Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung (Puskesmas Perairan) Kabupaten Batubara Tahun 2014 Yetti Fauizah,S.Kep,Ns,M.Kep Musliardi Atikah Alawiyah Tansara ABSTRAK ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian saluran pernapasan atas hingga alveoli yang merupakan saluran pernapasan bawah dan termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Di Lingkungan Pusat Pelayanan Terapung Kabupaten Batubara terdapat kasus ISPA pada balita yang banyak disebabkan polusi udara oleh sanitasi lingkungan yang buruk. Tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengidentifikasi hubungan sanitasi lingkungan dengan ISPA pada balita. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan melakukan observasi. Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak penderita ISPA yang berobat di pusat pelayanan kesehatan terapung berjumlah 36 orang, Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah tehnik total sampling dengan mengambil semua sampel untuk diteliti. Hasil penelitian terhadap 36 responden didapatkan dari 22 orang (61,1%) yang memiliki sanitasi lingkungan buruk, terdapat 14 balita (36.1%) yang mengalami ISPA sedang dan 8 orang (2,7%) mengalami ISPA berat Sedangkan dari 14 orang (36.1%) yang memiliki sanitasi lingkungan baik terdapat 6 balita (13.8%) mengalami ISPA sedang, 4 orang (5.5%) ISPA ringan dan 4 orang (5.5%) ISPA berat. Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa sanitasi lingkungan yang buruk mengakibatkan penyakit ISPA yang diderita balita karena. Maka di harapkan kepada kader kesehatan di pusat pelayanan kesehatan kabupaten batubara agar dapat memberikan informasi tentang keadaan lingkungan berkondosi baik agar dapat mengurangi angka terjadinya ISPA pada balita. Kata kunci : Sanitasi Lingkungan, kejadian ISPA, balita Daftar pustaka : 13 buku (2005 – 2013) 4 Internet (2010 – 2013) PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu multidisipliner yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara sekelompok manusia atau masyarakat dengan berbagai perubahan komponen lingkungan hidup manusia yang diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya (Chandra, 2007: 3) Perkembangan dan pertumbuhan di wilayah kota yang begitu pesat menjadikan munculnya bermacam permasalahan, salah satu masalah pokok yang sampai saat ini belum tuntas adalah masalah sanitasi perkotaan. Berdasarkan Laporan Pencapaian tujuan pembangunan Milenium di Indonesia tahun 2010 menunjukkan bahwa, akses sanitasi layak di wilayah perkotaan masih pada angka 69,51 % dari target yang hendak dicapai di 2015 sebesar 76 ,82 %, sedangkan capaian akses sanitasi layak di wilayah perdesaan sebesar 33.96 % dari target 55.55 % (Bappenas, 2010) Penelitian lainnya menunjukkan bahwa 17 persen penghuni kawasan kumuh di perkotaan melakukan aktifitas buang sampah tanpa menggunakan tempat pembuangan yang standar. Kesakitan ISPA yang merupakan kesakitan karena lingkungan di Indonesia Tahun 2000-2010 cenderung fluktuatif, dan Provinsi Jawa Timur merupakan daerah kedua terbanyak frekuensi KLB diare (Jurnal Ilmu 1 Lingkungan , Vol 10 (2):111122,(2012), ISSN : 1829-8907). Sebagai salah satu Negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, masalah kesehatan lingkungan di Indonesia menjadi sangat kompleks terutama dikota-kota besar. Hal itu disebabkan antara lain penyediaan air bersih, pembuangan limbah industri dan tempat pembuangan sampah (Chandra, 2007: 13). Kesehatan lingkungan pemukiman , tempat kerja dan tempat-tempat umum serta tempat pariwisata ditingkatkan melalui penyediaan serta pengawasan mutu air yang memenuhi persyaratan terutama penertiban tempat pembuangan sampah, penyediaan sarana pembuangan limbah serta sarana sanitasi lingkungan lainnya sehingga masyarakat khususnya balita terhindar dari penyakit ISPA (Wahyuningsih, 2009: 39). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang serius terutama pada anak usia 1-5 tahun dan merupakan penyebab kematian anak di negara berkembang. ISPA yang tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan yang baik akan menjadi infeksi saluran pernafasan bawah atau pneumonia penyakit paling sering terjadi pada anak kecil terutama bila anak mengalami gizi kurang dan kombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higiene dan merupakan penyebab kematian paling sering pada anak (Kemenkes RI, 2006). Angka kematian balita menggambarkan peluang untuk meninggal pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 diperoleh bahwa angka kematian balita (AKABA) di Sumatera Utara sebesar 54/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka rata-rata nasional pada tahun 2012 sebesar 43 per 1.000 kelahiran hidup. Angka nasional ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan AKABA pada tahun 2007 yang sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup (profil-kes prov sumut. 