30 Gambar 10. Sebaran suhu perairan Teluk Banten 4. HASIL DAN

advertisement
30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan
4.1.1 Suhu
Sebaran suhu menunjukkan nilai relatif merata. Pada saat pasang suhu berkisar
antara 31,00-32,20 oC, sedangkan pada saat surut suhu berkisar antara 31,00-31,50
o
C (Gambar 10). Adanya perbedaan suhu pada saat pasang dan surut diduga
dipengaruhi oleh cuaca dan waktu pengambilan sampel. Dalam hal ini pengambilan
sampel air pada saat pasang dilakukan pada waktu siang hingga sore hari, sementara
untuk kondisi surut dilakukan pada waktu pagi hingga siang hari.
Gambar 10. Sebaran suhu perairan Teluk Banten
Pengaruh kedalaman perairan juga dapat menjadi pertimbangan sebagai faktor
yang mempengaruhi distribusi suhu. Misalnya, pada stasiun V dan VI terukur suhu
pada saat pasang lebih tinggi daripada surut, hal ini dapat mengindikasikan bahwa
pada kedalaman yang lebih rendah (saat pasang) lebih cepat mengalami pemanasan
daripada saat surut (kedalaman tinggi). Hal serupa juga diungkapkan oleh Wijaya et
al. (2007) bahwa distribusi suhu permukaan perairan Teluk Banten mengalami
peningkatan ketika mendekati tepian teluk dan seiring garis lintang yang cenderung
dekat dengan garis ekuator (Lampiran 14).
Suhu permukaan perairan mempunyai arti yang penting tidak hanya berkaitan
sebagai basis parameter produktivitas primer tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk
mengkaji dan memperkirakan sumberdaya hayati (bio-resources), terutama
30
31
sumberdaya perikanan (Van Den Bergh et al. 2003 in Wijaya et al. 2007). Suhu
sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan seperti ikan dan udang.
Umumnya dengan kenaikan suhu, laju metabolisme akan meningkat. Udang-udang
muda dan dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10-40 oC, namun jarang
ditemukan pada suhu 38 oC atau lebih (Munro 1968 in Mumin 2004).
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan
respirasi. Kusmana et al. (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang
baik memerlukan suhu udara minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu
musiman tidak melebihi 5ºC. Kisaran suhu yang diamati masih mendukung
kehidupan gastropoda. Menurut Siagian (2001) in Suwondo et al. (2006), suhu
yang tepat untuk kehidupan benthos berkisar antara 25-32 ºC.
Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2003) mendapatkan kisaran
suhu udara optimum untuk pertumbuhan beberapa spesies tumbuhan mangrove,
yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20ºC. Rizhopora stylosa, Ceriops
spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan tertinggi daun
segar dicapai pada suhu 26-28 ºC. Suhu optimum untuk Bruguiera spp. adalah 27 ºC,
sedangkan untuk Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26 ºC dan Xylocarpus granatum
pada suhu 28 ºC.
4.1.2. Salinitas
Salinitas perairan Teluk Banten sebesar 34 PSU, kecuali pada stasiun V dan VI
tercatat lebih rendah, berkisar antara 32-33 PSU. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh
adanya masukan air tawar dari kali Padek/Perumpung dan pertambakan disekitarnya.
Nilai salinitas yang diperoleh masih berada pada kisaran salinitas air laut yang
normal, yaitu 32 hingga 35 PSU (Gambar 11). Salinitas kawasan pesisir sangat
dipengaruhi oleh suplai air tawar melalui aliran sungai (Nybakken 1988).
Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan
zonasi mangrove. Pada umumnya vegetasi mangrove dapat bertahan dan mampu
hidup dengan subur pada lingkungan estuaria dengan kisaran salinitas antara 10-30
PSU (Aksornkoae 1993).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan Teluk Banten di kawasan ini
sedikit menerima suplai air tawar yang teratur dari aliran sungai, seperti yang terjadi
pada stasiun III. Stasiun III merupakan titik pengambilan contoh air pada muara
31
32
Sungai Cengkok (Cibanten), namun nilai salinitas pada titik ini
menunjukkan
kesamaan dengan stasiun lainnya yang berada di wilayah pesisir. Hal ini dipengaruhi
karena di Sungai Cengkok terdapat tanggul bendungan pada jarak 2 km dari garis
pantai. Pada kondisi ini suplai air tawar dari sungai sangat terhambat dan hanya
mengalir ke arah lokasi Pelabuhan Karangantu. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh
musim kemarau dengan ditandai menurunnya debit aliran sungai tersebut. Sebagai
informasi bahwa sungai Cibanten pada jarak 2 km dari garis pantai dibagi menjadi
dua aliran yaitu Muara Cengkok (stasiun III) dan muara Pelabuhan Karangantu.
Gambar 11. Sebaran salinitas perairan Teluk Banten
Setiap
biota perairan memiliki batasan tertentu terhadap parameter
lingkungannya sebagai syarat untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya udang, udang
termasuk hewan yang mampu hidup pada perairan yang bersalinitas cukup lebar
(eurihalin). Tiap jenis udang memiliki pilihan kadar garam yang berbeda. Pada
salinitas yang sangat rendah maupun pada kadar garam 40 PSU bila perubahannya
terjadi perlahan-lahan, jenis Penaeus monodon dan Metapenaeus spp. masih dapat
hidup (Munro 1968 in Mumin 2004). Untuk mengatasi kondisi salinitas lingkungan
yang melebihi kadar toleransi, gastropoda beradaptasi dengan cara menyesuaikan
cairan tubuhnya dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya.
4.1.3. Kekeruhan
Kekeruhan suatu perairan dapat memberikan gambaran mengenai kecerahan
di perairan tersebut. Perairan dengan kekeruhan yang tinggi dan kecerahan yang
rendah menyebabkan penetrasi cahaya akan terganggu hingga berdampak
32
33
terbatasnya produktivitas perairan (Nybakken 1988). Tingkat kekeruhan pada saat
pasang di perairan Teluk Banten berkisar antara 22,50-76,00 NTU, sedangkan pada
saat surut berkisar antara 22,50-57,00 NTU (Gambar 12). Nilai kekeruhan pada
setiap stasiun telah melampaui baku mutu kekeruhan untuk biota laut. Baku mutu
yang disarankan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP
No.51/MNLH/I/2004, adalah tidak melebihi kadar 5 NTU.
Gambar 12. Kekeruhan perairan Teluk Banten
Tingginya kekeruhan ini dapat dipengaruhi oleh tekstur substrat perairan yang
terangkat dan tersuspensi dalam perairan oleh besarnya gelombang ataupun arus.
Contohnya, pada saat pasang diperoleh nilai kekeruhan yang lebih tinggi daripada
saat surut. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel air saat pasang dilakukan
pada titik yang berdekatan dengan garis pantai. Titik ini ditandai dengan kedalaman
yang rendah sehingga sangat memungkinkan terjadinya pencampuran massa air, baik
pengaruh gelombang maupun arus pasang surut. Sebaliknya, pada stasiun III tercatat
nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada stasiun lain, hal ini dipengaruhi oleh
posisi stasiun tersebut, mengingat bahwa stasiun III berada di muara sungai dan
secara visual perairan ini tampak jernih dan memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter.
