UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA LANSIA DENGAN MASALAH KONSTIPASI DI PSTW BUDHI MULIA 1 CIPAYUNG JAKARTA TIMUR KARYA ILMIAH AKHIR NERS Islah Akhlaqunnissa Jihadi 0906510943 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI DEPOK JULI 2014 Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA KAKEK SH DENGAN MASALAH KONSTIPASI DI PSTW BUDHI MULIA 1 CIPAYUNG JAKARTA TIMUR KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Islah Akhlaqunnissa Jihadi 0906510943 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI SARJANA DEPOK JULI 2014 Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa karya ilmiah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya. Depok, 15 Juli 2012 Islah Akhlaqunnissa Jihadi ii Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Karya ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Islah Akhlaqunnissa Jihadi NPM : 0906510943 Tanda Tangan : Tanggal : 15 Juli 2014 iii Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 HALAMAN PENGESAHAN Karya Ilmiah Akhir Ners ini diajukan oleh: Nama : Islah Akhlaqunnissa Jihadi NPM : 0906510943 Program Studi : Profesi Keperawatan Judul KIA-Ners : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Kakek SH Dengan Masalah Konstipasi Di PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperolah gelar Ners pada Program Studi Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing : Ns. Dwi Cahya Rahmadiyah, S.Kep Penguji : Raden Siti Maryam, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom Ditetapkan di : Depok Tanggal : 15 Juli 2014 iv Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Karya ilmiah akhir ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Karya Ilmiah Akhir (KIA) semester genap untuk jenjang profesi di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. KIA ini dapat saya selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan dorongan semangat yang tak terhingga. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ns. Dwi Cahya Rahmadiyah, S.Kep selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis selama proses penyusunan karya ilmiah; 2. Ibu Raden Siti Maryam, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku penguji yang telah memberikan komentar dan masukan untuk memperbaiki penyusunan karya ilmiah ini; 3. Ibu Widyatuti sebagai dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) yang telah memberikan bimbingan terkait praktik klinik yang menjadi landasan dalam penyusunan KIA. 4. Ibu Dwi Nurviyandari selaku dosen yang selalu mengingatkan dan memberi semangat selama stase peminatan gerontik. 5. Responden penelitian di wisma Cattleya PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung ketersediaannya menjadi bagian dari penelitian ini; 6. Petugas dan perawat wisma Cattleya PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung atas ketersediaannya memberikan bantuan dan informasi terkait lingkungan wisma dan WBS; 7. Orang tua tercinta, Bapak Zainudin dan Ibu Dyah Nurmasari yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tiada terhingga. v Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 8. Suami tercinta, Arif Rachman, S.ST. yang selalu sabar, setia, dan senantiasa memberikan motivasi serta mendengarkan keluh kesah yang saya alami selama penyusunan KIA khususnya dan masa kuliah profesi umumnya. 9. Kakak-kakak dan Adik-adik tersayang, Mas Irham, Mba Ratih, Imam, Izham, dan Dila yang memberikan motivasi selama penyusunan KIA. 10. Rekan kelompok peminatan profesi Gerontik, Uta, Verra, Dewi, Ririn, Harfah, Eliz, Citra, Lisa, Dita, Tika, atas kekompakan, suka duka, dan pengalaman terindah yang akan selalu menjadi kenangan manis dan tak terlupakan. 11. Sahabat-sahabat tersayang: Jia, Layya, Eno, Sulas, Nia, Fay, Pur, Puput yang selalu memberikan informasi dan motivasi dalam penyusunan karya ilmiah ini. 12. Teman-teman mahasiswa reguler angkatan 2009 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan semangat dan bersedia berbagi banyak informasi dalam menyelesaikan KIA ini. Saya menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Besar pula harapan saya agar tugas akhir ini dapat menjadi dasar bagi penelitian yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat. Depok, 15 Juli 2014 Penulis vi Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Islah Akhlaqunnissa Jihadi NPM : 0906510943 Program Studi : Profesi Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis : Karya ilmiah Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exsclusive Royalty Free Right) atas karya saya yang berjudul: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Kakek SH Dengan Masalah Konstipasi Di PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada Tanggal :15 Juli 2014 Yang menyatakan (Islah Akhlaqunnissa Jihadi) vii Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 ABSTRAK Nama Program Studi Judul KIA-Ners : Islah Akhlaqunnissa Jihadi : Profesi Keperawatan : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Kakek SH Dengan Masalah Konstipasi Di PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur Konstipasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan lansia. Konstipasi pada lansia terjadi akibat beberapa faktor yang meliputi perubahan fungsi pencernaan, kurangnya asupan serat, intake cairan, dan kurangnya aktivitas fisik. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan keperawatan lansia dengan masalah konstipasi. Metodologi penelitian yang digunakan adalah analisis kasus berdasarkan pengkajian melalui wawancara, observasi, dan tinjauan literatur pada klien di wisma Cattleya Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung. Hasil analisis intervensi terapi latihan kayuh sepeda secara teratur yang dilakukan dua kali sehari dalam tiga minggu intervensi pada Kakek SH dengan konstipasi menunjukkan bahwa ada pengaruh latihan kayuh sepeda terhadap pola defekasi klien. Peneliti merekomendasikan untuk melakukan program latihan fisik secara teratur untuk meningkatkan pola normal defekasi klien. Kata kunci: aktivitas fisik, lansia, konstipasi ABSTRACT Name Study Program Title : Islah Akhlaqunnissa Jihadi : Bachelor Science of Nursing :Clinical Practice Analysis of Urban Health Nursing in Mr. SH with Constipation at Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 01 Cipayung Jakarta Timur Constipation is one of problem that commonly occurs in elderly. Constipation in elderly caused by several factors such as gastrointestine changes, low fiber intake, low fluid intake, and physical activity . This research aimed to describe nursing interventions in elderly with constipation. This research used case analysis method based on the data obtained by interview, observation, and literature review of client at Cattleya housing, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung. Analysis results of bicycle movement therapy given 2 times a day in three weeks on Mr. SH with constipation showed that there’s significant relation between physical activity with defecation pattern fom before. This research suggested to have a regular physical activity to maintain normal defecation pattern in elderly. Keywords: physical activity, elderly, constipation viii Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME. ....................................... ii LEMBAR PENYATAAN ORISINALITAS .................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv KATA PENGANTAR ..................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vii ABSTRAK. ..................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN. ................................................................................... xi BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 6 1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 6 1.3.1 Tujuan Umum................................................................................... 6 1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7 1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 7 1.4.1 Bagi Pelayanan Kesehatan untuk Lanjut Usia ................................... 7 1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan .................................................................. 7 1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan ............................................................ 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 8 2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ........................... 8 2.2 Masalah Konstipasi pada Lansia .............................................................. 11 2.2.1 Pengertian Konstipasi ..................................................................... 11 2.2.2 Patofisiologi Konstipasi .................................................................. 12 2.2.3 Manifestasi Klinis Konstipasi ......................................................... 12 2.2.4 Pengkajian Konstipasi..................................................................... 13 2.2.5 Perubahan Sistem Gastroinstestinal pada Lansia ............................. 13 2.2.6 Penatalaksanaan Konstipasi ............................................................ 16 2.2.6.1 Manajemen Keperawatan.................................................... 16 2.2.6.2 Intervensi Keperawatan ...................................................... 16 2.2.6.3 Aktivitas Fisik yang Disarankan untuk Lansia .................... 20 BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ...................................... 22 3.1 Pengkajian ............................................................................................... 22 3.1.1 Identitas Klien ................................................................................ 22 3.1.2 Pengkajian Fisik ............................................................................. 23 3.1.3 Kebiasaan dan Aktivitas.................................................................. 23 3.1.4 Pengkajian Lain. ............................................................................. 25 3.2 Masalah Keperawatan .............................................................................. 26 3.2.1 Analisa data. ................................................................................... 26 3.2.2 Rencana Asuhan Keperawatan. ....................................................... 27 3.2.3 Implementasi. ................................................................................. 27 ix Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 3.2.4 Evaluasi.......................................................................................... 29 3.2.5 Rencana Tindak Lanjut. .................................................................. 30 BAB 4 ANALISIS SITUASI ........................................................................... 31 4.1 Analisis Profil Pelayanan Panti Sosial Tresna Werdha ............................. 31 4.2 Analisis Masalah dengan Konsep KKMP dan Konstipasi ......................... 35 4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait........................ 38 4.4 Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................. 40 BAB 5 PENUTUP ........................................................................................... 43 5.1 Kesimpulan.............................................................................................. 43 5.2 Saran ....................................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 45 x Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Form Constipation Assessment Scale (CAS) – Pretest Lampiran 2 Form Constipation Assessment Scale (CAS) – Posttest Lampiran 3 Form Barthel Index Lampiran 4 Prosedur Gerakan Kayuh Sepeda (Bicycle Movement) Lampiran 5 Jadwal Latihan Klien Lampiran 6 Biodata Peneliti xi Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 BAB 1 PENDAHULUAN Bab 1 ini merupakan bab pendahuluan karya ilmiah akhir yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat penulisan karya ilmiah mengenai analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan dengan masalah konstipasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Mulia 01 Cipayung. 1.1 Latar Belakang Lanjut usia adalah kelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoatmodjo, 2007). Lansia (lanjut usia) merupakan istilah yang biasa digunakan untuk seseorang yang mulai memasuki tahap perkembangan akhir. World Health Organization (WHO) mengkategorikan tahap perkembangan akhir menjadi usia pertengahan 45-59 tahun, usia lanjut 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun, dan usia sangat tua >90 tahun (WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, terdapat UU yang mengatur batasan usia lanjut yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang menyatakan bahwa lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Perkembangan jumlah penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0 tahun. Tahun 2006 meningkat menjadi 70,2 tahun. Jumlah ini terus meningkat menjadi 70,4 tahun pada tahun 2007 dan di perkirakan pada tahun 2025 angka harapan hidup penduduk indonesia akan menjadi 73 tahun (BPS, 2007). Berdasarkan data demografi penduduk usia lanjut Internasional (U.S. Census Bureau International Data Base, 2009), jumlah lansia di dunia yakni sekitar 20,5 juta jiwa. Jumlah penduduk lansia di Indonesia sendiri mencapai 19,32 juta orang atau 8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang juga terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia pada tahun 2005 dengan jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini 1 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 2 naik menjadi 18,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009 (Komnas Lansia 2010). Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%), sedangkan pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat menjadi 66,2 tahun. Tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Depsos, 2007). Usia harapan hidup yang meningkat tersebut, membuat semakin meningkat pula upaya untuk mempertahankan atau menjaga status kesehatan pada lansia. Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami proses penuaan yang biasanya akan diiringi masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah fisik, biologi, psikologi, sosial, maupun penyakit degeneratif (Safithri, 2005). Masalah tersebut umumnya terjadi di daerah perkotaan. Kementerian kesehatan RI (Buletin lansia, 2013) melaporkan presentasi lansia di Indonesia yang bekerja di daerah perkotaan (51,46%) lebih tinggi dibandingkan lansia pedesaan (38,99%) dengan persentase penduduk lansia laki-laki yang bekerja (61,47%) lebih tinggi dibandingkan lansia perempuan (31,39%). Berdasarkan Sakernas tahun 2009, penduduk lansia miskin yang tinggal di desa lebih banyak (13,55%) dari penduduk lansia miskin yang tinggal di kota (7,8%). Status ekonomi lansia perkotaan yang lebih baik ini membuat adanya pergeseran gaya hidup. Karakteristik masyarakat perkotaan seperti konsumsi makanan cepat saji, pola makan yang tidak baik, kebiasaan merokok dan kurangnya aktivitas fisik, aktivitas fisik yang serba praktis merupakan salah satu pemicu untuk timbulnya berbagai penyakit (Bustan, 2007). Perubahan pola konsumsi yang terjadi di kota-kota besar, yaitu dari pola makanan tradisional yang banyak mengandung karbohidrat, protein, serat, vitamin dan mineral bergeser ke pola makanan berat yang cenderung banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam serta miskin serat, vitamin dan mineral sehingga Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 3 mudah merangsang terjadinya penyakit-penyakit gangguan saluran pencernaan, penyakit jantung, obesitas dan kanker (Elnovriza et al, 2008). Kebiasaan baru ini mengambil andil besar dalam kondisi fisik dan daya tahan tubuh lansia. Pola hidup yang kurang sehat akan berdampak pada penurunan daya tahan tubuh. Masalah umum yang dialami lansia akibat penurunan daya tubuh adalah rentannya terhadap berbagai penyakit (Buletin Lansia, 2013). Di dalam Susenas dikumpulkan informasi mengenai jenis keluhan kesehatan. Keluhan kesehatan yang paling tinggi pada lansia adalah jenis keluhan lainnya (32,99%). Jenis keluhan lainnya dapat berupa masalah pada sistem gastroinstestinal, termasuk konstipasi. Asupan serat yang terlampau rendah dalam kurun waktu lama akan mempengaruhi kesehatan (seperti konstipasi), kegemukan, dan serangan penyakit degeneratif (Soelistijani 2002). Departemen Kesehatan (2003) menyebutkan bahwa salah satu masalah yang banyak dialami lansia adalah konstipasi dan terbentuknya benjolan-benjolan pada usus. Hal ini merupakan dampak dari pergeseran gaya hidup di perkotaan seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Masalah kesehatan yang dialami lansia sering berbeda dengan dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses penuaan, yaitu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi. Salah satu perubahan yang terjadi pada proses penuaan yaitu perubahan pada sistem gastrointestinal. Perubahanperubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal tersebut yaitu termasuk perubahan struktur dan fungsi usus besar. Pada lansia sendiri, terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltik kolon yang melemah, dan gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000). Hal inilah yang menjadi dasar bahwa konstipasi merupakan masalah kesehatan pada lansia di daerah perkotaan. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 4 Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007). Pada keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara teratur. Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Pada lansia terjadi penurunan motilitas kolon, penurunan peristaltik kolon sehingga menyebabkan transit tinja dalam kolon menjadi lama. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan elektrolik pada tinja meningkat. Sehingga begitu mencapai rektum, tinja akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang keras dan padat menyebabkan susahnya proses defekasi. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia rentan untuk mengalami konstipasi (Miller, 2004). Kejadian konstipasi di Amerika Utara pada umur lebih dari 60 tahun berkisar antara 12-19%, terjadi peningkatan angka kejadian seiring dengan peningkatan usia (Vasanwala, 2009). Sekitar 30–40% orang diatas usia 65 tahun di Inggris mengeluh konstipasi, 30% penduduk diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi diatas 65 tahun di Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono, 2003). Dalam seminar kesehatan (2010) Menurut DR. dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH, dari 2.397 pasien di RSCM Jakarta yang yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi dari tahun 1998-2005, 9% di antaranya adalah pasien dengan konstipasi (www.tempo.co). Kejadian konstipasi bersumber pada kelemahan tonus otot dinding usus akibat penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya asupan serat dan cairan (Arisman, 2007). Masalah yang sering dialami lansia adalah kekurangan cairan tubuh (Muhammad, 2010). Hal ini terjadi karena adanya berbagai perubahan yang dialami lansia, diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia, penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin, dan penurunan rasa haus. Penurunan rasa haus pada lansia otomatis akan menurunkan asupan cairan, padahal dalam fungsinya cairan memegang peranan penting terutama untuk mengolah makanan dalam usus, tanpa cairan yang cukup usus tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga timbul sembelit (Muhammad, 2010). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 5 Penurunan aktivitas fisik juga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rektum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Menurut penelitian Gardiarini (2010) bahwa 55,7% tingkat aktivitas berkaitan dengan tingkat kesulitan defekasi pada mahasiswa. Salah satu bentuk aktivitas fisik yang sederhana adalah olah raga. Olahraga dapat meningkatkan motilitas usus dan mencegah sembelit sehingga menurunkan kanker kolon (Ader dan Cohen, 2001 dalam Nursalam, 2007). Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang dapat meningkatkan fungsi usus, seperti berjalan kaki, latihan otot panggul, angkat kaki, latihan mengencangkan otot perut, dan bersepeda stasioner (McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Salah satu aktivitas fisik yang menjadi intervensi unggulan pada penelitian ini adalah latihan gerakan kaki mengayuh sepeda. Latihan ini memiliki prinsip yang hampir sama dengan bersepeda stasioner. Kedua aktivitas ini samasama mengandalkan gerakan kaki untuk merangsang motilitas usus. Hanya saja pada penelitian ini, klien dapat melakukan gerakan ini sambil berbaring di kasur dan menggerakkan kakinya di udara seperti mengayuh sepeda. Faktor- faktor penyebab konstipasi yang tidak segera ditangani akan berubah menjadi konstipasi kronis. Konstipasi kronis dapat mengakibatkan divertikulosis, kanker kolon dan terjadinya hemoroid (Sudoyo, dkk, 2006). Kejadian kanker kolon menempati urutan ke-4, dan menempati peringkat ke-2 penyebab kematian karena kanker di dunia. Di Indonesia, karsinoma kolon termasuk dalam sepuluh jenis kanker terbanyak dan menempati urutan keenam dari penyakit keganasan yang ada. Menurut hasil penelitian Zendrato (2009) proporsi penderita kanker colorectal terbanyak pada kelompok umur ≥ 40 tahun yaitu 73,2%. Dampak lanjut dari konstipasi inilah yang dapat mempengaruhi penurunan status kesehatan. Dampak yang mungkin terjadi akibat dari keberlanjutan konstipasi yang tidak ditangani ini, dikhawatirkan terjadi pada salah satu lansia yang mengeluhkan gejala adanya msalah konstipasi. Lansia tersebut adalah Kakek SH yang tinggal di wisma Cattleya Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Mulia 1 Cipayung. Gejala umum yang dikeluhkan yaitu frekuensi BAB yang berubah, konsistensi feses yang Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 6 keras dan berwarna hitam, dan ada rasa tidak tuntas saat BAB. Hasil pengkajian didapatkan kurangnya intake cairan dan aktivitas fisik menjadi faktor penyebab terjadinya konstipasi. Intervensi unggulan pada penelitian ini yaitu terapi aktivitas fisik teratur. Hal ini didasarkan pada penelitian yang menyebutkan kurangnya aktivitas otot dapat mengurangi fungsi fasilitatif dari perut dan otot panggul dalam mengevakuasi tinja (Waldrop & Doughty, 2000). Hal inilah yang membuat penulis tertarik menerapkan intervensi peningkatan aktivitas fisik khususnya gerakan mengayuh sepeda yang dilakukan secara rutin dalam asuhan keperawatan bagi lansia dengan masalah konstipasi di PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung. Dengan demikian, adanya intervensi terkait upaya penanganan konstipasi ini diharapkan pola normal fungsi usus akan kembali dan dampak lebih lanjut dari konstipasi tidak terjadi. 1.2 Rumusan Masalah Penurunan fungsi tubuh seperti penurunan fungsi sistem pencernaan merupakan bagian dari proses penuaan. Hal ini menyebabkan lansia rentan mengalami masalah kesehatan seperti konstipasi. Hal ini terjadi jika didukung dengan pola makan yang tidak tepat, kurang aktivitas fisik, maupun intake cairan yang kurang, Jika konstipasi tidak ditangani maka akan menyebabkan berbagai dampak, salah satunya penurunan nafsu makan yang akan berdampak pada penurunan status nutrisi lansia itu sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya terapi dalam menangani masalah pencernaan konstipasi. Berdasarkan fenomena tersebut, rumusan masalah penulisan karya ilmiah ini mengenai penatalaksanaan asuhan keperawatan lansia dengan terapi latihan gerakan mengayuh sepeda pada lansia dengan konstipasi di PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung. 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan umum Menganalisis Asuhan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Kakek SH dengan masalah keperawatan konstipasi selama 3 minggu di Wisma Cattleya, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 7 1.3.2 Tujuan khusus Tergambarnya hasil pengkajian asuhan keperawatan lansia dengan konstipasi Tergambarnya permasalahan yang muncul dari lansia yang mengalami konstipasi Tergambarnya implementasi untuk mengatasi konstipasi melalui penerapan terapi aktivitas fisik yang teratur Tergambarnya evaluasi perkembangan respon lansia dengan konstipasi dari implementasi yang telah dilakukan melalui asuhan keperawatan 1.4 Manfaat Penulisan 1.4.1 Bagi pelayanan kesehatan untuk lanjut usia Penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung sebagai masukan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada lansia khususnya pada lansia yang mengalami konstipasi. Selain itu, diharapkan adanya peran perawat dan tenaga sosial dalam memantau kesehatan dan melaksanakan intervensi yang berhubungan dengan konstipasi pada lansia. Adanya intervensi ini juga diharapkan petugas panti tidak bergantung lagi pada obat pencahar ketika menemukan kasus konstipasi pada lansia di PSTW. 1.4.2 Bagi institusi pendidikan Karya ilmiah ini diharapkan bermanfaat untuk institusi pendidikan sebagai sumber data tambahan bahwasanya kejadian konstipasi sering dialami lansia. Selain itu, juga diharapkan dengan adanya penelitian ini, institusi pendidikan mampu merumuskan kembali intervensi keperawatan yang tepat untuk penderita konstipasi dengan memperhatikan faktor lingkungan dan sumber daya yang ada. 1.4.3 Bagi penelitian keperawatan Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi evidence based practice dalam penelitian selanjutnya terkait terapi aktivitas melakukan gerakan kayuh sepeda pada penderita konstipasi. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan teori dan konsep yang terkait dengan karya ilmiah akhir berdasarkan judul karya ilmiah “Analisis praktik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada kakek SH dengan masalah konstipasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Mulia 1 Cipayung”. Teori dan konsep tersebut meliputi konsep kkmp, masalah konstipasi pada lansia, dan penatalaksanaan konstipasi. 2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berbagi corak atau ciri penting dalam kehidupannya (Allender, Rector, & Warner, 2010). Masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya dan secara umum memiliki kepentingan umum dan karakteristik yang sama sehingga menjadi dasar dalam menumbuhkan rasa persatuan dan hak milik antara satu dengan yang lain (Allender, Rector, & Warner, 2010). Masyarakat memiliki beberapa fungsi yaitu menumbuhkan rasa saling memiliki dan berbagi identitas atau ciri khas, berbagi nilai, norma, komunikasi, kepentingan dan keprihatinan secara bersama-sama (Anderson & McFarlane, 2004 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010). Berdasarkan lokalitasnya masyarakat terbagi menjadi dua yaitu masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Semakin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan salah satu dampaknya yang dapat ditimbulkan yaitu meningkatnya masalah kesehatan. Berdasarkan Depkes (2005), umumnya masalah kesehatan yang banyak terjadi di perkotaan menjadi lebih kompleks, pada satu sisi masih dijumpai masalah kesehatan konvensional seperti penyakit infeksi, sanitasi yang rendah, dan penyakit menular dan di sisi lain muncul penyakit degenaratif, gangguan kejiwaan, gizi lebih, dan infeksi menular seksual. Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Oleh karena itu urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Gejala urbanisasi di sebuah kota 8 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 9 dapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus berubah (bertambah) dan terjadi perubahan pada tatanan masyarakat. Allender (2010) menyebutkan faktor yang mempengaruhi masyarakat kota ada tiga yaitu lingkungan fisik seperti kepadatan penduduk, tingginya polusi, dan kebisingan; lingkungan sosial seperti rendahnya dukungan sosial (ganster dan obat terlarang), kekerasan, kemiskinan, dan isolasi sosial; dan akses ke pelayanan kesehatan dan sosial yang mudah untuk dijangkau. Kesehatan menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera baik secara fisik, mental, sosial, dan bukan hanya keadaan tidak adanya penyakit atau kelemahan (Ustin & Jakob, 2005 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010). Dua komponen dasar yang menjadi pertimbangan dalam praktik kesehatan yaitu promosi kesehatan dan pencegahan masalah kesehatan. Menurut Hunt (2002), praktik keperawatan yang berdasar pada masyarakat berfokus pada promosi kesehatan dan mempertahankan kesehatan individu dan kelompok, mencegah dan meminimalisir perkembangan penyakit, serta upaya dalam meningkatkan kualitas hidup (Smeltzer & Bare, 2004). Promosi kesehatan sendiri meliputi segala usaha yang digunakan untuk mendekatkan masyarakat pada tingkat kesehatan yang tinggi atau optimal (Allender, Rector, & Warner, 2010). Sedangkan pencegahan mengandung arti, yaitu suatu antisipasi dan pencegahan terkait masalah atau menemukan masalah sedini mungkin agar kecacatan ataupun dampak buruknya dapat diminimalisir. Tingkatan pencegahan dalam kesehatan masyarakat dikenal ada tiga macam pada praktiknya, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan dan tersier (Neuman, 2001 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010). Keperawatan kesehatan masyarakat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2006), merupakan pelayanan keperawatan profesional yang memadukan antara konsep kesehatan masyarakat dan konsep keperawatan yang ditujukan pada seluruh masyarakat dengan penekanan pada kelompok risiko tinggi. Tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah keperawatan kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 10 dilakukan melalui upaya promotif dan preventif yang ditujukan baik kepada individu, keluarga, maupun kelompok. Keperawatan kesehatan masyarakat memiliki cakupan yang luas. Cakupannya tidak hanya menangani suatu permasalahan yang membutuhkan adanya penyembuhan (kuratif) dari suatu penyakit tetapi juga adanya upaya pencegahan (preventif). Oleh karena itu di ruang lingkup keperawatan kesehatan masyarakat mencakup peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif), (preventif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif), dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat ke lingkungan sosial dan masyarakat (resosialitatif) (Potter & Perry, 2009; De Laune & Ladner, 2002). Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan ini termasuk dalam lingkup keperawatan komunitas. Hal ini karena masyarakat perkotaan merupakan komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan semua keadaan dan kondisi yang ada di lingkungan kota. Keperawatan masyarakat perkotaan memiliki 8 karakteristik dan merupakan hal yang penting dalam melakukan praktik (Allender, 2001) yaitu merupakan 1) lahan keperawatan; 2) kombinasi antara keperawatan publik dan keperawatan klinik; 3) berfokus pada populasi; 4) menekankan terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya promosi kesehatan dan kesejahteraan diri; 5) mempromosikan tanggung jawab klien dan self care; 6) menggunakan pengesahan/pengukuran dan analisa; 7) menggunakan prinsip teori organisasi; 8) melibatkan kolaborasi interprofesional. Perawat kesehatan masyarakat memiliki peran dalam mengelola perawatan kesehatan dalam daerah tersebut serta menjadi pendidik kesehatan dalam masyarakat tersebut. Menurut Allender (2010), peran perawat di perkotaan difokuskan dalam memberikan pelayanan keperawatan kesehatan pada masyarakat yaitu homeless, ancaman bioterorisme, kekerasan kriminal, kepadatan penduduk, dan mengadvokasi masyarakat yang rentan seperti lansia. Peranan yang dapat dilakukan oleh perawat dalam menangani masalah kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 11 perkotaan yaitu pelaksanaan pelayanan keperawatan, pendidik, pengamat kesehatan, koordinator pelayanan kesehatan, pembaharu, pengorganisir pelayanan kesehatan, role model, fasilitator, tempat bertanya/fasilitator, pengelola/manager. 2.2 Masalah Konstipasi Pada Lansia 2.2.1 Pengertian Konstipasi Konstipasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan buang air besar yang tidak teratur (Smeltzer & Bare, 2012). Pengerasan abnormal tinja membuat aliran feses menjadi sulit sehingga terasa menyakitkan, penurunan volume tinja, atau retensi tinja dalam rektum pada periode yang berkepanjangan (Smeltzer & Bare, 2012). Setiap variasi dari kebiasaan yang dianggap normal, dapat dianggap sebagai masalah. Konstipasi dapat disebabkan oleh obat-obat tertentu (misalnya, obat penenang, antikolinergik, antidepresan, antihipertensi, opioid, antasid dengan aluminium, dan besi); gangguan pada saluran anal (misalnya, wasir,); obstruksi (misalnya, kanker usus); kondisi metabolik, neurologi, dan neuromuskuler (misalnya, diabetes mellitus, penyakit Hirschsprung, penyakit Parkinson, multiple sclerosis); gangguan endokrin (misalnya, hipotiroidisme); keracunan; dan gangguan jaringan ikat (misalnya, skleroderma, lupus erythematosus) (Smeltzer & Bare, 2012). Penyakit usus besar umumnya yang terkait dengan konstipasi yaitu sindrom iritasi usus dan penyakit divertikular. Konstipasi juga dapat terjadi dengan proses penyakit akut di abdomen (misalnya, apendisitis). Penyebab lainnya adalah kelemahan, imobilitas, kelelahan, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen, seperti yang terjadi dengan emfisema (Smeltzer & Bare, 2012). Banyak orang mengalami konstipasi karena tidak meluangkan waktu untuk buang air besar atau mengabaikan dorongan untuk buang air besar. Di Amerika Serikat, konstipasi juga merupakan akibat dari kebiasaan makan (yaitu, rendahnya konsumsi serat dan asupan cairan yang tidak memadai), kurang olahraga teratur, dan hidup penuh stres (Smeltzer & Bare, 2012). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 12 2.2.2 Patofisiologi Konstipasi Patofisiologi konstipasi kurang dapat dipahami, tetapi diperkirakan mencakup gangguan pada salah satu dari tiga fungsi utama usus besar: transportasi mukosa (yaitu, sekresi mukosa yang memfasilitasi gerakan isi usus), aktivitas myoelectric (yaitu, pencampuran massa rektum dan tindakan pendorong), atau proses saat buang air besar (Smeltzer & Bare, 2012). Setiap dari penyebab tersebut faktor sebelumnya diidentifikasi dapat mengganggu salah satu dari tiga proses ini. Dorongan untuk buang air besar secara normal dirangsang oleh distensi rektum, yang memulai serangkaian empat tindakan: stimulasi penghambatan yang merupakan refleks dari rectoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter eksternal dan otot di daerah pinggul, serta peningkatan tekanan intraabdominal (Smeltzer & Bare, 2012). Interferensi dengan salah satu dari prosesproses ini dapat menyebabkan konstipasi. Jika dorongan untuk buang air besar diabaikan, lendir rektal membran dan otot-otot menjadi tidak peka terhadap kehadiran massa tinja, dan akibatnya, stimulus kuat diperlukan untuk menghasilkan gaya peristaltik yang diperlukan untuk buang air besar. Awal efek retensi tinja adalah untuk menghasilkan iritabilitas usus besar, yang pada tahap ini sering dirasakan tegang, sehingga menimbulkan kolik midabdominal atau nyeri perut bawah (Smeltzer & Bare, 2012). Setelah beberapa waktu, proses ini membuat usus besar kehilangan irama otot dan menjadi tidak responsif terhadap rangsangan normal. Atoni atau tonus otot menurun yang terjadi seiiring dengan penuaan. Hal ini juga menyebabkan konstipasi karena tinja disimpan untuk waktu yang lebih lama. 2.2.3 Manifestasi Klinis Konstipasi Manifestasi klinis konstipasi meliputi distensi abdomen, borborygmus (yaitu, gemericik atau suara gemuruh yang disebabkan oleh lewatnya gas melalui usus), rasa sakit karena nyeri tekan, nafsu makan menurun, sakit kepala, kelelahan, gangguan pencernaan, sensasi pengosongan yang tidak tuntas, sulitnya tinja keluar, volume kecil, keras, dan tinja kering (Smeltzer & Bare, 2012). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 13 2.2.4 Pengkajian Konstipasi Beberapa lansia menganggap konstipasi merupakan masalah kesehatan. Pengkajian yang perlu dilakukan perawat untuk mengkaji adanya konstipasi yaitu melakukan pemeriksaan fisik dan mewawancarai kebiasaan hidup klien. Perawat harus bertanya tentang olahraga, diet, dan asupan cairan, dan apakah lansia menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi sistem pencernaan atau obat herbal untuk mengatasi konstipasi. Asupan makanan selama 3-7 hari bisa menggambarkan kebiasaan makan yang mungkin berdampak pada konstipasi. Terbatasnya mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran dan cairan memberikan kontribusi pada terjadinya konstipasi. Selain itu, konstipasi juga dapat dipengaruhi kurangnya latihan dan mobilitas yang terbatas (Mauk, 2006). Hal ini juga diungkapkan Kozier & Erb (2009), saat mengkaji konstipasi, perawat harus memperhatikan diet klien, aktivitas, konsumsi obat, karakteristik feses, kemudahan pengeluaran feses, dan pengeluaran defekasi. Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan observasi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Bising usus dinilai untuk menjamin motilitas aktif dan transit untuk menyingkirkan obstruksi usus. Konstipasi dengan ada atau tidak adanya bising usus harus diauskultasi. Bising usus yang paling sering terdengar di kuadran kanan bawah. Jika tidak segera mendengar perawat harus mendengarkan sampai dua menit di masing-masing empat kuadran. Palpasi abdomen untuk massa abdomen, menilai untuk kekakuan, distensi, atau nyeri (Eberhardie, 2003; Folden et al, 2002). 2.2.5 Perubahan Sistem Gastrointestinal pada Lansia Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian tubuh, khususnya dalam saluran gastrointestinal. Banyak masalah-masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan gaya hidup lansia itu sendiri. Menurut Maryam (2010), perubahan gastroinstestinal yang terjadi pada lansia diantaranya esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, peristaltic menurun sehingga daya absorbs juga ikut menurun. Selain itu, ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori juga menurun sehingga menyebabkan berkurangnya Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 14 produksi hormon dan enzim pencernaan. Berikut ini akan dipaparkan perubahan sistem gastrointestinal dari rongga mulut, esophagus, lambung, usus halus, usus besar, hati, dan pankreas. Perubahan dimulai dari rongga mulut. Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah. Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit (Nugroho, 2008). Perubahan berikutnya yaitu esofagus. Esofagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau pelebaran seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus. Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia (Luecknotte, 2000). Perubahan berikutnya yaitu pada lambung. Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi peptone terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang rangsang lapar juga berkurang (Darmojo & Martono, 2006). Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus dan usus besar (Stanley, 2007). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 15 Dari lambung selanjutnya masuk ke dalam usus halus. Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan sel epithelial berkurang. Di daerah duodenum enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak sebaik sewaktu muda (Leueckenotte, 2000). Perubahan selanjutnya yaitu pada usus besar dan rektum. Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltik kolon yang melemah gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000). Pada lansia, feses melalui usus dengan laju yang lebih lambat, dan persepsi stimulus yang menghasilkan keinginan untuk defekasi sering menurun (Kozier & Erb, 2009). Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan elektrolit meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen sudah melemah (Darmojo & Martono, 2006). Berikutnya perubahan pada pankreas. Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu yang menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipaseA yang diaktifkan oleh tripsin dan/ atau asam empedu (Darmojo & Martono, 2006). Perubahan terakhir yang terjadi yaitu pada hati. Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 16 vitamin, konjugasi billirubin dan lain sebagainya. Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo & Martono, 2006). Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi dalam sistem empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley, 2007). 2.2.6 Penatalaksanaan Konstipasi 2.2.6.1 Manajemen Keperawatan Perawat memunculkan informasi tentang onset dan durasi konstipasi, pola eliminasi saat ini dan masa lalu, harapan pasien terhadap eliminasi usus normal, dan informasi gaya hidup (misalnya, olahraga dan tingkat aktivitas, pekerjaan, makanan dan asupan cairan, dan tingkat stres) selama wawancara riwayat kesehatan. Riwayat operasi, obat-obatan saat ini, pencahar dan penggunaan enema. Lainnya seperti informasi tentang sensasi tekanan rektal atau penuh, nyeri perut, mengejan berlebihan pada buang air besar, dan perut kembung. Pendidikan pasien dan promosi kesehatan adalah fungsi penting perawat. Setelah riwayat kesehatan diperoleh, perawat menetapkan tujuan spesifik untuk memberikan edukasi. Tujuan penatalaksanaan konstipasi pada pasien diantaranya mengembalikan atau mempertahankan pola eliminasi yang teratur, memastikan asupan cairan dan makanan tinggi serat, belajar tentang metode untuk menghindari konstipasi, mengurangi kecemasan tentang pola eliminasi, dan menghindari komplikasi. 