2012). Badan penelitian kesehatan World Health Organitation (WHO) tahun 2012 insiden Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. ISPA lebih banayak di Negara berkembang dibandingkan di Negara maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita di Asia Tenggara sebanyak 2,1 juta balita. India, Bangladesh, Indonesia, dan Myanmar merupakan negara dengan kasus kematian balita akibat ISPA terbanyak. (Usman, 2012) Di Indonesia menurut laporan survei mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005 di 10 provinsi diketahui bahwa 22,3% dari seluruh kematian bayi diakibatkan oleh pneumonia (P2PL, 2008). Sedangkan menurut studi mortalitas pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun 2007, diketahui bahwa proporsi kematian akibat pneumonia sebesar 23,8% dan pada anak balita sebesar 15,5%. Kedua data tersebut menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian balita utama di Indonesia (Direktorat Jenderal P2PL, 2006) Cakupan penemuan kasus Pneumonia pada balita, pada tahun 2012, dari 148.431 perkiraan kasus balita yang menderita penemonia; yang ditemukan dan ditangani hanya 17.443 balita atau 11,74%; angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2011 yaitu 22.442 balita atau 15,56%. Dari 33 kabupaten/kota, terdapat 3 kabupaten/kota yang melaporkan 0 (nul) kasus yaitu Kabupaten Nias Utara, Batubara dan Kota Binjai. Kabupaten dengan jumlah penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah Kabupaten Simalungun yaitu 32,44%, disusul dengan Kota Medan sebesar 25,50% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 21,53%. (Profil-Kes Prov Sumut. 2012). Salah satu tujuan dari SDKI 2012 adalah mengukur tingkat dan kecenderungan 2kematian bayi dan anak. Angka kematian bayi dan anak yang disajikan dalam Tabel 8 adalah estimasi secara langsung berdasarkan keterangan yang didapat dari bagian riwayat kelahiran dari kuesioner wanita mengenai tanggal kelahiran anak, status kelangsungan hidup, dan umur saat meninggal untuk anak yang sudah meninggal. Angka-angka kematian bayi dan anak (SDKI. 2012) Selain kondisi gizi anak, faktor lain yang menyebabkan tingginya kejadian ISPA adalah sanitasi lingkungan. Sanitasi lingkungan adalah Status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya. Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status keseatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain : penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya. Keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit antara lain diare dan infeksi saluran pernapasan (Jurnal STIKes Kediri Volume 6, No. 1, Juli 2013). Pada tahun 2006, cakupan penemuan pneumonia balita di Jawa Tengah mencapai 26,62%. Angka tersebut mengalami penurunan pada tahun 2007 yaitu menjadi 24, 29% dan pada tahun 2008 juga mengalami penurunan menjadi 23,63%. Angka ini sangat jauh dari target SPM (Standart Pelayanan Minimal) tahun 2010 sebesar 100% (Dinkes Jawa Tengah,2008). Di Sumatera Utara, Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit ketujuh dari 10 pola penyakit terbanyak di puskesmas Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah kasus 4.463. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Selama tahun 2012, ditemukan 41.291 balita menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dengan cakupan penemuan 32,4% sedangkan dalam tahun 2013 cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100%. Berdasarkan data Susenas, untuk fasilitas sanitasi, pencapaian Indonesia sempat meningkat tinggi dari tahun 1992 (30,9%) sampai dengan tahun 1998 (64,9%), dimana dalam enam tahun terjadi peningkatan sebanyak tiga kali lipat. Walaupun demikian, sejak tahun 1998 pertumbuhan akses ini melambat, bahkan sempat menurun di tahun 2000 (62,7%) dan 2002 (63,5%) karena tingkat pertumbuhannya tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Data terakhir untuk tahun 2004, proporsi rumah tangga yang memiliki akses pada fasilitas sanitasi yang layak, artinya menggunakan tangki septic atau lubang sebagai tempat pembuangan akhir mencapai dua pertiga dari seluruh rumah tangga di Indonesia (67,1%). Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti bahwa data yang diperoleh dari Puskesmas Perairan selama tahun 2014, yaitu terdapat 36 balita yang terserang penyakit ISPA berobat ke Puskesmas Perairan Tanjung Tiram. Kondisi rumah dan lingkungan Kelurahan Bagan Area kurang memenuhi syarat, banyak balita yang terserang ISPA dengan keluhan batuk, demam, pilek dan sesak karena lokasi dekat dengan pinggiran kota tempat lajunya transportasi darat sehingga menyebabkan polusi udara, serta di pinggir sungai, laut dan industry. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dalam penulisan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Pada Balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kab. Batubara Pada Tahun 2015”. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) Pada Balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung (Puskesmas Perairan) Kab. Batubara pada tahun 2015. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi sanitasi lingkungan di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung (Puskesmas Perairan) Kab. Batubara pada tahun 2015. 2. Mengidentifikasi kejadian ISPA di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung (Puskesmas Perairan) Kab. Batubara pada tahun 2015 cross sectional yaitu suatu penelitian dimana variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang termasuk efek diobservasi secara bersama pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005:148). 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Area sebagai salah satu desa di pusat pelayanan kesehatan terapung Kabupaten Batubara . Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada: a). Terdapat kasus ISPA yang cukup tinggi, b). Lingkungan tempat tinggal masyarakat di pesisir pantai, c). Belum pernah diteliti mengenai kasus hubungan sanitasi lingkungan dengan ISPA pada balita di lokasi tersebut. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Desain Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat observasional dengan metode pendekatan cross-sectional, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam suatu periode waktu tertentu dan setiap subjek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian bertujuan untuk menggambarkan hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita di pusat pelayanan kesehatan terapung Kabupaten Batubara tahun 2014”. 3.1.2 Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Survei Analitik dengan rancangan 3.2.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 06 - 22 Oktober 2014 Di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara. 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti.. (Notoatmodjo, 2005 : 81). Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang menderita ISPA dan berobat di Desa Bagan Area pusat pelayanan kesehatan terapung Kabupaten Batubara. Berdasarkan dari pusat pelayanan terapung diketahui bahwa jumlah penderita ISPA balita usia 1-5 tahun pada bulan Oktober 2014 sebanyak 36 orang. 3.3.2 Sampel bulan, diperoleh jumlah sampel Sampel adalah bagian dari sebanyak 36 orang. populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah seluruh atau sebagian dari populasi yang diambil 3.4 Definisi Operasional sebagai sumber data dan dapat Dalam penelitian ini yang mewakili seluruh populasi. Sampel menjadi variabel Independen (X) dari penelitian ini adalah balita yang adalah pengetahuan orang tua balita menderita ISPA di desa Bagan Area dan variabel dependen (Y) adalah dan berobat di pusat pelayanan hasil penderita ISPA kesehatan terapung. Sampel diambil Tabel 3.1 menggunakan teknik accidental Defenisi dengan waktu penelitian selama satu Operasional Variabel X dan Y No 1 Variabel Indepennden Sanitasi Lingkungan Dependen Kejadian ISPA pada balita Defenisi Operasional Merupakan status atau kondisi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan meliputi, pengolahan sampah, persediaan air bersih, pembuangan air limbah Infeksi saluran pernafasan yang terjadi pada balita usia 1-5 tahun diperoleh dari data rekam medis puskesmas terapung (puspelkes) Keluhan gangguan pada saluran pernafasan yang dialami oleh balita usia 1-5 tahun dengan gejala batuk pilek HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Alat