BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kisah sang penakluk wilayah Thespiae di Boetia yang dianugerahi ketampanan, Narcissus, Narkissos atau Sang Pemuja Diri Sendiri. Beberapa versi kisah Narcissus salah satunya oleh Ovid dalam 'Echo'. Narcissus yang sedang berburu kijang di hutan merasa haus dan mengambil air di sebuah sungai, namun ia tak bisa menyentuh air itu karena takut merusak bayangan yang ada pada permukaan air. Narcissus meninggal dengan memandangi bayangannya sendiri dan tumbuhlah bunga Narcissus di tempat ia meninggal. Namun Pausanias (seorang ahli geografi dan traveller dari Mesir, hidup pada abad kedua Masehi) menolak kisah seseorang yang tidak mampu membedakan manusia nyata dan bayangan, menurutnya Narcissus jatuh cinta pada saudara kembar perempuannya, yang mengenakan pakaian sama dengan Narcissus ketika berburu di hutan. Ketika saudara kembarnya meninggal, Narcissus sangat terpukul dan menganggap bayangan yang ia lihat di permukaan air itu adalah saudara kembarnya. Terkadang kita memandang narsisme merupakan hal yang biasa dan tidak perlu mendapatkan penanganan. Hal ini mungkin ada benarnya bila penderita narsis tersebut belum tergolong ke dalam tingkat yang parah atau belum mengganggu kenyamanan orang lain. Namun, ada kalanya tanpa disadari penyimpangan seperti narsis tersebut mengalami perkembangan ke arah yang lebih buruk, dan dianggap sudah mengganggu baik bagi orang lain maupun bagi si penderita itu sendiri. Pada saat seperti itulah penderita narsis perlu segera ditangani dan diatasi. Kaplan dan Saddock mendefinisikan kepribadian sebagai totalitas sifat emosional dan perilaku yang menandai kehidupan seseorang dari hari ke hari dalam kondisi yang biasanya; kepribadian relatif stabil dan dapat diramalkan. 1 Sedangkan gangguan kepribadian adalah suatu varian dari sifat karakter tersebut yang diluar rentang yang ditemukan pada sebagian besar orang. Hanya jika sifat kepribadian tidak fleksibel dan maladaptif dan dapat menyebabkan gangguan fungsional yang bermakna atau penderitaan subjektif maka dimasukkan sebagai kelas gangguan kepribadian (1997 : 242). Ketika seorang penderita narsis sudah terjebak dalam pemikiran bahwa segalanya harus sempurna (perfect) dan semuanya tidak boleh ada yang salah, maka hal tersebut bisa menimbulkan masalah bagi kehidupan dan lingkungan sekitarnya. Dampaknya hubungan di sekolah, tempat kerja, atau hubunganhubungan interaksi yang lain menjadi sangat terganggu. Jika dibiarkan berlarut-larut, hal ini tentu akan membuat si penderita menjadi tidak bahagia dan semakin bingung dengan segala bentuk emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Orang-orang di sekitar nya pun pastinya tidak akan merasa bahagia dan nyaman. Akibat terburuknya bila si penderita dijauhi, maka si penderita akan merasa kebutuhan interaksinya dengan manusia lain tidak terpenuhi. Pada saat seperti inilah si penderita narsis perlu mendapatkan pengobatan melalui penanganan secara psikologis. Remaja yang masih mencari jati diri biasanya memang mengalami gejalgejala seperti narsisme. Yang menjadi tidak wajar adalah apabila gejala-gejala narsisme tersebut terus melekat dalam diri sampai dewasa. Hal ini lah yang nantinya akan berkembang menjadi suatu kelainan kepribadian. B. Tujuan Penulisan Tujuan Umum: Mengidentifikasi Perilaku narsistik Tujuan khusus: 1. Menjelaskan definisi narsistik 2. Menjelaskan penyebab gangguan kepribadian narsistik 2 3. Menjelaskan pendekatan teori yang berhubungan dengan kasus narsistik 4. Menjelaskan tanda dan gejala gangguan kepribadian narsistik 5. Menjelaskan onset terjadinya perilaku narsistik 6. Menjelaskan prevalensi terjadinya perilaku narsistik 7. Menjelaskan terapi terhadap perilaku narsistik 8. Menjelaskan prevensi terhadap perilaku narsistik 9. Menganalisa kasus yang berkaitan dengan perilaku narsistik C. Rumusan Masalah 1. Apakah definisi narsistik? 2. Apakah penyebab gangguan kepribadian narsistik? 3. Bagaimankah pendekatan teori yang berhubungan dengan kasus narsistik? 4. Apasajakah tanda dan gejala gangguan kepribadian narsistik? 5. Bagaimanakah onset terjadinya perilaku narsistik? 6. Bagaimanakah prevalensi terjadinya perilaku narsistik? 7. Bagaimanakah terapi terhadap perilaku narsistik? 8. Bagaimanakah prevensi terhadap perilaku narsistik? 9. Bagaimanakh contoh analisa kasus yang berkaitan dengan perilaku narsistik? 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Asal Narcissistic Personality Disorder (NPD) sebagai kategori diagnostik lebih sulit untuk membangun. Ketentuan seperti neurosis narsis, schizophrenia dan psikosis sering telah digunakan secara bergantian, mencerminkan awal keterkaitan erat antara narsisme dan penyakit ini. Dalam teorinya tentang narsistik dan autoerotic regresi. Freud menjelaskan gejala skizofrenia sebagai libidinal penarikan dari objek dunia dan regresi ke tahap narsistik. Selain itu, pengamatan bahwa kemampuan untuk mengembangkan transferensi klasik selama psikoanalisis tidak hadir pada pasien didiagnosis dengan narsisistik neurosis lebih lanjut narsisisme terhubung ke psikosis dan skizofrenia. Selain itu, narsisisme dikaitkan dengan paranoia dan bunuh diri. Baru akhir 1960-an adalah