TINJAUAN PUSTAKA Potensi Daun Singkong Sebagai Pakan Ternak Singkong memiliki nama latin yang diterima secara internasional, yaitu Manihot esculenta dengan sinonim yang biasa dikenal sebagai Manihot utilissima (ITIS, 2012). Singkong merupakan tanaman pertanian yang sangat produktif. Pada tahun 2009, produksi singkong mencapai 22 juta ton (Departemen Pertanian, 2010). Singkong terdiri atas 45% bagian umbi, 35% bagian batang, dan 20% bagian daun. Singkong dimanfaatkan sebagai pangan sumber karbohidrat oleh manusia dan industri yang menghasilkan pati. Singkong dikenal sebagai tanaman yang merusak kesuburan tanah karena kemampuannya untuk memanfaatkan unsur hara tanah secara besar-besaran. Namun, ketika singkong tumbuh di lingkungan pertanian yang terintegrasi dengan peternakan, singkong dapat memanfaatkan sumber nutrien dari kotoran ternak menjadi unsur hara yang bernilai (Preston, 2002). Daun singkong merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak. Daun singkong bisa dimanfaatkan melalui defoliasi sitematis setelah umbi singkong dipanen (Fasae et al., 2006). Daun singkong memiliki nilai nutrien yang tinggi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kemudian, biaya produksi daun singkong tergolong murah, dan daun singkong yang diproduksi tidak termanfaatkan serta tidak berkompetisi dengan umbinya yang merupakan produk komersial utama dari tanaman singkong (Wanapat et al., 2000). Namun, hal yang menjadi pembatas penggunaannya adalah adanya komponen antinutrisi dan substansi toksik bagi ternak yang berupa HCN. Substansi tersebut mengganggu kecernaan dan konsumsi nutrien, dan bersifat racun untuk pemberian yang melebihi jumlah yang ditoleransi. Daun Singkong Sebagai Suplemen Pakan Daun singkong memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar >20% (AFRIS, 2007) dan untuk daun singkong muda (Pucuk) mengandung protein sebesar 21-24% (Sokerya dan Preston, 2003), dan sejak tahun 1970 daun singkong telah dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Eggum, 1970). Daun singkong juga dilaporkan menjadi sumber mineral Ca,Mg, Fe, Mn, Zn, vitamin A, dan B2 (riboflavin) yang baik (Ravindran, 1992). Komponen protein akan menurun berdasarkan umur panen singkong, semakin tua persentase protein pada daun singkong akan semakin kecil. Hal sebaliknya terjadi pada persentase komponen serat (Fasae et al., 2009). Komponen nutrien yang paling baik terjadi pada saat tanaman singkong berumur 4 bulan, persentase protein mencapai puncaknya, interval defoliasi tiap 2 bulan sekali akan menambah persentase protein dan meningkatkan rasio protein dan energi (Wanapat, 2008). Namun, terlalu sering didefoliasi akan meningkatkan kadar HCN pada daun singkong (Fasae et al., 2009) Antinutrisi Pada Daun Singkong Asam Sianida (HCN). Kandungan Asam sianida (HCN) dalam daun singkong merupakan salah satu senyawa pembatas dalam penggunaan daun singkong sebagai pakan ternak. Interval jumlah kandungan HCN pada daun singkong umumnya berkisar antara 20 sampai 80 mg per 100 g berat segar daun singkong, atau dari 800 sampai 3.200 mg/kg bahan kering (BK). Komposisi HCN pada daun singkong lebih tinggi dibandingkan dengan umbi singkong (Ravindran, 1992). Varietas dan tingkat kematangan adalah faktor utama penyebab variasi dari komposisi sianida (CN) dari daun singkong (Chhay et al., 2001). Konsumsi HCN tidak bermasalah bagi ternak ruminansia sampai batas 100 ppm (Tewe, 1994). HCN dapat didetoksifikasi oleh mikroorganisme di dalam rumen (Preston, 1995). Pada ruminansia kecil, pakan yang kaya akan sulfur