Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Manajemen Sumberdaya Manusia
Adapun pengertian Manajemen Sumberdaya Manusia, penulis kutip dari beberapa ahli
sebagai berikut :
Mangkunegara (2005) mengemukakan bahwa Manajemen Sumberdaya Manusia adalah
suatu pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya yang ada pada individu (pegawai), pengelolaan
dan pendayagunaan tersebut dikembangkan secara maksimal didalam dunia kerja untuk mencapai
tujuan organisasi dan pengembangan individu pegawai.
Rahmawati (2007) mengemukakan bahwa Manajemen Sumberdaya Manusia adalah suatu
proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan, kegiatan-kegiatan
pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pelepasan
sumberdaya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas maka Manajemen Personalia merupakan bagian dari
manajemen yang memfokuskan kepada urusan kepegawaian atau seni mengatur dalam hal
kepegawaian dengan melaksanakan proses pencapaian, pelaksanaan dan pengontrolan yang
berhubungan dengan mendapatkan, mengembangkan, memelihara dan memanfaatkan. Ini berarti
meliputi kegiatan mulai dari penetuan, penarikan, menseleksi, menempatkan, mendidik dan
melatih, memberikan balas jasa sampai kepada memotivasi para pegawai untuk mendapatkan
kepuasan kerja sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi terhadap para pegawai dalam
pencapaian tujuan. Dalam perkataan lain manajemen personalia menyangkut usaha penciptaan
kondisi pekerjaan yang lebih baik serta hubungan kemanusiaan yang layak sehingga tujuan
perusahaan, pegawai dan masyarakat dapat terwujud.
2.1.2 Fungsi-fungsi Manajemen Sumberdaya Manusia
Penyelenggaraan manajemen sumberdaya manusia mengandung beberapa macam
kegiatan yang harus dilaksanakan untuk memperoleh gambaran kerja tentang pembagian
kerja/fungsi dan aktivitas manajemen personalia, sebagaimana pendapat beberapa ahli, yang
diantaranya :
Safaria (2004), mengemukakan bahwa fungsi-fungsi manajemen tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Managerial function
a. Planning (Perencanaan)
b. Organizing (Pengorganisasian)
c. Staffing (Penempatan)
d. Directing (Pengarahan)
e. Controlling (Pengendalian)
2. Operative function
a. Procurement (Pengadaan)
b. Development (Pengembangan)
c. Compentsation (Pengaturan Balas Jasa)
d. Integration (Integrasi)
e. Maintenance (Pemeliharaan)
f. Separation (Pemberhentian)
Penerapan dari fungsi manajerial tersebut dalam manajerial personalia dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Planning
Planning bertujuan untuk mendefinisikan tujuan dan sasaran organisasi,
mengembangkan strategi untuk mencapainya, membuat alokasi pendanaan,
menciptakan kebijakan dan prosedur.
b. Organizing
Bertujuan untuk membentuk struktur organisasi, memberikan wewenang dan
tanggung jawab serta hubungan antara struktur organisasi dan menetapkan tugastugas yang harus dikerjakan, mengelompokan beberapa pekerjaan menjadi satu
departemen yang akan berbeda dengan lainnya.
c. Staffing
Mencakup proses seleksi dan rekruitmen calon karyawan untuk posisi yang sudah
ditetapkan di dalam struktur organisasi, memberikan pengetahuan dan pelatihan agar
mereka mampu bekerja secara baik dalam tugasnya.
d. Directing
Termasuk menggunakan pengaruh dan memberikan hadiah untuk memotivasi
karyawan agar bekerja dengan maksimal dan menuju arah yang telah ditetapkan oleh
organisasi
e. Controlling
Bertujuan untuk menetapkan standar kerja, membangun system pelaporan, memonitor
aktivitas karyawan, dan melakukan tindakan korelasi jika melakukan kesalahan.
Selanjutnya penerapan dari fungsi operatif dalam manajemen personalia dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Procurement
Fungsi ini bertujuan untuk memperoleh jumlah dan berbagai karyawan yang tepat untuk
mencapai tujuan organisasi. Dalam fungsi ini tercakup penentuan tenaga kerja dan
penarikannya, seleksi dan penempatannya.
b. Development
Setelah pegawai diperoleh, maka tugas selanjutnya adalah meningkatkan pengetahuan,
keterampilan serta kecakapannya melalui pendidikan dan latihan untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan sebaik mungkin. Kegiatan ini menjadi penting sehubungan dengan
perkembangan teknologi dan makin kompleksnya tugas manajer.
c. Compensation
Fungsi ini dirumuskan sebagai pemberian balas jasa atau imbalan yang memadai dan
layak kepada karyawan dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada perusahaan.
d. Integration
Intergrasi merupakan suatu tindakan yang menyangkut penyesuaian keinginan dari para
pegawai dengan keinginan organisasi, untuk itu para manajer perlu memahami sikap dari
karyawan untuk mempertimbangkan dalam pembuatan berbagai kebijaksanaan
organisasi.
e. Maintenance
Fungsi ini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi-kondisi yang
telah ada, yang meliputi pemeliharaan kesehatan dan keselamatan kerja serta komunikasi
dengan pegawai.
f. Separation
Merupakan fungsi terakhir, jika pada fungsi operasional yang pertama, perusahaan
berusaha untuk memperoleh/menarik tenaga kerja maka fungsi terakhir untuk
meningkatkan efektivitas kerja karyawan diperlukan penyempurnaan dalam pelaksanaan
tugas, apabila tindakan-tindakan lain dalam dalam penyempurnaan tugas tidak efektif,
maka pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan jalan terakhir setelah sebelumnya
diberi surat peringatan terlebih dahulu, yang pada akhirnya perusahaan harus
mengembalikannya lagi kedalam kondisi yang sebaik mungkin.
2.2
2.2.1
Gaya Kepemimpinan
Pengertian Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan
