HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian yang pertama dilakukan adalah pembiakkan kultur bakteri asam laktat hasil isolat dari daging yang memiliki potensi probiotik paling baik. Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai starter kultur tersebut tahan pada kondisi pH rendah sesuai dengan pH lambung (2, 2,5 dan 3,2), pH usus yaitu pada pH 7,2 dan tahan terhadap garam empedu (0,3% dan 0,5%). Kultur bakteri asam laktat yang digunakan adalah Lactobacillus sp 1A5 dan Lactobacillus fermentum 2B2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiasih (2008) dan Permanasari (2008) bakteri Lactobacillus sp 1A5 dan Lactobacillus fermentum 2B2 tergolong dalam Gram positif yang mempunyai bentuk batang dengan susunan tunggal atau rantai. Hasil pewarnaan Gram Lactobacillus sp 1A5 dan Lactobacillus fermentum 2B2 dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Hasil Pewarnaan Gram kultur 1A5 dan 2B2 Kedua kultur tersebut kemudian dibiakkan dan disegarkan pada media de Man Rogosa Sharp Broth (MRS-B) dan untuk pembuatan salami digunakan media susu skim 10% sebagai media tumbuhnya. Populasi kultur starter yang dibiakkan pada media susu skim untuk aplikasi ke salami probiotik berada pada kisaran 9 Log10 CFU/ml baik itu kultur 1A5 dan 2B2. Jumlah populasi bakteri asam laktat pada media susu skim dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. Kultur Jumlah BAL (Log 10 CFU/ml) 1A5 9,19 2B2 9,05 Populasi dari kultur tersebut memenuhi syarat seperti Arief (2000) yang menjelaskan bahwa kultur yang siap dijadikan kultur starter adalah kultur dengan populasi ≥ 9 Log 10 CFU/ml. Jumlah populasi bakteri asam laktat ≥ 9 Log 10 CFU/g yang digunakan sebagai starter diharapkan sama atau meningkat jumlah populasinya ketika diaplikasikan ke dalam produk salami. Kriteria produk probiotik menurut Shortt (1999) diharapkan memiliki jumlah sel hidup yang besar (7 – 9 Log 10 CFU/g), hal ini dimaksudkan agar probiotik yang berada pada produk dapat bekerja secara optimal dan memberikan efek positif bagi inangnya. Kualitas Mikrobiologis Daging dan Adonan Salami Penelitian kemudian dilanjutkan dengan pengujian mikrobiologis daging segar dan adonan yang digunakan pada pembuatan salami probiotik terhadap bakteri asam laktat, Staphylococcus aureus, total mikroba, dan Escherichia coli. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Rataan Populasi Mikroba pada Daging Segar dan Adonan Salami (Log CFU/g) Peubah yang diamati Sampel Total Mikroba Bakteri Asam Laktat Staphylococcus aureus 10 Escherichia coli --------- Log 10 CFU/g --------Daging segar 7,21 5,12 3,66 3,57 Adonan 14,28 8,77 4,75 3,66 Kualitas Mikrobiologis Daging Hasil pengujian mikrobiologis daging terhadap jumlah populasi total mikroba berada pada 7,21 Log 10 CFU/g. Jumlah total mikroba mencerminkan jumlah total mikroba yang terdapat pada daging tersebut. Angka total mikroba yang terdapat pada 30 daging tersebut melebihi batas yang terdapat pada SNI 01-0366-2000 yaitu sebanyak 4 Log 10 CFU/g. