris pertama kali diterapkan di
Porto Alegre pada 1989, setelah Partai Buruh (Partido
dos Trabalhadores) memenangkan posisi walikota.
Dengan sistem ini, warga bisa berpartisipasi dalam
penentuan alokasi anggaran kota untuk kebutuhan
mereka. Untuk melaksanakan sistem ini, Porto Alegre
dibagi menjadi 16 'region anggaran.' Di tingkat region,
ada Forum Anggaran Regional, sementara di
bawahnya, ada komunitas-komunitas ketetanggaan.
Adapun di tingkat kota, terdapat Dewan Anggaran
Kota (Abers, 2007).
Komunitas ketetanggaan menetapkan pospos anggaran (sekolah, kebersihan, dan sebagainya)
yang menjadi prioritas mereka. Prioritas ini kemudian
dibahas dan diseleksi lagi di Forum Anggaran
komunitas ketetanggaan dan pertemuan-pertemuan
regional. Adapun Dewan Anggaran Kota, yang
anggotanya dipilih oleh pertemuan-pertemuan
regional, memutuskan pembagian dana diantara
region dan pos-pos anggaran. Pada
perkembangannya, dibentuk Forum-Forum Tematik
untuk membahas anggaran di hal-hal yang lebih
bersifat makro-perkotaan, seperti perencanaan kota,
transportasi, dan sebagainya (Abers, 2007).
Sistem anggaran partisipatoris bisa dibilang
sukses. Di film, terdapat beberapa komentar warga
Porto Alegre yang puas dengan sistem ini, karena
hasilnya dirasakan oleh mereka, seperti
terbangunnya daycare atau tempat daur ulang
sampah di komunitas mereka. Sistem ini pun dicoba
diterapkan di kota-kota lain. Pada 1997, sistem
anggaran partisipatoris diterapkan sampai ke tingkat
negara bagian Rio Grande do Sul. Namun, pada
2004, Partai Buruh kehilangan posisi walikota di Porto
Alegre. Sejak saat itu, sistem anggaran partisipatoris
di Porto Alegre mengalami kemunduran.
Eksperimen kedua yang dibahas film ini
adalah Dewan Komunal (Consejos Comunales) di
Venezuela. Sistem Dewan Komunal diterapkan pada
2006 dengan UU Dewan Komunal, yang diperbaharui
pada 2009. Dengan Dewan Komunal, warga bisa
menetapkan rencana pembangunan di lingkungan
mereka dan mengajukan permintaan dana ke
pemerintah. Tiap Dewan Komunal
merepresentasikan 150-400 keluarga. Struktur
dewan komunal terdiri dari lima unit, yaitu pertemuan
komunitas, unit eksekutif, unit anti-korupsi, unit
keuangan dan kolektif koordinasi komunitas (Suggett,
2009; Ellner, 2009). Dewan komunal hanyalah salah
satu institusi partisipatif di Venezuela. Ada institusiinstitusi partisipatif lainnya di sana, seperti koperasi,
anggaran partisipatif, komite kesehatan, dan lain-lain.
Selain mengulas eksperimen yang berasal dari
inisiatif Negara, film Beyond Elections juga mengulas
beberapa eksperimen yang berasal dari inisiatif
gerakan sosial. Salah satunya adalah gerakan
pengambilalihan pabrik di Argentina sebagai respon
terhadap krisis tahun 2001. Di saat itu, pabrik-pabrik
ditutup dan PHK merajalela. Jumlah pengangguran
dan setengah-menganggur (underemployment)
meningkat sampai 35% dari 37 juta penduduk. Lebih
dari 60% penduduk berada di bawah garis
kemiskinan. Untuk menyelamatkan hidup mereka,
para buruh pun melancarkan gerakan
pengambilalihan pabrik. Pada 2005, terdapat lebih
dari 200 pabrik yang dikelola buruh, dan lebih dari
55.000 buruh bekerja di pabrik-pabrik ini (Gautreau,
2009).
Di dalam pabrik, mereka menerapkan
demokrasi dan kesetaraan. Perbedaan gaji antarpekerja dibuat sekecil mungkin. Keputusan diambil
berdasarkan prinsip satu orang, satu suarabukan satu
saham, satu suara. Hasilnya, kehidupan mereka
menjadi lebih baik. Di pabrik Zanon Ceramics yang
berubah menjadi Fabricas sin Patrones (Pabrik Tanpa
Bos), misalnya, jika sebelumnya, terdapat rata-rata
300 kecelakaan kerjadimana setengahnya adalah
kecelakaan seriusdan 1 orang mati per tahun, maka
setelah dikelola sendiri oleh para buruhnya, angka ini
turun drastis menjadi 33 kecelakaan kecil per tahun.