Ukur Hasil Ukur Skala Observasi 1. Baik jika Ordinal jawaban benar ≥ 75% 2. Buruk jika jawaban benar < 75% Observasi 1. ISPA Ringan = batuk, pilek, demam 2. ISPA Sedang =Pernafasan cepat 3. ISPA Berat= sianosis, kejang, nafas cuping hidung Nominal Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medang Deras, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan. Pada daerah selatan berbatasan dengan Kecamatan Talawi dan sebelah Terapung Kabupaten Batubara Utara berbatasan dengan Selat Tahun 2014 34 Malaka. Di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Noini banyak Karakteristik Frekuensi Presentase (%) terdapat balita yang menderita ISPA. Responden Di sekitar daerah di Pusat 1 Pelayanan Pendidikan Kesehatan Terapung tidakSD banyak 13 36.1 persediaan air bersih dan pengelolaan SMP 10 27.7 sampah yang tidak baik SMA sehingga 8 22.2 menyebabkan udara yang PT tercemar 5 13.8 berakibat banyak balita yang terkena Jumlah 36 100 ISPA. 2 Pekerjaan Data hasil penelitian ini Bekerja 23 63,8 meliputi data sanitasi lingkungan Tidak bekerja 13 36,1 yang terdiri dari penyediaan air Jumlah 36 100 bersih berwarna atau berbau, 3 Jenis Kelamin balita pengeloaan Sampah tempatPerempuan sampah 16 44,4 tertutup,Tempat sampah Laki-laki 20 55,6 konstruksinya kuat, pengelolaanJumlah 36 100 limbah apakah limbah4 mencemari Umur Balita sumber air bersih dan menimbulkan 2 tahun 13 36,1 bau sebagai variabel independen (X) 3 tahun 10 27,8 dan data kejadian ISPA pada Balita 4 tahun 7 19,4 sebagai variabel dependen (Y). 5 tahun 6 16,7 Langkah berikutnyaJumlah 36 100 dilakukan teknik analisis data dengan menggunakan análisis chi square Berdasarkan tabel 4.1, dapat untuk mengetahui hubungan sanitasi dilihat bahwa mayoritas balita yang lingkungan dengan kejadian infeksi mengalamai ISPA di Pusat saluran pernapasan akut (ISPA) pada Pelayanan Kesehatan Terapung balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Kabupaten Batubara Tahun 2015 Terapung Kabupaten Batubara berjenis kelamin laki-laki sebanyak Tahun 2014. 20 orang (55.6%) dengan usia balita 4.2 Data Demografi 33 4.2.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari 36 responden dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini : Tabel 4.1 Data Karakteristik Responden di Pusat Pelayanan Kesehatan 2 tahun sebanyak 13 orang (36.). Responden berpendidikan SD sebanyak 13 orang (36.1%), bekerja sebanyak 23 orang (63.8%). 4.2.2 Sanitasi Lingkungan di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 Sanitasi lingkungan yang menjadi faktor penyebab ISPA dapat dilihat berdasarkan tabel dibawah ini: Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sanitasi Lingkungan di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 35 No 1 2 Sanitasi lingkungan Baik Buruk Jumlah Berdasarkan tabel 4.2 diketahui sanitasi lingkungan di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 mayoritas buruk sebanyak 32 orang (88.8%). 4.2.3 Kejadian ISPA pada balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 Kejadian ISPA pada balita berdasarkan hasil rekam medis yang ada di pusat pelayanan kesehatan terapung kabupaten batubara tahun 2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Data Kejadian ISPA Pada Balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 35 No 1 2 3 Kejadian ISPA Pada Balita ISPA Ringan ISPA Sedang ISPA Berat Jumlah Berdasarkan tabel di atas diketahui kejadian ISPA pada balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara mayoritas mengalami ISPA berat yaitu sebanyak 16 responden (44.4%). 4.2.4 Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Frekuensi PersentaseTahun (%) 2014 36 4 11.1 Hasil tabulasi88.8 silang 32 hubungan36 sanitasi lingkungan 100 dengan Kejadian ISPA pada Balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2015 dapat dilihat pada tabulasi silang berikut: Tabel 4.4 Tabulasi Silang Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita usia 1-5 tahun di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 36 ISPA Pada Balita Sanitasi lingkungan Ringan Sedang B f % F % F Baik 2 5.5 2 5.5 0 Buruk 4 11.1 12 33.3 16 Total 6 16.6 14 38.8 16 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 32 orang (88.8%) yang memiliki Frekuensi Persentasesanitasi (%) lingkungan 16 balita 6 buruk, terdapat 16.6 (44.4%) yang ISPA berat 14 mengalami 38.8 dan 12 orang (33.3%) 44.4 mengalami 16 ISPA sedang Sedangkan