COVER SAWO KECIK final

advertisement
us
us 12
-9
h
24
i K r 20
s
9
ka be
53
li em
3
b
t
79
Pu Sep
-9
8
BN
97
IS
Penyusun ::
Naning Yuniarti
Naning
Balai
Balai Penelitian
Penelitian Teknologi
Teknologi Perbenihan
Perbenihan Tanaman
Tanaman Hutan
Hutan
Jl.Pakuan
Jl.Pakuan Ciheuleut
Ciheuleut PO
PO BOX
BOX 105
105 Bogor
Bogor
Telp./Fax : (0251) 83227768
8327768
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kementerian Kehutanan
Publikasi Khusus
ISBN 978-979-3539-24-9
SERI
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
SAWOKECIK
(Manilkara kauki L.Dubard)
Penyusun :
Naning Yuniarti
BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
2012
Seri Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan
SAWOKECIK
(Manilkara kauki L.Dubard)
Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan :
Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)
Penyusun :
Naning Yuniarti
Penanggung Jawab:
Ir.Syahrul Donie, M.Si
Koordinator :
Surati, S.Hut
Desain dan Tata Letak :
Ida Saidah, S.Kom
ISBN : 978-979-3539-24-9
Dipublikasikan :
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX 105 Bogor 16001
Telp./Fax. (0251)8327768
KATA PENGANTAR
Tanaman Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard) merupakan salah satu jenis tanaman
unggulan Propinsi Bali yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan telah banyak digunakan
terutama untuk industri ukiran, bangunan dan perabot rumah tangga.
Namun saat ini
keberadaannya sudah semakin langka dan jumlah populasinya semakin menurun.
Upaya penanaman dan pelestarian jenis ini perlu didukung dengan ketersediaan benih yang
berkualitas dan dalam jumlah yang cukup serta penguasaan teknologi perbenihan yang tepat.
Sehubungan dengan hal tersebut Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
merasa perlu untuk menerbitkan informasi teknik perbenihan tanaman sawokecik dalam
bentuk Seri Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.
Buku ini disusun secara ringkas namun cukup mengandung informasi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan keberhasilan penanaman sawokecik mulai dari deskripsi tanaman, informasi
penyebaran dan tempat tumbuh, serta penanganan benih.
Semoga bermanfaat.
Plt. Kepala Balai,
Ir.Syahrul Donie, M.Si
NIP.19581014 198703 1 001
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ iii
RINGKASAN
iv
I. PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
II. PENYEBARAN DAN KOMPOSISI TEGAKAN SAWOKECIK....................
2
III. BIOLOGI SAWOKECIK................................................................................
3
IV. KARAKTERISTIK KAYU SAWOKECIK DAN KEGUNAANNYA............
5
V. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN SAWOKECIK............................
6
VI. PROSES KELANGKAAN SAWOKECIK....................................................
7
VII. PENANGANGAN BENIH SAWOKECIK........................................
8
VIII. PENUTUP.....................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 11
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Tanaman Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)…………………...
3
Gambar 2.
Buah Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)……………………….. 4
Gambar 3.
Benih dalam buah Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)………….
8
Gambar 4.
Benih Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard)……………………....
8
iii
RINGKASAN
Tanaman sawokecik (Manilkara kauki L. Dubard) sangat potensial untuk
dikembangkan karena memiliki nilai komersial yang tinggi. Tanaman ini sudah dinyatakan
sebagai tanaman yang jarang ditemukan (endangered species) dan untuk mencegah dari
kepunahan diperlukan suatu upaya pelestarian yaitu dengan menggalakkan program
penanaman jenis ini. Untuk menunjang keberhasilan penanaman sawokecik diperlukan
penguasaan teknologi penanganan benihnya, mulai dari benih dihasilkan sampai benih
disimpan. Musim berbuah pohon sawokecik adalah sepanjang tahun. Buah mencapai masak
fisiologis dicirikan dengan warna kulit buah berwarna kuning, oranye sampai kemerahan,
benihnya termasuk ke dalam tipe benih ortodoks, tahan lama disimpan dalam wadah yang
kedap udara, dan disimpan di ruang berpendingin dengan suhu 180C. Perlakuan pendahuluan
sebelum benih dikecambahkan adalah dengan merendam dalam air dingin selama 4 x 24 jam.