merupakan komponen vital untuk detoksifikasi CN menjadi tiosianat, yang dikenal juga dengan sulfosianat, tiosianat, dan rhodanit (Onwuka et al. 1992). Tiosianat, yang merupakan anion SCN- dibentuk di rumen, kemudian dibawa oleh serum darah dan hilang perlahan melalui urin. Oleh sebab itu, persentase unsur S di dalam pakan kambing dan domba harus mencapai minimal 0.5% sehingga detoksifikasi CN dapat berjalan optimal (Onwuka et al. 1992). Selain itu, kadar HCN pada daun singkong dapat diturunkan melalui proses pengolahan pakan dengan dilayukan di bawah sinar matahari (Gomez et al., 1984), diolah menjadi hay, dan silase (Man dan Wiktorsson, 1999). Tanin. Pada daun singkong terdapat bahan aktif berupa tanin terkondensasi atau dikenal juga dengan proantisianidin. Tanin memiliki manfaat dan kerugian bergantung pada konsentrasi dan jenisnya. Faktor lain yang mempengaruhi manfaat 4 dan kerugian tanin pada ternak seperti spesies ternak, kondisi fisiologis ternak dan komposisi pakan yang diberikan (Makkar, 2003). Senyawa ini larut dalam air dan mampu mengendapkan protein. Adanya tanin dan protein akan menghasilkan ikatan kompleks tanin-protein oleh ikatan hidrogen dalam kondisi pH basa. Kambing dapat mengkonsumsi tanin terhidrolisasi sebanyak 10 g per hari dan tanin terkondensasi sebanyak100-150 g per g per hari tanpa adanya tanda-tanda keracunan (Silanikove et al., 1996). Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim (Smith et al., 2005). Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al., 1994). Keberadaan tanin di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen. Tanin terkondensasi dalam saluran pencernaan ruminansia bermanfaat untuk meningkatkan daur ulang N di rumen dan saliva (Reed, 1995). Adanya daur ulang tersebut meningkatkan sintesis protein mikrobial di dalam rumen (Makkar, 2000). Silase Ensilase merupakan teknik penting dalam pengawetan bahan makanan ternak menjadi hasil akhir yang dikenal dengan silase yang menghasilkan kehilangan nutrien dalam jumlah kecil (Adesogan, 2006). Proses ensilase juga dapat menurunkan persentase HCN pada hijauan sebanyak 72,7%. Proses pengawetan bahan makanan ternak melalui ensilase adalah berdasarkan prinsip proses fermentasi dengan memanfaatkan keberadaan bakteri asam laktat yang mengubah karbohidrat 5 larut air (water soluble carbohydrates) menjadi produk utama asam laktat dalam kondisi anaerob. Pada kondisi tersebut, asam laktat yang dihasilkan akan mengakibatkan kondisi asam pada lingkungan anaerob (Adesogan et al., 2007). Kondisi asam dengan pH <4 dan kondisi anaerob tersebut mengakibatkan silase dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa terjadinya proses pembusukan (Masuko, 1994). Untuk menghasilkan kualitas silase yang baik, dibutuhkan kisaran kadar air antara 60-80%. Pada penelitian yang dilakukan Ohmomo et al. (2002) menunjukkan bahwa pada kadar air 60% dihasilkan 7,8% asam laktat dan 0,1% asam butirat, sedangkan pada kadar air 80% dihasilkan 4,7% asam laktat dan 1,8 % asam butirat. Guna menghindari kebusukan akibat kadar air bahan tinggi, dilakukan pelayuan agar kadar air bahan menurun. Namun pelayuan yang terlalu lama akan menurunkan kualitas nutrien hijauan yang ditandai dengan tingginya respirasi tanaman dan tumbuhnya bakteri aerob (Ohmomo et al., 2002). Pada proses ensilase, kepadatan lingkungan silo (wadah pembuatan silase) mempengaruhi kualitas silase yang dibuat. Silo yang tidak terisi penuh akan menyebabkan terciptanya lingkungan asam yang lebih lama bahkan ketika silo ditutup rapat dalam jangka waktu