4.1.5. Derajat keasaman ( pH)
Pengukuran pH in situ pada saat pasang berkisar antara 7,16-7,46, sedangkan
pada saat surut berkisar antara 7,46-7,66 (Gambar 13). Hasil pengukuran ini
menunjukkan bahwa sebaran nilai pH relatif merata pada setiap stasiun
pengamatan.Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP
33
34
No.51/MNLH/I/2004, kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu untuk
kelangsungan hidup biota laut, dengan baku mutu yang disarankan berkisar antara 78,50. Menurut Purnomo (1979) in Mumin (2004), pH air normal yang mendukung
kehidupan udang adalah 7-8,90. Air dengan pH yang rendah atau tinggi di luar batas
normal, mempunyai pengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan udang Penaeid.
Gambar 13. Derajat keasaman (pH) perairan Teluk Banten
Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan
reaksi
enzimatik. Kondisi ini pun menunjukkan bahwa kawasan ekosistem
mangrove ini masih mendukung kehidupan ga st ropoda, meng ingat bahwa
kisaran pH 5-9 masih dapat mendukung kehidupan biota perairan. Derajat
keasaman atau pH yang optimum bagi Moluska bentik berkisar antara 6,5-7,5
(Russle-Hunter 1968 in Razak 2002). Gastropoda umumnya
banyak
dijumpai
pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 ( Siagian 2001 in Suwondo et al. 2006).
4.1.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)
Pengukuran DO pada saat pasang berkisar antara 3,48-5,67 mg/l, sedangkan
pada saat surut berkisar antara 6,78-7,13 mg/l (Gambar 14). Kadar DO normal
berkisar 5,7-8,5 mg/l. Adanya perbedaan nilai antarstasiun, baik saat pasang dan
surut dapat dipengaruhi oleh proses respirasi tumbuhan dan hewan serta dekomposisi
anaerob. Batas kadar DO yang mematikan berbeda-beda tergantung pada jenis,
34
35
kesehatan, dan stadia biota serta faktor-faktor lingkungan lainnya (Poernomo 1979 in
Mumin 2004).
Gambar 14. Kadar DO perairan Teluk Banten
Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan pada saat surut di setiap
stasiun pengamatan kadar DO diperoleh lebih tinggi. Hal ini diduga adanya
pengaruh dari proses fotosintesis fitoplankton yang memproduksi oksigen sehingga
kadar DO di perairan meningkat. Pada stasiun IV, V, dan VI saat pasang diperoleh
nilai DO berturut-turut 3,48, 4,25, dan 4,45 mg/l, kadar ini lebih rendah dari 5 mg/l
sebagai baku mutu air laut untuk biota laut sesuai dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004. Rendahnya kadar oksigen terlarut
(DO) di ketiga stasiun tersebut diduga dipengaruhi oleh pergerakan air (arus) yang
relatif kecil daripada stasiun lain. Ketersediaan oksigen terlarut di perairan sebagian
besar dihasilkan melalui proses fotosintesis fitoplankton, sisanya dipengaruhi oleh
proses difusi dari udara ke dalam air. Disamping itu, proses pencampuran (mixing)
dan pergerakan (turbulence) massa air, respirasi biota perairan dan limbah yang
masuk ke badan air juga dapat menentukan ketersediaan oksigen terlarut (DO) di
perairan (Nybakken 1988).
Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di kawasan ini masih mendukung
kehidupan gastropoda, karena batas minimal kadar oksigen terlarut bagi
organisme di pantai adalah 4 mg/l, selebihnya tergantung ketahanan organisme,
keaktifan, kehadiran pencemaran dan suhu air (Osenberg et al. 1992 in Mukhtasor
2007).
35
36
4.1.7. Biochemichal Oxygen Demand (BOD)
Kadar BOD hasil pengukuran pada saat pasang berkisar antara 9,01 mg/l 27,83 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 9.31 mg/l-19.55 mg/l (Gambar
15). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/
2004, baku mutu BOD untuk biota laut tidak melebihi kadar 20 mg/l, sedangkan
berdasarkan data yang diperoleh terdapat beberapa stasiun yang telah melampaui
baku mutu BOD yaitu stasiun I, II, V, dan VI pada saat pasang, sedangkan pada saat
surut setiap stasiun menunjukkan kadar BOD yang memenuhi baku mutu. Hal ini
diduga bahwa adanya arus dan gelombang dapat mengangkat partikel-partikel di
dasar yang kaya dengan bahan organik sehingga tercampur membentuk partikelpartikel tersuspensi di perairan, mengingat bahwa ekosistem mangrove merupakan
penyulai bahan organik utama di perairan sekitarnya disamping adanya pengaruh
masukan bahan organik dari limbah rumah tangga yang dibawa aliran sungai.
Gambar 15. Kadar BOD perairan Teluk Banten
4.1.8. Ammonia
Salah satu senyawa yang dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan air adalah
ammonia, namun senyawa ini bersifat toksik bagi hewan perairan. Di lokasi
penelitian kadar ammonia pada saat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,38 mg/l,
sedangkan pada saat surut berkisar antara 0,19 mg/l – 0,37 mg/l (Gambar 16).
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004
baku mutu ammonia untuk biota laut tidak melebihi kadar 0,3 mg/l.
36
37
Ammonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses
pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat
dalam tanah dan kolom air. Ammonia juga bersumber dari dekomposisi bahan
organik (tumbuhan dan biota perairan yang mati) oleh mikroba dan jamur dikenal
dengan istilah ammonifikasi. Reduksi nitrat (denitrifikasi) oleh aktifitas mikroba
pada kondisi anaerob juga menghasilkan gas ammonia. Pada perairan anoksik (tanpa
oksigen), biasanya di dasar perairan, kadar ammonia relatif tinggi (Boyd 2001).
Gambar 16. Kadar ammonia perairan Teluk Banten
Senyawa-senyawa nitrogen organik yang larut dalam air maupun berupa
partikel tersuspensi yang berasal dari organisme mati dan hasil eksresi hewan bahari
cepat dirombak menjadi ammonia (Koesoebiono 1980). Rendahnya kadar ammonia
di stasiun I, diduga telah terjadi perombakan nitrogen organik dari tahap ammonia
ketahap berikutnya (seperti nitrit atau nitrat), hal ini di dukung dengan ketersediaan
oksigen yang memenuhi dalam yang mempercepat proses nitrifikasi oleh bakteri
tertentu. Sebaliknya di stasiun IV, V, dan VI memiliki kadar ammonia tinggi, hal ini
diduga proses perombakan bahan organik masih dalam tahap awal sebelum terjadi
proses nitrifikasi ke tahap berikutnya seperti yang diungkapkan Koesoebiono (1980).
4.1.9. Nitrat
Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan dan nutrien utama bagi
pertumbuhan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil
yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitogen di perairan. Kadar
37
38
nitrat di lokasi penelitian pada saaat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,44 mg/l,
sedangkan pada saat surut 0,12 mg/l – 0,29 mg/l (Gambar 17). Menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu nitrat
untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,008 mg/l. Berdasarkan data yang
diperoleh menunjukkan bahwa kadar nitrat di setiap stasiun pengamatan telah
melampaui baku mutu yang disarankan. Kadar nitrat di perairan akan dimanfaatkan
produser primer (fitoplankton) sebagai unsur hara bagi petumbuhan dan
perkembangan selnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas primer perairan.