2.2.6.2 Intervensi Keperawatan Keluhan usus yang umum pada lansia memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup. Memulai manajemen sembelit bagi mereka yang berisiko sembelit dapat meringankan penderitaan dan meningkatkan kemampuan untuk menjalani hidup yang lebih penuh (Spinzi, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009); manajemen awal sembelit (pencegahan) dianjurkan sebagai kombinasi dari cairan, rejimen diet, olahraga, dan toileting (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Meza, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 17 Peggs, & O'Brien, 1984, Tariq, 2007 dalam dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Setelah mengidentifikasi individu yang berisiko untuk konstipasi, tindakan berikut ini sebaiknya dilaksanakan. Pertama yaitu intake cairan. Orang dewasa dapat mengkonsumsi jumlah cairan yang tidak cukup yang mungkin mempengaruhi mereka untuk mengalami konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Mentes, 2004;.Tariq, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Asupan cairan minimal 1,5 liter (6 gelas) per hari dianjurkan untuk menghindari konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Mentes, 2004; Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Dalam laporan keenam dan terakhir dari Dietary Reference Intakes (DRIs), The Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, and National Academy of Sciences mengatur intake cairan adekuat untuk hidrasi sebanyak 2,7 liter (11 gelas) per hari untuk wanita usia 19-70, dan 3,7 liter (15 gelas) per hari untuk laki-laki usia 19-70. Rekomendasi cairan ini termasuk cairan dari semua sumber. Dua puluh persen dari cairan untuk hidrasi berasal dari makanan dan 80% dari minuman. Oleh karena itu, perempuan membutuhkan sekitar 8 gelas dan laki-laki sekitar 12 gelas cairan per hari untuk hidrasi yang adekuat (Institute of Medicine Food and Nutrition Board, "Dietary reference intakes for water," 2005). Cairan bisa berasal dari semua minuman, termasuk air, jus, kopi, teh, dan minuman berkarbonasi. Cairan berkafein tidak membuat perbedaan yang signifikan dalam hidrasi. Berikutnya yaitu diet. Sebuah diet serat tinggi telah ditemukan untuk meningkatkan frekuensi buang air besar dan efektif dalam pengobatan konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Serat pangan adalah komponen alami dari produk tanaman, seperti buah, sayuran, dan biji-bijian. Sumber ini menyediakan sebagian besar yang dibutuhkan oleh usus besar untuk menghilangkan limbah tubuh (Di Lima, 1997 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Saat serat melewati usus besar, ia bertindak sebagai spons dengan menyerap air. Hal ini menyebabkan limbah menjadi lembut. Limbah kemudian bergerak melalui tubuh lebih cepat memungkinkan lebih mudah dan lebih buang air besar teratur (Di Lima, 1997;. Folden et al, 2002; Hsieh, 2005; Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 18 Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Diet tinggi serat tidak dianjurkan bagi individu yang imobilisasi atau yang tidak mengkonsumsi setidaknya 1.500 mililiter cairan per hari (Donald et al., 1985 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Total serat 21 gram per hari untuk wanita usia 51-70, dan 30 gram per hari untuk laki-laki usia 51-70 (Institute of Medicine Food and Nutrition Board, "Dietary reference intakes for energy," 2005). Rekomendasi untuk asupan serat makanan bervariasi 25-30 gram per hari menjadi 20-35 gram per hari minimum ketika asupan cairan setidaknya 1.500 mililiter per hari (Di Lima, 1997; Hsieh, 2005;. Tariq, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Serat pangan meliputi serat tidak larut dan larut (Di Lima, 1997 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Serat tidak larut bersumber dari gandum, sayuran, dan biji-bijian. Ini tidak larut dalam air. Jenis serat yang paling membantu dalam mencegah sembelit (Di Lima, 1997 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Serat larut ditemukan dalam oat bran, barley, kacang, dan buah-buahan dan sayuran tertentu. Serat ini membentuk gel ketika bercampur dengan air. Serat larut memiliki manfaat yang minimal dalam mencegah atau mengelola sembelit (Di Lima, 1997 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Cara yang paling bermanfaat untuk mencegah konstipasi adalah kombinasi dari serat tidak larut dan larut dengan meningkatkan asupan makanan dari gandum, buah-buahan, dan sayuran (Wichita, 1977 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Penatalaksanaan berikutnya yaitu aktivitas fisik. Menurut Hoeger dan Hoeger (2005), aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal dan membutuhkan pengeluaran energi. Almatsier (2003), menjelaskan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Fungsi tubuh lansia yang mengalami penurunan sebagai akibat dari proses penuaan yang terjadi pada seseorang menyebabkan keterbatasan lansia dalam beraktivitas. Penurunan aktivitas fisik ini akan mengakibatkan terjadinya kelemahan tonus otot dinding saluran cerna sehingga akan terjadi konstipasi (Arisman 2007). Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang dapat meningkatkan Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 19 fungsi usus, seperti berjalan kaki, latihan otot panggul, angkat kaki, latihan mengencangkan otot perut, dan bersepeda stasioner (McKay, Fravel, & Scanlon, 2009) Mobilitas yang buruk dapat berhubungan dengan konstipasi (Hsieh, 2005; Tariq, 2007; Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Aktivitas fisik telah terbukti meningkatkan kualitas hidup karena pengaruhnya terhadap waktu transit gastrointestinal (Chin A Paw, van Poppel, & van Mechelen, 2006;. Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Rekomendasi kegiatan harus disesuaikan dengan kemampuan fisik individu dan kondisi kesehatan (Chin A Paw et al, 2006;. Karam & Nies, 1994; Tariq, 2007; Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Berjalan 15-20 menit sekali atau dua kali sehari, atau lebih, dianjurkan bagi mereka yang sepenuhnya dapat mobilisasi (Chin A Paw et al, 2006;. Karam & Nies, 1994; Tariq, 2007;. Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Terkait frekuensi, intensitas, dan durasi pelaksanaan latihan tidak ada evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya. Namun, frekuensi dan durasi latihan harus didasarkan pada toleransi pasien (Moore et al., 1999). Aktivitas fisik yang dilakukan fungsi utamanya ditujukan untuk usus . Manipulasi pada perut bagian tengah dengan arah vertikal dan melingkar dimaksudkan untuk memperlancar aliran darah ke usus dan merangsang peristaltik usus. Desakan dan tarikan di perut bagian tengah maupun bawah akan menambah efektif perangsangan tersebut. Dengan aliran darah yang baik, kelenjar pencernaan akan dapat memproduksi enzim dengan kuantitas yang cukup dan kualitas baik. Kesulitan buang air besar pada lansia, selain diatasi dengan makanan berserat dan banyak minum, perlu ditambah dengan aktivitas fisik perangsang peristaltik usus (Kushartanti, 2008). Berikutnya yaitu toileting. Mengabaikan atau menekan dorongan untuk buang air besar memberikan kontribusi untuk konstipasi (Folden et al, 2002; Sanburg, McGuire, & Lee, 1996 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Membentuk pola Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 20 BAB rutin telah ditemukan menjadi bermanfaat dalam pengelolaan konstipasi (Folden et al, 2002; Gibson et al, 1995 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Aktivitas toileting dianjurkan 5-15 menit setelah makan, terutama setelah sarapan ketika refleks gastrokolik paling kuat dan sesuai kebutuhan (Folden et al, 2002; Karam & Nies 1994 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Terakhir yaitu terapi farmakologi. Terapi farmakologi diindikasikan jika gejala konstipasi bertahan meskipun telah dilakukan perubahan gaya hidup (Johnson, 2006 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Agen farmakologis yang digunakan untuk pengobatan konstipasi dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut: pembentuk sampah pencahar (bulk-forming laxatives), emolien, pelumas, obat pencahar osmotik, stimulan, dan chloride-channel stimulators. Pemilihan agen tertentu harus didasarkan pada karakteristik individu pasien. Faktor-faktor tertentu harus dipertimbangkan, seperti kontraindikasi untuk kelas tertentu, penggunaan pencahar sebelumnya, dan preferensi pribadi dari bentuk sediaan. Tidak ada pedoman evidence based yang membahas urutan disukainya penggunaan berbagai jenis obat pencahar (Hseih 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Namun, efek dari penggunaan beberapa jenis obat pencahar telah dilaporkan (Sandburg, McGuire, & Lee, 1996). Obat pencahar pembentuk sampah (misalnya, Citrucel ®, Metamucil ® dan Fibercon ®). Obat ini sering digunakan sebagai agen lini pertama karena rendahnya insiden efek samping yang serius dan harga murah. Efek samping yang umum terjadi termasuk distensi perut dan perut kembung. Namun, penting diimbangi dengan banyak mengkonsumsi air untuk menghindari obstruksi pada kerongkongan, lambung, dan usus (Berardi, 2006 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). 2.2.6.3 Aktivitas fisik yang disarankan untuk lansia Beraktifitas fisik yang baik dan teratur akan membantu keadaan tubuh tetap terjaga dengan baik, baik itu aktivitas yang bersifat aerobik maupun aktvitas yang anaerobik. Untuk lansia, aktivitas yang disarankan bersifat aerobik. Beberapa aktivitas yang bersifat aerobik yang dianjurkan untuk diberikan pada lansia yaitu misalnya dengan jalan kaki, jogging, melompat, bersepeda baik yang stasioner Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 21 maupun yang jalan, serta senam lansia (Sriwahyuniati, 2008; Rahardjo, 2014). Aktivitas fisik ini juga bertujuan agar kebugaran dan kesegaran jasmani tubuh pada lansia tetap terjaga dan terkendali. Efektif atau tidaknya program olahraga atau aktivitas yang dilakukan oleh lansia juga tergantung dari program yang dijalankan. Sebaiknya program latihan yang dijalankan harus memenuhi konsep FITT (Frequency, Intensity, Time, Type) (Sriwahyuniati, 2008). Rahardjo (2014) menyatakan bahwa olahraga atau aktivitas fisik yang dapat disarankan pada lansia yang sehat adalah aerobik yang salah satunya adalah dengan bersepeda, baik statis atau dinamis. Prinsip bersepeda statis dan menggerakan kaki seperti mengayuh sepeda pada dasarnya sama. Aktivitas ini dapat merangsang peristaltik usus dan mengencangkan tonus otot perut yang baik untuk pencernaan. Bagi beberapa lansia yang tidak memiliki sepeda, dapat melakukan latihan ini dengan sambil berbaring di lantai, matras, atau di kasur. Lalu menggerakan kaki di udara seperti gerakan mengayuh sepeda. Terkait frekuensi, intensitas, dan durasi pelaksanaan latihan tidak ada evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya. Namun, frekuensi dan durasi latihan harus didasarkan pada toleransi pasien (Moore et al., 1999). Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA Bab ini berisi pemaparan laporan kasus kelolaan utama, mulai dari pengkajian, rencana asuhan, implementasi asuhan keperawatan, hingga evaluasi terkait analisis praktik klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dengan masalah konstipasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung. 3.1 Pengkajian 3.1.1 Identitas Klien Kakek SH (77 tahun) merupakan lansia yang tinggal di Wisma Cattleya PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung. Kakek SH lahir pada tanggal 29 September 1937 di Jambi. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Rakyat (SR). Pekerjaan terakhir Kakek SH yaitu supir bus antar kota Jakarta-Padang. Status pernikahan Kakek SH menikah. Dari hasil pernikahannya, Kakek SH tidak dikaruniai anak. Kakek SH tinggal di panti karena tidak memiliki sanak keluarga di Jakarta. Keluarga termasuk istri tinggal menetap di Padang. Saat tinggal di Jakarta, Kakek SH harus menjalani operasi batu kemih. Setelah operasi, Kakek SH diantar ke PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung karena tidak memiliki tempat tinggal dan tidak ada kerabat yang merawatnya. Kakek SH pernah ditawari untuk kembali ke kampung halamannya, namun, Kakek SH memilih Klien tinggal di PSTW semenjak tahun 2012. Klien menyangkal memiliki riwayat penyakit apapun. Menurut keterangan klien, riwayat penyakit yang diturunkan dari kedua orang tuanya juga tidak ada. Saat pengkajian, riwayat penyakit yang dialaminya yaitu penyakit batu kemih yang membuat klien akhirnya di operasi. Setelah operasi tersebut, klien mengaku mengalami kencing berdarah (hematuria). Klien tidak merasakan nyeri saat buang air kecil. Hanya saja, terkadang klien merasakan panas pada saluran kencingnya. Tetapi hal ini membuat klien tidak terganggu. Hal lain yang menjadi keluhan klien, klien memiliki keluhan berupa BAB yang keras, sedikit, dan berwarna agak kehitaman. Sebelum operasi batu kemih, klien mengatakan bahwa frekuensi BAB nya teratur setiap hari sekali. Namun, saat dilakukan pengkajian, klien mengaku bahwa frekuensi BAB-nya menjadi 2-3 hari sekali. 22 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 23 3.1.2 Pengkajian Fisik Pengkajian fisik telah dilakukan pada klien. Pengkajian tersebut dilakukan mulai dari kepala hingga kaki (head to toe). Keadaan umum dan orientasi klien baik, dengan kesadaran compos mentis. Tanda vital saat dilakukan pengkajian terukur, suhu: 36,5o C; nadi 86 x/menit; tekanan darah 110/70 mmHg, pernafasan 20x/menit; tinggi badan 160 cm; serta berat badan 50 kg. Pemeriksaan pada bagian kepala menunjukkan keadaan rambut yang beruban namun bersih, tidak ada lesi, mata simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, dilatasi pupil baik +/+, hidung tidak terdapat sekret atau sumbatan nafas, simetris, sinus (-), epistaksis (-). Telinga simetris dengan produksi serumen minimal, ganggua pendengaran (-). Mulut bersih , mukosa lembab dan berwarna pink kemerahan, lesi (-), kemampuan mengunyah dan menelan masih baik, jumlah gigi 28, produksi saliva cukup. Pemeriksaan pada leher menujukkan tidak adanya pembesaran kelenjar getah bening atau distensi vena jugular. Pengkajian berikutnya yaitu pada daerah dada/toraks, abdomen, dan ekstremitas. Hasil pengkajian toraks menunjukkan bahwa bentuk dada simetris, lesi (-), iktus kordi (-), nyeri tekan (+), bunyi nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-, BJ I dan BJ II positif, reguler, gallop (-), murmur (-). Daerah abdomen berwarna putih warna kulit dan teraba datar, lesi (-), asites (-), nyeri tekan (+), distensi (-), serta BU 1x/menit. Pengkajian muskuloskeletal tidak terdapat perubahan gaya berjalan riwayat fraktur (-), nyeri timbul pada sendi lutut saat lelah, kekuatan otot ekstremitas kanan atas bernilai 5555, kiri atas 5555 sedangkan kanan bawah 5555 dan kiri bawah 5555. 3.1.3 Kebiasaan dan Aktivitas Klien memiliki kebiasaan makan tiga kali sehari sesuai jadwal yang telah diatur panti. Hasil observasi dan wawancara, porsi makan klien hanya berkisar 5-6 sendok makan saja dengan lauk dan sayuran sesuai yang telah disediakan. Namun, karena jadwal pembagian makanan yang terlalu dekat, klien sering menunggu makan jikalau merasa lapar. Alhasil, makanan yang sudah sejak tadi dibagikan menjadi dingin ketika dimakan. Selain itu, Klien mengatakan tidak memiliki alergi makanan tertentu. Tidak ada pembatasan makanan atau alergi terhadap makanan tertentu. Hanya saja, porsi makan yang berkurang ini disebabkan oleh nafsu makan klien yang berkurang dengan makanan yang disajikan panti. Klien menganggap, makanan tersebut membosankan. Kebiasaan minum klien terbilang cukup baik dengan konsumsi air putih sebanyak 3-4 gelas mug (±600cc/mug) tiap harinya. