30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik dan Kimia Perairan 4.1.1 Suhu Sebaran suhu menunjukkan nilai relatif merata. Pada saat pasang suhu berkisar antara 31,00-32,20 oC, sedangkan pada saat surut suhu berkisar antara 31,00-31,50 o C (Gambar 10). Adanya perbedaan suhu pada saat pasang dan surut diduga dipengaruhi oleh cuaca dan waktu pengambilan sampel. Dalam hal ini pengambilan sampel air pada saat pasang dilakukan pada waktu siang hingga sore hari, sementara untuk kondisi surut dilakukan pada waktu pagi hingga siang hari. Gambar 10. Sebaran suhu perairan Teluk Banten Pengaruh kedalaman perairan juga dapat menjadi pertimbangan sebagai faktor yang mempengaruhi distribusi suhu. Misalnya, pada stasiun V dan VI terukur suhu pada saat pasang lebih tinggi daripada surut, hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada kedalaman yang lebih rendah (saat pasang) lebih cepat mengalami pemanasan daripada saat surut (kedalaman tinggi). Hal serupa juga diungkapkan oleh Wijaya et al. (2007) bahwa distribusi suhu permukaan perairan Teluk Banten mengalami peningkatan ketika mendekati tepian teluk dan seiring garis lintang yang cenderung dekat dengan garis ekuator (Lampiran 14). Suhu permukaan perairan mempunyai arti yang penting tidak hanya berkaitan sebagai basis parameter produktivitas primer tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk mengkaji dan memperkirakan sumberdaya hayati (bio-resources), terutama 30 31 sumberdaya perikanan (Van Den Bergh et al. 2003 in Wijaya et al. 2007). Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan seperti ikan dan udang. Umumnya dengan kenaikan suhu, laju metabolisme akan meningkat. Udang-udang muda dan dewasa mempunyai toleransi suhu antara 10-40 oC, namun jarang ditemukan pada suhu 38 oC atau lebih (Munro 1968 in Mumin 2004). Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan respirasi. Kusmana et al. (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu udara minimal lebih besar dari 20ºC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5ºC. Kisaran suhu yang diamati masih mendukung kehidupan gastropoda. Menurut Siagian (2001) in Suwondo et al. (2006), suhu yang tepat untuk kehidupan benthos berkisar antara 25-32 ºC. Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2003) mendapatkan kisaran suhu udara optimum untuk pertumbuhan beberapa spesies tumbuhan mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada suhu 18-20ºC. Rizhopora stylosa, Ceriops spp., Excoecaria agallocha dan Lumnitzera racemosa pertumbuhan tertinggi daun segar dicapai pada suhu 26-28 ºC. Suhu optimum untuk Bruguiera spp. adalah 27 ºC, sedangkan untuk Xylocarpus spp. berkisar antara 21-26 ºC dan Xylocarpus granatum pada suhu 28 ºC. 4.1.2. Salinitas Salinitas perairan Teluk Banten sebesar 34 PSU, kecuali pada stasiun V dan VI tercatat lebih rendah, berkisar antara 32-33 PSU. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh adanya masukan air tawar dari kali Padek/Perumpung dan pertambakan disekitarnya. Nilai salinitas yang diperoleh masih berada pada kisaran salinitas air laut yang normal, yaitu 32 hingga 35 PSU (Gambar 11). Salinitas kawasan pesisir sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar melalui aliran sungai (Nybakken 1988). Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi mangrove. Pada umumnya vegetasi mangrove dapat bertahan dan mampu hidup dengan subur pada lingkungan estuaria dengan kisaran salinitas antara 10-30 PSU (Aksornkoae 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan Teluk Banten di kawasan ini sedikit menerima suplai air tawar yang teratur dari aliran sungai, seperti yang terjadi pada stasiun III. Stasiun III merupakan titik pengambilan contoh air pada muara 31 32 Sungai Cengkok (Cibanten), namun nilai salinitas pada titik ini menunjukkan kesamaan dengan stasiun lainnya yang berada di wilayah pesisir. Hal ini dipengaruhi karena di Sungai Cengkok terdapat tanggul bendungan pada jarak 2 km dari garis pantai. Pada kondisi ini suplai air tawar dari sungai sangat terhambat dan hanya mengalir ke arah lokasi Pelabuhan Karangantu. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh musim kemarau dengan ditandai menurunnya debit aliran sungai tersebut. Sebagai informasi bahwa sungai Cibanten pada jarak 2 km dari garis pantai dibagi menjadi dua aliran yaitu Muara Cengkok (stasiun III) dan muara Pelabuhan Karangantu. Gambar 11. Sebaran salinitas perairan Teluk Banten Setiap biota perairan memiliki batasan tertentu terhadap parameter lingkungannya sebagai syarat untuk kelangsungan hidupnya. Misalnya udang, udang termasuk hewan yang mampu hidup pada perairan yang bersalinitas cukup lebar (eurihalin). Tiap jenis udang memiliki pilihan kadar garam yang berbeda. Pada salinitas yang sangat rendah maupun pada kadar garam 40 PSU bila perubahannya terjadi perlahan-lahan, jenis Penaeus monodon dan Metapenaeus spp. masih dapat hidup (Munro 1968 in Mumin 2004). Untuk mengatasi kondisi salinitas lingkungan yang melebihi kadar toleransi, gastropoda beradaptasi dengan cara menyesuaikan cairan tubuhnya dengan konsentrasi garam di luar tubuhnya. 4.1.3. Kekeruhan Kekeruhan suatu perairan dapat memberikan gambaran mengenai kecerahan di perairan tersebut. Perairan dengan kekeruhan yang tinggi dan kecerahan yang rendah menyebabkan penetrasi cahaya akan terganggu hingga berdampak 32 33 terbatasnya produktivitas perairan (Nybakken 1988). Tingkat kekeruhan pada saat pasang di perairan Teluk Banten berkisar antara 22,50-76,00 NTU, sedangkan pada saat surut berkisar antara 22,50-57,00 NTU (Gambar 12). Nilai kekeruhan pada setiap stasiun telah melampaui baku mutu kekeruhan untuk biota laut. Baku mutu yang disarankan menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, adalah tidak melebihi kadar 5 NTU. Gambar 12. Kekeruhan perairan Teluk Banten Tingginya kekeruhan ini dapat dipengaruhi oleh tekstur substrat perairan yang terangkat dan tersuspensi dalam perairan oleh besarnya gelombang ataupun arus. Contohnya, pada saat pasang diperoleh nilai kekeruhan yang lebih tinggi daripada saat surut. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel air saat pasang dilakukan pada titik yang berdekatan dengan garis pantai. Titik ini ditandai dengan kedalaman yang rendah sehingga sangat memungkinkan terjadinya pencampuran massa air, baik pengaruh gelombang maupun arus pasang surut. Sebaliknya, pada stasiun III tercatat nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada stasiun lain, hal ini dipengaruhi oleh posisi stasiun tersebut, mengingat bahwa stasiun III berada di muara sungai dan secara visual perairan ini tampak jernih dan memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter. 4.1.5. Derajat keasaman ( pH) Pengukuran pH in situ pada saat pasang berkisar antara 7,16-7,46, sedangkan pada saat surut berkisar antara 7,46-7,66 (Gambar 13). Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa sebaran nilai pH relatif merata pada setiap stasiun pengamatan.Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP 33 34 No.51/MNLH/I/2004, kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu untuk kelangsungan hidup biota laut, dengan baku mutu yang disarankan berkisar antara 78,50. Menurut Purnomo (1979) in Mumin (2004), pH air normal yang mendukung kehidupan udang adalah 7-8,90. Air dengan pH yang rendah atau tinggi di luar batas normal, mempunyai pengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan udang Penaeid. Gambar 13. Derajat keasaman (pH) perairan Teluk Banten Derajat keasaman (pH) akan mempengaruhi daya tahan organisme dan reaksi enzimatik. Kondisi ini pun menunjukkan bahwa kawasan ekosistem mangrove ini masih mendukung kehidupan ga st ropoda, meng ingat bahwa kisaran pH 5-9 masih dapat mendukung kehidupan biota perairan. Derajat keasaman atau pH yang optimum bagi Moluska bentik berkisar antara 6,5-7,5 (Russle-Hunter 1968 in Razak 2002). Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang pHnya lebih besar dari 7 ( Siagian 2001 in Suwondo et al. 2006). 4.1.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Pengukuran DO pada saat pasang berkisar antara 3,48-5,67 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 6,78-7,13 mg/l (Gambar 14). Kadar DO normal berkisar 5,7-8,5 mg/l. Adanya perbedaan nilai antarstasiun, baik saat pasang dan surut dapat dipengaruhi oleh proses respirasi tumbuhan dan hewan serta dekomposisi anaerob. Batas kadar DO yang mematikan berbeda-beda tergantung pada jenis, 34 35 kesehatan, dan stadia biota serta faktor-faktor lingkungan lainnya (Poernomo 1979 in Mumin 2004). Gambar 14. Kadar DO perairan Teluk Banten Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan pada saat surut di setiap stasiun pengamatan kadar DO diperoleh lebih tinggi. Hal ini diduga adanya pengaruh dari proses fotosintesis fitoplankton yang memproduksi oksigen sehingga kadar DO di perairan meningkat. Pada stasiun IV, V, dan VI saat pasang diperoleh nilai DO berturut-turut 3,48, 4,25, dan 4,45 mg/l, kadar ini lebih rendah dari 5 mg/l sebagai baku mutu air laut untuk biota laut sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004. Rendahnya kadar oksigen terlarut (DO) di ketiga stasiun tersebut diduga dipengaruhi oleh pergerakan air (arus) yang relatif kecil daripada stasiun lain. Ketersediaan oksigen terlarut di perairan sebagian besar dihasilkan melalui proses fotosintesis fitoplankton, sisanya dipengaruhi oleh proses difusi dari udara ke dalam air. Disamping itu, proses pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, respirasi biota perairan dan limbah yang masuk ke badan air juga dapat menentukan ketersediaan oksigen terlarut (DO) di perairan (Nybakken 1988). Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di kawasan ini masih mendukung kehidupan gastropoda, karena batas minimal kadar oksigen terlarut bagi organisme di pantai adalah 4 mg/l, selebihnya tergantung ketahanan organisme, keaktifan, kehadiran pencemaran dan suhu air (Osenberg et al. 1992 in Mukhtasor 2007). 35 36 4.1.7. Biochemichal Oxygen Demand (BOD) Kadar BOD hasil pengukuran pada saat pasang berkisar antara 9,01 mg/l 27,83 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 9.31 mg/l-19.55 mg/l (Gambar 15). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu BOD untuk biota laut tidak melebihi kadar 20 mg/l, sedangkan berdasarkan data yang diperoleh terdapat beberapa stasiun yang telah melampaui baku mutu BOD yaitu stasiun I, II, V, dan VI pada saat pasang, sedangkan pada saat surut setiap stasiun menunjukkan kadar BOD yang memenuhi baku mutu. Hal ini diduga bahwa adanya arus dan gelombang dapat mengangkat partikel-partikel di dasar yang kaya dengan bahan organik sehingga tercampur membentuk partikelpartikel tersuspensi di perairan, mengingat bahwa ekosistem mangrove merupakan penyulai bahan organik utama di perairan sekitarnya disamping adanya pengaruh masukan bahan organik dari limbah rumah tangga yang dibawa aliran sungai. Gambar 15. Kadar BOD perairan Teluk Banten 4.1.8. Ammonia Salah satu senyawa yang dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan air adalah ammonia, namun senyawa ini bersifat toksik bagi hewan perairan. Di lokasi penelitian kadar ammonia pada saat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,38 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 0,19 mg/l – 0,37 mg/l (Gambar 16). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004 baku mutu ammonia untuk biota laut tidak melebihi kadar 0,3 mg/l. 36 37 Ammonia merupakan salah satu senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan kolom air. Ammonia juga bersumber dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota perairan yang mati) oleh mikroba dan jamur dikenal dengan istilah ammonifikasi. Reduksi nitrat (denitrifikasi) oleh aktifitas mikroba pada kondisi anaerob juga menghasilkan gas ammonia. Pada perairan anoksik (tanpa oksigen), biasanya di dasar perairan, kadar ammonia relatif tinggi (Boyd 2001). Gambar 16. Kadar ammonia perairan Teluk Banten Senyawa-senyawa nitrogen organik yang larut dalam air maupun berupa partikel tersuspensi yang berasal dari organisme mati dan hasil eksresi hewan bahari cepat dirombak menjadi ammonia (Koesoebiono 1980). Rendahnya kadar ammonia di stasiun I, diduga telah terjadi perombakan nitrogen organik dari tahap ammonia ketahap berikutnya (seperti nitrit atau nitrat), hal ini di dukung dengan ketersediaan oksigen yang memenuhi dalam yang mempercepat proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu. Sebaliknya di stasiun IV, V, dan VI memiliki kadar ammonia tinggi, hal ini diduga proses perombakan bahan organik masih dalam tahap awal sebelum terjadi proses nitrifikasi ke tahap berikutnya seperti yang diungkapkan Koesoebiono (1980). 