BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri (Adjustment) 1. Pengertian Penyesuaian Diri Lazarus (1969) mengemukakan bahwa adaptasi merupakan konsep biologis, yang kemudian digunakan oleh para psikolog dengan mengubah namanya menjadi penyesuaian diri (adjustment). Penyesuaian diri terdiri dari proses psikologis yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengatur atau mengatasi berbagai tuntutan atau tekanan. Beberapa ahli sepakat bahwa penyesuaian diri (adjustment) sebagai suatu perubahan tingkah laku. Atwater (1983) menyebutkan, penyesuaian diri berkaitan dengan perubahan pada diri sendiri dan lingkungan yang diperlukan untuk mencapai kepuasan dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan. Sejalan dengan pengertian di atas, Martin dan Osborne (1989) menyebutkan, penyesuaian diri berkaitan dengan perubahan prilaku dalam menghadapi perubahan tuntutan lingkungan. Individu harus berusaha untuk mengubah tingkah laku agar tercapainya hubungan yang baik antara individu dengan lingkungan, maka (Tidjan dalam Kristiyani, Utami, dan Sumijati, 2001). Perubahan tingkah laku dalam penyesuaian diri tidak terjadi begitu saja melainkan karena adanya proses. Fahmi (dalam Sobur, 2003) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai suatu proses dinamika terus-menerus yang bertujuan untuk mengubah kelakukan guna mendapatkan hubungan yang lebih serasi antara Universitas Sumatera Utara diri dengan lingkungan. Proses penyesuaian diri bertujuan untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff dalam Kristiyani, Utami, dan Sumijati, 2001). Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu sendiri secara alamiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri. Berkaitan dengan penyesuaian diri sebagai proses dan hasil, maka Habber dan Runyon (1984) menyebutkan, karena penyesuaian diri merupakan suatu proses dan bukan merupakan keadaan yang statis, maka efektivitas dari penyesuaian diri ditandai dengan seberapa baik individu mampu manghadapi situasi dan kondisi yang selalu berubah. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku agar individu mampu manghadapi situasi dan kondisi yang selalu berubah. 2. Aspek-Aspek Penyesuaian diri Menurut Mutadin (2002), penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. a. Penyesuaian Personal Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan Universitas Sumatera Utara penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Jarak inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri. b. Penyesuaian Sosial Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Proses saling mempengaruhi satu sama lain ada di dalam masyarakat, sehingga timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Bidang ilmu psikologi sosial, mengenal proses ini dengan sebutan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat Universitas Sumatera Utara tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Kedua unsur tersebut, individu dan masyarakat, sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh individu. Proses interaksi yang diserap atau dipelajari individu dalam masyarakat saja masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Proses penyesuaian sosial ini mengharuskan individu untuk mulai berkenalan dan mematuhi kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai penyesuaian bagi persoalan-persoalan hidup, agar tetap sehat dari segi kejiwaan maupun sosial. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Menurut Kristiyani, Utami, dan Sumijati (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri diantaranya keluarga, keadaan lingkungan, rasa aman, keadaan fisik, jenis kelamin, pendidikan, tingkat religiusitas dan kebudayaan, keadaan psikologis, kebiasaan dan keterampilan serta komunikasi. Universitas Sumatera Utara Warga (1983) mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, yaitu: a. Usia, artinya semakin dewasa usia seseorang maka semakin besar pula kapasitas beresponnya. b. Sentralisasi, artinya seberapa penting masalah yang sedang dihadapi. c. Antisipasi, maksudnya adalah kesiapan individu dalam menghadapi situasi yang menekan. d. Adanya persepsi individu akan kemampuan mengendalikan situasi. 