TINJAUAN PUSTAKA Potensi Daun Singkong

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Daun Singkong Sebagai Pakan Ternak
Singkong memiliki nama latin yang diterima secara internasional, yaitu
Manihot esculenta dengan sinonim yang biasa dikenal sebagai Manihot utilissima
(ITIS, 2012). Singkong merupakan tanaman pertanian yang sangat produktif. Pada
tahun 2009, produksi singkong mencapai 22 juta ton (Departemen Pertanian, 2010).
Singkong terdiri atas 45% bagian umbi, 35% bagian batang, dan 20% bagian daun.
Singkong dimanfaatkan sebagai pangan sumber karbohidrat oleh manusia dan
industri yang menghasilkan pati. Singkong dikenal sebagai tanaman yang merusak
kesuburan tanah karena kemampuannya untuk memanfaatkan unsur hara tanah
secara besar-besaran. Namun, ketika singkong tumbuh di lingkungan pertanian yang
terintegrasi dengan peternakan, singkong dapat memanfaatkan sumber nutrien dari
kotoran ternak menjadi unsur hara yang bernilai (Preston, 2002).
Daun singkong merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak. Daun
singkong bisa dimanfaatkan melalui defoliasi sitematis setelah umbi singkong
dipanen (Fasae et al., 2006). Daun singkong memiliki nilai nutrien yang tinggi untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kemudian, biaya produksi daun singkong
tergolong murah, dan daun singkong yang diproduksi tidak termanfaatkan serta tidak
berkompetisi dengan umbinya yang merupakan produk komersial utama dari
tanaman singkong (Wanapat et al., 2000). Namun, hal yang menjadi pembatas
penggunaannya adalah adanya komponen antinutrisi dan substansi toksik bagi ternak
yang berupa HCN. Substansi tersebut mengganggu kecernaan dan konsumsi nutrien,
dan bersifat racun untuk pemberian yang melebihi jumlah yang ditoleransi.
Daun Singkong Sebagai Suplemen Pakan
Daun singkong memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar >20%
(AFRIS, 2007) dan untuk daun singkong muda (Pucuk) mengandung protein sebesar
21-24% (Sokerya dan Preston, 2003), dan sejak tahun 1970 daun singkong telah
dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Eggum, 1970). Daun singkong juga dilaporkan
menjadi sumber mineral Ca,Mg, Fe, Mn, Zn, vitamin A, dan B2 (riboflavin) yang
baik (Ravindran, 1992).
Komponen protein akan menurun berdasarkan umur panen singkong,
semakin tua persentase protein pada daun singkong akan semakin kecil. Hal
sebaliknya terjadi pada persentase komponen serat (Fasae et al., 2009). Komponen
nutrien yang paling baik terjadi pada saat tanaman singkong berumur 4 bulan,
persentase protein mencapai puncaknya, interval defoliasi tiap 2 bulan sekali akan
menambah persentase protein dan meningkatkan rasio protein dan energi (Wanapat,
2008). Namun, terlalu sering didefoliasi akan meningkatkan kadar HCN pada daun
singkong (Fasae et al., 2009)
Antinutrisi Pada Daun Singkong
Asam Sianida (HCN). Kandungan Asam sianida (HCN) dalam daun singkong
merupakan salah satu senyawa pembatas dalam penggunaan daun singkong sebagai
pakan ternak. Interval jumlah kandungan HCN pada daun singkong umumnya
berkisar antara 20 sampai 80 mg per 100 g berat segar daun singkong, atau dari 800
sampai 3.200 mg/kg bahan kering (BK). Komposisi HCN pada daun singkong lebih
tinggi dibandingkan dengan umbi singkong (Ravindran, 1992). Varietas dan tingkat
kematangan adalah faktor utama penyebab variasi dari komposisi sianida (CN) dari
daun singkong (Chhay et al., 2001). Konsumsi HCN tidak bermasalah bagi ternak
ruminansia sampai batas 100 ppm (Tewe, 1994). HCN dapat didetoksifikasi oleh
mikroorganisme di dalam rumen (Preston, 1995). Pada ruminansia kecil, pakan yang
kaya akan sulfur merupakan komponen vital untuk detoksifikasi CN menjadi
tiosianat, yang dikenal juga dengan sulfosianat, tiosianat, dan rhodanit (Onwuka et
al. 1992). Tiosianat, yang merupakan anion SCN- dibentuk di rumen, kemudian
dibawa oleh serum darah dan hilang perlahan melalui urin. Oleh sebab itu, persentase
unsur S di dalam pakan kambing dan domba harus mencapai minimal 0.5% sehingga
detoksifikasi CN dapat berjalan optimal (Onwuka et al. 1992). Selain itu, kadar HCN
pada daun singkong dapat diturunkan melalui proses pengolahan pakan dengan
dilayukan di bawah sinar matahari (Gomez et al., 1984), diolah menjadi hay, dan
silase (Man dan Wiktorsson, 1999).