4.1.9. Nitrat Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan dan nutrien utama bagi pertumbuhan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitogen di perairan. Kadar 37 38 nitrat di lokasi penelitian pada saaat pasang berkisar antara 0,17 mg/l – 0,44 mg/l, sedangkan pada saat surut 0,12 mg/l – 0,29 mg/l (Gambar 17). Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu nitrat untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,008 mg/l. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar nitrat di setiap stasiun pengamatan telah melampaui baku mutu yang disarankan. Kadar nitrat di perairan akan dimanfaatkan produser primer (fitoplankton) sebagai unsur hara bagi petumbuhan dan perkembangan selnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas primer perairan. Tingginya kadar nitrat di stasiun I, ditandai dengan melimpahnya bahan organik yang diduga mengandung bahan-bahan nitrogen organik seperti organisme dan tumbuhan yang mati, eksresi organisme ataupun bawaan dari aliran sungai yang mengandung limbah organik seperti pupuk pertanian, tinja, dan berbagai macam sampah organik, mengingat bahwa stasiun ini berada disekitar muara pelabuhan. Gambar 17. Kadar nitrat perairan Teluk Banten Dalam pembentukan nitrat ini terjadi proses nitrifikasi oleh bakteri tertentu dengan mengoksidasi senyawa nitrogen anorgaik yang terbentuk. Untuk kasus ini, diduga proses nitrifikasi sudah mencapai tahap akhir yaitu terbentuknya nitrat, yang pada mulanya adalah ammonia. Hal ini terlihat dari tingginya nitrat disertai dengan menurunnya kadar ammonia. 4.1.10. Fosfat Kadar fosfat pada saat pasang berkisar antara 0,02 mg/l – 0,07 mg/l, sedangkan pada saat surut berkisar antara 0,03 mg/l – 0,08 mg/l (Gambar 18). Keputusan 38 39 Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/ 2004, baku mutu fosfat untuk biota laut adalah tidak melebihi kadar 0,015 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran, mengindikasikan bahwa kandungan fosfat di kawasan ini telah melebihi baku mutu yang disarankan. Keberadaan fitoplankton dapat mempengaruhi kadar fosfat di perairan. Hal ini dipengaruhi karena fosfat merupakan salah satu bentuk nutrien yang diperlukan produser primer (fitoplankton atau makrofita) untuk pertumbuhan dan perkembangan selnya (Boyd 2001). Gambar 18. Kandungan fosfat perairan Teluk Banten Di stasiun I, kadar fosfat pada saat surut diperoleh lebih tinggi, hal ini diduga pada saat surut terjadi pencampuran air dari sungai Pelabuhan yang membawa sumber-sumber fosfat. Sebaliknya di stasiun V dan VI pada saat pasang, kadar fosfat lebih tinggi, hal ini diduga pada saat pasang naik air dari laut cenderung masuk menempati daerah intertidal, salah satunya mengalir melalui parit-parit tambak dan terjadi pencampuran dengan air yang bersumber dari tambak yang masih aktif yang diduga menggunakan pupuk fosfat. 4.1.11. Arus Kecepatan arus pada saat pasang berkisar antara 1,82 cm/s – 7,30 cm/s, sedangkan pada saat surut berkisar antara 1,76 cm/s – 5,46 cm/s (Gambar 19). Pergerakan arus pasang surut yang masuk dan keluar dari perairan teluk, berdampak terhadap bentuk morfologi dasar dari perairan ini. Di lokasi dasar perairan yang dipengaruhi arus pasang surut yang cepat biasanya akan mengendapkan sedimen 39 40 pasir dan sedimentasi umumnya rendah. Sebaliknya, pada lokasi dengan arus pasang surut yang rendah, dapat mengendapkan sedimen lumpur sehingga sedimentasi lebih tinggi. Gambar 19. Arus perairan Teluk Banten Di perairan Teluk Banten, pasang surut tertinggi dijumpai pada musim timur (0,55 m). Menurut WYRTKI (1961) in Sutomo dan Riyono (1990), kecepatan arus pada puncak musim timur bulan Agustus di sepanjang pantai utara jawa berkisar antara 6-12 cm/dtk. Perairan Teluk Banten merupakan perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga kondisi oseanografi di perairan ini akan dipengaruhi oleh dinamika laut-atmosfer di Laut Jawa, seperti munculnya arus musim yang secara dominan mempengaruhi variasi musiman suhu dan salinitas perairan, serta timbulnya gelombang berpengaruh terhadap proses fisik di tepi pantai, misalnya proses abrasi pantai dan angkutan sedimen di pantai. 40 41 4.2. Kondisi Ekosistem Mangrove 4.2.1 Komposisi dan kerapatan jenis mangrove Vegetasi mangrove yang ditemukan terdiri dari 3 (tiga) famili yaitu Avicenniaceae, Rhizophoraceae dan Acanthaceae (Tabel 4). Famili Avicenniaceae yang ditemukan adalah jenis Avicennia marina, sedangkan Famili Rhizophoraceae diantaranya jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Kedua Famili ini merupakan jenis mangrove berupa pohon dan termasuk ke dalam kelompok mangrove sejati/utama (mayor). Jenis lain yang ditemukan adalah Acanthus ilicifolius yang memiliki nama lokal jeruju hitam/daruyu/darulu. Jenis ini termasuk Famili Acanthaceae yang berupa mangrove herba rendah dan terjurai di permukaan tanah (Noor et al. 2006). Tabel 4. Sebaran jenis mangrove yang ditemukan di lokasi pengamatan No. Famili Jenis 1. Avicenniaceae Avicennia marina 2. Rhizophora mucronata Rhizophoraceae 3. Rhizophora apiculata 4. Acanthaceae Acanthus ilicifolius Keterangan : (+) = ditemukan; (-) = tidak ditemukan I + + - II + + - Stasiun III IV + + - V + + - VI + + + Secara keseluruhan komunitas mangrove di kawasan ini didominasi oleh jenis Avicennia marina, hal ini terlihat bahwa dari keenam stasiun yang diamati, 5 stasiun diantaranya telah ditemukan jenis ini. Jenis lain seperti Rhizophora mucronata dapat ditemukan di 4 (empat) lokasi. Sebaliknya, Rhizophora apiculata dan Acanthus ilicifolius hanya dapat ditemukan masing-masing di satu lokasi. Tumbuhnya Acanthus ilicifolius merupakan suatu indikasi bahwa suatu ekosistem telah mengalami kerusakan (Bengen 2004). Keberadaan Rhizhopora spp. di kawasan ini merupakan tidak seluruhnya tumbuh secara alami melainkan ada beberapa lokasi yang sengaja ditanam baik oleh warga setempat maupun institusi terkait dengan tujuan merehabilitasi mangrove, mengingat bahwa kawasan ini telah mengalami degradasi ekosistem, ditandai dengan semakin menyempitnya ruang hidup mangrove seiring meluasnya areal pertambakan. 