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya bakteri asam laktat alami yang terdapat pada daging, juga bakteri pencemar lain selama proses pemotongan ternak di Rumah Potong Hewan (RPH) hingga menjadi daging yang dijual di pasar tradisional untuk dikonsumsi. Di Rumah Potong Hewan (RPH), sumber kontaminasi atau infeksi dapat berasal dari tanah dan sekitarnya, kulit (kotoran pada kulit), isi saluran pencernaan, air, alat-alat yang digunakan selama persiapan karkas (pisau, gergaji ,katrol pengait dan alat tempat jeroan), kotoran, udara dan pekerja (Soeparno, 1998). Hal ini diperkuat lagi oleh Heinz dan Hautzinger (2007) titik kontaminasi daging terjadi ketika proses pengulitan, pencucian, pengeluaran jeroan dan transportasi karkas. Kebanyakan bakteri mencemari karkas melalui tangan pemotong ternak, peralatan, kontak dengan peralatan atau melalui air dan udara. Hal ini menyebabkan total mikroba pada daging segar makin bertambah. Spesies bakteri yang umum ditemukan pada daging segar menurut Buckle et al. (1987) adalah Pseudomonas, Staphylococcus, Micrococus, Enterococcus,dan Coliform. Hasil pengujian mikrobiologis daging terhadap jumlah populasi bakteri asam laktat yaitu berada pada 5,12 Log 10 CFU/g. Bakteri asam laktat yang terdeteksi pada uji mikrobiologis daging tersebut merupakan bakteri asam laktat alami yang terdapat pada daging. Menurut Hui et al. (2001) bakteri asam laktat yang terdapat dalam daging yaitu Lactobacillus sp, Lactococcus, Micrococcus, Pediococcus sp dan Leuconostoc. Hasil pengujian mikrobiologis terhadap daging segar ditemukan bahwa jumlah populasi bakteri Staphylococcus aureus adalah 3,66 Log 10 CFU/g. Batas cemaran bakteri patogen pada daging tanpa tulang menurut SNI 01-0366-2000 untuk Staphylococcus aureus adalah 2 Log 10 CFU/g . Jumlah populasi bakteri patogen ini melebihi batas standar, hal ini disebabkan oleh kontaminasi bakteri yang berasal dari ternak itu sendiri dan ditambah dengan adanya kontaminasi pada saat pemotongan ternak di abatoar, distribusi daging ke pasar dan pemotongan serta penanganan daging pada saat di jual dipasar yang aspek sanitasi kurang diperhatikan. Food Safety and Inspection Service (2005) menyebutkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang biasa terdapat pada membran mukosa (hidung dan kerongkongan) dan biasa ditemukan pada kulit dan rambut manusia sehat dan hewan. 31 Bakteri ini dengan mudah menyebar melalui batuk dan bersin dan bisa mengkontaminasi daging dari kulit hewan atau jaringan lain pada saat pemotongan. Setelah pemotongan dan setelah pemasakan, daging dapat terkontaminasi kembali melalui penanganan oleh individual yang membawa bakteri tersebut. Hasil pengujian mikrobiologis terhadap Escherichia coli pada daging yaitu sebanyak 3,57 Log 10 CFU/g. Batas cemaran bakteri patogen pada daging tanpa tulang menurut SNI 01-0366-2000 untuk Escherichia coli adalah 1 Log Jumlah populasi bakteri 10 CFU/g. Escherichia coli yang terdapat pada daging melebihi standar, hal ini biasanya disebabkan oleh kontaminasi dari saluran pencernaan hewan, feces dan air yang digunakan pada saat pemotongan ternak di abatoir. Escherichia coli merupakan bakteri yang sering ditemukan di saluran usus hewan dan manusia, sehingga sering terdapat pada feces. Escherichia coli juga sering ditemukan dan diuji pada sampel air untuk diketahui sanitasinya (Fardiaz, 1989). Jenis bakteri yang biasa ada dalam air terutama spesies Pseudomonas, Chromobacterium, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus (enterococci), Enterobacter dan Escherichia. Tiga bakteri terakhir merupakan bakteri yang paling banyak mengkontaminasi air daripada bakteri lainnya (Frazier dan Westhoff, 1988). Kualitas Mikrobiologis Adonan Salami Hasil pengujian mikrobiologis pada adonan salami terhadap jumlah populasi total mikroba adalah sebanyak 14,28 Log 10 CFU/g. Jumlah total