Tingginya kadar nitrat di stasiun I, ditandai dengan melimpahnya bahan
organik yang diduga mengandung bahan-bahan nitrogen organik seperti organisme
dan tumbuhan yang mati, eksresi organisme ataupun bawaan dari aliran sungai yang
mengandung limbah organik seperti pupuk pertanian, tinja, dan berbagai macam
sampah organik, mengingat bahwa stasiun ini berada disekitar muara pelabuhan.
Gambar 17. Kadar nitrat perairan Teluk Banten
Dalam pembentukan nitrat ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu
dengan mengoksidasi senyawa nitrogen anorgaik yang terbentuk. Untuk kasus ini,
diduga proses nitrifikasi sudah mencapai tahap akhir yaitu terbentuknya nitrat, yang
pada mulanya adalah ammonia. Hal ini terlihat dari tingginya nitrat disertai dengan
menurunnya kadar ammonia.
4.1.10. Fosfat
Kadar fosfat pada saat pasang berkisar antara 0,02 mg/l – 0,07 mg/l, sedangkan
pada saat surut berkisar antara 0,03 mg/l – 0,08 mg/l (Gambar 18). Keputusan
38
39
Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu fosfat
untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,015 mg/l. Berdasarkan hasil
pengukuran, mengindikasikan bahwa kandungan fosfat di kawasan ini telah melebihi
baku mutu yang disarankan.
Keberadaan fitoplankton dapat mempengaruhi kadar fosfat di perairan. Hal ini
dipengaruhi karena fosfat merupakan salah satu bentuk nutrien yang diperlukan
produser
primer
(fitoplankton
atau
makrofita)
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan selnya (Boyd 2001).
Gambar 18. Kandungan fosfat perairan Teluk Banten
Di stasiun I, kadar fosfat pada saat surut diperoleh lebih tinggi, hal ini diduga
pada saat surut terjadi pencampuran air dari sungai Pelabuhan yang membawa
sumber-sumber fosfat. Sebaliknya di stasiun V dan VI pada saat pasang, kadar
fosfat lebih tinggi, hal ini diduga pada saat pasang naik air dari laut cenderung
masuk menempati daerah intertidal, salah satunya mengalir melalui parit-parit
tambak dan terjadi pencampuran dengan air yang bersumber dari tambak yang
masih aktif yang diduga menggunakan pupuk fosfat.
4.1.11. Arus
Kecepatan arus pada saat pasang berkisar antara 1,82 cm/s – 7,30 cm/s,
sedangkan pada saat surut berkisar antara 1,76 cm/s – 5,46 cm/s (Gambar 19).
Pergerakan arus pasang surut yang masuk dan keluar dari perairan teluk, berdampak
terhadap bentuk morfologi dasar dari perairan ini. Di lokasi dasar perairan yang
dipengaruhi arus pasang surut yang cepat biasanya akan mengendapkan sedimen
39
40
pasir dan sedimentasi umumnya rendah. Sebaliknya, pada lokasi dengan arus pasang
surut yang rendah, dapat mengendapkan sedimen lumpur sehingga sedimentasi lebih
tinggi.
Gambar 19. Arus perairan Teluk Banten
Di perairan Teluk Banten, pasang surut tertinggi dijumpai pada musim timur
(0,55 m). Menurut WYRTKI (1961) in Sutomo dan Riyono (1990), kecepatan arus
pada puncak musim timur bulan Agustus di sepanjang pantai utara jawa berkisar
antara 6-12 cm/dtk.
Perairan Teluk Banten merupakan perairan yang berbatasan langsung dengan
Laut Jawa, sehingga kondisi oseanografi di perairan ini akan dipengaruhi oleh
dinamika laut-atmosfer di Laut Jawa, seperti munculnya arus musim yang secara
dominan mempengaruhi variasi musiman suhu dan salinitas perairan, serta
timbulnya gelombang berpengaruh terhadap proses fisik di tepi pantai, misalnya
proses abrasi pantai dan angkutan sedimen di pantai.
40
41
4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove
4.2.1 Komposisi dan kerapatan jenis mangrove
Vegetasi mangrove yang ditemukan terdiri dari 3 (tiga) famili yaitu
Avicenniaceae, Rhizophoraceae dan Acanthaceae (Tabel 4). Famili Avicenniaceae
yang ditemukan adalah jenis Avicennia marina, sedangkan Famili Rhizophoraceae
diantaranya jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Kedua Famili
ini merupakan jenis mangrove berupa pohon dan termasuk ke dalam kelompok
mangrove sejati/utama (mayor). Jenis lain yang ditemukan adalah Acanthus
ilicifolius yang memiliki nama lokal jeruju hitam/daruyu/darulu. Jenis ini termasuk
Famili Acanthaceae yang berupa mangrove herba rendah dan terjurai di permukaan
tanah (Noor et al. 2006).
Tabel 4. Sebaran jenis mangrove yang ditemukan di lokasi pengamatan
No.
Famili
Jenis
1. Avicenniaceae
Avicennia marina
2.
Rhizophora mucronata
Rhizophoraceae
3.
Rhizophora apiculata
4. Acanthaceae
Acanthus ilicifolius
Keterangan : (+) = ditemukan; (-) = tidak ditemukan
I
+
+
-
II
+
+
-
Stasiun
III
IV
+
+
-
V
+
+
-
VI
+
+
+
Secara keseluruhan komunitas mangrove di kawasan ini didominasi oleh jenis
Avicennia marina, hal ini terlihat bahwa dari keenam stasiun yang diamati, 5 stasiun
diantaranya telah ditemukan jenis ini. Jenis lain seperti Rhizophora mucronata dapat
ditemukan di 4 (empat) lokasi. Sebaliknya, Rhizophora apiculata dan Acanthus
ilicifolius hanya dapat ditemukan masing-masing di satu lokasi. Tumbuhnya
Acanthus ilicifolius merupakan suatu indikasi bahwa suatu ekosistem telah
mengalami kerusakan (Bengen 2004).
Keberadaan Rhizhopora spp. di kawasan ini merupakan tidak seluruhnya
tumbuh secara alami melainkan ada beberapa lokasi yang sengaja ditanam baik oleh
warga setempat maupun institusi terkait dengan tujuan merehabilitasi mangrove,
mengingat bahwa kawasan ini telah mengalami degradasi ekosistem,
ditandai
dengan semakin menyempitnya ruang hidup mangrove seiring meluasnya areal
pertambakan.
42
Kerapatan jenis mangrove dikelompokan ke dalam 3 kategori yaitu pohon,
anakan dan semai. Untuk kategori pohon, jenis yang ditemukan adalah Avicennia
marina dan Rhizophora mucronata (Gambar 20a). Jenis Avicennia marina memiliki
kerapatan tertinggi merata hampir di semua stasiun. Kerapatan tertinggi jenis ini
ditemukan di stasiun I mencapai 9 ind/100 m2 dan kerapatan terendah di stasiun VI,
1 ind/100 m2. Berbeda halnya dengan Rhizophora mucronata, di stasiun VI jenis ini
memiliki kerapatan tertinggi mencapai 2 ind/100 m2 dan terendah 1 ind/100 m2 yang
ditemukan di stasiun I.
(a)
(b)
(c)
Gambar 20. Kerapatan jenis mangrove berdasarkan kategori,
(a) pohon;(b) anakan;(c) semai.