Tanin. Pada daun singkong terdapat bahan aktif berupa tanin terkondensasi atau
dikenal juga dengan proantisianidin. Tanin memiliki manfaat dan kerugian
bergantung pada konsentrasi dan jenisnya. Faktor lain yang mempengaruhi manfaat
4
dan kerugian tanin pada ternak seperti spesies ternak, kondisi fisiologis ternak dan
komposisi pakan yang diberikan (Makkar, 2003). Senyawa ini larut dalam air dan
mampu mengendapkan protein. Adanya tanin dan protein akan menghasilkan ikatan
kompleks tanin-protein oleh ikatan hidrogen dalam kondisi pH basa. Kambing dapat
mengkonsumsi tanin terhidrolisasi sebanyak 10 g per hari dan tanin terkondensasi
sebanyak100-150 g per g per hari tanpa adanya tanda-tanda keracunan (Silanikove et
al., 1996).
Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh
negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat
berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim (Smith et al., 2005). Tanin juga
dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan
ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al., 1994). Keberadaan tanin
di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein
baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas
tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga
lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein
kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi
oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi
ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi
tingkat degradasi protein dalam rumen. Tanin terkondensasi dalam saluran
pencernaan ruminansia bermanfaat untuk meningkatkan daur ulang N di rumen dan
saliva (Reed, 1995). Adanya daur ulang tersebut meningkatkan sintesis protein
mikrobial di dalam rumen (Makkar, 2000).
Silase
Ensilase merupakan teknik penting dalam pengawetan bahan makanan ternak
menjadi hasil akhir yang dikenal dengan silase yang
menghasilkan kehilangan
nutrien dalam jumlah kecil (Adesogan, 2006). Proses ensilase juga dapat
menurunkan persentase HCN pada hijauan sebanyak 72,7%. Proses pengawetan
bahan makanan ternak melalui ensilase adalah berdasarkan prinsip proses fermentasi
dengan memanfaatkan keberadaan bakteri asam laktat yang mengubah karbohidrat
5
larut air (water soluble carbohydrates) menjadi produk utama asam laktat dalam
kondisi anaerob. Pada kondisi tersebut, asam laktat yang dihasilkan akan
mengakibatkan kondisi asam pada lingkungan anaerob (Adesogan et al., 2007).
Kondisi asam dengan pH <4 dan kondisi anaerob tersebut mengakibatkan silase
dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa terjadinya proses pembusukan
(Masuko, 1994).
Untuk menghasilkan kualitas silase yang baik, dibutuhkan kisaran kadar air
antara 60-80%. Pada penelitian yang dilakukan Ohmomo et al. (2002) menunjukkan
bahwa pada kadar air 60% dihasilkan 7,8% asam laktat dan 0,1% asam butirat,
sedangkan pada kadar air 80% dihasilkan 4,7% asam laktat dan 1,8 % asam butirat.
Guna menghindari kebusukan akibat kadar air bahan tinggi, dilakukan
pelayuan agar kadar air bahan menurun. Namun pelayuan yang terlalu lama akan
menurunkan kualitas nutrien hijauan yang ditandai dengan tingginya respirasi
tanaman dan tumbuhnya bakteri aerob (Ohmomo et al., 2002).
