6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta 2.1.1 Definisi Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama menyerang saraf perifer dan kulit, namun dapat juga mengenai organ lain, kecuali susunan saraf pusat.20-22 2.1.2 Epidemiologi Pasien kusta dapat dijumpai di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis. Penyakit kusta diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia oleh adanya perpindahan penduduk yang disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan antar pulau-pulau.23,24 Pasien kusta di Indonesia hampir terdapat pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Pada pertengahan tahun 2000 secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan pasien kusta baru. Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus kusta baru dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus kusta baru dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.5 WHO menunjukkan prevalensi kasus kusta baru tahun 2013 sebesar 215.656 kasus dari 103 negara, sedangkan di Indonesia sebesar 16.856 orang, 14.062 orang (83,4%) adalah pasien kusta MB.25 6 Universitas Sumatera Utara 7 Pada tahun 2015, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa dari tahun 2011 hingga 2013 pasien kusta yang tinggi pada 14 propinsi (42,4%), sedangkan pasien kusta terendah terdapat pada 19 propinsi (57,6%) di Indonesia. Hampir seluruh propinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan pasien kusta tertinggi.6 Adapun ke-14 propinsi tersebut ialah Aceh, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Propinsi Sumatera Utara dengan 170 kasus kusta baru, angka prevalensi 1,3 per 100.000 penduduk.4,6 2.1.3 Etiologi Mycobacterium leprae merupakan kuman penyebab penyakit kusta yang pertama kali ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini merupakan gram positif, obligat intraseluler, mikroaerofilik, bersifat tahan asam, berbentuk batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 µm dan diameter 0,2 sampai 0,5 µm.1,2 Pada jaringan yang terinfeksi batang-batang bakteri ini sering menumpuk atau berkumpul di dalam globus. Kuman ini hidup di dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.2,3 Di bawah mikroskop elektron memperlihatkan basil dengan bentuk yang bervariasi.26 Kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama untuk membelah diri dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Masa tunasnya menjadi lama yaitu 2-5 tahun, tetapi mungkin juga selama 10 tahun. M. leprae terutama bermultiplikasi di dalam histiosit dan sel schwann, namun bisa juga bermultiplikasi di dalam sel lain termasuk sel otot dan endotelium pembuluh Universitas Sumatera Utara 8 darah, dan pada binatang armadillo M. leprae bermultiplikasi di dalam hepatosit. Suhu optimum untuk pertumbuhan M. leprae adalah 30-330C.2,26,27 2.1.4 Penularan Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kontak kulit yang tidak utuh dan melalui mukosa nasal.3 Penularan penyakit kusta terjadi apabila kuman M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Penularan ini dapat terjadi melalui kontak yang lama dan erat dengan pasien. Seorang pasien yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak akan menjadi sumber penularan kepada orang lain. Penularan dan perkembangan penyakit kusta tergantung pada jumlah dan keganasan M. leprae serta daya tahan tubuh pasien. Terdapat 5-15% pasien kusta yang menularkan M. leprae, namun 95% manusia kebal terhadap kusta dan hanya 5% yang dapat ditulari. Dari sebagian kecil ini, 70% pasien dapat sembuh dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.2,28,29 2.1.5 Imunologi Kusta M. leprae memasuki tubuh melalui mukosa hidung atau lesi kulit yang terbuka, dan kemudian menyebar ke kulit dan saraf melalui sirkulasi. Respon imunologi yang terjadi pada pasien menentukan gambaran klinis yang berkembang.27,30,31 Pasien kusta menunjukkan spektrum tipe klinis kusta, dimana kusta tuberkuloid adalah akibat dari tingginya sistem imunitas seluler dengan sebagian besar tipe respon imun T-helper 