IJTIHAD UMAR BIN KHATHAB DAN PENGARUHNYA TERHADAP KAJIAN HUKUM ISLAM YANG SOSIOLOGIS Fikria Najitama STAINU Kebumen E-mail : [email protected] Abstrak Tulisan ini berusaha menjelaskan signifikansi realitas sosial masyarakat dalam ijtihad hukum Umar bin Khathab. Dalam hal ini, Umar sebagai sosok yang memberi pengaruh besar pada perkembangan kajian sosiologi hukum Islam. Ia dikenal sebagai sosok yang berani keluar dari teks dalam menetapkan hukum. Salah satu dari gagasan Umar adalah bagaimana dia tidak memberlakukan hukuman potong tangan terhadap pelaku pencurian. Ia menganggap bahwa realitas sosial yang sedang dilanda kelaparan menjadi aspek penting untuk tidak memberlakukan hukuman potong tangan. Dari konsep tersebut nampak bahwa pertimbangan penting dari konsep Umar adalah terkait dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Dengan demikian, konsep Umar memberi pengaruh besar dalam penggunaan aspek sosiologis dalam menetapkan hukum. Kata kunci : Ijtihad, metode, hukum Islam, sosiologis, realitas sosial. Abstrac This paper attempts to explain the significance of social reality in ijtihad belonging to Umar bin Khathab. In this case, Umar is depicted as someone who gave major influence on the development of sociology studies of Islamic law. He is known as someone who dared to come out of the text in a legal setting. One of the ideas of Umar‟s is he does not impose penalty of hand amputation for theft perpetrators. He considered that the social reality that was hit by famine becomes an important aspect not to impose a penalty of hand amputation. The phenomenon shows that considering the social reality in law enforcement is essential to Umar‟s perspective. Thus, Umar‟s concept is taken as the biggest influence in the sociological aspects in determining the the law. Keywords : Ijtihad, method, Islamic law, sociology, social reality. 1 Pendahuluan Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah yang mengatur perilaku kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspeknya.1 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam adalah pondasi yang ditetapkan Allah atas seluruh aktifitas umat Islam. Menurut para ahli usul fiqh, hukum Islam merupakan sapaan (khitab) Allah. Dengan demikian, manusia hanyalah bertugas mengenali dan menemukannya melalui tanda-tanda yang diberikan Allah. Dengan kata lain, hukum syari‟ah merupakan man-discovered law dan bukan man-made law.2 Hal ini juga nampak dalam ungkapan Coulson, Tuhan yang merencanakan, namun manusia yang memformulasiknnya.3 Dengan demikian dapat dipahami, bahwa hukum tidak selalu merupakan barang siap pakai, melainkan harus ditemukan. Oleh karena itu, penemuan hukum merupakan suatu hal yang inheren di dalam setiap sistem hukum, termasuk hukum Islam. Kenyataan bahwa hukum haruslah ditemukan juga terkait dengan adanya perubahan dan perkembangan peradaban manusia. Seringkali didapati banyak peristiwa yang tidak terespon secara jelas dalam teks. Hal ini sesuai dengan ungkapan para ahli hukum, an-nusus mutanahiyah wa al-waqa‟i gair mutanahiyah. Dengan demikian, ijtihad yang merupakan prinsip gerak (the principle of movement) dalam struktur Islam,4 harus dilakukan untuk menemukan konstruksi hukum atas realitas yang muncul. Hal tersebut kemudian mendorong para ahli hukum Islam untuk mencari dan merumuskan metode-metode penemuan hukum. Metode-metode hasil rumusan para ahli hukum Islam kemudian dijadikan pegangan dan acuan untuk mencari rumusan hukum terkait dengan kasus-kasus yang terjadi. Salah satu tokoh yang dikenal sebagai mujtahid adalah Umar bin Khathab. Dalam hal ini, ia dikenal sebagai sosok yang berani keluar dari teks dalam menetapkan hukum. Pertimbangan penting dari konsep Umar adalah terkait dengan realitas sosial masyarakat yang ada. Dengan demikian, Umar merupakan penggagas awal dari penggunaan aspek sosiologi hukum5 dalam menetapkan perkara. Tulisan ini akan berusaha menjelaskan signifikansi realitas sosiologis masyarakat dalam ijtihad hukum. Sosok Umar merupakan poin inti yang dibahas dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa Umar sebagai sosok yang memberi pengaruh besar pada perkembangan kajian hukum Islam yang bersifat sosiologis. Artinya, ijtihad yang dilakukan oleh umar sangat 1 Josept Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford University Press, 1971), h. 1. Syamsul Anwar, ”Epistemologi Hukum Islam”, dalam Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, (kumpulan makalah tidak diterbitkan), h. 113. 