Media perkecambahan yang paling sesuai adalah dengan menggunakan media campuran tanah
topsoil dan pasir dengan perbandingan 1 : 1/v:v.
Kata kunci : Sawokecik, pelestarian, penanganan benih.
iv
I. PENDAHULUAN
Sawokecik (Manilkara kauki L.Dubard) merupakan jenis pohon penghasil kayu yang
bernilai ekonomi cukup tinggi dan juga merupakan salah satu jenis kayu mewah yang banyak
digunakan oleh pengrajin kayu. Penggunaannya terutama untuk industri ukiran, bangunan dan
perabot rumah tangga. Kayu ini diminati karena sifatnya yang padat, berat, dan kuat, seratseratnya halus dan tergolong dalam kelas awet I dan kelas kuat I. Kebutuhan bahan baku
untuk patung di Bali sendiri meningkat menjadi sekitar 6.600 m3 tiap tahun (Prosea, 1994).
Akhir-akhir ini, jumlah kebutuhan akan kayu tersebut cenderung terus meningkat sejalan
dengan perkembangan industri perpatungan dan industri rumah tangga sejenis lainnya.
Perkembangan industri tersebut di atas berakibat langsung pada eksploitasi tegakan
alam sawokecik.
Luas hutan alam sawokecik di Indonesia tidak begitu besar dan
penyebarannya sporadis, hal ini membuat semakin terbatasnya populasi sawokecik di alam.
Faktor-faktor alami yang bersifat menghambat regenerasi populasi sawokecik seperti sifat
pertumbuhannya yang lambat serta anakan dari sawokecik yang sangat disukai oleh rusa dan
babi hutan menyebabkan populasi tanaman ini semakin kecil (Sidiyasa, 1998).
Khusus di Indonesia jumlah tanaman sawokecik di alam telah mengalami kemunduran
yang mendekati titik rawan sehingga sawokecik dan ekosistemnya sudah dinyatakan langka,
yang berdasarkan kategori kelangkaan populasi tegakan sawokecik sudah termasuk dalam
kategori ” jarang” (Sidiyasa, 1998).
Upaya menjaga kepunahan suatu spesies khususnya untuk jenis sawokecik, tidak
cukup bergantung pada permudaan alami saja, tetapi harus disertai dengan permudaan buatan
yang relatif mudah diawasi dan dikendalikan. Guna mendukung keberhasilan penanaman,
pengadaan benih dan bibit dalam jumlah besar dengan kualitas baik sangat diperlukan. Benih
bermutu baik, akan dihasilkan apabila teknik penanganan benihnya dikuasai, yaitu mulai dari
proses produksi hingga penyimpanan.
Guna menghasilkan bibit yang bermutu tinggi
diperlukan teknik penanganan bibit yang tepat seperti penggunaan media yang sesuai dan
pemberian pupuk yang tepat untuk pertumbuhan bibit.
Mengingat hal tersebut dalam publikasi khusus ini, penulis akan menyampaikan
informasi yang berkaitan dengan teknik penanganan benih jenis sawokecik yang dapat
digunakan untuk pembuatan tanaman guna mendukung upaya pelestarian jenis sawokecik.
1
II. PENYEBARAN DAN KOMPOSISI TEGAKAN SAWOKECIK
Sawokecik mempunyai daerah penyebaran yang cukup luas yaitu mulai dari Thailand,
Indochina, Burma (Myanmar) sampai Australia bagian utara.
Di Indonesia daerah
penyebarannya adalah Sumatera bagian utara, Jawa, Madura, Kangean, Bali, Sulawesi,
Maluku dan Sumbawa (Sidiyasa, 1998).
Sawokecik di alam umumnya membentuk hutan yang dominan, baik secara murni
ataupun dengan jenis tanaman lainnya.
Vegetasi sebagai lingkungan biotik mempunyai
peranan penting bagi keberadaan sawokecik.