1 (Th1), sedangkan kusta lepromatosa ditandai dengan rendahnya imunitas seluler dibandingkan dengan respon humoral Th2.30 Universitas Sumatera Utara 9 Pertahanan terhadap patogen/agen eksternal mula-mula dipicu oleh reaksi imunitas bawaan, yang kemudian diikuti dengan reaksi imunitas yang didapat. Keduanya berfungsi melalui sel, dan juga faktor-faktor yang dapat larut. Semakin disadari bahwa reaksi imunitas bawaan dan didapat dapat terjadi secara tumpangtindih.32 2.1.6 Gambaran klinis Gejala klinis kusta merefleksikan patologi yang berubah tergantung pada keseimbangan antara multiplikasi basil dan respon kekebalan selular pada pejamu. Lesi kulit dapat berupa lesi tunggal atau beberapa lesi. Beberapa pasien mempunyai riwayat satu lesi yang timbul untuk beberapa tahun sebelum munculnya lesi–lesi yang lain atau lesi awal menghilang secara spontan beberapa bulan atau tahun sebelum lesi berikutnya timbul. Pada yang lainnya, penyakit menyebar secara cepat dari lesi primer. Sebagian pasien tidak memperhatikan lesinya sampai menjadi inflamasi pada waktu reaksi.33 Pada kusta tuberkuloid, penyakit terlokalisir di satu atau beberapa tempat pada kulit dan saraf periferal besar. Lesi kulit soliter dan mempunyai batas yang tegas. Saraf sebagian besar menebal karena infiltrasi selular yang hebat, tetapi tidak teratur atau fusiform, dan pola keterlibatan tidak simetris. Kerusakan saraf bisa cepat, terdapat anestesi pada distribusi saraf dan jika saraf yang terlibat mempunyai serabut saraf motorik, maka akan terjadi kelemahan dan disfungsi otot.3,33 Pada kusta lepromatosa, ditandai oleh bertambahnya lesi yang tersebar di seluruh tubuh dengan pola simetris bilateral yang menonjol. Lesi awal adalah makula kecil dengan batas yang tidak jelas yang bisa begitu luas sehingga Universitas Sumatera Utara 10 bergabung (plak). Lesi tidak bersifat anastesi karena saraf tidak dirusak oleh infiltrasi seluler. Lesi dapat terinfiltrasi dan terbentuklah nodul.3 2.1.7 Diagnosis dan klasifikasi kusta Diagnosis kusta dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis dan didukung oleh pemeriksaan apusan kulit. Kadang diperlukan pemeriksaanpemeriksaan yang lain.34 Dalam penegakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda kardinal (utama), yaitu:3,4 a. Adanya bercak kulit yang mati rasa Kelainan kulit berupa bercak hipopigmentasi atau eritematosa, baik mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri. b. Ditemukan penebalan saraf tepi Penebalan saraf dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai gangguan fungsi saraf yang terkena, berupa gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralisis), gangguan fungsi otonom (kulit kering, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu). c. Ditemukan kuman tahan asam (BTA) Ini dilakukan kerokan pada jaringan kulit, dimana bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif, atau bahan dapat diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Dalam penegakan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal diatas. Bila kuman belum ditemukan atau tidak tersedia sarana pemeriksaan apusan kulit, maka kita hanya dapat mengatakan Universitas Sumatera Utara 11 tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.3,4 Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis, hasil pemeriksaan bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley – Jopling dan klasifikasi menurut WHO.3,4 a. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953), yang terdiri dari dua kutub, satu kutub terdapat kusta tipe tuberkuloid (T) dan kutub lain tipe lepromatosa (L). Diantara kedua tipe ini terdapat tipe tengah yaitu tipe borderline (B). Di samping itu ada tipe yang menjembatani disebut tipe indeterminate borderline (I).3,4,35 b. Klasifikasi Ridley–Jopling, terdiri dari 5 kelas tipe kusta yaitu: tuberkuloid (TT), borderline tuberkuloid (BT), mid-borderline (BB), borderline lepromatosa (BL) dan lepromatosa (LL).35 c. Klasifikasi menurut WHO Pada tahun 1982, sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh pasien kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe PB dan tipe MB. Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dari hasil pemeriksaan BTA melalui kerokan kulit. Pada pertengahan tahun 1997 WHO Expert Committee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal, PB lesi 2 – 5 dan MB. Sekarang untuk pengobatan PB lesi tunggal disamakan dengan PB lesi 2 – 5.3,4,35 Universitas Sumatera Utara 12 Tabel 2.1 Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO (dikutip dari kepustakaan no. 4) Tanda utama Bercak kusta PB MB Jumlah 1 sampai Jumlah > 5 dengan 5 Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu dengan gangguan fungsi (gangguan saraf fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan) Sediaan apusan BTA negatif BTA positif 2.1.8 Pengobatan kusta Indonesia sejak tahun 1982 sudah mulai menggunakan obat kombinasi kusta yaitu MDT dengan tujuan mencegah resistensi khususnya DDS (Diamino difenil sulfon), mengobati resistensi yang telah ada, memperpendek masa pengobatan serta memutuskan mata rantai penularan menjadi lebih cepat.35,36 MDT merupakan kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dibandingkan obat anti kusta lain yang bersifat bakteriostatik.4 Rejimen pengobatan berdasarkan rekomendasi studi grup WHO di Geneva (1981), pengobatan kombinasi diberikan untuk semua pasien penyakit kusta, baik PB maupun MB.4,36,37 a. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal. Universitas Sumatera Utara 13 b. Rejimen dengan lesi kulit 2–5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1–2 mg/kg berat badan) swakelola, selama 6 bulan. c. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun. Tabel 2.2 Obat dan dosis rejimen MDT – PB (dikutip dari kepustakaan no. 4) Jenis obat < 5 tahun Rifampisin 5-9 10-14 > 15 tahun tahun tahun 300 450 600 mg/bulan mg/bulan mg/bulan Berdasarkan Dapson BB 25 50 100 mg/bulan mg/bulan mg/bulan Keterangan Minum di depan petugas Minum di depan petugas 25 50 100 Minum di mg/hari mg/hari mg/hari rumah Tabel 2.3 Obat dan dosis rejimen MDT – MB (dikutip dari kepustakaan no. 4) Dapson Dewasa Anak–anak (5–14 tahun) 100 mg/hari 50 mg/hari Rifampisin 600 Klofazimin mg/bulan, 50 mg/hari dan 300 diawasi mg/bulan, diawasi 450 mg/bulan, 50 mg selang sehari dan diawasi 150 mg/bulan, diawasi Universitas Sumatera Utara 14 2.2 Dapson Dapson memiliki struktur sulfon yang sederhana, dengan karakteristik sebuah atom sulfur yang berikatan dengan dua atom karbon. Walaupun dapson diklasifikasikan sebagai golongan sulfonamid, reaksi silang terhadap golongan ini hanya dijumpai pada 7%-22% pasien yang alergi dengan sulfa. Selain bertindak sebagai antibiotik, dapson juga berperan sebagai antiinflamasi.8 Dapson merupakan komponen yang larut di dalam lemak, dan akan berpenetrasi dengan baik ke dalam sel dan jaringan termasuk kulit, hati, ginjal dan eritrosit.8,9,38 Dapson yang dikonsumsi secara oral akan diabsorbsi segera pada saluran gastrointestinal dengan bioavailabilitas lebih dari 86%. Absorbsi obat berkurang pada penyakit kusta yang berat. Pada individu normal, setelah mengkonsumsi 100 mg dapson, konsentrasi dapson dalam serum adalah 1,10-2,33 mg/l dalam 0,5 sampai 4 jam. Waktu paruh obat ini berkisar antara 12-30 jam. 24 jam setelah mengkonsumsi 100 mg dapson secara oral konsentrasi plasma berkisar antara 0,4-1,2 mg/l. Kadar terapeutik konsentrasi serum dapson adalah 0,5-5 mg/l untuk kusta. Konsentrasi obat bersifat stabil setelah 8-10 hari setelah terapi.11,38 Dapson lebih efektif dari golongan sulfonamid yang lain, kemungkinan berhubungan dengan absorbsi yang lebih baik pada usus dan penetrasi yang lebih baik ke dalam sel.8,38 Dapson dapat berpenetrasi melewati plasenta dan air susu ibu namun tidak ditemukan efek dapson yang membahayakan pada uterus.8,10 Secara oral, dapson diabsorpsi melalui saluran gastrointestinal. Kemudian dapson ditransportasikan melalui sirkulasi portal menuju ke hati. Setelah itu, dapson di metabolisme melalui dua jalur utama yaitu N-asetilasi dan N- Universitas Sumatera Utara 15 