42 Kerapatan jenis mangrove dikelompokan ke dalam 3 kategori yaitu pohon, anakan dan semai. Untuk kategori pohon, jenis yang ditemukan adalah Avicennia marina dan Rhizophora mucronata (Gambar 20a). Jenis Avicennia marina memiliki kerapatan tertinggi merata hampir di semua stasiun. Kerapatan tertinggi jenis ini ditemukan di stasiun I mencapai 9 ind/100 m2 dan kerapatan terendah di stasiun VI, 1 ind/100 m2. Berbeda halnya dengan Rhizophora mucronata, di stasiun VI jenis ini memiliki kerapatan tertinggi mencapai 2 ind/100 m2 dan terendah 1 ind/100 m2 yang ditemukan di stasiun I. (a) (b) (c) Gambar 20. Kerapatan jenis mangrove berdasarkan kategori, (a) pohon;(b) anakan;(c) semai. Sebelum kawasan ini terdegradasi, diduga tumbuh berbagai macam vegetasi mangrove alami yang didominasi oleh Avicennia marina sekaligus sebagai vegetasi pionir dalam komunitas mangrove. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya beberapa vegetasi di sekitar pematang pertambakan dengan ukuran secara visual tergolong tumbuhan dewasa dan tua. Pada saat ini hanya tersisa sejumlah vegetasi yang masih bertahan seiring besarnya tekanan ekologi terhadap ruang hidup mangrove tersebut, seperti yang ditemukan di beberapa stasiun seperti di stasiun I, mangrove di sini 42 43 khususnya Avicennia marina memiliki diameter pohon rata-rata 11 cm, hal ini sebagai indikasi bahwa komunitas mangrove di lokasi ini termasuk vegetasi yang sudah tua. Berbeda halnya dengan Rhizophora spp. di lokasi yang sama, jenis ini berdiameter rata-rata sekitar 5 cm. Berdasarkan informasi yang diperoleh, di lokasi ini pernah dilakukan rehabilitasi mangrove dari jenis Rhizophora spp., namun pertumbuhan selalu terganggu dengan banyaknya hama kepiting sehingga diduga jenis Rhizophora spp. yang tumbuh dewasa hanya sebagian kecil. Komunitas mangrove berdasarkan kategori anakan terdiri dari 3 (tiga) jenis diantaranya Avicennia marina, Rhizophora muronata dan Rhizophora apiculata. Ketiga jenis ini memiliki kerapatan anakan yang berbeda-beda bahkan di beberapa lokasi tidak ditemukan (Gambar 20b). Jenis Avicennia marina memiliki kerapatan tertinggi pada stasiun IV mencapai 9 ind/25 m2. Untuk Rhizophora mucronata kerapatan tertinggi ditemukan pada stasiun VI sebanyak 4 ind/25 m2, sedangkan Rizophora apiculata hanya ditemukan di stasiun V sebanyak 1 ind/ 25 m2. Komunitas mangrove berdasarkan kategori semai terdiri dari dua jenis, yaitu Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Kerapatan tertinggi dimiliki oleh Rhizophora mucronata di stasiun III sebanyak 3 ind/m2, sedangkan kerapatan Avicennia marina lebih rendah berkisar antara 1-2 ind/m2 yang menyebar di stasiun II, V, dan VI (Gambar 20c). Berdasarkan kriteria baku yang telah ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.201/MNLH/I/2004 maka vegetasi mangrove di lokasi penelitian termasuk kategori buruk/jarang, karena memiliki kerapatan <10 ind/100 m2. Vegetasi mangrove yang telah teridentifikasi ini diduga mampu tumbuh pada jarak 100-200 meter dari garis pantai. Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ini salah satunya adalah ketersediaan lahan yang semakin berkurang akibat pembukaan lahan mangrove untuk keperluan pertambakan. Komposisi mangrove berdasarkan kategori pohon, anakan dan semai (Gambar 21) dapat diinterpretasikan bahwa komposisi pohon terbesar ditemukan pada stasiun I mencapai 100%, sedangkan yang terkecil terdapat pada stasiun IV sebanyak 10% dan tidak ditemukan di stasiun III. Komposisi anakan terbesar pada stasiun IV mencapai 90% dan terkecil pada stasiun V sebesar 12%. Komposisi semai terbesar pada stasiun III mencapai 100% dan terkecil pada stasiun VI sebesar 10%. 43 44 Menurut Samingan (1975) mengungkapkan bahwa jika suatu komunitas mangrove yang mempunyai anakan dan semai lebih dari 50% dikategorikan dalam kondisi muda begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa komunitas mangrove di stasiun I, II dan V tergolong dalam kondisi tua, diindikasikan dengan komposisi pohonnya lebih dari 50% ,sementara stasiun III, IV dan VI memiliki jumlah komposisi anakan dan semai lebih dari 50% sehingga komunitas ini tergolong kondisi muda. Adanya anakan dan semai yang melimpah memungkinkan komunitas ini bersuksesi sendiri. Umur merupakan salah satu yang mempengaruhi produktivitas serasah. Mangrove dengan tegakan yang lebih tua akan menghasilkan serasah yang lebih banyak. Sediadi dan Pramudji (1987), mengungkapkan bahwa pada tegakan Rhizophora spp., jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum diperoleh pada umur 10 tahun. Di kawasan ini jenis Rhizophora spp. yang ditemukan merupakan jenis yang tumbuh di zona belakang mangrove seperti yang ditemukan di stasiun VI. Jenis ini ditemukan melimpah diantara batas areal mangrove dan pertambakan. Menurut Soemodihardjo (1979), terdapat korelasi antara jenis tegakan dengan tinggi pasang dan lamanya genangan. Semakin ke arah daratan arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur juga bahan organik semakin tinggi sehingga Rhizophora spp. dan ikutannya tumbuh dengan baik. Berbeda halnya dengan stasiun I dan V, Rhizophora spp. yang ditemukan tumbuh tidak beraturan dan menempati areal mangrove yang kosong, hal ini mengindikasikan bahwa telah dilakukan penanaman mangrove sebagai upaya untuk rehabilitasi. Ekosistem mangrove di kawasan ini mengalami ketidaknormalan pertumbuhan. Hal ini dapat diindikasikan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang kurang, adanya dominasi strata tegakan di beberapa lokasi seperti; melimpahnya pohon, anakan, dan semai, atau pengurangan sejumlah zona hingga tersisa satu. Ketidaksempurnaan zonasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ketidaksempurnaan penggenangan ataupun pasang surut, adanya penebangan liar untuk keperluan kayu bakar dan bangunan, meluasnya alih fungsi lahan mangrove menjadi pertambakan dan tingginya pencemaran berupa sampah-sampah plastik yang ditemukan menutupi akar-akar mangrove. 