istilah struktur kepribadian narsistik, memperkenalkan oleh Kernberg, dan gangguan kepribadian narsistik, diusulkan oleh Kohut, yang digunakan untuk menggambarkan fungsi jangka panjang characterological terorganisir didefinisikan sebagai gangguan kepribadian. Berdasarkan formulasi ulang radikal teori psikoanalitik dan teknik, baik Kohut dan Kernberg didefinisikan NPD dari segi struktur patologis-diri, pengembangan transferensi atipikal dan strategi untuk perawatan psikoanalitik. Gangguan kepribadian narsissistik (narcissistic personality disorder) atau cinta pada diri sendiri digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa kepentingan diri yang melambung (gradiositas) dan dipenuhi khayalan-khayalan sukses bahkan saat prestasi mereka biasa saja, jatuh cinta pada dirinya sendiri karena merasa mempunyai diri yang unik, selalu mencari pujian dan perhatian, serta tidak peka terhadap kebutuhan orang lain, malahan justru seringkali mengeksplorasinya. (Atkinson dkk., 1992). Dan mereka juga beranggapan bahwa dirinya spesial dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh karena itu, mereka sangat sulit atau tidak dapat menerima kritik dari orang lain. 4 Mereka selalu ingin mengerjakan sesuatu sesuai dengan cara yang sudah mereka tentukan dan seringkali ambisius serta mencari ketenaran. Sikap mereka ini mengakibatkan hubungan yang mereka miliki biasanya rentan (mudah pecah) dan mereka dapat membuat orang lain sangat marah karena penolakan mereka untuk mengikuti aturan yang telah ada. Mereka juga tidak mampu untuk menampilkan empati, kalaupun mereka memberikan empati atau simpati, biasanya mereka memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri, atau dengan kata lain mereka bersifat self-absorbed. Kaplan dan Saddock (1997) menyebutkan, bahwa orang dengan gangguan kepribadian narsistik mungkin memiliki perasaan kebesaran akan pentingnya dirinya. Mereka menganggap dirinya sendiri sebagai orang yang khusus dan mengharapkan terapi yang khusus. Mereka menanggapi kritik secara buruk dan mungkin menjadi marah sekali jika ada orang yang berani mengkritik mereka, atau mereka mungkin tampak sama sekali acuh tak acuh terhadap kritik. Perasaan kebesaran nama mereka adalah mencolok. Persahabatan mereka adalah rapuh, dan mereka dapat menyebabkan orang lain geram karena mereka menolak untuk mematuhi aturan perilaku konvensional. Mereka tidak mampu menunjukan empati, dan mereka berpura-pura simpati hanya untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Memanfaatkan orang lain adalah sering ditemukan. Pasien memiliki harga diri yang rapuh dan rentan terhadap depresi. Kesulitan interpersonal, penolakan, kehilangan, dan masalah pekerjaan adalah stres-stres yang sering dihasilkan oleh orang Narsistik karena perilakunya (stres-stres yang tidak mampu dihadapi oleh mereka). Pola pervasif kebesaran (dalam khayalan atau perilaku), membutuhkan kebanggaan, dan tidak ada empati, dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukan dibawah ini : a. Memiliki rasa kepentingan diri yang besar (misalnya, pencapaian dan bakat yang berlebihan, berharap terkenal sebagai superior tanpa usaha yang sepadan). b. Preokupasi dengan khayalan keberhasilan, kecantikan, atau cinta ideal yang tidak terbatas. 5 kekuatan, kecerdasan, c. Yakin bahwa ia adalah “khusus” dan unik serta dapat dimengerti hanya oleh, atau harus berhubungan dengan, orang lain (atau institusi) yang khusus atau memiliki status tinggi. d. Membutuhkan kebanggaan yang berlebihan. e. Memiliki perasaan bernama besar, yaitu mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri. f. Eksploitatif secara interpersonal, yaitu mengenali atau mengetahui perasaan dan kebutuhan orang lain. g. Tidak memiliki empati; tidak mau mengenali atau mengetahui perasaan dan kebutuhan orang lain. h. Sering merasa iri kepada orang lain atau yakin bahwa orang lain iri kepada dirinya. i. Menunjukan perilaku atau sikap yang congkak dan sombong. Narcissistic Personality Disoder (NPD) adalah suatu situasi seseorang yang ia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata adalah tubuhnya sendiri, kebutuhan, perasaan, pikirannya, benda, dan orang-orang yang masih memiliki hubungan. Disertai dengan obsesi dan hasrat yang kuat dalam mempertahankan miliknya tersebut. Narsis menurut ilmu psikologi adalah suatu gangguan psikologis. Menurut Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, Abnormal Psychology (2000), mengatakan bahwa seseorang yang narcissistic adalah orang yang memandang dirinya secara berlebihan. Senang menyombongkan diri dan menerima pujian. Dunianya cenderung individual dan kurang berempati terhadapap orang lain. Seorang narsisme akan memperhatikan orang itu jika memberikan manfaat yang berarti bagi narsisme. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM/Buku petunjuk Statistik dan Diagnosa dari Penyakit Jiwa) memberi definisi dari narcissistic personality disorder (NPD/Penyakit kepribadian Narsisistik) sebagai “sebuah pola penyebaran perasaan hebat (dalam khayalan atau tingkah laku), kebutuhan untuk dikagumi atau dipuja-puja dan kurangnya empati, biasanya dimulai dari awal masa dewasa dan ada dalam konteks bermacam-macam.” 