mikroba yang terdapat pada adonan lebih tinggi dari pada total mikroba pada daging segar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya starter kultur bakteri asam laktat yang secara sengaja ditambahkan sebagai fermentor pada salami, juga bakteri lain yang ikut masuk selama proses pengolahan adonan. Bakteri lain yang ikut masuk tersebut bisa saja berasal dari kontaminasi alat, kontaminasi dari udara sekitar saat proses pembuatan adonan, bahan-bahan seperti lemak dan bumbu-bumbu yang tidak dianalisis kualitas mikrobiologisnya. Menurut Heinz dan Hautzinger (2007) pengolahan daging lebih lanjut tidak mengurangi kemungkinan terjadi kontaminasi, tetapi mencegah kontaminasi lebih lanjut dan menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Alat-alat pengolahan seperti grinder, stuffer sosis, bahan-bahan khusus pada produk, bahan pengisi dan bumbu akan menambah organisme yang tidak diharapkan dengan jumlah yang lumayan 32 banyak (Frazier dan Westhoff, 1988). Menurut Soeparno (1998) ragi dapat tumbuh pada permukaan lemak daging dan dapat menyebabkan noda-noda coklat. Selain itu juga, metode pembekuan lambat yang dilakukan pada daging giling sebelum pembuatan adonan dilakukan memberikan waktu bagi mikroorganisme yang terdapat pada daging segar untuk tumbuh khususnya mikroorganisme pada bagian dalam daging giling. Menurut Fardiaz (1989) jika waktu generasi suatu bakteri 20 menit, berarti satu sel bakteri tersebut akan memperbanyak diri menjadi dua sel dalam waktu 20 menit. Pembekuan daging giling dengan waktu 2 jam pembekuan mungkin akan memberikan waktu bagi mikroorganisme yang berada di bagian dalam untuk berkembang biak. Hasil pengujian mikrobiologis adonan salami terhadap jumlah populasi bakteri asam laktat yaitu berada pada 8,77 Log 10 CFU/g. Hal ini disebabkan adanya penambahan starter kultur pada salami probiotik yang dibuat. Jumlah populasi kultur starter bakteri asam laktat yang dibiakan pada media susu skim untuk aplikasi ke salami probiotik adalah 9 Log 10 CFU/ml baik itu kultur 1A5 dan 2B2. Penambahan tersebut secara otomatis akan meningkatkan populasi bakteri asam laktat yang terdapat pada adonan yang dibuat. Hasil pengujian mikrobiologis adonan salami terhadap jumlah populasi Staphylococcus aureus yaitu berada pada 4,75 Log 10 CFU/g dan hasil pengujian mikrobiologis adonan salami terhadap jumlah populasi Escherichia coli yaitu berada pada 3,66 Log 10 CFU/g. Jumlah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli meningkat bila dibandingkan pada daging segar. Peningkatan jumlah ini disebabkan oleh tingginya populasi awal Staphylococcus aureus dan Escherichia coli pada daging dan juga adanya kontaminasi selama proses pengolahan seperti peralatan, udara sekitar dan bahan-bahan lain (casing, lemak dan bumbu-bumbu). Kualitas Mikrobiologis Salami Probiotik Nilai rataan kualitas mikrobiologis salami probiotik selama penyimpanan hari ke-0 (H-0) ,hari ke-10 (H-10) ,hari ke-20 (H-20) dan hari ke-30 (H-30) pada suhu dingin dapat dilihat pada Tabel 6. 33 Tabel 6. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Kualitas Mikrobiologis Salami Probiotik Selama Penyimpanan Dingin. Penyimpanan Peubah H-0 H-10 ---------- Log H-20 10 H-30 CFU/g ---------- Total Mikroba 14,60 ± 2,2 a 14,72 ± 1,15 a 13,90 ± 0,12 a 10,22 ± 0,24 b BAL 9,77 ± 0,46 a 9,47 ± 0,64 a 7,29 ± 0,11 b 7,26 ± 1,17 b S. aureus 4,11 ± 0,85 a 4,33 ± 0,61 a 4,07 ± 0,53 a 4,22 ± 0,18 a E. coli 3,25 ± 0,09 a 3,06 ± 0,42 a 2,72 ± 0,30 a 3,19 ± 0,39 a Keterangan : Tanda superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang nyata ( P < 0,05 ) Viabilitas Total Mikroba Karakteristik mikrobiologis salami probiotik selama penyimpanan dingin ditentukan oleh jumlah total mikroba. Jumlah total mikroba pada salami probiotik selama penyimpanan dingin menunjukkan penurunan yang sangat nyata (P<0,01). Lama penyimpanan pada suhu dingin mempengaruhi jumlah total mikroba dalam salami probiotik. Penurunan yang nyata terjadi pada penyimpanan hari ke-30 (H-30) dimana jumlah populasi total mikroba menurun menjadi 10,22 Log 10 CFU/g dibandingkan dengan penyimpanan hari ke-0 (H-0) sebanyak 14,60 Log 10 CFU/g, hari ke-10 (H-10) sebanyak 14,72 Log 10 CFU/g dan hari ke-20 (H-20) sebanyak 13,90 Log 10 CFU/g. Penurunan jumlah total mikroba berlangsung seiring dengan penurunan jumlah bakteri asam laktat yang berada pada salami. Bakteri asam laktat merupakan salah satu bakteri yang populasinya cukup banyak dalam produk salami probiotik ini, semakin lama penyimpanan salami maka populasi bakteri asam laktat akan semakin berkurang atau lama kelamaan akan berada pada fase kematian. Selain itu juga, populasi bakteri lain yang tidak dianalisis keberadaanya ikut meningkatkan jumlah total mikroba yang terdapat pada salami tersebut. Pertumbuhan total mikroba selama penyimpanan dingin dapat dilihat pada Gambar 5. 34 Gambar 5. Grafik Pertumbuhan Total Mikroba Selama Penyimpanan Dingin Bakteri lain yang tidak dianalisis dan terdapat pada salami juga ikut mengalami penurunan dan terhambat pertumbuhannya oleh adanya zat metabolisme berupa asam laktat yang menurunkan pH produk dan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat sehingga makin lama penyimpanan jumlah populasinya makin menurun. Hasil penelitian Conter et al. (2005) menunjukan bahwa mikroflora yang dapat ditemukan pada sosis fermentasi selain bakteri asam laktat adalah Enterobactericeae, Stapylococcus, Staphylococcus Coagulase positive, Enterococci, Pseudomonas, kapang dan khamir. Faktor suhu penyimpanan juga mempengaruhi jumlah populasi total mikroba yang berada pada produk salami. Bakteri mesofil dan termofil yang berada pada salami akan terhambat pertumbuhannya. Hal ini disebabkan pengaruh penyimpanan suhu dingin yang dilakukan pada suhu 10 oC ± 2oC merupakan suhu pertumbuhan yang berada di bawah suhu optimumnya, sedangkan bakteri psikrofil masih dapat hidup pada suhu penyimpanan tersebut. Selama penyimpanan refrigerasi, bakteri psikrofil yang dapat ditemukan adalah Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus, Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Flavobacterium dan Proteus (Soeparno, 1998). Menurut Yudhabuntara (2003) berdasarkan suhu optimumnya, mikroorganisme dibagi menjadi psikrofil dengan suhu optimum kurang dari 20 °C, mesofil (20° s/d 40 °C) dan termofil (lebih dari 40 °C). Pertumbuhan bakteri pada suhu rendah, akan berhenti, sedangkan pada suhu tinggi organisme akan mati. Hal ini disebabkan oleh 35 terjadi perubahan membran sel pada suhu minimum sehingga tidak terjadi transpor zat hara. Viabilitas Bakteri Asam Laktat Kualitas mikrobiologis salami probiotik selama penyimpan dingin terhadap jumlah populasi bakteri asam laktat setelah diuji stastistik menunjukan penurunan yang sangat nyata (P <0,01). Verluyten et al, (2003) mengatakan bahwa bakteri asam laktat yang tumbuh pada sosis fermentasi sangat dipengaruhi