44 Gambar 21. Peta sebaran komposisi mangrove 45 45 46 4.2.2 Indeks nilai penting (INP) INP adalah nilai yang memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis vegetasi mangrove dalam komunitas mangrove. Berdasarkan Gambar 22. Avicennia marina memiliki INP antara 80-300. INP tertinggi di stasiun II, IV dan V mencapai 300 sedangkan terendah pada stasiun VI sebesar 80. Jenis ini memiliki nilai INP yang begitu besar hingga mencapai 300 karena di lokasi tersebut jenis mangrove yang tumbuh adalah Avicennia marina sehingga hal ini dapat mengindikasikan bahwa jenis Avicennia marina berperan penting dalam ekosistem. Akan tetapi, jika jenis ini mengalami degradasi baik secara perlahan maupun langsung, dikhawatirkan kondisi keseimbangan ekosistem dapat terganggu dan fungsi-fungsinnya tidak dapat berlangsung optimal. Untuk jenis lain, yaitu Rhizophora mucronata memiliki peranan yang besar pada stasiun VI, dengan INP mencapai 220 sedangkan di stasiun I jenis ini berperan lebih kecil terhadap komunitas mangrove, ditandai dengan INP sebesar 43. Gambar 22. Indeks nilai penting (INP) jenis kategori pohon Nilai frekuensi kemunculan dan persentase penutupan jenis didominasi oleh Avicennia marina (Lampiran 1). Hal ini terkait dengan pernyataan Arief (2003) yang mengungkapkan bahwa Avicennia marina merupakan jenis yang mampu hidup pada kondisi substrat yang bertektur liat, liat berlumpur, dan lempung liat berlumpur disamping itu memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan salinitas perairan yang ekstrim dan termasuk jenis vegetasi pionir dalam ekositem mangrove. 46 47 4.3. Karakteristik Substrat Karaketristik substrat yang diamati meliputi derajat keasaman (pH), kadar Corganik dan fraksi substrat (Tabel 5). Nilai pH pada setiap stasiun besarnya cukup stabil yaitu 7,5 kecuali pada stasiun I sebesar 6,4. Berdasarkan nilai pH tersebut maka nilai keasaaman substrat berkisar dari agak asam hingga agak basa. Notohadiprawiro (1979) in Samson (1999), mengungkapkan bahwa nilai pH pada kawasan mangrove akan mudah berkembang menjadi tanah asam. Hal ini disebabkan karena di bawah vegetasi mangrove terdapat bahan-bahan organik yang berasal dari akar, batang, maupun dedaunan mangrove. Oleh karena itu, rendahnya nilai pH di stasiun I diduga dipengaruhi tingginya suplai bahan organik berupa serasah mangrove, mengingat bahwa lokasi ini memiliki kerapatan jenis dan komposisi pohon yang tinggi daripada stasiun lainnya. Adapun keberadaan pelabuhan atau pemukiman yang relatif padat di sekitar lokasi diduga ikut berperan sebagai pemicu lain rendahnya nilai pH substrat di lokasi ini. Hal serupa diungkapkan oleh Hakim (1986) in Samson (1999), bahwa perombakan bahan-bahan organik oleh kegiatan mikroorganisme akan mengasilkan senyawa asam organik yang berpotensi menurunkan nilai pH. Tabel 5. Karakteristik fisika-kimia substrat Stasiun I II II IV V VI pH 6,4 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5 C-Organik (%) 9,25 5,42 3,68 3,51 4,75 3,51 Pasir 1,22 3,88 2,88 2,28 4,29 1,08 Tekstur (%) Debu 20,39 27,20 28,7 34,69 35,90 18,84 Liat 78,39 68,92 68,42 63,03 59,81 80,08 Tipe substrat Liat Liat Liat Liat Liat Liat Hasil analisis kadar C-organik berkisar antara 3,51-9,25%. Kadar organik tertinggi ditemukan pada stasiun I sedangkan terendah pada stasiun VI. Tingginya kadar C-organik pada stasiun I diduga terkait dengan tingginya kerapatan mangrove dibanding stasiun lainnya dan didukung oleh tekstur substrat berupa liat. Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki komposisi fraksi debu, liat dan pasir yang tidak berbeda jauh. Fraksi pasir tertinggi 47 48 adalah di stasiun V sebesar 4,29% dan terendah di stasiun VI sebesar 1,08 %. Di stasiun V memiliki fraksi debu tertinggi mencapai 35,90 % dan terendah di stasiun VI sebesar 18,84 %. Untuk Fraksi liat komposisi tertinggi ditemukan pada stasiun VI mencapai 80,08 % dan terendah pada stasiun V sebesar 59,81 %. Oleh karena itu, secara umum kawasan ini memiliki tekstur substrat bertipe liat. Hal ini diperoleh dengan mencocokkan komposisi fraksi-fraksi substrat tersebut pada Segitiga Millar (Brower et al. 1979) sehingga ditemukan titik perpotongan sebagai indikasi tipe substrat yang dimaksud. Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir terdapat pori-pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air yang ada di atasnya, namun nutrien yang terkandung cenderung lebih rendah. Pada substrat yang lebih halus memiliki kandungan nutrien yang lebih besar, namun kandungan oksigen cenderung lebih rendah. Teksur substrtat liat seperti yang ditemukan di lokasi, memiliki kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara (nutrien) yang lebih tinggi, namun kandungan oksigennya tidak begitu banyak, mengingat bahwa substrat berteksur liat ini mempunyai luas permukaan yang lebih besar daripada tipe substrat lainnya (Hardjowigeno 1987). Ukuran butiran tanah menentukan lamanya peresapan air, tanah yang berbutir kasar yang mengandung banyak pasir bila ada, air akan cepat meresap, sehingga tempat ini merupakan daerah yang kering dan kurang disukai gastropoda. Dharma (1988) in Suwondo (2006), menyatakan bahwa daerah yang kering kurang disukai siput. 4.4 Keaneragaman Gastropoda 4.4.1. Komposisi dan kepadatan gastropoda Kondisi fisik yang sangat bervariasi dalam ekosistem mangrove menyebabkan faunanya hidup pada habiat berlainan. Lingkungan ekosistem mangrove menyediakan habitat yang baik kolonisasi berbagai fauna yaitu adanya naungan, substrat dasar yang lembab, pohon sebagai tempat menempel dan kelimpahan detritus organik sebagai makanan (Plaziat 1974 in Samson 1999). Gastropoda yang hidup di kawasan ini umumnya hidup di permukaan substrat dan menempel pada vegetasi mangrove. Jenis yang ditemukan terdiri dari 48 2 49 (famili) yaitu Potamididae dan Littorinidae. Dari Famili Potamididae ditemukan 4 jenis yaitu Trebralia sulcata, Cerithidiea cingulata, Telescopium telescopium dan Trebralia bifrons. Famili ini ditemukan lebih banyak, hal ini sesuai dengan pernyataan Darnaedi ( 1982) yang menyatakan bahwa Famili Potamididae mempunyai frekuensi kehadiran yang cukup tinggi terkait dengan habitatnya berupa lumpur, berair dan terbuka. Budiman (1991) in Ti’in (2008) menambahkan bahwa jenis-jenis Cerithidea cingulata dan Terebralia sulcata adalah kelompok moluska asli ekositem mangrove, artinya bahwa jenis ini menghabiskan hidupnya di dalam kawasan mangrove dan jarang ditemukan di luar kawasan mangrove. Kepadatan rata-rata gastropoda yang tergolong tinggi ditemukan pada stasiun I, II, dan V (Lampiran 4). Ketiga lokasi ini memiliki kepadatan gastropoda lebih dari 10 ind/m2., dengan kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun I mencapai 13 ind/m2. Beberapa stasiun lainnya memiliki kepadatan rendah rata-rata dibawah 10 ind/m2 dengan kepadatan terendah ditemukan di stasiun III. Hal ini diduga karena keadaan lingkungan yang tidak mendukung untuk kehidupan gastropoda sehingga dapat memicu dominansi dari jenis tertentu. Gambar 23. Grafik komposisi jenis gastropoda pada seluruh stasiun pengamatan (Sumber : Diolah