jurusan tafsir hadits fakultas ushuluddin dan filsafat

advertisement
TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Disusun Oleh:
ADIH
104034001155
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDYATULLAH
JAKARTA
2011
TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Theologi Islam ( S.Th.I)
Disusun Oleh:
ADIH
104034001155
Pembimbing
Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, M.A.
NIP : 19550725 200012 2 001
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-‘âlamîn, puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT. yang telah memberi izin dan nikmat-Nya kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat dan salam semoga selalu tercurah
keharibaan Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa risalah untuk pencerahan
bagi seluruh umat manusia.
Merupakan suatu kebahagiaan bagi penulis telah menyelesaikan penulisan
skipsi ini, walaupun sedikit tersendat-sendat, demi merampungkan studi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan yang terdapat
dalam tulisan ini. Untuk itu permintaan maaf penulis sampaikan apabila dalam
karya tulis ini terdapat banyak kejanggalan, kedangkalan dan kesalahan analisis.
Kendati demikian penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
menyelesaikan tulisan ini. Disadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan
skripsi ini tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang ikut
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, di antaranya:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
yang telah memberikan apresiasi kepada mahasiswa yang ingin
menyelesaikan program studinya.
i
2. Prof. Dr. Zainun Kamal (Dekan Fakultas Ushuluddin), Prof. Dr. M. Ikhsan
Tanggok (Pudek I), Dr. M. Suryadinata, MA (Pudek II), Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA (Pudek III). Terimakasih penulis ucapkan, telah
memberikan waktu dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
studi ini.
3. Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA. Sebagai dosen pembimbing yang
telah meluangkan banyak waktunya untuk membina, menelaah dan
memberikan
kritikan
serta
nasehatnya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat ini. Terimakasih
ibu, semoga ibu selalu mendapatkan perlindungan dan rahmat Allah SWT.
4. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir- Hadits yang telah
memberiakan nasehat serta arahan kepada penulis, dan Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, MA selaku Sekjur Tafsir-Hadits, terimakasih atas waktu dan
kesempatan yang ibu berikan.
5. Seluruh Dosen dan Staff pengajar pada program studi Tafsir-Hadits (TH).
Atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan
pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi.
6. Kepala Pempinan Perpustakaan Utama Dan Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan
Iman Jama Lebak Bulus berserta para staffnya. Terimakasih atas ruangan
yang sejuk, nyaman dan damai, sehingga dapat mengobati rasa haus
penulis akan ilmu.
ii
7. Ungkapan syukur dan pujian terimakasih sebesar-besarnya penulis
haturkan kepada keluarga tercinta, Ibunda Semi serta kakanda-kakanda
penulis: Rusmanah, Rusiyanah, Muslih, Muslim, Mulyanih, Mulyadi. Jasa
kalian tidak akan pernah terbatas oleh apapun yang ada di dunia ini.
Semoga skripsi ini dapat menjadi sebuah kebanggaan dalam hati kalian.
Mohon maaf jika penulis belum dapat memberikan yang terbaik dan belum
dapat membahagiakan kalian semua. Dan keponakan-keponakan penulis:
Usman, Moe_2n, Dzaki, Dzikri, Aini, Dzaka, Fikri, Salsa, Ardi, Manda
Haedar Ulil Aidy dan Zaskia. Bersama kalian hidup ini terasa sederhana,
menarik serta ceria penuh warna.
8. Dan yang tidak kurang sumbangannya dalam penyelesaian karya maupun
jenjang studi penulis, adalah peran dari seorang perempuan yang bernama,
Siti Maryam. Kehadirannya, bagaikan buku yang tak pernah tamat penulis
baca, bersamanya ruang ini tersa luas dan waktu seakan tak terbatas.
Ketika ia bercerita dengan iringan canda, serta berdiskusi dengan sebuah
tanya, menjadi inspirasi dan semangat tersendiri, yang bagi penulis sangat
berarti.