oleh kondisi anaerob, penambahan gula, garam, dan bahan curing serta pH awal yang terbentuk. Bakteri asam laktat yang terdapat pada daging juga memberikan kontribusi terhadap populasi bakteri asam laktat yang terdapat dalam sosis yang dihasilkan. Pengaruh yang nyata yaitu terdapat pada penyimpanan hari ke- 20 (H-20) dan hari ke-30 (H-30). Penurunan jumlah populasi bakteri asam laktat menjadi 7, 29 Log ke-20 (H-20) dan 7,26 Log 10 10 CFU/g di hari CFU/g di hari ke-30 (H-30) dibandingkan penyimpanan hari ke-0 (H-0) yaitu 9,77 Log 9,47 Log 10 10 CFU/g dan hari ke-10 (H-10) yaitu CFU/g. Pertumbuhan bakteri asam laktat selama penyimpanan dingin dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Grafik Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat Selama Penyimpanan Dingin Penurunan tersebut disebabkan bakteri asam laktat yang terdapat pada salami tersebut berada pada fase kematian. Fase kematian yang terjadi pada bakteri ditandai dengan jumlah sel bakteri mulai menurun karena nutrien dalam media dan cadangan energi dalam sel bakteri mulai menipis (Pelczar dan Chan, 1988). Konsentrasi substrat untuk proses fermentasi berupa gula sukrosa sebagai nutrien dan cadangan 36 energi bagi bakteri asam laktat pada salami mulai habis. Penumpukan zat hasil metabolisme berupa bakteriosin, asam laktat, hidrogen peroksida juga dapat berakibat letal terhadap sel bakteri asam laktat itu sendiri sehingga penurunan jumlah sel bakteri terjadi. Umumnya hampir semua substansi yang diproduksi oleh bakteri asam laktat mampu menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat lainnya, dan beberapa diantaranya memiliki efek bakterisidal terhadap bakteri lain yaitu bakteri pembusuk dan patogenik asal makanan seperti Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum (Gorris dan Bennik, 1994). Pertumbuhan bakteri asam laktat yang terdapat dalam salami probiotik juga terhambat oleh rendahnya suhu penyimpanan yang dilakukan. Spaziani et al. (2008) melaporkan bahwa jumlah populasi bakteri asam laktat pada sosis Italia pH rendah yang disimpan pada suhu dingin mengalami peningkatan yang sangat lambat walaupun dengan adanya penambahan gula. Populasi bakteri asam laktat hingga mencapai 8 – 9 Log 10 CFU/g membutuhkan waktu 14 – 21 hari. Produk salami probiotik yang disimpan pada suhu dingin selama 30 hari masih baik untuk dijadikan sebagai pangan probiotik karena populasi bakteri asam laktat yang berperan sebagai probiotik masih berada pada kisaran lebih dari 7 Log 10 CFU/g. Kriteria produk probiotik menurut Shortt (1999) agar dapat memberikan pengaruh positif yang optimal terhadap inangnya yaitu produk probiotik diharapkan memiliki jumlah sel hidup yang besar (7 - 9 Log 10 CFU/g) dan total konsumsi produk probiotik sekitar 300-400 gram per minggu. Alasan tersebut diperlukan untuk memperkirakan bahwa tersedia cukup bakteri probiotik dalam tubuh untuk memberi pengaruh positif. Viabilitas Staphylococcus aureus Jumlah populasi S. aureus selama penyimpanan dingin 30 hari setelah diuji stastistik menunjukkan penurunan yang tidak nyata (P>0,05). Jumlah populasi S. aureus pada salami yang diuji bertahan pada kisaran 4 Log 10 CFU/g sampai penyimpanan H-30. Pertumbuhan S. aureus selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 7. 