Pernyataan ini didasarkan atas pendapat
beberapa ahli yang menyatakan bahwa faktor vegetasi turut menentukan struktur dan kualitas
tempat tumbuh. Sebaliknya, faktor tempat tumbuh sebagai faktor yang pasif hanya mampu
menerima kehadiran suatu jenis tumbuhan. Suatu jenis akan mampu beradaptasi dengan
kondisi tempat tumbuh tergantung kepada jenis itu sendiri. Kehadiran suatu kelompok jenis
yang tumbuh bersama-sama membentuk satu komunitas mengandung kebutuhan faktor
tumbuh yang sama untuk setiap jenis tersebut (Sidiyasa, 1998).
Berdasarkan pendapat tersebut dan mengingat kehadiran beberapa jenis pohon dengan
asosiasi yang erat dengan sawokecik, maka kehadiran suatu kelompok jenis dengan komposisi
yang serupa pada suatu areal dapat dijadikan satu indikator bahwa areal tersebut besar
kemungkinannya sesuai bagi pertumbuhan sawo kecik.
Beberapa jenis tumbuhan yang umumnya berasosiasi dengan sawokecik di hutan alam
antara lain : walangan (Pterosperum diversifolium), walikukun (Schoutenia ovata), malaman
(Dryepetes ovalis), Pongamia pinnata, kepuh (Sterculia foetida), dan pohon laban (Vitex
pubescens), sedangkan tumbuhan bawah biasanya adalah alang-alang (Imperata cylindrica),
saliara (Lantana camara), dan beluntas (Pluchea indica) (Prosea, 1994).
2
III. BIOLOGI SAWOKECIK
Menurut Sidiyasa (1998), tanaman sawokecik adalah tumbuhan berupa pohon yang
dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter batang lebih dari 100 cm, batangnya berbanir tebal
dengan tinggi banir sampai 1,5 m, serta kulit batang retak-retak dan beralur. Pohon yang
muda biasanya lurus tetapi kadang-kadang berliku dan bercabang. Pohon ini memiliki kulit
yang tipis dan warna kayu umumnya putih kekuningan. Pohon dewasa, umumnya mempunyai
percabangan rendah dengan rata-rata tinggi batang bebas cabang antara 8-10 m dengan
ketebalan kulit sekitar 0,5-2 cm dan diameter sekitar 30-100 cm.
Pohon sawokecik memiliki daun tunggal yang berkelompok di ujung ranting,
berbentuk bulat telur terbalik melebar hingga menjorok lebar, berukuran 5-15 cm x 3-8 cm.
Permukaan atas daun licin, berwarna hijau tua mengkilap, permukaan bawah berbulu halus
menyerupai beludru berwarna kelabu kecoklatan, pangkal melancip, ujungnya membundar
hingga agak bertakik. Tulang daun utama menonjol ke bawah, tulang daun sekunder
berjumlah 9-30 pasang, dengan panjang tangkai daun 1,3-3,7 cm.
Gambar 1. Pohon Sawokecik
3
Bunga terletak pada ketiak daun, mengelompok 1 hingga 3 bunga dan termasuk bunga
berkelamin dua. Kelopak bunga dalam dua karangan tiga-tiga, berbentuk segitiga atau bulat
telur meruncing, berwarna putih kekuning-kuningan dengan bintik-bintik warna merah muda,
diameter bunga sekitar 1 cm, panjangnya 4-7 cm. Tabung mahkota pendek, benang sari 6
(enam) yang tertancap pada leher. Bakal buah mempunyai ruang 1-6. Buah berbentuk bulat
telur atau elips dengan panjangnya 2-3 cm (Sidiyasa, 1998).
Buah dapat dimakan, rasanya manis agak sepat dan tidak banyak mengandung air.
Buah yang muda berwarna hijau, semakin tua warna buah berangsur-angsur menjadi kuning,
oranye sampai kemerahan. Buah mengandung biji 1-6 (umumnya 2-3), mengkilap, berukuran
sekitar 2 cm x 1 cm x 0,75 cm (Sidiyasa, 1998).