tingkah laku dari seorang pemimpin yang mengangkut kemampuannya dalam memimpin.
Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu.
Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya kepemimpinan harus terlebih dahulu
memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, mengerti kekuatan dan kelemahan bawahannya,
dan mengerti bagaimana cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan
yang mereka miliki. Menurut Husnan (2002) gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang
dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Selanjutnya menurut Hasibuan (2007) gaya kepemimpinan adalah suatu
cara pimpinan untuk mempengaruhi bawahannya, agar mereka mau bekerja sama dan bekerja
secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan definisi-definisi para ahli tersebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa secara garis besar gaya kepemimpinan adalah suatu pola tingkah laku yang digunakan
oleh seseorang untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
2.2.2 Kepemimpinan Transformasional
Bass, 1999 (dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007) mengemukakan pemimpin
transformasional menyangkut bagaimana mendorong orang lain untuk berkembang dan
menghasilkan performa melebihi standar yang diharapkan. Lebih lanjut lagi menurut Benjamin
dan Flyinn, 2006 (dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007) pemimpin yang memiliki gaya
transformasional mampu menginspirasi orang lain untuk melihat masa depan dengan optimis,
memproyeksikan visi yang ideal, dan mampu mengkomunikasikan bahwa visi tersebut dapat
dicapai.
Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh bawahannya dan mampu
mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan,
bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan. Humphreys, 2002 (dalam Nugraheny, 2009)
menegaskan bahwa hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks transformasional
lebih dari sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah
menyentuh sistem nilai.
2.2.3 Sifat-sifat Kepemimpinan
Menurut Husnan (1997) mengemukakan lima sifat kepemimpinan adalah sebagai berikut
:
1. Keinginan untuk menerima tanggung jawab
Seorang pemimpin menerima kewajiban untuk mencapai suatu tujuan, berarti dia
bersedia untuk bertanggung jawab kepada pimpinannya terhadap apa yang dilakukan
bawahannya. Pemimpin harus mampu mengatasi bawahannya, mengatasi tekanan
kelompok informal, bahkan kalau perlu juga dari organisasi buruh.
2. Kemampuan untuk bias “persceptive”
Perception (persepsi) menunjukkan kemampuan untuk mengamati atau menemukan
kenyataan dari suatu lingkungan. Pemimpin haruslah mengenal tujuan perusahaannya
sehingga mereka bias bekerja untuk membantu mencapai tujuan tersebut.
3. Kemampuan untuk bersikap obyektif
Obyeksitas adalah kemampuan untuk melihat secara rasional, dan tidak bias.
Obyeksitas merupakan perluasan dari kemampuan “perceptive”. Obyeksitas
membantu pimpinan untuk meminimumkan faktor-faktor emosional dan pribadi yang
mengaburkan realitas.
4. Kemampuan untuk menentukan prioritas
Pemimpin haruslah memiliki kemampuan untuk memilih/menentukan mana yang
penting dan mana yang tidak. Kemampuan ini sangat diperlukan karena pada
kenyataannya masalah-masalah yang harus dipecahkan bukanlah dating satu per satu,
tetapi bersamaan dan berkaitan antara satu dengan yang lain.
5. Kemampuan untuk berkomunikasi
Pemimpin adalah orang yang bekerja dengan bantuan orang lain. Karena itu
pemberian perintah, penyampaian informasi kepada orang lain mutlak perlu dikuasai.
2.2.4 Indikator kepemimpinan transformasional
Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Bass, 1985 : Rafferty & Griftin, 2004
(dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007) menemukan lima sub dimensi kepemimpinan
transformasional yang terdiri dari : Vision, inspirational communication, suportive leadership,
intellectual stimulation, dan personal recognition.
House (dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007) Vision didefinisikan sebagai suatu
idealisme bawah sadar yang mengekspresikan shared value, yang pada dasarnya merupakan
idiologi dalam organisasi. Inspirational Communication didefinisikan sebagai tindakan atau
kekuatan untuk menggerakan intelektual atau emosi bawahan (Downtown, 1973). Supportive
leadership didefinisikan sebagai perilaku yang diarahkan kepada kepuasan atas kebutuhan
preferensi bawahan, penciptaan lingkungan kerja yang nyaman, akrab, aman, dan penuh
dukungan psikologis (House, 1996). Intellectual stimulation didefinisikan sebagai sesuatu yang
ditujukan untuk minat, kesadaran, kewaspadaan, bawahan, masalah-masalah dalam organisasi,
dan untuk meningkatkan kemampuan bawahan untuk memikirkan masalah-masalah tersebut
dengan cara pandang yang baru (Bass, 1985). Personal recognition didefinisikan sebagai
pemberian reward dalam bentuk pujian dan pengakuan terbuka untuk usaha yang dilakukan atas
pencapaian sasaran tertentu (Rafferty & Griffin, 2004).
2.3
Kepuasan kerja
2.3.1 Pengertian kepuasan kerja
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan ekspresi bagaimana perasaan seseorang atas
pekerjaan dan berbagai aspek lain dari pekerjaannya. Dengan kata lain, kepuasan kerja
merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaannya (Brahmana dan Christina, 2008).
Menurut Hariandja (2005) kepuasan kerja adalah sejauh mana individu merasakan secara
positif atau negative berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya.
Pendapat lain adalah dari Mangkunegara (2004) yang mengemukakan bahwa kepuasan
kerja berhubungan dengan variabel-variabel, diantaranya :