Pada proses ensilase, kepadatan lingkungan silo (wadah pembuatan silase)
mempengaruhi kualitas silase yang dibuat. Silo yang tidak terisi penuh akan
menyebabkan terciptanya lingkungan asam yang lebih lama bahkan ketika silo
ditutup rapat dalam jangka waktu singkat. Akibatnya, nilai nutrien dari material yang
diproses menjadi silase akan menurun karena adanya aktivitas bakteri aerob dan
respirasi hijauan. Oleh karena itu, kondisi silo yang rapat dan padat dibutuhkan untuk
mempercepat terjadinya lingkungan asam pada silo dan meningkatkan proses
fermentasi oleh bakteri asam laktat (Ohmomo et al., 2002).
Bakteri asam laktat homo-fermentatif Lactobacillus plantarum seperti adalah
bakteri utama penghasil kualitas silase yang baik. Selain itu, keberadaan Lactococci
pada produk silase juga memberikan dampak positif pada pembentukan lingkungan
asam di fase awal pembentukan silase. Guna meningkatkan kualitas silase, banyak
penelitian yang mempelajari penambahan bahan aditif biologis, kimiawi, dan jenis
bahan lainnya (Adesogan et al., 2007).
Keberadaan bakteri asam laktat pada silase memiliki potensi untuk
meningkatkan kesehatan pencernaan pada ternak. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Tahara (1992) pemberian bakteri asam laktat dapat berfungsi sebagai
probiotik untuk mengatasi diare yang terjadi pada pedet sapi pedaging. Probiotik
6
merupakan suplementasi mikroba hidup yang dapat memberikan keuntungan pada
inang dengan meningkatkan keseimbangan mikrobial, dan beberapa jenis bakteri
asam laktat dapat bertindak sebagai bakteri probiotik, seperti Lactobacillus
acidophilus. Oleh karena itu, bakteri asam laktat pada silase dapat berfungsi sebagai
probiotik yang dapat mengatasi terjadinya diare pada ternak.
Molases
Molases adalah salah satu bahan baku pakan hasil samping agroindustri tebu
yang mengandung energi cukup tinggi. Molases merupakan bahan baku pakan yang
cukup potensial untuk diberikan kepada ternak. Molases biasa digunakan tidak
melebihi 10-15% dalam ransum karena penggunaan di atas persentase tersebut dapat
meningkatkan harga ransum, mengurangi aktivitas mikroba dan ransum menjadi sulit
ditangani karena menjadi lembek (Perry et al., 2003).
Pada proses pembuatan silase, molases umumnya digunakan sebagai bahan
starter silase. Molases digunakan karena dapat menstimulasi fermentasi silase dan
menurunkan pH silase. Penambahan molases pada silase dapat meningkatkan
populasi bakteri asam laktat, meningkatkan kualitas silase dan menghindari
hilangnya bahan kering pada silase (Mcdonald et aI., 2002). Selain itu, molases
mengandung gula yang digunakan mikroorganisme sebagai sumber makanan dan
meningkatkan aktivitas dari bakteri fermentasi mikroba (McDonald et al., 2002).
Handerson (1993) menyatakan bahwa penggunaan molasses 4 sampai 5% sebagai
bahan aditif silase dapat meningkatkan nilai nutrien dari silase daun singkong.
Penelitian Amaliah (2010) yang menguji penambahan berbagai macam bahan
aditif, yaitu tepung tapioka, molasses, dan dedak pada silase daun singkong dengan
persentase masing-masing 5-10% menunjukkan bahwa penambahan molasses 5%
pada silase daun singkong menunjukkan nilai score atas kualitas fisik dan kecernaan
in vitro paling tinggi. Perolehan rata-rata pH pada silase dengan penambahan 5%
molasses, yaitu sebesar 4,0. Macaulay (2004) menyatakan bahwa, kualitas silase
yang baik memiliki pH di bawah 4.2, maka berdasarkan hasil penelitian Amalia
(2010) silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% menghasilkan
kualitas silase yang baik. Moran (2005) menyatakan bahwa semakin rendah pH
7
silase maka aktivias bakteri pembusuk akan semakin kecil sehingga daya simpan
silase semakin lama.
Hasil uji kecernaan in vitro dalam penelitian Amalia (2010) menunjukkan
bahwa silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% memiliki konsentrasi
VFA sebesar 161,71 mM. Percobaan kecernaan bahan organik dan kecernaan bahan
kering masing-masing menunjukkan hasil 54,20% dan 57,17%. Hasil ini
menunjukkan bahwa, dari segi kecernaan in vitro silase daun singkong memiliki
kecernaan yang baik.