Sebelum kawasan ini terdegradasi, diduga tumbuh berbagai macam vegetasi
mangrove alami yang didominasi oleh Avicennia marina sekaligus sebagai vegetasi
pionir dalam komunitas mangrove. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya beberapa
vegetasi di sekitar pematang pertambakan dengan ukuran secara visual tergolong
tumbuhan dewasa dan tua. Pada saat ini hanya tersisa sejumlah vegetasi yang masih
bertahan seiring besarnya tekanan ekologi terhadap ruang hidup mangrove tersebut,
seperti yang ditemukan di beberapa stasiun seperti di stasiun I, mangrove di sini
42
43
khususnya Avicennia marina memiliki diameter pohon rata-rata 11 cm, hal ini
sebagai indikasi bahwa komunitas mangrove di lokasi ini termasuk vegetasi yang
sudah tua. Berbeda halnya dengan Rhizophora spp. di lokasi yang sama, jenis ini
berdiameter rata-rata sekitar 5 cm. Berdasarkan informasi yang diperoleh, di lokasi
ini pernah dilakukan rehabilitasi mangrove dari jenis Rhizophora spp., namun
pertumbuhan selalu terganggu dengan banyaknya hama kepiting sehingga diduga
jenis Rhizophora spp. yang tumbuh dewasa hanya sebagian kecil.
Komunitas mangrove berdasarkan kategori anakan terdiri dari 3 (tiga) jenis
diantaranya Avicennia marina, Rhizophora muronata dan Rhizophora apiculata.
Ketiga jenis ini memiliki kerapatan anakan yang berbeda-beda bahkan di beberapa
lokasi tidak ditemukan (Gambar 20b). Jenis Avicennia marina memiliki kerapatan
tertinggi pada stasiun IV mencapai 9 ind/25 m2. Untuk Rhizophora mucronata
kerapatan tertinggi ditemukan pada stasiun VI sebanyak 4 ind/25 m2, sedangkan
Rizophora apiculata hanya ditemukan di stasiun V sebanyak 1 ind/ 25 m2.
Komunitas mangrove berdasarkan kategori semai terdiri dari dua jenis, yaitu
Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh
Rhizophora mucronata di stasiun III sebanyak 3 ind/m2, sedangkan kerapatan
Avicennia marina lebih rendah berkisar antara 1-2 ind/m2 yang menyebar di stasiun
II, V, dan VI (Gambar 20c).
Berdasarkan kriteria baku yang telah ditetapkan Menteri Negara Lingkungan
Hidup KEP No.201/MNLH/I/2004 maka vegetasi mangrove di lokasi penelitian
termasuk kategori buruk/jarang, karena memiliki kerapatan <10 ind/100 m2.
Vegetasi mangrove yang telah teridentifikasi ini diduga mampu tumbuh pada jarak
100-200 meter dari garis pantai. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ini salah
satunya adalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang akibat pembukaan lahan
mangrove untuk keperluan pertambakan.
Komposisi mangrove berdasarkan kategori pohon, anakan dan semai
(Gambar 21) dapat diinterpretasikan bahwa komposisi pohon terbesar ditemukan
pada stasiun I mencapai 100%, sedangkan yang terkecil terdapat pada stasiun IV
sebanyak 10% dan tidak ditemukan di stasiun III. Komposisi anakan terbesar pada
stasiun IV mencapai 90% dan terkecil pada stasiun V sebesar 12%. Komposisi semai
terbesar pada stasiun III mencapai 100% dan terkecil pada stasiun VI sebesar 10%.
43
44
Menurut Samingan (1975) mengungkapkan bahwa jika suatu komunitas
mangrove yang mempunyai anakan dan semai lebih dari 50% dikategorikan dalam
kondisi muda begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
komunitas mangrove di stasiun I, II dan V tergolong dalam kondisi tua,
diindikasikan dengan komposisi pohonnya lebih dari 50% ,sementara stasiun III, IV
dan VI memiliki jumlah komposisi anakan dan semai lebih dari 50% sehingga
komunitas ini tergolong kondisi muda. Adanya anakan dan semai yang melimpah
memungkinkan komunitas ini bersuksesi sendiri.
Umur merupakan salah satu yang mempengaruhi produktivitas serasah.
Mangrove dengan tegakan yang lebih tua akan menghasilkan serasah yang lebih
banyak. Sediadi dan Pramudji (1987), mengungkapkan bahwa pada tegakan
Rhizophora spp., jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan
pertambahan umur dan jumlah maksimum diperoleh pada umur 10 tahun.
Di kawasan ini jenis Rhizophora spp. yang ditemukan merupakan jenis yang
tumbuh di zona belakang mangrove seperti yang ditemukan di stasiun VI. Jenis ini
ditemukan melimpah diantara batas areal mangrove dan pertambakan. Menurut
Soemodihardjo (1979), terdapat korelasi antara jenis tegakan dengan tinggi pasang
dan lamanya genangan. Semakin ke arah daratan arus pasang surut semakin kecil
dan kandungan lumpur juga bahan organik semakin tinggi sehingga Rhizophora spp.
dan ikutannya tumbuh dengan baik. Berbeda halnya dengan stasiun I dan V,
Rhizophora spp. yang ditemukan tumbuh tidak beraturan dan menempati areal
mangrove yang kosong, hal ini mengindikasikan bahwa telah dilakukan penanaman
mangrove sebagai upaya untuk rehabilitasi.
Ekosistem
mangrove
di
kawasan
ini
mengalami
ketidaknormalan
pertumbuhan. Hal ini dapat diindikasikan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang
kurang, adanya dominasi strata tegakan di beberapa lokasi seperti; melimpahnya
pohon, anakan, dan semai, atau pengurangan sejumlah zona hingga tersisa satu.
Ketidaksempurnaan zonasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
ketidaksempurnaan penggenangan ataupun pasang surut, adanya penebangan liar
untuk keperluan kayu bakar dan bangunan, meluasnya alih fungsi lahan mangrove
menjadi pertambakan dan tingginya pencemaran berupa sampah-sampah plastik
yang ditemukan menutupi akar-akar mangrove.
44
Gambar 21. Peta sebaran komposisi mangrove
45
45
46
4.2.2 Indeks nilai penting (INP)
INP adalah nilai yang memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau
peranan suatu jenis vegetasi mangrove dalam komunitas mangrove. Berdasarkan
Gambar 22. Avicennia marina memiliki INP antara 80-300. INP tertinggi di stasiun
II, IV dan V mencapai 300 sedangkan terendah pada stasiun VI sebesar 80. Jenis ini
memiliki nilai INP yang begitu besar hingga mencapai 300 karena di lokasi tersebut
jenis mangrove yang tumbuh adalah Avicennia marina sehingga hal ini dapat
mengindikasikan bahwa jenis Avicennia marina berperan penting dalam ekosistem.
Akan tetapi, jika jenis ini mengalami degradasi baik secara perlahan maupun
langsung, dikhawatirkan
kondisi keseimbangan ekosistem dapat terganggu dan
fungsi-fungsinnya tidak dapat berlangsung optimal.
Untuk jenis lain, yaitu Rhizophora mucronata memiliki peranan yang besar
pada stasiun VI, dengan INP mencapai 220 sedangkan di stasiun I jenis ini berperan
lebih kecil terhadap komunitas mangrove, ditandai dengan INP sebesar 43.