singkat. Akibatnya, nilai nutrien dari material yang diproses menjadi silase akan menurun karena adanya aktivitas bakteri aerob dan respirasi hijauan. Oleh karena itu, kondisi silo yang rapat dan padat dibutuhkan untuk mempercepat terjadinya lingkungan asam pada silo dan meningkatkan proses fermentasi oleh bakteri asam laktat (Ohmomo et al., 2002). Bakteri asam laktat homo-fermentatif Lactobacillus plantarum seperti adalah bakteri utama penghasil kualitas silase yang baik. Selain itu, keberadaan Lactococci pada produk silase juga memberikan dampak positif pada pembentukan lingkungan asam di fase awal pembentukan silase. Guna meningkatkan kualitas silase, banyak penelitian yang mempelajari penambahan bahan aditif biologis, kimiawi, dan jenis bahan lainnya (Adesogan et al., 2007). Keberadaan bakteri asam laktat pada silase memiliki potensi untuk meningkatkan kesehatan pencernaan pada ternak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tahara (1992) pemberian bakteri asam laktat dapat berfungsi sebagai probiotik untuk mengatasi diare yang terjadi pada pedet sapi pedaging. Probiotik 6 merupakan suplementasi mikroba hidup yang dapat memberikan keuntungan pada inang dengan meningkatkan keseimbangan mikrobial, dan beberapa jenis bakteri asam laktat dapat bertindak sebagai bakteri probiotik, seperti Lactobacillus acidophilus. Oleh karena itu, bakteri asam laktat pada silase dapat berfungsi sebagai probiotik yang dapat mengatasi terjadinya diare pada ternak. Molases Molases adalah salah satu bahan baku pakan hasil samping agroindustri tebu yang mengandung energi cukup tinggi. Molases merupakan bahan baku pakan yang cukup potensial untuk diberikan kepada ternak. Molases biasa digunakan tidak melebihi 10-15% dalam ransum karena penggunaan di atas persentase tersebut dapat meningkatkan harga ransum, mengurangi aktivitas mikroba dan ransum menjadi sulit ditangani karena menjadi lembek (Perry et al., 2003). Pada proses pembuatan silase, molases umumnya digunakan sebagai bahan starter silase. Molases digunakan karena dapat menstimulasi fermentasi silase dan menurunkan pH silase. Penambahan molases pada silase dapat meningkatkan populasi bakteri asam laktat, meningkatkan kualitas silase dan menghindari hilangnya bahan kering pada silase (Mcdonald et aI., 2002). Selain itu, molases mengandung gula yang digunakan mikroorganisme sebagai sumber makanan dan meningkatkan aktivitas dari bakteri fermentasi mikroba (McDonald et al., 2002). Handerson (1993) menyatakan bahwa penggunaan molasses 4 sampai 5% sebagai bahan aditif silase dapat meningkatkan nilai nutrien dari silase daun singkong. Penelitian Amaliah (2010) yang menguji penambahan berbagai macam bahan aditif, yaitu tepung tapioka, molasses, dan dedak pada silase daun singkong dengan persentase masing-masing 5-10% menunjukkan bahwa penambahan molasses 5% pada silase daun singkong menunjukkan nilai score atas kualitas fisik dan kecernaan in vitro paling tinggi. Perolehan rata-rata pH pada silase dengan penambahan 5% molasses, yaitu sebesar 4,0. Macaulay (2004) menyatakan bahwa, kualitas silase yang baik memiliki pH di bawah 4.2, maka berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010) silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% menghasilkan kualitas silase yang baik. Moran (2005) menyatakan bahwa semakin rendah pH 7 silase maka aktivias bakteri pembusuk akan semakin kecil sehingga daya simpan silase semakin lama. Hasil uji kecernaan in vitro dalam penelitian Amalia (2010) menunjukkan bahwa silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% memiliki konsentrasi VFA sebesar 161,71 mM. Percobaan kecernaan bahan organik dan kecernaan bahan kering masing-masing menunjukkan hasil 54,20% dan 57,17%. Hasil ini menunjukkan bahwa, dari segi kecernaan in vitro silase daun singkong memiliki kecernaan yang baik. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Etawah merupakan kambing yang mempunyai dwi fungsi, yaitu sebagai kambing perah penghasil susu dan kambing pedaging (Sodiq dan Abidin, 2002). Pada umumnya, kambing etawah di Indonesia disilangkan dengan kambing kacang (lokal) menghasilkan peranakan Etawah. Kambing Etawah memiliki produksi susu yang tinggi, yakni bisa mencapai 235 kg per masa laktasi (261 hari) dan mampu memproduksi 3,8 kg per hari pada masa puncak laktasi. Keunggulan lain dari kambing Etawah adalah laju pertumbuhan yang baik serta didukung dengan daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Kambing peranakan Etawah mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kambing kacang dan memiliki kemampuan yang lebih baik terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan (Prasetyo, 1992). Jumlah anak per kelahiran dapat mencapai tiga ekor. Hal ini menambah keunggulan kambing Etawah sebagai hewan ternak yang menguntungkan. Kinerja produksi kambing peranakan etawah ditunjukkan pada Tabel 1. 8 Tabel 1. Kinerja Produksi Kambing Peranakan Etawah Parameter Kisaran 1. Berat Badan dewasa (kg) Jantan 45-80 Betina 30-50 2. Jumlah anak sekelahiran (ekor) 1-3 3. Berat lahir (kg) Kelahiran tunggal 3-5 Kelahiran kembar 3-3,5 Jantan 3-5 Betina 2-4,5 4. Masa Laktasi (hari) 90-265 5. Produksi susu harian (liter) 1,5-3,7 Sumber : Mulyono dan Sarwono, 2004 Kambing peranakan Etawah memiliki katrakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan kambing jantan dapat mencapai 90 kg dan betina 50 kg. Ciri-ciri spesifik kambing peranakan etawah antara lain memiliki hidung yang lebih besar dibanding jenis kambing kacang, kambing jantan mempunyai rambut yang tebal dan agak panjang di bawah leher dan pundak, sedangkan rambut pada kambing betina agak panjang terdapat di bagian bawah ekor ke arah garis kaki. Rambut menutupi seluruh tubuh, rambut pada bagian dagu dan bagian belakang lebih halus dan panjang. Warna rambut pada kambing peranakan Etawah lebih cenderung kombinasi dua atau tiga pola warna, sedangkan warna rambut tunggal pada kambing peranakan Etawah sangat jarang ditemukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. (a) (b) Gambar 1. (a) Kambing PE Betina (b) Kambing PE Jantan Sumber: Kambing Online, 2010 9 Kebutuhan Nutrien Guna memperoleh target produksi baik susu ataupun daging, kebutuhan nutrien kambing yang dipelihara haruslah terpenuhi dengan baik. Pada kambing, konsumsi energi sangat menentukan komposisi susu (Sampelayo et al., 1998) dan volume susu. Walaupun kambing merupakan jenis ternak yang tahan dalam kondisi ekstrim, namun untuk optimasi produksi dan komposisi susu yang baik, maka dibutuhkan asupan pakan yang memenuhi kebutuhan nutrien dari kambing tersebut. Kebutuhan nutrien kambing dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kambing Bobot badan Bahan Kering (lb) (lb/ekor) Kebutuhan Hidup Pokok 22 0,63 % Bobot Badan Protein Kasar TDN 2,80 0,05 0,35 45 1,08 2,40 0,08 0,59 67 1,46 2,20 0,11 0,80 90 1,81 2,03 0,14 0,99 112 2,13 1,90 0,17 1,17 134 2,44 1,82 0,19 134 157 2,76 1,80 0,21 1,5 Kebutuhan Tambahan Untuk Produksi Susu Per Pound Dilihat Dari Persentase Lemak (%) Lemak Susu Bahan Kering % Protein Kasar TDN (%) (lb/ekor) Bobot Badan (lb) (lb) 3 