Para buruhnya pun sekarang memiliki akses ke
pelayanan kesehatan dan asuransi jiwa (Gautreau,
2009).
Pengambilalihan pabrik tidak hanya
berdampak positif pada para buruh di pabrik yang
diambil, tetapi juga masyarakat luar pabrik. Sebagai
contoh, Fabricas sin Patrones menyumbang ratusan
meter persegi keramik ke rumah sakit, sekolah,
gereja, perpustakaan, dan lain-lain, di Provinsi
Neuquén, tempat mereka berada, sebagai tanda
terima kasih atas dukungan institusi-institusi tersebut
atas perjuangan mereka. Kemudian, Fabricas sin
Patrones juga membangun sebuah pusat kesehatan
untuk warga sekitar pabrik yang miskin (Gautreau,
2009).
Eksperimen-eksperimen lain dari gerakan
sosial yang dibahas di film ini adalah koperasi,
termasuk koperasi di Amerika Serikat (AS); gerakan
'Kampanye Lain' (La Otra Campaña) yang diluncurkan
Zapatista; Gerakan untuk Keadilan di El Barrio
(Movement for Justice in El Barrio) di Harlem, New
York, yang merupakan bagian dari gerakan
'Kampanye Lain,' dan Gerakan Buruh-Tani Tak
Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem
Terra) di Brazil. Kemudian, film ini juga membahas
Majelis Konstitusi di Venezuela, Ekuador dan Bolivia.
Selain mengulas berbagai eksperimen demokrasi
partisipatoris, film Beyond Elections juga mengkritik
kemunafikan para elit AS yang menuduh beberapa
negara Amerika Latin sebagai kediktatoran. Padahal,
masalahnya ada di standar demokrasi para elit AS,
yang menganggap sebuah negara itu demokratis
hanya jika negara tersebut menerima keberadaan
pangkalan militer AS dan perusahaan-perusahaan
multi-nasional. Demokrasi di AS sendiri bermasalah,
karena didominasi oleh korporasi dan dua partai
utama di AS serta mengeksklusi sebagian elemen
masyarakat, seperti perempuan, kaum non-kulit putih,
dan sebagainya. Film ini juga mengkritik watak tidak
demokratis dari beberapa organisasi internasional,
seperti PBB dan IMF.
Karena eksperimen yang dibahas cukup
banyak, film ini tidak membahas tiap eksperimen
secara mendalam. Oleh sebab itu, kita tidak
mendapatkan gambaran yang rinci tentang kerangka
kelembagaan dan mekanisme yang ada dalam
bentuk-bentuk demokrasi partisipatoris yang
dieksperimentasikan. Begitu pula, kita tidak
mendapatkan gambaran yang memadai mengenai
konteks sosial-politik yang lebih luas dari berbagai
eksperimen itu. Namun demikian, di tengah situasi
demokrasi yang tidak bermakna di Indonesia, film ini
sangat relevan untuk ditonton, karena bisa membuat
kita berpikir, bahwa demokrasi yang lebih dekat
dengan makna sejatinya sebagai 'kekuasaan oleh
rakyat' itu mungkin untuk diwujudkan.
Pustaka Tambahan
1Abers, Rebecca. (2007). “Porto Alegre and the Participatory
Budget: Civic Education, Politics and the Possibilities for
Replication.” Dalam Diane Laberge et al. (Ed.), Building Local
and Global Democracy (hlm. 83-98). Kanada: Carold Institute.
D i u n d u h d a r i h t t p : / / w w w. c a r o l d . c a / p u b l i c a t i o n s /
BLGD/Carold_BuildingDemocracy.pdf.
Ellner, Steve. (2009). “A New Model With Rough Edges:
Venezuela's Community Councils.” NACLA Report on the
A m e r i c a s , 11 J u n i 2 0 0 9 . D i u n d u h d a r i
http://venezuelanalysis.com/analysis/4512.
Gautreau, Ginette. (2009). “The Rise of Worker Cooperatives in
Argentina: Zanon Ceramics laying out the tiles for Argentine
socialism.” The Atlantic International Studies Journal, Volume
5, Musim Semi 2009. Diunduh dari http://atlismta.org/onlinejournals/0809-journal-intervention/the-rise-of-workercooperatives-in-argentina/.
Suggett, James. (2009). “Venezuela's Reformed Communal
Council Law Aims at Increasing Participation.”
Venezuelanalysis.com, 25 November 2009. Diunduh dari
http://venezuelanalysis.com/news/4951.
Download