UNIVERSITAS INDONESIA

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA LANSIA DENGAN MASALAH
KONSTIPASI DI PSTW BUDHI MULIA 1 CIPAYUNG JAKARTA TIMUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Islah Akhlaqunnissa Jihadi
0906510943
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA KAKEK SH DENGAN MASALAH
KONSTIPASI DI PSTW BUDHI MULIA 1 CIPAYUNG JAKARTA TIMUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
Islah Akhlaqunnissa Jihadi
0906510943
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
karya ilmiah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 15 Juli 2012
Islah Akhlaqunnissa Jihadi
ii
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Islah Akhlaqunnissa Jihadi
NPM
: 0906510943
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 15 Juli 2014
iii
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir Ners ini diajukan oleh:
Nama
: Islah Akhlaqunnissa Jihadi
NPM
: 0906510943
Program Studi
: Profesi Keperawatan
Judul KIA-Ners
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Kakek SH Dengan Masalah
Konstipasi Di PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung Jakarta
Timur
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperolah gelar Ners
pada Program Studi Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ns. Dwi Cahya Rahmadiyah, S.Kep
Penguji
: Raden Siti Maryam, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 15 Juli 2014
iv
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir
ini. Karya ilmiah akhir ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Karya Ilmiah Akhir (KIA) semester genap untuk jenjang profesi di Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
KIA ini dapat saya selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, dan dorongan semangat yang tak terhingga.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Ns. Dwi Cahya Rahmadiyah, S.Kep selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis selama
proses penyusunan karya ilmiah;
2.
Ibu Raden Siti Maryam, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku penguji yang
telah memberikan komentar dan masukan untuk memperbaiki penyusunan
karya ilmiah ini;
3.
Ibu Widyatuti sebagai dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan
Kesehatan Masyarakat
Perkotaan (KKMP)
yang telah memberikan
bimbingan terkait praktik klinik yang menjadi landasan dalam penyusunan
KIA.
4.
Ibu Dwi Nurviyandari selaku dosen yang selalu mengingatkan dan memberi
semangat selama stase peminatan gerontik.
5.
Responden penelitian di wisma Cattleya PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung
ketersediaannya menjadi bagian dari penelitian ini;
6.
Petugas dan perawat wisma Cattleya PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung atas
ketersediaannya memberikan bantuan dan informasi terkait lingkungan
wisma dan WBS;
7.
Orang tua tercinta, Bapak Zainudin dan Ibu Dyah Nurmasari yang senantiasa
memberikan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tiada terhingga.
v
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
8.
Suami tercinta, Arif Rachman, S.ST. yang selalu sabar, setia, dan senantiasa
memberikan motivasi serta mendengarkan keluh kesah yang saya alami
selama penyusunan KIA khususnya dan masa kuliah profesi umumnya.
9.
Kakak-kakak dan Adik-adik tersayang, Mas Irham, Mba Ratih, Imam, Izham,
dan Dila yang memberikan motivasi selama penyusunan KIA.
10. Rekan kelompok peminatan profesi Gerontik, Uta, Verra, Dewi, Ririn,
Harfah, Eliz, Citra, Lisa, Dita, Tika, atas kekompakan, suka duka, dan
pengalaman terindah yang akan selalu menjadi kenangan manis dan tak
terlupakan.
11. Sahabat-sahabat tersayang: Jia, Layya, Eno, Sulas, Nia, Fay, Pur, Puput yang
selalu memberikan informasi dan motivasi dalam penyusunan karya ilmiah
ini.
12. Teman-teman mahasiswa reguler angkatan 2009 Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia yang telah memberikan semangat dan bersedia berbagi
banyak informasi dalam menyelesaikan KIA ini.
Saya menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini tidak luput dari kesalahan. Oleh
karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Besar
pula harapan saya agar tugas akhir ini dapat menjadi dasar bagi penelitian yang
bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat.
Depok, 15 Juli 2014
Penulis
vi
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah
ini :
Nama
: Islah Akhlaqunnissa Jihadi
NPM
: 0906510943
Program Studi : Profesi
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis
: Karya ilmiah
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exsclusive Royalty
Free Right) atas karya saya yang berjudul:
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada
Kakek SH Dengan Masalah Konstipasi Di PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung
Jakarta Timur
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal :15 Juli 2014
Yang menyatakan
(Islah Akhlaqunnissa Jihadi)
vii
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul KIA-Ners
: Islah Akhlaqunnissa Jihadi
: Profesi Keperawatan
: Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Kakek SH Dengan Masalah
Konstipasi Di PSTW Budhi Mulia 1 Cipayung Jakarta
Timur
Konstipasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering dikeluhkan
lansia. Konstipasi pada lansia terjadi akibat beberapa faktor yang meliputi
perubahan fungsi pencernaan, kurangnya asupan serat, intake cairan, dan
kurangnya aktivitas fisik. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan
keperawatan lansia dengan masalah konstipasi. Metodologi penelitian yang
digunakan adalah analisis kasus berdasarkan pengkajian melalui wawancara,
observasi, dan tinjauan literatur pada klien di wisma Cattleya Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 1 Cipayung. Hasil analisis intervensi terapi latihan kayuh
sepeda secara teratur yang dilakukan dua kali sehari dalam tiga minggu intervensi
pada Kakek SH dengan konstipasi menunjukkan bahwa ada pengaruh latihan
kayuh sepeda terhadap pola defekasi klien. Peneliti merekomendasikan untuk
melakukan program latihan fisik secara teratur untuk meningkatkan pola normal
defekasi klien.
Kata kunci: aktivitas fisik, lansia, konstipasi
ABSTRACT
Name
Study Program
Title
: Islah Akhlaqunnissa Jihadi
: Bachelor Science of Nursing
:Clinical Practice Analysis of Urban Health Nursing in Mr.
SH with Constipation at Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 01 Cipayung Jakarta Timur
Constipation is one of problem that commonly occurs in elderly. Constipation in
elderly caused by several factors such as gastrointestine changes, low fiber
intake, low fluid intake, and physical activity . This research aimed to describe
nursing interventions in elderly with constipation. This research used case
analysis method based on the data obtained by interview, observation, and
literature review of client at Cattleya housing, Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 1 Cipayung. Analysis results of bicycle movement therapy given 2 times a
day in three weeks on Mr. SH with constipation showed that there’s significant
relation between physical activity with defecation pattern fom before. This
research suggested to have a regular physical activity to maintain normal
defecation pattern in elderly.
Keywords: physical activity, elderly, constipation
viii
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME. ....................................... ii
LEMBAR PENYATAAN ORISINALITAS .................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vii
ABSTRAK. ..................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN. ................................................................................... xi
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum................................................................................... 6
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 7
1.4.1 Bagi Pelayanan Kesehatan untuk Lanjut Usia ................................... 7
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan .................................................................. 7
1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan ............................................................ 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 8
2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ........................... 8
2.2 Masalah Konstipasi pada Lansia .............................................................. 11
2.2.1 Pengertian Konstipasi ..................................................................... 11
2.2.2 Patofisiologi Konstipasi .................................................................. 12
2.2.3 Manifestasi Klinis Konstipasi ......................................................... 12
2.2.4 Pengkajian Konstipasi..................................................................... 13
2.2.5 Perubahan Sistem Gastroinstestinal pada Lansia ............................. 13
2.2.6 Penatalaksanaan Konstipasi ............................................................ 16
2.2.6.1 Manajemen Keperawatan.................................................... 16
2.2.6.2 Intervensi Keperawatan ...................................................... 16
2.2.6.3 Aktivitas Fisik yang Disarankan untuk Lansia .................... 20
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ...................................... 22
3.1 Pengkajian ............................................................................................... 22
3.1.1 Identitas Klien ................................................................................ 22
3.1.2 Pengkajian Fisik ............................................................................. 23
3.1.3 Kebiasaan dan Aktivitas.................................................................. 23
3.1.4 Pengkajian Lain. ............................................................................. 25
3.2 Masalah Keperawatan .............................................................................. 26
3.2.1 Analisa data. ................................................................................... 26
3.2.2 Rencana Asuhan Keperawatan. ....................................................... 27
3.2.3 Implementasi. ................................................................................. 27
ix
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
3.2.4 Evaluasi.......................................................................................... 29
3.2.5 Rencana Tindak Lanjut. .................................................................. 30
BAB 4 ANALISIS SITUASI ........................................................................... 31
4.1 Analisis Profil Pelayanan Panti Sosial Tresna Werdha ............................. 31
4.2 Analisis Masalah dengan Konsep KKMP dan Konstipasi ......................... 35
4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait........................ 38
4.4 Alternatif Pemecahan Masalah ................................................................. 40
BAB 5 PENUTUP ........................................................................................... 43
5.1 Kesimpulan.............................................................................................. 43
5.2 Saran ....................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 45
x
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Form Constipation Assessment Scale (CAS) – Pretest
Lampiran 2 Form Constipation Assessment Scale (CAS) – Posttest
Lampiran 3 Form Barthel Index
Lampiran 4 Prosedur Gerakan Kayuh Sepeda (Bicycle Movement)
Lampiran 5 Jadwal Latihan Klien
Lampiran 6 Biodata Peneliti
xi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
Bab 1 ini merupakan bab pendahuluan karya ilmiah akhir yang berisi latar
belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat penulisan
karya ilmiah mengenai analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan dengan masalah konstipasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Mulia
01 Cipayung.
1.1
Latar Belakang
Lanjut usia adalah kelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan yang
bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade (Notoatmodjo, 2007). Lansia
(lanjut usia) merupakan istilah yang biasa digunakan untuk seseorang yang mulai
memasuki tahap perkembangan akhir. World Health Organization (WHO)
mengkategorikan tahap perkembangan akhir menjadi usia pertengahan 45-59
tahun, usia lanjut 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun, dan usia sangat tua >90 tahun
(WHO, 2010). Di Indonesia sendiri, terdapat UU yang mengatur batasan usia
lanjut yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia yang menyatakan bahwa lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas.
Perkembangan jumlah penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Pada tahun 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0
tahun. Tahun 2006 meningkat menjadi 70,2 tahun. Jumlah ini terus meningkat
menjadi 70,4 tahun pada tahun 2007 dan di perkirakan pada tahun 2025 angka
harapan hidup penduduk indonesia akan menjadi 73 tahun (BPS, 2007).
Berdasarkan data demografi penduduk usia lanjut Internasional (U.S. Census
Bureau International Data Base, 2009), jumlah lansia di dunia yakni sekitar 20,5
juta jiwa. Jumlah penduduk lansia di Indonesia sendiri mencapai 19,32 juta orang
atau 8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, yang juga terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia pada
tahun 2005 dengan jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini
1
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
2
naik menjadi 18,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang
pada tahun 2009 (Komnas Lansia 2010). Kementerian Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (KESRA) melaporkan tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun
dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%), sedangkan pada tahun 2006 menjadi
19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat menjadi 66,2 tahun. Tahun 2010
perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan
UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan
penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH
sekitar 71,1 tahun (Depsos, 2007).
Usia harapan hidup yang meningkat tersebut, membuat semakin meningkat pula
upaya untuk mempertahankan atau menjaga status kesehatan pada lansia. Seiring
dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami proses penuaan yang
biasanya akan diiringi masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah fisik,
biologi, psikologi, sosial, maupun penyakit degeneratif (Safithri, 2005). Masalah
tersebut umumnya terjadi di daerah perkotaan. Kementerian kesehatan RI (Buletin
lansia, 2013) melaporkan presentasi lansia di Indonesia yang bekerja di daerah
perkotaan (51,46%) lebih tinggi dibandingkan lansia pedesaan (38,99%) dengan
persentase penduduk lansia laki-laki yang bekerja (61,47%) lebih tinggi
dibandingkan lansia perempuan (31,39%). Berdasarkan Sakernas tahun 2009,
penduduk lansia miskin yang tinggal di desa lebih banyak (13,55%) dari
penduduk lansia miskin yang tinggal di kota (7,8%). Status ekonomi lansia
perkotaan yang lebih baik ini membuat adanya pergeseran gaya hidup.
Karakteristik masyarakat perkotaan seperti konsumsi makanan cepat saji, pola
makan yang tidak baik, kebiasaan merokok dan kurangnya aktivitas fisik, aktivitas
fisik yang serba praktis merupakan salah satu pemicu untuk timbulnya berbagai
penyakit (Bustan, 2007).
Perubahan pola konsumsi yang terjadi di kota-kota besar, yaitu dari pola makanan
tradisional yang banyak mengandung karbohidrat, protein, serat, vitamin dan
mineral bergeser ke pola makanan berat yang cenderung banyak mengandung
lemak, protein, gula dan garam serta miskin serat, vitamin dan mineral sehingga
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
3
mudah merangsang terjadinya penyakit-penyakit gangguan saluran pencernaan,
penyakit jantung, obesitas dan kanker (Elnovriza et al, 2008). Kebiasaan baru ini
mengambil andil besar dalam kondisi fisik dan daya tahan tubuh lansia. Pola
hidup yang kurang sehat akan berdampak pada penurunan daya tahan tubuh.
Masalah umum yang dialami lansia akibat penurunan daya tubuh adalah
rentannya terhadap berbagai penyakit (Buletin Lansia, 2013). Di dalam Susenas
dikumpulkan informasi mengenai jenis keluhan kesehatan. Keluhan kesehatan
yang paling tinggi pada lansia adalah jenis keluhan lainnya (32,99%). Jenis
keluhan lainnya dapat berupa masalah pada sistem gastroinstestinal, termasuk
konstipasi. Asupan serat yang terlampau rendah dalam kurun waktu lama akan
mempengaruhi kesehatan (seperti konstipasi), kegemukan, dan serangan penyakit
degeneratif (Soelistijani 2002). Departemen Kesehatan (2003) menyebutkan
bahwa salah satu masalah yang banyak dialami lansia adalah konstipasi dan
terbentuknya benjolan-benjolan pada usus. Hal ini merupakan dampak dari
pergeseran gaya hidup di perkotaan seperti yang telah dijelaskan pada paragraf
sebelumnya.
Masalah kesehatan yang dialami lansia sering berbeda dengan dewasa muda,
karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang
timbul akibat penyakit dan proses penuaan, yaitu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta
mempertahankan struktur dan fungsi. Salah satu perubahan yang terjadi pada
proses penuaan yaitu perubahan pada sistem gastrointestinal. Perubahanperubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal tersebut yaitu termasuk
perubahan struktur dan fungsi usus besar. Pada lansia sendiri, terjadi perubahan
dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum,
peristaltik kolon yang melemah, dan gagal mengosongkan rektum yang dapat
menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000). Hal inilah yang menjadi dasar
bahwa konstipasi merupakan masalah kesehatan pada lansia di daerah perkotaan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
4
Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai
dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007). Pada
keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara teratur.