0,13 0,73 3 0,14 0,74 4 0,15 0,75 4 0,16 0,76 5 0,17 0,77 5 0,18 0,78 (Sumber : NRC, 1981) Sistem Pencernaan Kambing Kambing merupakan jenis hewan ruminansia yang memiliki empat bagian perut seperti sapi, domba, dan rusa. Bagian-bagian perut tersebut adalah rumen, retikulum, omasum, dan abomasum (disebut juga sebagai perut sejati). Pada hewan ruminansia seperti kambing, pakan yang dikonsumsi akan mengalami pencernaan 10 mikrobial yang terjadi pada retikulum dan rumen (disebut juga retikulorumen). Adanya pencernaan mikrobial menyebabkan hewan ruminansia dapat mencerna pakan tinggi serat. Setelah melalui rumen pakan kemudian dicerna di abomasum dengan asam (HCl) dan enzim-enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap di usus halus. Pada Gambar 2 ditunjukkan alat pencernaan yang ada pada kambing (Hart, 2008). Gambar 2. Alat Pencernaan Kambing Sumber : Hart (2008) Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat Rumen merupakan bagian terbesar dari perut ruminansia, termasuk kambing. Rumen berfungsi sebagai tempat fermentasi pakan yang dikonsumsi ternak karena di dalamnya terdapat berbagai jenis populasi mikroba, antara lain, bakteri, fungi, yeast, dan protozoa. Sumber energi utama bagi ternak ruminansia merupakan produk akhir dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang dikenal dengan volatile fatty acid (VFA) (Cheeke, 2005). 11 Selulosa Selobiosa Pati Maltosa Isomaltosa Glukosa Glukosa-1-fosfat Glukosa-6-fosfat Sukrosa Asam Uronat Pektin Pentosa Hemiselulosa Fruktosa-6-fosfat Fruktosa Fruktan Fruktosa-1,6-difosfat Pentosa Asam Piruvat Format CO2 H2 Malonil Co A Asetil Co A Laktat Oksaloasetat Asetoasetil Co A Laktil Co A Malat Akrilil Co A Fumarat Metilmalonil Co A Metan Asetil fosfat β-Hidroksibutiril CoA Krotonil Co A Propionil Co A Suksinat Suksinil Co A Butiril Co A Asetat Butirat Propionat Gambar 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002). Proses metabolisme karbohidrat pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 3. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen termasuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap usus halus. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. 12 Pencernaan dan Metabolisme Protein Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Proses metabolisme protein pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 4. Pakan Protein Sulit Didegradasi Kelenjar Saliva Non-protein N Mudah Didegradasi Non-protein N Peptida Asam Amino Amonia Protein Mikroba Dirombak di hati Urea NH3 Ginjal Dicerna di usus Diekskresikan (urin) Gambar 4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002) Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik di dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3 (Arora, 1989). Haaland et al. (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan protein ransum maka produksi amonia akan semakin meningkat sebagai akibat aktivitas proteolitik meningkat. Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. 13 Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002). Pencernaan protein di usus halus menghasilkan asam-asam amino yang selanjutnya diserap oleh darah kemudian dibawa ke hati. Asam-asam amino yang berasal dari hati disalurkan ke jaringan tubuh lainnya termasuk kelenjar susu untuk membentuk protein jaringan dan protein susu. Menurut Sniffen dan Robinson (1987), sumbangan protein mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak ruminansia mencapai 40-80%. Sisa-sisa pencernaan protein berupa protein dan asamasam amino bahan makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses. Pencernaan dan Metabolisme Lemak Pencernaan dan pemanfaatan lemak oleh hewan ruminansia ditentukan oleh proses yang berlangsung di dalam rumen sebelum diserap di usus halus. Selama berada di dalam rumen, lemak pakan ditransformasi sehingga lemak yang meninggalkan rumen berbeda komposisi dan jumlahnya dibandingkan dengan lemak yang dikonsumsi. Terlebih lagi, lemak memiliki dampak negatif pada aktivitas rumen, terutama pada aktivitas degradasi karbohidrat (Doreau dan Ferlay, 1995). Lemak pakan secara ekstensif dihirolisis di dalam rumen oleh enzim mikrobial yang berasal dari berbagai spesies bakteri (spesies yang paling dikenal adalah Anaerovibrio lipolytica) dan protozoa (Harfoot dan Hazlewood, 1988). Enzim-enzim yang dihasilkan antara lain, lipase, galaktosidase, dan fosfolipase, adanya aktivitas enzim tersebut menstimulasi terbentuknya asam lemak bebas tanpa komponen perantara seperti mono- dan diasilgliserol. Proses lipolisis ini terjadi sangat cepat baik dalam in vitro maupun in vivo (Demeyer dan Van Nevel, 1995). Adapun faktor-faktor yang menghambat terjadinya lipolisis antara lain antibiotik dan pH rendah (Van Nevel dan Demeyer, 1995). Hidrogenasi terjadi dengan adanya asam lemak bebas. Tahap pertama terjadi isomerisasi, kemudian enzim hidrogenase mereduksi asam lemak berdasarkan jalur yang dijelaskan oleh Harfoot dan Hazlewood (1988). Produk akhir dari hidrogenasi asam lemak C18 adalah asam stearat. Akan tetapi ketika terdapat sejumlah besar asam linoleat, proses hidrogenasi umumnya berhenti sebelum mencapai tahap akhir membentuk isomer cis- dan trans14 dari asam lemak monoenoat (Harfoot et al., 1973). Hidrogenasi umumnya berlangsung lebih lambat dibandingkan lipolisis. Bakteri menginkorporasi dan mensintesis berbagai jenis asam lemak, karakteristik utamanya adalah asam lemak yang kebanyakan tersusun oleh 15 dan 17 atom C. Sintesis asam lemak terutama berasal dari VFA, sedangkan asam lemak bercabang berasal dari isobutirat dan isovalerat (Demeyer dan Hooze, 1984). Susu Kambing Kambing merupakan ternak yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan susu di berbagai belahan dunia. Produk dari kambing telah menjadi diskusi dan bahan penelitian oleh ilmuwan di berbagai belahan dunia (Haenlein, 2001). Produk susu dari kambing diminati oleh penduduk dunia dari segi tekstur dan nilai gizi, terutama untuk produk yoghurt dan keju. Hal ini menimbulkan peningkatan permintaan atas produk susu kambing. Selain itu, susu kambing disarankan oleh sebagian besar dokter bagi orang yang menderita alergi susu sapi dan gangguan pencernaan lainnya (Haenlein, 2001). Berdasarkan penelitian Barrionuevo et al. (2002) mengenai pengaruh susu kambing pada tikus percobaan yang mengalami malabsorbsi zat besi dan tembaga, menunjukkan bahwa dibandingkan susu sapi, susu kambing dapat membantu masalah malabsorbsi kedua mineral tersebut, hal ini mecegah terjadinya anemia pada hewan percobaan tersebut. Pada penelitian Alferez et al. (2001), menunjukkan bahwa penggunaan lemak dan peningkatan bobot badan meningkat pada tikus yang mengonsumsi susu kambing dibandingkan dengan tikus yang mengonsumsi susu sapi. Pada penelitian tersebut juga didapatkan penurunan jumlah kolesterol dan fraksi (low density lipoprotein) LDL, namun jumlah trigliserida, SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase), dan SGPT cenderung normal. SGOT dan SGPT merupakan enzim penanda yang digunakan untuk mengukur kerusakan fungsi hati, jika kadarnya tinggi menandakan terjadinya gangguan fungsi hati. Reaksi-reaksi tersebut terjadi karena senyawa bioaktif dan komponen yang ada di dalam susu kambing. Tabel 3 menunjukan perbandingan susu kambing, domba, sapi, dan manusia. 