potensi antibakteri propolis lebah madu

advertisement
5
pengenceran propolis dengan akuades
sehingga didapatkan beberapa konsentrasi
(100, 50, 25, 12,5, 6,25, 3,13, 1,56, dan
0,78%). Masing-masing konsentrasi sebanyak
25 µL diuji dengan memasukkan ekstrak
propolis ke lubang media agar Müeller-Hinton
yang telah diinokulasi dengan bakteri uji,
diinkubasi pada temperatur 37 °C selama 24
jam. Aktivitas antibakterinya diperoleh
dengan mengukur daerah bening di sekeliling
lubang sampel dalam satuan mm.
Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan dalam
pengolahan data adalah rancangan percobaan
satu faktor dalam Rancangan Acak Lengkap.
Berikut ini merupakan model rancangannya
(Mattjik dan Sumertajaya 2002):
Yij = μ + τi + εij
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
μ = Pengaruh rataan umum
τ = Pengaruh perlakuan ke-i
ε = pengaruh acak pada perlakuan ke-i
ulangan ke-j
Rancangan percobaan ini digunakan pada
penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh
dianalisis dengan ANOVA (Analysis of
Variance) pada taraf α 0,05 menggunakan
program piranti lunak SPSS 11. Uji lanjut
yang digunakan adalah uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Ekstrak Propolis
Rendemen ekstrak propolis yang diperoleh
(17,76%) pada penelitian ini lebih besar dari
yang diperoleh pada penelitian Anggraini
(2006) dan Lasmayanti (2007), yaitu sebesar
8,25% dan 8,20% berturut-turut. Pelarut yang
digunakan pada penelitian ini, serta penelitian
Anggraini (2006) dan Lasmayanti (2007)
adalah etanol 70%. Etanol merupakan pelarut
yang memiliki sifat semipolar sehingga
komponen aktif dengan kepolaran yang
beragam dapat terekstraksi lebih sempurna.
Keuntungan etanol sebagai pelarut adalah
memiliki titik didih yang rendah, sehingga
memudahkan
pemisahannya
dengan
komponen aktif dalam propolis, serta
mengurangi jumlahnya dalam ekstrak.
Menurut Harborne (1987), golongan
senyawa flavonoid dapat diekstraksi dengan
baik menggunakan etanol 70%. Flavonoid
merupakan senyawa aktif dan terpenting
dalam ekstrak propolis (Chintapally 2003).
Ekstraksi
propolis dengan maserasi
menggunakan etanol 70% menghasilkan
rendemen 20% lebih tinggi daripada
menggunakan etanol absolut. Oleh karena itu,
penggunaan etanol 70% dapat meningkatkan
jumlah senyawa aktif yang terekstrak. Selain
itu, karena menggunakan propolis kasar yang
merupakan sarang propolis, maka ada
komponen-komponen penyusun lain yang
dapat terekstrak dari sarang lebah, terutama
malam (waxe) atau lilin. Lilin lebah terutama
terdiri atas monoester sederhana asam lemak
dan alkohol dengan rantai karbon jenuh yang
panjang (Hart et al.
2003). Maka,
penggunaan etanol 70% juga berdasarkan
bahwa lilin tidak terekstrak karena tidak larut
dalam etanol 70%.
Propolis kasar yang digunakan diambil
dari sarang lebah Trigona spp. Lebah jenis ini
memproduksi propolis dalam jumlah yang
lebih banyak daripada produksi madunya
(Gojmerac 1983). Semua senyawa fenol
memiliki serapan kuat di daerah ultraviolet
karena memiliki struktur cincin aromatik
(Harborne 1987). Warna propolis tergantung
dari komposisi senyawa fenol yang terdapat
dalam ekstrak, yaitu senyawa flavonoid.
Ekstrak propolis yang diperoleh dalam
penelitian ini berwarna coklat. Propolis yang
berwarna lebih gelap dalam pelarut etanol,
mengandung flavonoid lebih banyak, sehingga
hasil rendemennya juga lebih tinggi
dibandingkan dengan propolis berwarna lebih
muda (Salomao et al. 2004).