dari 36 100 4 orang (11.1%) yang memiliki sanitasi lingkungan baik terdapat 2 balita (5.5%) mengalami ISPA sedang, 2 orang (5.5%) ISPA ringan. Berdasarkan uji chi-square untuk melihat hubungan variabel independen dan dependendiperoleh nilai p : 0,018 (p < α (0,05) artinya hipotesis penelitian diterima, ada hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA di Pust Pelayanan Kesehatan terapung Kabupaten Batubara Tahun 2015. Selanjutnya diperoleh nilai x2 sebesar 31.792, artinya balita dengan sanitasi lingkungan buruk memiliki peluang 31.792 kali untuk mengalami ISPA berat dibandingkan dengan yang memiliki sanitasi baik. 4.3 Pembahasan 4.3.1 Sanitasi Lingkungan di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2015 Menurut tabel 4.3 sanitasi lingkungan di di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 mayoritas buruk. Hasil penelitian yang diperoleh dari pengisian data observasi sanitasi lingkungan, masih terdapat sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Selain itu juga masih terdapat warga yang memiliki tempat pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat yaitu tempat pembuangan sampah yang tidak tertutup serta bocor, dan pembuangan limbah yang langsung dialirkan ke sungai. Hal ini tentu saja dapat sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama ISPA, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya. Tempat pembuangan sampah yang paling lazim diantaranya Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan lahan kosong di pinggir jalan sungai. Pada musim hujan, sampah-sampah berserakan di saluran drainase dan potensial sekali sebagai media pertumbuhan berbagai kuman penyakit. Menurut Widoyono (2011:43), sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian ISPA. Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara massal sering bertanggung jawab terhadap terjadinya ISPA. 4.3.2 Kejadian ISPA pada Balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 Menurut tabel 4.2 balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara mayoritas menderita ISPA dengan tingkatan sedang. Hal ini terlihat dari pengisian data observasi terdapat keluhan batuk, pilek, demam dan sesak pada balita yang berobat di pusat pelayanan kesehatan terapung kabupaten Batubara Tahun 2015. Kejadian ISPA bisa dikategorikan sebagai ISPA ringan, sedang, berat dengan keluhan yang bermacam-macam penyebabnya dan bisa dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan. Menurut klinikita (2007) ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun di negara maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk Rumah Sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulanbulan musim dingin.Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada balita terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada anakanak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik. 1.3.3 Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Pusat Pelayanan Terapung Tahun 2014 Berdasarkan tabel 4.4 mayoritas dari sanitasi yang buruk dengan mayoritas balita mengalami ISPA sedang di pusat pelayanan kesehatan terapung kabupaten batubara. Menurut Chandra (2007) Sanitasi lingkungan sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ISPA. Hubungan antara lingkungan dengan kondisi kesehatan sudah diketahui. Pada komunitas aborigin prevalensi penyakit yang tinggi disebabkan oleh sanitasi yang buruk, kepadatan yang tinggi dan penyediaan air bersih yang tidak memadai. Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit yang selalu berada dalam urutan 10 besar penyakit terbanyak. Sedangkan di indonesia penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan polusi udara yang bersumber dari sampah dan pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat tertentu karena pada dasarnya saluran pernafasan merupakan salah satu bagian yang paling mudah terpapar oleh bahanbahan yang mudah terhirup yang terdapat di lingkungan. Debu yang terhirup oleh balita menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Menurut penelitian Sari Utami (2013) Universitas Negeri semarang penyakit ISPA dan Tuberkulosis yang erat kaitannya dengan kondisi sanitasi lingkungan yang merupakan penyebab kematian nomor 2 di Indonesia. Faktor risiko lingkungan dari pengelolaan sampah yang kurang tepat dapat mempengaruhi kejadian gejala penyakit ISPA seperti demam, batuk, pilek, cuping. Sanitasi lingkungan