3 Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj. Fuad, (Yogyakarta: Navila, 2001), h. 2. 4 Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali alam pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 204. 5 Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analisis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Dengan demikian, sosiologi hukum berupaya mengkaji sejauh mana hukum itu mempengaruhi tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap pembentukan hukum. 2 2 mempertimbangkan kondisi dan situasi sosio-kultural yang berkembang dalam masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan tulisan ini adalah pendekatan historis dan sosiologis dengan meng-capture ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khathab dalam perspektif sosiologi hukum. Pembahasan A. Sketsa Biografi 1. Sekilas Mengenai Umar bin Khathab Umar memiliki nama lengkap Umar bin Khathab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Orangtuanya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan Hantamah binti Hasyim. Umar lahir di Mekkah dan berasal dari Bani Adi (salah satu rumpun suku Quraisy). Umar adalah seorang sahabat terdekat dan setia kepada Rasulullah. Kecerdasannya dalam berpikir dan memahami syari'at Islam diakui sendiri oleh Nabi Saw. Bahkan Umar merupakan salah seorang sahabat telah dinyatakan Rasulullah akan masuk surga.6 Abbas Mahmoud al-Akkad dengan bersemangat menulis tentang kecemerlangan khalifah Umar. Menurutnya, Umar merupakan laki-laki luar biasa karena perbuatannya, luar biasa karena keadaan kepribadiannya. Dia mempunyai syarat-syarat keluarbiasaan dan keunikan dalam arti orang dahulu dan pengertian orang sekarang, baik mereka yang beriman dengan agama yang dianutnya atau bukan. Menurut al-Akkad, apabila engkau menggambarkan Umar kepada orang-orang dahulu yang mengukur keluarbiasaan itu dengan firasat dan pengalaman, maka mereka mengenal Umar dari sifat-sifatnya yang digambarkan kepada mereka bahwa ia seorang laki-laki yang luar biasa atau laki-laki yang tiada ada bandingannya. Apabila engkau menggambarkannya kepada orang sekarang yang mengukur keluarbiasaan itu dengan ilmu dan pengakuan para ahli, maka dari sifat itu mereka mengenalnya sebagai laki-laki luar biasa atau laki-laki yang berbakat.7 Tentang pengetahuan Umar dalam ilmu agama dan sosial, al-Akkad menjelaskan bahwa berbicara tentang pengetahuan Umar dengan bahasa kini, maka bolehlah kita katakan bahwa dia seorang laki-laki yang cukup memiliki pengetahuan zamannya. Dia ada seorang sastrawan, sejarawan, dan ahli fiqh, turut ambil bagian dalam kepandaian-kepandaian lain, terlatih dalam gerak badan dan pidato yang berbakat. Sebab itu tidak orang yang lebih besar mengambil bagian daripadanya dalam pengetahuan zamannya.8 Muhammad Ali al-Sayis mengatakan bahwa Umar adalah orang yang paling trampil dan berani diantara para sahabat Rasulullah dalam menggunakan pikiran (berijtihad) dan orang yang paling luas pandangannya. Hal ini karena ia diberi daya pandang dan akal yang luar Jalaluddin Abd. Rahman bin Abi Bakar al-Sayuthi, al-Jami'u ash-Shagîr, (Kairo: Dar alFikri , tt), h. 8. 7 Abbas Mahmoud al-'Akkad, Kecermelangan Khalifah Umar bin Khathab, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 23-34. 8 Ibid., h. 269. 6 3 biasa. Dalam hal ini, al-Sayis menganggap Umar ibn Khathab sebagai filsuf hukum Islam. Hal ini dikarenakan Umar tidak selalu berhenti pada zahir nas, didalami jiwanya, kemudian dilaksanakan ketentuan hukum sesuai jiwa yang mendasarinya.9 2. Ijtihad Umar bin Khathab Ijtihad seringkali didefinisikan sebagai seperangkat kaidah untuk mengistinbatkan hukum syar'i amali praktis dari dalil-dalil yang terperinci.10 Dari rumusan tersebut nampak bahwa ijtihad memiliki esensi sebagai berikut: a. Bahwa ijtihad adalah mencurahkan usaha dan kemampuan semaksimal mungkin seorang fakih b. Bahwa tujuan ijtihad adalah untuk mencapai hukum yang dzanni c. Bahwa yang dituju oleh ijtihad adalah hukum yang bersifat 'amali. d. Bahwa cara untuk mendapatkan hukum yang dituju itu dengan istinbat. e. Bahwa obyek ijtihad itu hanyalah pada dalil-dalil yang dzanni atau tidak ada dalilnya sama sekali. Dengan demikian, ada kecendrungan tekstualitas yang begitu kuat dalam konsep ijtihad. Terkait dengan hal tersebut, maka menarik mencermati ijtihad Umar. Dalam hal ini, ia berani keluar dari teks dengan mempertimbangkan realitas sosial yang ada. Dengan demikian, ia mencoba untuk mempertimbangkan aspek sosial masyarakat untuk mengklasrifikasi teks hukum. Ada beberapa hasil ijtihad Umar, yaitu: Pertama, terkait dengan dera bagi peminum minuman keras. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa Umar bin Khathab telah memerintahkan memukuli peminum minuman keras sebanyak 80 kali.11 Hal ini tentunya berbeda dengan keputusan Nabi Muhammad yang menghukum para peminum minuman keras dengan 40 kali dera. Perubahan pemikiran Umar bin Khathab tentunya memiliki alasan tersendiri. Dalam hal ini paling tidak ada dua landasan pokok yang dijadikan pijakan, yaitu: Pertama, hukuman dera tersebut diterapkan dengan alasan munculnya gejala di masyarakat yang mulai memandang remeh terhadap hukum yang diterapkan. Munculnya fenomena tersebut tentunya memerlukan sebuah format hukum baru yang mampu membuat masyarakat menjadi patuh. Tegasnya, untuk memelihara kemaslahatan kaum muslimin dengan jalan memberikan hukuman yang lebih berat guna mencegah semakin tersebar dan meluasnya perbuatan munkar tersebut. Kedua, terkait dengan persoalan Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri. Dalam al-Qur`an ditegaskan bahwa hukuman bagi pelaku pencurian adalah potong tangan. Dalam hal ini al-Qur`an menjelaskan: "pencuri laki-laki dan perempuan, maka potonglah tangan keduanya Muhammad Ali al-Sayis, Nasy'ah al-Fiqhi al-Ijtihâdi, (Kairo: Silsilah al-Buhuts alIslamiyah, 1970), h. 65. 10 Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (t.tp: Dar al-Fikr al-'Arabi, t.t), h. 12. 11 Malik bin Anas, Al-Muwatha', tashih. Muhammad Fuad Abdul Baqi, (t.tp: t.p, t.t), h. 526. 9 4 sebagai balasan terhadap apa yang diperbuatnya dan sebagai imbalan dari Allah".12 Atas dasar ayat inilah kemudian hukuman potong tangan dilakukan bagi para pelaku tindaak pencurian. Akan tetapi, Umar tidak melakukan hukuman potong tangan kepada pelaku pencurian pada masanya. Hal ini dikarenakan waktu itu kondisi sosial masyarakat sedang terjadi musim kelaparan. Ketiga, terkait dengan persoalan Talak Tiga. Dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa talak itu adalah dua kali yang boleh dirujuk kembali.13 Setelah itu, apabila jatuh talak ketiga, maka suami tidak boleh rujuk kembali kepada isterinya kecuali dengan akad nikah baru dan itupun sang isteri harus telah menikah dengan orang lain dan telah ditalak pula oleh suaminya yang kedua. Adapun cara menjatuhkan talak itu ada bebeerapa kemungkinan, yaitu: 1). Dengan cara menjatuhkannya satu demi satu. Maksudnya suami mentalak isterinya dengan talak satu, kemudian ia rujuk, kemudian talak talak lagi, kemudian rujuk lagi. 2). Dengan cara menjatuhkannya dua sekaligus pada kali pertama, kemudian rujuk kemudian talak. 3). Dengan cara menjatuhkannya tiga sekaligus, misalnya perkataan suami kepada isterinya, "saya talak engkau dengan talak tiga".14 Terkait dengan hal ini, pada masa Umar, muncul gejala di masyarakat dimana banyak sekali orang menjatuhkan dan mempermainkan talak tiga. Dalam keadan sosial masyarakat yang demikian, Umar kemudian berijtihad dan menetapkan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh tiga pula. Kebiasaan buruk masyarakat tersebut menurut Umar haruslah dicegah dengan menetapkan talak tiga sekaligus maka jatuh pula talak tiga. Poin penting dari ijtihad Umar tersebut adalah bagaimana dia mampu menjiwai aspek esensial hukum dan tidak terjebak dalam formalitas teks. Dalam hal ini, aspeks sosial dan realitas yang ada menjadi pondasi Umar untuk mempertimbangkan ketetapan hukum yang ia rumuskan. Walaupun secara tekstual nampak berseberangan, namun secara esensial, keetetapan hukum Umar berpijak pada kemaslahatan teks. Dengan demikian, dalam bahasa kontemporer, Umar nampak mempertimbangkan sosiologi hukum ketika dia memutuskan sebuah perkara. B. Kontribusi Pemikiran Umar bin Khathab dalam Kajian Hukum Islam yang bersifat Sosiologis Secara historis, Islam tidaklah lahir dalam ruang kosong. Dalam hal ini, Islam lahir dalam ruang sosial dan budaya Arab. Terkait dengan poin ini, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad. Pada sisi tertentu, hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum Qs. al-Maidah [5]: 38. Lihat, Qs. al-Baqarah [2]: 229-230. 14 M. Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 57. 