hidroksilasi. Asetilasi merupakan asetilator cepat dalam metabolisme dapson.8,10 Deasetilasi timbul secara spontan dan memiliki keseimbangan stabil antara monoasetil dapson dan diasetil dapson yang dapat tercapai dalam beberapa jam setelah pemberian oral. Hal ini tampak bahwa tingkat asetilasi tidak berhubungan dengan waktu paruh obat dalam tubuh dan tidak mempengaruhi efikasi obat.9 Jalur kedua dalam metabolisme dapson adalah N-hidroksilasi. N-hidroksilasi dapson terdapat pada hati, dimediasi oleh berbagai enzim sitokrom P-450 termasuk CYP2E1, CYP2C9, dan CYP3A4.8,10,38 Metabolisme dapson pada sitokrom P-450 methemoglobinemia, menimbulkan hemolisis berbagai dan efek agranulositosis, samping termasuk namun bagaimana mekanisme pasti hidroksilamin dapat menimbulkan efek samping ini belum sepenuhnya dimengerti.8,10,11 Sekitar 85% dapson diekskresikan melalui urin dan 10% diekskresikan melalui kandung empedu. Setelah pemberian dapson dosis tunggal sekitar 50% obat ini akan diekskresikan dalam 24 jam pertama. Ekskresi dapson melalui urin dapat diturunkan dengan pemberian probenesid dan meningkat jika diberikan bersamaan dengan rifampisin.8,38 Salah satu efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa secara invitro dapson tidak secara langsung bersifat toksik terhadap eritrosit dan kadar dapson tidak berhubungan dengan efek samping hematologi. Ditemukan bahwa efek hematotoksik dapson bergantung pada metabolit N-hidroksilasi dapson (DDS-NHOH) yaitu hidroksilamin.39,40 Metabolit hidroksilamin merupakan oksidan kuat. Saat sel darah merah tidak dapat mensintesis protein yang baru, kemampuan sel darah merah untuk menahan Universitas Sumatera Utara 16 stres oksidatif menurun seiring waktu. Kerusakan oksidatif menyebabkan perubahan struktural pada membran sel darah merah. Sel ini kemudian di kenal sebagai “senescent” oleh tubuh dan menghilang melalui sirkulasi dari limpa (hemolisis ekstravaskular).10 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa intergritas lipid peroksidasi maupun fosfatidilserin ditemukan berperan. Lipid peroksidase diduga mempengaruhi lipid dan fosfolipid sel darah merah pada pasien yang mendapat terapi dapson.39 Sebagai tambahan sel darah merah pada pasien yang mendapat terapi dapson menunjukkan adanya perubahan membran sulfhidril yang meningkatkan aktifitas heksose monofosfat dan meningkatkan hidrogen peroksida dalam menginduksi lisis sel. Hal-hal yang terjadi diatas menyebabkan penurunan kadar hemoglobin yang disebabkan dapson.39,41 Mekanisme kerja dapson sebagai antibiotik hampir sama dengan sulfonamid yaitu dengan menghambat sintesis asam dihidrofolat melalui kompetisi dengan asam para-aminobenzoik. Oleh karena itu dapson dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang bergantung dari sintesis asam folat endogen.8 Selain itu efek dapson sebagai anti inflamasi bergantung dari migrasi kemotaktik neutrofil dan β2 integrin. Dapson dapat menghalangi aktivasi atau fungsi protein G yang berperan dalam transduksi sinyal kaskade dan rangsangan kemotaktik.8,11 Senyawa oksidan sangat penting tidak hanya untuk membunuh bakteri, namun berperan dalam kerusakan jaringan pada beberapa proses penyakit. Hypochlorous acid merupakan oksidan penting yang dihasilkan oleh enzim mieloperoksidase (MPO) yang mengandung heme pada neutrofil dan eosinofil peroksidase.8,10,11 Universitas Sumatera Utara 17 Studi in vitro menunjukkan bahwa dapson menghambat MPO neutrofil yang memediasi iodinisasi dan sitotoksisitas pada konsentrasi yang sebanding dengan dosis terapeutik kadar serum. Dapson diketahui berikatan dengan MPO dan merubahnya dalam bentuk inaktif, dengan cara modifikasi enzim ini. Dapson memiliki efek proteksi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh eosinofil dan neutrofil dengan cara menghambat efek toksik dan radikal bebas.8,10,11 Dapson juga dapat menghambat leukotrin B4 (LTB4), menghambat produksi 5lipooksigenase dan sel mast, enzim lisosom, serta mengurangi pelepasan prostaglandin yang semuanya memiliki peran dalam proses