BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1

advertisement
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
Usia perkawinan di daerah penelitian sebagian besar usia 17 tahun, usia
tersebut merupakan usia anak. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ada
hubungan signifikan antara variabel usia pertama kali menstruasi, usia perkawinan
pertama ibu dengan usia perkawinan pertama. Variabel pendidikan, pekerjaan
setelah menikah, pengetahuan, akses informasi, peran orang tua memiliki
perbedaan signifikan dengan usia perkawinan pertama. Sedangkan variabel
pekerjaan sebelum menikah, sikap, peran pemerintah, dan peran tokoh masyarakat
tidak memiliki perbedaan signifikan terhadap usia perkawinan pertama.
Selanjutnya, variabel-variabel yang berhubungan dimasukkan dalam analisis
multivariabel yang menghasilkan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap
usia perkawinan pertama. Faktor pengetahuan memiliki pengaruh terbesar
terhadap perkawinan anak yaitu 22,7 persen, faktor peendidikan sebesar 14,4
persen, faktor usia perkawinan pertama ibu sebesar 9,7 persen, dan faktor usia
pertama kali menstruasi sebesar 8,4 persen. Namun secara keseluruhan variabel
usia pertama kali menstruasi, usia perkawinan pertama, pendidikan dan
pengetahuan berpengaruh terhadap perkawinan anak sebesar 55,2 persen
sedangkan 44,8 persen dipengaruhi oleh faktor lain.
Usia perkawinan pertama ibu menjadi tolok ukur seorang anak untuk
melakukan perkawinan, baik dari keputusan diri sendiri maupun keputusan dari
sesepuh/orang tua. Faktor perkawinan usia anak pada ibu berisiko 2,9 kali
103
104
terjadinya perkawinan anak. Selain itu, masyarakat masih percaya terhadap
anggapan menstruasi pertama sebagai tanda kedewasaan seorang perempuan yang
mempengaruhi terhadap terjadinya perkawinan anak. Faktor usia menstruasi ≤12
tahun berisiko 2,0 kali terjadinya perkawinan anak. Faktor pendidikan merupakan
faktor penting terjadinya perkawinan anak, pendidikan pada tingkat SD berisiko
1,9 kali terjadinya perkawinan anak. Faktor pengetahuan tentang perkawinan
menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perkawinan anak, ketidaktahuan
responden tentang konsekuensi-konsekuaensi dari perkawinan anak mendorong
responden untuk melakukan perkawinan anak. Faktor pendidikan rendah berisiko
2,0 kali terjadinya perkawinan anak.
Pada penelitian kualitatif didapatkan faktor tradisi masyarakat menjadi
penting sebagai pengaruh terjadinya perkawinan anak. Ada beberapa kepercayaan
masyarakat yang mendorong terjadinya perkawinan anak, yaitu pemikiran orang
tua untuk tidak jauh dari anak, tidak boleh menolak lamaran, lebih baik janda
daripada menjadi perawan tua, perjodohan oleh orang tua dan menstruasi
dianggap sebagai tanda kedewasaan dan siap menikah.
6.2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan ada empat faktor yang paling berpengaruh
terhadap perkawinan anak di Kecamatan Punggelan yaitu faktor pengetahuan,
pendidikan, usia perkawinan pertama ibu, dan usia pertama kali menstruasi.
Faktor pengetahuan memiliki kontribusi terbesar terhadap perkawinan anak yaitu
22,7 persen. Oleh karena itu pemerintah setempat perlu memberikan sosialisasi
kepada masyarakat baik dengan cara penyuluhan maupun dengan pendidikan
105
formal di sekolah-sekolah. Adapun pengetahuan yang dimaksud yaitu
pengetahuan tentang perkawinan khususnya mengenai usia ideal menikah baik
untuk perempuan maupun pria, pengetahuan reproduksi remaja, dampak atau
risiko melaksanakan perkawinan anak dan remaja, persiapan-persiapan sebelum
melaksanakan perkawinan. Pada proses sosialisasi atau penyuluhan juga
diperhatikan pemerataan informasi, penyuluhan dan sosialisasi tidak hanya
dilakukan di daerah kecamatan saja, namun harus sampai pada daerah yang
terpencil dan sulit dijangkau. Hal ini dikarenakan perkawinan anak banyak terjadi
di daerah tersebut.
Faktor kedua yaitu faktor pendidikan yang memberikan kontribusi
sebesar 14,4 persen. Berdasarkan temuan di lapangan, sebagian besar pendidikan
terakhir masyarakat pada tingkat SD atau SMP. Sehingga perlu adanya
peningkatan partisipasi sekolah masyarakat pada jenjang sekolah lebih tinggi
minimal pendidikan dasar 9 tahun atau sekolah menengah atas, untuk
meningkatkan kualitas masyarakat dan dapat menunda usia perkawinan pertama.
Faktor ketiga yaitu usia perkawinan ibu dengan kontribusi sebesar 9,7
persen. Pemahaman terhadap usia perkawinan pertama ibu sebagai tolok ukur
harus di luruskan karena usia perkawinan ibu bukan sebagai tolok ukur seorang
anak melakukan perkawinan. Namun terkait pada kesiapan fisik dan mental anak
perempuan. Pemahaman ini tidak hanya diberikan pada si anak, namun diberikan
pula pada orang tua atau keluarga. Hal ini dikarenakan orang tua atau keluarga
memiliki faktor kuat dalam pengambilan keputusan perkawinan anak mereka.
Faktor keempat yaitu usia pertama kali menstruasi, memiliki kontribusi sebesar
106
8,4 persen terhadap perkawinan anak. Faktor ini sama halnya dengan faktor ketiga
dimana perlu ada pemahaman terhadap masyarakat yang masih menganggap
bahwa usia pertama kali menstruasi dianggap sebagai tanda kedewasaan dan siap
untuk melakukan perkawinan.
Download