Efektivitas Ekstrak Propolis terhadap
Propolis X dan Ampisilin
Berdasarkan analisis statistik, pada
masing-masing isolat, ekstrak propolis
memiliki aktivitas yang berbeda-beda dengan
propolis X. Secara matematis, efektivitas
ekstrak propolis terhadap propolis X pada
masing-masing isolat E. sakazakii IB-19b, IB29a, dan ATCC 35217 berturut-turut adalah
143,99%, 169,65%, dan 155,76% (Gambar 2).
Perbedaan aktivitas ini dapat dipengaruhi oleh
perbedaan
sumber
propolis,
waktu
pengambilan propolis, kemampuan difusi
ekstrak ke dalam agar, dan perbedaan
sensitifitas bakteri. Berdasarkan besarnya
presentase efektivitas ekstrak propolis
terhadap propolis X, maka aktivitas ekstrak
propolis terhadap bakteri uji lebih besar dan
lebih baik daripada propolis X. Diameter zona
hambat propolis pada masing-masing isolat
E. sakazakii IB-19b, IB-29a, dan ATCC
6
35217 berturut-turut adalah 16,07, 13,25, dan
12,71 mm. Sedangkan diameter zona hambat
propolis X pada masing-masing isolat E.
sakazakii IB-19b, IB-29a, dan ATCC 35217
berturut-turut adalah 11,16, 7,81, dan 8,16
mm.
Menurut Bankova et al. (2001), propolis
memiiliki aktivitas yang lebih rendah terhadap
bakteri gram negatif daripada bakteri gram
positif. Uji aktivitas antibakteri ekstrak
propolis yang sama yang dilakukan oleh
Anggraini (2006) terhadap dua bakteri Gram
negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas
aeruginosa) menunjukkan aktivitas yang lebih
rendah dibandingkan dua bakteri Gram positif
yang diuji (Bacillus subtilis
dan
Staphylococcus aureus). Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan penyusun dan
struktur dinding sel bakteri Gram negatif dan
Gram positif. Membran luar bakteri Gram
positf memiliki kandungan peptidoglikan
yang tinggi dan berlapis tunggal serta tidak
mempunyai lapisan polisakarida. Membran
luar bakteri Gram negatif mengandung
peptidoglikan yang kaya akan lipid dan
membentuk lapisan lipopolisakarida. Lapisan
ini bersifat semipermeabel, tidak dapat
dilewati oleh molekul-molekul besar, tetapi
dapat dilewati oleh molekul-molekul kecil
seperti nukleosida, oligosakarida, dan asam
amino.
Berdasarkan analisis statistik, pada
masing-masing isolat, ekstrak propolis
memiliki aktivitas yang berbeda nyata
terhadap ampisilin. Secara matematis,
efektivitas ekstrak propolis terhadap ampisilin
pada masing-masing isolat E. sakazakii IB19b, IB-29a, dan ATCC 35217 berturut-turut
adalah 39,37%, 38,94%, dan 47,37%
(Gambar 3). Presentase ini menunjukkan
aktivitas ampisilin sangat berbeda nyata dan
lebih besar dibandingkan ekstrak propolis.
Nilai efektivitas tersebut berbeda dan aktivitas
ampisilin lebih besar dibandingkan dengan
ekstrak propolis karena perbedaan tingkat
sensitifitas bakteri terhadap antibakteri. Akan
tetapi dengan sifat antibakteri yang dimiliki
oleh propolis, menjadi satu pertimbangan
untuk menggunakan propolis sebagai bahan
aktif antibakteri ketika terjadi resistensi
bakteri terhadap antibiotik.