Kambing Peranakan Etawah (PE)
Kambing Etawah merupakan kambing yang mempunyai dwi fungsi, yaitu
sebagai kambing perah penghasil susu dan kambing pedaging (Sodiq dan Abidin,
2002). Pada umumnya, kambing etawah di Indonesia disilangkan dengan kambing
kacang (lokal) menghasilkan peranakan Etawah. Kambing Etawah memiliki produksi
susu yang tinggi, yakni bisa mencapai 235 kg per masa laktasi (261 hari) dan mampu
memproduksi 3,8 kg per hari pada masa puncak laktasi.
Keunggulan lain dari kambing Etawah adalah laju pertumbuhan yang baik
serta didukung dengan daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang
ekstrim. Kambing peranakan Etawah mempunyai ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan kambing kacang dan memiliki kemampuan yang lebih baik
terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan (Prasetyo, 1992). Jumlah anak per
kelahiran dapat mencapai tiga ekor. Hal ini menambah keunggulan kambing Etawah
sebagai hewan ternak yang menguntungkan. Kinerja produksi kambing peranakan
etawah ditunjukkan pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Kinerja Produksi Kambing Peranakan Etawah
Parameter
Kisaran
1. Berat Badan dewasa (kg)
ƒ
Jantan
45-80
ƒ
Betina
30-50
2. Jumlah anak sekelahiran (ekor)
1-3
3. Berat lahir (kg)
ƒ
Kelahiran tunggal
3-5
ƒ
Kelahiran kembar
3-3,5
ƒ
Jantan
3-5
ƒ
Betina
2-4,5
4. Masa Laktasi (hari)
90-265
5. Produksi susu harian (liter)
1,5-3,7
Sumber : Mulyono dan Sarwono, 2004
Kambing peranakan Etawah memiliki katrakteristik tubuh yang besar dengan
bobot badan kambing jantan dapat mencapai 90 kg dan betina 50 kg. Ciri-ciri
spesifik kambing peranakan etawah antara lain memiliki hidung yang lebih besar
dibanding jenis kambing kacang, kambing jantan mempunyai rambut yang tebal dan
agak panjang di bawah leher dan pundak, sedangkan rambut pada kambing betina
agak panjang terdapat di bagian bawah ekor ke arah garis kaki. Rambut menutupi
seluruh tubuh, rambut pada bagian dagu dan bagian belakang lebih halus dan
panjang. Warna rambut pada kambing peranakan Etawah lebih cenderung kombinasi
dua atau tiga pola warna, sedangkan warna rambut tunggal pada kambing peranakan
Etawah sangat jarang ditemukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Kambing PE Betina (b) Kambing PE Jantan
Sumber: Kambing Online, 2010
9
Kebutuhan Nutrien
Guna memperoleh target produksi baik susu ataupun daging, kebutuhan
nutrien kambing yang dipelihara haruslah terpenuhi dengan baik. Pada kambing,
konsumsi energi sangat menentukan komposisi susu (Sampelayo et al., 1998) dan
volume susu. Walaupun kambing merupakan jenis ternak yang tahan dalam kondisi
ekstrim, namun untuk optimasi produksi dan komposisi susu yang baik, maka
dibutuhkan asupan pakan yang memenuhi kebutuhan nutrien dari kambing tersebut.
Kebutuhan nutrien kambing dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kambing
Bobot badan
Bahan Kering
(lb)
(lb/ekor)
Kebutuhan Hidup Pokok
22
0,63
%
Bobot Badan
Protein Kasar
TDN
2,80
0,05
0,35
45
1,08
2,40
0,08
0,59
67
1,46
2,20
0,11
0,80
90
1,81
2,03
0,14
0,99
112
2,13
1,90
0,17
1,17
134
2,44
1,82
0,19
134
157
2,76
1,80
0,21
1,5
Kebutuhan Tambahan Untuk Produksi Susu Per Pound Dilihat Dari Persentase
Lemak (%)
Lemak Susu
Bahan Kering
%
Protein Kasar
TDN
(%)
(lb/ekor)
Bobot Badan
(lb)
(lb)
3
0,13
0,73
3
0,14
0,74
4
0,15
0,75
4
0,16
0,76
5
0,17
0,77
5
0,18
0,78
(Sumber : NRC, 1981)
Sistem Pencernaan Kambing
Kambing merupakan jenis hewan ruminansia yang memiliki empat bagian
perut seperti sapi, domba, dan rusa. Bagian-bagian perut tersebut adalah rumen,
retikulum, omasum, dan abomasum (disebut juga sebagai perut sejati). Pada hewan
ruminansia seperti kambing, pakan yang dikonsumsi akan mengalami pencernaan
10
mikrobial yang terjadi pada retikulum dan rumen (disebut juga retikulorumen).