6 Gangguan kepribadian borderline, histrionik, dan antisosial seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian narsistik. Hal ini mempersulit terapis untuk membedakan keempat gangguan tersebut. Individu dengan kepribadian narsisitik biasanya lebih rendah tingkat kecemasannya bila dibandingkan dengan individu borderline. Selain itu, kecenderungan untuk bunuh diri pun prevalensinya lebih besar pada individu borderline ketimbang narsisitik. Pada kepribadian antisosial, mereka biasanya memiliki sejarah tingkah laku yang impulsif berkaitan dengan penggunaan alkohol dan zat-zat terlarang, serta seringkali mereka memiliki masalah dengan hukum. Sedangkan pada individu histrionik, mereka memiliki kecenderungan yang sama dengan individu narsisistik, terutama dalam hal hubungan interpersonal yang manipulatif dan tingkah laku memamerkan dan menunjukkan kelebihan yang mereka miliki. Histrionic adalah istilah yang digunakan DSM-III dan IV kepribadian histeris (HyP) atau (seperti kondisi ini disebut dalam literatur psikoanalitik) karakter histeris. Gangguan kepribadian histrionik sebelumnya dikenal disebut kepribadian histerikal, ditegakkan bagi orang-orang yang selalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik yang dapat menarik perhatian orang kepada dirinya, misalnya pakaian yang mencolok, tata rias, atau warna rambut. Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu mempedulikan daya tarik fisik mereka, dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa mempedulikan kepantasan serta mudah dipengaruhi orang lain. Gangguan ini dijelaskan berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Perilaku emosional dan ketidaksenonohan secara seksual didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya yaitu self-esteem yang rendah. Ciri khas HyP itu (pada wanita) sifat genit dalam kiprah, pandangannya dan pidato, dipasangkan dengan apprehensiveness. Bersama dengan sugesti dan cepat perubahan suasana hati dan perilaku. 7 Disebut dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di perbatasan antara gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama gangguan ini adalah impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang lain dan memiliki mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya, sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang singkat. Individu yang mengalami gangguan borderline memiliki karakter argumentatif, mudah tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka. Perilaku mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros, aktivitas seksual yang tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan berlebihan, berpotensi merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada dalam kesendirian, memiliki rasa takut diabaikan, dan menuntut perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan perasaan hampa yang kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri. Gangguan kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa awal, dengan prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Kesamaan antara NPD dan BPD termasuk kepekaan terhadap kritik, ragefulness. Holdwick et al. menemukan bahwa NPD saham dengan BPD mempengaruhi dysregulation, impulsivitas dan hubungan tidak stabil. Namun, upaya menemukan relativeness konseptual antara NPD dan BPD sebenarnya menghasilkan baik empiris dan klinis keterpisahan mereka bukti yang mendukung. Diskriminator yang paling penting adalah diri meningkat-konsep NPD serta berbagai manifestasi kebesaran, termasuk dilebih-lebihkan bakat, fantasi megah, rasa keunikan. Akhtar mengidentifikasi perbedaan struktural dan fungsional berikut. Sementara NPD memiliki lebih kohesif diri, dengan kecenderungan lebih sedikit fragmentasi regresif, BPD memiliki lebih kurang terintegrasi diri, dengan risiko untuk kejadian-negara seperti psikotik. difusi identitas adalah terwujud dalam BPD, tapi bertopeng di NPD. Karena semakin tinggi tingkat self-kohesif, NPD dikaitkan dengan toleransi yang lebih besar untuk kesendirian, dan merekam bekerja lebih baik, impuls kontrol dan toleransi kecemasan, sementara BPD pasien, karena mereka tingkat yang lebih rendah dari 8 kekompakan, lebih menunjukkan diri-mutilasi dan gigih marah. Orang dengan NPD yang diam-diam rasa malu-dikuasai dan tidak aman, dan BPD pasien telah mengalami difusi identitas dan perasaan rendah diri. Sementara pasien narsisistik kurang terang-terangan merusak diri sendiri dan kurang sibuk dengan ketergantungan dan kekhawatiran ditinggalkan, mereka menunjukkan lebih banyak fitur pasif-agresif, dan kesombongan yang lebih besar dan keangkuhan. Lalu apakah narsis sama dengan “percaya diri. Seseorang yang narsis memposisikan dirinya sebagai objek, sementara seseorang yang percaya diri memposisikan dirinya sebagai subjek. Seorang yang percaya diri tidak terlalu risau dengan ataupun tanpa pujian orang lain karena kelebihan fisik yang dimiliki, dirasakan sebagai anugerah Tuhan yang selalu disyukuri. Seseorang yang percaya diri lebih fokus kepada “kompetensi diri” ketimbang penampilan fisik. Goleman dalam Abnormal Psychology (Rathus dan Nevid-2000) menjelaskan perbedaan percaya diri yang normal dan narsisme yang membahayakan. Kita yang