BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia dikenal dengan penghasil tanaman kacang-kacangan yang beraneka ragam. Salah satunya adalah koro pedang yang sudah mulai dibudidayakan di Lampung, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Koro pedang merupakan salah satu komoditas kacang-kacangan dengan produktivitas tinggi, mudah untuk dibudidayakan dan memiliki potensi sebagai sumber pangan alternative, tetapi pemanfaatannya masih relatif terbatas. Salah satu jenis koro pedang yang dapat dibudidayakan adalah koro pedang putih (Canavalia ensiformis L). Biji koro pedang putih mengandung protein cukup tinggi yaitu 32,13% bk (Murdiati et al., 2013), sehingga dapat dilakukan ekstraksi protein dari koro pedang atau isolasi protein. Dari hasil isolasi protein tersebut akan menyisakan residu yang mengandung serat dan pati. Serat dan pati (terutama pati resisten) merupakan komponen penting yang diperlukan oleh tubuh untuk menjaga kesehatan tubuh maupun saluran pencernaan makanan. Salah satu komponen yang dapat dimanfaatkan adalah pati resisten (resistant starch). Pati resisten merupakan bagian dari golongan serat pangan (Dietary Fibre). Serat pangan diketahui sebagai komponen yang tidak dapat dicerna dari tanaman yang merupakan penyusun dari dinding sel tanaman meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin (Fuentes-Zaragoza et al., 2010). Resistant 1 Starch (RS) sebagai sejumlah pati, fraksi pati, dan produk degradasi pati yang lolos/ tidak terabsorpsi di dalam usus halus individu yang sehat (Anonim, 1993). Di dalam usus besar RS akan menjadi substrat untuk fermentasi bakteri yang ada di dalam kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek (SCFA). Pati resisten adalah pati yang dihasilkan dari proses degradasi pati yang tidak dapat diserap dalam usus halus tetapi akan difermentasi di dalam usus besar. Pati resisten menjadi komponen pangan yang menarik karena mampu memberikan efek positif terhadap kesehatan manusia (Zhao and Lin, 2009). Selain itu, kesadaran konsumen terhadap pangan yang bergizi dan sehat semakin meningkat sehingga komponen pangan yang mempunyai efek fisologis yang baik dan/atau mampu mengurangi resiko penyakit kronis mulai banyak dicari. Menurut Sajilata et al. (2006), pati resisten mempunyai manfaat yang baik terhadap kesehatan tubuh yaitu mencegah penyakit kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, mengurangi pembentukan batu empedu, memiliki efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak dan meningkatkan absorbsi mineral. Selain itu, pati resisten mampu meningkatkan kualitas pangan seperti kerenyahan, warna dan rasa yang mampu meningkatkan penerimaan oleh konsumen. Dari potensi yang diketahui tersebut, maka dapat dilakukan upaya untuk peningkatan kadar pati resisten. Salah satu cara peningkatan kadar pati resisten adalah dengan perlakuan autoclaving-cooling. Struktur alami granula berbentuk semikristalin. Perlakuan pemanasan pada autoclaving cooling dua siklus dapat 2 memperbaiki susunan pada fraksi kristal granula sehingga stabilitas granula meningkat, termasuk resistansi pati terhadap aktivitas α-amilase. Selanjutnya, pada tahap pendinginan terjadi proses retrogradasi, dimana molekul pati akan mengalami reasosiasi dan dapat membentuk struktur padat yang distabilkan oleh ikatan hidrogen yang membentuk pati resisten (Haralampu, 2000). Terbentuknya pati resisten dipengaruhi oleh kadar amilosa dan panjang rantai molekulnya, suhu autoclaving, waktu penyimpanan dan suhu gelatinisasi pati (Zhao dan Lin, 2009). Pati teretrogradasi termasuk dalam golongan pati resisten (RS) tipe 3. Menurut Sajilata et al (2006), Perlakuan autoclaving-cooling mampu meningkatkan kadar pati resisten. Tepung modifikasi dua siklus autoclaving- cooling menghasilkan bihun dengan kadar pati resisten yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan bihun yang terbuat dari tepung nativenya (Yuliwardi et al., 2014). Efek autoclaving cooling berulang 6 siklus pada pati maizena, meningkatkan kadar pati resisten dari 4,1% menjadi 11,2% (Zhao dan Lin, 2009). Pati resisten paling besar terbentuk dari retrogradasi amilosa, meskipun amilopektin juga dapat teretrogradasi akan tetapi memerlukan waktu yang lama (Huang dan Rooney, 2001). Asp dan Bjorck (1992) dalam Marsono (1998) juga menyatakan makin tinggi kadar amilosa pati makin tinggi pula kadar pati resistennya. Granula pati yang kaya amilosa mempunyai kemampuan mengkristal yang lebih besar disebabkan intensifnya ikatan hidrogen (Panlasigui et al., 1991 dalam Marsono, 1998). Kandungan amilosa pada pati koro pedang adalah 33,24% (Marimuthu dan Gurumoorthi, 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan 3 peningkatan kadar pati resisten dengan perlakuan autoclaving-cooling pada koro pedang putih. 1.2. Rumusan masalah Dari latar belakang tersebut dikemukakan sebagai berikut : 1. Apakah perlakuan siklus autoclaving-cooling dapat meningkatkan kadar pati resisten pada pati koro pedang putih? 2. Apakah perlakuan siklus autoclaving-cooling dapat mengubah karakteristik sifat fisik dan kimia pati koro pedang putih? 1.3. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan siklus autoclaving-cooling yang menghasilkan kadar pati resisten tertinggi. 2. Mengetahui karakteristik sifat fisik dan kimia pada pati koro pedang putih yang telah diberi perlakuan siklus autoclaving-cooling. 1.4. Manfaat penelitian Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai peningkatan pati resisten pada koro pedang putih serta karakteristik fisik dan kimia pati koro pedang putih sehingga dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya. 4