Adanya pencernaan mikrobial menyebabkan hewan ruminansia dapat mencerna
pakan tinggi serat. Setelah melalui rumen pakan kemudian dicerna di abomasum
dengan asam (HCl) dan enzim-enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan
diserap di usus halus. Pada Gambar 2 ditunjukkan alat pencernaan yang ada pada
kambing (Hart, 2008).
Gambar 2. Alat Pencernaan Kambing
Sumber : Hart (2008)
Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat
Rumen merupakan bagian terbesar dari perut ruminansia, termasuk kambing.
Rumen berfungsi sebagai tempat fermentasi pakan yang dikonsumsi ternak karena di
dalamnya terdapat berbagai jenis populasi mikroba, antara lain, bakteri, fungi, yeast,
dan protozoa. Sumber energi utama bagi ternak ruminansia merupakan produk akhir
dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang dikenal dengan volatile fatty acid
(VFA) (Cheeke, 2005).
11
Selulosa
Selobiosa
Pati
Maltosa
Isomaltosa
Glukosa
Glukosa-1-fosfat
Glukosa-6-fosfat
Sukrosa
Asam Uronat
Pektin
Pentosa
Hemiselulosa
Fruktosa-6-fosfat
Fruktosa
Fruktan
Fruktosa-1,6-difosfat
Pentosa
Asam Piruvat
Format
CO2
H2
Malonil
Co A
Asetil Co A
Laktat
Oksaloasetat
Asetoasetil
Co A
Laktil Co A
Malat
Akrilil
Co A
Fumarat
Metilmalonil Co A
Metan
Asetil fosfat
β-Hidroksibutiril
CoA
Krotonil Co A
Propionil
Co A
Suksinat
Suksinil Co A
Butiril Co A
Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia
Sumber: McDonald et al. (2002).
Proses metabolisme karbohidrat pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald
et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 3. Sekitar 75% dari total VFA yang
diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen termasuk ke darah, sekitar 20%
diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap usus halus.
Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung
melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar
butirat termetabolisme dalam dinding rumen.
12
Pencernaan dan Metabolisme Protein
Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan
asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia
diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba
rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Proses
metabolisme protein pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti
tertera pada Gambar 4.
Pakan
Protein
Sulit Didegradasi
Kelenjar
Saliva
Non-protein N
Mudah
Didegradasi
Non-protein N
Peptida
Asam Amino
Amonia
Protein Mikroba
Dirombak di hati
Urea
NH3
Ginjal
Dicerna di usus
Diekskresikan
(urin)
Gambar 4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia
Sumber: McDonald et al. (2002)
Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik di
dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat
hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan
kadar NH3 (Arora, 1989). Haaland et al. (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi
kandungan protein ransum maka produksi amonia akan semakin meningkat sebagai
akibat aktivitas proteolitik meningkat. Kadar amonia dalam rumen merupakan
petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen.
13
Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi
amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat
yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).
Pencernaan protein di usus halus menghasilkan asam-asam amino yang
selanjutnya diserap oleh darah kemudian dibawa ke hati. Asam-asam amino yang
berasal dari hati disalurkan ke jaringan tubuh lainnya termasuk kelenjar susu untuk
membentuk protein jaringan dan protein susu. Menurut Sniffen dan Robinson (1987),
sumbangan protein mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak
ruminansia mencapai 40-80%. Sisa-sisa pencernaan protein berupa protein dan asamasam amino bahan makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi akan dikeluarkan
dari tubuh melalui feses.