12 13 5 adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam.15 Sebagai bukti dari hal tersebut adalah adanya konsep sunah taqririyyah16 Nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang berlaku di masyarakat Arab, sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran fundamental Islam. Berkaitan dengan hal di atas, dalam hal ibadah, Islam menjalankan ibadah haji dan umrah sebagaimana telah dipraktekkan dalam masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual tersebut sebagaimana dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, ihram, wukuf dan lain sebagainya. Setelah kedatangan Islam, kemudian praktek tersebut diteruskan dengan penggunaan istilah yang sama. Akan tetapi Islam kemudian membersihkan ibadah ini dari perilaku syirik, seperti ungkapan-ungkapan talbiyyah mereka yang masih bernuansa syirik. Di samping itu Islam juga melarang bertawaf secara telanjang.17 Selain dalam hal ibadah, hukum Islam juga mengadopsi budaya yang lain, misalnya sistem qisas dan diyat. Kedua hal tersebut merupakan praktek budaya masyarakat pra-Islam kemudian diadopsi dalam hukum pidana Islam.18 Demikian juga terkait dengan beberapa sistem transaksi yang berkembang di masyarakat pra-Islam juga diadopsi dalam sistem hukum Islam.19 Khazanah fiqih menunjukkan bahwa dalam pemikiran ulama fiqih, dapat dilihat pengaruh sosial budaya terhadap gagasan-gagasan yang dibangunnya. Abu Hanifah memasukkan adat sebagai salah satu prinsip istihsan-nya. Dalam ijtihadnya, Abu Hanifah memanfaatkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan sosial yang beragam dari masyarakat sebagai sumber hukum sekunder sepanjang hal tersebut tidak berlawanan dengan nass maupun spirit syari‟ah.20 Demikian juga dengan Imam Malik yang mendudukkan adat masyarakat Madinah sebagai bagian penting dalam teori hukumnya.21Salah satu hal penting untuk menjelaskan pengaruh sosial Majid Khadduri, Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), h. 19. 16 Sunah taqririyyah merupakan legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan sahabat, baik dengan cara diam dan sebagainya. Lebih lanjut lihat, Muhammad „Ajaj Al-Khatib, Usul alHadis, „Ulumuhu wa Mustalahuhu, cet. ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975), h.20. 17 Khalil Abdul Karim, Syari‟ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As‟ad, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 7-8. 18 Ratno Lukito, Islamic Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), h. 5-6. 19 Ibid., 8-9. 20 Ibid., h. 21. Salah satu faktanya adalah pendapat Abu Hanifah yang menganggap bahwa kedua telapak kaki bukanlah termasuk dalam kategori aurat. Ia beralasan bahwa kedua telapak kaki lebih menyulitkan untuk ditutupi daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi perempuan-perempuan miskin di pedesaan yang (saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lihat, Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahîd wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), I : 83. 21 Ratno Lukito, Islamic Law…, h. 21. Secara logis, Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung sahabat, dan Madinah merupakan tempat Rasulullah menghabiskan sepuluh tahun terakhir kehidupannya, maka praktek (adat) yang dilakukan pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Rasululullah. 15 6 budaya dalam konstruk pemikiran hukum Islam adalah terkait dengan fenomena Imam Syafi‟i.22 Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa pemikirannya sangat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Dengan kata lain, keadaan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi‟i dalam membentuk pemikiran hukumnya. Fakta yang paling nyata dari hal tersebut adalah munculnya apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum pemikiran Imam Syafi‟i. Qaul qadim dan qaul jadid membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut Ali Sayis, lahirnya madzhab jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemuinya di Hijaz dan Irak.23 Keseluruhan realitas tersebut menggambarkan bahwa Islam tidak lahir dalam ruang hampa dan menjelaskan bagaimana faktor sosial budaya memberi pengaruh yang begitu besar dalam konstruksi hukum yaang ditetapkan. Dalam hal inilah nampak bagaimana ijtihad Umar merupakan satu gagasan awal yang mempunyai pijakan yang kuat. Bila dilihat dari sisi originalitas, pertimbangan sosiologi hukum yang digunakan oleh Umar merupakan sesuatu yang pertama. Hal ini bila berdasar bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analisis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejalagejala sosial lainnya. Dengan demikian, sosiologi hukum berupaya mengkaji sejauh mana hukum itu mempengaruhi tingkah laku sosial dan pengaruh tingkah laku sosial terhadap pembentukan hukum. Umar mempertimbangkan