4. Reaksi-Reaksi Penyesuaian Diri Reaksi atau mekanisme penyesuaian adalah berbagai kebiasaan yang biasa dipakai orang untuk memuaskan motif-motifnya (Sobur, 2003). Reaksi-rekasi berikut bukanlah reaksi yang sepenuhnya positif atau negatif, namun reaksi-reaksi tersebut tergolong normal secara statistik, dimana setiap orang umumnya melakukan satu diantaranya pada waktu tertentu. Jika motif terpuaskan melalui reaksi tersebut, maka muncullah reaksi yang dipergunakan untuk merespon keberhasilan, misalnya, menunjukkan sikap terima kasih, bergirang hati, atau mungkin pula perasaan bersalah. Sebaliknya, jika motif tidak terpuaskan, terjadilah reaksi kegagalan, seperti, marah, kecewa atau tidak puas. Berikut beberapa reaksi yang dikemukakan oleh Kossem (dalam Sobur, 2003): Universitas Sumatera Utara a. Rasionalisasi (Rasionalization) Merupakan upaya individu untuk memberi penjelasan yang menyenangkan (rasional), walaupun tidak yang sebenarnya, terhadap peristiwa atau perilaku khusus yang sering tidak diinginkan. b. Kompensasi (Compensation) Merupakan upaya individu untuk menyesuaikan diri terhadap ketidakmampuannya dengan berusaha unggul dalam hal lain. c. Negativisme (Negativism) Merupakan suatu reaksi yang dinyatakan sebagai perlawanan bawah sadar pada orang atau objek lain. d. Kepasrahan (Resignation) Merupakan suatu tipe kekecewaan mendalam yang sangat kuat, yang dialami individu. Kondisi ini ditandai dengan perilaku menyerah dan menarik diri. e. Pelarian (Flight) Pelarian mencakup sesuatu yang lebih jauh dari kepasrahan. Kepasrahan meliputi sikap tidak peduli terhadap masalah, sedangkan pelarian tidak harus menghindari sumber konflik. Seseorang yang menunjukkan reaksi pelarian mengasumsikan (secara sadar atau tidak) bahwa segalanya akan lebih baik dimana pun kecuali pada sumber konflik. f. Represi (Repression) Merupakan reaksi dimana seseorang menunjukkan perilaku tertentu, tanpa disadari, yang bertolak belakang dengan kenyataan pada dirinya. Universitas Sumatera Utara g. Kebodohan-semu (Pseudostupidity) Reaksi ini dilakukan dengan sengaja. Pada individu, reaksi ini tampak seperti memberi kesan bahwa ia pelupa. Umumnya digunakan untuk menghindari suatu hal. h. Pemikiran Obesesif (Obsessive Thinking) Merupakan reaksi seseorang yang berlebihan terhadap hal yang ia alami. i. Pengalihan (Displacement) Merupakan suatu reaksi dimana individu mengalihkan ekspresi perasaannya yang terpendam ke objek lain daripada ke arah sumber masalah. j. Perubahan (Conversion) Merupakan proses psikologis dimana ekspresi kekecewaan emosional berupa gejala-gejala jasmani yang sakit atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. 5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Efektif Selama rentang kehidupan, manusia akan selalu mengalami perubahan. Penyesuaian diri yang efektif terukur dari seberapa baik seseorang mengatasi perubahan dalam hidupnya. Menurut Habber dan Runyon (1984), penyesuaian diri yang efektif adalah menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa berubah dan secara aktif memodifikasi keterbatasan yang masih bisa diubah. Berikut akan dijelaskan karakteristik penyesuaian diri yang efektif menurut Habber dan Runyon (1984): Universitas Sumatera Utara a. Persepsi akurat terhadap realita Persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik apabila ia mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta manyadari konsekuensi tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut. c. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik. d. Citra diri yang positif Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadari sisi negatif dari dirinya, dimana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain. e. Kemampuan mengekpresikan perasaan Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga Universitas Sumatera Utara keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang. f. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik Individu yang penyesuaian dirinya baik, mampu untuk saling berbagi perasaan dan emosi. Mereka mempunyai kompetensi menjalin hubungan dengan orang lain, mampu untuk mencapai kadar keintiman yang layak dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus. B. Penyesuaian Diri Terhadap Kematian Pasangan Kematian pasangan merupakan salah satu penyebab berakhirnya ikatan pernikahan, dimana salah satu pihak (suami/istri) meninggal dunia (Hurlock, 1999). Masa dimana individu berusaha menyesuaikan diri dengan peristiwa kehilangan orang terdekatnya, atau dalam hal ini peristiwa kematian pasangannya, disebut dengan masa bereavement (Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2007). 1. Bereavement Bereavement adalah masa dimana kita kehilangan seseorang yang dekat dengan kita, dan proses penyesuaian diri terhadap kehilangan tersebut. Masa ini secara praktis mempengaruhi seluruh aspek individu yang mengalami kehilangan, misalnya dari istri menjadi janda, dari seorang anak menjadi yatim (Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2007). Selama masa bereavement, individu mengalami proses grieving secara bertahap. Proses grieving ini terbagi atas 3 tahap (Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2007): Universitas Sumatera Utara a. Terkejut dan Tidak Percaya Tahap ini dapat berlangsung beberapa minggu di awal kematian orang terdekat, terutama saat kematiannya terjadi tiba-tiba. Individu akan merasa kehilangan dan kebingungan. Keterkejutan dan ketidak percayaan akan menimbulkan kesedihan yang mendalam, yang diekspresikan melalui tangisan. b. Preokupasi Ingatan tentang Orang yang Meninggal Tahap ini akan berlangsung selama 6 bulan terakhir, bahkan lebih. Individu yang ditinggalkan berusaha menerima walaupun masih sulit. Individu masih sering menangis, terkadang insomnia, lemah dan kehilangan nafsu makan. Individu masih merasakan kehadiran orang yang meninggal dan memimpikannya. Perilaku ini akan hilang sejalan dengan waktu, walaupun kadang akan muncul pada saat perayaan hari-hari penting. c. Resolusi Tahap akhir ini ditandai dengan memperbaharui ketertarikan individu yang berduka cita dengan aktivitas kehidupannya serta aktivitas yang baru. Individu masih merindukan orang yang meninggal, tetapi ia sadar harus melanjutkan hidup tanpa orang tersebut, lebih sering mengikuti kegiatan dan mengembang hubungan sosial. Jadi, penyesuaian diri terhadap kematian pasangan merupakan perubahan perilaku individu selama masa bereavement karena kematian pasangannya, agar terjalin hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Universitas Sumatera Utara C. Peran Wanita Peran adalah bagian yang kita mainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri kita dengan keadaan. Peran wanita tradisional hanya berada dalam lingkup keluarga. Kemudian, peran wanita pada masa sekarang berkembang ke dalam lingkup dunia kerja. Peran wanita masa kini ada dua, yaitu wanita rumah tangga (ibu rumah tangga) dan wanita karir, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah (Wolfman, 1994). Populasi pada penelitian ini adalah wanita yang telah menikah, sehingga salah satu sampel dengan kriteria telah bekerja disebut dengan ibu bekerja. Jadi, peran wanita adalah bagian yang wanita tampilkan serta cara mereka bertingkah laku pada setiap keadaan, dan jenis peran wanita masa kini adalah ibu rumah tangga dan wanita karir/ ibu bekerja. 