Menurut Surawiria dalam Rahmawati
(2006), pengukuran kekuatan antibiotikantibakteri berdasarkan metode David-Stout,
menyatakan bila diameter zona bening ≤ 5
mm menunjukkan aktivitas antibakteri lemah,
diameter 5-10 mm menunjukkan aktivitas
antibakteri sedang, diameter 10-20 mm
menunjukkan aktivitas antibakteri kuat, dan
diameter > 20 mm menunjukkan aktivitas
antibakteri sangat kuat. Berdasarkan standar
ini, maka aktivitas hambatan propolis
Pandeglang terhadap semua isolat termasuk
kategori kuat dan lebih tinggi daripada
aktivitas propolis X, yaitu dalam kisaran 1020 mm. Aktivitas propolis X terhadap
E. sakazakii IB-19b termasuk kuat (10-20
mm), kemudian terhadap E. sakazakii IB-29a
dan E. sakazakii ATCC 35217 termasuk
sedang (5-10 mm).
Aktivitas yang ditunjukkan oleh ampisilin
termasuk kategori aktivitas sangat kuat (> 20
mm), bahkan pada isolat E. sakazakii IB-19b
aktivitas ampisilin menunjukkan bakteri ini
sangat rentan terhadap ampisilin dengan
diameter zona bening 40,82 mm. Pada E.
sakazakii IB-29a, aktivitas ampisilin termasuk
sangat kuat (34,02 mm), dan aktivitas
ampisilin terhadap
E. sakazakii ATCC
35217 juga termasuk sangat kuat (26,82 mm).
Berdasarkan Freney et al. (1988), yang
menguji kerentanan 6 galur bakteri
E. sakazakii, menunjukkan bahwa bakteri ini
rentan terhadap ampisilin, hasil ini
bersesuaian dengan hasil yang diuji pada 195
isolat E. sakazakii yang diperoleh oleh
Muytjens dan van der Ros-van de Repe
(1986).
Mekanisme kerja ekstrak propolis belum
dapat diketahui pasti dengan penelitian yang
dilakukan. Akan tetapi, sifat antimikrob yang
dimiliki propolis diduga berhubungan dengan
efek sinergi dari senyawa-senyawa yang ada
dalam propolis. Menurut Boyanova et al.
(2005) propolis dapat merusak membran
sitoplasma, menghambat motilitas bakteri dan
aktivitas enzim. Menurut Bankova (2005)
golongan senyawa fenol (flavonoid, flavon)
yang terkandung dalam propolis menunjukkan
aktivitas antibakteri. Flavonoid mempunyai
kemampuan mengikat protein ekstraseluler
dan protein integral yang bergabung dengan
dinding sel bakteri, dan mengganggu
permeabilitas dinding sel (Murphy 1999).
Selain itu, kandungan triterpenoid yang ada
dalam propolis juga berperan dalam efek
sinergis antibakteri yang dimiliki propolis.
Senyawa tanin dalam ekstrak propolis diduga
memiliki
sifat
antimikrob
karena
kemampuannya dalam inaktivasi protein
enzim, dan lapisan protein transpor (Murphy
1999). Senyawa saponin membentuk busa
sabun dalam air dan merupakan bahan aktif
permukaan
saponin,
sehingga
dapat
7
d ia m e te r z o n a in h ib is i (m m )
mengurangi permeabilitas dinding sel,
mempermudah bahan aktif lain untuk merusak
dinding sel, dan melisis sel (Harborne 1987;
Murphy 1999).
Ampisilin merupakan antibiotik β-laktam
dan termasuk ke dalam golongan penisilin
semisintetik. Mekanisme kerja ampisilin yaitu
menghambat pembentukan dinding sel bakteri
dengan mencegah bergabungnya asam Nasetil
muramat
ke
dalam
struktur
peptidoglikan. Penghambatan biosintesis
peptidoglikan menyebabkan kekuatan dinding
sel melemah, dan tidak dapat menahan
tekanan dari sitoplasma sehingga sel pecah.