Gambar 22. Indeks nilai penting (INP) jenis kategori pohon
Nilai frekuensi kemunculan dan persentase penutupan jenis didominasi oleh
Avicennia marina (Lampiran 1). Hal ini terkait dengan pernyataan Arief (2003) yang
mengungkapkan bahwa Avicennia marina merupakan jenis yang mampu hidup pada
kondisi substrat yang bertektur liat, liat berlumpur, dan lempung liat berlumpur
disamping itu memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan salinitas perairan
yang ekstrim dan termasuk jenis vegetasi pionir dalam ekositem mangrove.
46
47
4.3. Karakteristik Substrat
Karaketristik substrat yang diamati meliputi derajat keasaman (pH), kadar Corganik dan fraksi substrat (Tabel 5). Nilai pH pada setiap stasiun besarnya cukup
stabil yaitu 7,5 kecuali pada stasiun I sebesar 6,4. Berdasarkan nilai pH tersebut
maka nilai keasaaman substrat
berkisar dari agak asam hingga agak basa.
Notohadiprawiro (1979) in Samson (1999), mengungkapkan bahwa nilai pH pada
kawasan mangrove akan
mudah berkembang menjadi tanah asam. Hal ini
disebabkan karena di bawah vegetasi mangrove terdapat bahan-bahan organik yang
berasal dari akar, batang, maupun dedaunan mangrove. Oleh karena itu, rendahnya
nilai pH di stasiun I diduga dipengaruhi tingginya suplai bahan organik berupa
serasah mangrove,
mengingat bahwa lokasi ini memiliki kerapatan jenis dan
komposisi pohon yang tinggi daripada stasiun lainnya. Adapun keberadaan
pelabuhan atau pemukiman yang relatif padat di sekitar lokasi diduga ikut berperan
sebagai pemicu lain
rendahnya nilai pH substrat di lokasi ini. Hal serupa
diungkapkan oleh Hakim (1986) in Samson (1999), bahwa perombakan bahan-bahan
organik oleh kegiatan mikroorganisme akan mengasilkan senyawa asam organik
yang berpotensi menurunkan nilai pH.
Tabel 5. Karakteristik fisika-kimia substrat
Stasiun
I
II
II
IV
V
VI
pH
6,4
7,5
7,5
7,5
7,5
7,5
C-Organik
(%)
9,25
5,42
3,68
3,51
4,75
3,51
Pasir
1,22
3,88
2,88
2,28
4,29
1,08
Tekstur (%)
Debu
20,39
27,20
28,7
34,69
35,90
18,84
Liat
78,39
68,92
68,42
63,03
59,81
80,08
Tipe
substrat
Liat
Liat
Liat
Liat
Liat
Liat
Hasil analisis kadar C-organik berkisar antara 3,51-9,25%. Kadar organik
tertinggi ditemukan pada stasiun I sedangkan terendah pada stasiun VI. Tingginya
kadar
C-organik
pada
stasiun
I diduga terkait dengan tingginya kerapatan
mangrove dibanding stasiun lainnya dan didukung oleh tekstur substrat berupa liat.
Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki
komposisi fraksi debu, liat dan pasir yang tidak berbeda jauh. Fraksi pasir tertinggi
47
48
adalah di stasiun V sebesar 4,29% dan terendah di stasiun VI sebesar 1,08 %. Di
stasiun V memiliki fraksi debu tertinggi mencapai 35,90 % dan terendah di stasiun
VI sebesar 18,84 %. Untuk Fraksi liat komposisi tertinggi ditemukan pada stasiun
VI mencapai 80,08 % dan terendah pada stasiun V sebesar 59,81 %. Oleh karena
itu, secara umum kawasan ini memiliki tekstur substrat bertipe liat. Hal ini
diperoleh dengan mencocokkan komposisi fraksi-fraksi substrat tersebut pada
Segitiga Millar (Brower et al. 1979) sehingga ditemukan titik perpotongan sebagai
indikasi tipe substrat yang dimaksud.
Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan nutrien dalam
sedimen. Pada substrat berpasir terdapat pori-pori udara yang memungkinkan
terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air yang ada di atasnya, namun
nutrien yang terkandung cenderung lebih rendah. Pada substrat yang lebih halus
memiliki kandungan nutrien yang lebih besar, namun kandungan oksigen
cenderung lebih rendah. Teksur substrtat liat seperti yang ditemukan di lokasi,
memiliki kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara (nutrien) yang
lebih tinggi, namun kandungan oksigennya tidak begitu banyak, mengingat bahwa
substrat berteksur liat ini mempunyai luas permukaan yang lebih besar daripada
tipe substrat lainnya (Hardjowigeno 1987).
Ukuran butiran tanah menentukan lamanya peresapan air, tanah yang
berbutir kasar yang mengandung banyak pasir bila ada, air akan cepat meresap,
sehingga
tempat ini
merupakan
daerah
yang kering dan kurang disukai
gastropoda. Dharma (1988) in Suwondo (2006), menyatakan bahwa daerah yang
kering kurang disukai siput.
4.4 Keaneragaman Gastropoda
4.4.1. Komposisi dan kepadatan gastropoda
Kondisi fisik yang sangat bervariasi dalam ekosistem mangrove menyebabkan
faunanya hidup pada habiat
berlainan. Lingkungan ekosistem mangrove
menyediakan habitat yang baik kolonisasi berbagai fauna yaitu adanya naungan,
substrat dasar yang lembab, pohon sebagai tempat menempel dan kelimpahan
detritus organik sebagai makanan (Plaziat 1974 in Samson 1999).
Gastropoda yang hidup di kawasan ini umumnya hidup di permukaan substrat
dan menempel pada vegetasi mangrove. Jenis yang ditemukan terdiri dari
48
2
49
(famili) yaitu Potamididae dan Littorinidae. Dari Famili Potamididae ditemukan 4
jenis yaitu Trebralia sulcata, Cerithidiea cingulata, Telescopium telescopium dan
Trebralia bifrons. Famili ini ditemukan lebih banyak, hal ini sesuai dengan
pernyataan
Darnaedi ( 1982) yang menyatakan bahwa Famili Potamididae
mempunyai frekuensi kehadiran yang cukup tinggi
terkait dengan habitatnya
berupa lumpur, berair dan terbuka. Budiman (1991) in Ti’in (2008) menambahkan
bahwa jenis-jenis Cerithidea cingulata dan Terebralia sulcata adalah kelompok
moluska asli ekositem mangrove, artinya bahwa jenis ini menghabiskan hidupnya
di dalam kawasan mangrove dan jarang ditemukan di luar kawasan mangrove.
Kepadatan rata-rata gastropoda yang tergolong tinggi ditemukan pada stasiun
I, II, dan V (Lampiran 4). Ketiga lokasi ini memiliki kepadatan gastropoda lebih
dari 10 ind/m2., dengan kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun I mencapai 13
ind/m2. Beberapa stasiun lainnya memiliki kepadatan rendah rata-rata dibawah 10
ind/m2 dengan kepadatan terendah ditemukan di stasiun III. Hal ini diduga karena
keadaan lingkungan yang tidak mendukung untuk kehidupan gastropoda sehingga
dapat memicu dominansi dari jenis tertentu.