1. Ibu Rumah Tangga Ibu rumah tangga adalah wanita yang tidak pergi ke luar untuk bekerja melainkan tinggal dirumah untuk mengatur rumah tangga (http://uk.encarta.msn.com/dictionary). Sedangkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), Ibu Rumah Tangga adalah perempuan yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Kemudian pengertian Ibu Rumah Tangga dibatasi oleh Sedyono (dalam Gardiner, Wagemann, Sulaeman dan Sulastri, 1996) menjadi para istri yang pekerjaannya terbatas pada mengatur berbagai macam pekerjaan dalam rumah tangga mereka sendiri. Fakta yang disebutkan oleh Bernars (dalam Unger dan Crawford, 2000) menyebutkan bahwa peran sebagai ibu rumah tangga mempengaruhi kesehatan Universitas Sumatera Utara mental perempuan menjadi kurang baik. Tidak jarang perempuan mengalami frustasi dan tidak puas dalam pernikahannya. Hal ini dikarenakan pekerjaan rumah tangga yang dilakukan membuat individu terisolir, rendah diri, kurang bersosialisasi dan menganggap pekerjaan ibu rumah tangga tersebut adalah pekerjaan yang dapat mematikan potensi yang ada pada dirinya. Berdasarkan teori di atas, maka ibu rumah tangga adalah wanita yang tidak bekerja di luar rumah atau tidak memiliki penghasilan sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melaksanakan pekerjaan dalam rumah tangga mereka sendiri. 2. Ibu Bekerja Saat ini banyak wanita bekerja seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan mereka. Wanita yang bekerja memiliki level kepuasan hidup yang lebih tinggi, merasa adekuat dan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak bekerja (Hooyer dan Roodin 2003). Kerja (work) didefinisikan sebagai aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang bernilai, baik barang maupun jasa. Bernilai dalam hal ini diartikan sebagai seberapa banyak orang mendapat bayaran karena melakukan pekerjaan tersebut (Seccombe dan Warer, 2004). Wanita dikatakan bekerja apabila mendapatkan penghasilan/gaji, setelah mengerjakan tugas-tugasnya (Matlin, 2004; Vuuren dalam Setiasih, 2005). Soedarto mendefinisikan ibu bekerja sebagai ibu yang memiliki kegiatan secara publik (bekerja diluar pekerjaan domestik) dan mempunyai jadwal tertentu untuk mengembangkan hidupnya, baik secara fisik maupun psikis. Universitas Sumatera Utara Seorang ibu yang bekerja tetap mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara berbagi tugas dengan suami, anak ataupun mencari bantuan dari orang lain. Ibu bekerja memiliki pola karir yang berkaitan dengan statusnya sebagai istri dan sebagai ibu (Hooyer dan Roodin 2003), yaitu: a. Pola karir reguler, yaitu wanita yang memulai kerjanya segera setelah pendidikannya selesai dan tetap melanjutkannya walaupun sudah menikah b. Pola karir yang terhalang, yaitu wanita yang mulai kerja seperti pola reguler tetapi berhenti selama beberapa tahun, biasanya karena melahirkan anak, dan kemudian kembali bekerja c. Pola karir kedua, yaitu wanita yang memulai karirnya setelah atau beberapa saat sebelum anak dewasa, atau setelah bercerai d. Modifikasi pola karir kedua, yaitu wanita yang memulai karirnya saat memiliki anak tetapi anak sudah bisa ditinggal dan tidak memerlukan perhatian lebih, kemudian mulai bekerja (kemungkinan kerja paruh waktu) sampai anak benar-benar dewasa, akhirnya berkomitmen pada karir full-time. Berdasarkan teori di atas, maka definisi ibu bekerja adalah ibu atau istri yang melakukan pekerjaan di luar perkerjaan domestik (rumah tangganya sendiri) dan mendapatkan bayaran berupa benda atau uang jasa atas apa yang ia kerjakan. Universitas Sumatera Utara D. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial Pierce (dalam Kail & Cavanaugh 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Diamtteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman kerja dan orang –orang lainnya. Hammer (dalam Orford 1992) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang positif antara status sosial dengan besarnya dukungan sosial yang diberikan. Dukungan sosial akan meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kemampuan penyesuaian diri melalui perasaan memiliki, peningkatan harga diri, pencegahan neurotis dan psikolopatologi, penurunan distress, serta penyediaan sumber atas bantuan yang dibutuhkan (Johnson & Johnson dalam Farhati dan Rosyid, 1996). 