percaya diri menghargai pujian, tetapi tidak menganggap itu sebagai keharusan demi menjaga self esteem. Percaya diri sehat juga tercermin dari keterbukaan terhadap kritik dan hanya mengalami kekecewaan yang sebentar kalau dikritik. Meskipun tidak dapat perlakuan istimewa, orang yang percaya diri tetap fine dan tidak kecewa seperti orang narsis. Kadar percaya diri kita juga sehat ketika kita masih bisa mengerti dan sensitif pada perasaan orang lain. Setidaknya ada dua subkategori utama narsisisme, overt dan covert narsisisme adalah istilah umum historis. Achievment (overt) dan Attention (covert) narsisisme mungkin lebih tepat meskipun deskriptor. Achievment (overt) seperti yang diharapkan lebih fokus pada manfaat eksternal prestasi (banyak uang, pujian publik, monumen untuk menghormati mereka). Mereka cenderung menjadi emosional yang stabil sehingga membuat mereka lebih mampu berhasil dalam suasana profesional. Mereka juga lebih terbuka tentang superioritas mereka. Dengan mencapai 'hal-hal besar ", mereka akan mendapatkan umpan balik mengisi kekosongan eksternal yang mereka butuhkan. 9 Attention (covert) cenderung kurang emosional stabil, membuat mereka kurang mampu berkembang secara profesional. Mereka langsung fokus pada perhatian sebagai cara untuk mengisi kekosongan mereka. Hubungan dan temanteman dan apa saja yang akan memperkuat kemampuan mereka untuk memiliki hubungan dan teman-teman adalah tujuan mereka. Sama seperti narsisisme SelfActualism spektrum ada, ada narsisme Achievment / Attention spektrum narsisisme. Seorang narsisis tidak harus hanya satu atau yang lain, meskipun mereka cenderung mempertahankan preferensi yang membuat mereka lebih pada satu sisi atau yang lain. Mungkin ada pergeseran preferensi dalam berbagai tahap kehidupan mereka. Dalam kasus apapun, Pria lebih cenderung Achievment (overt) dan Wanita lebih cenderung Attention Narcissism. Dalam kajian Alexader Lowen, seperti ditulisnya dalam Narcissism, Denial of The True Self (1997), ada lima tipe narsisme itu, yaitu: 1. Phallic Narcissistic character: Orang dengan karakter Phallic Narcissitic menginvestasikan energinya untuk merayu dan menarik perhatian. Cirinya antara lain: arogan, elastik, menunjukkan kehebatan, dan seringkali sangat memukau. 2. Narcissistic character. Orang dengan karakter narsis, dikatakan punya image hebat dan dasyat tentang dirinya. Meminjam istilah Lowen, they are not just better, they are the best; they are not just attractive, they are the most attractive. Dalam kenyataannya, ada kasus-kasus di mana orang berkarakter narsis ini memang sukses, top, popular dan berprestasi karena dia mampu "bermain dengan baik" di panggung kehidupan. Tapi biar bagaimana pun juga, tetap saja image -nya lebih besar dari orang-nya. 3. Borderline personality. Orang ini tidak nyata-nyata mendemonstrasikan kesuksesan, kehebatan, yang bisa saja didukung oleh prestasi riil; karena kekuatan ego nya lebih lemah, malah kerapkali di dominasi rasa minder, merasa rapuh, tidak mampu, di liputi keraguan yang besar. Perasaan hebat dan spesial nya di simpan di dalam diri, jadi seperti memutar dan menonton film sendiri. 10 4. Psychopathic personality: Orang dengan tipe ini dikatakan extreme lack of human fellow feeling - atau bahasa gaulnya no heart feeling, karena bisa mencuri, berbohong, menipu, merusak, bahkan membunuh dengan santai, tanpa dibebani rasa bersalah, atau takut jika ketahuan. 5. Paranoid personality. Orang dengan tipe ini merasa dirinya begitu istimewa sampai-sampai tidak hanya menjadi pusat perhatian, plus jadi sasaran konspirasi orang-orang yang tidak suka padanya. B. Penyebab Gangguan Kepribadian Narsistik Penyebab gangguan kepribadian narsistik dapat dipandang dari segi psikoanalisa. Orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki perasaan yang luar biasa akan pentingnya dirinya. Namun dipandang dari psikoanalisa, karakteristik tersbut merupakan topeng bagi self-esteem yang rapuh. Menurut Heinz Kohut, self muncul pada awal kehidupan sebagai struktur bipolar dengan immature grandiosity pada satu sisi dan overidealisasi yang bersifat dependen di sisi lain. Kegagalan mengembangkan self-esteem yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi bernilai sebagai alat untuk meningkatkan self-esteem orang tua. Dalam Hunningstam (2005) menunjukkan bahwa patologi narsisme disebabkan oleh faktor genetik dan asal-usul di awal perkembangan. Walaupun masih belum jelas penyebab pada masa kanak-kanak dan menjadi lebih terangterangan terlihat pada individu dewasa ketika menghadap orang lain dan mengerjakan tugas dengan cara yang lebih narsistik. Hal ini sejalan dengan dua penelitian yang menunjukkan tentang pengaruh genetik pada perkembangan gangguan kepribadian, termasuk gangguan kepribadian narsisitik. Jang, Livesley, Vernon, dan Jackson (1996) dalam penelitiannya terhadap 483 pasangan kembar menggunakan skala dimensi pengukuran masalah kepribadian (DAPP-DQ), menemukan rata-rata 45% kelahiran yang menangkap dimensi dasar narsisme. 