Mekanisme kerja yang spesifik yang dimiliki
ampisilin tersebut menyebabkan ampisilin
memiliki daya antibakteri yang besar dan
bersifat bakterisidal dengan spektrum yang
luas, dapat menghambat bakteri Gram positif
maupun Gram negatif.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Ampisilin
Gambar 2
Propolis X
Diameter zona inhibisi relatif (%)
Propilen
glikol
Hasil uji pendahuluan aktivitas
antibakteri propolis terhadap
E. sakazakii IB-19b ( ), IB-29a
( ), dan ATCC 35217 ( ).
169,65
180
160
Propolis
Pandeglang
100 %
155,76
143,99
140
120
100
80
60
39,37
38,94
47,37
40
20
0
IB-19b
IB-29a
ATCC 35217
E. sakazakii
Gambar 3
Efektivitas ekstrak propolis
terhadap propolis X ( ) dan
ampisilin ( ).
Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh
Minimum (KHTM)
Penentuan KHTM dilakukan untuk
menentukan konsentrasi terendah ekstrak
propolis yang masih dapat menghambat
pertumbuhan bakteri E. sakazakii. Parameter
adanya penghambatan pertumbuhan pada
E. sakazakii adalah dengan mengukur zona
bening pada variasi konsentrasi 100, 50, 25,
12,5, 6,25, dan 3,125% (Gambar 4).
Konsentrasi ini dipilih berdasarkan penelitian
Anggraini (2006) dan Lasmayanti (2007),
selain itu untuk menunjukkan jika ada
penurunan aktivitas dengan penurunan
konsentrasi yang semakin kecil. Pada
penentuan KHTM, E. sakazakii IB-29a dan
ATCC 35217 menunjukkan adanya aktivitas
pada kontrol pelarut, akan tetapi berdasarkan
analisis statistik, pengaruh pelarut propilen
glikol tidak signifikan, karena aktivitas yang
ditunjukkan oleh ekstrak propolis berbeda
nyata dengan propilen glikol (P<0,05).
Aktivitas ekstrak propolis sendiri pada
masing-masing bakteri uji menunjukkan
kecenderungan yang berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa masing-masing bakteri
memiliki sensitivitas yang berbeda.
Aktivitas antibakteri yang diperoleh
menunjukkan variasi aktivitasnya yang
tergantung pada konsentrasi dan jenis bakteri,
terjadi penurunan aktivitas propolis dengan
menurunnya konsentrasi. Begitu pula pada
isolat yang berbeda, diperoleh perbedaan yang
nyata pada aktivitas propolis terhadap masingmasing isolat. Ketiga isolat menunjukkan
hasil yang berbeda dapat disebabkan oleh
kerentanan yang berbeda. Karena pada
dasarnya ketiga isolat merupakan bakteri
Gram negatif, hasil uji yang berbeda
menggunakan ekstrak propolis menunjukkan
perbedaan reaksi yang berbeda terhadap bahan
antibakteri
dalam
ekstrak
propolis.
Berdasarkan hasil penentuan KHTM, propolis
menunjukkan efektivitas yang tinggi pada
isolat IB-19b hingga konsentrasi efektif
terkecil 12,5%, dan kurang efektif terhadap
bakteri ATCC 35217. Hal ini mungkin
disebabkan pada zona inhibisi yang terjadi
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain toksisitas bahan uji, kemampuan
difusi bahan uji pada media, dan kondisi
lingkungan mikro in vitro (Sabir 2005).
Selain
beberapa
faktor
tersebut
sebelumnya, E. sakazakii memiliki salah satu
karakteristik bakteri yang bersifat patogen dan
dapat meningkatkan patogenisitasnya, yaitu
8
d ia m e te r z o n a b e n in g (m m )
dapat menghasilkan bahan kapsular pelekat
sehingga bakteri ini dapat membentuk biofilm
(Pelczar & Chan 1988; Scheepe-Leberkühne
& Wagner 1986 dalam Iversen et al. 2004).