inflamasi.8 2.3 Anemia pada kusta 2.3.1 Definisi dan klasifikasi anemia Fungsi primer dari sel darah merah adalah untuk membawa oksigen ke jaringan.42 Anemia merupakan suatu kondisi dimana konsentrasi hemoglobin di sirkulasi darah lebih rendah dari normal, sehingga menurunkan kapasitas oksigen dan mengakibatkan gangguan penyebaran oksigen ke jaringan sehingga terjadi hipoksia jaringan.42,43 Menurut WHO, definisi anemia berdasarkan umur, jenis kelamin dan status kehamilan adalah sebagai berikut:43,44 Tabel 2.4 Definisi anemia menurut WHO (dikutip dari kepustakaan no. 44) Keterangan Anak 6 bulan – 5 tahun Anak 5 – 11 tahun Laki-laki dewasa Perempuan Wanita hamil Anemia ringan (g/dl) 10-10,9 11-11,4 11-12,9 11-11,9 10-10,9 Anemia sedang (g/dl) 7-9 8-10,9 8-10,9 8-10,9 7-9,9 Anemia berat (g/dl) <7 <8 <8 <8 <7 Universitas Sumatera Utara 18 Klasifikasi anemia menurut morfologinya yaitu makro atau mikro yang menunjukkan ukuran sel darah merah dan kromik untuk menunjukkan warnanya.45 Berdasarkan ukuran sel darah merah dan keluasan distribusi, menjadi anemia normositer (MCV 80–100 fL), anemia mikrositer (MCV < 80 µm3 [80 fL]), dan anemia makrositer (MCV > 100 µm3 [100 fL]).4 a. Anemia normositer Pada anemia normositer, kelainan disebabkan karena sel eritrosit yang merupakan “kendaraan” hemoglobin, kurang atau tidak cukup jumlahnya. Penyebabnya bisa pada proses pembuatan sel eritrosit terganggu, kehilangan sel darah merah dalam jumlah besar atau pemecahan sel yang tinggi. Karena kadar hemoglobin pada dasarnya cukup untuk setiap sel eritrosit maka volumenya masih normal (MCV 80–100 fL) dan MCHC juga normal (33-35 g%).14 Pemecahan sel eritrosit yang tinggi terjadi pada anemia hemolitik, atau pada hereditary spherocytosis atau ovalocytosis. Pada pasien hemolitik tubuh membentuk antibodi abnormal yang bisa berikatan dengan sel eritrosit, akibat dari ikatan ini sel eritrosit akan mudah lisis. Selain itu juga ditemukan peningkatan sel retikulosit, yakni sel eritrosit muda yang masih mengandung sisa-sisa ribosom. Peningkatan retikulosit ini mencerminkan adanya peningkatan aktifitas erythroid hematopoietic pada sumsum tulang untuk mengkompensasi kehilangan sel darah merah pada proses hemolitik maupun kehilangan sel akibat pendarahan.14 Penyebab anemia jenis ini adalah hemolisis, kehilangan darah akut, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan ginjal, kelainan sumsum tulang dan penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.45 Universitas Sumatera Utara 19 b. Anemia mikrositer Anemia mikrositer terjadi karena gangguan sintesis atau defek hemoglobin sehingga menyebabkan kadar hemoglobin yang terikat pada eritrosit menjadi rendah. Karena kadar hemoglobin rendah menyebabkan ukuran eritrosit lebih kecil (MCV kurang dari < 80 fL) dan terjadi penurunan MCHC, dan ini merupakan bentuk kompensasi sel agar dapat lebih mudah berikatan dengan oksigen disertai kadar hemoglobin terbatas.14 Anemia mikrositer terjadi karena anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesis globin, seperti pada thalassemia.14,45 c. Anemia makrositer Anemia makrositer (MCV > 100 µm3 [100 fL]) jarang terjadi dibandingkan anemia normositer dan mikrositer. Anemia ini disebabkan karena proses pematangan inti sel eritroblas yang terganggu akibat kekurangan vitamin B12 dan folat yang merupakan zat yang dibutuhkan pada sintesis DNA. Produk yang dihasilkan akibat gangguan ini berupa eritrosit makrositik (MCV > 100 fL) yang mudah pecah. Yang termasuk dalam kategori ini adalah anemia pernisiosa, yang disebabkan karena malabsorbsi vitamin B-12.14 2.3.2 Anemia hemolitik pada kusta Hemolisis merupakan destruksi prematur dari sel darah merah. Siklus sel darah merah normal bertahan selama 120 hari, kemudian sel darah merah akan hancur dan terbentuk sel darah merah yang baru. Banyaknya sel darah merah dipertahankan dan diatur oleh ginjal dan sumsum tulang, yang lama kelamaan akan hilang karena penuaan. Anemia hemolitik terjadi jika produksi sel darah merah tidak seimbang dengan kerusakan sel darah merah