dari Lampiran 4 Jenis Terebralia sulcata memiliki komposisi tertinggi sebesar 51% dari seluruh jenis gastropoda yang ditemukan (Gambar 19). Komposisi yang lain, dari urutan komposisi tertinggi hingga terendah adalah Cerithidea cingulata 21%, 49 50 Terebralia bifrons dan Telescopium telescopium masing-masing 10% dan terendah adalah Littorina saxatilis dengan komposisi 8 %. Jenis-jenis moluska dari famili Potamididae mempunyai frekuensi kehadiran yang cukup tinggi yang menyukai permukaan berlumpur yang kaya bahan orgaik berupa detritus. Jenis-jenis moluska asli mangrove yaitu Terebralia sulcata, Telescopium telescopium dan Cerithidea cingulata, dan Terebra bifrons ditemukan dalam jumlah banyak dan hampir ditemukan pada setiap lokasi. Subkelas prosobranchia memiliki jumlah insang sepasang sehingga sistem peredaran darah pada jenis-jenis tersebut lebih baik daripada jenis-jenis lainnya, disamping memiliki kemampunan memodifikasi ruang mantelnya menjadi semacam paru-paru untuk pertukaran udara sehingga mereka dapat bertahan dari kekeringan akibat tingginya perbedaan pasang surut. Kelebihan organ ini digunakan untuk mempertahankan hidup terhadap tekanan oksigen yang lebih rendah pada lingkungan yang anaerob. Keong dari marga Terebralia dari famili Potamididae ini lebih menyukai hidup pada dasar substrat mangrove berupa lumpur yang memadat (liat berlumpur) dan biota ini memiliki sebaran menegak. 4.4.2. Indeks Keanekaragaman, keseragaman dan dominansi gastropoda Keanekaragaman mencakup dua hal pokok yaitu banyaknya spesies yang ada pada suatu komunitas dan kelimpahan dari tiap spesies tersebut. Keaneragaman terkecil ditemukan di stasiun III (Tabel 6) , hal ini dapat diduga adanya dominansi dari Telescopium telescopium diduga di stasiun III jenis ini menyukai lokasi yang tergenang air dan dapat meliang mengingat bahwa stasiun III berlokasi di tepi muara Cengkok yang terdapat empang-empang parit dibuat warga. Berdasarkan Kriteria Indeks keanekaragaman Shanonn -Wienner , maka ada beberapa stasiun yang tergolong ke dalam keanekaragaman sedang diantranya stasiun I, II, V, dan VI. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan komunitas biota sedang. 50 51 Tabel 6. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi Stasiun Indeks I II III IV H' (Keanekaragaman) 1,22 1,11 0 0,68 E (Keseragaman) 0,75 0,68 0 0,42 D (Dominansi) 0,09 0,37 1 0,52 V 1,22 0,75 0,34 VI 1,36 0,84 0,25 Nilai Indeks keseragaman berkisar antara 0-0,84. Dibeberapa stasiun seperti I, II, V, dan VI memiliki nilai keseragaman tinggi d indikasikan dengan nilai indeks keseragaman yang mendekati 1, artinya keseragaman antarspesies relatif merata. Untuk stasiun yang lain seperti di stasiun III memiliki indeks keseragaman 0, hal ini mengindikasikan keseragaman spesies di dalam komunitas adalah rendah yang mencerminkan kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Kondisi ini ditunjukan dengan hanya ditemukannya Telescopium telescopium. Indeks Dominansi tertinggi terdapat pada stasiun III mencapai 1, hal ini menggambarkan bahwa ada spesies yang mendominasi spesies lainnya yaitu Telescopium telescopium . Dengan kata lain, dapat mengindikasikan bahwa struktur komunitas dalam keadaan labil dan telah terjadi tekanan ekologis sehingga tidak banyak spesies yang mampu bertahan hidup terhadap kondisi lingkungan tersebut . Secara umum, hampir disetiap stasiun pada lokasi pengamatan tidak terjadi dominansi. Hal ini menunjukan tidak adanya spesies yang ditemukan dalam jumlah banyak sehingga komunitas gastropoda ini dapat dikatakan cukup baik. 4.5. Produksi dan komposisi jenis udang Udang akan datang ke daerah mangrove disaat periode pasang surut dan menetap untuk membesarkan larvanya (juvenile), selanjutnya bermigrasi ke laut. Perairan mangrove merupakan daerah yang cocok sebagai tempat membesarkan diri (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground). Berdasarkan data hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap Sero di ditemukan 3 jenis udang (Tabel 7), yaitu Penaeus merguensis (jerebung), Metapenaeus ensis (udang api-api), dan Mysis sp (udang rebon). Pada kisaran waktu 2 (dua) bulan produksi hasil tangkapan tertinggi untuk semua jenis udang yang ditemukan adalah udang rebon (Mysis sp.) dengan rara-rata produksi diatas 500 kg. 51 52 Jenis yang lain, seperti Penaeus merguensis diperoleh hasil tangkapan 200-300 kg sedangkan produksi Metapenaeus ensis tidak mencapai 100 kg. Tabel 7. Produksi dan komposisi jenis udang No. Produksi (kg) Juni Agustus 322,6 232,4 75,2 46,8 886,8 548,5 1284,6 827,7 3 3 Nama Spesies 1. Penaeus merguensis 2. Metapenaesus ensis 3. Mysis sp Total Produksi (kg) Jumlah Jenis (Sumber : Nelayan Sero Desa Banten 2009) Produksi total udang pada bulan Juni mencapai 1284,6 kg sedangkan pada bulan Agustus mencapai 827,7 kg. Berdasarkan data tersebut terlihat adanya penurunan produksi hampir 50 %. Hal ini dapat dipengaruhi salah satunya dengan musim penangkapan atau migrasi udang tersebut. Faktor lain diduga karena frekuensi penangkapan para nelayan sero mulai menurun di sekitar perairan Teluk Banten. Jenis udang yang memiliki produksi hasil tangkapan tertinggi adalah Penaeus merguensis (udang putih/jerebung). Udang merupakan salah satu komoditas subsektor perikanan. Di Indonesia terdapat lebih dari 83 jenis udang yang termasuk famili Penaeidae yang menyebar hampir di sepanjang pantai Diantara jenis yang ada baru sebagian kecil saja yang dimanfaatkan sebagai hasil perikanan laut di Indonesia, yaitu jenis-jenis yang ekonomis penting dan populasinya cukup besar. Dalam statistik perikanan Indonesia, udang penaeid yang penting dibagi menjadi kategori udang windu, udang jerebung dan udang dogol. Udang rebon yang ditangkap diduga adalah salah satu jenis udang yang berukuran kecil, artinya bukan udang pada stadia mysis. Hal ini, sesuai dengan pernyataan Crosnier (1984) in Yusmansyah et. al. (2005) bahwa secara ekosistem penyebaran udang dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah muara sungai atau estuaria dan daerah lepas pantai pada perairan estuaria yang merupakan daerah pemijahan (spawning ground) udang berada pada stadia post larva dan juvenil yang umumnya 52 53 berukuran kecil sedangkan di lepas pantai udang berada pada stadia dewasa dan umumnya berukuran besar.. Rebon atau jambret berasal dari organisme semacam udang yang dimanfaatkan oleh