37 Gambar 7. Grafik Pertumbuhan Bakteri S. aureus Selama Penyimpanan Dingin Jumlah populasi S. aureus yang pertumbuhannya tetap di kisaran 4 Log 10 CFU/g ini disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan bakteri tersebut oleh hasil metabolisme bakteri asam laktat yang menghasilkan senyawa asam organik (asam laktat).Terbentuk asam laktat atau asam organik oleh bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH pada produk salami sehingga menciptakan suasana lingkungan produk menjadi asam. Penelitian yang dilakukan Puspitasari (2008) menyatakan bahwa pH salami dengan kombinasi kultur Lactobacillus sp 1A5 dan Lactobacillus fermentum 2B2 dapat mencapai 4,6 – 4,4. Bakteri S. aureus menurut Supardi dan Sukamto (1999) dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0 – 7,8. Kondisi pH yang rendah pada salami merupakan kondisi pH yang mendekati pertumbuhan minimum bakteri S. aureus sehingga akan menghambat pertumbuhannya. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh kondisi asam (pH rendah) menurut Jay et al. (2005) yaitu membran sitoplama mikroorganisme secara relatif impermeabel terhadap ion H + dan OH - , selama fermentasi glukosa terjadi lingkungan sekitar akan menjadi lebih asam tetapi bagian dalam sel akan lebih alkalis. Mikroorganime tersebut harus menjaga ion H + yang masuk dan yang keluar, tetapi pada lingkungan yang asam ion yang masuk akan lebih banyak dibanding yang keluar. Pertumbuhan tidak terjadi pada bakteri S. aureus di pH < 4,9 dengan suhu 120C dan aw 0,96. Kondisi difusi ion yang tidak seimbang dalam sitoplasma tersebut 38 akan membuat bakteri S. aureus terhambat pertumbuhannya. Bakteri S. aureus yang ada di dalam salami dimungkinkan masih bisa bertahan tetapi tidak bisa berkembangbiak dengan adanya asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Produksi bakteriosin oleh kultur starter bakteri asam laktat selama fermentasi juga dapat menyebabkan bakteri S. aureus terhambat pertumbuhannya. Bakteri S. aureus tergolong dalam bakteri Gram positif, struktur dinding sel bakteri Gram positif relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antimikroba untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja (Pelczar dan Chan, 1988). Savadogo (2006) menyatakan bahwa kebanyakan bakteriocin yang dihasilkan oleh bakteri Gram positif adalah senyawa aktif yang bekerja pada membran dengan cara meningkatkan permeabilitas membran tersebut. Menurut Davidson et al. (2005) yang menyatakan bahwa plantaricin yang dihasilkan L. plantarum memiliki efek bakterisidal dan lisis melawan bakteri Gram positif (B. cereus, S. aureus dan BAL) dan Gram negatif (E. coli dan P. aeruginosa). Selain itu, karena salami merupakan media padat, hal tersebut memungkinkan peneterasi zat metabolit yang dihasilkan bakteri asam laktat kurang optimal sehingga jumlah populasinya tetap bertahan pada kisaran 4 Log 10 CFU/g. Suhu penyimpanan dingin produk salami probiotik ini juga turut berpengaruh terhadap terhambatnya pertumbuhan bakteri patogen ini. Kisaran suhu minimum pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah pada suhu 5–13o C. Suhu penyimpanan yang dilakukan yaitu 10 oC ± 2 oC masih berada pada suhu kisaran minimum pertumbuhan bakteri S. aureus, sehingga pertumbuhannya terhambat. Jumlah S. aureus sebesar ≥ 6 Log menyebabkan intoksifikasi 10 CFU/g dapat menghasilkan enterotoksin yang pangan (Buckle et al, 1987). S. aureus tidak memproduksi enterotoxin pada kondisi anaerob dibawah pH 5, 58 dan suhu 10oC (Jay et al., 2005). Jumlah populasi S. aureus pada produk salami yang dibuat masih dibawah 6 Log 10 CFU/g yaitu 4 Log 10 CFU/g hal ini mengindikasikan bahwa produk salami probiotik yang disimpan selama 30 hari pada penyimpanan dingin masih dapat menghambat pertumbuhan dan mencegah produksi enterotoxin dari S. aureus. 