Gambar 2. Buah Sawokecik
4
IV. KARAKTERISTIK KAYU SAWOKECIK DAN KEGUNAANNYA
Kayu sawokecik sangat awet, sangat padat, berat dan kuat, dengan kerapatan sekitar
1000 kg/m3 dan berat jenis 0,97-1,06, tergolong dalam kelas awet I dan kelas kuat I. Secara
teoritis, dengan berat jenis, kelas awet dan kelas kuat seperti tersebut di atas maka kayu
sawokecik mempunyai keteguhan lengkung mutlak lebih dari 1100 kg/cm3. Kayu sawokecik
mempunyai titik jenuh serat pada pangkal pohon 19,70-31,02%., pada tengah-tengah pohon
20,48-27,88%, rata-rata secara keseluruhan adalah 24,50%. Secara anatomis, dimensi serat
kayu sawokecik menunjukkan panjang 700-2000 m, diameter 10-24 m, tebal dinding sel 14 m, lebar lumen 13,4 m, dengan rungkel ratio 0,43 (Prosea, 1994).
Kayu sawokecik tergolong kayu yang keras namun pada kayu yang baru ditebang
sering terjadi pecah hati dan pecah gelang. Kayunya sukar diawetkan karena daya serap
terhadap larutan pengawet sangat rendah yaitu kurang dari 80 kg/m3 kayu. Oleh karena itu
dolok kayu sawokecik dalam penyimpanan tidak perlu dikuliti atau diawetkan. Dolok tersebut
dapat dipakai meskipun telah tersimpan dalam waktu yang lama tanpa kerusakan yang berarti
(Prosea, 1994).
Di Jawa, kayu sawokecik secara lokal dimanfaatkan untuk konstruksi rumah mewah,
terutama untuk tiang pendopo. Di daerah Sulawesi Selatan dan Bima, kayu ini dimanfaatkan
untuk tiang rumah yang tahan hama, awet dan kuat meskipun berdiri di atas lumpur. Selain
itu, kayu ini berguna terutama sebagai bahan baku industri barang kerajinan dan perpatungan.
Kayu ini tahan gesekan, dan kekuatannya seolah-olah seperti baja yang berserat halus dan
lurus serta bertekstur halus, awet dan kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat
barang-barang bubutan dan alat-alat penggiling, alat-alat pertukangan, juga untuk membuat
kincir air, baling-baling dan lain-lain (Prosea, 1994).
Jenis pohon ini pernah diusulkan untuk dimanfaatkan sebagai tanaman reboisasi di
daerah yang kondisi tanahnya jelek, berbatu-batu, mengandung pasir, terutama di daerah
pantai dan daerah yang relatif kering (Setiawan, 2000).
5
V. PERSYARATAN TUMBUH TANAMAN SAWOKECIK
Tanaman sawokecik tumbuh baik pada daerah-daerah yang memiliki tipe iklim D dan
tipe iklim E yang umumnya terdapat di hutan Purwo dan Banyuwangi (Jawa Timur) serta
daerah Bali Barat dan pada daerah dengan tipe iklim C di Blambangan dan Buton. (Hamzah,
1977). Curah hujan yang dikehendaki bervariasi antara 1286-1866 mm/th, dengan rata-rata
jumlah hari hujan adalah 86,6 hari. Sawokecik tidak membutuhkan persyaratan topografi
tertentu, dapat tumbuh baik pada dataran rendah mulai di permukaan laut sampai pada
ketinggian 300 m dpl dengan bentuk kontur yang datar, landai maupun miring, tetapi tidak
pada lereng yang curam.
Sawokecik dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, namun umumnya pohon ini
tumbuh baik pada tanah yang memiliki aerasi dan draenase yang baik serta tidak tergenang air
dengan pH tanah sekitar 6 (Alrasyid, 1971). Sawokecik umumnya dijumpai pada daerahdaerah di dekat pantai yang kondisi tanahnya berpasir serta daerah-daerah berbatu karang dan
hutan musim (Sidiyasa, 1998).
Di Sembulung (pantai timur Banyuwangi Selatan) sawokecik dijumpai pada jenis
tanah komplek mediteran merah dan litosol dari bahan induk batu kapur (Hamzah, 1977). Di
Purwo Barat, hutan alam sawokecik dijumpai pada jenis tanah regosol kelabu dari bahan
induk endapan pasir, sedangkan di Prapat Agung (Bali Barat) sawokecik dijumpai pada jenis
tanah mediteran coklat dari bahan induk batu kapur (Sidiyasa, 1998).