2. Jenis-Jenis Dukungan Sosial Orford (1992) merumuskan dukungan sosial sebagai berbagai macam dukungan yang diterima oleh seseorang dari orang lain, diantaranya: a. Dukungan emosional, yaitu dukungan yang melibatkan ekspresi simpati, rasa peduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, membuat individu merasa lebih baik, memperoleh kembali rasa keyakinan diri, merasa dimiliki serta merasa dicintai saat mengalami stres (Cohen dalam Srafino, 1998) Universitas Sumatera Utara b. Dukungan penghargaan atau harga diri (esteem support), yaitu dukungan yang ditunjukkan dengan cara menghargai, mendorong dan menyetujui terhadap suatu ide dan gagasan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Dukungan ini dititikberatkan terhadap adanya suatu pengakuan, penilaian yang positif dan penerimaan terhadap individu. c. Dukungan instrumental, yaitu dukungan yang meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata seperti meminjamkan uang atau barang bagi individu yang memang membutuhkan pada saat itu. Menurut Jacobs (dalam Orford 1992), dukungan instrumental mengacu kepada penyediaan barang atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis. d. Dukungan infomasional, yaitu dukungan yang meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik kepada individu. Menurut House (Orford, 1992) dukungan ini terdiri dari dua bentuk yaitu dukungan informasi yang berarti memberikan informasi atau mengajarkan suatu keterampilan yang berguna untuk mendapatkan pemecahan masalah, yang kedua adalah berupa dukungan penilaian yang meliputi informasi yang membantu seseorang dalam melakukan penilaian atas kemampuan dirinya sendiri e. Dukungan dari kelompok sosial, merupakan suatu upaya bagaimana individu menghabiskan waktu bersama-sama dengan teman-temannya Universitas Sumatera Utara ataupun melakukan aktivitas yang bersifat rekreasional di waktu senggang. 3. Sumber-Sumber Dukungan Sosial Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukungnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suamni/istri) atau teman-taman dekat b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang member dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber dukungan yang dimaksud meliuputi supervisor, tenaga ahli/profesional dan keluarga jauh. E. Perbedaan Penyesuaian Diri Terhadap Kematian Pasangan Ditinjau dari Peran Wanita Kematian pasangan merupakan perubahan hidup yang memberi dampak stres lebih besar daripada peristiwa hidup yang lain, sehingga penyesuaian diri Universitas Sumatera Utara terhadap peristiwa ini juga menjadi lebih sulit (Holmas dan Rahe dalam Kasschau, 1993). Masa penyesuaian diri terhadap peristiwa kehilangan orang terdekat, termasuk pasangan hidup disebut dengan bereavement. Individu dapat dikatakan mampu bertahan tergantung pada penyesuaian diri selama masa bereavement (Cavanaugh dan Fields, 2006). Selama masa breavement, individu akan melewati beberapa tahapan yang berhubungan dengan emosional, fisik dan reaksi perilaku. Tahapan ini disebut dengan proses grieving (Hoyer dan Roodin, 2003). Apapun peran yang dipegang oleh wanita, mereka tetap akan mengalami proses grieving pada saat kehilangan suaminya, dan umumnya berlangsung cukup lama. Mereka sangat terbuka dengan rasa kehilangannya serta membutuhkan dukuangn sosial yang lebih besar daripada pria. Kehilangan pasangan ini juga menambah masalah yang harus dihadapi wanita seorang diri, baik itu masalah diri sendiri maupun masalah rumah tangga. Boerner dan Wortman; Kastenbaum (dalam Santrock, 2002); Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, (2007), mengemukakan bahwa dukungan sosial membantu individu menyesuaikan diri dalam mengahadapi kematian pasangan. Dimond dkk. (dalam Cavanaugh dan Fields, 2006) menambahkan, dukungan sosial berperan penting dalam proses grieving selama 2 tahun setelah kematian pasangan. Dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman kerja dan orang-orang lainnya (Diamtteo, 1991). Sementara lingkungan atau orang-orang terdekat individu, selama masa bereavement, cenderung akan menjauhi. Hal ini dikarenakan mereka Universitas Sumatera Utara tidak mengetahui bagaimana harus bersikap atau