15 Taabel 3. Perbaandingan Kom mposisi Susuu Kambing, Domba, dan Sapi D Domba Kambing Sapi S Solid (%) 17,0 13,0 12,5 l lemak (%) 6,5 3,5 3,5 L Laktosa (%) 4,8 4,6 4,7 P Protein (%) 5,5 3,5 3,2 C Casein (%) 4,5 2,8 2,6 M Mineral Totaal (%) 0 0,92 8,0 0,72 K Kalori (kkal//l) 1 1050 650 700 C (mg/l) Ca 193 134 119 Kom mposisi Suumber : Pulinaa dan Nudda (2002) ( Kompponen susu,, yaitu lemaak, protein, dan laktosaa (gula susu yang terdirri atas gllukosa dan galaktosa) g d disintesis paada kelenjarr susu dengaan prekursoor yang dipeeroleh daari sirkulasii peripherall (Bequette et al., 199 98). Mekaniisme tersebut menghassilkan poola produkssi susu sepaanjang laktasi yang ditaandai oleh fase f naik sam mpai maksiimum (ppuncak) dann kemudiann menurun sampai berrakhirnya masa m laktassi. Contoh kurva k laaktasi standaar pada prodduksi susu kambing k ad dalah sepertii Gambar 5.. Gambar 5.. Kurva Lakttasi Kambing g Menurut Fuungsi Wilminnk Sumber: Macciotta et e al. (2008) Pada puncak lakttasi, tingkatt sintesis ko omponen susu menjadi lebih tinggii, jika tiddak diimbaangi dengann manajemeen pakan yaang baik, akan a menim mbulkan maasalah m metabolisme pada ternaak (Beqqueette et al., 1998). 1 Tinggginya prodduksi susu harus diidukung denngan pembeentukan dann koordinassi dari setiapp proses sinntesis komp ponen 16 susu merupakan interaksi yang padu antara nutrien, hormon, dan jaringan lain, sehingga setiap jaringan di dalam tubuh mendapat asupan nutrien yang seimbang. Pola adaptasi tersebut merupakan hasil dari kecukupan kuantitas pakan dan keseimbangan nutrien untuk sintesis susu (Bauman, 2000). Secara umum, sintesis komponen susu dapat dilihat pada Gambar 6. Keterangan. LPL : Lipoprotein. VLDL : very low density lipoprotein. β-HB : β-Hidroksi butirat. TGS :Trigliserida. FAS : fatty acid synthetase. ∆9 : ∆9 desaturase. ACC : Acetyl Co-A Carboxylase. TAG : Triacylgliserides. Gambar 6. Proses Pembentukan Komponen Susu Sumber : Lock et al. (2004) Lemak Susu Lemak susu (lipid) merupakan salah satu faktor yang menentukan harga susu, jumlah nutrien yang harus diberikan dan karakteristik fisik dan sensori dari susu yang diproduksi. Triasil gliserol merupakan bagian terbesar dari bahan penyusun lemak susu (98%), komponen lainnya yaitu terdiri atas monoasilgliserida, fosfolipid, kolesterol, asam lemak nonesterifikasi (Haenlein dan Wendorf, 2006). Komponen lemak umumnya mudah mengalami perubahan dengan adanya persentase perubahan pemberian hijauan (Abijaoudé et al., 2000) Lipid dalam susu berbentuk globula, pada susu kambing dan domba ukuran globula tersebut <3.5µm. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mens (1985) menunjukkan bahwa 65% ukuran globula susu kambing <3,5 µm. Karakteristik 17 lemak susu ini memiliki manfaat dari segi pencernaan dan lebih efisien dalam hal metabolism lipid dibandingkan dengan lemak susu sapi (Park, 2007). Namun, dari segi mekanisme sekresi globula lemak tidak ditemukan perbedaan antara sapi, domba, dan kambing. Komposisi lemak susu pada umunya tinggi beberapa saat setelah melahirkan dan menurun selama laktasi (Sauvant et al., 1991). Hal ini berkaitan dengan dua fenomena, yaitu efek pengenceran ketika volume susu meningkat sampai puncak laktasi, dan penurunan mobilisasi lemak menurunkan ketersediaan plasma nonesterified fatty acid (NEFA) terutama C18:0 dan