11 Sebuah studi lebih baru terhadap lebih dari 200 anak kembar (Torgersen dkk., 2000) menunjukkan bahwa gen dapat menjelaskan hampir 80% dari variasi dalam ciri gangguan kepribadian narsistik. Sementara arti dan konsekuensi dari temuan ini masih menunggu penelitian lebih lanjut. Kita semua mengetahui bahwa kekhususan penting untuk perkembangan dari gangguan kepribadian narsistik diwariskan berbagai macam variasi dalam hal hipersensitivitas, dorongan kuat agresif, toleransi yang rendah terhadap kecemasan atau frustasi, dan kelemahan dalam mempengaruhi regulasi diri (Schore, 1994 ). Berkowitz, Shapiro, Zinner, dan Shapiro (1974b) mencatat bahwa sistem keluarga remaja narsisistik menunjukkan dinamika tertentu di sekitar harapan orang tua dan peran atribusi. Mitchell JJ dalam bukunya, The Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada remaja, yaitu mengharapkan perlakuan khusus, kurang rasa empati terhadap orang lain, sulit memberikan, mengekspresikan kasih sayang terhadap orang lain, kurang memberikan kontrol moral yang kuat, kurang bisa berpikir rasional. Kedua aspek inilah yang paling gawat memberikan efek narsisme. Namun, kesalahan asuh orang tua juga menjadi penyebab terbesar adanya penyakit narsisistik ini dalam seorang anak. Contohnya, orang tua yang serba membolehkan yang memberi pujian berlebih-lebihan pada sang anak, terlalu menurutkan dan memanjakan sang anak, gagal menerapkan disiplin, dan mengidealisasi si anak menjadi faktor-faktornya. Hasilnya, orang yang narsis secara umum merasa tidak siap untuk masa dewasa, setelah dibesarkan dalam pandangan hidup yang tidak realistik. Sebaliknya, seorang anak yang tidak menerima dukungan dan dorongan yang cukup bisa juga mengidap penyakit narsisistik. Hal itu dipercaya disebabkan oleh kegagalan yang berulang-ulang dan serius pada pihak Objek Primer sang anak (orang tua atau pengasuh). Jon Mardi Horowitz, penulis dari Stress Response Syndromes, menjelaskan: “Ketika kepuasan narsisistik yang jadi kebiasaan karena seringnya dipuji, diberikan perlakuan khusus dan mengagumi diri sendiri terancam, hasilnya mungkin adalah depresi, sedih tanpa alasan, gelisah, malu, merusak diri sendiri atau kemarahan yang diarahkan pada orang yang bisa jadi sasaran kesalahan atas 12 situasi tersebut. Anak-anak bisa belajar untuk menghindari kondisi emosi menyakitkan ini dengan belajar memproses informasi narsisistik ini.” C. Pendekatan Teori 1. Pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dalam salah satu naskah publikasinya tahub 1914 secara khusus menyebutkan narsisme yang diberi judul, narsime: sebuah pengantar. a. Narsisme primer. Freud menyebutkan bahwa cinta-diri eksklusif mungkin abnormal, tidak sama seperti cara berpikir sebelumnya, dan bahkan mungkin menjadi komponen umum dalam jiwa manusia. Dia berargumen bahwa narsisme "adalah melengkapi libido ke egoisme dari naluri mempertahankan diri," atau lebih sederhananya, merupakan keinginan dan energi yang mendorong naluri seseorang untuk bertahan hidup. Ia menyebut ini sebagai narsisisme primer. b. Narsisme sekunder. Menurut Freud, narsisisme sekunder adalah kondisi patologis yang terjadi ketika libido menarik diri dari objek di luar diri. Freud lebih lanjut menyatakan bahwa ini adalah bentuk ekstrim narsisme yang merupakan bagian dari semua orang. 2. Pendekatan interpersonal Menurut interpersonalists, narsisisme adalah suatu cara untuk melindungi diri secara narsis dari sebuah kerapuhan dan luka antarpribadi. 3. Sudut pandang biosocial learning Sebagai bagian dari pendekatan menyeluruh dan sistematis teori kepribadian dan psikopatologi didasarkan pada perspektif pembelajaran biosocial, Millon (1981, 1996, 1998) menguraikan karakteristik matriks kepribadian narsisistik klinis yang ditangkap dalam fungsi beberapa 13 domain, baik secara jelas (ekspresif, kognitif, dan interpersonal), atau pun tersembunyi (citra diri dan fungsi defensif). Dipengaruhi oleh deskripsi Freud dari jenis dan libidinal narsisistik, kemudian konseptualisasi W. Reich dari tahap gangguan phalik-narsisistik, Millon secara khusus menyoroti peningkatan harga diri dan kekaguman dalam diri individuindividu narsisistik; mereka percaya diri, angkuh, dan gaya interpersonal yang eksploitatif; ekspansif fungsi kognitif mereka dan kecenderungan mereka untuk merasionalisasi dan kembali ke kompensasi dan kenyamanan dunia fantasi, di saat berhadapan dengan kegagalan atau hambatan. 4. Sudut pandang kognitif Dari perspektif kognitif, Beck, Freeman, dan rekan (1990) mengusulkan bahwa gangguan kepribadian narsistik harus dipahami dalam pengertian disfungsional skema tentang diri, dunia, dan masa depan. Skema semacam itu mencerminkan keyakinan yang berkembang selama masa kanak-kanak dan bertahan sepanjang hidup, mempengaruhi pandangan, reaksi, dan perilaku dalam hubungan, baik kepada orang lain dan diri sendiri. D. Tanda dan Gejala Gangguan Kepribadian Narsistik Tanda-tanda narsis dari Diagnostics and Statistics Manual, Fourth Edition- Text Revision (2000) , orang narsis merasa dirinya sangat penting dan ingin sekali dikenal oleh orang lain karena kelebihannya. Pengidap narsis juga yakin kalau dirinya unik dan istimewa. Gejala lain, mereka selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Mereka kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain karena yang ada dalam pikirannya cuma diri sendiri. Ditambah lagi, adanya rasa percaya orang lain itu berpikiran sama dengan dirinya. Orang narsis juga sensitif sekali kalau dikritik. Kritikan kecil bisa berarti sangat besar buat mereka. 