Gambar 23. Grafik komposisi jenis gastropoda pada seluruh stasiun pengamatan
(Sumber : Diolah dari Lampiran 4
Jenis Terebralia sulcata memiliki komposisi tertinggi sebesar 51%
dari
seluruh jenis gastropoda yang ditemukan (Gambar 19). Komposisi yang lain, dari
urutan komposisi tertinggi hingga terendah adalah Cerithidea cingulata 21%,
49
50
Terebralia bifrons dan Telescopium telescopium masing-masing 10% dan terendah
adalah Littorina saxatilis dengan komposisi 8 %.
Jenis-jenis moluska dari famili Potamididae mempunyai frekuensi kehadiran
yang cukup tinggi yang menyukai permukaan berlumpur yang kaya bahan orgaik
berupa detritus. Jenis-jenis moluska asli mangrove yaitu Terebralia sulcata,
Telescopium telescopium dan Cerithidea cingulata, dan Terebra bifrons ditemukan
dalam jumlah banyak dan hampir ditemukan pada setiap lokasi.
Subkelas prosobranchia memiliki jumlah insang sepasang sehingga sistem
peredaran darah pada jenis-jenis tersebut lebih baik daripada jenis-jenis lainnya,
disamping memiliki kemampunan memodifikasi ruang mantelnya menjadi semacam
paru-paru untuk pertukaran udara sehingga mereka dapat bertahan dari kekeringan
akibat tingginya perbedaan pasang surut. Kelebihan organ ini digunakan untuk
mempertahankan hidup terhadap tekanan oksigen yang lebih rendah pada lingkungan
yang anaerob.
Keong dari marga Terebralia dari famili Potamididae ini lebih menyukai hidup
pada dasar substrat mangrove berupa lumpur yang memadat (liat berlumpur) dan
biota ini memiliki sebaran menegak.
4.4.2. Indeks Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi gastropoda
Keanekaragaman mencakup dua hal pokok yaitu banyaknya spesies yang ada
pada suatu komunitas dan kelimpahan dari tiap spesies tersebut. Keaneragaman
terkecil ditemukan di stasiun III (Tabel 6) , hal ini dapat diduga adanya dominansi
dari Telescopium telescopium diduga di stasiun III jenis ini menyukai lokasi yang
tergenang air dan dapat meliang mengingat bahwa stasiun III berlokasi di tepi muara
Cengkok yang terdapat empang-empang parit dibuat warga. Berdasarkan Kriteria
Indeks keanekaragaman Shanonn -Wienner , maka ada beberapa stasiun
yang
tergolong ke dalam keanekaragaman sedang diantranya stasiun I, II, V, dan VI. Hal
ini mengindikasikan bahwa penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan
komunitas biota sedang.
50
51
Tabel 6. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
Stasiun
Indeks
I
II
III
IV
H' (Keanekaragaman)
1,22
1,11
0
0,68
E (Keseragaman)
0,75
0,68
0
0,42
D (Dominansi)
0,09
0,37
1
0,52
V
1,22
0,75
0,34
VI
1,36
0,84
0,25
Nilai Indeks keseragaman berkisar antara 0-0,84. Dibeberapa stasiun seperti
I, II, V, dan VI memiliki nilai keseragaman tinggi d indikasikan dengan nilai indeks
keseragaman yang mendekati 1, artinya keseragaman antarspesies relatif merata.
Untuk stasiun yang lain seperti di stasiun III memiliki indeks keseragaman 0, hal ini
mengindikasikan keseragaman spesies di dalam komunitas adalah rendah yang
mencerminkan kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh
berbeda. Kondisi ini ditunjukan dengan hanya ditemukannya Telescopium
telescopium.
Indeks Dominansi tertinggi terdapat pada stasiun III mencapai 1, hal ini
menggambarkan bahwa ada spesies yang mendominasi spesies lainnya yaitu
Telescopium telescopium . Dengan kata lain, dapat mengindikasikan bahwa struktur
komunitas dalam keadaan labil dan telah terjadi tekanan ekologis sehingga tidak
banyak spesies yang mampu bertahan hidup terhadap kondisi lingkungan tersebut .
Secara umum, hampir disetiap stasiun pada lokasi pengamatan tidak terjadi
dominansi. Hal ini menunjukan tidak adanya spesies yang ditemukan dalam jumlah
banyak sehingga komunitas gastropoda ini dapat dikatakan cukup baik.
4.5. Produksi dan komposisi jenis udang
Udang akan datang ke daerah mangrove disaat periode pasang surut dan menetap
untuk membesarkan larvanya (juvenile), selanjutnya bermigrasi ke laut. Perairan
mangrove merupakan daerah yang cocok sebagai tempat membesarkan diri (nursery
ground) dan tempat mencari makan (feeding ground).
Berdasarkan data hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap Sero di
ditemukan 3 jenis udang (Tabel 7), yaitu Penaeus merguensis (jerebung),
Metapenaeus ensis (udang api-api), dan Mysis sp (udang rebon). Pada kisaran waktu
2 (dua) bulan produksi hasil tangkapan tertinggi untuk semua jenis udang yang
ditemukan adalah udang rebon (Mysis sp.) dengan rara-rata produksi diatas 500 kg.
51
52
Jenis yang lain, seperti Penaeus merguensis diperoleh hasil tangkapan 200-300 kg
sedangkan produksi Metapenaeus ensis tidak mencapai 100 kg.
Tabel 7. Produksi dan komposisi jenis udang
No.
Produksi (kg)
Juni
Agustus
322,6
232,4
75,2
46,8
886,8
548,5
1284,6
827,7
3
3
Nama Spesies
1. Penaeus merguensis
2. Metapenaesus ensis
3. Mysis sp
Total Produksi (kg)
Jumlah Jenis
(Sumber : Nelayan Sero Desa Banten 2009)
Produksi total udang pada bulan Juni mencapai 1284,6 kg sedangkan pada
bulan Agustus mencapai 827,7 kg. Berdasarkan data tersebut terlihat adanya
penurunan produksi hampir 50 %. Hal ini dapat dipengaruhi salah satunya dengan
musim penangkapan atau migrasi udang tersebut. Faktor lain diduga karena
frekuensi penangkapan para nelayan sero mulai menurun di sekitar perairan Teluk
Banten.
Jenis udang yang memiliki produksi hasil tangkapan tertinggi adalah Penaeus
merguensis (udang putih/jerebung). Udang merupakan salah satu komoditas subsektor perikanan. Di Indonesia terdapat lebih dari 83 jenis udang yang termasuk
famili Penaeidae yang menyebar hampir di sepanjang pantai Diantara jenis yang ada
baru sebagian kecil saja yang dimanfaatkan sebagai hasil perikanan laut di Indonesia,
yaitu jenis-jenis yang ekonomis penting dan populasinya cukup besar. Dalam
statistik perikanan Indonesia, udang penaeid yang penting dibagi menjadi kategori
udang windu, udang jerebung dan udang dogol.
Udang rebon yang ditangkap diduga adalah salah satu jenis udang yang
berukuran kecil, artinya bukan udang pada stadia mysis. Hal ini, sesuai dengan
pernyataan Crosnier (1984) in Yusmansyah et. al. (2005) bahwa secara ekosistem
penyebaran udang dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah muara sungai atau estuaria
dan daerah lepas pantai pada perairan estuaria yang merupakan daerah pemijahan
(spawning ground) udang berada pada stadia post larva dan juvenil yang umumnya
52
53
berukuran kecil sedangkan di lepas pantai udang berada pada stadia dewasa dan
umumnya berukuran besar..