tingkah laku sosial sebagai dasar dalam memutuskan hukuman. Bagaimanapun, keberanian Umar untuk mencoba keluar dari teks merupakan keberanian yang begitu hebat pada masanya. Hal ini terkait dengan realitas hukum pada masa itu yang masih begitu kuatnya nuansa tekstualitas. Hal ini cukup beralasan karena jarak antara kekuasaan Umar dengan Nabi tidaklah terlalu panjang. Dengan demikian, putusan ataupun perintah nabi masih merupakan pijakan yang diaplikasikan secara apa adanya oleh umat Islam. Pentingnya sosiologi hukum model Umar nampaknya telah memberi angin segar bagi para mujtahid dalam beristinbat. Dampak dari hal ini dapat dilacak dari munculnya mujtahid-mujtahid yang mencoba keluar dari teks dan mempertimbangkan aspek realitas sosial sebagai variabel penting. AsSyafi'i misalnya dengan munculnya apa yang disebut dengan qaul qadim dan qaul jadid dalam spektrum penikirannya. Qaul qadim dan qaul jadid membuktikan fleksibilitas fiqh dan adanya ruang gerak dinamis bagi perkembangan, perubahan dan sangat mempertimbangkan realitas ruang, waktu dan masyarakat. Pentingnya sosiologi dalam ijtihad hukum juga dapat dilihat dari konsep para mujtahid kontemporer. Sosok Umar dalam masa kontemporer menjadi sosok idola bagi para pemikir liberal dan progresif. Di sisi yang lain, pola ijtihad Umar juga banyak Atho Mudzhar, Membaca Gelombang…, h. 107. Menurut sejarah, madzhab qadim dibangun di Irak, sedangkan madzhab jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir. 22 23 7 disitir oleh para pemikir Indonesia yang berpikiran "modern". Munawir Syazali, Nurcholish Madjid dan Atho' Mudzhar merupakan pemikir yang seringkali mengungkapkan gagasan-gagasan ijtihad Umar. C. Kontekstualisai Ijtihad: Berkaca Pada Pemikiran Umar bin Khathab Konstruksi hukum Islam menunjukkan danya metode penemuan hukum Islam yang mempunyai tiga model, yaitu: 1). Metode intepretasi linguistik merupakan metode penemuan hukum yang beroperasi dengan melakukan intepretasi terhadap teks-teks al-Qur`an dan hadis. Dengan demikian, metode linguistik digunakan terkait dengan kasus-kasus yang sudah ada teks hukumnya, namun teks hukum tersebut masih kabur atau tidak jelas. Pola kajian yang digunakan dalam metode intepretasi linguistik menghasilkan empat taksonomi pernyataan hukum dari teks-teks hukum, yaitu: Pertama, dari segi tingkat kejelasannya. Kedua, dari segi pola-pola penunjukkan kepada hukum yang dimaksudkan. Ketiga, dari segi luassempitnya cakupan pernyataan hukum. Keempat, dari segi bentuk-bentuk formula taklif dalam pernyataan. 2). Metode kausasi merupakan metode penemuan hukum yang penting karena berupaya mengkonstruksi hukum terhadap kasus-kasus yang tidak ada teks hukumnya. Metode kausasi berupaya untuk menyelidiki fondasi yang menjadi dasar tegaknya hukum Islam. Dalam hal ini, metode kausasi ini kemudian dikategorikan menjadi dua model, yaitu yang mendasari adanya hukum pada „illat, dan yang mendasari adanya hukum pada maqasid asy-syari‟ah. Metode kausasi berusaha melakukan penggalian causa legis dari hukum kasus pararel untuk diterapkan kepada kasus serupa yang baru. Apa yang dilakukan hakim atau ahli hukum di sini adalah bina‟ al-hukm „ala al-„illah (pendasaran hukum kepada causa legis). Apabila tidak ada kasus paralel, maka pendasaran hukum kepada causa legis tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu penemuan hukum dapat dilakukan dengan pendasaran hukum kepada causa finalis hukum, yaitu maqasid asysyari‟ah. Dengan kata lain dilakukan ta‟lil al-ahkam bi maqasid asy-syari‟ah. 3). Metode penyelarasan, yakni metode yang berupaya menyelaraskan berbagai dalil hukum yang mungkin secara dzahir bertentangan satu sama lain. Untuk itu, dalam metode penyelarasan kemudian dikembangkan teori nasakh dan tarjih Secara sederhana, nasakh merupakan penghapusan atau penggantian suatu ketentuan syari‟ah oleh ketentuan yang lain dengan syarat bahwa yang disebut terakhir muncul belakangan dan kedua ketentuan itu ditetapkan secara terpisah. Adapun tarjih merupakan metode yang digunakan bila muncul dua nash yang secara dzahir yang saling bertentangan.24 Ketiga model ini merupakan metode yang selama ini digunakan oleh para pemikir untuk menemukan konstruksi hukum terhadap suatu kasus yang ada. Ketiga model tersebut memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks saja, yaitu al-Qur`an dan sunah. Dengan demikian, ada kecendrungan tekstualitas yang begitu kuat 24 Lebih lanjut lihat, Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Gazzali” dalam M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 273-275. 