14 Edisi ketiga dan keempat dari Diagnostic and Statistic Manual (DSM) tahun 1980 dan 1994 dan European ICD-10 menjelaskan NPD dalam bahasa yang identik: 'Sebuah pola penyebaran perasaan hebat (dalam khayalan atau tingkah laku), kebutuhan utk dikagumi atau dipuja-puja dan kurangnya empati, biasanya dimulai dari awal masa dewasa dan ada dalam konteks bermacam-macam. Lima (atau lebih) dari sembilan kriteria berikut harus ada bagi penderita narcissitic: 1. Merasa hebat dan penting (misal, membesar-besarkan prestasi dan bakat hingga terdengar mustahil/bohong, menuntut dikenali sebagai seorang yang superior/lebih tinggi meski tanpa prestasi yang pantas). 2. Terobsesi oleh fantasi-fantasi sukses yang tidak ada batasnya, ketenaran, kekuatan menakutkan atau maha, kepintaran yang tak ada tandingannya (narsisis cerebral), keindahan tubuh atau kemampuan seks (narsisis somatic) atau cinta/birahi yang menuntuk taklukan, kekal dan ideal. 3. Benar-benar merasa yakin bahwa dia itu unik dan spesial, hanya dapat dimengerti oleh, hanya mesti diperlakukan dengan, atau dihubunghubungkan dengan, orang (atau institusi) lain yang juga special, unik atau punya status tinggi. 4. Membutuhkan untuk dikagumi dengan berlebihan, dipuja-puja, diperhatikan dan diiyakan, jika tidak, ia berharap utk ditakuti dan dikenal karena kejahatannya (narsisis supply). 5. Merasa berhak. Mengharap utk diprioritaskan dalam hal perlakuan baik dan spesial atau tidak masuk akal. Menuntut dipenuhi secara otomatis dan benar-benar sesuai dengan harapannya. 6. Sangat memanfaatkan hubungan antar manusia, yakni, memperalat orang lain untuk mencapai tujuan-tujuannya. 7. Tidak punya empati. Tak mampu atau tidak rela untuk mengenali atau mengakui perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain. 15 8. Terus menerus cemburu terhadap orang lain atau percaya bahwa orang lain mempunyai perasaan cemburu yang sama terhadapnya. 9. Sangat arogan, kelakuan atau sikap sombongnya digabung dengan kemurkaan jika merasa frustasi, ditentang atau dilawan. Bahasa dalam kriteria diatas didasarkan atau dirangkum dari: American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders, fourth edition (DSM IV). Washington, DC: American Psychiatric Association. E. Onset Dalam "Malignant Self Love", Dr Vaknin sebagai pakar nomor satu tentang narsisisme narsisisme jelas dimulai dari awal masa kecil (sebelum umur 5 tahun). Penderita gangguan kepribadian narsisitik berawal sejak usia dewasa awal dan nyata dalam pelbagai konteks dengan ciri; kebesaran diri, kebutuhan untuk dikagumi, fantasi tinggi, kurang mampu dalam berempati yang bersifat pervasif. F. Prevalensi Menurut DSM-IV, perkiraan prevalensi gangguan kepribadian narsistik terentang antara 2 sampai 16 persen dalam populasi klinis dan kurang dari 1 persen dalam populasi umum. Mungakin terdapat resiko yang lebih tinggi dari biasanya pada keturunan orang tua dengan gangguan ini yang menanamkan pada anak-anaknya rasa kemahakuasaan yang tidak relative, kebesaran, kecantikan, dan bakat. Jumlah kasus yang dilaporkan terus meningkat secara manetap. Gangguan kepribadian narsistik ditemukan kurang dari 1% dalam populasi umum (APA, 2000). Walaupun lebih dari setengah orang yang didiagnosis dengan gangguan ini adalah laki-laki, kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perbedaan gender yang mendasar pada tingkat prevalensi dalam populasi umum. Derajat tertentu dari narsisme dapat mencerminkan penyesuaian 16 diri yang sehat akan rasa tidak aman, sebuah tameng akan kritik dan kegagalan, atau motif untuk berprestasi (Goleman, 1988). G. Terapi Tritment yang dapat diberikan adalah (Kaplan & Saddock, 1997 : 261): 1. Psikoterapi. Mengobati gangguan kepribadian narsistik sukar, karena pasien harus meninggalkan narsismenya jika ingin mendapatkan kemajuan. Dokter psikiatrik seperti Otto Kernberg dan Heiz Kohut menganjurkan pemakaian pendekatan psikoanalitik untuk mendapatkan perubahan. 2. Farmakoterapi. Lithium (Eskalith) digunakan pada pasien yang memiliki pergeseran mood sebagai bagian dari gambaran klinis. Dan karena rentan terhadap depresi, maka antidepresan juga dapat digunakan. Treatment utama untuk penyembuhan gangguan kepribadian narsisistik berfokus pada psikoterapi, secara medis tidak ada jenis obat sepesifik untuk pengobatan gangguan ini. Dokter akan menangani gangguan-gangguan lain bila muncul pada individu secara terpisah dengan disertai simtom-simtom yang ada seperti kecemasan atau depresi. Pengobatan penderita gangguan keperibadian narsisistik membutuhkan waktu yang sangat lama, penyembuhan cepat hanya difokuskan pada penyembuhan gangguan mood, pelatihan dan peningkatan harga diri. Dalam psikoterapi diharapkan individu dapat menerima dirinya sendiri dan cara pandang terhadap dirinya sesuai dengan realitas (a realistic self-image), disamping itu juga diharapkan individu dapat menyesuaikan diri dan menjalin hubungan dan menghargai orang lain (intimacy), mengerti perasaan diri dan orang. Beberapa terapi lain yang bisa digunakan untuk gangguan ini antara lain: 17 1. Cognitive behavioral therapy (CBT), secara umum CBT membantu individu mengenal sikap dan perilaku yang tidak sehat, kepercayaan dan pikiran negatif dan mengembalikannya secara positif. 