nelayan di daerah pertambakan sepanjang pantai utara Jawa (Schuster 1952) in Yusmansyah et al. (2005). Rebon termasuk ordo Mysidaceae terdiri dari genus Acetes dan Lucifer; jenis yang cukup penting dan tersebar di daerah tropis adalah A. erythraeus. A. intermedius, A. sibogae, dan A. vulgaris ( Dahuri 1986). Di pantai utara Jawa yang merupakan salah satu daerah penghasil rebon, musim penangkapannya secara umum bersamaan dengan musim barat yaitu antara bulan September-Mei dan puncak musim berlangsung pada bulan Desember-Januari (Sumiono 1988) in Yusmansyah et al. (2005). Habitat rebon biasanya terbatas pada perairan pantai yang landai, muara sungai dan daerah estuaria. Kelompok rebon juga banyak dijumpai di daerah pertambakan atau sungai-sungai di sekitar pintu pertambakan. Daerah penyebaran antara lain pantai utara Jawa, Madura, selat Madura, Rembang, Tuban, Cirebon. Pantai timur sumatera, perairan sibolga dan selatan Jawa khususnya pantai Pangandaran-Cilacap. Ditinjau dari habitatnya udang rebon dari genera Acetes dan Lucifer (famili Sergestidae) menyenangi perairan laut dangkal pada kedalaman dari 20 meter, daerah perairan yang terpisah dari laut terbuka (open sea) oleh adanya semenanjung atau pulau, kisaran pasang surut cukup tinggi dan dasar perairan berupa lumpur atau lumpur berpasir. Beberapa karakteristik alat tangkap Sero antara lain adalah alat ini terbuat dari jaring nelayan, bambu, dan kayu. Sero biasanya dipasang di laut pada kedalaman antara 2 sampai 3 meter. Sero dipasang dengan system tancap. Setia pagi pemilik sero melakukan panen ikan. Dari sekian banyak udang laut yang terdapat di Indonesia, ada 11 jenis yang dapat dikategorikan mempunyai nilai ekonomi penting. Umumnya terdiri dari dua marga yakni penaeus dan metapenaeus yang terdapat tidak hanya di laut, tetapi sampai ke tambak-tambak. Karena sistem kerjanya ditancap yang membentang antara 30 sampai 50 meter dalam bentuk anak panah atau busur. Pada ujung busur disediakan ruang untuk 53 54 menampung ikan. Ukurannya kurang diameter 150 cm. Pada pintu masuk ruang ini dibentuk sedemikian rupa sehingga ikan hanya bisa masuk tapi tidak bisa keluar. System kerjanya persis seperti bubu. Sementara fungi kaki busur yang terbuat dari deretan jaring membentang tegak lurus dari kaki hingga ujung busur. Panjangnya bisa antara 30 sampai 50 meter. Fungsinya untuk menggiring ikan menuju ruangan yang telah disediakan. Pemasangan sero biasanya melihat struktur laut yang dangkal tapi mendekati kondisi laut yang dalam. Ini salah satu strategi pemilik sero untuk mendapatkan hasil yang banyak. Biasanya ikan pada saat air laut surut pasti akan mencari tempat yang lebih aman. Sementara pada saat air laut pasang, biasanya ikan akan memenuhi laut yang dangkal. Kesempatan inilah yang diharapkan oleh pemilik sero agar ikan bisa terjaring kedalam sero pada saat air laut mulai surut. Ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam daur hidup udang karena perairan mangrove merupakan tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan, dan tempat berlindung. Oleh sebab itu, daerah kegiatan penangkapan udang di laut, mempunyai banyak persamaan dengan daerah sebaran ekosistem mangrove. Penangkapan udang di laut dibeberapa lokasi telah berjalan dengan sangat intensif hingga mencapai atau melebihi produksi lestari. 4.6. Interaksi Mangrove dengan Komponen Ekosistem Hubungan mangrove dan karakteristik substrat terdapat beberapa perbedaan dari setiap lapisan mangrove. Setiap lapisan mangrove dengan ketebalan tinggi, sedang dan rendah terdapat jumlah C-organik yang variatif pada substrat. Substrat pada lokasi yang memiliki ketebalan mangrove tinggi (stasiun I & II) cenderung mengandung lebih besar C-organik dengan kisaran 5,42-9,25%. Berbeda halnya dengan lapisan lain rata-rata kandungan C-organik di bawah 4,75 % seperti lokasi dengan ketebalan mangrove sedang (stasiun V dan VI), kandungan C-organik berkisar antara 3,51-4,75 % dan ketebalan mangrove rendah (stasiun III & IV) berkisar antara 3,51-3,68%. Hal ini menunjukan adanya korelasi positif antara tingginya kerapatan, jenis mangrove, komposisi tegakan dan jarak sebaran mangrove dari garis pantai. Ekosistem mangrove mengandung banyak sumber bahan organik yang berasal dari bagian tubuh vegetasinya seperti daun, ranting atau akar yang berjatuhan 54 55 kepermukaan substrat berupa serasah. Serasah ini mengalami dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan/produser primer sebagai nutrien untuk pertumbuhan dan perkembangan selnya (Arief 2003). Serasah-serasah ini banyak mengandung karbon. Oleh karena itu, semakin tingginya kerapatan akan disertai dengan tingginya serasah yang dipemukaan. Semakin banyak strata pohon mangrove di suatu lokasi akan disertai melimpahnya dedaunan yang tumbuh sehingga dapat meningkatkan sumber serasah dipermukaan. Begitupun dengan jenis mangrove. Terdapat perbedaan kandungan unsur hara yag dimiliki masing-masing jenis salah satunya kandungan karbon. Misalnya, jenis Rhizophora spp. tiap daunnya memiliki sumber karbon 50,83 %, sedangkan Avicennia spp. setiap daunnya mengandung 47,93 % karbon (Laboraorium Fahutan IPM 1997 in Arief 2003). Disamping hubungan mangrove dengan lingkungan (substrat), mangrove pun berkaitan dengan biota bentik yang berasosiasi seperti gastropoda. Misalnya, daun mangrove, ketika berguguran kepermukaan substrat tidak langsung mengalami pelapukan atau pembusukan oleh mikroorganisme, namun memerlukan bantuan biota lain seperti makrozoobentos. Gastropoda adalah salah satu kelompok makrozoobentos memiliki peranan yang sangat besar dalam penyedian hara bagi pertumbuhan dan perkembangan vegetasi mangrove maupun bagi biota itu sendiri. Gastropoda berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah daun-daun menjadi bagian kecil (detritus), kemudian proses ini akan dilanjutkan oleh mirkoorganisme. Umumnya keberadaan gastropoda akan mempercepat proses dekomposisi. Setiap stratifikasi lokasi terdapat perbedaan kepadatan gastropoda. Kepadatan total untuk stratifikasi mangrove tebal ( stasiun I & II) lebih tinggi daripada lokasi lain mencapai 25 ind/m2. Di lokasi ini ditemukan hidup semua jenis gastropoda dari seluruh jumlah jenis yang ditemukan dikawasan ini. Dengan lebih didominasi oleh Terebralia sulcata. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kerapatan mangrove yang cukup untuk kehidupan gastropoda terkait dengan fungsi mangrove sebagai habitat, mencari makan dan berkembang biak, mengingat bahwa kondisi mangrove di lapisan ini lebih baik daripada lokasi lainnya. Dilihat dari indeks keanekaragaman di lokasi mangrove tebal tergolong sedang (1,11 55 H’ 1,22), indeks keseragaman yang 56 cenderung tinggi (0,68 E 0,75) dan indeks dominansi yang rendah (0,09 D 0,37). Untuk stratifikasi ketebalan mangrove rendah (stasiun III & IV) kepadatan total gastropoda mencapai 7 ind/m2 sedangkan yang hidup hanya dua jenis yaitu Telescopium telescopium dan Terebralia sulcata. Di lapisan ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan berkurangnya biota-biota yang hidup bergantung pada ekosistem mangrove. Jenis Telescopium telescopium mampu bertahan hidup tanpa ada vegetasi mangrove dan biasanya melimpah di tanah bekas areal tambak. Untuk stratifikasi ketebalan mangrove sedang ( stasiun V &VI) kepadatan gastropoda mencapai 18 ind/m2. Rata-rata semua jenis gastropoda ditemukan di lokasi ini dengan jenis yang terbanyak adalah Terebralia sulcata. Jenis ini lebih menyukai adanya vegetasi mangrove dan termasuk jenis penghuni asli ekosistem mangrove. Keadaan kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan makrozoobentos, karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupan makrozoobentos. Tegakan dan tajuk pohon mampu berperan sebagai penghalang langsung dari sinar matahari atau sebagai naungan bagi makrozoobentos (Arief 2003). 4.7. Upaya Pengelolaan Mangrove secara Berkelanjutan Ekosistem mangrove adalah salah satu ekosistem yang berkembang di wilayah pesisir. Keberlangsungan ekosistem ini tidak hanya didukung oleh aspek ekologi semata dengan proses ekologi yang begitu kompleks, namun eksistensinya pun melibatkan aspek lain yang memiliki peranan lebih besar diantaranya aspek sosialbudaya, ekonomi dan kelembagaan. Kawasan mangrove pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam Pulau Dua) merupakan kawasan pesisir milik pemerintah khususnya kawasan yang ditumbuhi mangrove mulai ketebalan 100 m hingga dibawah 20 meter dari garis pantai yang tersusun mulai dari area Pelabuhan Karangantu hingga mendekati area yang terdekat dengan Kawasan Cagar Alam). Sebagai batasan kawasan ini secara visual dapat ditunjukkan dengan adanya tanggul tambak sebagai batasan antara ekosistem 56 57 mangrove (milik pemerintah) dan areal pertambakan (milik pengusaha) (Gambar 24). Gambar 24. Ilustrasi batasan kawasan mangrove pesisir Pulau Dua (di luar Cagar Alam) Upaya pengelolaan suatu kawasan ekosistem tidak terlepas dari hubungannya dengan sektor lain. Hal ini hendaknya diperhatikan lebih mendalam agar tujuan pengelolaan yang diharapkan tidak tercapai secara parsial. Banyak contoh pengelolaan yang hanya fokus pada satu sektor tertentu dan tidak mempertimbangkan beberapa sektor yang ada dalam pembangunan suatu kawasan. Padahal diperlukan keterpaduan antarsektor untuk upaya pengelolaan kawasan pesisir secara berkelanjutan. Beberapa langkah utama dalam upaya pengelolaan diantaranya adalah mengidentifikasi masalah dan menetapkan tujuan pengelolan. Dalam identifikasi masalah idealnya diperlukan kajian mengenai inventarisasi masalah baik dari segi ekologi sumberdaya, sosial-ekonomi, maupun pemerintahan. Pada pembahasan ini hanya dibatasi dari segi ekologi sumberdaya yang meliputi karaketristik lingkungan dan sumberdaya. Langkah berikutnya adalah menetapkan tujuan. Kajian mangrove dikawasan ini terkait dengan identifikasi masalah yang diangkat di awal sehingga tujuan utama 57 58 yang harus dicapai adalah memperbaiki kondisi ekosistem mangrove dengan harapan fungsi ekologis khususnya dalam hal meningkatkan produksi sumberdaya perikanan dapat segera pulih sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh para penguna termasuk warga setempat. Berdasarkan hasil kajian ekologi terdapat beberapa parameter ekologi mangrove yang menujukan adanya degradasi ekosistem. Kajian utama dari ekologi mangrove adalah mangrove itu sendiri dan hubungannya dengan komunitas lain sebagai pengguna ekosistem tersebut. Tidak terlepas dari hal ini, sejumlah pengaruh parameter lingkungan pun ikut berperan dalam menentukan status ekologi mangrove di kawasan ini baik karakteristik lingkungan perairan maupun substrat/tanah. Secara umum kawasan ini memiliki ketebalan mangrove yang tidak merata (bervariasai) mulai dari ketebalan mangrove yang tertinggi mencapai 100 m hingga dibawah 20 meter dari garis pantai. Selain itu, ditemukan sejumlah kategori tegakan mangrove yang bervariasi mulai dari pohon, anakan, dan semai. Oleh karena itu, upaya pengelolaan mangrove yang lebih tepatt untuk kawasan ini adalah dengan sistem rehabilitasi dibeberapa titik (Gambar 25). Desain pengelolaan tersebut merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan. Desain ini, menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan dibagi menjadi zona-zona tertentu dengan harapan adanya keefektifan upaya. Sistem zonasi ini terdiri atas zona inti dan zona penyangga. Zona inti difokuskan untuk perlindungan dan pemulihan kawasan green belt sejauh 100 m dari garis pantai. Upaya perlindungan tanpa rehabilitasi difokuskan pada vegetasi mangrove dewasa ditunjukkan dengan warna hijau tua sedangkan upaya rehabilitasi sekaligus perlindungan ditunjukan dengan area berwarna hijau muda. Untuk upaya rehabilitasi di zona inti difokuskan pada lahan mangrove yang sangat kritis, kerapatan mangrove yang sangat rendah, dan memiliki komposisi tegakan muda (anakan dan semai) yang lebih banyak. 58 59 Gambar 25. Desain pengelolaan mangrove pesisir Pulau Dua Untuk zona penyangga difokuskan pada lahan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak, namun di zona ini ada modifikasi rehabilitasi mangrove yaitu dengan mengkombinasikan antara tambak dan penanaman mangrove atau biasa dikenal dengan sistem silvofishery. Upaya ini dimaksudkan sebagai langkah alternatif antara pemerintah dan para pengusaha tambak supaya tujuan pemulihan mangrove dapat tercapai juga disertai dengan kegiatan perikanaan budidaya yang tetap berlangsung. Pelaku di zona inti dilakukan oleh pemerintah setempat ataupun melalui kerjasama dengan institusi/LSM terkait dibidang rehabilitasi mangrove sedangkan di zona penyangga dapat dilakukan kerjasama antara pemerintah dan para pengusaha tambak setempat sehingga pihak-pihak ini akan saling menguntungkan. 59