Rebon atau jambret berasal dari organisme semacam udang yang
dimanfaatkan oleh nelayan di daerah pertambakan sepanjang pantai utara Jawa
(Schuster 1952) in Yusmansyah et al. (2005). Rebon termasuk ordo Mysidaceae
terdiri dari genus Acetes dan Lucifer; jenis yang cukup penting dan tersebar di
daerah tropis adalah A. erythraeus. A. intermedius, A. sibogae, dan A. vulgaris (
Dahuri 1986).
Di pantai utara Jawa yang merupakan salah satu daerah penghasil rebon, musim
penangkapannya secara umum bersamaan dengan musim barat yaitu antara bulan
September-Mei dan puncak musim berlangsung pada bulan Desember-Januari
(Sumiono 1988) in Yusmansyah et al. (2005).
Habitat rebon biasanya terbatas pada perairan pantai yang landai, muara
sungai dan daerah estuaria. Kelompok rebon juga banyak dijumpai di daerah
pertambakan atau sungai-sungai di sekitar pintu pertambakan. Daerah penyebaran
antara lain pantai utara Jawa, Madura, selat Madura, Rembang, Tuban, Cirebon.
Pantai timur sumatera, perairan sibolga dan selatan Jawa khususnya pantai
Pangandaran-Cilacap.
Ditinjau dari habitatnya udang rebon dari genera Acetes dan Lucifer (famili
Sergestidae) menyenangi perairan laut dangkal pada kedalaman dari 20 meter,
daerah perairan yang terpisah dari laut terbuka (open sea) oleh adanya semenanjung
atau pulau, kisaran pasang surut cukup tinggi dan dasar perairan berupa lumpur atau
lumpur berpasir.
Beberapa karakteristik alat tangkap Sero antara lain adalah alat ini terbuat
dari jaring nelayan, bambu, dan kayu. Sero biasanya dipasang di laut pada
kedalaman antara 2 sampai 3 meter. Sero dipasang dengan system tancap. Setia pagi
pemilik sero melakukan panen ikan. Dari sekian banyak udang laut yang terdapat di
Indonesia, ada 11 jenis yang dapat dikategorikan mempunyai nilai ekonomi penting.
Umumnya terdiri dari dua marga yakni penaeus dan metapenaeus yang terdapat
tidak hanya di laut, tetapi sampai ke tambak-tambak.
Karena sistem kerjanya ditancap yang membentang antara 30 sampai 50
meter dalam bentuk anak panah atau busur. Pada ujung busur disediakan ruang untuk
53
54
menampung ikan. Ukurannya kurang diameter 150 cm. Pada pintu masuk ruang ini
dibentuk sedemikian rupa sehingga ikan hanya bisa masuk tapi tidak bisa keluar.
System kerjanya persis seperti bubu. Sementara fungi kaki busur yang terbuat dari
deretan jaring membentang tegak lurus dari kaki hingga ujung busur. Panjangnya
bisa antara 30 sampai 50 meter. Fungsinya untuk menggiring ikan menuju ruangan
yang telah disediakan.
Pemasangan sero biasanya melihat struktur laut yang dangkal tapi mendekati
kondisi laut yang dalam. Ini salah satu strategi pemilik sero untuk mendapatkan hasil
yang banyak. Biasanya ikan pada saat air laut surut pasti akan mencari tempat yang
lebih aman. Sementara pada saat air laut pasang, biasanya ikan akan memenuhi laut
yang dangkal. Kesempatan inilah yang diharapkan oleh pemilik sero agar ikan bisa
terjaring kedalam sero pada saat air laut mulai surut.
Ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam daur hidup udang karena
perairan mangrove merupakan tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari
makan, dan tempat berlindung. Oleh sebab itu, daerah kegiatan penangkapan udang
di laut, mempunyai banyak persamaan dengan daerah sebaran ekosistem mangrove.
Penangkapan udang di laut dibeberapa lokasi telah berjalan dengan sangat intensif
hingga mencapai atau melebihi produksi lestari.
4.6. Interaksi Mangrove dengan Komponen Ekosistem
Hubungan mangrove dan karakteristik substrat terdapat beberapa perbedaan
dari setiap lapisan mangrove. Setiap lapisan mangrove dengan ketebalan tinggi,
sedang dan rendah terdapat jumlah C-organik yang variatif pada substrat. Substrat
pada lokasi yang memiliki ketebalan mangrove tinggi (stasiun I & II) cenderung
mengandung lebih besar C-organik dengan kisaran 5,42-9,25%. Berbeda halnya
dengan lapisan lain rata-rata kandungan C-organik di bawah 4,75 % seperti lokasi
dengan ketebalan mangrove sedang (stasiun V dan VI), kandungan C-organik
berkisar antara 3,51-4,75 % dan ketebalan mangrove rendah (stasiun III & IV)
berkisar antara 3,51-3,68%. Hal ini menunjukan adanya korelasi positif antara
tingginya kerapatan, jenis mangrove, komposisi tegakan dan jarak sebaran mangrove
dari garis pantai.
Ekosistem mangrove
mengandung banyak sumber bahan organik yang
berasal dari bagian tubuh vegetasinya seperti daun, ranting atau akar yang berjatuhan
54
55
kepermukaan substrat berupa serasah. Serasah ini mengalami dekomposisi oleh
sejumlah mikroorganisme menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan
dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan/produser primer sebagai nutrien untuk
pertumbuhan dan perkembangan selnya (Arief 2003). Serasah-serasah ini banyak
mengandung karbon. Oleh karena itu, semakin tingginya kerapatan akan disertai
dengan tingginya serasah yang dipemukaan. Semakin banyak strata pohon mangrove
di suatu lokasi akan disertai melimpahnya dedaunan yang tumbuh sehingga dapat
meningkatkan sumber serasah dipermukaan. Begitupun dengan jenis mangrove.
Terdapat perbedaan kandungan unsur hara yag dimiliki masing-masing jenis salah
satunya kandungan karbon. Misalnya, jenis Rhizophora spp. tiap daunnya memiliki
sumber karbon 50,83 %, sedangkan Avicennia spp. setiap daunnya mengandung
47,93 % karbon (Laboraorium Fahutan IPM 1997 in Arief 2003).
Disamping hubungan mangrove dengan lingkungan (substrat), mangrove pun
berkaitan dengan biota bentik yang berasosiasi seperti gastropoda. Misalnya, daun
mangrove, ketika berguguran kepermukaan substrat tidak langsung mengalami
pelapukan atau pembusukan oleh mikroorganisme, namun memerlukan bantuan
biota lain seperti makrozoobentos. Gastropoda adalah salah satu kelompok
makrozoobentos memiliki peranan yang sangat besar dalam penyedian hara bagi
pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove maupun bagi biota itu sendiri.
Gastropoda berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah
daun-daun menjadi bagian kecil (detritus), kemudian proses ini akan dilanjutkan oleh
mirkoorganisme. Umumnya keberadaan gastropoda akan mempercepat proses
dekomposisi.