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 24 Pola tidur klien mengalami masalah dengan kebiasaan tidur yang telah terbentuk semenjak dahulu bekerja sebagai supir bus malam. Klien akan tidur pada pukul 22.00 dan terbangun pada pukul 01.00 untuk melakukan shalat tahajud. Saat siang hari, klien mengaku jarang sekali tidur siang karena merasa sulit tertidur. Menurutnya, pada waktu siang hari, lebih banyak gangguan yang datang seperti misalnya adanya kegiatan TAK, kunjungan tamu, ataupun suasana yang seringkali tidak mendukung untuk tertidur. Klien mengatakan bahwa ia merasa tidurnya kurang. Saat pengkajian, tampak klien lelah, terdapat kantung mata, dan sedikit pucat. Kebiasaan buang air kecil dan besar klien terlihat mengalami masalah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keluhan utama klien yang dirasakan adalah BAB yang tidak teratur dan adanya tanda dan gejala konstipasi. Selain itu, frekuensi buang air kecil klien juga terlihat adanya masalah yaitu sekitar 3-4 kali dalam sehari. Berwarna keruh, terdapat sedimen dan darah. Hal ini sudah pernah dikonsultasikan dengan perawat panti, Menurut keterangan perawat tersebut, klien sudah pernah mendapatkan obat. Selama mendapat terapi obat, keluhan kencing berdarah sudah tidak ada. Namun, setelah obat habis, klien mengaku kencing berdarah muncul lagi. Klien tidak melaporkan hal ini kepada petugas karena merasa tidak terganggu. Saat dilakukan secara mendetail, klien mengakui kepada mahasiswa perawat bahwa kencing berdarahnya muncul kembali. Hasil pengkajian Barthel Index, klien termasuk kategori mandiri. Klien mampu melakukan aktivitas sehari-harinya dengan mandiri. Setiap harinya rutinitas yang dikerjakan yaitu bangun pagi, mandi, mencuci baju, kadang terlihat bercengkerama dengan penghuni lain. Kegiatan yang diikuti di panti diantaranya yaitu panggung gembira dan senam. Selain itu, jika ada mahasiswa praktik mengadakan TAK (Terapi Aktivitas Kelompok), klien juga akan mengikutinya. Pada waktu siang, klien akan istirahat dan makan. Saat siang hari, klien biasanya terlihat duduk atau tiduran di kamarnya. Kemudian saat menjelang sore, klien akan mulai mandi dan bersiap makan sore. Terkadang klien terlihat bercengkrama dengan penghuni lain ataupun duduk-duduk di teras wisma saat menjelang petang. Aktivitas rekreasi atau kegiatan yang klien anggap menghibur di panti yaitu senam dan panggung gembira. Menurut klien kegiatan tersebut cukup menjadi hiburan selama di panti. Di wisma sendiri terdapat televisi. Namun, menurut klien, televisi yang diletakkan di Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 25 lorong wisma tersebut tidak cukup menghibur. Alasan lainnya yaitu klien tidak terlalu menyukai menonton televisi. 3.1.4 Pengkajian Lain Instrumen pengkajian yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan terhadap konstipasi pada klien yaitu penggunaan CAS (Constipation Assessment Scale) (McMillan & Williams, 1989 dalam Loretz, L. (2005). Form tersebut berisi daftar pertanyaan: 1) “Apakah anda merasa penuh, begah, atau kembung pada perut anda?” (2) “Apakah terjadi perubahan jumlah atau frekuensi gas (kentut) yang keluar?” (3) “Apakah anda mengalami penurunan frekuensi defekasi/ BAB? (4) “Apakah anda merasakan adanya feses cair yang merembes?” (5) “Apakah anda merasakan adanya tekanan atau perasaan penuh pada rectum/ anus?” (6) “Apakah anda merasakan sakit/ nyeri pada rektum/ anus saat defekasi?” (7) “Apakah ukuran feses yang keluar lebih kecil?” dan (8) “Apakah anda merasa ingin defekasi, namun tidak dapat mengeluarkannya?”. Hasil pengkajian awal, Nilai skor CAS klien didapatkan skor 9 dari 16. Skor tersebut menunjukkan bukti adanya masalah konstipasi pada klien. McMillan & Williams (1989) tidak membuat range yang jelas dalam membedakan kategori konstipasi ringan, sedang, atau berat. Namun, hasil skor > 1 sudah menunjukkan bahwa klien mengalami konstipasi. Beberapa pengkajian lainnya yang dilakukan pada klien diantaranya tingkat kemandirian dengan menggunakan indeks Barthel, Morse Fall Scale (MFS), serta Berg Balance Test (BBT), Geriatric Depression Scale Short Form, dan Mini Mental Status Examination (MMSE). Tingkat kemandirian klien berdasarkan hasil pengkajian dengan indeks Barthel menunjukkan skor 100 dengan kemandirian penuh. Hasil pengkajian risiko jatuh dengan MFS menunjukkan skor nilai 0 yang berarti klien tidak berisiko jatuh. Berikutnya untuk pengkajian BBT didapatkan skor 55 yang berarti klien memiliki risiko jatuh rendah. Kemudian, dari pengkajian GDS, didapatkan skor 0 yang menunjukkan klien tidak depresi. Selanjutnya dari pengkajian MMSE didapatkan skor 26 yang artinya aspek kognitif dari fungsi mental baik. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 26 3.2 Masalah Keperawatan 3.2.1 Analisa Data Analisa data dibuat berdasarkan pada data yang didapatkan baik data subjektif maupun objektif. Berdasarkan hasil data pengkajian, analisa data tersebut menghasilkan dua masalah keperawatan pada klien yaitu konstipasi dan insomnia. Selanjutnya dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan pada klien. Diagnosa konstipasi ditegakkan berdasarkan data yang diperoleh dari subjektif maupun objektif. Data subjektif yang didapatkan antara lain frekuensi BAB yang berubah dari setiap hari menjadi dua sampai tiga hari sekali. Kemudian kerasnya BAB saat mengedan, warna feses yang agak hitam, dan produksi kotoran yang sedikit dengan bentuk bulat-bulat kecil. Selain itu, klien juga melaporkan rasa BAB yang tidak tuntas. Data objektif didapatkan dari pengkajian bising usus dengan hasil 0-1 kali per menit, asupan serat yang kurang, intake cairan berkisar 3 – 4 mug (@600 cc), kurangnya aktivitas pada siang hari karena tampak klien lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Masalah lingkungan yang cukup berpengaruh adalah ketersediaan makanan tinggi serat dan buah yang disediakan panti sangat terbatas dan tidak menentu setiap harinya. Diagnosa selanjutnya adalah insomnia. Data subjektif yang mendukung untuk diagnosa ini diantaranya klien mengeluhkan tidur yang kurang, sulit untuk jatuh tertidur jika terbangun pada malam hari. Selain itu, pola tidur yang terbentuk saat masih bekerja sebagai supir bus malam juga mempengaruhi pola tidur klien saat ini. Di samping itu, teman sekamar klien juga sering kali menimbulkan suara yang menurut klien itu mudah mengganggu tidurnya. Data objektif yang mendukung yaitu adanya kantung mata, klien tampak lemas. Lingkungan PSTW khususnya wisma tempat klien tidur juga menjadi pengaruh terhadap pola tidur klien. Letak kamar klien yang berada di tengah, menjadi tempat keluar masuk lansia yang tidak ingin menggunakan beberapa anak tangga untuk masuk ke wisma. Hal ini membuat klien merasa terganggu dengan suara-suara yang ditimbukan oleh orangorang yang keluar masuk tersebut saat tidur. Berdasarkan analisa data tersebut masalah keperawatan yang didapatkan yaitu: a. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya aktivitas dan kurangnya intake cairan.. b. Insomnia berhubungan dengan pola aktivitas dan lingkungan. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 27 3.2.2 Rencana Asuhan Keperawatan Rencana asuhan keperawatan yang dilakukan pada masalah utama konstipasi merujuk pada intervensi yang dianjurkan oleh Carpenito (2009). Intervensi pada masalah konstipasi bertujuan agar setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 18 kali pertemuan, konstipasi tidak terjadi. Adapaun kriteria hasil yang ingin didapatkan dari intervensi yang dilakukan antara lain, membangun kembali pola normal fungsi usus dan konsistensi feses tidak keras dengan tanpa adanya rasa mengedan saat BAB. Intervensi yang dilakukan untuk masalah ini antara lain: memberikan pemahaman pada klien terkait penyebab konstipasi dan dampak konstipasi yang tidak ditangani. Selain itu, menganjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan minimal 2 liter per hari, meningkatkan asupan sayuran dan buah, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengonsumsi air hangat sebelum sarapan pada pagi hari. Di samping itu, memotivasi kegiatan klien untuk tetap mengikuti senam 2x seminggu. Setiap harinya juga akan dilakukan pemeriksaan bising usus, abdomen, dan evaluasi kegiatan dalam sehari. 3.2.3 Implementasi Implementasi keperawatan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah konstipasi yang ditetapkan sebagai diagnosa utama yaitu dengan memberikan pengenalan masalah konstipasi pada klien meliputi pengertian, penyebab, dan cara menanganinya. Selain itu, menganjurkan klien untuk minum air hangat sebelum sarapan pagi untuk menstimulasi usus. Klien juga telah dianjurkan untuk meningkatkan intake cairan minimal 2 (dua) liter per hari dan meningkatkan asupan sayuran dan buah yang telah disediakan oleh panti. Di samping itu, selalu memberikan motivasi pada klien untuk mengikuti kegiatan senam yang telah terjadwal setiap Selasa dan Jum’at di PSTW. Intervensi lain yang dilakukan adalah menganjurkan klien meningkatkan aktivitas fisik. Aktifitas fisik ini berupa jalan pagi dan jalan sore, melakukan peregangan otot seperti yang sudah diajarkan. Aktifitas lainnya yaitu latihan gerakan mengayuh sepeda yang dipilih sebagai aktivitas fisik terjadwal. Aktivitas fisik yang dijadwalkan sebelum tidur dan bangun tidur sesuai kesepakatan dengan klien ini dievaluasi setiap harinya oleh perawat. Latihan gerakan kayuh sepeda ini dianjurkan perawat untuk melakukannya dengan hitungan 3x8. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Moore et al (1999) bahwa durasi pelaksanaan didasarkan pada toleransi pasien. Jumlah gerakan yang dapat di Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 28 toleransi klien yaitu 8 kali kayuhan dalam 3 set hitungan. Toleransi ini dilakukan merujuk kepada tidak adanya evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya (Moore et al., 1999). Kelemahan dari pelaksanaan aktivitas ini yaitu waktu latihan yang sulit dipantau pelaksanaannya oleh perawat, membuat perawat mengevaluasi latihan ini 2 kali seminggu yaitu pada hari Senin dan Kamis. Pertemuan pertama dengan klien dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014. Hal yang dilakukan pada pertemuan pertama, baru sebatas pengkajian yang meliputi pemeriksaan fisik dan wawancara. Dari hasil pengkajian, didapatkan data (lihat sub bab pengkajian) yang mengarah pada masalah keperawatan konstipasi. Penulis kemudian membuat rencana asuhan keperawatan dengan mencari studi literatur yang sesuai untuk menangani masalah klien dan mempertimbangkan terapi yang dapat dilakukan dipanti. Dari hasil studi literur tersebut, penulis memutuskan untuk menerapkan intervensi unggulan dengan terapi aktivitas fisik teratur pada klien. Pertemuan berikutnya yaitu tanggal 27 Mei 2014, penulis melakukan intervensi yang pertama, yaitu pengenalan masalah konstipasi pada klien. Pengenalan tersebut berupa penjelasan mengenai pengertian konstipasi, tanda dan gejala, faktor penyebab, dampak bila tidak ditangani, dan upaya penanganan. Selanjutnya penulis membuat kontrak pertemuan berikutnya untuk mendiskusikan mengenai upaya penanganan konstipasi yang dapat dilakukan klien di panti. Pertemuan ketiga, yaitu pada tanggal 28 Mei 2014, penulis mulai melatih aktivitas fisik mengayuh sepeda yang telah disepakati sebelumnya dengan klien. Pada awalnya, penulis ingin memanfaatkan sepeda statis yang berada di klinik panti. Namun, klien mengatakan lelah jika harus ke klinik tiap hari. Hal ini karena letak klinik yang berada di bagian atas panti pada kontur tanah yang tidak rata. Atau dapat dikatakan, klien harus menanjak karena letak wisma klien berada di daerah turunan. Akhirnya penulis memodifikasi aktivitas ini dengan melakukan gerakan kayuh sepeda di atas tempat tidur. Sebelumnya, penulis melakukan tes toleransi durasi kegiatan yang dapat ditoleransi klien. Hasilnya, klien mampu melakukan gerakan kayuh sepeda dengan hitungan 8 kali 2 set. Penulis bersama klien kemudian membuat jadwal latihan. Klien menyepakati akan melakukan latihan ini sebelum tidur dan saat bangun tidur. Di akhir pertemuan, penulis tidak lupa memotivasi klien dengan meningkatkan asupan cairan (minimal dua liter sehari), Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 29 menghabiskan makanan yang di berikan termasuk sayuran dan buah yang disediakan, dan menganjurkan mengonsumsi air hangat sebelum sarapan. Penulis juga memotivasi klien untuk tetap rutin mengikuti senam yang diadakan pihak panti pada hari Selasa dan Jum’at. Setiap pertemuan sampai pertemuan ke 15, penulis mengevaluasi jadwal latihan yang disepakati bersama klien. Hal yang dievaluasi terkait intake cairan, diet fiber, dan latihan kayuh sepeda. Pada tanggal 4 dan 5 Juni 2014, klien tidak melaksanakan jadwal karena sakit. Setiap 2 kali dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Sabtu, penulis mengevaluasi latihan gerakan yang dilakukan klien. Hal ini bertujuan untuk memantau pelaksanaan jadwal terapi aktivitas teratur yang dilakukan klien. 3.2.4 Evaluasi Evaluasi terhadap intervensi yang diberikan dibagi menjadi evaluasi subjektif dan objektif. Hasil evaluasi subjektif yaitu klien mengatakan pola BAB klien masih belum teratur. Namun di minggu kedua intervensi, klien melaporkan sudah BAB dengan tanpa adanya rasa keras saat mengedan. Konsistensi feses lembek dan banyak. Warna feses awalnya agak hitam kemudian diikuti dengan feses yang berwarna kuning kehijauan. Klien mengatakan beberapa kali tidak mengikuti senam karena capek setelah mencuci baju di pagi hari. Klien juga mengatakan beberapa kali tidak melakukan latihan kayuh sepeda. Alasannya karena lupa dan capek. Selain itu, anjuran minum air hangat pada pagi hari hanya dilakukan klien berkisar 3 hari. Klien mengatakan bahwa ia tidak terbiasa dan merasa perutnya tidak enak. Evaluasi objektif didapatkan dari pengkajian fisik dan hasil observasi. Dari hasil pengkajian fisik diketahui bahwa selama dilakukan intervensi selama 3 minggu, bising usus klien berkisar 0-1 kali per menit, terabanya massa pada 1/3 bagian usus besar desenden dan hasil perkusi dengan suara redup, distensi abdomen negatif, nyeri tekan negatif dibandingkan dengan hasil pengkajian sebelumnya positif. Hasil observasi, setiap harinya, tampak klien lebih banyak menghabiskan waktu nya pada pagi hari dengan duduk di kasur atau di teras wisma. Klien aktif mengikuti senam yang diadakan panti pada hari Selasa dan Jumat. Tampak hanya dua kali selama intervensi klien tidak mengikuti senam karena merasa tidak fit. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 30 Target 18 kali pertemuan yang telah direncanakan, pertemuan yang terealisasi hanya sebanyak 15 kali pertemuan. Hal ini karena keterbatasan penulis selama praktik dipanti. Keterlibaan petugas panti dianggap kurang dalam pemberian asuhan keperawatan ini. Terbukti dari ketidaktahuan petugas panti terhadap keluhan konstipasi klien. Penulis menyadari, dalam pengawasan klien melakukan terapi latihan ini, di rasa sulit karena jadwal yang diinginkan klien dalam melakukan latihan ini pada saat malam hari tidak ada perawat yang bertugas. Penulis berkolaborasi dengan petugas panti,dalam mengingatkan klien mematuhi terapi yang sedang dilaksanakan. Selain itu, petugas juga membantu penulis dalam mengevaluasi pola defekasi klien. Efektivitas terapi ini menurut penulis berkurang karena beberapa kali klien tidak melakukan terapi aktivitas karena sakit dan lelah. Sehingga hasil yang diharapkan kurang maksimal. Hasil evaluasi yang dapat disampaikan terkait penerapan terapi aktivitas fisik ini, ada pengaruh terhadap pola defekasi klien. Hal ini berdasarkan keterangan yang disampaikan klien yaitu pada pekan ketiga pertemuan ke 12, klien mengatakan sudah BAB dengan pengeluaran feses volume lebih banyak dari biasanya, konsistensi lembek, dan dorongan mengejan minimal. Namun, dilaporkan kembali oleh klien, bahwa pola defekasi klien masih belum teratur di hari-hari berikutnya. Efektivitas terapi ini juga terlihat dari skor CAS yang menurun pada klien sebesar 7 (tujuh) dari pemeriksaan pretest sebesar 9 (sembilan) dari nilai total skor 16. 3.2.5 Rencana Tindak Lanjut Rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah memotivasi klien untuk meningkatkan dan mengoptimalkan aktivitas fisik dengan melanjutkan jadwal latihan kegiatan yang telah disepakati sebelumnya. Hal ini juga dapat ditambah dengan aktivitas jalan pagi atau sore. Selain itu, poin lainnya terkait manajemen konstipasi juga ditekankan pada klien antara lain meningkatkan intake cairan, intake serat , juga tidak menahan keinginan jika hasrat BAB muncul (toileting). Tidak kalah penting yaitu berkolaborasi dengan petugas panti dalam mengontrol pola eliminasi klien. Jika klien tidak patuh terhadap terapi yang telah diberikan dan konstipasi tidak kunjung hilang, maka pertimbangkan dalam pemberian laksatif. Selain itu berkolaborasi dengan dokter juga dianjurkan oleh penulis. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 BAB 4 ANALISIS SITUASI Bab ini membahas analisis situasi terkait asuhan keperawatan konstipasi pada kakek SH di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung yang meliputi analisis profil pelayanan panti, analisis masalah terhadap konsep KKMP dan konstipasi, analisis intervensi dengan konsep dan penelitian terkait, serta alternatif pemecahan masalah. 4.1 Analisis Profil Pelayanan Panti Sosial Tresna Werdha Kota besar banyak didatangi kaum urban yang mengharapkan mendapat kesejahteraan sosial atau peningkatan status soaial. Perilaku tersebut membuat kota besar semakin padat dengan berbagai adanya perubahan sosial. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat melahirkan berbagai macam permasalahanpermasalahan sosial baru dan pada akhirnya akan muncul kelompok rentan yang mejadi korban perubahan sosial tersebut. Kelompok ini pada umumnya adalah golongan ekonomi menengah ke bawah khususnya adalah lanjut usia. Orang tua yang memasuki masa lanjut usia semakin terabaikan secara sosial, budaya dan psikologis. Mereka menjadi sendiri, merasa kesepian dan terlantar dalam rumah karena keluarga yang tidak sempat megurus mereka karena harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Terlebih lagi banyaknya kemiskinan yang menjamur di kota besar membuat lansia semakin terlantar karena tidak ada yang mengurus. Ketika fenomena ini semakin menguat dan mengarah yang lebih ekstrim, maka diperlukan sebuah institusi yang akan menjalankan atau mengambil alih fungsifungsi yang telah ditinggalkan/diabaikan oleh keluarga. Panti werdha akan menjadi sebuah pilihan dan solusi atas perubahan sosial yang terjadi di masyarakat (Hermana, 2008). Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur merupakan panti sosial milik Negara yang kepengurusannya di bawah Departemen Sosial RI. PSTW ini merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. PSTW ini difungsikan sebagai sarana 31 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 32 Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi para lanjut usia yang mengalami masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan secara fisik dan ekonomi untuk diberikan pembinaan pelayanan sosial serta perlindungan agar lansia dapat hidup secara wajar. Lansia yang menghuni PSTW ini, berasal dari berbagai tempat dan cara. Beberapa lansia berasal dari hasil jaring Satpol PP karena terlantar di jalan. Beberapa lainnya berasal dari kiriman masyarakat. Masyarakat yang menemukan lansia yang hidup sendiri, sakit, dan tidak ada yang merawat, masyarakat dapat membawanya langsung ke PSTW dengan membuat surat keterangan dari RT, RW, Kelurahan, dan Kecamatan setempat. Biasanya lansia tersebut diantar oleh tokoh setempat seperti ketua RT atau RW. Beberapa lansia lainnya ada yang datang sendiri bersama keluarganya karena merasa kesepian di rumah, permintaan sendiri, atau keluarga yang tidak sanggup merawat karena alasan ekonomi. PSTW memberikan beberapa layanan yang meliputi perawatan dan asrama, kesehatan dan gizi, pembinaan spiritual dan mental, kesejahteraan sosial, bimbingan latihan dan keterampilan, hingga pelayanan lansia sampai kematian. Lansia yang mengalami sakit fisik akan dirujuk PSTW ke RS Budi Asih untuk mendapatkan perawatan. Sedangkan untuk lansia dengan gangguan psikososial, PSTW bekerja sama dengan RS Duren Sawit dan Panti Laras yang berada di sebelah PSTW untuk mendapatkan pengobatan atau sekedar konsultasi. Namun, terkadang didapatkan, lansia yang mengalami sakit fisik dirujuk ke RS Duren Sawit untuk mendapatkan perawatan. Lansia di PSTW ini juga difasilitasi untuk memeriksakan kesehatannya di klinik yang disediakan. PSTW mendatangkan Dokter dari Puskesmas Cipayung setiap seminggu sekali untuk mengadakan pemeriksaan di klinik bagi lansia yang mengalami masalah kesehatan. Tetapi sayangnya, dalam sekali kunjungan, tidak semua wisma dapat diperiksa. Setiap minggunya, maksimal dua wisma yang difokuskan untuk mendapat pemeriksaan. Hal ini diatur oleh jadwal yang telah dibuat pihak PSTW. Fasilitas yang ada di klinik berupa obat-obatan, dua buah treadmill, dua buah tempat tidur, satu buah timbangan berat badan, satu set luka, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 33 dan satu buah autoklaf sebagai alat sterilisasi. Selama ini, pemanfaatan klinik baru sekedar digunakan sebagai pemeriksaan dokter dan terapis saja. Selain itu, ada juga psikolog yang datang tiap minggunya. Program kegiatan yang ada di PSTW Budi Mulya 01 Cipayung yaitu pembinaan kerajinan dan keterampilan, penyaluran hobi, rekreasi, olah raga, pembinaan spiritual, penyediaan makanan dan selingan sebagai makanan tambahan, samapai dengan memfasilitasi pernikahan antar WBS dan pemulasaran jenazah. Pembinaan kerajinan dan dan keterampilan seperti membuat keset, menyulam, menjahit, dan membuat berbagai kerajinan tangan (vas bunga, bros, accessories rambut, dan lain-lain). Penyaluran hobi yang difasilitasi panti misalnya beternak, berkebun, panggung gembira, latihan angklung dan rebana. Program PSTW untuk kesehatan jasmani, PSTW mengadakan olah raga senam rutin dua kali seminggu. Kegiatan rekreasi diadakan PSTW pada tengah dan akhir tahun. Pembinaan spiritual yang diadakan diantaranya pengajian dan sholat berjamaah bagi WBS yang beragama muslim, dan kebaktian bagi WBS yang beragama Kristen. Penyediaan makanan setiap harinya diberikan kepada WBS tiga kali sehari dan selingan sebagai makanan tambahan seperti susu dan kue. Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung di kondisikan dengan suasana rumah. Dalam pembagiannya, lansia ditempatkan pada wisma-wisma sesuai dengan jenis kemin dan tingkat kemandiriannya. Dari tujuh wisma, empat wisma diperuntukkan nenek-nenek, yaitu wisma Asoka, Bougenville, Cempaka, dan Dahlia. Tiga sisanya untuk kakek-kakek, yaitu Cattleya, Edelweiss, dan Flamboyan. Berdasarkan tingkat kemandiriannya, lansia dengan kategori parsialmandiri ditempatkan di wisma Asoka, Bougenville, Cattleya, dan Flamboyan, Sedangkan wisma dengan lansia total care adalah Cempaka, Dahlia, dan Edelweiss. Setiap wisma memiliki satu perawat dan satu pekerja sosial yang bertugas selama satu shift dari pukul 06.00 s.d 16.00 WIB. Khusus untuk wisma dengan total care dibagi menjadi tiga shift dengan jumlah petugas yang lebih banyak 2-3 orang petugas. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 34 Tiap wisma diberikan fasilitas yang sama oleh PSTW. Fasilitas tersebut diantaranya tempat tidur dengan kapasitas 30 – 35 orang (kecuali wisma Cattleya dengan kapasitas 20 orang saja), 6 buah kamar mandi (kecuali wisma Cattleya terdapat 10 kamar mandi), satu buah pantry, lemari, mesin cuci, timbangan berat badan, meja dan kursi. Lansia yang mengalami gangguan berjalan juga diberikan alat bantu jalan sesuai kebutuhan. Lansia yang tidak memiliki perlengkapan pribadi seperti, pakaian, perlengkapan mandi, sandal, disediakan pihak panti sesuai kebutuhan. PSTW Buhi Mulia 01 Cipayung memiliki 6 orang perawat dan pekerja sosial berjumlah 13 orang untuk 7 wisma. Jobdesc perawat yang dipekerjakan di PSTW ini memiliki beban kerja yang sama dengan para pekerja sosial, yaitu membersihkan wisma, memberikan makanan, dan membantu kegiatan harian lansia, yang membedakan adalah perawat diberi wewenang untuk memberikan obat untuk lansia. Selain itu, panti ini belum mempunyai rekap data mengenai masalah kesehatan seluruh lansia, kecuali untuk lansia yang memiliki riwayat atau mengalami gangguan kejiwaan. Mayoritas masalah kesehatan yang dialami lansia di PSTW Budi Mulya 01 Cipayung yaitu hipertensi (33,1%), stroke (6,9%), diabetes mellitus (17,2%), masalah kulit (22,8%), risiko jatuh (49,1%), dan malnutrisi (10,6%). Terkait masalah konstipasi, belum ada data yang menyebutkan jumlah lansia yang mengalami konstipasi. Data tersebut didapatkan dari hasil wawancara dengan petugas dan lansia serta pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Menurut petugas, pelayanan yang sudah dilakukan untuk menangani masalah kesehatan WBS yaitu memberikan obat sesuai keluhan WBS. Jika keluhan sudah dirasa berat, maka akan dirujuk ke RS rujukan panti. Dokter dan psikiater yang berkunjung setiap minggu ke panti, juga menjadi pilihan panti dalam menyelesaikan masalah kesehatan WBS. Di samping itu, pelayanan nutrisi lansia, pada dasarnya sudah baik dalam penyediannya, hanya saja kurang variatif. Selain itu, pada saat pembagian, porsi yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan nutrisi lansia. Hal ini karena tidak ada takaran yang mengaturnya. Khusus masalah konstipasi, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 35 lansia yang mengeluh belum BAB hanya diberikan obat pencahar saja. Hal ini bisa saja terjadi karena kurangnya pengetahuan panti dalam merawat lansia dengan konstipasi. 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep KKMP dan Konsep Konstipasi Beberapa lansia memiliki kecenderungan konstipasi yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penurunan aktivitas, insufisiensi asupan serat, insufisiensi asupan cairan, efek samping medikasi, penyalahgunaan laksatif, dan tidak memerhatikan isyarat defekasi (Miller, 2004). Tiga puluh persen lansia mengeluhkan masalah konstipasi, dibandingkan dengan 2 % populasi nonlansia (Shaefer & Cheskin, 1998 dalam Carpenito, 2010). Masalah konstipasi juga dialami oleh klien yang bernama Kakek SH di PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung. Sejumlah faktor berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi ini. Lansia yang memiliki gigi palsu yang longgar atau telah kehilangan gigi mengalami kesulitan mengunyah dan sering memilih makanan yang lembut, makanan olahan yang rendah serat (Smeltzer & Bare, 2012). Makanan yang lebih mudah dikunyah juga rendah serat, banyak dikonsumsi oleh mereka yang telah kehilangan minat dalam makan. Beberapa orang tua mengurangi asupan cairan mereka jika mereka tidak makan makanan biasa. Kurang olahraga dan istirahat yang berkepanjangan juga berkontribusi pada sembelit dengan berkurangnya kekuatan otot perut dan motilitas usus serta nada sfingter anal (Smeltzer & Bare, 2012). Impuls saraf yang tumpul, dan ada penurunan sensasi untuk buang air besar. Banyak orang tua yang terlalu sering menggunakan obat pencahar dalam upaya untuk buang air besar setiap hari menjadi ketergantungan (Smeltzer & Bare, 2012). Klien yang saat ini berusia 77 tahun sudah dikategorikan sebagai seorang yang lanjut usia berdasarkan pengelompokkan usia oleh WHO. Klien mengalami konstipasi di usianya yang sekarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa konstipasi lebih banyak dialami oleh lansia dengan usia lebih dari 65 tahun (Crane & Talley, 2007; Evans et al., 1998; Panchal, Muller-Schwefe, & Wurzelmann, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Sumber lainnya Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 36 juga mengatakan bahwa kunjungan dokter untuk masalah konstipasi lebih sering dilaporkan oleh individu usia 65 tahun atau lebih tua (Yamada et al., 1999). Para lansia melaporkan masalah dengan konstipasi lima kali lebih sering daripada orang yang lebih muda. Klien yang saat ini tinggal di panti werdha yang terletak didaerah perkotaan menjadi bagian dari sasaran praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya gaya hidup menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konstipasi. Klien yang menunjukkan usia yang telah lanjut ini, tidak bisa dipungkiri mengalami berbagai penurunan fungsi sistem tubuh, tak terkecuali sistem gastrointestinal. Lansia mengalami penurunan sekresi mukus pada usus besar dan penurunan elatisitas dinding rektum (Miller, 2004). Selain itu, disfungsi sensori di area anorektal pada lansia dapat mengurangi sensasi distensi rektum (Shua-Haim et al., 1999 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Hal ini yang kemungkinan dialami oleh klien sehingga klien mengalami konstipasi. Hasil pengkajian yang dilakukan dari pemeriksaan fisik dan wawancara klien, gejala lainnya yang dialami klien yaitu, adanya penurunan nafsu makan, nyeri tekan pada kuadran empat, teraba massa pada kuadran empat namun tidak tampak batas tegas, pola BAB yang berubah menjadi 2-3 hari sekali atau dengan kata lain 2-3 x seminggu, adanya rasa keras pada anus sehingga klien mengejan saat BAB, ada rasa tidak tuntas saat selesai BAB, konsistensi feses yang keras dan berbentuk bulat kecil. Klien memiliki riwayat operasi batu kemih pada tahun 2013. Menurut penulis, kemungkinan klien mengalami kecemasan saat ingin BAB. Dorongan ingin BAB menjadi tertahan karena rasa cemas yang dirasakan klien. Akumulasi dari dorongan BAB yang tidak disalurkan ini pada awalnya ini, membentuk pola baru defekasi klien. Sehingga klien saat ini mengaku adanya pola frekuaensi yang berubah saat setelah operasi batu kemih. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 37 Masalah konstipasi yang terjadi pada klien dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kurangnya asupan serat, kurangnya asupan cairan, serta kurangnya aktivitas fisik. Hal ini sesuai dengan penjelasan Stanley (2007) bahwa konstipasi dapat terjadi akibat penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot panggul dan abdomen serta defisiensi asupan serat dan cairan. Kebiasaan klien setiap harinya, klien mengonsumsi air putih kurang lebih sebanyak 2-3 mug (1 mug @ 600 cc). Asupan cairan ini tidak memenuhi rekomendasi asupan cairan. Asupan cairan minimal 1,5 liter (6 gelas) per hari dianjurkan untuk menghindari konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Mentes, 2004; Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Dalam laporan keenam dan terakhir dari Dietary Reference Intakes (DRIs), The Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, and National Academy of Sciences mengatur intake cairan adekuat untuk hidrasi sebanyak 2,7 liter (11 gelas) per hari untuk wanita usia 19-70, dan 3,7 liter (15 gelas) per hari untuk laki-laki usia 19-70. Rekomendasi cairan ini termasuk cairan dari semua sumber. Dua puluh persen dari cairan untuk hidrasi berasal dari makanan dan 80% dari minuman. Oleh karena itu, perempuan membutuhkan sekitar 8 gelas dan laki-laki sekitar 12 gelas cairan per hari untuk hidrasi yang adekuat (Institute of Medicine Food and Nutrition Board, "Dietary reference intakes for water," 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Setiap harinya, klien mendapatkan makanan dari panti 3 kali sehari. Namun, jumlah ini tidak dapat ditakar sesuai kebutuhan klien. Serat sebagai komponen penting dalam proses pencernaan, dinilai kurang untuk memenuhi kebutuhan tubuh klien. Sumber serat bersumber dari sayuran dan buah. Berdasarkan hasil observasi, buah yang sering diberikan yaitu pepaya dan semangka. Buah tersebut diberikan hanya satu kali sehari. Terkadang terlihat tidak tersedia buah. Berdasarkan sebuah sumber, menyebutkan bahwa 100 gr buah pepaya hanya mengandung serat sebesar 0,7 gr (Cahyati, 2013). Sumber serat yang berasal dari buah dan sayur dengan jumlah kurang lebih 100 gr dinilai kurang untuk memenuhi asupan serat untuk lansia. Jumlah serat yang disarankan sebanyak 21 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 38 gram per hari untuk wanita usia 51-70, dan 30 gram per hari untuk laki-laki usia 51-70 (Institute of Medicine Food and Nutrition Board, "Dietary reference intakes for energy," 2005). Rekomendasi lainnya, untuk asupan serat makanan bervariasi 25-30 gram per hari menjadi 20-35 gram per hari minimum ketika asupan cairan setidaknya 1.500 mililiter per hari (Di Lima, 1997; Hsieh, 2005;. Tariq, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Selain asupan cairan dan serat yang kurang, klien juga dinilai kurang dalam melakukan aktivitas fisik. Setiap harinya kegiatan klien tampak hanya tiduran, dan duduk di tempat tidur atau teras wisma. Klien mengaku mengikuti senam rutin yang diadakan pihak panti saat hari Selasa dan Jumat. Namun terkadang tidak ikut karena malas atau capek setelah mencuci. Aktivitas fisik yang kurang ini dapat berhubungan dengan konstipasi (Hsieh, 2005; Tariq, 2007; Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Padahal, menurut penelitian, aktivitas fisik telah terbukti meningkatkan kualitas hidup karena pengaruhnya terhadap waktu transit gastrointestinal (Chin A Paw, van Poppel, & van Mechelen, 2006;. Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Intervensi yang kemudian akan dilakukan yaitu berdasarkan faktor penyebab konstipasi yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Intervensi tersebut diantaranya peningkatan asupan cairan, motivasi asupan serat, peningkatan aktivitas fisik dengan melakukan latihan rutin kayuh sepeda. 4.3 Analisis Intervensi Peningkatan Aktivitas Fisik yang Dilakukan dengan Konsep dan Penelitian Terkait Intervensi unggulan dari penelitian ini yaitu penerapan terapi latihan aktivitas fisik yang dilaksanakan secara rutin tiap harinya. Latihan diyakini untuk mempersingkat waktu transit melalui saluran pencernaan dan dengan demikian meningkatkan evakuasi feses (Meshkinpour et al, 1998). Olahraga dapat meningkatkan fungsi usus (Cordain, Latin, & Behnke, 1986; Oettle, 1991 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Olahraga biasanya dipandang sebagai komponen penting dari program pencegahan dan manajemen konstipasi (Moore, Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 39 Bourett, & Cabico, 1999). Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang dapat meningkatkan fungsi usus, seperti berjalan kaki, latihan otot panggul, angkat kaki, latihan mengencangkan otot perut, dan bersepeda stasioner (McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Terapi latihan aktivitas fisik yang dipilih pada penelitian ini yaitu mengetahui efektivitas latihan gerakan mengayuh sepeda dengan bersepeda statis. Jenis latihan ini dipilih berdasarkan kelayakan dan keinginan pasien sehingga mudah untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap terapi (Moore et al, 1999; Balai et al, 1995; Karam & Nies, 1994 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Menurut Setiawan (2012), lansia yang sehat dan bugar, olahraga bersepeda dapat dianjurkan untuk dilaksanakan. Bersepeda statis maupun menggerakkan kaki seperti mengayuh sepeda dapat menyebabkan adanya pergerakan tubuh bagian bawah sehingga dapat menyebabkan evakuasi secara tepat saat defekasi dan secara umum hal ini dapat mencegah konstipasi. Latihan sepeda statis dapat menguatkan otot pelvis (Ramus, 2011 dalam Oktariana, 2013). Peningkatan kekuatan otot pelvis ini dapat membantu mengurangi risiko terjadinya mekanisme konstipasi. Griffin (2010) dalam Oktariana (2013) menjelaskan bahwa latihan 30 hingga 60 menit latihan mengayuh sepeda selama 3 sampai 4 kali dalam seminggu, efektif sebagai perawatan untuk mencegah konstipasi. Dalam sebuah studi yang terkendali dengan baik relawan sehat yang berlari dan bersepeda selama 1 jam per hari selama 2 minggu, waktu transit usus berkurang secara signifikan (Oettle, 1991 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Berjalan 30 sampai 60 menit per hari atau 3 sampai 5 kali per minggu, mungkin bermanfaat bagi pasien dengan minimal atau tanpa batasan ambulasi (Meshkinpour et al, 1998.; Robertson et al, 1993.; Waldrop & Doughty, 2000 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Faktor yang mendukung intervensi ini yaitu tersedianya sepeda statis di klinik panti. Namun, dalam pelaksanaannya selama 3 minggu, fasilitas sepeda statis tersebut tidak digunakan karena jarak tempuh dari wisma klien ke Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 40 klinik cukup jauh dan kontur tanah yang berundak. Hal ini membuat klien malas dan sulit pelaksanaannya jika harus setiap hari ke klinik. Hal ini menjadi hambatan dalam melakukan terapi aktivitas fisik dengan memanfaatkan sepeda statis yang ada secara rutin. Intervensi ini kemudian dimodifikasi dengan melakukan gerakan kayuh sepeda di tempat tidur. Gerakan kayuh sepeda ini memiliki prinsip yang sama dengan bersepeda statis yaitu sama-sama memanfaatkan gerakan kaki untuk merangsang peristaltik usus. Intervensi yang dilakukan klien selama 3 minggu ini, menunjukkan evaluasi subjektif bahwa klien BAB dengan volume yang cukup banyak dari biasanya dengan konsistensi feses lembek. Klien mengatakan lebih lega karena perut tidak terlalu terasa penuh. Peneliti kemudian melakukan evaluasi objektif dengan melakukan pemeriksaan fisik, didapatkan hasil perkusi redup (-), massa pada kuadran 4 (-), BU 1x/ menit. Namun laporan klien pada hari-hari berikutnya, pola eliminasi klien masih belum teratur. Dalam pelaksanaannya, tentunya ada faktor pengahambat dan pendukung yang mempengaruhi keberhasilan intervensi. Faktor pendukungnya yaitu klien mau dan mampu melakukan intervensi yang telah dijadwalkan dengan cukup baik, walaupun ada beberapa hari klien tidak melaksanakannya karena sakit atau lelah. Kemudian, evaluasi kemampuan klien dalam melakukan latihan yang dilakukan oleh penulis 2 x seminggu mampu mengontrol pelaksanaannya secara benar. Faktor penghambatnya yaitu keinginan klien melakukan terapi latihan ini menjelang tidur dan bangun tidur menjadi hambatan bagi perawat dalam mengontrol kepatuhan klien dalam pelaksanaannya. 4.4 Alternatif Pemecahan Masalah Hambatan yang terjadi berupa pemanfaatan sepeda statis yang tidak optimal, membuat perawat mencari alternatif pelaksanaan dengan memodifikasi beberapa hal. Tanpa menggunakan sepeda statis, perawat melatih klien melakukan gerakan mengayuh sepeda di tempat tidur. Gerakan ini tetap mengandalkan pergerakan kaki untuk merangsang motilitas usus. Durasi pelaksanaan didasarkan pada toleransi pasien (Moore et al., 1999). Jumlah gerakan yang dapat di toleransi klien Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 41 saat dilakukan secara bertahap yaitu 8 kali kayuhan dalam 3 set hitungan. Toleransi ini dilakukan merujuk kepada tidak adanya evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya (Moore et al., 1999). Modifikasi yang dilakukan terkait jadwal latihan yang berdasar keinginan klien, penulis mengontrol pelaksanaan dan kemampuannya dengan mengevaluasi gerakan setiap 2 kali dalam seminggu. Selain itu, penulis setiap harinya mewawancarai klien terkait dilakukan atau tidaknya pelaksanaan latihannya. Pada dasarnya klien dinilai mampu melakukan gerakan ini secara mandiri. Namun keterbatasan penulis dalam mengontrol pelaksanaannya secara jujur atau tidak. Intervensi tambahan lainnya yang dilakukan penulis yaitu, memastikan intake cairan yang cukup pada klien sebanyak minimal 2 liter per hari, mengontrol asupan makanan klien selama dilakukan intervensi, dan menyarankan klien untuk mengonsumsi air hangat setiap pagi setelah bangun tidur. Hasil pemecahan masalah terkait konstipasi ini dinilai cukup efektif. Pada pekan ke tiga intervensi, klien melaporkan BAB dengan volume yang cukup banyak dari biasanya dengan konsistensi feses lembek. Klien mengatakan lebih lega karena perut tidak terlalu terasa penuh. Walaupun pada hari-hari berikutnya, pola eliminasi klien masih belum ada perbaikan. Hasil intervensi terapi aktivitas fisik ini dapat diteruskan penerapannya oleh perawat panti. Hal ini melihat adanya efek dari terapi ini walaupun belum maksimal. Ketidakmaksimalan hasil terapi ini dapat saja dipengaruhi oleh ketidakpatuhan klien terhadap terapi aktivitas ini secara rutin. Karena dari beberapa kali hasil evaluasi, didapatkan klien tidak melakukan terapi kayuh sepeda. Penelitian menunjukkan bahwa 4 minggu mungkin tidak cukup untuk mengevaluasi dampak dari program latihan pada fungsi usus (Meshkinpour et al., 1998). Sedangkan terapi ini baru diterapkan selama 3 minggu dengan berbagai hambatan. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 42 Hal lainnya yang dapat diimplementasikan petugas terkait penanganan konstipasi selain memotivasi klien untuk meningkatkan aktivitas yang salah satunya dengan gerakan mengayuh sepeda diantaranya yaitu penyediaan makanan dengan tinggi serat dan mengontrol asupan cairan para lansia dengan membuat dokumentasi input dan output cairan. Terkait penyediaan makanan, ini berkaitan dengan kebijakan panti dalam pengolahan bahan pangan untuk lansia dipanti. Dengan adanya intervensi non invasif ini diharapkan perawat panti tidak selalu mengandalkan obat pencahar untuk mengatasi konstipasi pada lansia. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 BAB 5 PENUTUP Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dan saran dari analisis praktik keperawatan kesehatan masyarakat dengan masalah konstipasi pada lansia di PSTW Budi Mulya 01 Cipayung. 