39 Viabilitas E. coli Berdasarkan Tabel 2. Viabilitas E. coli pada salami probiotik selama penyimpanan dingin setelah diuji stastistik menunjukan penurunan yang tidak nyata (P>0,05). Viabilitas E. coli mengalami penurunan sampai penyimpanan H-20 dan naik lagi pada hari ke-30 (H-30) tetapi penurunan dan kenaikan tersebut tidak nyata. Jumlah populasi E. coli pada adonan yaitu pada 3,25 Log 10 CFU/g dan menurun menjadi 3,06 Log 10 CFU/g setelah proses conditioning selesai yaitu pada hari ke-0 (H-0), kemudian pada hari ke-20 (H-20) terjadi penurunan lagi menjadi 2,72 Log 10 CFU/g dan pada hari ke-30 (H-30) terjadi kenaikan populasi menjadi 3,19 Log 10 CFU/g. Hal ini berarti pertumbuhan E.coli pada salami yang disimpan pada penyimpanan dingin dapat dipertahankan pada kisaran populasi 3 Log 10 CFU/g. Pertumbuhan E.coli selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Grafik Pertumbuhan Bakteri E. coli Selama Penyimpanan Dingin Penurunan populasi E. coli dari adonan hingga proses conditioning selesai yaitu hari ke-0 (H-0) penyimpanan disebabkan oleh terjadinya penurunan pH pada salami yang disebabkan oleh hasil metabolisme bakteri asam laktat berupa asam laktat. Penelitian yang dilakukan Puspitasari (2008) menyatakan bahwa pH salami dengan kombinasi kultur Lactobacillus sp 1A5 dan Lactobacillus fermentum 2B2 dapat mencapai 4,6 – 4,4. Menurut Wood (1999), penurunan jumlah koliform karena terjadinya penurunan pH pada produk akibat produksi asam laktat, akumulasi asam laktat dan asetat hasil metabolisme laktosa dari bakteri-bakteri starter dapat 40 menyebabkan rusaknya sel-sel bakteri koliform karena proses pengasaman sitoplasma oleh difusi asam-asam takterdisosiasi yang ada. Pertumbuhan E. coli selama penyimpanan dingin tetap bertahan pada kisaran 3 Log 10 CFU/g, hal ini disebabkan oleh makin rendahnya pH salami oleh asam laktat yang dihasilkan bakteri asam laktat. Peneterasi zat metabolit bakteri asam laktat yang kurang optimal pada media padat dan pengaruh suhu penyimpanan yang dilakukan pada suhu 10 oC ± 2 oC menyebabkan bakteri ini tetap bertahan. Jay et al. (2005) menyatakan bahwa tidak terjadi pertumbuhan bakteri E.coli pada media trypticase soy broth dengan menggunakan asam laktat hingga mencapai pH 4,5. Penelitian yang dilakukan oleh Permanasari (2008) menyatakan bahwa Lactobacillus sp 1A5 memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri patogen E.coli. Hal yang sama juga terjadi pada Lactobacillus fermentum 2B2 yang memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri patogen E. coli (Widiasih, 2008). Rendahnya suhu penyimpanan juga merupakan salah satu penghambat pertumbuhan E. coli. Suhu penyimpanan salami yang dilakukan masih masuk dalam range suhu pertumbuhan minimum bakteri patogen ini. Menurut Sinnel (1992) suhu pertumbuhan E.coli berada pada kisaran suhu 8 – 10 o C. Yudhabuntara (2003) mengatakan bahwa pengaruh suhu rendah pada mesofil adalah inaktivasi dan perubahan struktur protein permease. Suhu rendah tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat perkembangbiakannya. Pertumbuhan mikroorganisme semakin berkurang seiring dengan semakin rendahnya suhu, dan akhirnya di bawah “suhu pertumbuhan minimum” perkembangbiakannya akan berhenti. 41