Kontraksi otot kolon akan mendorong tinja ini ke arah rektum. Pada lansia terjadi
penurunan motilitas kolon, penurunan peristaltik kolon sehingga menyebabkan
transit tinja dalam kolon menjadi lama. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi
air dan elektrolik pada tinja meningkat. Sehingga begitu mencapai rektum, tinja
akan berbentuk padat karena sebagian besar airnya telah diserap. Tinja yang keras
dan padat menyebabkan susahnya proses defekasi. Keadaan ini dapat
menyebabkan lansia rentan untuk mengalami konstipasi (Miller, 2004).
Kejadian konstipasi di Amerika Utara pada umur lebih dari 60 tahun berkisar
antara 12-19%, terjadi peningkatan angka kejadian seiring dengan peningkatan
usia (Vasanwala, 2009). Sekitar 30–40% orang diatas usia 65 tahun di Inggris
mengeluh konstipasi, 30% penduduk diatas usia 60 tahun merupakan konsumen
yang teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi diatas 65 tahun di
Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono, 2003). Dalam seminar
kesehatan (2010) Menurut DR. dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH, dari 2.397
pasien di RSCM Jakarta yang yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi dari tahun
1998-2005, 9% di antaranya adalah pasien dengan konstipasi (www.tempo.co).
Kejadian konstipasi bersumber pada kelemahan tonus otot dinding usus akibat
penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya asupan serat
dan cairan (Arisman, 2007). Masalah yang sering dialami lansia adalah
kekurangan cairan tubuh (Muhammad, 2010). Hal ini terjadi karena adanya
berbagai perubahan yang dialami lansia, diantaranya adalah peningkatan jumlah
lemak pada lansia, penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin, dan
penurunan rasa haus. Penurunan rasa haus pada lansia otomatis akan menurunkan
asupan cairan, padahal dalam fungsinya cairan memegang peranan penting
terutama untuk mengolah makanan dalam usus, tanpa cairan yang cukup usus
tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga timbul sembelit (Muhammad,
2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
5
Penurunan aktivitas fisik juga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan gerak
peristaltik dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rektum dalam
waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Menurut
penelitian Gardiarini (2010) bahwa 55,7% tingkat aktivitas berkaitan dengan
tingkat kesulitan defekasi pada mahasiswa. Salah satu bentuk aktivitas fisik yang
sederhana adalah olah raga. Olahraga dapat meningkatkan motilitas usus dan
mencegah sembelit sehingga menurunkan kanker kolon (Ader dan Cohen, 2001
dalam Nursalam, 2007). Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang dapat
meningkatkan fungsi usus, seperti berjalan kaki, latihan otot panggul, angkat kaki,
latihan mengencangkan otot perut, dan bersepeda stasioner (McKay, Fravel, &
Scanlon, 2009). Salah satu aktivitas fisik yang menjadi intervensi unggulan pada
penelitian ini adalah latihan gerakan kaki mengayuh sepeda. Latihan ini memiliki
prinsip yang hampir sama dengan bersepeda stasioner. Kedua aktivitas ini samasama mengandalkan gerakan kaki untuk merangsang motilitas usus. Hanya saja
pada penelitian ini, klien dapat melakukan gerakan ini sambil berbaring di kasur
dan menggerakkan kakinya di udara seperti mengayuh sepeda.
Faktor- faktor penyebab konstipasi yang tidak segera ditangani akan berubah
menjadi konstipasi kronis. Konstipasi kronis dapat mengakibatkan divertikulosis,
kanker kolon dan terjadinya hemoroid (Sudoyo, dkk, 2006). Kejadian kanker
kolon menempati urutan ke-4, dan menempati peringkat ke-2 penyebab kematian
karena kanker di dunia. Di Indonesia, karsinoma kolon termasuk dalam sepuluh
jenis kanker terbanyak dan menempati urutan keenam dari penyakit keganasan
yang ada. Menurut hasil penelitian Zendrato (2009) proporsi penderita kanker
colorectal terbanyak pada kelompok umur ≥ 40 tahun yaitu 73,2%. Dampak lanjut
dari konstipasi inilah yang dapat mempengaruhi penurunan status kesehatan.
Dampak yang mungkin terjadi akibat dari keberlanjutan konstipasi yang tidak
ditangani ini, dikhawatirkan terjadi pada salah satu lansia yang mengeluhkan
gejala adanya msalah konstipasi. Lansia tersebut adalah Kakek SH yang tinggal di
wisma Cattleya Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Mulia 1 Cipayung. Gejala
umum yang dikeluhkan yaitu frekuensi BAB yang berubah, konsistensi feses yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
6
keras dan berwarna hitam, dan ada rasa tidak tuntas saat BAB. Hasil pengkajian
didapatkan kurangnya intake cairan dan aktivitas fisik menjadi faktor penyebab
terjadinya konstipasi. Intervensi unggulan pada penelitian ini yaitu terapi aktivitas
fisik teratur. Hal ini didasarkan pada penelitian yang menyebutkan kurangnya
aktivitas otot dapat mengurangi fungsi fasilitatif dari perut dan otot panggul dalam
mengevakuasi tinja (Waldrop & Doughty, 2000). Hal inilah yang membuat
penulis tertarik menerapkan intervensi peningkatan aktivitas fisik khususnya
gerakan mengayuh sepeda yang dilakukan secara rutin dalam asuhan keperawatan
bagi lansia dengan masalah konstipasi di PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung.
Dengan demikian, adanya intervensi terkait upaya penanganan konstipasi ini
diharapkan pola normal fungsi usus akan kembali dan dampak lebih lanjut dari
konstipasi tidak terjadi.
1.2
Rumusan Masalah
Penurunan fungsi tubuh seperti penurunan fungsi sistem pencernaan merupakan
bagian dari proses penuaan. Hal ini menyebabkan lansia rentan mengalami
masalah kesehatan seperti konstipasi. Hal ini terjadi jika didukung dengan pola
makan yang tidak tepat, kurang aktivitas fisik, maupun intake cairan yang kurang,
Jika konstipasi tidak ditangani maka akan menyebabkan berbagai dampak, salah
satunya penurunan nafsu makan yang akan berdampak pada penurunan status
nutrisi lansia itu sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya terapi dalam menangani
masalah pencernaan konstipasi. Berdasarkan fenomena tersebut, rumusan masalah
penulisan karya ilmiah ini mengenai penatalaksanaan asuhan keperawatan lansia
dengan terapi latihan gerakan mengayuh sepeda pada lansia dengan konstipasi di
PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung.
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis Asuhan Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Kakek
SH dengan masalah keperawatan konstipasi selama 3 minggu di Wisma Cattleya,
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
7
1.3.2 Tujuan khusus

Tergambarnya hasil pengkajian asuhan keperawatan lansia dengan konstipasi

Tergambarnya permasalahan yang muncul dari lansia yang mengalami
konstipasi

Tergambarnya implementasi untuk mengatasi konstipasi melalui penerapan
terapi aktivitas fisik yang teratur

Tergambarnya evaluasi perkembangan respon lansia dengan konstipasi dari
implementasi yang telah dilakukan melalui asuhan keperawatan
1.4
Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi pelayanan kesehatan untuk lanjut usia
Penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
pihak PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung sebagai masukan dalam memberikan
pelayanan kesehatan pada lansia khususnya pada lansia yang mengalami
konstipasi. Selain itu, diharapkan adanya peran perawat dan tenaga sosial dalam
memantau kesehatan dan melaksanakan intervensi yang berhubungan dengan
konstipasi pada lansia. Adanya intervensi ini juga diharapkan petugas panti tidak
bergantung lagi pada obat pencahar ketika menemukan kasus konstipasi pada
lansia di PSTW.
1.4.2 Bagi institusi pendidikan
Karya ilmiah ini diharapkan bermanfaat untuk institusi pendidikan sebagai
sumber data tambahan bahwasanya kejadian konstipasi sering dialami lansia.
Selain itu, juga diharapkan dengan adanya penelitian ini, institusi pendidikan
mampu merumuskan kembali intervensi keperawatan yang tepat untuk penderita
konstipasi dengan memperhatikan faktor lingkungan dan sumber daya yang ada.
1.4.3 Bagi penelitian keperawatan
Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi evidence based practice dalam
penelitian selanjutnya terkait terapi aktivitas melakukan gerakan kayuh sepeda
pada penderita konstipasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan teori dan konsep yang terkait dengan karya ilmiah
akhir berdasarkan judul karya ilmiah “Analisis praktik keperawatan kesehatan
masyarakat perkotaan pada kakek SH dengan masalah konstipasi di Panti Sosial
Tresna Werdha Budhi Mulia 1 Cipayung”. Teori dan konsep tersebut meliputi
konsep kkmp, masalah konstipasi pada lansia, dan penatalaksanaan konstipasi.
2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP)
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berbagi corak atau ciri penting
dalam kehidupannya (Allender, Rector, & Warner, 2010). Masyarakat saling
berinteraksi satu dengan lainnya dan secara umum memiliki kepentingan umum
dan karakteristik yang sama sehingga menjadi dasar dalam menumbuhkan rasa
persatuan dan hak milik antara satu dengan yang lain (Allender, Rector, & Warner,
2010). Masyarakat memiliki beberapa fungsi yaitu menumbuhkan rasa saling
memiliki dan berbagi identitas atau ciri khas, berbagi nilai, norma, komunikasi,
kepentingan dan keprihatinan secara bersama-sama (Anderson & McFarlane,
2004 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010). Berdasarkan lokalitasnya
masyarakat terbagi menjadi dua yaitu masyarakat pedesaan dan masyarakat
perkotaan.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan salah
satu dampaknya yang dapat ditimbulkan yaitu meningkatnya masalah kesehatan.
Berdasarkan Depkes (2005), umumnya masalah kesehatan yang banyak terjadi di
perkotaan menjadi lebih kompleks, pada satu sisi masih dijumpai masalah
kesehatan konvensional seperti penyakit infeksi, sanitasi yang rendah, dan
penyakit menular dan di sisi lain muncul penyakit degenaratif, gangguan kejiwaan,
gizi lebih, dan infeksi menular seksual.
Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Oleh karena itu urbanisasi
adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Gejala urbanisasi di sebuah kota
8
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
9
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus berubah (bertambah) dan terjadi
perubahan pada tatanan masyarakat. Allender (2010) menyebutkan faktor yang
mempengaruhi masyarakat kota ada tiga yaitu lingkungan fisik seperti kepadatan
penduduk, tingginya polusi, dan kebisingan; lingkungan sosial seperti rendahnya
dukungan sosial (ganster dan obat terlarang), kekerasan, kemiskinan, dan isolasi
sosial; dan akses ke pelayanan kesehatan dan sosial yang mudah untuk dijangkau.
Kesehatan menurut WHO adalah suatu keadaan sejahtera baik secara fisik, mental,
sosial, dan bukan hanya keadaan tidak adanya penyakit atau kelemahan (Ustin &
Jakob, 2005 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010). Dua komponen dasar yang
menjadi pertimbangan dalam praktik kesehatan yaitu promosi kesehatan dan
pencegahan masalah kesehatan. Menurut Hunt (2002), praktik keperawatan yang
berdasar pada masyarakat berfokus pada promosi kesehatan dan mempertahankan
kesehatan individu dan kelompok, mencegah dan meminimalisir perkembangan
penyakit, serta upaya dalam meningkatkan kualitas hidup (Smeltzer & Bare,
2004). Promosi kesehatan sendiri meliputi segala usaha yang digunakan untuk
mendekatkan masyarakat pada tingkat kesehatan yang tinggi atau optimal
(Allender, Rector, & Warner, 2010). Sedangkan pencegahan mengandung arti,
yaitu suatu antisipasi dan pencegahan terkait masalah atau menemukan masalah
sedini mungkin agar kecacatan ataupun dampak buruknya dapat diminimalisir.
Tingkatan pencegahan dalam kesehatan masyarakat dikenal ada tiga macam pada
praktiknya, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan dan
tersier (Neuman, 2001 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010).
Keperawatan kesehatan masyarakat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (2006), merupakan pelayanan keperawatan profesional yang
memadukan antara konsep kesehatan masyarakat dan konsep keperawatan yang
ditujukan pada seluruh masyarakat dengan penekanan pada kelompok risiko tinggi.
Tujuan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat adalah meningkatkan
kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah keperawatan kesehatan
masyarakat yang optimal. Upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
10
dilakukan melalui upaya promotif dan preventif yang ditujukan baik kepada
individu, keluarga, maupun kelompok.
Keperawatan kesehatan masyarakat memiliki cakupan yang luas. Cakupannya
tidak hanya menangani suatu permasalahan yang membutuhkan adanya
penyembuhan (kuratif) dari suatu penyakit tetapi juga adanya upaya pencegahan
(preventif). Oleh karena itu di ruang lingkup keperawatan kesehatan masyarakat
mencakup
peningkatan
kesehatan
(promotif),
pencegahan
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan (kuratif),
(preventif),
pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu,
keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat ke lingkungan sosial dan
masyarakat (resosialitatif) (Potter & Perry, 2009; De Laune & Ladner, 2002).
Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan ini termasuk dalam lingkup
keperawatan komunitas. Hal ini karena masyarakat perkotaan merupakan
komunitas yang tinggal di daerah perkotaan dengan semua keadaan dan kondisi
yang ada di lingkungan kota. Keperawatan masyarakat perkotaan memiliki 8
karakteristik dan merupakan hal yang penting dalam melakukan praktik (Allender,
2001) yaitu merupakan 1) lahan keperawatan; 2) kombinasi antara keperawatan
publik dan keperawatan klinik; 3) berfokus pada populasi; 4) menekankan
terhadap pencegahan akan penyakit serta adanya promosi kesehatan dan
kesejahteraan diri; 5) mempromosikan tanggung jawab klien dan self care; 6)
menggunakan pengesahan/pengukuran dan analisa; 7) menggunakan prinsip teori
organisasi; 8) melibatkan kolaborasi interprofesional.
Perawat kesehatan masyarakat memiliki peran dalam mengelola perawatan
kesehatan dalam daerah tersebut serta menjadi pendidik kesehatan dalam
masyarakat tersebut. Menurut Allender (2010), peran perawat di perkotaan
difokuskan
dalam
memberikan
pelayanan
keperawatan
kesehatan
pada
masyarakat yaitu homeless, ancaman bioterorisme, kekerasan kriminal, kepadatan
penduduk, dan mengadvokasi masyarakat yang rentan seperti lansia. Peranan yang
dapat dilakukan oleh perawat dalam menangani masalah kesehatan masyarakat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
11
perkotaan yaitu pelaksanaan pelayanan keperawatan, pendidik, pengamat
kesehatan, koordinator pelayanan kesehatan, pembaharu, pengorganisir pelayanan
kesehatan, role model, fasilitator, tempat bertanya/fasilitator, pengelola/manager.