yang berasal dari penyediaan air bersih, tempat pembuangan sampah dan pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan mengakibatkan memburuknya kualitas udara. Sekitar 80 % polusi udara disebabkan oleh sampah yang menumpuk serta bau yang menyengat. Masih banyak warga yang kurang memerhatikan kebersihan lingkungan seperti tempat penyediaan air bersih, pembuangan sampah dan pembuangan limbah sehingga menyebabkan polusi udara yang tidak baik langsung terhirup dan penyebaran peyakit ISPA dapat terjadi di masyarakat khususnya balita. Maka dapat disimpulkan bahwa sudah ada kesesuaian antara fakta dan teori bahwa sanitasi lingkungan berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Diharapkan kepada msyarakat desa disekitar pusat pelayanan terapung untuk selalu menjaga kebersihan lingkungannya dengan baik. 4.4 Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini peneliti telah berupaya semaksimal mungkin untuk memperoleh data yang sebenarnya dan mengontrol kondisi yang berkaitan dengan proses dan hasil penelitian yang optimal, namun kendala yang ditemui tidak terlalu membatasi dalam melaksanakan penelitian ini, sehingga berbagai kelemahan dan keterbatasan pada saat melaksanakan penelitian ini antara lain yaitu : dalam melaksanakan penelitian ini menggunakan observasi tentang golongan ISPA pada balita yang disebarkan kepada responden dalam mengungkapkan keadaan yang sebenarnya, sehingga perlu dijelaskan kepada responden bahwa penelitian dilakukan untuk mengembangkan ilmu namun segala rahasia tentang diri responden tetap dijaga kerahasiaannya. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sanitasi lingkungan di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014 mayoritas buruk. 2. Kejadian ISPA pada balita di Pusat Pelayanan Kesehatan Terapung Kabupaten Batubara mayoritas mengalami ISPA berat 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita di Pusat Pelayanan Terapung Kabupaten Batubara Tahun 2014. 5.2 Saran Penelitian yang telah dilakukan di pusat pelayanan terapung kabupaten batubara tahun 2014 maka kesimpulan yang ditarik tentu mempunyai saran dalam bidang kesehatan dan juga penulisanpenulisan selanjutnya, sehubungan dengan hal tersebut maka sarannya adalah sebagai berikut : 1. Bagi Tempat Penelitian Diharapkan bagi tempat penelitian terutama bagi Tenaga Kesehatan di pusat pelayanan terapung kabupaten batubara supaya melakukan penyuluhan untuk mencegah terjadinya ISPA pada balita sehingga dapat menjaga kesehatan balita dari bakteri yang dihasilkan oleh42 buruknya sanitasi lingkungan. 2. Bagi Instansi Pendidikan Untuk mata kuliah tertentu yang berhubungan dengan sanitasi diharapkan membuat program dengan penyuluhan tentang bagaimana kondisi lingkungan yang baik sehingga dapat mengurangi timbulnya penyakit ISPA yang diderita oleh balita 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian selanjutnya terkait dengan sanitasi lingkungan dengan sampel dan variabel yang berbeda dan populasi yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA A Aziz, Alimul Hidayat., Wahyuningsih, Esty (ed.). 2008. Buku saku praktikum keperawatan anak. Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta. Chandra, budiman. 2007. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC CCPHI, 2013. Program Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Dinas Kesehatan, 2008. Buku Profil Kesehatan Jawa Tengah. Dinkes Jawa Tengah Kharmayana, 2011. Sanitasi Air dan Limbah Mendukung Kesehatan Pasien Di Rumah Sakit. Jakarta: Salemba Medika Kementerian Kesehatan RI 2010. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Machmud, R, 2006. Pneumonia Balita Di Indonesia dan Peranan Kabupaten dalam Penanggulangannya. Yogyakarta: Andalas University Press. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Profil Kesehatan Indonesia, 2005. Masyarakat yang Mandiri Untuk Hidup Sehat. Jakarta. Depkes RI Riyanto,A dan Budiman, 2013. Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika SDKI. 2012. Badan Pusat Statistik. Jakarta: Indonesia. Surjantini, 2012. profil kesehatan provinsi sumatera utara. Sucipto, 2012. Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah. Yogyakarta: Gosyen Publishing Wahyuni.Sri, 2012. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol 10(2):111122,(2012), ISSN : 1829-8907 Wahyuni, Puji, 2009. Dasar-dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta. Fitramaya