BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zat warna banyak digunakan dalam industri tekstil untuk memberikan warna pada nilon, wol, katun, dan lain-lain. Lebih dari 7x105 ton limbah zat warna dihasilkan dari 10.000 jenis zat warna yang digunakan dalam berbagai industri, seperti industri tekstil, industri kertas, industri obat, industri makanan dan industri-industri lainnya (Jamunarani dkk., 2011). Dua sumber industri terbesar penghasil zat warna adalah industri tekstil dan industri penghasil bahan zat warna (Moosvi dkk., 2005). Salah satu zat warna yang berbahaya bagi lingkungan adalah zat warna azo. Zat warna ini merupakan zat warna sintetik dengan jumlah yang cukup besar, yaitu mencapai 70% yang digunakan dalam industri. Zat warna azo merupakan senyawa yang tersusun dari struktur aromatis dan gugus azo, yaitu ikatan N=N. Ikatan azo ini dapat mengganggu proses metabolisme di dalam tubuh dan ikatan aromatisnya bersifat karsinogenik. Beberapa dari zat warna azo atau turunannya juga mempunyai sifat toksik tinggi dan bersifat mutagenik. Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi kehidupan (Khadijah dkk., 2009). Dengan banyaknya zat warna azo yang digunakan dalam industri akan dihasilkan limbah zat warna dalam jumlah besar. Tentu saja, dengan adanya limbah zat warna ini akan menyebabkan pencemaran air yang dapat mengganggu keseimbangan kehidupan di dalam sistem akuatik, seperti membuat air menjadi berwarna, menyebabkan masalah estetika, membatasi kapasitas reoksigenasi dalam sistem akuatik, menyebabkan keracunan akut dan kronis (Kumaran dan Dharani, 2011). Akibat fatal yang timbul dari pencemaran ini adalah kematian biota akuatik. Tidak hanya itu saja, akibat dari pencemaran air ini juga akan berdampak pada kehidupan makhluk hidup di darat, seperti manusia, tanaman, dan binatang. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi pecinta lingkungan. Seharusnya tidak hanya bagi pecinta lingkungan saja, akan tetapi oleh semua 1 2 bidang kehidupan. Selain itu, pencemaran air ini juga akan menjadi masalah yang lebih serius apabila tidak segera diminimalisir. Warna adalah kontaminan pertama yang dikenali di dalam pencemaran akibat zat warna, sehingga limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan untuk meminimalisir pencemaran air (Vijaya dan Sandhya, 2003). Dengan demikian, diharapkan dapat menjadikan lingkungan menjadi lebih sehat dan bersih. Cara pengolahan limbah zat warna sendiri ada berbagai macam, mulai dari yang konvensional sampai dengan pengolahan limbah zat warna yang menggunakan teknologi. Ozonisasi, foto oksidasi, elektro koagulasi, adsorpsi, karbon aktif, flotasi, osmosis balik, pertukaran ion, membran selektif dan flokulasi merupakan metode untuk mengolah limbah zat warna. Metode-metode ini akan lebih efisien dan murah tergantung pada aplikasi, produksi serta jenis limbahnya. Dalam beberapa kasus, metode konvensional yang merupakan penggabungan dari kimia atau fisik dengan biologi lebih efektif dan efisien, seperti metode degradasi. Proses biologi ini juga cenderung lebih ramah lingkungan dan lebih murah (Ponraj dkk., 2011). Selain itu, degradasi merupakan metode yang potensial dalam pengolahan limbah, terutama apabila metode degradasi dengan menggunakan mikroorganisme (Da Paz dkk., 2012). Hal ini juga didukung oleh Dave dan Dave (2012) yang menyebutkan bahwa metode pengolahan limbah cair zat warna secara fisik dan kimia memang efektif, tetapi menimbulkan efek jangka pendek, seperti mahalnya pengeluaran dan kebutuhan energi yang besar. Selain itu juga menghasilkan formasi yang berbahaya oleh residu (Theerachat dkk., 2012). Lain halnya apabila menggunakan proses biologi dalam mengolah limbah cair zat warna, proses ini tidak menimbulkan masalah-masalah tersebut (Tripathi dkk., 2007). Proses biologi artinya menggunakan makhluk hidup dalam pengolahan limbah ini. Menurut Astirin dan Winarno (2000) mikroorganisme yang dimaksud adalah mikroorganisme yang mampu menghilangkan warna dengan cara pemutusan rantai siklik ataupun ikatan rangkapnya. Banyak mikroorganisme yang dapat mendegradasi zat warna, termasuk bakteri, jamur, dan alga (Thorat dan Sayyad, 2010). Mikroorganisme ini mempunyai kemampuan untuk mendegradasi zat warna sesuai potensial masing- 3 masing, diantaranya menggunakan enzim tertentu. Mikroorganisme anaerobik lebih efektif mereduksi ikatan zat warna dalam kondisi anaerobik dibandingkan kondisi aerobik (Venil dan Lakshmanaperumalsamy, 2010). Dari ketiga mikroorganisme tersebut, bakteri dinilai efektif dalam mendegradasi zat warna azo. Bakteri aerobik mempunyai kemampuan khusus menggunakan zat warna azo sebagai sumber karbon dan nitrogennya, sedangkan bakteri anaerobik mereduksi gugus azo dengan enzim azoreduktase yang dimilikinya. Meskipun begitu, enzim azoreduktase ini mempunyai rentang substrat aktif tertentu. Pada umumnya, bakteri tumbuh baik dalam kondisi aerobik, sedangkan proses degradasi baik dalam kondisi anaerobik. Dengan demikian, penggabungan antara kondisi aerobik dan anaerobik ini sangat potensial untuk mendegradasi zat warna azo, yaitu kondisi aerobik untuk pengembangbiakan bakteri dan kondisi anaerobik untuk pereduksian ikatan gugus azo (Barragan dkk., 2007). Meskipun bakteri mempunyai rentang keaktifan, kondisi anaerobik tetap dinilai kondisi yang optimum selama proses degradasi berlangsung. Ada 3 (tiga) langkah dalam proses degradasi kompleks karbon organik. Pertama, pemilihan kondisi lingkungan dan diikuti pemilihan jenis bakteri yang digunakan. Langkah ketiga adalah proses degradasi itu sendiri (Yoo dkk., 2001). Dalam penelitian ini akan dilakukan berbagai uji pengaruh kondisi terhadap degradasi zat warna azo dengan menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa. Bakteri Pseudomonas aeruginosa akan dikontakkan dengan zat warna azo Reactive Yellow 86 dengan beberapa pengaruh, yaitu pengaruh waktu kontak, jumlah koloni bakteri Pseudomonas aeruginosa, konsentrasi dan pH larutan tanpa adanya tambahan nutrisi selama proses degradasi berlangsung. 2.1 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui kemampuan bakteri Pseudomonas aeruginosa dalam mendegradasi zat warna azo Reactive Yellow 86 b. Mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap degradasi zat warna menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa, meliputi waktu 4 kontak, jumlah koloni bakteri Pseudomonas aeruginosa, konsentrasi dan pH larutan 3.1 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai pemanfaatan mikroorganisme dalam mendegradasi zat warna azo di lingkungan, khususnya mengenai kapasitas dan kapabilitas bakteri Pseudomonas aeruginosa dalam mendegradasi zat warna azo Reactive Yellow 86. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang lingkungan, khususnya dalam mengurangi tingkat pencemaran zat warna azo di dalam pencemaran limbah cair di lingkungan.