mereka takut mengalami hal yang sama. Wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga adalah wanita yang tidak bekerja di luar rumah, atau tidak memiliki penghasilan sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melaksanakan perkerjaan rumah tangga. Ibu rumah tangga umumnya merasa dirinya terisolir, rendah diri, kurang bersosialisasi dan potensinya tidak berkembang. Ketika mereka kehilangan suaminya, maka dukungan sosial yang mereka terima cenderung rendah. Hal ini memperburuk proses penyesuaian diri ibu rumah tangga saat ditinggal pasangan. Keadaan ini berbanding terbalik dengan wanita yang berperan sebagai ibu bekerja. Ibu bekerja adalah ibu atau istri yang melakukan pekerjaan di luar pekerjaan domestik (rumah tangganya) dan mendapatkan bayaran berupa benda atau uang jasa atas apa yang ia kerjakan. Keharusan mereka untuk selalu berinteraksi demi kelangsungan pekerjaannya, dapat menjadi awal dari dukungan sosial bagi ibu berkeja yang telah kehilangan pasangannya. Wanita yang tidak terlalu tergantung pada suaminya, misalnya aktif dalam kegiatan di lingkungan rumah atau bekerja tetap akan mereasa kesepian setelah kematian suaminya, namun gaya hidup mereka tidak akan berubah banyak. Mereka tetap akan menjalankan aktivitas rutin yang dapat menjadi pengalihan perhatian dan energi secara positif. Wanita seperti inilah yang dianggap paling mampu menyesuaikan diri dengan keadaan menjandanya (Frieze, Parson, Johnson, Ruble dan Zelman, 1978; Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2007). Universitas Sumatera Utara Perkerjaan ibu rumah tangga seperti mengurus rumah dan memenuhi kebutuhan setiap orang di rumah, memakan waktu lebih banyak daripada pekerjaan di luar. Pekerjaan seperti ini membuat lebih banyak energi yang terbuang, lingkungan sosial menjadi lebih sempit, dan ketergantungan terhadap suami menjadi lebih tinggi. Misalnya, masalah ekonomi, mengikuti kegiatan sosial, menyelesaikan masalah anak sampai membut perencanaan untuk rumah tangga, selalu diselesaikan atau dilakukan bersama suami. Hal ini membuat ibu rumah tangga menjadi lebih tertekan ketika kehilangan suaminya. Hasil penelitian CLOC (Changing Liver of Older Couples) menyebutkan, janda/duda yang selama masa kehidupan pernikahannya sangat tergantung kepada pasangannya cenderung akan cemas dan dalam jangka waktu yang lama sering mengingat pasangannya yang telah meninggal pada 6 bulan setelah kematiannya, daripada mereka yang tidak terlalu bergantung pada pasangannya selama masa pernikahan (Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp, 2007). Wanita yang menjalankan peran ganda, sebagai ibu bekerja, tetap menjalankan pekerjaan rumah tangga tetapi tidak sepenuhnya. Mereka akan berusaha untuk membagi pekerjaan rumah tangga dengan suami atau mencari bantuan. Pekerjaan wanita diluar perkerjaan rumah memberikan manfaat ketika istri kehilangan suaminya (pada masa bereavement). Wanita mempunyai tempat pengalihan energi secara positif dari berbagai masalah yang menimbulkan tekanan dengan bekerja, misalnya seperti melewati proses grieveing, masalah anak-anak, masalah ekonomi maupun masalah pekerjaan itu sendiri. Individu akan bertemu dengan rekan-rekan sehingga mereka dapat saling berbagi perasaan, pandangan Universitas Sumatera Utara dan solusi (Rini, 2002). Pada situasi seperti inilah, individu akan memperoleh dukungan sosial yang lebih baik. Apabila individu gagal pada penyesuaiannya, maka individu akan mengalami keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan (Rini, 2002). Bagi individu yang mengalami kehilangan pasangan karena kematian, menurut Conroy (dalam Hurlock, 1999), akan melalui tahapan hidup merana, yang ditandai dengan usaha untuk terus mengenang masa silam dan ingin sekali untuk melanjutkan masa tersebut. F. Hipotesa Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka hipotesa penelitian ini adalah adanya perbedaan penyesuaian diri terhadap kematian pasangan ditinjau dari peran wanita. Universitas Sumatera Utara