C18:1, yang digunakan untuk sintesis lipid kelenjar susu. Ketersediaan NEFA juga dipengaruhi oleh keseimbangan energi pada tubuh ternak. Status nutrisi dari hewan laktasi dapat diperkirakan melalui keseimbangan energi pada ternak tersebut. Keseimbangan energi sangat bervariasi bergantung pada potensi genetik dan fase laktasi, serta kualitas dan komposisi nutrien pakan. Ketika keseimbangan energi negatif, tubuh hewan akan memobilisasi lipid yang disimpan pada jaringan adipose, dengan produk utamanya adalah NEFA. Jaringan adiposa pada ruminansia sangat kaya akan palmitat, stearat, dan asam oleat (Bas et al., 1987). Protein Susu Protein susu merupakan 95% bagian dari total nitrogen pada susu. Umumnya, persentase jumlah dari protein susu ditentukan oleh tingkatan laktasi, komposisi pakan, dan jenis hewan, keturunan, musim, dan kesehatan ambing. Protein susu tersusun atas kasein, whey, serum albumin, dan imunoglubulin.. Komposisi kasein berkisar dari 76% sampai 86% dari total protein susu, persentase tersebut umumnya tidak ditentukan oleh tingkatan laktasi dan komposisi pakan (Coulon et al.,1998). Albumin dan immunoglobulin disintesis pada sel epithelial kelenjar susu dengan asam amino sebagai prekursor utamanya. Penggunaan asam amino oleh kelenjar susu terjadi akibat adanya pengambilan asam amino dari sirkulasi peripheral oleh sel sekretori, dan kemudian terjadi sintesis protein intraselular di dalam reticulum endoplasma. Sintesis protein susu mutlak membutuhkan keberadaan ATP (sebagai hasil proses oksidasi asetat), asam amino, dan glukosa (Erasmus et al., 2001). 18 Konsumsi Pakan Konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1998) konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi hewan tersebut. Daya cerna makanan diikuti kecepatan aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan konsumsi. Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi produktivitas ternak. Semakin baik kualitas makanannya, maka makin tinggi konsumsi ransum ternak. Selain konsumsi ransum, ternak yang berkualitas baik juga ditentukan oleh fisiologi ternak tersebut (Parakkasi, 1999). Ternak ruminansia yang normal (tidak sakit atau sedang bereproduksi) mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk mencukupi hidup pokok (Siregar, 1996). Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu, tempat tinggal (kandang), palatabilitas, konsumsi nutrisi, bentuk pakan dan faktor internal yaitu, selera, status fisiologi, bobot tubuh dan produksi ternak itu sendiri (Kartadisastra, 1997). Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang essensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Mulyono dan Sarwono (2004) menyatakan bahwa konsumsi pakan kambing dinyatakan dalam bahan kering Kecernaan McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh ternak. Biasanya ini dinyatakan berdasarkan bahan kering (BK) dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998). Koefisien cerna merupakan selisih antara zat-zat makanan yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang ada pada feses. Daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, keserasian zat makanan, faktor ternak dan jumlah pakan. Faktor komposisi faktor makanan, misalnya serat 19 kasar dapat mempengaruhi daya cerna bahan organik. Menurut Tillman et al., (1998), setiap penambahan serat kasar dalam bahan makanan akan menyebabkan penurunan daya cerna bahan organik. Kecernaan zat makanan bergantung pada ternak yaitu status, produktivitas, dan fungsi fisiologis yang sedang dialami ternak (Parakkasi, 1999). 20