2.2 Masalah Konstipasi Pada Lansia
2.2.1 Pengertian Konstipasi
Konstipasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan buang air besar
yang tidak teratur (Smeltzer & Bare, 2012). Pengerasan abnormal tinja membuat
aliran feses menjadi sulit sehingga terasa menyakitkan, penurunan volume tinja,
atau retensi tinja dalam rektum pada periode yang berkepanjangan (Smeltzer &
Bare, 2012). Setiap variasi dari kebiasaan yang dianggap normal, dapat dianggap
sebagai masalah. Konstipasi dapat disebabkan oleh obat-obat tertentu (misalnya,
obat penenang, antikolinergik, antidepresan, antihipertensi, opioid, antasid dengan
aluminium, dan besi); gangguan pada saluran anal (misalnya, wasir,); obstruksi
(misalnya, kanker usus); kondisi metabolik, neurologi, dan neuromuskuler
(misalnya, diabetes mellitus, penyakit Hirschsprung, penyakit Parkinson, multiple
sclerosis); gangguan endokrin (misalnya, hipotiroidisme); keracunan; dan
gangguan jaringan ikat (misalnya, skleroderma, lupus erythematosus) (Smeltzer &
Bare, 2012). Penyakit usus besar umumnya yang terkait dengan konstipasi yaitu
sindrom iritasi usus dan penyakit divertikular. Konstipasi juga dapat terjadi
dengan proses penyakit akut di abdomen (misalnya, apendisitis). Penyebab
lainnya adalah kelemahan, imobilitas, kelelahan, dan ketidakmampuan untuk
meningkatkan tekanan intra-abdomen, seperti yang terjadi dengan emfisema
(Smeltzer & Bare, 2012). Banyak orang mengalami konstipasi karena tidak
meluangkan waktu untuk buang air besar atau mengabaikan dorongan untuk
buang air besar. Di Amerika Serikat, konstipasi juga merupakan akibat dari
kebiasaan makan (yaitu, rendahnya konsumsi serat dan asupan cairan yang tidak
memadai), kurang olahraga teratur, dan hidup penuh stres (Smeltzer & Bare,
2012).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
12
2.2.2 Patofisiologi Konstipasi
Patofisiologi konstipasi kurang dapat dipahami, tetapi diperkirakan mencakup
gangguan pada salah satu dari tiga fungsi utama usus besar: transportasi mukosa
(yaitu, sekresi mukosa yang memfasilitasi gerakan isi usus), aktivitas myoelectric
(yaitu, pencampuran massa rektum dan tindakan pendorong), atau proses saat
buang air besar (Smeltzer & Bare, 2012). Setiap dari penyebab tersebut faktor
sebelumnya diidentifikasi dapat mengganggu salah satu dari tiga proses ini.
Dorongan untuk buang air besar secara normal dirangsang oleh distensi rektum,
yang memulai serangkaian empat tindakan: stimulasi penghambatan yang
merupakan refleks dari rectoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot
sfingter eksternal dan otot di daerah pinggul, serta peningkatan tekanan intraabdominal (Smeltzer & Bare, 2012). Interferensi dengan salah satu dari prosesproses ini dapat menyebabkan konstipasi. Jika dorongan untuk buang air besar
diabaikan, lendir rektal membran dan otot-otot menjadi tidak peka terhadap
kehadiran massa tinja, dan akibatnya, stimulus kuat diperlukan untuk
menghasilkan gaya peristaltik yang diperlukan untuk buang air besar. Awal efek
retensi tinja adalah untuk menghasilkan iritabilitas usus besar, yang pada tahap ini
sering dirasakan tegang, sehingga menimbulkan kolik midabdominal atau nyeri
perut bawah (Smeltzer & Bare, 2012). Setelah beberapa waktu, proses ini
membuat usus besar kehilangan irama otot dan menjadi tidak responsif terhadap
rangsangan normal. Atoni atau tonus otot menurun yang terjadi seiiring dengan
penuaan. Hal ini juga menyebabkan konstipasi karena tinja disimpan untuk waktu
yang lebih lama.
2.2.3 Manifestasi Klinis Konstipasi
Manifestasi klinis konstipasi meliputi distensi abdomen, borborygmus (yaitu,
gemericik atau suara gemuruh yang disebabkan oleh lewatnya gas melalui usus),
rasa sakit karena nyeri tekan, nafsu makan menurun, sakit kepala, kelelahan,
gangguan pencernaan, sensasi pengosongan yang tidak tuntas, sulitnya tinja keluar,
volume kecil, keras, dan tinja kering (Smeltzer & Bare, 2012).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
13
2.2.4 Pengkajian Konstipasi
Beberapa
lansia
menganggap konstipasi merupakan masalah kesehatan.
Pengkajian yang perlu dilakukan perawat untuk mengkaji adanya konstipasi yaitu
melakukan pemeriksaan fisik dan mewawancarai kebiasaan hidup klien. Perawat
harus bertanya tentang olahraga, diet, dan asupan cairan, dan apakah lansia
menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi sistem pencernaan atau obat
herbal untuk mengatasi konstipasi. Asupan makanan selama 3-7 hari bisa
menggambarkan kebiasaan makan yang mungkin berdampak pada konstipasi.
Terbatasnya mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran dan cairan memberikan
kontribusi pada terjadinya konstipasi. Selain itu, konstipasi juga dapat dipengaruhi
kurangnya latihan dan mobilitas yang terbatas (Mauk, 2006). Hal ini juga
diungkapkan Kozier & Erb (2009), saat mengkaji konstipasi, perawat harus
memperhatikan diet klien, aktivitas, konsumsi obat, karakteristik feses,
kemudahan pengeluaran feses, dan pengeluaran defekasi.
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan observasi, auskultasi, perkusi dan palpasi.
Bising usus dinilai untuk menjamin motilitas aktif dan transit untuk
menyingkirkan obstruksi usus. Konstipasi dengan ada atau tidak adanya bising
usus harus diauskultasi. Bising usus yang paling sering terdengar di kuadran
kanan bawah. Jika tidak segera mendengar perawat harus mendengarkan sampai
dua menit di masing-masing empat kuadran. Palpasi abdomen untuk massa
abdomen, menilai untuk kekakuan, distensi, atau nyeri (Eberhardie, 2003; Folden
et al, 2002).
2.2.5 Perubahan Sistem Gastrointestinal pada Lansia
Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian tubuh, khususnya dalam
saluran gastrointestinal. Banyak masalah-masalah gastrointestinal yang dihadapi
oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan gaya hidup lansia itu sendiri. Menurut
Maryam (2010), perubahan gastroinstestinal yang terjadi pada lansia diantaranya
esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, peristaltic menurun
sehingga daya absorbs juga ikut menurun. Selain itu, ukuran lambung mengecil
serta fungsi organ aksesori juga menurun sehingga menyebabkan berkurangnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
14
produksi hormon dan enzim pencernaan. Berikut ini akan dipaparkan perubahan
sistem gastrointestinal dari rongga mulut, esophagus, lambung, usus halus, usus
besar, hati, dan pankreas.
Perubahan dimulai dari rongga mulut. Bagian rongga mulut yang lazim
terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah. Kehilangan gigi penyebab utama adanya
Periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain
meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera pengecap
menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari selaput lendir, atropi indera
pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah terutama
rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin,
asam, dan pahit (Nugroho, 2008).
Perubahan berikutnya yaitu esofagus. Esofagus mengalami penurunan motilitas,
sedikit dilatasi atau pelebaran seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah
(kardiak) kehilangan tonus. Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi
dari faktor-faktor ini meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia
(Luecknotte, 2000).
Perubahan berikutnya yaitu pada lambung. Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel
kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam lambung,
pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih
kecil, sehingga daya tampung makanan menjadi berkurang. Proses perubahan
protein menjadi peptone terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang
rangsang lapar juga berkurang (Darmojo & Martono, 2006). Kesulitan dalam
mencerna makanan adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan
motalitas lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan
sekresi asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat
besi, kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan
melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung
dan terus melalui usus halus dan usus besar (Stanley, 2007).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
15
Dari lambung selanjutnya masuk ke dalam usus halus. Mukosa usus halus juga
mengalami atrofi, sehingga luas permukaan berkurang, sehingga jumlah vili
berkurang dan sel epithelial berkurang. Di daerah duodenum enzim yang
dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun, sehingga metabolisme
karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak sebaik sewaktu muda
(Leueckenotte, 2000).
Perubahan selanjutnya yaitu pada usus besar dan rektum. Pada lansia terjadi
perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus, elastisitas
dinding rektum, peristaltik kolon yang melemah gagal mengosongkan rektum
yang dapat menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000). Pada lansia, feses
melalui usus dengan laju yang lebih lambat, dan persepsi stimulus yang
menghasilkan keinginan untuk defekasi sering menurun (Kozier & Erb, 2009).
Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas
kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan
elektrolit meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses
menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan
yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh
kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen
sudah melemah (Darmojo & Martono, 2006).
Berikutnya perubahan pada pankreas. Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase
akan menurun sehingga kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
juga akan menurun. Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan
dengan batu empedu. Batu empedu yang menyumbat ampula Vateri akan
menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipaseA yang diaktifkan oleh tripsin dan/ atau asam empedu (Darmojo & Martono,
2006).
Perubahan terakhir yang terjadi yaitu pada hati. Hati berfungsi sangat penting
dalam proses metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Disamping juga
memegang peranan besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
16
vitamin, konjugasi billirubin dan lain sebagainya. Dengan meningkatnya usia,
secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi sebagiab besar
sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan
penurunan fungsi hati (Darmojo & Martono, 2006). Proses penuaan telah
mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan metabolisme asam empedu
yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. Banyak
perubahan-perubahan terkait usia terjadi dalam sistem empedu yang juga terjadi
pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley, 2007).
2.2.6 Penatalaksanaan Konstipasi
2.2.6.1 Manajemen Keperawatan
Perawat memunculkan informasi tentang onset dan durasi konstipasi, pola
eliminasi saat ini dan masa lalu, harapan pasien terhadap eliminasi usus normal,
dan informasi gaya hidup (misalnya, olahraga dan tingkat aktivitas, pekerjaan,
makanan dan asupan cairan, dan tingkat stres) selama wawancara riwayat
kesehatan. Riwayat operasi, obat-obatan saat ini, pencahar dan penggunaan enema.
Lainnya seperti informasi tentang sensasi tekanan rektal atau penuh, nyeri perut,
mengejan berlebihan pada buang air besar, dan perut kembung. Pendidikan pasien
dan promosi kesehatan adalah fungsi penting perawat. Setelah riwayat kesehatan
diperoleh, perawat menetapkan tujuan spesifik untuk memberikan edukasi. Tujuan
penatalaksanaan konstipasi pada pasien diantaranya mengembalikan atau
mempertahankan pola eliminasi yang teratur, memastikan asupan cairan dan
makanan tinggi serat, belajar tentang metode untuk menghindari konstipasi,
mengurangi kecemasan tentang pola eliminasi, dan menghindari komplikasi.
2.2.6.2 Intervensi Keperawatan
Keluhan usus yang umum pada lansia memiliki dampak yang signifikan terhadap
kualitas hidup. Memulai manajemen sembelit bagi mereka yang berisiko sembelit
dapat meringankan penderitaan dan meningkatkan kemampuan untuk menjalani
hidup yang lebih penuh (Spinzi, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009);
manajemen awal sembelit (pencegahan) dianjurkan sebagai kombinasi dari cairan,
rejimen diet, olahraga, dan toileting (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Meza,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
17
Peggs, & O'Brien, 1984, Tariq, 2007 dalam dalam McKay, Fravel, & Scanlon,
2009). Setelah mengidentifikasi individu yang berisiko untuk konstipasi, tindakan
berikut ini sebaiknya dilaksanakan.
Pertama yaitu intake cairan. Orang dewasa dapat mengkonsumsi jumlah cairan
yang tidak cukup yang mungkin mempengaruhi mereka untuk mengalami
konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Mentes, 2004;.Tariq, 2007 dalam
McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Asupan cairan minimal 1,5 liter (6 gelas) per
hari dianjurkan untuk menghindari konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005;
Mentes, 2004; Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Dalam
laporan keenam dan terakhir dari Dietary Reference Intakes (DRIs), The Food and
Nutrition Board, Institute of Medicine, and National Academy of Sciences
mengatur intake cairan adekuat untuk hidrasi sebanyak 2,7 liter (11 gelas) per hari
untuk wanita usia 19-70, dan 3,7 liter (15 gelas) per hari untuk laki-laki usia 19-70.
Rekomendasi cairan ini termasuk cairan dari semua sumber. Dua puluh persen
dari cairan untuk hidrasi berasal dari makanan dan 80% dari minuman. Oleh
karena itu, perempuan membutuhkan sekitar 8 gelas dan laki-laki sekitar 12 gelas
cairan per hari untuk hidrasi yang adekuat (Institute of Medicine Food and
Nutrition Board, "Dietary reference intakes for water," 2005). Cairan bisa berasal
dari semua minuman, termasuk air, jus, kopi, teh, dan minuman berkarbonasi.
Cairan berkafein tidak membuat perbedaan yang signifikan dalam hidrasi.
Berikutnya yaitu diet. Sebuah diet serat tinggi telah ditemukan untuk
meningkatkan frekuensi buang air besar dan efektif dalam pengobatan konstipasi
(Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005; Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon,
2009). Serat pangan adalah komponen alami dari produk tanaman, seperti buah,
sayuran, dan biji-bijian. Sumber ini menyediakan sebagian besar yang dibutuhkan
oleh usus besar untuk menghilangkan limbah tubuh (Di Lima, 1997 dalam McKay,
Fravel, & Scanlon, 2009). Saat serat melewati usus besar, ia bertindak sebagai
spons dengan menyerap air. Hal ini menyebabkan limbah menjadi lembut. Limbah
kemudian bergerak melalui tubuh lebih cepat memungkinkan lebih mudah dan
lebih buang air besar teratur (Di Lima, 1997;. Folden et al, 2002; Hsieh, 2005;
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
18
Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Diet tinggi serat tidak
dianjurkan bagi individu yang imobilisasi atau yang tidak mengkonsumsi
setidaknya 1.500 mililiter cairan per hari (Donald et al., 1985 dalam McKay,
Fravel, & Scanlon, 2009).
Total serat 21 gram per hari untuk wanita usia 51-70, dan 30 gram per hari untuk
laki-laki usia 51-70 (Institute of Medicine Food and Nutrition Board, "Dietary
reference intakes for energy," 2005). Rekomendasi untuk asupan serat makanan
bervariasi 25-30 gram per hari menjadi 20-35 gram per hari minimum ketika
asupan cairan setidaknya 1.500 mililiter per hari (Di Lima, 1997; Hsieh, 2005;.
Tariq, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Serat pangan meliputi serat
tidak larut dan larut (Di Lima, 1997 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009).
Serat tidak larut bersumber dari gandum, sayuran, dan biji-bijian. Ini tidak larut
dalam air. Jenis serat yang paling membantu dalam mencegah sembelit (Di Lima,
1997 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Serat larut ditemukan dalam oat
bran, barley, kacang, dan buah-buahan dan sayuran tertentu. Serat ini membentuk
gel ketika bercampur dengan air. Serat larut memiliki manfaat yang minimal
dalam mencegah atau mengelola sembelit (Di Lima, 1997 dalam McKay, Fravel,
& Scanlon, 2009). Cara yang paling bermanfaat untuk mencegah konstipasi
adalah kombinasi dari serat tidak larut dan larut dengan meningkatkan asupan
makanan dari gandum, buah-buahan, dan sayuran (Wichita, 1977 dalam McKay,
Fravel, & Scanlon, 2009).