Turnover
Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah.
Sedangkan pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnover lebih tinggi.

Tingkat ketidakhadiran (absen) kerja
Pegawai-pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran (absen)
tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan
subjektif.

Umur
Ada kecendrungan pegawai yang berumur tua lebih merasa puas daripada
pegawai yang berumur relative muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang
lebih tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan
nya.

Tingkat pekerjaan
Pegawai-pegawai yang menduduki tingkat jabatan yang lebih tinggi cenderung
lebih puas daripada pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih
rendah.

Ukuran organisasi perusahaan
Ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan pegawai. Hal ini
karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, dan
partisipasi pegawai.
2.3.2
Indikator kepuasan kerja
Celluci dan De Vries, 1978 (dalam Brahmana dan Christina, 2008) merumuskan
dimensi-dimensi kepuasan kerja dalam 5 dimensi sebagai berikut :
1. Kepuasan dengan gaji
2. Kepuasan dengan promosi.
3. Kepuasan dengan rekan kerja.
4. Kepuasan dengan penyelia.
5. Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri.
2.4
Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Kepuasan Kerja
Tiap-tiap pimpinan mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Menurut
Benyamin dan Flyin, 2006 (dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007) pemimpin dapat
mempengaruhi perilaku bawahan melalui gaya atau pendekatan yang digunakan untuk
mengelola orang. Dengan melalui gaya tersebut, pemimpin dapat menerapkan segala
peraturan dan kebijakan organisasi serta melimpahkan tugas dan tanggung jawab dengan
tepat. Hal ini sejalan dengan usaha untuk menumbuhkan komitemen organisasi dari diri
karyawan. Sehingga pemimpin nantinya dapat meningkatkan kepuasan karyawan terhadap
pekerjaannya. Gaya dan sikap kepemimpinan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja (Ostroff, 1992). Selanjutnya menurut Miller et al (1991) menunjukan bahwa
gaya kepemimpinan mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja para
pegawai.
Bass dalam Marselius dan Rita (2004) menyatakan bahwa salah satu teori yang
menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan
kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan transaksional. Gaya
kepemimpininan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap,
persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin,
motivasi dan kepuasan kerja serta mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi
dalam suatu organisasi.
Benyamin dan Flyinn, 2006 (dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007) mengungkapkan
dalam masa dua dekade terakhir ini, ini ada dua gaya kepemimpinan yang menjadi perhatian
para pakar organisasi, yaitu gaya kepemimpinan transaksional dan transformasiona. Menurut
Benyamin & Flyinn dan Judge & Piccolo (dalam Brahmana dan Sofyandi, 2007)
transformasional leadership lebih efektif dibanding dengan transaksional leadership. Bass dan
Avolio (1990) menunjukan bahwa kepemimpinan transformasional mendekati persepsi bawahan
atas kepemimpinan yang ideal.
Selain itu, Rokhman dan Harsono (2002) menyimpulkan bahwa faktor-faktor
kepemimpinan transformasional mampu memberikan penjelasan tambahan variasi dalam
kepuasan bawahan sebesar 19,7 percent lebih dari yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor
kepemimpinan. Lebih lanjut lagi Brahmana dan Sofyandi (2007) menemukan bahwa terdapat
korelasi yang sangat kuat antara Gaya kepemimpinan transformasional dengan persepsi bawahan
atas efektivitas pimpinannya dan kepuasan kerja bawahannya.
Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu. Setipa individu memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan system nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Ini
disebabkan oleh adanya perbedaan pada dirinya dan masing-masing individu. Semakin banyak
aspek-aspek dalam pekerjaan sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi
tingkat kepuasan dirasakan dan sebaliknya. Kepuasan kerja dapat ditingkatkan melalui perhatian
dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa
dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.
Download