6
VI. PROSES KELANGKAAN SAWOKECIK
Walaupun sawokecik mempunyai daerah penyebaran yang cukup luas, tetapi karena
eksploitasinya yang tidak terkendali menjadikan jenis ini populasinya semakin kecil, yang
berdasarkan kategori kelangkaan dimasukkan dalam kategori ”jarang” (Sidiyasa, 1998).
Masalah menurun dan hilangnya populasi sawokecik disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu :
1. Faktor penyebab kontinyu umumnya bersifat alami, antara lain :
a. Persaingan : persaingan antar jenis di dalam vegetasi hutan yang mendesak
pertumbuhan sawokecik dapat menyebabkan menurunnya populasi sawokecik,
sedangkan persaingan yang berat dapat menyebabkan punahnya jenis ini.
b. Jumlah yang sedikit : jumlah populasi sawokecik yang kecil dalam vegetasi hutan alam
terkadang dapat terdesak akibat persaingan tempat tumbuh.
c.
Kerusakan habitat : kerusakan habitat merupakan salah satu penyebab penurunan
populasi sawokecik.
d. Proses penuaan yang tidak diimbangi dengan regenerasi.
2. Faktor penyebab diskontinyu dapat timbul oleh adanya :
a. Pemanfaatan kayu sawokecik yang berlebihan tidak diimbangi dengan budidaya
(penanaman kembali)
b. Perambahan hutan
c. Penyerobotan kawasan dan tumpang tindih pemanfaatan kawasan.
7
VII. PENANGANGAN BENIH SAWOKECIK
A. Musim Buah
Bunga sawokecik berwarna putih kekuningan dengan bintik-bintik berwarna merah
muda. Pembungaan dan pembuahan terjadi hampir sepanjang tahun sedangkan buah
masak umumnya jatuh pada bulan Pebruari. Di Priangan Barat buah masak pada bulan
September – Oktober sedangkan di Banten pada bulan November dan di Banda Aceh pada
bulan Mei (Alrasyid, 1971). Sedangkan menurut Kurniaty et.al (2003), musim buah
sawokecik adalah bulan September – Oktober.
B. Pengunduhan Buah
Pengunduhan buah sawokecik biasanya dengan cara dipanjat dan dipetik dengan
tangan karena pohonnya relatif rendah dan bercabang banyak, kecuali pada pohon yang
tinggi dapat dibantu dengan galah yang pada bagian ujungnya diikatkan keranjang kecil,
sehingga buah yang diambil akan lepas dan masuk kedalam keranjang. Buah mencapai
masak fisiologis dicirikan dengan kulit buahnya berwarna kuning, oranye sampai
kemerahan.
C. Ekstraksi Benih
Ekstraksi benih adalah proses pengeluaran benih dari buah, polong, atau bahan
pembungkus benih lainnya. Cara ekstraksi benih sawokecik adalah dengan cara mengupas
buah secara manual kemudian membersihkan daging buah yang menempel pada benih
dengan menggunakan air mengalir, dan setelah itu benih diangin-anginkan dalam ruang
suhu kamar.
Gambar 3. Benih dalam buah sawokecik
Gambar 4. Benih sawokecik
8
D. Berat 1000 Butir Benih
Perhitungan dan penentuan berat 1000 butir benih sawokecik dilakukan sesuai
dengan ketentuan ISTA (2010). Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil bahwa berat
1000 butir benih sawo kecik adalah 655,247gr, maka satu butir benih mempunyai berat
0,655 gr dengan koefisien keragaman sebesar 1,77. Besarnya koefisien keragaman ini
sudah memenuhi persyaratan dari ISTA (2010) yang menyatakan bahwa dalam penentuan
berat 1000 butir benih, koefisien keragamannya tidak boleh melebihi 6,0 untuk benih yang
berserasah dan 4,0 untuk benih lainnya.