Penatalaksanaan berikutnya yaitu aktivitas fisik. Menurut Hoeger dan Hoeger
(2005), aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot skeletal
dan membutuhkan pengeluaran energi. Almatsier (2003), menjelaskan bahwa
aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Fungsi tubuh lansia yang mengalami penurunan sebagai akibat dari
proses penuaan yang terjadi pada seseorang menyebabkan keterbatasan lansia
dalam beraktivitas. Penurunan aktivitas fisik ini akan mengakibatkan terjadinya
kelemahan tonus otot dinding saluran cerna sehingga akan terjadi konstipasi
(Arisman 2007). Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang dapat meningkatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
19
fungsi usus, seperti berjalan kaki, latihan otot panggul, angkat kaki, latihan
mengencangkan otot perut, dan bersepeda stasioner (McKay, Fravel, & Scanlon,
2009)
Mobilitas yang buruk dapat berhubungan dengan konstipasi (Hsieh, 2005; Tariq,
2007; Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Aktivitas fisik
telah terbukti meningkatkan kualitas hidup karena pengaruhnya terhadap waktu
transit gastrointestinal (Chin A Paw, van Poppel, & van Mechelen, 2006;. Tuteja
et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Rekomendasi kegiatan harus
disesuaikan dengan kemampuan fisik individu dan kondisi kesehatan (Chin A Paw
et al, 2006;. Karam & Nies, 1994; Tariq, 2007; Tuteja et al, 2005 dalam McKay,
Fravel, & Scanlon, 2009). Berjalan 15-20 menit sekali atau dua kali sehari, atau
lebih, dianjurkan bagi mereka yang sepenuhnya dapat mobilisasi (Chin A Paw et
al, 2006;. Karam & Nies, 1994; Tariq, 2007;. Tuteja et al, 2005 dalam McKay,
Fravel, & Scanlon, 2009). Terkait frekuensi, intensitas, dan durasi pelaksanaan
latihan tidak ada evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan
durasi latihan seharusnya. Namun, frekuensi dan durasi latihan harus didasarkan
pada toleransi pasien (Moore et al., 1999).
Aktivitas fisik yang dilakukan fungsi utamanya ditujukan untuk usus . Manipulasi
pada perut bagian tengah dengan arah vertikal dan melingkar dimaksudkan untuk
memperlancar aliran darah ke usus dan merangsang peristaltik usus. Desakan dan
tarikan di perut bagian tengah maupun bawah akan menambah efektif
perangsangan tersebut. Dengan aliran darah yang baik, kelenjar pencernaan akan
dapat memproduksi enzim dengan kuantitas yang cukup dan kualitas baik.
Kesulitan buang air besar pada lansia, selain diatasi dengan makanan berserat dan
banyak minum, perlu ditambah dengan aktivitas fisik perangsang peristaltik usus
(Kushartanti, 2008).
Berikutnya yaitu toileting. Mengabaikan atau menekan dorongan untuk buang air
besar memberikan kontribusi untuk konstipasi (Folden et al, 2002; Sanburg,
McGuire, & Lee, 1996 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Membentuk pola
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
20
BAB rutin telah ditemukan menjadi bermanfaat dalam pengelolaan konstipasi
(Folden et al, 2002; Gibson et al, 1995 dalam McKay, Fravel, & Scanlon,
2009). Aktivitas toileting dianjurkan 5-15 menit setelah makan, terutama setelah
sarapan ketika refleks gastrokolik paling kuat dan sesuai kebutuhan (Folden et al,
2002; Karam & Nies 1994 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009).
Terakhir yaitu terapi farmakologi. Terapi farmakologi diindikasikan jika gejala
konstipasi bertahan meskipun telah dilakukan perubahan gaya hidup (Johnson,
2006 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Agen farmakologis yang
digunakan untuk pengobatan konstipasi dapat diklasifikasikan ke dalam kategori
berikut: pembentuk sampah pencahar (bulk-forming laxatives), emolien, pelumas,
obat pencahar osmotik, stimulan, dan chloride-channel stimulators. Pemilihan
agen tertentu harus didasarkan pada karakteristik individu pasien. Faktor-faktor
tertentu harus dipertimbangkan, seperti kontraindikasi untuk kelas tertentu,
penggunaan pencahar
sebelumnya,
dan preferensi
pribadi
dari
bentuk
sediaan. Tidak ada pedoman evidence based yang membahas urutan disukainya
penggunaan berbagai jenis obat pencahar (Hseih 2005 dalam McKay, Fravel, &
Scanlon, 2009). Namun, efek dari penggunaan beberapa jenis obat pencahar telah
dilaporkan (Sandburg, McGuire, & Lee, 1996). Obat pencahar pembentuk sampah
(misalnya, Citrucel ®, Metamucil ® dan Fibercon ®). Obat ini sering digunakan
sebagai agen lini pertama karena rendahnya insiden efek samping yang serius dan
harga murah. Efek samping yang umum terjadi termasuk distensi perut dan perut
kembung. Namun, penting diimbangi dengan banyak mengkonsumsi air untuk
menghindari obstruksi pada kerongkongan, lambung, dan usus (Berardi, 2006
dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009).
2.2.6.3 Aktivitas fisik yang disarankan untuk lansia
Beraktifitas fisik yang baik dan teratur akan membantu keadaan tubuh tetap
terjaga dengan baik, baik itu aktivitas yang bersifat aerobik maupun aktvitas yang
anaerobik. Untuk lansia, aktivitas yang disarankan bersifat aerobik. Beberapa
aktivitas yang bersifat aerobik yang dianjurkan untuk diberikan pada lansia yaitu
misalnya dengan jalan kaki, jogging, melompat, bersepeda baik yang stasioner
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
21
maupun yang jalan, serta senam lansia (Sriwahyuniati, 2008; Rahardjo, 2014).
Aktivitas fisik ini juga bertujuan agar kebugaran dan kesegaran jasmani tubuh
pada lansia tetap terjaga dan terkendali. Efektif atau tidaknya program olahraga
atau aktivitas yang dilakukan oleh lansia juga tergantung dari program yang
dijalankan. Sebaiknya program latihan yang dijalankan harus memenuhi konsep
FITT (Frequency, Intensity, Time, Type) (Sriwahyuniati, 2008).
Rahardjo (2014) menyatakan bahwa olahraga atau aktivitas fisik yang dapat
disarankan pada lansia yang sehat adalah aerobik yang salah satunya adalah
dengan bersepeda, baik statis atau dinamis. Prinsip bersepeda statis dan
menggerakan kaki seperti mengayuh sepeda pada dasarnya sama. Aktivitas ini
dapat merangsang peristaltik usus dan mengencangkan tonus otot perut yang baik
untuk pencernaan. Bagi beberapa lansia yang tidak memiliki sepeda, dapat
melakukan latihan ini dengan sambil berbaring di lantai, matras, atau di kasur.
Lalu menggerakan kaki di udara seperti gerakan mengayuh sepeda. Terkait
frekuensi, intensitas, dan durasi pelaksanaan latihan tidak ada evidence based
untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya. Namun,
frekuensi dan durasi latihan harus didasarkan pada toleransi pasien (Moore et al.,
1999).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Bab ini berisi pemaparan laporan kasus kelolaan utama, mulai dari pengkajian, rencana
asuhan, implementasi asuhan keperawatan, hingga evaluasi terkait analisis praktik klinik
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dengan masalah konstipasi di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung.
3.1
Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Kakek SH (77 tahun) merupakan lansia yang tinggal di Wisma Cattleya PSTW Budhi
Mulia 01 Cipayung. Kakek SH lahir pada tanggal 29 September 1937 di Jambi.
Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Rakyat (SR). Pekerjaan terakhir Kakek SH yaitu
supir bus antar kota Jakarta-Padang. Status pernikahan Kakek SH menikah. Dari hasil
pernikahannya, Kakek SH tidak dikaruniai anak.
Kakek SH tinggal di panti karena tidak memiliki sanak keluarga di Jakarta. Keluarga
termasuk istri tinggal menetap di Padang. Saat tinggal di Jakarta, Kakek SH harus
menjalani operasi batu kemih. Setelah operasi, Kakek SH diantar ke PSTW Budhi Mulia
01 Cipayung karena tidak memiliki tempat tinggal dan tidak ada kerabat yang merawatnya.
Kakek SH pernah ditawari untuk kembali ke kampung halamannya, namun, Kakek SH
memilih Klien tinggal di PSTW semenjak tahun 2012.
Klien menyangkal memiliki riwayat penyakit apapun. Menurut keterangan klien, riwayat
penyakit yang diturunkan dari kedua orang tuanya juga tidak ada. Saat pengkajian, riwayat
penyakit yang dialaminya yaitu penyakit batu kemih yang membuat klien akhirnya di
operasi. Setelah operasi tersebut, klien mengaku mengalami kencing berdarah (hematuria).
Klien tidak merasakan nyeri saat buang air kecil. Hanya saja, terkadang klien merasakan
panas pada saluran kencingnya. Tetapi hal ini membuat klien tidak terganggu.
Hal lain yang menjadi keluhan klien, klien memiliki keluhan berupa BAB yang keras,
sedikit, dan berwarna agak kehitaman. Sebelum operasi batu kemih, klien mengatakan
bahwa frekuensi BAB nya teratur setiap hari sekali. Namun, saat dilakukan pengkajian,
klien mengaku bahwa frekuensi BAB-nya menjadi 2-3 hari sekali.
22
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
23
3.1.2 Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik telah dilakukan pada klien. Pengkajian tersebut dilakukan mulai dari
kepala hingga kaki (head to toe). Keadaan umum dan orientasi klien baik, dengan
kesadaran compos mentis. Tanda vital saat dilakukan pengkajian terukur, suhu: 36,5o C;
nadi 86 x/menit; tekanan darah 110/70 mmHg, pernafasan 20x/menit; tinggi badan 160
cm; serta berat badan 50 kg. Pemeriksaan pada bagian kepala menunjukkan keadaan
rambut yang beruban namun bersih, tidak ada lesi, mata simetris, konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik, dilatasi pupil baik +/+, hidung tidak terdapat sekret atau
sumbatan nafas, simetris, sinus (-), epistaksis (-). Telinga simetris dengan produksi
serumen minimal, ganggua pendengaran (-). Mulut bersih , mukosa lembab dan berwarna
pink kemerahan, lesi (-), kemampuan mengunyah dan menelan masih baik, jumlah gigi 28,
produksi saliva cukup. Pemeriksaan pada leher menujukkan tidak adanya pembesaran
kelenjar getah bening atau distensi vena jugular.
Pengkajian berikutnya yaitu pada daerah dada/toraks, abdomen, dan ekstremitas. Hasil
pengkajian toraks menunjukkan bahwa bentuk dada simetris, lesi (-), iktus kordi (-), nyeri
tekan (+), bunyi nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-, BJ I dan BJ II positif, reguler,
gallop (-), murmur (-). Daerah abdomen berwarna putih warna kulit dan teraba datar, lesi
(-), asites (-), nyeri tekan (+), distensi (-), serta BU 1x/menit. Pengkajian muskuloskeletal
tidak terdapat perubahan gaya berjalan riwayat fraktur (-), nyeri timbul pada sendi lutut
saat lelah, kekuatan otot ekstremitas kanan atas bernilai 5555, kiri atas 5555 sedangkan
kanan bawah 5555 dan kiri bawah 5555.
3.1.3 Kebiasaan dan Aktivitas
Klien memiliki kebiasaan makan tiga kali sehari sesuai jadwal yang telah diatur panti.
Hasil observasi dan wawancara, porsi makan klien hanya berkisar 5-6 sendok makan saja
dengan lauk dan sayuran sesuai yang telah disediakan. Namun, karena jadwal pembagian
makanan yang terlalu dekat, klien sering menunggu makan jikalau merasa lapar. Alhasil,
makanan yang sudah sejak tadi dibagikan menjadi dingin ketika dimakan. Selain itu, Klien
mengatakan tidak memiliki alergi makanan tertentu. Tidak ada pembatasan makanan atau
alergi terhadap makanan tertentu. Hanya saja, porsi makan yang berkurang ini disebabkan
oleh nafsu makan klien yang berkurang dengan makanan yang disajikan panti. Klien
menganggap, makanan tersebut membosankan. Kebiasaan minum klien terbilang cukup
baik dengan konsumsi air putih sebanyak 3-4 gelas mug (±600cc/mug) tiap harinya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
24
Pola tidur klien mengalami
masalah dengan kebiasaan tidur yang telah terbentuk
semenjak dahulu bekerja sebagai supir bus malam. Klien akan tidur pada pukul 22.00 dan
terbangun pada pukul 01.00 untuk melakukan shalat tahajud. Saat siang hari, klien
mengaku jarang sekali tidur siang karena merasa sulit tertidur. Menurutnya, pada waktu
siang hari, lebih banyak gangguan yang datang seperti misalnya adanya kegiatan TAK,
kunjungan tamu, ataupun suasana yang seringkali tidak mendukung untuk tertidur. Klien
mengatakan bahwa ia merasa tidurnya kurang. Saat pengkajian, tampak klien lelah,
terdapat kantung mata, dan sedikit pucat.
Kebiasaan buang air kecil dan besar klien terlihat mengalami masalah. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa keluhan utama klien yang dirasakan adalah BAB yang tidak
teratur dan adanya tanda dan gejala konstipasi. Selain itu, frekuensi buang air kecil klien
juga terlihat adanya masalah yaitu sekitar 3-4 kali dalam sehari. Berwarna keruh, terdapat
sedimen dan darah. Hal ini sudah pernah dikonsultasikan dengan perawat panti, Menurut
keterangan perawat tersebut, klien sudah pernah mendapatkan obat. Selama mendapat
terapi obat, keluhan kencing berdarah sudah tidak ada. Namun, setelah obat habis, klien
mengaku kencing berdarah muncul lagi. Klien tidak melaporkan hal ini kepada petugas
karena merasa tidak terganggu. Saat dilakukan secara mendetail, klien mengakui kepada
mahasiswa perawat bahwa kencing berdarahnya muncul kembali.
Hasil pengkajian Barthel Index, klien termasuk kategori mandiri. Klien mampu melakukan
aktivitas sehari-harinya dengan mandiri. Setiap harinya rutinitas yang dikerjakan yaitu
bangun pagi, mandi, mencuci baju, kadang terlihat bercengkerama dengan penghuni lain.
Kegiatan yang diikuti di panti diantaranya yaitu panggung gembira dan senam. Selain itu,
jika ada mahasiswa praktik mengadakan TAK (Terapi Aktivitas Kelompok), klien juga
akan mengikutinya. Pada waktu siang, klien akan istirahat dan makan. Saat siang hari,
klien biasanya terlihat duduk atau tiduran di kamarnya. Kemudian saat menjelang sore,
klien akan mulai mandi dan bersiap makan sore. Terkadang klien terlihat bercengkrama
dengan penghuni lain ataupun duduk-duduk di teras wisma saat menjelang petang.