5.1 Kesimpulan Konstipasi merupakan salah satu masalah pencernaan yang sering dikeluhkan oleh sebagian besar lansia. Hal ini dipengaruhi adanya penurunan fungsi sistem gastrointestinal. yang dialami seiring dengan bertambahnya usia. Hidup di daerah perkotaan sendiri, meningkatkan risiko berbagai penyakit, termasuk konstipasi. Berdasarkan penelitian, konsumsi serat masyarakat perkotaan dinilai sangat rendah. Hal ini dihubungkan pada budaya makan dengan rendah serat. Selain itu, kurangnya intake cairan dan penurunan aktivitas fisik juga mempengaruhi kejadian konstipasi pada lansia. Berbagai upaya untuk menangani konstipasi telah direkomendasikan beberapa penelitian terkait, diantaranya diet tinggi serat, meningkatkan asupan cairan sesuai rekomendasi, meningkatkan aktivitas fisik, bowel manajemen, dan mengguanakan obat pencahar. Intervensi unggulan untuk mengatasi konstipasi pada karya tulis ilmiah ini, yaitu dengan latihan aktivitas fisik yang teratur berupa latihan gerakan kayuh sepeda. Latihan aktivitas fisik yang teratur diketahui dapat mempengaruhi kerja motilitas usus sehingga risiko untuk mengalami konstipasi dinilai rendah. Hasil implementasi yang dilakukan penulis terkait terapi aktivitas fisik berupa latihan gerakan mengayuh sepeda ini dikatakan cukup efektif walaupun belum maksimal karena berbagai faktor. Pada penelitian ini, klien melaporkan dapat defekasi secara tuntas. Feses yang dikeluarkan sudah tidak lagi keras (lembek) dan lebih banyak dari sebelumnya. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik kembali, yaitu palpasi pada abdomen kuadran empat, penulis sudah tidak merasakan 43 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 44 adanya massa yang keras. Walaupun pada hari berikutnya, pola defekasi klien belum kembali teratur. Terapi aktivitas ini pada dasarnya tidak dapat diterapkan sendiri. Intake cairan dan asupan serat yang cukup harus tetap dipenuhi kebutuhannya. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, dikhawatirkan akan mengarah pada dampak konstipasi yang lebih buruk dan berakibat menurunnya status kesehatan lansia itu sendiri. 5.2 Saran 5.2.1 Bagi penelitian keperawatan Peneliti selanjutnya dapat melakukan terapi aktivitas dalam bentuk lain. Seperti misalnya berjalan kaki, massage abdomen, dan senam. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan menurut penulis adalah pelaksanaan yang teratur dari terapi aktivitas ini sehingga hasil dari intervensi yang dilakukan dapat maksimal dan diharapkan berpengaruh pada kondisi kesehatan lansia. 5.2.2 Bagi pelayanan kesehatan untuk lanjut usia Bidang pelayanan kesehatan lansia, khususnya dalam setting panti diharapkan dapat concern dengan masalah konstipasi pada lansia. Hal ini mengingat masalah konstipasi banyak dikeluhkan para lansia. Kebijakan seperti misalnya pengadaan dan pengolahan bahan makanan untuk lansia perlu diperhatikan. 5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan Institusi pendidikan dapat menjadikan karya ilmiah ini sebagai evidence based practice terhadap upaya yang dilakukan untuk menangani konstipasi dengan penerapan terapi aktivitas fisik. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Daftar Pustaka Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K. D. (2010). Community helath nursing: Promoting and protecting the public’s health. 7th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Allender, J. A., Spradley, B. W. (2001). Community helath nursing: Concept and practice. (5th edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anderson, E. T., & McFarlane, J. (2004). Community as pasrtner: Theory and practice in nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Arisman. (2007). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Berman, Audrey, Snyder, Kozier, & Erb. (2009). Buku ajar praktik keperawatan klinis Kozier & Erb, Ed. 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Badan Pusat Statistik. (2007). Angka harapan hidup. www.menegpp.go.id. Diakses 2 Juli 2014. ----------------------------. (2010). Peraturan kepala badan pusat statistik nomor 37 tahun 2010 tentang klasifikasi perkotaan dan perdesaan di Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bustan. (2007). Epidemiologi penyakit tidak menular. Jakarta: Rineka. Cahyati, W. H. (2013). Konsumsi papaya (Carica papaya) dalam menurunkan debris index. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Masyarakat. Carpenito-Moyet, L. J. (2010). Nursing diagnosis: Application to clinical practice. 13th Ed. United State of America: Lippincott Williams & Wilkins. Darmojo. R. B. & Martono, H. H. (2006). Geriatri (Ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamental of nursing: Standars & practice. (2nd edition). Delma: Thomson Learning, Inc. Departemen Kesehatan RI. (2003). Pedoman tata laksana gizi usia lanjut untuk tenaga kesehatan. Departemen Sosial. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah kesejahteraannya. www.depsos.go.id. Diakses 3 Juli 2014. 45 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 46 Eberhardie C. (2003). Constipation: Identifying the problem. Nursing Older People, vol. 15. Elnovriza, D., Yenrina, R. & Bachtiar, H. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Asupan Zat Gizi Mahasiswa Universitas Andalas Yang Berdomisili Di Asrama Mahasiswa. Folden, S. L. (2002). Practice guidelines for the management of constipation in adults. Lake Avenue: Rehabilitation Nursing Foundation. Gardiarini, P. (2010). Pola defekasi mahasiswi kaitannya dengan asupan serat dan cairan serta aktifitas fisik. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Hoeger WWK & Hoeger SA. 2005. Lifetime Physical Fitness and Wellness, a Personalized Program. Ed ke-5. USA: Thomson Wadsworth. Hunt, R. (2000). Readings in community-based nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkns. Kementerian Sosial. (2008). Penguatan Eksistensi Panti werdha di tengah pergeseran budaya dan Keluarga. http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=704. Diakses 7 Juli 2014. Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Profil Penduduk Lanjut usia 2009. Jakarta. http://dinsosdki.org/?page=detailpanti&id=yy8eJcdH3Bp6x6YR9H1J6w. Diakses 3 Juli 2014 Kushartanti, W. (2008). Aktivitas fisik dan senam usila. FIK UNY Loretz, L. (2005). Primary care tools for clinicians: A compendium of forms, questionnaires, and rating scales for everyday practice.. USA: Elsevier Mosby. Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. (2nd ed.). Missouri : Mosby. _______________. (2000). Pocket Guide to Gerontologic Assessment. (3rd ed.). Missouri: Mosby. Maryam, S., Ekasari, F. M., Rosidawati, Jubaedi, A. , & Batubara, I. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 47 McKay SL, Fravel M, Scanlon C. (2009). Management of constipation. Iowa City (IA): University of Iowa Gerontological Nursing Interventions Research Center, Research Translation and Dissemination Core;. Moore, T., Bourret, E., & Cabico, L. (1999). Constipation/impaction management. In G. M. Bulechek & J. C. McCloskey (Eds.). Nursing interventions: Effective nursing treatments (pp.98-112). Philadelphia: W.B. Saunders. Muhammad N. 2010. Tanya Jawab Kesehatan Harian untuk Lansia. Yogyakarta: Tunas Publishing. Nies, Mary A., McEwen, M. (2001). Community/ public health nursing: promoting the healthy of population (4th Ed). Missouri: Sauders Elsevier. Notoatmodjo S. (2007). Kesehatan masyarakat, ilmu dan seni. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nugroho. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik. Jakarta: EGC. Potter & Perry. (2009). Fundamental nursing: Concept, process, and practice. (6th edition). St. Louis: Mosby Year Book. Rahardjo, W. (2014). Olahraga tepat untuk lansia. http://www.readersdigest.co.id/sehat/olah.tubuh/olahraga.tepat.untuk.lansia/0 05/003/147. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 Safithri F. (2005). Proses menua di otak dan demensia tipe alzheimer. Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran. Saintika Medika Volume. 2 No.2. Setiawan, Y. (2012). Olahraga untuk lansia. http://www.lkc.or.id/2012/05/22/olahraga-untuk-lansia/. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 Siswono. (2003). Mengatasi Konstipasi pada usia lanjut. www.gizinet.com. Diakses 2 Juli 2014. Smeltzer, S. C. & Bare, B. (2012). Brunner & Suddarth’s textbook of medicalsurgical nursing. 10th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Soelistijani, D. A. (2002). Sehat dengan Menu Berserat. Jakarta: Trubus Agriwidya. Stanley, M., & Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik (Ed ke-2). Jakarta: EGC. Sudoyo, dkk. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tamher & Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan, Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 48 Zendrato, T. (2009). Karakteristik penderita kanker colorectal yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005 – 2007. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Lampiran 1 Constipation Assessment Scale* Pre Test No Assessments No Problem Some Problem Severe Problem 1 Abdominal distention or bloating V 2 Change in amount of gas passed rectally V 3 Less frequent bowel movements V 4 Oozing liquid stool 5 Rectal fullness or pressure V 6 Rectal pain with bowel movement V 7 Small volume of stool 8 Unable to pass stool V Total 5 4 None scores 0; Some scores 1; Severe scores 2 Total scores range from 0 (minimum, no Constipation) to 16 (maximum, worst possible constipation) V *McMillan & Williams, (1989) dalam Loretz, L. (2005) Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 V Lampiran 2 Constipation Assessment Scale* Post Test No Assessments No Problem Some Problem Severe Problem 1 Abdominal distention or bloating V 2 Change in amount of gas passed rectally V 3 Less frequent bowel movements V 4 Oozing liquid stool 5 Rectal fullness or pressure V 6 Rectal pain with bowel movement V 7 Small volume of stool V 8 Unable to pass stool V Total 7 None scores 0; Some scores 1; Severe scores 2 Total scores range from 0 (minimum, no Constipation) to 16 (maximum, worst possible constipation) V *McMillan & Williams, (1989) dalam Loretz, L. (2005) Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Lampiran 3 Barthel Index Scoring Form No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kegiatan Makan 0 = tidak mampu 5 = membutuhkan bantuan untuk memotong, atau menentukan diet 10 = mandiri Mandi 0 = dibantu 5 = mandiri Berhias 0 = dibantu 5 = mandiri Berpakaian 0 = dibantu 5 = membutuhkan bantuan sebagian 10 = mandiri (dapat mengancing baju, menarik resleting, dll) Buang Air Besar 0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 5 = sesekali butuh bantuan 10 = kontinen Buang Air Kecil 0 = inkontinensia (atau membutuhkan kateter) 5 = sesekali butuh bantuan 10 = kontinen Penggunaan toilet 0 = dibantu 5 = membutuhkan bantuan sebagian 10 = mandiri Berpindah (tempat tidur ke kursi, dll) 0 = tidak mampu, tidak dapat duduk dengan baik 5 = sebagian besar dibantu (butuh 1 atau 2 penolong), dapat duduk. 10 = sebagian kecil dibantu 15 = mandiri Berjalan di permukaan datar 0 = tirah baring 5 = mandiri menggunakan kursi roda, > 50 m 10 = berjalan dengan bantuan 1 orang, > 50 m 15 = mandiri (walaupun dengan menggunakan alat bantu jalan, > 50 m) Menaiki tangga 0 = tidak mampu 5 = membutuhkan bantuan 10 = mandiri Total Nilai ( 0 - 100) Nilai 10 5 5 10 10 10 10 15 15 10 100 Hasil Penilaian: 0 – 20 = Dependen total 20 – 40 = Dependen berat 40 – 60 = Dependen sedang 60 – 90 = Dependen ringan 91 – 100 = Mandiri Sumber: Mahoney FI, Barthel D. “Functional evaluation: the Barthel Index.”Maryland State Med Journal 1965;14:56-61 Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Lampiran 4 Gerakan Mengayuh Sepeda (Bicycle Movement) Sumber gambar : https://www.udemy.com/files/images/article/2014-02-23_14-21-28__BICYCLE.jpg Pengertian Gerakan yang dilakukan khusus pada bagian kaki seperti gerakan mengayuh sepeda. Gerakan ini dilakukan sambil berbaring di lantai, matras, atau di kasur. Tujuan Membantu merangsang motilitas usus. Frekuensi Terkait frekuensi, intensitas, dan durasi pelaksanaan latihan tidak ada evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya. Namun, frekuensi dan durasi latihan harus didasarkan pada toleransi pasien (Moore et al., 1999). Perhatikan adanya masalah fisik lainnya pada lansia, seperti asam urat, rematik, dan ataupun kelemahan lainnya. Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Prosedur 1. Persiapan lansia. Cek kondisi fisik lansia. Pastikan lansia berada pada kondisi yang fit. 2. Persiapan tempat. Siapkan tempat yang aman dan nyaman untuk lansia. 3. Persilahkan lansia untuk berbaring di tempat yang telah dipersiapkan. 4. Anjurkan lansia untuk rileks. 5. Dapat dimulai dengan teknik napas dalam untuk mendapatkan kenyamanan lebih (jika diindikasikan). 6. Tidur telentang dengan kedua tangan di bawah kepala. Angkat kaki bergantian seperti mengayuh sepeda. Lakukan beberapa kali. 7. Lakukan hingga klien mampu menoleransi jumlah gerakan. 8. Lakukan teknik napas dalam untuk kembali merilekskan tubuh. Catatan Untuk terapi masalah konstipasi, dapat dikombinasikan dengan massage abdomen (jika diindikasikan). Selain itu, intake serat dan cairan yang cukup dapat membantu memaksimalkan terapi dalam upaya menangani masalah konstipasi. Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Lampiran 5 JADWAL LATIHAN KAYUH SEPEDA BPK SH Senin Selasa Rabu 26/5/14 27/5/14 28/5/14 malam pagi malam pagi malam Senin 2/6/14 malam V Senin 9/6/14 malam V Senin 16/6/14 malam V Selasa 3/6/14 pagi malam V V Selasa 10/6/14 pagi malam V V Selasa 17/6/14 pagi malam V V Rabu 4/6/14 pagi malam V Rabu 11/6/14 pagi malam V Rabu 18/6/14 pagi malam V pagi pagi - pagi V pagi V Kamis 29/5/14 malam V Kamis 5/6/14 malam Kamis 12/6/14 malam V Kamis 19/6/14 malam V pagi V pagi - pagi V pagi V Jumat 30 /5/14 malam Jumat 6/6/14 malam Jumat 13/6/14 malam V Jumat 20/6/14 malam V pagi - pagi V pagi - pagi V Keterangan: 1. Dilakukan 2x sehari hitungan 8 x 2-3 set (berdasarkan toleransi klien) 2. Tanda centang didapatkan berdasarkan hasil evaluasi subyektif Klien Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014 Sabtu 31/5/14 malam Sabtu 7/6/14 malam V Sabtu 14/6/14 malam V Sabtu 21/6/14 malam pagi V pagi V pagi V pagi Minggu 1/6/14 malam Minggu 8/6/14 malam V Minggu 15/6/14 malam Minggu 22/6/14 malam pagi V pagi V pagi V pagi Lampiran 6 Biodata Peneliti Nama : Islah Akhlaqunnissa Jihadi Jenis Kelamin : Perempuan Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 4 Juli1990 Alamat : Jl. Pekapuran Gg. 1000 RT 005/05 No. 27 Tapos, Depok, Jawa Barat 16455 Email : [email protected] [email protected] Agama : Islam Riwayat Pendidikan Formal Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2009 – Sekarang SMA Negeri 4 Depok 2005 – 2008 SMP Negeri 11 Depok 2002 – 2005 SD Negeri Sukatani 3 1996 – 2002 Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014