9. Rekan-rekan Mahasiswa/i Tafsir-Hadits A angkatan 2004: Ifeh, Zizah,
Yanah, Bubah, Dewi, Laily, Yunita, Dedy, Thory, Ardi, Ramdani, Hafidz,
Muhyi, Macho, Ade, Fuad, Anas, Syarif, TB, Hary, Syarif Ndut, Angga,
Syafaat, Aa Gyn dan khususnya kepada Baehaqi dan Zulkarnain Thanks
atas perpustakaan dan motivasinya, mohon maaf apabila ada kesalahan
nama atau gelar.
iii
10. Rekan-rekan IRMAS Jami’ Darurrahman, Pemuda/i Kp. Buaran Timur,
Kel. Jelupang. Terimakasih atas dukungan moril maupun materil yang
rekan-rekan berikan. Semoga Allah SWT. Membalas kebaikan kalian
semua.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, semoga
jasa dan bantuan semua pihak yang diberikan kepada penulis menjadi pemberat
timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. Amîn Yâmujiba as-Sailîn
Serpong Utara, 26 Februari 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
TRANSLITERASI ........................................................................................
viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
2. Perumusan dan Pembatasan Masalah..................................
10
3. Tujuan Penelitian ................................................................
11
4. Metodologi Penelitian .........................................................
11
5. Sistematika Penulisan .........................................................
12
PANDANGAN UMUM TENTANG TAQLÎD
A. Definisi Taqlîd
a. Menurut Bahasa ............................................................
14
b. Menurut Istilah ..............................................................
15
c. Definisi Operasional......................................................
18
B. Kosa Kata Taqlîd dalam al-Quran
a. Ittiba` .............................................................................
20
b. Akhadza .........................................................................
21
c. Taqfu .............................................................................
23
v
C. Pembagian Taqlîd
BAB III
1. Taqlîd yang diperbolehkan ........................................
24
a. Taqlîd Syahksi .....................................................
24
b. Taqlîd Mutlak ......................................................
26
2. Taqlîd yang dilarang..................................................
26
a. Taqlîd Mahdhi .....................................................
26
b. Taqlîd Jamid ........................................................
26
TAQLID AQIDAH DALAM AL-QURAN
A. Aspek-aspek yang diperintahkan untuk ber-taqlîd .............
32
1. Taqlîd kepada perintah Allah atau al-Quran .............
32
2. Taqlîd kepada Rasulullah ..........................................
35
a. Nabi Sebagai Penjelas Al-Quran ........................
37
b. Rasul Sebagai seorang yang patut diteladani .....
40
c. Rasul Wajib ditaati ..............................................
41
3. Taqlîd kepada Ahl al-Dzikr .......................................
47
B. Aspek-aspek yang dilarang untuk ber-taqlîd ......................
1. Taqlîd kepada nenek moyang ....................................
50
2. Larangan mengikuti ajaran ruhban ...........................
51
3. Taqlîd kepada ke-Syirikan ........................................
55
4. Taqlîd “Buta” tanpa dasar informasi yang jelas ......
56
C. Analisa terma Taqlîd dalam al-Quran .................................
57
vi
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................
61
B. Saran ....................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
65
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin.
PADANAN AKSARA
HURUF
HURUF
KETERANGAN
ARAB
LATIN
Tidak dilambangkan
B
Be
T
Te
Ts
Te dan Se
J
Je
H
Ha dengan garis di bawah
Kh
Ka dan Ha
D
De
Dz
De dan Zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
Es dan Ye
S
Es dengan garis di bawah
D
De dengan garis di bawah
T
Te dengan garis di bawah
Z
Zet dengan garis di bawah
`
Koma terbalik di atas hadap kanan
Gh
Ge dan Ha
F
Ef
Q
Qi
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
‘
Apostrof
Y
Ye
viii
VOKAL
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal pada bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
å
Tanda Vokal Latin
Keterangan
A
Fathah
I
Kasrah
U
Damah
Vokal Rangkap
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫و‬
AI
A dan I
‫ي‬
AU
A dan U
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vocal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ـــــَــــــا‬
‫ــــــِــــــي‬
‫ـــــــُــــــو‬
Â
Î
Û
A dan topi di atas
I dengan topi di atas
U dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, menggandakan
huruf yang diberi tanda tasydid itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf
yang menerima tanda tasydid itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah.
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Indonesia adalah salah satu Negara dengan penduduk Muslim paling
banyak di dunia. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang banyak dan
persentase penduduk yang beragama Islam pun tinggi. Kondisi ini yang kemudian
berpeluang terjadinya banyak pemahaman terhadap praktik keagamaan di
Indonesia. Kelompok tertentu dipandang mampu untuk memahami hukum yang
dibebankan kepadanya yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Terlepas dari
bagaimana mereka mendapatkan pemahaman itu, baik secara langsung mengkaji
dua sumber itu atau melalui imam-imam madzhab tertentu yang terakui ilmunya.