Aktivitas rekreasi atau kegiatan yang klien anggap menghibur di panti yaitu senam dan
panggung gembira. Menurut klien kegiatan tersebut cukup menjadi hiburan selama di
panti. Di wisma sendiri terdapat televisi. Namun, menurut klien, televisi yang diletakkan di
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
25
lorong wisma tersebut tidak cukup menghibur. Alasan lainnya yaitu klien tidak terlalu
menyukai menonton televisi.
3.1.4 Pengkajian Lain
Instrumen pengkajian yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan terhadap konstipasi
pada klien yaitu penggunaan CAS (Constipation Assessment Scale) (McMillan &
Williams, 1989 dalam Loretz, L. (2005). Form tersebut berisi daftar pertanyaan: 1)
“Apakah anda merasa penuh, begah, atau kembung pada perut anda?” (2) “Apakah terjadi
perubahan jumlah atau frekuensi gas (kentut) yang keluar?” (3) “Apakah anda mengalami
penurunan frekuensi defekasi/ BAB? (4) “Apakah anda merasakan adanya feses cair yang
merembes?” (5) “Apakah anda merasakan adanya tekanan atau perasaan penuh pada
rectum/ anus?” (6) “Apakah anda merasakan sakit/ nyeri pada rektum/ anus saat defekasi?”
(7) “Apakah ukuran feses yang keluar lebih kecil?” dan (8) “Apakah anda merasa ingin
defekasi, namun tidak dapat mengeluarkannya?”.
Hasil pengkajian awal, Nilai skor CAS klien didapatkan skor 9 dari 16. Skor tersebut
menunjukkan bukti adanya masalah konstipasi pada klien. McMillan & Williams (1989)
tidak membuat range yang jelas dalam membedakan kategori konstipasi ringan, sedang,
atau berat. Namun, hasil skor > 1 sudah menunjukkan bahwa klien mengalami konstipasi.
Beberapa pengkajian lainnya yang dilakukan pada klien diantaranya tingkat kemandirian
dengan menggunakan indeks Barthel, Morse Fall Scale (MFS), serta Berg Balance Test
(BBT), Geriatric Depression Scale Short Form, dan Mini Mental Status Examination
(MMSE). Tingkat kemandirian klien berdasarkan hasil pengkajian dengan indeks Barthel
menunjukkan skor 100 dengan kemandirian penuh. Hasil pengkajian risiko jatuh dengan
MFS menunjukkan skor nilai 0 yang berarti klien tidak berisiko jatuh. Berikutnya untuk
pengkajian BBT didapatkan skor 55 yang berarti klien memiliki risiko jatuh rendah.
Kemudian, dari pengkajian GDS, didapatkan skor 0 yang menunjukkan klien tidak depresi.
Selanjutnya dari pengkajian MMSE didapatkan skor 26 yang artinya aspek kognitif dari
fungsi mental baik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
26
3.2
Masalah Keperawatan
3.2.1 Analisa Data
Analisa data dibuat berdasarkan pada data yang didapatkan baik data subjektif maupun
objektif. Berdasarkan hasil data pengkajian, analisa data tersebut menghasilkan dua
masalah keperawatan pada klien yaitu konstipasi dan insomnia. Selanjutnya dirumuskan
menjadi diagnosa keperawatan pada klien.
Diagnosa konstipasi ditegakkan berdasarkan data yang diperoleh dari subjektif maupun
objektif. Data subjektif yang didapatkan antara lain frekuensi BAB yang berubah dari
setiap hari menjadi dua sampai tiga hari sekali. Kemudian kerasnya BAB saat mengedan,
warna feses yang agak hitam, dan produksi kotoran yang sedikit dengan bentuk bulat-bulat
kecil. Selain itu, klien juga melaporkan rasa BAB yang tidak tuntas. Data objektif
didapatkan dari pengkajian bising usus dengan hasil 0-1 kali per menit, asupan serat yang
kurang, intake cairan berkisar 3 – 4 mug (@600 cc), kurangnya aktivitas pada siang hari
karena tampak klien lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Masalah lingkungan
yang cukup berpengaruh adalah ketersediaan makanan tinggi serat dan buah yang
disediakan panti sangat terbatas dan tidak menentu setiap harinya.
Diagnosa selanjutnya adalah insomnia. Data subjektif yang mendukung untuk diagnosa ini
diantaranya klien mengeluhkan tidur yang kurang, sulit untuk jatuh tertidur jika terbangun
pada malam hari. Selain itu, pola tidur yang terbentuk saat masih bekerja sebagai supir bus
malam juga mempengaruhi pola tidur klien saat ini. Di samping itu, teman sekamar klien
juga sering kali menimbulkan suara yang menurut klien itu mudah mengganggu tidurnya.
Data objektif yang mendukung yaitu adanya kantung mata, klien tampak lemas.
Lingkungan PSTW khususnya wisma tempat klien tidur juga menjadi pengaruh terhadap
pola tidur klien. Letak kamar klien yang berada di tengah, menjadi tempat keluar masuk
lansia yang tidak ingin menggunakan beberapa anak tangga untuk masuk ke wisma. Hal
ini membuat klien merasa terganggu dengan suara-suara yang ditimbukan oleh orangorang yang keluar masuk tersebut saat tidur.
Berdasarkan analisa data tersebut masalah keperawatan yang didapatkan yaitu:
a. Konstipasi berhubungan dengan kurangnya aktivitas dan kurangnya intake cairan..
b. Insomnia berhubungan dengan pola aktivitas dan lingkungan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
27
3.2.2 Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan yang dilakukan pada masalah utama konstipasi merujuk
pada intervensi yang dianjurkan oleh Carpenito (2009). Intervensi pada masalah konstipasi
bertujuan agar setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 18 kali pertemuan, konstipasi
tidak terjadi. Adapaun kriteria hasil yang ingin didapatkan dari intervensi yang dilakukan
antara lain, membangun kembali pola normal fungsi usus dan konsistensi feses tidak keras
dengan tanpa adanya rasa mengedan saat BAB.
Intervensi yang dilakukan untuk masalah ini antara lain: memberikan pemahaman pada
klien terkait penyebab konstipasi dan dampak konstipasi yang tidak ditangani. Selain itu,
menganjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan minimal 2 liter per hari,
meningkatkan asupan sayuran dan buah, meningkatkan aktivitas fisik, dan mengonsumsi
air hangat sebelum sarapan pada pagi hari. Di samping itu, memotivasi kegiatan klien
untuk tetap mengikuti senam 2x seminggu. Setiap harinya juga akan dilakukan
pemeriksaan bising usus, abdomen, dan evaluasi kegiatan dalam sehari.
3.2.3 Implementasi
Implementasi keperawatan yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah konstipasi yang
ditetapkan sebagai diagnosa utama yaitu dengan memberikan pengenalan masalah
konstipasi pada klien meliputi pengertian, penyebab, dan cara menanganinya. Selain itu,
menganjurkan klien untuk minum air hangat sebelum sarapan pagi untuk menstimulasi
usus. Klien juga telah dianjurkan untuk meningkatkan intake cairan minimal 2 (dua) liter
per hari dan meningkatkan asupan sayuran dan buah yang telah disediakan oleh panti. Di
samping itu, selalu memberikan motivasi pada klien untuk mengikuti kegiatan senam yang
telah terjadwal setiap Selasa dan Jum’at di PSTW. Intervensi lain yang dilakukan adalah
menganjurkan klien meningkatkan aktivitas fisik. Aktifitas fisik ini berupa jalan pagi dan
jalan sore, melakukan peregangan otot seperti yang sudah diajarkan. Aktifitas lainnya yaitu
latihan gerakan mengayuh sepeda yang dipilih sebagai aktivitas fisik terjadwal. Aktivitas
fisik yang dijadwalkan sebelum tidur dan bangun tidur sesuai kesepakatan dengan klien ini
dievaluasi setiap harinya oleh perawat.
Latihan gerakan kayuh sepeda ini dianjurkan perawat untuk melakukannya dengan
hitungan 3x8. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Moore et al (1999)
bahwa durasi pelaksanaan didasarkan pada toleransi pasien. Jumlah gerakan yang dapat di
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
28
toleransi klien yaitu 8 kali kayuhan dalam 3 set hitungan. Toleransi ini dilakukan merujuk
kepada tidak adanya evidence based untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi
latihan seharusnya (Moore et al., 1999). Kelemahan dari pelaksanaan aktivitas ini yaitu
waktu latihan yang sulit dipantau pelaksanaannya oleh perawat, membuat perawat
mengevaluasi latihan ini 2 kali seminggu yaitu pada hari Senin dan Kamis.
Pertemuan pertama dengan klien dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014. Hal yang dilakukan
pada pertemuan pertama, baru sebatas pengkajian yang meliputi pemeriksaan fisik dan
wawancara. Dari hasil pengkajian, didapatkan data (lihat sub bab pengkajian) yang
mengarah pada masalah keperawatan konstipasi. Penulis kemudian membuat rencana
asuhan keperawatan dengan mencari studi literatur yang sesuai untuk menangani masalah
klien dan mempertimbangkan terapi yang dapat dilakukan dipanti. Dari hasil studi literur
tersebut, penulis memutuskan untuk menerapkan intervensi unggulan dengan terapi
aktivitas fisik teratur pada klien.
Pertemuan berikutnya yaitu tanggal 27 Mei 2014, penulis melakukan intervensi yang
pertama, yaitu pengenalan masalah konstipasi pada klien. Pengenalan tersebut berupa
penjelasan mengenai pengertian konstipasi, tanda dan gejala, faktor penyebab, dampak bila
tidak ditangani, dan upaya penanganan. Selanjutnya penulis membuat kontrak pertemuan
berikutnya untuk mendiskusikan mengenai upaya penanganan konstipasi yang dapat
dilakukan klien di panti.
Pertemuan ketiga, yaitu pada tanggal 28 Mei 2014, penulis mulai melatih aktivitas fisik
mengayuh sepeda yang telah disepakati sebelumnya dengan klien. Pada awalnya, penulis
ingin memanfaatkan sepeda statis yang berada di klinik panti. Namun, klien mengatakan
lelah jika harus ke klinik tiap hari. Hal ini karena letak klinik yang berada di bagian atas
panti pada kontur tanah yang tidak rata. Atau dapat dikatakan, klien harus menanjak
karena letak wisma klien berada di daerah turunan. Akhirnya penulis memodifikasi
aktivitas ini dengan melakukan gerakan kayuh sepeda di atas tempat tidur. Sebelumnya,
penulis melakukan tes toleransi durasi kegiatan yang dapat ditoleransi klien. Hasilnya,
klien mampu melakukan gerakan kayuh sepeda dengan hitungan 8 kali 2 set. Penulis
bersama klien kemudian membuat jadwal latihan. Klien menyepakati akan melakukan
latihan ini sebelum tidur dan saat bangun tidur. Di akhir pertemuan, penulis tidak lupa
memotivasi klien dengan meningkatkan asupan cairan (minimal dua liter sehari),
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
29
menghabiskan makanan yang di berikan termasuk sayuran dan buah yang disediakan, dan
menganjurkan mengonsumsi air hangat sebelum sarapan. Penulis juga memotivasi klien
untuk tetap rutin mengikuti senam yang diadakan pihak panti pada hari Selasa dan Jum’at.
Setiap pertemuan sampai pertemuan ke 15, penulis mengevaluasi jadwal latihan yang
disepakati bersama klien. Hal yang dievaluasi terkait intake cairan, diet fiber, dan latihan
kayuh sepeda. Pada tanggal 4 dan 5 Juni 2014, klien tidak melaksanakan jadwal karena
sakit. Setiap 2 kali dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Sabtu, penulis mengevaluasi
latihan gerakan yang dilakukan klien. Hal ini bertujuan untuk memantau pelaksanaan
jadwal terapi aktivitas teratur yang dilakukan klien.
3.2.4 Evaluasi
Evaluasi terhadap intervensi yang diberikan dibagi menjadi evaluasi subjektif dan objektif.
Hasil evaluasi subjektif yaitu klien mengatakan pola BAB klien masih belum teratur.
Namun di minggu kedua intervensi, klien melaporkan sudah BAB dengan tanpa adanya
rasa keras saat mengedan. Konsistensi feses lembek dan banyak. Warna feses awalnya
agak hitam kemudian diikuti dengan feses yang berwarna kuning kehijauan. Klien
mengatakan beberapa kali tidak mengikuti senam karena capek setelah mencuci baju di
pagi hari. Klien juga mengatakan beberapa kali tidak melakukan latihan kayuh sepeda.
Alasannya karena lupa dan capek. Selain itu, anjuran minum air hangat pada pagi hari
hanya dilakukan klien berkisar 3 hari. Klien mengatakan bahwa ia tidak terbiasa dan
merasa perutnya tidak enak.
Evaluasi objektif didapatkan dari pengkajian fisik dan hasil observasi. Dari hasil
pengkajian fisik diketahui bahwa selama dilakukan intervensi selama 3 minggu, bising
usus klien berkisar 0-1 kali per menit, terabanya massa pada 1/3 bagian usus besar
desenden dan hasil perkusi dengan suara redup, distensi abdomen negatif, nyeri tekan
negatif dibandingkan dengan hasil pengkajian sebelumnya positif. Hasil observasi, setiap
harinya, tampak klien lebih banyak menghabiskan waktu nya pada pagi hari dengan duduk
di kasur atau di teras wisma. Klien aktif mengikuti senam yang diadakan panti pada hari
Selasa dan Jumat. Tampak hanya dua kali selama intervensi klien tidak mengikuti senam
karena merasa tidak fit.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
30
Target 18 kali pertemuan yang telah direncanakan, pertemuan yang terealisasi hanya
sebanyak 15 kali pertemuan. Hal ini karena keterbatasan penulis selama praktik dipanti.
Keterlibaan petugas panti dianggap kurang dalam pemberian asuhan keperawatan ini.
Terbukti dari ketidaktahuan petugas panti terhadap keluhan konstipasi klien. Penulis
menyadari, dalam pengawasan klien melakukan terapi latihan ini, di rasa sulit karena
jadwal yang diinginkan klien dalam melakukan latihan ini pada saat malam hari tidak ada
perawat yang bertugas. Penulis berkolaborasi dengan petugas panti,dalam mengingatkan
klien mematuhi terapi yang sedang dilaksanakan. Selain itu, petugas juga membantu
penulis dalam mengevaluasi pola defekasi klien.
Efektivitas terapi ini menurut penulis berkurang karena beberapa kali klien tidak
melakukan terapi aktivitas karena sakit dan lelah. Sehingga hasil yang diharapkan kurang
maksimal. Hasil evaluasi yang dapat disampaikan terkait penerapan terapi aktivitas
fisik ini, ada pengaruh terhadap pola defekasi klien. Hal ini berdasarkan keterangan
yang disampaikan klien yaitu pada pekan ketiga pertemuan ke 12, klien mengatakan sudah
BAB dengan pengeluaran feses volume lebih banyak dari biasanya, konsistensi lembek,
dan dorongan mengejan minimal. Namun, dilaporkan kembali oleh klien, bahwa pola
defekasi klien masih belum teratur di hari-hari berikutnya. Efektivitas terapi ini juga
terlihat dari skor CAS yang menurun pada klien sebesar 7 (tujuh) dari pemeriksaan
pretest sebesar 9 (sembilan) dari nilai total skor 16.