8 dalam metode penemuan hukum. Kecendrungan ini mungkin dapat dilacak dari konstruksi hukum Islam yang menganggap bahwa hukum tidaklah dibuat, tetapi ditemukan. Sebagaimana ungkapan Coulson, Tuhan yang merencanakan, namun manusia yang memformulasiknnya.25 Konstruksi ini merupakan implikasi dari paradigma bahwa hukum Islam merupakan bentuk sapaan (khitab) Tuhan. Berangkat dari pemaparan di atas, maka nyatatalah bahwa hukum Islam memiliki problem yang serius, yaitu bahwa hukum Islam seringkali berupaya menciptakan law in book dan menafikan law in action. Implikasinya, pada tataran empiris, sebuah teori yang diidealkan seringkali tidak berfungsi ataupun gagal pada tingkat aplikasinya. Hal inilah yang kemudian mendorong Coulson menjelaskan adanya konflik dan ketegangan yang bersumber dari teori dan praktek dalam hukum Islam. Walaupun rumusan Coulson mendapatkan kritik yang begitu tajam dari Muslehuddin26, namun dalam kenyataannya, konflik antara idealisme dan realisme hukum Islam dapat dirasakan adanya. Metode penemuan hukum yang sangat tekstual tersebut tidak lahir secara kebetulan. Sebaliknya, hal tersebut muncul sebagai karakter dari satu epistemologi dan bahkan pandangan hidup (weltanschauung) tertentu. Dominasi nalar bayani juga sangat nampak dalam spektrum sejarah pemikiran hukum Islam. Walaupun beberapa ulama telah mencoba melakukan terobosan dengan merumuskan paradigma baru, namun sangat jelas, masih adanya nuansa tekstualitas yang sangat kental. Mahmud Muhammad Taha misalnya, berusaha merumuskan metode yang menggabungkan nalar bayani dan „irfani,27 namun tetap saja dominasi teks masih begitu kentara. Demikian juga dengan Farzur Rahman dan Syahrur yang nampak masih memusatkan pada analisis normatif-tekstual.28 Untuk menjembatani adanya ketimpangan antara tekstualitas dengan dimensi sosial empiris, dan untuk menyelesaikan krisis epistemik kajian fiqh yang terasa menafikan law in action maka harus dicarikan metode penemuan hukum yang lebih tepat. Sebuah konstruksi metode penemuan hukum yang tidak hanya menekankan pada analisis normatif-tekstual dan meniadakan analisis sosial-empiris. Demikian juga tidak terlalu condong pada analisis sosial-empiris dan menafikan analisis normatif-tekstual. Pentingnya aspek sosiologi hukum juga dapat dilihat dari konsep metode ijtihad Louay Safi. Dalam hal, tawaran Louay Safi terkait dengan metode penemuan hukum “terpadu” mungkin dapat dijadikan pertimbangan. Noel J. Coulson, Konflik dalam …, h. 2. Lihat, Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997). H. 166-178. 27 Agus Moh. Najib, “Kecendrungan „Irfani dalam Hukum islam: Pemikiran mahmud Muhammad taha” dalam M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 314. 28 Mengenai analisis terhadap pemikiran Rahman dan Syahrur, lihat, Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h.357-388. 25 26 9 Metode “terpadu” Safi mencoba menggabungkan antara analisis normatiftekstual dengan sosial-empiris. Pertama, Prosedur Inferensi Tekstual. Prosedur ini dimaksudkan aturan-aturan dan konsep-konsep dari wahyu secara sistematis. Adapun langkah-langkah yang harus dilalui dalam prosedur ini adalah: 1. Mengidentifikasi seluruh pernyataan baik dari al-Qur`an maupun nabi yang relevan dengan pertanyaan yang sedang dibahas. Namun harus ditegaskan bahwa identifikasi terhadap ayat-ayat yang relevan bukanlah suatu prosedur mekanik, tetapi mencangkup suatu analisis dan pendalaman terhadap pemakaian linguistik. 2. Mencangkup suatu upaya untuk memahami makna pernyataan al-Qur`an yang relevan, secara individual dan dalam kaitannya dengan yang lain. Dalam hal ini, pernyataan al-Qur`an tidak dapat dipahami semata-mata dengan menganalisis penggunaan leksikal terhadap terma-terma individual. Makna dari masing-masing pernyataan harus lebih ditentukan dalam tiga konteks yang saling terkait: konteks tekstual, konteks wacana dan konteks eksistensi. 