Karena beberapa galur memiliki kapsul dan
membentuk biofilm, maka penetrasi ke dalam
sel bakteri oleh bahan aktif propolis menjadi
lebih lambat.
Hasil
penentuan
KHTM
juga
menunjukkan
aktivitas
propolis
yang
tergantung konsentrasi. Aktivitas antibakteri
propolis tertinggi pada konsentrasi 100 %, dan
terjadi
penurunan
aktivitas
dengan
menurunnya konsentrasi. Melalui analisis
ststistik, pengaruh konsentrasi menunjukkan
pengaruh yang tidak berbeda nyata pada
masing-masing isolat pada konsentrasi
3,125%. Akan tetapi, pada konsentrasi ini
nilainya tidak berbeda nyata dengan kontrol
pelarut propilen glikol. Oleh karena itu
KHTM
yang ditentukan adalah pada
konsentrasi yang melalui uji statistik berbeda
secara nyata dengan propilen glikol dengan
aktivitas yang lebih tinggi dari propilen glikol.
Nilai KHTM pada masing-masing isolat
berbeda-beda, KHTM isolat IB-19b, IB-29a,
dan ATCC 35217 berturut-turut adalah
12,50% (7,33 mm), 25,00% (6,69 mm), dan
50,00% (6,62 mm) (Tabel 2).
16,0000
14,0000
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Propolis diekstrak dari sarang lebah
Trigona spp dengan maserasi menggunakan
alkohol 70% menghasilkan rendemen
17,76%. Melalui uji pendahuluan diperoleh
aktivitas propolis lebih tinggi daripada
propolis X, dan lebih rendah daripada
ampisilin. Efektivitas propolis terhadap
propolis X
pada masing-masing isolat
IB-19b, IB-29a, dan ATCC 35217 berturutturut adalah 143,99%, 169,65%, dan
155,76%. Efektivitas ekstrak propolis
terhadap ampisilin pada masing-masing isolat
IB-19b, IB-29a, dan ATCC 35217 berturutturut adalah 39,37%, 38,94%, dan 47,37%.
Konsentrasi hambat tumbuh minimum yang
diperoleh pada masing-masing isolat berbedabeda, KHTM isolat IB-19b, IB-29a, dan
ATCC 35217 berturut-turut adalah 12,50%,
25,00%, dan 50,00%.
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya dapat
dilakukan penelitian yang mempelajari
tentang pengaruh metode ekstraksi yang
berbeda, dan perbedaan kandungan senyawa
dari sumber propolis yang berbeda, serta pada
jenis mikroorganisme patogen yang berbeda.
12,0000
DAFTAR PUSTAKA
10,0000
8,0000
Anggraini AD. 2006. Potensi propolis lebah
madu Trigona spp. sebagai bahan
antibakteri. [skripsi]. Bogor: Program
Studi Biokimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
6,0000
4,0000
2,0000
0,0000
100
50
25
12,5
6,25
3,125
Konsentrasi propolis (%)
Gambar 4
Penentuan konsentrasi hambat
tumbuh minimum E. sakazakii
IB-19b ( ),IB-29a ( ), dan
ATCC 35217 ( ).
Tabel 2 KHTM propolis Pandeglang
Bakteri
KHTM (%)
E. sakazakii IB-19b
12,50
E. sakazakii IB-29a
25,00
E. sakazakii ATCC 35217
50,00
Bankova V. 2005. Recent trends and
important developments in propolis
research. eCAM 2:29-32.
Bankova V, Popova M. 2007. Propolis of
stingless bees: a promising source of
biologically
active
compounds.
Pharmacognosy Reviews 1:88-92.
Bankova et al. 2006. Bioactive constituents of
Brazillian red propolis. eCAM 3:249–254.
Breeuwer P, Lardeau A, Peterz M, Joosten
HM. 2003. Desiccation and heat tolerance
of Enterobacter sakazazkii. Journal of
Applied Microbiology 95:967-973.
Download