3.2.5 Rencana Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah memotivasi klien untuk meningkatkan
dan mengoptimalkan aktivitas fisik dengan melanjutkan jadwal latihan kegiatan yang telah
disepakati sebelumnya. Hal ini juga dapat ditambah dengan aktivitas jalan pagi atau sore.
Selain itu, poin lainnya terkait manajemen konstipasi juga ditekankan pada klien antara
lain meningkatkan intake cairan, intake serat , juga tidak menahan keinginan jika hasrat
BAB muncul (toileting). Tidak kalah penting yaitu berkolaborasi dengan petugas panti
dalam mengontrol pola eliminasi klien. Jika klien tidak patuh terhadap terapi yang telah
diberikan dan konstipasi tidak kunjung hilang, maka pertimbangkan dalam pemberian
laksatif. Selain itu berkolaborasi dengan dokter juga dianjurkan oleh penulis.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
BAB 4
ANALISIS SITUASI
Bab ini membahas analisis situasi terkait asuhan keperawatan konstipasi pada
kakek SH di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung yang meliputi
analisis profil pelayanan panti, analisis masalah terhadap konsep KKMP dan
konstipasi, analisis intervensi dengan konsep dan penelitian terkait, serta alternatif
pemecahan masalah.
4.1 Analisis Profil Pelayanan Panti Sosial Tresna Werdha
Kota besar banyak didatangi kaum urban yang mengharapkan mendapat
kesejahteraan sosial atau peningkatan status soaial. Perilaku tersebut membuat
kota besar semakin padat dengan berbagai adanya perubahan sosial. Perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat melahirkan berbagai macam permasalahanpermasalahan sosial baru dan pada akhirnya akan muncul kelompok rentan yang
mejadi korban perubahan sosial tersebut. Kelompok ini pada umumnya adalah
golongan ekonomi menengah ke bawah khususnya adalah lanjut usia. Orang tua
yang memasuki masa lanjut usia semakin terabaikan secara sosial, budaya dan
psikologis. Mereka menjadi sendiri, merasa kesepian dan terlantar dalam rumah
karena keluarga yang tidak sempat megurus mereka karena harus memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Terlebih lagi banyaknya kemiskinan yang menjamur di
kota besar membuat lansia semakin terlantar karena tidak ada yang mengurus.
Ketika fenomena ini semakin menguat dan mengarah yang lebih ekstrim, maka
diperlukan sebuah institusi yang akan menjalankan atau mengambil alih fungsifungsi yang telah ditinggalkan/diabaikan oleh keluarga. Panti werdha akan
menjadi sebuah pilihan dan solusi atas perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat (Hermana, 2008).
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur
merupakan panti sosial milik Negara yang kepengurusannya di bawah
Departemen Sosial RI. PSTW ini merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis
Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta. PSTW ini difungsikan sebagai sarana
31
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
32
Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi para lanjut usia yang mengalami masalah
sosial yang disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan secara fisik dan
ekonomi untuk diberikan pembinaan pelayanan sosial serta perlindungan agar
lansia dapat hidup secara wajar.
Lansia yang menghuni PSTW ini, berasal dari berbagai tempat dan cara. Beberapa
lansia berasal dari hasil jaring Satpol PP karena terlantar di jalan. Beberapa
lainnya berasal dari kiriman masyarakat. Masyarakat yang menemukan lansia
yang hidup sendiri, sakit, dan tidak ada yang merawat, masyarakat dapat
membawanya langsung ke PSTW dengan membuat surat keterangan dari RT, RW,
Kelurahan, dan Kecamatan setempat. Biasanya lansia tersebut diantar oleh tokoh
setempat seperti ketua RT atau RW. Beberapa lansia lainnya ada yang datang
sendiri bersama keluarganya karena merasa kesepian di rumah, permintaan sendiri,
atau keluarga yang tidak sanggup merawat karena alasan ekonomi.
PSTW memberikan beberapa layanan yang meliputi perawatan dan asrama,
kesehatan dan gizi, pembinaan spiritual dan mental, kesejahteraan sosial,
bimbingan latihan dan keterampilan, hingga pelayanan lansia sampai kematian.
Lansia yang mengalami sakit fisik akan dirujuk PSTW ke RS Budi Asih untuk
mendapatkan perawatan. Sedangkan untuk lansia dengan gangguan psikososial,
PSTW bekerja sama dengan RS Duren Sawit dan Panti Laras yang berada di
sebelah PSTW untuk mendapatkan pengobatan atau sekedar konsultasi. Namun,
terkadang didapatkan, lansia yang mengalami sakit fisik dirujuk ke RS Duren
Sawit untuk mendapatkan perawatan.
Lansia di PSTW ini juga difasilitasi untuk memeriksakan kesehatannya di klinik
yang disediakan. PSTW mendatangkan Dokter dari Puskesmas Cipayung setiap
seminggu sekali untuk mengadakan pemeriksaan di klinik bagi lansia yang
mengalami masalah kesehatan. Tetapi sayangnya, dalam sekali kunjungan, tidak
semua wisma dapat diperiksa. Setiap minggunya, maksimal dua wisma yang
difokuskan untuk mendapat pemeriksaan. Hal ini diatur oleh jadwal yang telah
dibuat pihak PSTW. Fasilitas yang ada di klinik berupa obat-obatan, dua buah
treadmill, dua buah tempat tidur, satu buah timbangan berat badan, satu set luka,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
33
dan satu buah autoklaf sebagai alat sterilisasi. Selama ini, pemanfaatan klinik baru
sekedar digunakan sebagai pemeriksaan dokter dan terapis saja. Selain itu, ada
juga psikolog yang datang tiap minggunya.
Program kegiatan yang ada di PSTW Budi Mulya 01 Cipayung yaitu pembinaan
kerajinan dan keterampilan, penyaluran hobi, rekreasi, olah raga, pembinaan
spiritual, penyediaan makanan dan selingan sebagai makanan tambahan, samapai
dengan memfasilitasi pernikahan antar WBS dan pemulasaran jenazah.
Pembinaan kerajinan dan dan keterampilan seperti membuat keset, menyulam,
menjahit, dan membuat berbagai kerajinan tangan (vas bunga, bros, accessories
rambut, dan lain-lain). Penyaluran hobi yang difasilitasi panti misalnya beternak,
berkebun, panggung gembira, latihan angklung dan rebana. Program PSTW untuk
kesehatan jasmani, PSTW mengadakan olah raga senam rutin dua kali seminggu.
Kegiatan rekreasi diadakan PSTW pada tengah dan akhir tahun. Pembinaan
spiritual yang diadakan diantaranya pengajian dan sholat berjamaah bagi WBS
yang beragama
muslim, dan kebaktian bagi WBS yang beragama Kristen.
Penyediaan makanan setiap harinya diberikan kepada WBS tiga kali sehari dan
selingan sebagai makanan tambahan seperti susu dan kue.
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulya 01 Cipayung di kondisikan dengan
suasana rumah. Dalam pembagiannya, lansia ditempatkan pada wisma-wisma
sesuai dengan jenis kemin dan tingkat kemandiriannya. Dari tujuh wisma, empat
wisma diperuntukkan nenek-nenek, yaitu wisma Asoka, Bougenville, Cempaka,
dan Dahlia. Tiga sisanya untuk kakek-kakek, yaitu Cattleya, Edelweiss, dan
Flamboyan. Berdasarkan tingkat kemandiriannya, lansia dengan kategori parsialmandiri ditempatkan di wisma Asoka, Bougenville, Cattleya, dan Flamboyan,
Sedangkan wisma dengan lansia total care adalah Cempaka, Dahlia, dan
Edelweiss. Setiap wisma memiliki satu perawat dan satu pekerja sosial yang
bertugas selama satu shift dari pukul 06.00 s.d 16.00 WIB. Khusus untuk wisma
dengan total care dibagi menjadi tiga shift dengan jumlah petugas yang lebih
banyak 2-3 orang petugas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
34
Tiap wisma diberikan fasilitas yang sama oleh PSTW. Fasilitas tersebut
diantaranya tempat tidur dengan kapasitas 30 – 35 orang (kecuali wisma Cattleya
dengan kapasitas 20 orang saja), 6 buah kamar mandi (kecuali wisma Cattleya
terdapat 10 kamar mandi), satu buah pantry, lemari, mesin cuci, timbangan berat
badan, meja dan kursi. Lansia yang mengalami gangguan berjalan juga diberikan
alat bantu jalan sesuai kebutuhan. Lansia yang tidak memiliki perlengkapan
pribadi seperti, pakaian, perlengkapan mandi, sandal, disediakan pihak panti
sesuai kebutuhan.
PSTW Buhi Mulia 01 Cipayung memiliki 6 orang perawat dan pekerja sosial
berjumlah 13 orang untuk 7 wisma. Jobdesc perawat yang dipekerjakan di PSTW
ini memiliki beban kerja yang sama dengan para pekerja sosial, yaitu
membersihkan wisma, memberikan makanan, dan membantu kegiatan harian
lansia, yang membedakan adalah perawat diberi wewenang untuk memberikan
obat untuk lansia. Selain itu, panti ini belum mempunyai rekap data mengenai
masalah kesehatan seluruh lansia, kecuali untuk lansia yang memiliki riwayat atau
mengalami gangguan kejiwaan.
Mayoritas masalah kesehatan yang dialami lansia di PSTW Budi Mulya 01
Cipayung yaitu hipertensi (33,1%), stroke (6,9%), diabetes mellitus (17,2%),
masalah kulit (22,8%), risiko jatuh (49,1%), dan malnutrisi (10,6%). Terkait
masalah konstipasi, belum ada data yang menyebutkan jumlah lansia yang
mengalami konstipasi. Data tersebut didapatkan dari hasil wawancara dengan
petugas dan lansia serta pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Menurut petugas,
pelayanan yang sudah dilakukan untuk menangani masalah kesehatan WBS yaitu
memberikan obat sesuai keluhan WBS. Jika keluhan sudah dirasa berat, maka
akan dirujuk ke RS rujukan panti. Dokter dan psikiater yang berkunjung setiap
minggu ke panti, juga menjadi pilihan panti dalam menyelesaikan masalah
kesehatan WBS. Di samping itu, pelayanan nutrisi lansia, pada dasarnya sudah
baik dalam penyediannya, hanya saja kurang variatif. Selain itu, pada saat
pembagian, porsi yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan nutrisi lansia.
Hal ini karena tidak ada takaran yang mengaturnya. Khusus masalah konstipasi,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
35
lansia yang mengeluh belum BAB hanya diberikan obat pencahar saja. Hal ini
bisa saja terjadi karena kurangnya pengetahuan panti dalam merawat lansia
dengan konstipasi.
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep KKMP dan Konsep
Konstipasi
Beberapa lansia memiliki kecenderungan konstipasi yang disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain penurunan aktivitas, insufisiensi asupan serat,
insufisiensi asupan cairan, efek samping medikasi, penyalahgunaan laksatif, dan
tidak memerhatikan isyarat defekasi (Miller, 2004). Tiga puluh persen lansia
mengeluhkan masalah konstipasi, dibandingkan dengan 2 % populasi nonlansia
(Shaefer & Cheskin, 1998 dalam Carpenito, 2010). Masalah konstipasi juga
dialami oleh klien yang bernama Kakek SH di PSTW Budhi Mulia 01 Cipayung.
Sejumlah faktor berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi ini. Lansia yang
memiliki gigi palsu yang longgar atau telah kehilangan gigi mengalami kesulitan
mengunyah dan sering memilih makanan yang lembut, makanan olahan yang
rendah serat (Smeltzer & Bare, 2012). Makanan yang lebih mudah dikunyah juga
rendah serat, banyak dikonsumsi oleh mereka yang telah kehilangan minat dalam
makan. Beberapa orang tua mengurangi asupan cairan mereka jika mereka tidak
makan makanan biasa. Kurang olahraga dan istirahat yang berkepanjangan juga
berkontribusi pada sembelit dengan berkurangnya kekuatan otot perut dan
motilitas usus serta nada sfingter anal (Smeltzer & Bare, 2012). Impuls saraf yang
tumpul, dan ada penurunan sensasi untuk buang air besar. Banyak orang tua yang
terlalu sering menggunakan obat pencahar dalam upaya untuk buang air besar
setiap hari menjadi ketergantungan (Smeltzer & Bare, 2012).
Klien yang saat ini berusia 77 tahun sudah dikategorikan sebagai seorang yang
lanjut usia berdasarkan pengelompokkan usia oleh WHO. Klien mengalami
konstipasi di usianya yang sekarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
menyatakan bahwa konstipasi lebih banyak dialami oleh lansia dengan usia lebih
dari 65 tahun (Crane & Talley, 2007; Evans et al., 1998; Panchal, Muller-Schwefe,
& Wurzelmann, 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Sumber lainnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
36
juga mengatakan bahwa kunjungan dokter untuk masalah konstipasi lebih sering
dilaporkan oleh individu usia 65 tahun atau lebih tua (Yamada et al., 1999). Para
lansia melaporkan masalah dengan konstipasi lima kali lebih sering daripada
orang yang lebih muda.
Klien yang saat ini tinggal di panti werdha yang terletak didaerah perkotaan
menjadi bagian dari sasaran praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya gaya hidup
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konstipasi. Klien yang
menunjukkan usia yang telah lanjut ini, tidak bisa dipungkiri mengalami berbagai
penurunan fungsi sistem tubuh, tak terkecuali sistem gastrointestinal.
Lansia mengalami penurunan sekresi mukus pada usus besar dan penurunan
elatisitas dinding rektum (Miller, 2004). Selain itu, disfungsi sensori di area
anorektal pada lansia dapat mengurangi sensasi distensi rektum (Shua-Haim et al.,
1999 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Hal ini yang kemungkinan dialami
oleh klien sehingga klien mengalami konstipasi. Hasil pengkajian yang dilakukan
dari pemeriksaan fisik dan wawancara klien, gejala lainnya yang dialami klien
yaitu, adanya penurunan nafsu makan, nyeri tekan pada kuadran empat, teraba
massa pada kuadran empat namun tidak tampak batas tegas, pola BAB yang
berubah menjadi 2-3 hari sekali atau dengan kata lain 2-3 x seminggu, adanya rasa
keras pada anus sehingga klien mengejan saat BAB, ada rasa tidak tuntas saat
selesai BAB, konsistensi feses yang keras dan berbentuk bulat kecil.