2. Family therapy, dalam terapi ini anggota keluarga dilibatkan secara keseluruhan dalam setiap sessi terapi. Setiap anggota keluarga dilatih untuk mengungkapkan masalah, komunikasi dan pemecahan masalah untuk membantu individu dalam menjalin hubungan intra dan interpersonal. 3. Group therapy, individu berkumpul dengan sekelompok orang yang mempunyai permasalahan yang sama, dalam terapi ini dilatih untuk saling mendengarkan orang lain, belajar mengenal perasaan sendiri dan saling memberi dukung terhadap anggota yang lain H. Prevensi Ganggaun kepribadian Narsistik adalah kronis dan sukar untuk diobati. Pasien dengan gangguan harus secara terus menerus berhadapan dengan aliran Narsisisme mereka yang diakibatkan oleh perilaku mereka sendiri atau dari pengalaman hidup. Gangguan kepribadian narsistik muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Akibatnya, anak tetap terfiksasi di tahap perkembangan grandiose. Selain itu, anak (dan kelak setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian, yang tak berkunjung dan tanpa hasil, figure ideal yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan empatiknya, yang tak pernah terpenuhi. Oleh karena itu untuk mencegah harus dimulai dari pola suh orang tua terhadap anaknya. Orang tua harus mampu memberikan contoh yang baik bagi anaknya dan mengajarkan bagaimana kebebasan yang bertanggung jawab agar anak tidak terbuai dalam pujian-pujian yang membuatnya berbangga hati. Berbagai tindakan bisa dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya bunuh diri, minimal untuk mengurangi kemungkinannya. Tindakan pencegahan itu bisa dilakukan baik oleh pihak keluarga, dan lingkungan social. Pihak Keluarga 18 Berbagai upaya pencegahan narsis bisa dilakukan oleh pihak keluarga. Upaya pencegahan itu dimaksudkan untuk meningkatkan faktor proteksi. Beberapa tindakan itu di antaranya: Mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, Membangun hubungan yang positif di dalam rumah dimana rumah diciptakan sebagai tempat untuk saling berbagi di antara anggota keluarga, membangun kecerdasan emosional anak, Menanamkan pendidikan moral dan agama yang sebaik-baiknya. meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual harus diperkuat Lingkungan Lingkungan jelas merupakan determinan penting dalam upaya prevensi. Beberapa hal yang semestinya disediakan lingkungan untuk mencegah narsis : Tidak memberikan secara berlebihan tentang puji-pujian atau sanjungan agar tidak menjadi candu bagi seseorang. Menciptakan kegiatan yang positif di dalam lingkungan untuk para remaja. Kalau melihat clue-nya, narsisme (unhealty narcissism) itu terkait dengan sedikitnya tiga isu kejiwaan yang sangat mendasar. Pertama, terkait dengan bagaimana kita meresponi suara penolakan diri atau denial of the self karena tidak puas terhadap diri sendiri (dissatisfaction). Sebenarnya, rasa tidak puas terhadap diri sendiri akan positif kalau kita gunakan untuk memperbaiki diri atau memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Inilah yang disebut "learning, growing, improving". Jika kita sudah kehilangan dorongan untuk berubah, berarti proses learning-nya sudah berhenti dan ini sangat membahayakan. 19 Tapi akan negatif kalau itu kita gunakan untuk melakukan pertengkaran dengan diri sendiri (konflik diri) sampai membuat jiwa kita kosong (feeling of empty), kurang (feeling of lack), dan takut (feeling of fear). Ini semua akan mendorong kita menempuh modus untuk mengelabuhi diri sendiri supaya bisa mengelabuhi orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari fantasi yang kita ciptakan. Kedua, terkait dengan bagaimana kita menutupi kekurangan, entah kurang kaya, kurang kompeten, kurang keren, kurang mewah, dan seterusnya. Adanya rasa kurang pun ciptaaan Tuhan. Rasa kurang ini bisa kita gunakan untuk menjadi orang yang tawadlu (rendah hati), dekat sama Tuhan atau juga bisa kita gunakan sebaliknya. Jika rasa kurang itu mendapatkan respon positif, pasti yang akan muncul adalah motivasi plus, misalnya dorongan untuk penyempurnaan, dorongan untuk mengakui kehebatan orang lain, dorongan untuk berubah, dan seterusnya. Tapi bila responnya negatif, akan sangat mungkin memunculkan motivasi minus, misalnya arogan tanpa alasan, membohongi orang lain untuk menutupi kekurangan, dan seterusnya. Ketiga, terkait dengan sejauhmana kita melatih diri dalam mendengarkan suara naluri universal. Meski teorinya agak sulit membedakan prilaku yang narsis dan yang bukan, tetapi semua manusia punya naluri universal yang bertugas menerima kebaikan dan menolak kejelekan, entah dari perbuatan kita sendiri atau dari perbuatan orang lain. Kesombongan, penjolan diri berlebihan, atau penipuan diri itu pasti ditolak oleh naluri universal manusia. Artinya, sejauh kita melatih diri untuk mendengarkan naluri universal kita, pasti kita akan lebih mudah "mengobati" benih-benih penyakit narsisme di dalam diri kita. Untuk bisa mendengarkan, syaratnya adalah jangan terlalu lama atau selalu mendengarkan