Pencernaan dan Metabolisme Lemak
Pencernaan dan pemanfaatan lemak oleh hewan ruminansia ditentukan oleh
proses yang berlangsung di dalam rumen sebelum diserap di usus halus. Selama
berada di dalam rumen, lemak pakan ditransformasi sehingga lemak yang
meninggalkan rumen berbeda komposisi dan jumlahnya dibandingkan dengan lemak
yang dikonsumsi. Terlebih lagi, lemak memiliki dampak negatif pada aktivitas
rumen, terutama pada aktivitas degradasi karbohidrat (Doreau dan Ferlay, 1995).
Lemak pakan secara ekstensif dihirolisis di dalam rumen oleh enzim
mikrobial yang berasal dari berbagai spesies bakteri (spesies yang paling dikenal
adalah Anaerovibrio lipolytica) dan protozoa (Harfoot dan
Hazlewood, 1988).
Enzim-enzim yang dihasilkan antara lain, lipase, galaktosidase, dan fosfolipase,
adanya aktivitas enzim tersebut menstimulasi terbentuknya asam lemak bebas tanpa
komponen perantara seperti mono- dan diasilgliserol. Proses lipolisis ini terjadi
sangat cepat baik dalam in vitro maupun in vivo (Demeyer dan Van Nevel, 1995).
Adapun faktor-faktor yang menghambat terjadinya lipolisis antara lain antibiotik dan
pH rendah (Van Nevel dan Demeyer, 1995). Hidrogenasi terjadi dengan adanya asam
lemak bebas. Tahap pertama terjadi isomerisasi, kemudian enzim hidrogenase
mereduksi asam lemak berdasarkan jalur yang dijelaskan oleh Harfoot
dan
Hazlewood (1988). Produk akhir dari hidrogenasi asam lemak C18 adalah asam
stearat. Akan tetapi ketika terdapat sejumlah besar asam linoleat, proses hidrogenasi
umumnya berhenti sebelum mencapai tahap akhir membentuk isomer cis- dan trans14
dari asam lemak monoenoat (Harfoot et al., 1973). Hidrogenasi umumnya
berlangsung lebih lambat dibandingkan lipolisis. Bakteri menginkorporasi dan
mensintesis berbagai jenis asam lemak, karakteristik utamanya adalah asam lemak
yang kebanyakan tersusun oleh 15 dan 17 atom C. Sintesis asam lemak terutama
berasal dari VFA, sedangkan asam lemak bercabang berasal dari isobutirat dan
isovalerat (Demeyer dan Hooze, 1984).
Susu Kambing
Kambing merupakan ternak yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan
susu di berbagai belahan dunia. Produk dari kambing telah menjadi diskusi dan
bahan penelitian oleh ilmuwan di berbagai belahan dunia (Haenlein, 2001). Produk
susu dari kambing diminati oleh penduduk dunia dari segi tekstur dan nilai gizi,
terutama untuk produk yoghurt dan keju. Hal ini menimbulkan peningkatan
permintaan atas produk susu kambing. Selain itu, susu kambing disarankan oleh
sebagian besar dokter bagi orang yang menderita alergi susu sapi dan gangguan
pencernaan lainnya (Haenlein, 2001).
Berdasarkan penelitian Barrionuevo et al. (2002) mengenai pengaruh susu
kambing pada tikus percobaan yang mengalami malabsorbsi zat besi dan tembaga,
menunjukkan bahwa dibandingkan susu sapi, susu kambing dapat membantu
masalah malabsorbsi kedua mineral tersebut, hal ini mecegah terjadinya anemia pada
hewan percobaan tersebut. Pada penelitian Alferez et al. (2001), menunjukkan bahwa
penggunaan lemak dan peningkatan bobot badan meningkat pada tikus yang
mengonsumsi susu kambing dibandingkan dengan tikus yang mengonsumsi susu
sapi. Pada penelitian tersebut juga didapatkan penurunan jumlah kolesterol dan fraksi
(low density lipoprotein) LDL, namun jumlah trigliserida, SGOT (serum glutamic
oxaloacetic transaminase), dan SGPT cenderung normal. SGOT dan SGPT
merupakan enzim penanda yang digunakan untuk mengukur kerusakan fungsi hati,
jika kadarnya tinggi menandakan terjadinya gangguan fungsi hati. Reaksi-reaksi
tersebut terjadi karena senyawa bioaktif dan komponen yang ada di dalam susu
kambing. Tabel 3 menunjukan perbandingan susu kambing, domba, sapi, dan
manusia.