Namun di sisi lain ada sekelompok masyarakat yang tidak berpedoman terhadap
dalil yang jelas ketika mengamalkan sesuatu. Mereka cukup mendengar dari orang
yang mereka anggap mumpuni di bidang hukum mengenai hukum tertentu yang
kemudian
diamalkan
tanpa
memikirkan
dari
mana
sang
mufti
tadi
memperolehnya. Dan yang ironis lagi adalah mereka jauh dari nilai-nilai agama
dalam perilakunya walaupun notabene mereka beragama Islam. Hal ini mungkin
karena mereka buta akan Islam atau ada faktor lainya.
Menanggapi hal itu dirasa perlu memberikan pemahaman kepada
masyarakat luas akan pentingnya menjalankan ajaran agama secara keseluruhan
dan penuh dengan kesadaran. Semua itu dilakukan demi sebuah pengabdian dan
rasa syukur manusia akan karunia tuhannya. Dan untuk mengetahui hukumhukum dan kewajiban yang dibebankan kepada manusia (mukallaf) diwajibkan
2
untuk menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu diharapkan mampu memahami
perintah dan larangan yang harus dilaksanakan dan dijauhi serta termotivasi untuk
mempratikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah letak urgensi thalab al‘ilmi bagi seorang muslim demi mempertahankan eksistensinya sebagai orang
yang taat beragama dan peduli terhadap dirinya.
Bagi seorang muslim yang sudah terlanjur beragama Islam karena adat dan
lingkungan, wajib melakukan perenungan agar imannya makin mantap, tidak
goyah sehingga terjerumus kesifat setan atau binatang. Sementara itu, siapapun
juga, muslim maupun kafir pada dirinya telah Allah SWT berikan akal yang pada
saatnya yaitu usia aqil baligh akan berfungsi untuk mencari kebenaran. 1
Setiap orang menyadari bahwa ia mempunyai akal dan perasaan yang
sehat yang terletak atau berpusat pada otak yang digunakan untuk berpikir.
Kemampuan berpikir dan merasa ini merupakan nikmat anugerah Tuhan yang
paling besar dan ini pulalah yang membuat manusia merupakan makhluk
istimewa dan mulia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Karena akal itu
merupakan alat untuk menuntut ilmu dan dengan ilmu manusia dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Dalam keadaan sehat, manusia sering kali tidak menyadari apakah yang
dijalankannya atau yang diperbuatnya itu berdasarkan pada ilmu pengetahuan atau
tidak. Sebab sesuatu yang yang dilakukan tanpa berdasarkan pada ilmu, maka
perbuatannya itu diragukan akan kebenarannya. Apalagi jika yang diperbuatnya
itu hanya berdasarkan kepada peniruan saja.
1
Palgunadi T. Setyawan, Daun Berserakan (Sebuah Renungan Hati), Jakarta : Gema
Insani Fress, 2004, cet. I, h. 115.
3
Tingkah laku seseorang di dalam kehidupanya yang didasarkan kepada
upaya meniru dan mengikuti perbuatan orang lain tanpa didasari kepada al-Quran
dan al-Hadits atau dalil-dalil yang membenarkan, itu sangat dicela dan dilarang
Allah SWT. Selain daripada itu, di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang
isinya jelas menunjukkan bahwa orang yang ber-taqlîd dalam urusan agama
(akidah, ibadah dan hukum), itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan
yang membawa ke arah kesesatan.2 Sebagaimana tersebut dalam firman Allah
SWT dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 170 dan surat al-Maidah ayat 104 :
Artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Artinya :
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah
untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya".
dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk?.
Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan kepada kita, bahwa orang-orang yang
sudah ber- taqlîd dan menjadi pak turut itu sangat dijelekkan dan dicela oleh Allah
SWT. Karena mereka itu apabila diajak kembali mengikuti pimpinan Allah dan
KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1989), h. 342
4
kepada tuntunan Rasul, mereka menjawab : “Hanya kami akan menurut saja caracara yang telah dilakukan oleh orang-orang tua kami, nenek moyang kami”, atau
“Cukuplah bagi kami agama yang telah dijalankan dan dikerjakan oleh nenek
moyang kami dan datuk-datuk kami.” Mereka berkata yang sedemikian itu,
karena sudah penuh sangkaan dan anggapan, bahwa cara-cara dan agama yang
telah dikerjakan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut
pimpinaan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta
keterangan yang menunjukan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek
moyang mereka itu.3
Bahwa kecaman dalam firman Allah itu ditunjukan hanya bagi orang yang
ber-taqlîd kepada orang-orang kafir dan nenek
moyang mereka yang tidak
berakal sedikit pun serta tidak mendapatkan petunjuk, dan orang yang ber-taqlîd
kepada ulama yang memperoleh hidayah tidaklah dikecam, bahkan diperintahkan
untuk bertanya kepada orang-orang yang mengerti, yakni para ulama.4
Meniru dan mengikuti perbuatan orang lain dalam melakukan kebaikan
memang itu diharuskan, tetapi harus didasarkan kepada dalil-dalil yang
membenarkan terlebih dalam masalah ubudiyah. Kalau yang ditirunya itu
menyimpang dari apa yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits akan membawa
kesesatan meskipun orang yang ditiru itu adalah orang tuanya sendiri.
Sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT dalam al-Quran surat Luqman
ayat 15 :
3
4
KH. Moenawar Chalil, h. 343
Al-Imam Ibn Qayyim, Risaalah At-Taqliid, terj. Ibn Ibrahim (Jakarta : Pustaka Azzam,
2000), cet. 1, h. 20
5
Artinya :
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik.
Ayat tersebut menggambarkan bahwa tidak diperbolehkan mengikuti
sesuatu ajaran atau sesuatu perbuatan yang mana perbuatan yang ditirunya itu
menyimpang dari ajaran Allah SWT meskipun yang melakukannya itu orang
tuanya sendiri.
Allah SWT dan Rasulullah SAW menyebut bagi orang-orang yang hanya
mengikut-ikuti orang lain atau pemuka agama dalam hal-hal yang mereka
kerjakan bagai mereka menjadikan orang yang diikutinya itu sebagai tuhan-tuhan
selain Allah5 sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani dan Yahudi di masa
lalu yang tergambar dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 31:

Artinya :
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih
putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Esa.
Maksud dari menuhankan selain Allah dalam ayat tersebut ialah mereka
mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan
membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh berbuat
5
KH. Moenawar Chalil, h. 346.
6
maksiat atau mengharamkan yang halal. Hal ini terkandung dalam hadis Nabi
SAW yang berbunyi :
Artinya :
Dari Adiy bin Hatim : “aku pernah datang kepada Rasulullah Saw
pada leherku ada salib, maka beliau bersabda kepadaku : “hai Adiy
lemparkan arca ini dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi,” dan beliau
membaca ayat : (dari surat at-Taubah ayat 31)
Kata adiy : aku berkata : “ya Rasulullah, kami tidak menjadikan
tuhan-tuhan kepada pendeta-pendeta itu. “Nabi Saw Bersabda : “bukankah
mereka menghalalkan bagi kamu barang yang diharamkan Allah atas kamu,
lalu kamu menghalalkannya; dan mereka mengharamkan atas kamu barang
apa yang dihalalkan Allah kepada kamu, lalu kamu mengharamkannya?”
Kata Adiy : “bahkan, ya Rasulullah.” Nabi bersabda : “demikian itulah
ibadah kepada mereka.” (HR. al-Thabrany)
Keterangan di atas menggambarkan bahwa dengan mengikuti dan meniru
kebiasaan orang lain tanpa mengetahui makna dan tujuannya atau tanpa adanya
dalil-dalil yang membenarkan merupakan perbuatan yang tidak baik.
6
Sulaiman bin Ahmad Abu Qasim al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabîr, (Ttp.: Maktabah
al-„Ulum wa al-Hikm, 1983), Jil. 10, h. 116
7
Ini memang berangkat dari kenyataan, masih banyaknya orang yang
mengetahui sesuatu kebenaran tanpa mempelajarinya terlebih dahulu dan sesuatu
yang dikatakan benar itu diperoleh dengan hanya melihat dari perbuatan orang
lain, atau dari kebiasaan yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya. Hal inilah
yang merupakan suatu permasalahan yang ingin dikaji oleh penulis. Sebagaimana
Allah SWT menjelaskan dalam surat al-Isra' ayat 36 :
Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Ayat di atas banyak memberikan gambaran tentang dilarangnya segala
perbuatan yang tidak diketahui akan kebenarannya dan apa-apa yang dilakukan
manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir nanti.