suara dari luar. Idealnya, kita seimbang dalam mendengarkan suara dari dalam dan suara dari luar. 20 BAB III FENOMENA Kekerasan demi kekerasan terus menerus melanda Bali. Beragam persoalan menjadi pemicu. Dari yang remeh temeh gara-gara saling pandang antar pemuda sampai perebutan tanah kuburan. Namun kekerasan tesebut selalu saja melibatkan kelompok baik antar banjar maupun antar desa adat. Memang manusia Bali dalam rentang sejarahnya sangat mudah terpancing melakukan tindakan kekerasan. Korbannya tidak saja harta benda melainkan juga jiwa manusia. Bahkan manusia Bali menjadi sosok yang bisa sangat kejam meskipun dengan saudara sekalipun. Salah satu artikel Buku “The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966” dengan Editor Robert Cribb, menguraikan gambaran betapa beringasnya manusia Bali dalam melakukan kekerasan. Buku ini memuat pernyataan Komandan RPKAD Sarwo Edhi, yang pasukannya tiba pada akhir Desember 1965. “Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang-orang komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh,” tulis buku itu. Catatan lain menyebutkan pembantaian manusia komunis di Bali adalah pembantaian terbesar abad 20. Bahkan tidak ditemukan proporsi lebih tajam dari pembantaian ini sepanjang sejarah bangsa Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Proporsi yang meliputi besarnya jumlah korban dalam kecilnya wilayah pulau Bali dan dalam tempo pembantaian sangat singkat. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah korban pembantaian itu, khususnya di Bali yang memang secara proporsi paling besar. Perkiraan jumlah paling rendah adalah 40.000 dan tertinggi adalah 100.000. Soe Hok Gie memberikan angka 80.000 sebagai perkiraan paling konservatif. Pembantaian yang begitu besar itu terjadi hanya dalam kurun waktu minggu saja. 21 Kekerasan yang dilakukan manusia Bali terus berlangsung dan didominasi konflik-konflik adat. Banyak peneliti mengatakan bahwa sesungguhnya kekerasan-kekerasan yang berbau politik di Bali juga bersumber dari konflikkonflik adat. Termasuk kekerasan ketika pembantaian manusia komunis yang disebutkan berakar pada konflik antar Puri-Puri di Bali. Hingga kini kekerasan-kekerasan di Bali di dominasi kepentingan kelompokkelompok dalam masyarakat adat. Meskipun ada pula yang sebenarnya merupakan konflik pribadi tetapi tetap menggunakan kendaraan kelompok desa adat atau banjar adat. 22 BAB IV PEMBAHASAN Erich Fromm dalam bukunya “Akar Kekerasan” (2008) menyinggung adanya agresi dan kaitanya dengan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, mereka akan bereaksi dengan kemarahan amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Adapun pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Dalam kasus konflik memperebutkan tanah kuburan, narsisme kelompok sangat kental terlihat. Kuburan merupakan bagian harta milik desa adat tetapi bukan dalam makna ekonomi. Berbeda halnya dengan tanah milik desa adat lainnya yang bisa memiliki nilai ekonomi sehingga kepentingan ekonomi menjadi demikian kuat. Kuburan hanyalah memiliki makna sosial dan religius yang penggunaannya sebenarnya bisa dilakukan bersama-sama. Apalagi tradisi memperlakukan jenazah di Bali adalah dengan pengabenan bukan penguburan yang memerlukan ruang fisik tertentu. Karena itulah sematamata narsisme kelompok saja yang memicu konflik dalam kasus perebutan tanah kuburan. Maka, kunci penyelesaiannya adalah menurunkan kadar narsisme masing-masing kelompok. Dengan narsisme kelompok yang besar ditambah tekanan ekonomi yang cukup kuat, manusia Bali menjadi sangat agresif. Persoalan-persoalan sekecil apapun bisa menjadi pemicu yang menjelma menjadi tindakan kekerasan. 23 Seseorang yang memiliki kepribadian narsisitik mempunyai persahabatan yang rapuh, hal ini juga dapat menyulut adanya kekerasan dalam bermasyarakat. Mereka sangat individual, tidak pernah memikirkan kepentingan diri sendiri bahkan tidak memiliki rasa empati terhadap orang lain. Pada akhirnya hubungan interpersonal menjadi memburuk dan perselihan tidak terelakkan lagi ketika kritikan menghujani orang-orang dengan kepribadian narsistik ini, karena pada dasarnya orang-orang dengan kepribadian narsistik menanggapi kritikan secara buruk, kurang bisa berpikir rasional, serta kurangnya kontrol moral yang kuat. 24 REFERENSI Awlia, Nur. 2009. Gangguan Kepribadian Narsistik. Dalam http://nurawlia.wordpress.com/. Tanggal akses: 09 Maret 2013. Horowitz, Jon Mardi – “Stress Response Syndromes: PTSD, Grief, and Adjustment Disorders”, Third Edition. Kaplan & Saddock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Edisi ke-7, jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta. Martaniah, Sri Mulyani. 1999. Handout Psikologi Abnormal: Yogyakarta. Pitaloka, RR. Ardiningtyas. 2008. Narsis, Percaya Diri atau Sombong?. Dalam http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=497. Tanggal akses: 09 Maret 2013. Ronningstam, Elsa. 2005. Identifying and Understanding the Narcissistic Personality, 1st Edition. Oxford University Press. Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1. Jakarta : Erlangga. Mario Maj, Hagop S. Akiskal, Juan E. Mezzich and Ahmed Okasha. 2005. Personalit Vol.8. e-book. 25