3. Berkaitan dengan ta‟lil terhadap teks, yaitu mengidentifikasi causa efficien yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi sifat umum yang dimilki oleh obyek yang berbeda-beda, yang menjustifikasi acuan penggunaan terma yang sama. Pengidentifikasian „illah suatu aturan merupakan langkah pertama dalam upaya menemukan prinsip-prinsip universal yang mengatur berbagai pernyataan syari‟ah. 4. Membawa kesatuan dan keteraturan ke dalam berbagai aturan dan prinsip yang diderivasikan dari teks wahyu. Ini berarti bahwa berbagai aturan perlu dibangun ke dalam suatu sistem yang komprehensif dan konsisten secara internal. Ini dapat dicapai melalui proses abstraksi yang terus menerus sehingga aturan yang diderivasikan dari teks dimasukkan ke dalam serangkaian aturan lain yang memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi.29 Kedua, Prosedur Inferensi historis. Prosedur ini dilakukan melalui empat langkah: 1. Menganalisis aksi individu yang termasuk ke dalam fenomena sosial yang sedang dibahs. Dengan menganalisis aksi, maka akan diketahui tiga faktor determinan; tujuan, motif, dan aturan. Tujuan merupakan seluruh obyek yang dikemukakan aktor untuk diwujudkan. Motif adalah dorongan psikologis aktor; motifasi untuk berbuat dari komitmen kepada suatu prinsip moral atau dari kepentingan diri. Sedangkan aturan merupakan prosedur teknis yang harus diikuti aktor untuk mencapai tujuan perbuatannya. 2. Klasifikasi berbagai mode atau tipe aksi berdasarkan pada kesamaan atau perbuatan komponen. Aksi yang mempunyai tujuan sama, membentuk 29 Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, (Selangor: IIU & IIIT, 1996), h. 182-187. 10 suatu kelompok yang homogen, sementara aksi yang memiliki tujuan berbeda membagi populasi dalam kelompok heterogen. 3. Upaya-upaya untuk megindentifikasi aturan-aturan universal yang membangun interaksi antara berbagai kelompokyang diidentifikasi dalam langkah kedua. Guna menarik aturan-aturan universal atau hukum-hukum interaksi, maka pola-pola kerjasama dan konflik, dominasi dan submisi, pertumbuhan dan kemuduran, harus dikaji secara komparatif melampaui batasan waktu dan geografis. 4. Aturan-aturan universal yang diperoleh dalam tahap selanjutnya perlu disistematisasikan dalam suatu bentuk yang tidak berbeda dari bentuk yang digunakan dalam derivasi tekstual. Di sini, sistematisasi dimaksudkan untuk menghilangkan inkonsistensi internal di dalam sistem aturan, baik yang diperoleh dari derivasi historis maupun wahyu. 30 Aturan-aturan inferensi tekstual dan inferensi historis menunjukkan pada suatu pola-pola general inferensi ilmiah yang digunakan dalam kedua pendekatan. Dari dua model inferensi tersebut kemudian merujuk pada pola inferensi terpadu. Pola general inferensi terpadu dapat dilakukan melalui prosedur sebagai berikut: 1. Analisis teks atau fenomena ke dalam komponen-komponen dasarnya, yaitu pernyataan atau aksi. 2. Pengelompokan pernyataan atau aksi yang sama di bawah satu kategori 3. Mengidentifikasi aturan-aturan yang menyatukan berbagai kategori. 4. Identifikasi aturan-aturan dan tujuan-tujuan general yang membangun interaksi atau inter-relasi berbagai kategori. 5. Sistematisasi aturan-aturan yang diperoleh melalui prosedur-prosedur sebelumnya (menghilangkan kontradiksi).31 Tawaran Safi mengenai model penemuan hukum terpadu tersebut menarik untuk dicermati. Dalam hal ini Safi nampaknya berusaha mensejajarkan pentingnya telaah normatif-tekstual dengan telaah sosialempiris. Dengan demikian, konstruksi hukum yang muncul lebih mampu diaplikasikan dalam ranah realitas. Tawaran Safi tersebut dapat dilihat merupakan eksplorasi secara sistematis dari pola ijtihad model Umar. Bagaimanapun signifikansi aspek sosio-empiris konsep Safi, secara sederhana telah dipraktekkan oleh Umar sebelumnya. Dengan demikian, konsep kontemporer mengenai metode ijtihad yang mencoba memposisikan aspek sosial merupakan kelanjutan sejarah dari paradigma pemikiran hukum Umar bin Khathab. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dalam konteks sekarang, metode dan praktik ijtihad harus lebih memperhatikan aspek sosiologis. Oleh kerena itu, dalam melakukan ijtihad, seorang mujtahid harus menguasai ilmuilmu sosial humaniora, agar ijtihadnya dapat membumi. Kemashlahatan yang menjadi tujuan hukum Islam akan tercapai secara tepat. Menurut Muhammad bin Ibrahim, mujtahid harus mempunyai multi talenta terhadap lingkungan sekitar (mikrokosmos dan mikrokosmis), individu-individu manusia dan adat 30 31 Ibid., h. 187-190. Ibid., h. 190-191. 11 kebiasaan mereka, kondisi sosiologisnya dan politik dalam negeri maupun luar negeri sehingga tidak bersifat konservatif eksklusif pada sesuatu hal yang baru.32 Menurut Syamsuddin, seorang mujtahid harus menguasai berbagai ilmu, dan tidak hanya ilmu tentang teks, akan tetapi juga ilmu sosial humaniora, seperti sejarah.33 Penguasaan ilmu-ilmu sosial humaniora akan menghasilkan produk ijtihad yang benar-benar relevan dan menjawab persoalan kontemporer. Contoh nyata ijtihad hukum yang bersifat sosiologis adalah ijtihad yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan No. 