15
Taabel 3. Perbaandingan Kom
mposisi Susuu Kambing, Domba, dan Sapi
D
Domba
Kambing
Sapi
S
Solid
(%)
17,0
13,0
12,5
l
lemak
(%)
6,5
3,5
3,5
L
Laktosa
(%)
4,8
4,6
4,7
P
Protein
(%)
5,5
3,5
3,2
C
Casein
(%)
4,5
2,8
2,6
M
Mineral
Totaal (%)
0
0,92
8,0
0,72
K
Kalori
(kkal//l)
1
1050
650
700
C (mg/l)
Ca
193
134
119
Kom
mposisi
Suumber : Pulinaa dan Nudda (2002)
(
Kompponen susu,, yaitu lemaak, protein, dan laktosaa (gula susu yang terdirri atas
gllukosa dan galaktosa)
g
d
disintesis
paada kelenjarr susu dengaan prekursoor yang dipeeroleh
daari sirkulasii peripherall (Bequette et al., 199
98). Mekaniisme tersebut menghassilkan
poola produkssi susu sepaanjang laktasi yang ditaandai oleh fase
f
naik sam
mpai maksiimum
(ppuncak) dann kemudiann menurun sampai berrakhirnya masa
m
laktassi. Contoh kurva
k
laaktasi standaar pada prodduksi susu kambing
k
ad
dalah sepertii Gambar 5..
Gambar 5.. Kurva Lakttasi Kambing
g Menurut Fuungsi Wilminnk
Sumber: Macciotta et
e al. (2008)
Pada puncak lakttasi, tingkatt sintesis ko
omponen susu menjadi lebih tinggii, jika
tiddak diimbaangi dengann manajemeen pakan yaang baik, akan
a
menim
mbulkan maasalah
m
metabolisme
pada ternaak (Beqqueette et al., 1998).
1
Tinggginya prodduksi susu harus
diidukung denngan pembeentukan dann koordinassi dari setiapp proses sinntesis komp
ponen
16
susu merupakan interaksi yang padu antara nutrien, hormon, dan jaringan lain,
sehingga setiap jaringan di dalam tubuh mendapat asupan nutrien yang seimbang.
Pola adaptasi tersebut merupakan hasil dari kecukupan kuantitas pakan dan
keseimbangan nutrien untuk sintesis susu (Bauman, 2000). Secara umum, sintesis
komponen susu dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan. LPL : Lipoprotein. VLDL : very low density lipoprotein. β-HB : β-Hidroksi butirat. TGS
:Trigliserida. FAS : fatty acid synthetase. ∆9 : ∆9 desaturase. ACC : Acetyl Co-A Carboxylase. TAG :
Triacylgliserides.
Gambar 6. Proses Pembentukan Komponen Susu
Sumber : Lock et al. (2004)
Lemak Susu
Lemak susu (lipid) merupakan salah satu faktor yang menentukan harga
susu, jumlah nutrien yang harus diberikan dan karakteristik fisik dan sensori dari
susu yang diproduksi. Triasil gliserol merupakan bagian terbesar dari bahan
penyusun lemak susu (98%), komponen lainnya yaitu terdiri atas monoasilgliserida,
fosfolipid, kolesterol, asam lemak nonesterifikasi (Haenlein dan Wendorf, 2006).
Komponen lemak umumnya mudah mengalami perubahan dengan adanya persentase
perubahan pemberian hijauan (Abijaoudé et al., 2000)
Lipid dalam susu berbentuk globula, pada susu kambing dan domba ukuran
globula tersebut <3.5µm. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mens (1985)
menunjukkan bahwa 65% ukuran globula susu kambing <3,5 µm. Karakteristik
17
lemak susu ini memiliki manfaat dari segi pencernaan dan lebih efisien dalam hal
metabolism lipid dibandingkan dengan lemak susu sapi (Park, 2007). Namun, dari
segi mekanisme sekresi globula lemak tidak ditemukan perbedaan antara sapi,
domba, dan kambing.