E. Perlakuan Pendahuluan dan Perkecambahan
Benih sawokecik memiliki dormansi kulit benih, sehingga memerlukan waktu yang
cukup lama untuk berkecambah. Kulit benih sawokecik termasuk kulit yang keras, dan
menyebabkan dormansi benih. Kondisi seperti ini sangat mengganggu dalam proses
penyediaan bibit secara masal untuk penanaman dan juga dalam kegiatan pengujian benih.
Karena itu diperlukan teknik perlakuan pendahuluan sebelum pengecambahan yang
bertujuan untuk mematahkan dormansi kulit benih tersebut.
Penelitian Kurniaty et.al (2003) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan yang
tepat untuk benih sawokecik sebelum dikecambahkan adalah benih direndam dalam air
dingin selama 4 x 24 jam (96 jam). Perlakuan ini menghasilkan daya berkecambah paling
besar bila dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan yang lain. Perlakuan perendaman
dalam air dingin selama 4 x 24 jam sangat efektif dalam mematahkan dormansi, karena
kulit benih yang semula keras menjadi lunak sehingga dapat memudahkan terjadinya
proses imbibisi yang dapat meningkatkan dan mempercepat perkecambahan benih
sawokecik.
Teknik perkecambahan benih sawo kecik yang paling tepat adalah dengan
menyemaikan benih di bawah naungan dengan posisi benih horizontal, dan hilum berada
pada posisi di bawah.
Teknik ini membutuhkan waktu 20 hari untuk memulai
berkecambah sedangkan media perkecambahan yang digunakan adalah media campuran
tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1 (Daryono, 1983). Hasil penelitian Kurniaty et.al
(2003) juga menunjukkan bahwa media yang terbaik untuk perkecambahan benih
sawokecik yaitu media campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1/v:v.
9
F. Penyimpanan Benih
Benih sawokecik termasuk ke dalam tipe benih ortodoks.
Cara penyimpanan
terbaik adalah menggunakan wadah yang kedap udara, yaitu kantong plastik dan kaleng.
Kadar air benih sebelum disimpan sebaiknya berkisar antara 5-8% sedangkan ruang
simpan sebaiknya menggunakan ruang berpendingin (AC) pada suhu 180C (Anonimous,
1989).
VIII. PENUTUP
Tanaman sawokecik memiliki nilai ekonomis tinggi, namun mengalami hambatan
dalam pengembangan dan pelestariannya, hal ini disebabkan teknik penanganan benih belum
dikuasai sepenuhnya.
Permasalahan utama dalam penanganan benihnya adalah teknik
perkecambahan, yaitu teknik pematahan dormansi kulit benih.
Dengan diketahui teknik
penanganan benih sawokecik, diharapkan pengembangan jenis ini menjadi lebih mudah.
10
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1989. Diktat perbenihan. Kerjasama Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan
Kehutanan dengan Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia. Bogor.
Alrasyid, H. 1971. Keterangan tentang silvikultur sawokecik (Manilkara kauki(L.) Dubard).
Laporan No. 127. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
Daryono, H. 1983. Pengaruh posisi penyemaian dan skarifikasi benih sawokecik (Manilkara
kauki L. Dubard) terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibitnya. Laporan No.
419, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.
Hamzah, Z. 1977. Survey ekologi sawokecik di Ujung Timur Pulau Jawa. Laporan No. 252,
Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
ISTA. 2010. International Rules for Seed Testing. Edition 2010. Zurich, Zwitzerland.
Kurniaty, K., N.Yuniarti, A. Muharam, E.R. Kartiana, E. Ismiati, H. Royani, 2003. Teknik
penanganan benih jenis andalan setempat di Sulawesi Selatan, Bali, Kalimantan Barat
dan Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian BTP No. 385, Bogor.
Prosea. 1994. Plant resources of South-East Asia No. 5. J. Dransfield and N. Manokaran
(Eds). Bogor.
Setiawan, A.I. 2000. Penghijauan dengan tanaman potensial.
Swadaya, IKAPI, Jakarta.
Cetakan ke-4.
Penebar
Sidiyasa, K. 1998. Mengenal flora langka sawokecik (Manilkara kauki (L.) Dubard). Info
Hutan.No.106, Cetakan kedua.,Pusat Penelitian Hutan, Bogor.
11
Download