Klien memiliki riwayat operasi batu kemih pada tahun 2013. Menurut penulis,
kemungkinan klien mengalami kecemasan saat ingin BAB. Dorongan ingin BAB
menjadi tertahan karena rasa cemas yang dirasakan klien. Akumulasi dari
dorongan BAB yang tidak disalurkan ini pada awalnya ini, membentuk pola baru
defekasi klien. Sehingga klien saat ini mengaku adanya pola frekuaensi yang
berubah saat setelah operasi batu kemih.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
37
Masalah konstipasi yang terjadi pada klien dapat disebabkan oleh beberapa hal,
antara lain kurangnya asupan serat, kurangnya asupan cairan, serta kurangnya
aktivitas fisik. Hal ini sesuai dengan penjelasan Stanley (2007) bahwa konstipasi
dapat terjadi akibat penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan
tonus otot panggul dan abdomen serta defisiensi asupan serat dan cairan.
Kebiasaan klien setiap harinya, klien mengonsumsi air putih kurang lebih
sebanyak 2-3 mug (1 mug @ 600 cc). Asupan cairan ini tidak memenuhi
rekomendasi asupan cairan. Asupan cairan minimal 1,5 liter (6 gelas) per hari
dianjurkan untuk menghindari konstipasi (Folden et al, 2002;. Hsieh, 2005;
Mentes, 2004; Tariq 2007 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Dalam
laporan keenam dan terakhir dari Dietary Reference Intakes (DRIs), The Food and
Nutrition Board, Institute of Medicine, and National Academy of Sciences
mengatur intake cairan adekuat untuk hidrasi sebanyak 2,7 liter (11 gelas) per hari
untuk wanita usia 19-70, dan 3,7 liter (15 gelas) per hari untuk laki-laki usia 19-70.
Rekomendasi cairan ini termasuk cairan dari semua sumber. Dua puluh persen
dari cairan untuk hidrasi berasal dari makanan dan 80% dari minuman. Oleh
karena itu, perempuan membutuhkan sekitar 8 gelas dan laki-laki sekitar 12 gelas
cairan per hari untuk hidrasi yang adekuat (Institute of Medicine Food and
Nutrition Board, "Dietary reference intakes for water," 2005 dalam McKay,
Fravel, & Scanlon, 2009).
Setiap harinya, klien mendapatkan makanan dari panti 3 kali sehari. Namun,
jumlah ini tidak dapat ditakar sesuai kebutuhan klien. Serat sebagai komponen
penting dalam proses pencernaan, dinilai kurang untuk memenuhi kebutuhan
tubuh klien. Sumber serat bersumber dari sayuran dan buah. Berdasarkan hasil
observasi, buah yang sering diberikan yaitu pepaya dan semangka. Buah tersebut
diberikan hanya satu kali sehari. Terkadang terlihat tidak tersedia buah.
Berdasarkan sebuah sumber, menyebutkan bahwa 100 gr buah pepaya hanya
mengandung serat sebesar 0,7 gr (Cahyati, 2013). Sumber serat yang berasal dari
buah dan sayur dengan jumlah kurang lebih 100 gr dinilai kurang untuk
memenuhi asupan serat untuk lansia. Jumlah serat yang disarankan sebanyak 21
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
38
gram per hari untuk wanita usia 51-70, dan 30 gram per hari untuk laki-laki usia
51-70 (Institute of Medicine Food and Nutrition Board, "Dietary reference intakes
for energy," 2005). Rekomendasi lainnya, untuk asupan serat makanan bervariasi
25-30 gram per hari menjadi 20-35 gram per hari minimum ketika asupan cairan
setidaknya 1.500 mililiter per hari (Di Lima, 1997; Hsieh, 2005;. Tariq, 2007
dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009).
Selain asupan cairan dan serat yang kurang, klien juga dinilai kurang dalam
melakukan aktivitas fisik. Setiap harinya kegiatan klien tampak hanya tiduran, dan
duduk di tempat tidur atau teras wisma. Klien mengaku mengikuti senam rutin
yang diadakan pihak panti saat hari Selasa dan Jumat. Namun terkadang tidak ikut
karena malas atau capek setelah mencuci. Aktivitas fisik yang kurang ini dapat
berhubungan dengan konstipasi (Hsieh, 2005; Tariq, 2007; Tuteja et al, 2005
dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Padahal, menurut penelitian, aktivitas
fisik telah terbukti meningkatkan kualitas hidup karena pengaruhnya terhadap
waktu transit gastrointestinal (Chin A Paw, van Poppel, & van Mechelen, 2006;.
Tuteja et al, 2005 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009).
Intervensi yang kemudian akan dilakukan yaitu berdasarkan faktor penyebab
konstipasi yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Intervensi tersebut
diantaranya peningkatan asupan cairan, motivasi asupan serat, peningkatan
aktivitas fisik dengan melakukan latihan rutin kayuh sepeda.
4.3 Analisis Intervensi Peningkatan Aktivitas Fisik yang Dilakukan dengan
Konsep dan Penelitian Terkait
Intervensi unggulan dari penelitian ini yaitu penerapan terapi latihan aktivitas fisik
yang
dilaksanakan
secara
rutin
tiap
harinya.
Latihan
diyakini
untuk
mempersingkat waktu transit melalui saluran pencernaan dan dengan demikian
meningkatkan evakuasi feses (Meshkinpour et al, 1998). Olahraga dapat
meningkatkan fungsi usus (Cordain, Latin, & Behnke, 1986; Oettle, 1991 dalam
McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Olahraga biasanya dipandang sebagai
komponen penting dari program pencegahan dan manajemen konstipasi (Moore,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
39
Bourett, & Cabico, 1999). Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang dapat
meningkatkan fungsi usus, seperti berjalan kaki, latihan otot panggul, angkat kaki,
latihan mengencangkan otot perut, dan bersepeda stasioner (McKay, Fravel, &
Scanlon, 2009).
Terapi latihan aktivitas fisik yang dipilih pada penelitian ini yaitu mengetahui
efektivitas latihan gerakan mengayuh sepeda dengan bersepeda statis. Jenis latihan
ini dipilih berdasarkan kelayakan dan keinginan pasien sehingga mudah untuk
memastikan adanya kepatuhan terhadap terapi (Moore et al, 1999; Balai et al,
1995; Karam & Nies, 1994 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Menurut
Setiawan (2012), lansia yang sehat dan bugar, olahraga bersepeda dapat
dianjurkan untuk dilaksanakan.
Bersepeda statis maupun menggerakkan kaki seperti mengayuh sepeda dapat
menyebabkan adanya pergerakan tubuh bagian bawah sehingga dapat
menyebabkan evakuasi secara tepat saat defekasi dan secara umum hal ini dapat
mencegah konstipasi. Latihan sepeda statis dapat menguatkan otot pelvis (Ramus,
2011 dalam Oktariana, 2013). Peningkatan kekuatan otot pelvis ini dapat
membantu mengurangi risiko terjadinya mekanisme konstipasi. Griffin (2010)
dalam Oktariana (2013) menjelaskan bahwa latihan 30 hingga 60 menit latihan
mengayuh sepeda selama 3 sampai 4 kali dalam seminggu, efektif sebagai
perawatan untuk mencegah konstipasi.
Dalam sebuah studi yang terkendali dengan baik relawan sehat yang berlari dan
bersepeda selama 1 jam per hari selama 2 minggu, waktu transit usus berkurang
secara signifikan (Oettle, 1991 dalam McKay, Fravel, & Scanlon, 2009). Berjalan
30 sampai 60 menit per hari atau 3 sampai 5 kali per minggu, mungkin bermanfaat
bagi pasien dengan minimal atau tanpa batasan ambulasi (Meshkinpour et al,
1998.; Robertson et al, 1993.; Waldrop & Doughty, 2000 dalam McKay, Fravel,
& Scanlon, 2009). Faktor yang mendukung intervensi ini yaitu tersedianya sepeda
statis di klinik panti. Namun, dalam pelaksanaannya selama 3 minggu, fasilitas
sepeda statis tersebut tidak digunakan karena jarak tempuh dari wisma klien ke
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
40
klinik cukup jauh dan kontur tanah yang berundak. Hal ini membuat klien malas
dan sulit pelaksanaannya jika harus setiap hari ke klinik. Hal ini menjadi
hambatan dalam melakukan terapi aktivitas fisik dengan memanfaatkan sepeda
statis yang ada secara rutin.
Intervensi ini kemudian dimodifikasi dengan melakukan gerakan kayuh sepeda di
tempat tidur. Gerakan kayuh sepeda ini memiliki prinsip yang sama dengan
bersepeda statis yaitu sama-sama memanfaatkan gerakan kaki untuk merangsang
peristaltik usus. Intervensi yang dilakukan klien selama 3 minggu ini,
menunjukkan evaluasi subjektif bahwa klien BAB dengan volume yang cukup
banyak dari biasanya dengan konsistensi feses lembek. Klien mengatakan lebih
lega karena perut tidak terlalu terasa penuh. Peneliti kemudian melakukan
evaluasi objektif dengan melakukan pemeriksaan fisik, didapatkan hasil perkusi
redup (-), massa pada kuadran 4 (-), BU 1x/ menit. Namun laporan klien pada
hari-hari berikutnya, pola eliminasi klien masih belum teratur. Dalam
pelaksanaannya, tentunya ada faktor pengahambat dan pendukung yang
mempengaruhi keberhasilan intervensi. Faktor pendukungnya yaitu klien mau dan
mampu melakukan intervensi yang telah dijadwalkan dengan cukup baik,
walaupun ada beberapa hari klien tidak melaksanakannya karena sakit atau lelah.
Kemudian, evaluasi kemampuan klien dalam melakukan latihan yang dilakukan
oleh penulis 2 x seminggu mampu mengontrol pelaksanaannya secara benar.
Faktor penghambatnya yaitu keinginan klien melakukan terapi latihan ini
menjelang tidur dan bangun tidur menjadi hambatan bagi perawat dalam
mengontrol kepatuhan klien dalam pelaksanaannya.
4.4 Alternatif Pemecahan Masalah
Hambatan yang terjadi berupa pemanfaatan sepeda statis yang tidak optimal,
membuat perawat mencari alternatif pelaksanaan dengan memodifikasi beberapa
hal. Tanpa menggunakan sepeda statis, perawat melatih klien melakukan gerakan
mengayuh sepeda di tempat tidur. Gerakan ini tetap mengandalkan pergerakan
kaki untuk merangsang motilitas usus. Durasi pelaksanaan didasarkan pada
toleransi pasien (Moore et al., 1999). Jumlah gerakan yang dapat di toleransi klien
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
41
saat dilakukan secara bertahap yaitu 8 kali kayuhan dalam 3 set hitungan.
Toleransi ini dilakukan merujuk kepada tidak adanya evidence based untuk
menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya (Moore et al.,
1999).
Modifikasi yang dilakukan terkait jadwal latihan yang berdasar keinginan klien,
penulis mengontrol pelaksanaan dan kemampuannya dengan mengevaluasi
gerakan setiap 2 kali dalam seminggu. Selain itu, penulis setiap harinya
mewawancarai klien terkait dilakukan atau tidaknya pelaksanaan latihannya. Pada
dasarnya klien dinilai mampu melakukan gerakan ini secara mandiri. Namun
keterbatasan penulis dalam mengontrol pelaksanaannya secara jujur atau tidak.
Intervensi tambahan lainnya yang dilakukan penulis yaitu, memastikan intake
cairan yang cukup pada klien sebanyak minimal 2 liter per hari, mengontrol
asupan makanan klien selama dilakukan intervensi, dan menyarankan klien untuk
mengonsumsi air hangat setiap pagi setelah bangun tidur. Hasil pemecahan
masalah terkait konstipasi ini dinilai cukup efektif. Pada pekan ke tiga intervensi,
klien melaporkan BAB dengan volume yang cukup banyak dari biasanya dengan
konsistensi feses lembek. Klien mengatakan lebih lega karena perut tidak terlalu
terasa penuh. Walaupun pada hari-hari berikutnya, pola eliminasi klien masih
belum ada perbaikan.
Hasil intervensi terapi aktivitas fisik ini dapat diteruskan penerapannya oleh
perawat panti. Hal ini melihat adanya efek dari terapi ini walaupun belum
maksimal. Ketidakmaksimalan hasil terapi ini dapat saja dipengaruhi oleh
ketidakpatuhan klien terhadap terapi aktivitas ini secara rutin. Karena dari
beberapa kali hasil evaluasi, didapatkan klien tidak melakukan terapi kayuh
sepeda. Penelitian menunjukkan bahwa 4 minggu mungkin tidak cukup untuk
mengevaluasi dampak dari program latihan pada fungsi usus (Meshkinpour et al.,
1998). Sedangkan terapi ini baru diterapkan selama 3 minggu dengan berbagai
hambatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
42
Hal lainnya yang dapat diimplementasikan petugas terkait penanganan konstipasi
selain memotivasi klien untuk meningkatkan aktivitas yang salah satunya dengan
gerakan mengayuh sepeda diantaranya yaitu penyediaan makanan dengan tinggi
serat dan mengontrol asupan cairan para lansia dengan membuat dokumentasi
input dan output cairan. Terkait penyediaan makanan, ini berkaitan dengan
kebijakan panti dalam pengolahan bahan pangan untuk lansia dipanti. Dengan
adanya intervensi non invasif ini diharapkan perawat panti tidak selalu
mengandalkan obat pencahar untuk mengatasi konstipasi pada lansia.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
BAB 5
PENUTUP
Pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dan saran dari analisis praktik
keperawatan kesehatan masyarakat dengan masalah konstipasi pada lansia di
PSTW Budi Mulya 01 Cipayung.
5.1 Kesimpulan
Konstipasi merupakan salah satu masalah pencernaan yang sering dikeluhkan oleh
sebagian besar lansia. Hal ini dipengaruhi adanya penurunan fungsi sistem
gastrointestinal. yang dialami seiring dengan bertambahnya usia. Hidup di daerah
perkotaan sendiri, meningkatkan risiko berbagai penyakit, termasuk konstipasi.
Berdasarkan penelitian, konsumsi serat masyarakat perkotaan dinilai sangat
rendah. Hal ini dihubungkan pada budaya makan dengan rendah serat. Selain itu,
kurangnya intake cairan dan penurunan aktivitas fisik juga mempengaruhi
kejadian konstipasi pada lansia.
Berbagai upaya untuk menangani konstipasi telah direkomendasikan beberapa
penelitian terkait, diantaranya diet tinggi serat, meningkatkan asupan cairan sesuai
rekomendasi, meningkatkan aktivitas fisik, bowel manajemen, dan mengguanakan
obat pencahar. Intervensi unggulan untuk mengatasi konstipasi pada karya tulis
ilmiah ini, yaitu dengan latihan aktivitas fisik yang teratur berupa latihan gerakan
kayuh sepeda. Latihan aktivitas fisik yang teratur diketahui dapat mempengaruhi
kerja motilitas usus sehingga risiko untuk mengalami konstipasi dinilai rendah.