Setiap stratifikasi lokasi terdapat perbedaan kepadatan gastropoda. Kepadatan
total untuk stratifikasi mangrove tebal ( stasiun I & II) lebih tinggi daripada lokasi
lain mencapai 25 ind/m2. Di lokasi ini ditemukan hidup semua jenis gastropoda dari
seluruh jumlah jenis yang ditemukan dikawasan ini. Dengan lebih didominasi oleh
Terebralia sulcata. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kerapatan mangrove yang cukup
untuk kehidupan gastropoda terkait dengan fungsi mangrove sebagai habitat,
mencari makan dan berkembang biak, mengingat bahwa kondisi mangrove di lapisan
ini lebih baik daripada lokasi lainnya. Dilihat dari indeks keanekaragaman di lokasi
mangrove tebal tergolong sedang (1,11
55
H’ 1,22), indeks keseragaman yang
56
cenderung tinggi (0,68
E
0,75) dan indeks dominansi yang rendah (0,09
D
0,37).
Untuk stratifikasi ketebalan mangrove rendah (stasiun III & IV) kepadatan
total gastropoda mencapai 7 ind/m2 sedangkan yang hidup hanya dua jenis yaitu
Telescopium telescopium dan Terebralia sulcata. Di lapisan ini mengindikasikan
adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan berkurangnya biota-biota yang
hidup bergantung pada ekosistem mangrove. Jenis Telescopium telescopium mampu
bertahan hidup tanpa ada vegetasi mangrove dan biasanya melimpah di tanah bekas
areal tambak.
Untuk stratifikasi ketebalan mangrove sedang ( stasiun V &VI) kepadatan
gastropoda mencapai 18 ind/m2. Rata-rata semua jenis gastropoda ditemukan di
lokasi ini dengan jenis yang terbanyak adalah Terebralia sulcata. Jenis ini lebih
menyukai adanya vegetasi mangrove dan termasuk jenis penghuni asli ekosistem
mangrove. Keadaan kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan
makrozoobentos, karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupan
makrozoobentos. Tegakan dan tajuk pohon mampu berperan sebagai penghalang
langsung dari sinar matahari atau sebagai naungan bagi makrozoobentos (Arief
2003).
4.7. Upaya Pengelolaan Mangrove secara Berkelanjutan
Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem yang berkembang di wilayah
pesisir. Keberlangsungan ekosistem ini tidak hanya didukung oleh aspek ekologi
semata dengan proses ekologi yang begitu kompleks, namun eksistensinya pun
melibatkan aspek lain yang memiliki peranan lebih besar diantaranya aspek sosialbudaya, ekonomi dan kelembagaan.
Kawasan mangrove pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam Pulau Dua)
merupakan kawasan pesisir milik pemerintah khususnya kawasan yang ditumbuhi
mangrove mulai ketebalan 100 m hingga dibawah 20 meter dari garis pantai yang
tersusun mulai dari area Pelabuhan Karangantu hingga mendekati area yang terdekat
dengan Kawasan Cagar Alam). Sebagai batasan kawasan ini secara visual dapat
ditunjukkan dengan adanya tanggul tambak sebagai batasan antara ekosistem
56
57
mangrove (milik pemerintah) dan areal pertambakan (milik pengusaha) (Gambar
24).
Gambar 24. Ilustrasi batasan kawasan mangrove pesisir Pulau Dua
(di luar Cagar Alam)
Upaya pengelolaan suatu kawasan ekosistem tidak terlepas dari hubungannya
dengan sektor lain. Hal ini hendaknya diperhatikan lebih mendalam agar tujuan
pengelolaan yang diharapkan tidak tercapai secara parsial. Banyak contoh
pengelolaan
yang
hanya
fokus
pada
satu
sektor
tertentu
dan
tidak
mempertimbangkan beberapa sektor yang ada dalam pembangunan suatu kawasan.
Padahal diperlukan keterpaduan antarsektor untuk upaya pengelolaan kawasan
pesisir secara berkelanjutan.
Beberapa langkah utama dalam upaya pengelolaan diantaranya adalah
mengidentifikasi masalah dan menetapkan tujuan pengelolan. Dalam identifikasi
masalah idealnya diperlukan kajian mengenai inventarisasi masalah baik dari segi
ekologi sumberdaya, sosial-ekonomi, maupun pemerintahan. Pada pembahasan ini
hanya dibatasi dari segi ekologi sumberdaya yang meliputi karaketristik lingkungan
dan sumberdaya.
Langkah berikutnya adalah menetapkan tujuan. Kajian mangrove dikawasan
ini terkait dengan identifikasi masalah yang diangkat di awal sehingga tujuan utama
57
58
yang harus dicapai adalah memperbaiki kondisi ekosistem mangrove dengan harapan
fungsi ekologis khususnya dalam hal meningkatkan produksi sumberdaya perikanan
dapat segera pulih sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh para penguna termasuk
warga setempat.
Berdasarkan hasil kajian ekologi terdapat beberapa parameter ekologi
mangrove yang menujukan adanya degradasi ekosistem. Kajian utama dari ekologi
mangrove adalah mangrove itu sendiri dan hubungannya dengan komunitas lain
sebagai pengguna ekosistem tersebut. Tidak terlepas dari hal ini, sejumlah pengaruh
parameter lingkungan pun ikut berperan dalam menentukan status ekologi mangrove
di kawasan ini baik karakteristik lingkungan perairan maupun substrat/tanah. Secara
umum kawasan ini memiliki ketebalan mangrove yang tidak merata (bervariasai)
mulai dari ketebalan mangrove yang tertinggi mencapai 100 m hingga dibawah 20
meter dari garis pantai. Selain itu, ditemukan sejumlah kategori tegakan mangrove
yang bervariasi mulai dari pohon, anakan, dan semai. Oleh karena itu, upaya
pengelolaan mangrove yang lebih tepatt untuk kawasan ini adalah dengan sistem
rehabilitasi dibeberapa titik (Gambar 25).
Desain pengelolaan tersebut merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang
dapat dilakukan. Desain ini, menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan dibagi
menjadi zona-zona tertentu dengan harapan adanya keefektifan upaya. Sistem zonasi
ini terdiri atas zona inti dan zona penyangga. Zona inti difokuskan untuk
perlindungan dan pemulihan kawasan green belt sejauh 100 m dari garis pantai.
Upaya perlindungan tanpa rehabilitasi difokuskan pada vegetasi mangrove dewasa
ditunjukkan dengan warna hijau tua sedangkan upaya rehabilitasi sekaligus
perlindungan ditunjukan dengan area berwarna hijau muda. Untuk upaya rehabilitasi
di zona inti difokuskan pada lahan mangrove yang sangat kritis, kerapatan mangrove
yang sangat rendah, dan memiliki komposisi tegakan muda (anakan dan semai) yang
lebih banyak.
58
59
Gambar 25. Desain pengelolaan mangrove pesisir Pulau Dua
Untuk zona penyangga difokuskan pada lahan mangrove yang telah
dikonversi menjadi tambak, namun di zona ini ada modifikasi rehabilitasi mangrove
yaitu dengan mengkombinasikan antara tambak dan penanaman mangrove atau biasa
dikenal dengan sistem silvofishery. Upaya ini dimaksudkan sebagai langkah
alternatif antara pemerintah dan para pengusaha tambak supaya tujuan pemulihan
mangrove dapat tercapai juga disertai dengan kegiatan perikanaan budidaya yang
tetap berlangsung.
Pelaku di zona inti dilakukan oleh pemerintah setempat ataupun melalui
kerjasama dengan institusi/LSM terkait dibidang rehabilitasi mangrove sedangkan di
zona penyangga dapat dilakukan kerjasama antara pemerintah dan para pengusaha
tambak setempat sehingga pihak-pihak ini akan saling menguntungkan.
59
Download