yang disebabkan karena Universitas Sumatera Utara 20 siklus sel darah merah menjadi pendek dan sumsum tulang tidak dapat mengkompensasi hal ini. Ini terjadi bila umur sel darah merah berkurang dari 120 hari.12 b a Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis hapusan darah (a) normal (b) anemia hemolitik (dikutip dari kepustakaan no.7) Gejala yang dapat dijumpai pada anemia hemolitik berupa rasa lelah, lemah, sesak nafas, jaundice, pembesaran limfa, dan/atau gangguan pada abdomen. Gambaran klinis anemia hemolitik termasuk kulit berwarna pucat, jaundice, dan splenomegali ringan.14 Evaluasi untuk anemia hemolitik selama pengobatan dapson jangka panjang diperlukan, yaitu dimulai dari perminggu hingga perbulan selama 3 bulan pertama pengobatan, atau bisa juga setiap 3-4 bulan selama pengobatan untuk melihat hemolisis, dan juga efek samping lainnya.10 Untuk memastikan bahwa dapson menyebabkan anemia hemolitik dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap (kadar Hb, eritrosit, hematokrit, MCV, MCH, MCHC, trombosit dan leukosit) dan hitung retikulosit. Namun, yang berperan dalam anemia hemolitik secara langsung menunjukkan adanya penurunan kadar Hb dan dijumpainya peningkatan retikulosit. Data hasil laboratorium yang lain hanya menjadi data pendukung dalam penelitian ini.45,46 Universitas Sumatera Utara 21 Untuk menilai gangguan pembentukan sel darah merah, paling efektif dilakukan hitung retikulosit.47 Retikulosit merupakan sel darah merah yang baru saja dilepaskan oleh sumsum tulang. Kadar normal berkisar antara 0,5-1%. Jika terjadi anemia hemolitik maka produksi sel darah merah meningkat sekitar dua hingga tiga kali lipat dari normal.48 Pengobatan yang diberikan jika terjadi efek samping adalah menghentikan obat sementara yaitu dapson dan melihat pasien kembali dalam waktu singkat. Apabila efek samping tidak dapat teratasi maka dapson harus dihentikan.14 Antimikroba lain yang dapat diberikan sebagai pengganti MDT adalah klaritromisin 500 mg/hari, ofloksasin 400 mg/hari dan minosiklin 100 mg/hari digunakan sebagai terapi pengganti dapson atau klofazimin.1 Ada beberapa penelitian yang menunjukkan hal yang tersebut diatas. Penelitian oleh Deps et al menyatakan bahwa anemia hemolitik dijumpai sebesar 51% pada pasien yang mendapat MDT dapson pada 3 bulan pertama terapi ditandai dengan penurunan kadar Hb dan kadar hematokrit.16 Penelitian oleh AlSieni et al menyatakan bahwa terjadi penurunan hitung sel darah merah sebesar 10-20%, penurunan kadar hemoglobin (Hb) sebesar 10-30% baik pada pria ataupun wanita, penurunan kadar MCH dan MCHC setelah 3 bulan mengkonsumsi MDT.15 Penelitian oleh Singh et al menemukan kejadian anemia hemolitik sebesar 12% yaitu sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah mengkonsumsi dapson dalam waktu 90 hari. Pada penelitian ini ditemukan penurunan kadar Hb sebesar 17%, peningkatan hitung retikulosit 36,5%, peningkatan MCV 3%, peningkatan MCH 6% dan penurunan MCHC 1%.17 Universitas Sumatera Utara 22 2.4 Kerangka Teori M. leprae Kusta Lesi 1-5 Lesi > 5 Tipe PB Tipe MB MDT-PB MDT-MB Rifampisin, Dapson Rifampisin, Dapson, Klofazimin Dapson Metabolisme dihati secara N-asetilasi Metabolisme dihati secara N-hidroksilasi Metabolit non toksik monoasetil dapson dan diasetil dapson Metabolit toksik hidroksilamin, bersifat oksidan kuat Bersifat stabil dan tidak mempengaruhi efikasi obat Produksi sel darah merah terganggu Sel darah merah tidak bertahan dalam sirkulasi Umur sel darah merah pendek < 120 hari Terjadi gangguan hematologi yaitu anemia hemolitik Kompensasi tubuh dengan menghasilkan sel darah merah baru Pemeriksaan laboratorium darah lengkap Retikulosit Kadar Hb Hitung retikulosit MCV MCHC MCH Eritrosit Hematokrit Trombosit Leukosit Anemia hemolitik Kadar Hb ↓ Hitung retikulosit ↑ Gambar 2.2 Diagram kerangka teori penelitian Universitas Sumatera Utara 23 2.5 Kerangka Konsep MDT Anemia hemolitik: - Kadar Hemoglobin - MCV, MCHC - Hitung retikulosit Gambar 2.3 Diagram kerangka konsep penelitian Universitas Sumatera Utara