Komposisi lemak susu pada umunya tinggi beberapa saat setelah melahirkan
dan menurun selama laktasi (Sauvant et al., 1991). Hal ini berkaitan dengan dua
fenomena, yaitu efek pengenceran ketika volume susu meningkat sampai puncak
laktasi, dan penurunan mobilisasi lemak menurunkan ketersediaan plasma
nonesterified fatty acid (NEFA) terutama C18:0 dan C18:1, yang digunakan untuk
sintesis lipid kelenjar susu. Ketersediaan NEFA juga dipengaruhi oleh keseimbangan
energi pada tubuh ternak. Status nutrisi dari hewan laktasi dapat diperkirakan melalui
keseimbangan energi pada ternak tersebut. Keseimbangan energi sangat bervariasi
bergantung pada potensi genetik dan fase laktasi, serta kualitas dan komposisi
nutrien pakan. Ketika keseimbangan energi negatif, tubuh hewan akan memobilisasi
lipid yang disimpan pada jaringan adipose, dengan produk utamanya adalah NEFA.
Jaringan adiposa pada ruminansia sangat kaya akan palmitat, stearat, dan asam oleat
(Bas et al., 1987).
Protein Susu
Protein susu merupakan 95% bagian dari total nitrogen pada susu. Umumnya,
persentase jumlah dari protein susu ditentukan oleh tingkatan laktasi, komposisi
pakan, dan jenis hewan, keturunan, musim, dan kesehatan ambing. Protein susu
tersusun atas kasein, whey, serum albumin, dan imunoglubulin.. Komposisi kasein
berkisar dari 76% sampai 86% dari total protein susu, persentase tersebut umumnya
tidak ditentukan oleh tingkatan laktasi dan komposisi pakan (Coulon et al.,1998).
Albumin dan immunoglobulin disintesis pada sel epithelial kelenjar susu dengan
asam amino sebagai prekursor utamanya.
Penggunaan asam amino oleh kelenjar susu terjadi akibat adanya
pengambilan asam amino dari sirkulasi peripheral oleh sel sekretori, dan kemudian
terjadi sintesis protein intraselular di dalam reticulum endoplasma. Sintesis protein
susu mutlak membutuhkan keberadaan ATP (sebagai hasil proses oksidasi asetat),
asam amino, dan glukosa (Erasmus et al., 2001).
18
Konsumsi Pakan
Konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila
diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1998) konsumsi
diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan
yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan
untuk keperluan produksi hewan tersebut. Daya cerna makanan diikuti kecepatan
aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan konsumsi.
Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Banyaknya jumlah
makanan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan faktor penting yang akan
mempengaruhi produktivitas ternak. Semakin baik kualitas makanannya, maka
makin tinggi konsumsi ransum ternak. Selain konsumsi ransum, ternak yang
berkualitas baik juga ditentukan oleh fisiologi ternak tersebut (Parakkasi, 1999).
Ternak ruminansia yang normal (tidak sakit atau sedang bereproduksi)
mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk
mencukupi hidup pokok (Siregar, 1996). Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak
ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu, tempat tinggal (kandang),
palatabilitas, konsumsi nutrisi, bentuk pakan dan faktor internal yaitu, selera, status
fisiologi, bobot tubuh dan produksi ternak itu sendiri (Kartadisastra, 1997). Menurut
Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang essensial yang merupakan dasar
untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Mulyono dan Sarwono (2004)
menyatakan bahwa konsumsi pakan kambing dinyatakan dalam bahan kering
Kecernaan
McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi zat
makanan yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh
ternak. Biasanya ini dinyatakan berdasarkan bahan kering (BK) dan apabila
dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998).
Koefisien cerna merupakan selisih antara zat-zat makanan yang terkandung dalam
pakan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang ada pada feses.
Daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, keserasian zat makanan,
faktor ternak dan jumlah pakan. Faktor komposisi faktor makanan, misalnya serat
19
kasar dapat mempengaruhi daya cerna bahan organik. Menurut Tillman et al.,
(1998), setiap penambahan serat kasar dalam bahan makanan akan menyebabkan
penurunan daya cerna bahan organik. Kecernaan zat makanan bergantung pada
ternak yaitu status, produktivitas, dan fungsi fisiologis yang sedang dialami ternak
(Parakkasi, 1999).
20
Download