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar nikah. MK memutuskan bahwa pembuktian adanya hubungan darah dan hubungan perdata seorang anak dengan ayah biologisnya tidak harus dengan bukti otentik, akan tetapi bisa melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah.34 Ijtihad ini dilakukan dalam rangka menciptakan kemashlahatan dalam kehidupan masyarakat. Putusan MK ini bermaksud melindungi dan menjamin hak setiap warga negara agar tidak dirugikan oleh pihak lain, terlebih oleh negara. Simpulan Ijtihad yang dilakukan oleh Umar dengan tidak berpegang pada teks secara rigid, bukan berarti Umar mengabaikan teks, akan tetapi mempertimbangkan aspek sosio-kultural masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka menciptakan kemashlahatan yang menjadi tujuan teks. Berkaca pada ijtihad yang telah dilakukan oleh Umar bin Khathab, maka proses pembentukan hukum Islam harus mempertimbangkan aspek sosiologis bila hendak memproduk hukum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka untuk menjembatani adanya ketimpangan antara tekstualitas dengan dimensi sosial empiris, dan untuk menyelesaikan krisis epistemik kajian fiqh yang terasa menafikan law in action. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu-ilmu sosial humaniora, agar produk ijtihadnya benar-benar membumi, menghasilkan hukum yang relevan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat. Agar ijtihad yang dilakukan menghasilkan hukum Islam yang membumi seorang mujtahid harus menggabungkan antara analisis normatif-tekstual dengan sosial-empiris. Dengan demikian, mashlahat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum akan benarbenar tercapai. Lihat Muḥammad bin Ibrahi>m, al-Ijtihâd wa al-'Urf , (Kairo: Dâr al-salâm, 2009), h. 40. Muḥammad Mahdi Syamsuddîn, al- Ijtihâd wa al-tajdîd fi al-Fiqhî al-Islâmî, (Beirut: alDauliyah al-Muassasah, tt), h. 42-44. 34 Secara tekstual, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Bila teks undang-undang ini diterapkan secara rigid tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis dan kemashlahatan yang besar, maka akan banyak anak yang tidak diakui hubungan keperdataannya oleh negara. 32 33 12 Daftar Pustaka Akkad, Abbas Mahmoud al-, Kecermelangan Khalifah Umar bin Khathab, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Anas, Malik bin, Al-Muwatha', tashih. Muhammad Fuad Abdul Baqi, t.tp: t.p, t.t. Anwar, Syamsul, “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam”, dalam Syamsul Anwar, Metodologi Hukum Islam, kumpulan makalah tidak diterbitkan. Anwar, Syamsul, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam alGazzali” dalam M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000. Coulson, Noel J., Konflik dalam Yurisprudensi Islam, terj. Fuad, Yogyakarta: Navila, 2001. Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Iqbal, Muhammad, Pembangunan Kembali alam pikiran Islam, terj. Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Karim, Khalil Abdul, Syari‟ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As‟ad, Yogyakarta: LKiS, 2003. Khadduri, Majid, Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto, Yogyakarta: Tarawang Press, 2002. Khatib, Muhammad „Ajaj Al-, Usul al-Hadis, „Ulumuhu wa Mustalahuhu, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 1975. Lukito, Ratno, Islamic Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia, Jakarta: Logos, 2001. Mudzhar, M. Atho', Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998. Muḥammad bin Ibrahiâm, al-Ijtihâd wa al-'Urf , Kairo: Dâr al-salâm, 2009. Muḥammad Mahdi Syamsuddîn, al- Ijtihâd wa al-tajdîd fî al-Fiqhî al-Islâmî, Beirut: al-Dauliyah al-Muassasah, tt. Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. 13 Najib, Agus Moh., “Kecendrungan „Irfani dalam Hukum islam: Pemikiran Mahmud Muhammad taha” dalam M. Amin Abdullah dkk, Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000. Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Fikr, 1992. Safi, Louay, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Selangor: IIU&IIIT, 1996. Sayis, Muhammad Ali al-, Nasy'ah al-Fiqhi al-Ijtihadi, Kairo: Silsilah al-Buhuts alIslamiyah, 1970. Sayuthi, Jalaluddin Abd. Rahman bin Abi Bakar al-, al-Jami'u ash-Shagir, Kairo: Dar al-Fikri , t.t. Schacht, Josept, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University Press, 1971. Zahrah, Abu, Usul al-Fiqh, t.tp: Dar al-Fikr al-'Arabi, t.t. 14