Hasil implementasi yang dilakukan penulis terkait terapi aktivitas fisik berupa
latihan gerakan mengayuh sepeda ini dikatakan cukup efektif walaupun belum
maksimal karena berbagai faktor. Pada penelitian ini, klien melaporkan dapat
defekasi secara tuntas. Feses yang dikeluarkan sudah tidak lagi keras (lembek)
dan lebih banyak dari sebelumnya. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik kembali,
yaitu palpasi pada abdomen kuadran empat, penulis sudah tidak merasakan
43
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
44
adanya massa yang keras. Walaupun pada hari berikutnya, pola defekasi klien
belum kembali teratur.
Terapi aktivitas ini pada dasarnya tidak dapat diterapkan sendiri. Intake cairan dan
asupan serat yang cukup harus tetap dipenuhi kebutuhannya. Jika hal ini dibiarkan
terus menerus, dikhawatirkan akan mengarah pada dampak konstipasi yang lebih
buruk dan berakibat menurunnya status kesehatan lansia itu sendiri.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi penelitian keperawatan
Peneliti selanjutnya dapat melakukan terapi aktivitas dalam bentuk lain.
Seperti misalnya berjalan kaki, massage abdomen, dan senam. Salah satu
hal penting yang perlu diperhatikan menurut penulis adalah pelaksanaan
yang teratur dari terapi aktivitas ini sehingga hasil dari intervensi yang
dilakukan dapat maksimal dan diharapkan berpengaruh pada kondisi
kesehatan lansia.
5.2.2 Bagi pelayanan kesehatan untuk lanjut usia
Bidang pelayanan kesehatan lansia, khususnya dalam setting panti
diharapkan dapat concern dengan masalah konstipasi pada lansia. Hal ini
mengingat masalah konstipasi banyak dikeluhkan para lansia. Kebijakan
seperti misalnya pengadaan dan pengolahan bahan makanan untuk lansia
perlu diperhatikan.
5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan dapat menjadikan karya ilmiah ini sebagai evidence
based practice terhadap upaya yang dilakukan untuk menangani konstipasi
dengan penerapan terapi aktivitas fisik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Daftar Pustaka
Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K. D. (2010). Community helath nursing:
Promoting and protecting the public’s health. 7th Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Allender, J. A., Spradley, B. W. (2001). Community helath nursing: Concept and
practice. (5th edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anderson, E. T., & McFarlane, J. (2004). Community as pasrtner: Theory and
practice in nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Arisman. (2007). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Berman, Audrey, Snyder, Kozier, & Erb. (2009). Buku ajar praktik keperawatan
klinis Kozier & Erb, Ed. 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Badan Pusat Statistik. (2007). Angka harapan hidup. www.menegpp.go.id. Diakses 2
Juli 2014.
----------------------------. (2010). Peraturan kepala badan pusat statistik nomor 37
tahun 2010 tentang klasifikasi perkotaan dan perdesaan di Indonesia.
Cetakan II. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bustan. (2007). Epidemiologi penyakit tidak menular. Jakarta: Rineka.
Cahyati, W. H. (2013). Konsumsi papaya (Carica papaya) dalam menurunkan debris
index. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Masyarakat.
Carpenito-Moyet, L. J. (2010). Nursing diagnosis: Application to clinical practice.
13th Ed. United State of America: Lippincott Williams & Wilkins.
Darmojo. R. B. & Martono, H. H. (2006). Geriatri (Ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi
ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamental of nursing: Standars &
practice. (2nd edition). Delma: Thomson Learning, Inc.
Departemen Kesehatan RI. (2003). Pedoman tata laksana gizi usia lanjut untuk
tenaga kesehatan.
Departemen Sosial. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah
kesejahteraannya. www.depsos.go.id. Diakses 3 Juli 2014.
45
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
46
Eberhardie C. (2003). Constipation: Identifying the problem. Nursing Older People,
vol. 15.
Elnovriza, D., Yenrina, R. & Bachtiar, H. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Tingkat Asupan Zat Gizi Mahasiswa Universitas Andalas Yang
Berdomisili Di Asrama Mahasiswa.
Folden, S. L. (2002). Practice guidelines for the management of constipation in
adults. Lake Avenue: Rehabilitation Nursing Foundation.
Gardiarini, P. (2010). Pola defekasi mahasiswi kaitannya dengan asupan serat dan
cairan serta aktifitas fisik. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Hoeger WWK & Hoeger SA. 2005. Lifetime Physical Fitness and Wellness, a
Personalized Program. Ed ke-5. USA: Thomson Wadsworth.
Hunt, R. (2000). Readings in community-based nursing. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkns.
Kementerian Sosial. (2008). Penguatan Eksistensi Panti werdha di tengah pergeseran
budaya
dan
Keluarga.
http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=704.
Diakses 7 Juli 2014.
Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Profil Penduduk Lanjut usia 2009. Jakarta.
http://dinsosdki.org/?page=detailpanti&id=yy8eJcdH3Bp6x6YR9H1J6w.
Diakses 3 Juli 2014
Kushartanti, W. (2008). Aktivitas fisik dan senam usila. FIK UNY
Loretz, L. (2005). Primary care tools for clinicians: A compendium of forms,
questionnaires, and rating scales for everyday practice.. USA: Elsevier
Mosby.
Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. (2nd ed.). Missouri : Mosby.
_______________. (2000). Pocket Guide to Gerontologic Assessment. (3rd ed.).
Missouri: Mosby.
Maryam, S., Ekasari, F. M., Rosidawati, Jubaedi, A. , & Batubara, I. (2008).
Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. Massachusetts:
Jones and Bartlett Publishers.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
47
McKay SL, Fravel M, Scanlon C. (2009). Management of constipation. Iowa City
(IA): University of Iowa Gerontological Nursing Interventions Research
Center, Research Translation and Dissemination Core;.
Moore, T., Bourret, E., & Cabico, L. (1999). Constipation/impaction management. In
G. M. Bulechek & J. C. McCloskey (Eds.). Nursing interventions: Effective
nursing treatments (pp.98-112). Philadelphia: W.B. Saunders.
Muhammad N. 2010. Tanya Jawab Kesehatan Harian untuk Lansia. Yogyakarta:
Tunas Publishing.
Nies, Mary A., McEwen, M. (2001). Community/ public health nursing: promoting
the healthy of population (4th Ed). Missouri: Sauders Elsevier.
Notoatmodjo S. (2007). Kesehatan masyarakat, ilmu dan seni. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Nugroho. (2008). Keperawatan gerontik dan geriatrik. Jakarta: EGC.
Potter & Perry. (2009). Fundamental nursing: Concept, process, and practice. (6th
edition). St. Louis: Mosby Year Book.
Rahardjo,
W.
(2014).
Olahraga
tepat
untuk
lansia.
http://www.readersdigest.co.id/sehat/olah.tubuh/olahraga.tepat.untuk.lansia/0
05/003/147. Diakses tanggal 10 Agustus 2014
Safithri F. (2005). Proses menua di otak dan demensia tipe alzheimer. Jurnal Ilmu
Kesehatan dan Kedokteran. Saintika Medika Volume. 2 No.2.
Setiawan,
Y.
(2012).
Olahraga
untuk
lansia.
http://www.lkc.or.id/2012/05/22/olahraga-untuk-lansia/. Diakses tanggal 10
Agustus 2014
Siswono. (2003). Mengatasi Konstipasi pada usia lanjut. www.gizinet.com. Diakses
2 Juli 2014.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. (2012). Brunner & Suddarth’s textbook of medicalsurgical nursing. 10th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Soelistijani, D. A. (2002). Sehat dengan Menu Berserat. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Stanley, M., & Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik (Ed ke-2).
Jakarta: EGC.
Sudoyo, dkk. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Penerbit Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tamher & Noorkasiani. (2009). Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan
keperawatan, Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
48
Zendrato, T. (2009). Karakteristik penderita kanker colorectal yang rawat inap di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005 – 2007. Medan: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Lampiran 1
Constipation Assessment Scale*
Pre Test
No
Assessments
No
Problem
Some
Problem
Severe
Problem
1
Abdominal distention or bloating
V
2
Change in amount of gas passed rectally
V
3
Less frequent bowel movements
V
4
Oozing liquid stool
5
Rectal fullness or pressure
V
6
Rectal pain with bowel movement
V
7
Small volume of stool
8
Unable to pass stool
V
Total
5
4
None scores 0; Some scores 1; Severe scores 2
Total scores range from 0 (minimum, no Constipation) to 16 (maximum,
worst possible constipation)
V
*McMillan & Williams, (1989) dalam Loretz, L. (2005)
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
V
Lampiran 2
Constipation Assessment Scale*
Post Test
No
Assessments
No
Problem
Some
Problem
Severe
Problem
1
Abdominal distention or bloating
V
2
Change in amount of gas passed rectally
V
3
Less frequent bowel movements
V
4
Oozing liquid stool
5
Rectal fullness or pressure
V
6
Rectal pain with bowel movement
V
7
Small volume of stool
V
8
Unable to pass stool
V
Total
7
None scores 0; Some scores 1; Severe scores 2
Total scores range from 0 (minimum, no Constipation) to 16 (maximum,
worst possible constipation)
V
*McMillan & Williams, (1989) dalam Loretz, L. (2005)
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Lampiran 3
Barthel Index Scoring Form
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kegiatan
Makan
0 = tidak mampu
5 = membutuhkan bantuan untuk memotong, atau menentukan diet
10 = mandiri
Mandi
0 = dibantu
5 = mandiri
Berhias
0 = dibantu
5 = mandiri
Berpakaian
0 = dibantu
5 = membutuhkan bantuan sebagian
10 = mandiri (dapat mengancing baju, menarik resleting, dll)
Buang Air Besar
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)
5 = sesekali butuh bantuan
10 = kontinen
Buang Air Kecil
0 = inkontinensia (atau membutuhkan kateter)
5 = sesekali butuh bantuan
10 = kontinen
Penggunaan toilet
0 = dibantu
5 = membutuhkan bantuan sebagian
10 = mandiri
Berpindah (tempat tidur ke kursi, dll)
0 = tidak mampu, tidak dapat duduk dengan baik
5 = sebagian besar dibantu (butuh 1 atau 2 penolong), dapat duduk.
10 = sebagian kecil dibantu
15 = mandiri
Berjalan di permukaan datar
0 = tirah baring
5 = mandiri menggunakan kursi roda, > 50 m
10 = berjalan dengan bantuan 1 orang, > 50 m
15 = mandiri (walaupun dengan menggunakan alat bantu jalan, > 50 m)
Menaiki tangga
0 = tidak mampu
5 = membutuhkan bantuan
10 = mandiri
Total Nilai ( 0 - 100)
Nilai
10
5
5
10
10
10
10
15
15
10
100
Hasil Penilaian:
0 – 20 = Dependen total
20 – 40 = Dependen berat
40 – 60 = Dependen sedang
60 – 90 = Dependen ringan
91 – 100 = Mandiri
Sumber:
Mahoney FI, Barthel D. “Functional evaluation: the Barthel Index.”Maryland State Med Journal
1965;14:56-61
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Lampiran 4
Gerakan Mengayuh Sepeda
(Bicycle Movement)
Sumber gambar : https://www.udemy.com/files/images/article/2014-02-23_14-21-28__BICYCLE.jpg
Pengertian
Gerakan yang dilakukan khusus pada bagian kaki seperti gerakan mengayuh sepeda.
Gerakan ini dilakukan sambil berbaring di lantai, matras, atau di kasur.
Tujuan
Membantu merangsang motilitas usus.
Frekuensi
Terkait frekuensi, intensitas, dan durasi pelaksanaan latihan tidak ada evidence based
untuk menentukan frekuensi, intensitas, dan durasi latihan seharusnya. Namun,
frekuensi dan durasi latihan harus didasarkan pada toleransi pasien (Moore et al.,
1999). Perhatikan adanya masalah fisik lainnya pada lansia, seperti asam urat,
rematik, dan ataupun kelemahan lainnya.
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Prosedur
1. Persiapan lansia. Cek kondisi fisik lansia. Pastikan lansia berada pada kondisi
yang fit.
2. Persiapan tempat. Siapkan tempat yang aman dan nyaman untuk lansia.
3. Persilahkan lansia untuk berbaring di tempat yang telah dipersiapkan.
4. Anjurkan lansia untuk rileks.
5. Dapat dimulai dengan teknik napas dalam untuk mendapatkan kenyamanan
lebih (jika diindikasikan).
6. Tidur telentang dengan kedua tangan di bawah kepala. Angkat kaki bergantian
seperti mengayuh sepeda. Lakukan beberapa kali.
7. Lakukan hingga klien mampu menoleransi jumlah gerakan.
8. Lakukan teknik napas dalam untuk kembali merilekskan tubuh.
Catatan
Untuk terapi masalah konstipasi, dapat dikombinasikan dengan massage abdomen
(jika diindikasikan). Selain itu, intake serat dan cairan yang cukup dapat membantu
memaksimalkan terapi dalam upaya menangani masalah konstipasi.
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Lampiran 5
JADWAL LATIHAN KAYUH SEPEDA BPK SH
Senin
Selasa
Rabu
26/5/14
27/5/14
28/5/14
malam pagi malam pagi malam
Senin
2/6/14
malam
V
Senin
9/6/14
malam
V
Senin
16/6/14
malam
V
Selasa
3/6/14
pagi malam
V
V
Selasa
10/6/14
pagi malam
V
V
Selasa
17/6/14
pagi malam
V
V
Rabu
4/6/14
pagi malam
V
Rabu
11/6/14
pagi malam
V
Rabu
18/6/14
pagi malam
V
pagi
pagi
-
pagi
V
pagi
V
Kamis
29/5/14
malam
V
Kamis
5/6/14
malam
Kamis
12/6/14
malam
V
Kamis
19/6/14
malam
V
pagi
V
pagi
-
pagi
V
pagi
V
Jumat
30 /5/14
malam
Jumat
6/6/14
malam
Jumat
13/6/14
malam
V
Jumat
20/6/14
malam
V
pagi
-
pagi
V
pagi
-
pagi
V
Keterangan:
1. Dilakukan 2x sehari hitungan 8 x 2-3 set (berdasarkan toleransi klien)
2. Tanda centang didapatkan berdasarkan hasil evaluasi subyektif Klien
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Sabtu
31/5/14
malam
Sabtu
7/6/14
malam
V
Sabtu
14/6/14
malam
V
Sabtu
21/6/14
malam
pagi
V
pagi
V
pagi
V
pagi
Minggu
1/6/14
malam
Minggu
8/6/14
malam
V
Minggu
15/6/14
malam
Minggu
22/6/14
malam
pagi
V
pagi
V
pagi
V
pagi
Lampiran 6
Biodata Peneliti
Nama
: Islah Akhlaqunnissa Jihadi
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 4 Juli1990
Alamat
: Jl. Pekapuran Gg. 1000 RT 005/05 No. 27 Tapos,
Depok, Jawa Barat 16455
Email
: [email protected]
[email protected]
Agama
: Islam
Riwayat Pendidikan Formal
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2009 – Sekarang
SMA Negeri 4 Depok
2005 – 2008
SMP Negeri 11 Depok
2002 – 2005
SD Negeri Sukatani 3
1996 – 2002
Analisis praktik ..., Islah Akhlaqunnissa Jihadi, FIK UI, 2014
Download