Pada hakikatnya, al-Quran di turunkan oleh Allah SWT bagi umat manusia
agar menjadi panduan bagi mereka agar dapat terbebas dari belenggu kebodohan
dan supaya manusia dapat memperoleh bimbingan keselamatan dalam kehidupan
di dunia maupun di akhirat. Secara fundamental bahkan yang harus kita sadari
ialah bahwa al-Quran ialah firman Allah SWT yang menjadi sumber aqidah kita.7
Al-Quran ialah perkataan yang paling agung dan mulia yang penuh dengan
petunjuk kebenaran di dalamnya yang diturunkan oleh Allah SWT pencipta dari
7
Muhammad Syauman ar-Ramli. Keajaiban Membaca al-Quran, terj. Arif Rahman
Hakim, Lc, (Sukoharjo: Insan Kamil, 2007), h. 27
8
segala yang ada, bukan sekedar perkataan manusia dalam buku-buku hikmah atau
motivasi.
Selain al-Quran, agama Islam memiliki satu buah lagi sumber ajaran dan
hukum, yakni al-Sunnah atau yang sering disebut juga al-Hadits yang menjadi
penjabaran, contoh kongkrit dalam tingkahlaku, sikap dan ketetapan mutlak yang
dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw yang menjadi pedoman bagi umat
manusia hingga akhir zaman.8
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal harus bertindak bertanggung
jawab kepada Allah SWT karena Allah senantiasa mengawasi segala perbuatan
manusia sendiri. Sebab tanggung jawab itu perlu untuk kelangsungan kehidupan
dan tanggung jawab itu tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Dengan
demikian manusia dididik untuk bertindak secara bertanggung jawab, meskipun
demikian, kalau tindakan bertanggung jawab itu tidak dilaksanakan atau tidak
dikembangkan niscaya ia akan kurang bermakna di dalam kehidupannya.
Tanpa petunjuk dari Allah SWT manusia tidak akan mampu meningkatkan
pemahamannya tentang alam semesta, kecuali dengan ilmu pengetahuan dengan
akal yang telah diberikan oleh Allah SWT, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan, dapat memahami alam semesta dan menjalani hidup dengan tata
cara yang baik, akan tetapi ilmu pengetahuan tidak akan dapat berkembang di
8
H. Said Agil Husin al-Munawwar. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 181
9
dalam kerterbatasan manusia itu sendiri.9 Oleh karena hal-hal tersebut, taqlîd atau
mengikuti perilaku, ajaran atau pengetahuan dari orang lain, tanpa mengetahui
terlebih dahulu ilmu yang melatar belakanginya, serta mencari pengetahuan dari
al-Quran dan al-Sunnah menjadi sangat dianjurkan untuk tidak dilakukan sama
sekali.
Kalau sikap taqlîd senantiasa menjadi kebiasaan umat, bagaimana
mungkin umat Islam dapat menjawab tantangan dari kemajaun jaman yang
mengakibatkan terjadinya perubahan. Kehidupan sosial, pemikiran, dan
kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan jaman tersebut. Bila
tidak lagi umat ini mau dengan sadar mencari ilmu, gambaran jauhnya, bagaimana
cara kita untuk mempertahankan agama Islam dan mewujudkan nilai-nilai
kesempurnaan agama ini, bahwa kemajuan dan perubahan itu tidak lantas
berkontradiksi dengan kesempurnaan Islam untuk tetap menjadi agama yang
relevan disetiap tempat maupun zaman.10
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas. Maka penulis terdorong untuk
menyusun skripsi dengan judul : TAQLÎD DALAM PERSPEKTIF ALQURAN
9
Fuad Amsary, Mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema Insani
Press, 1997. Jilid I, hal. 192.
10
Muhammad „Imarah. Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur,
M.A, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 238.
10
B.
Perumusan dan Pembatasan Masalah.
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, banyak
orang yang telah diberi akal oleh Allah SWT tapi tidak menggunakannya, sebab
dengan akal itu seseorang dapat mempelajari terlebih dahulu apa yang diikutinya.
Dengan kelebihan akal itulah Allah SWT memerintahkan untuk berpikir,
belajar dan menelaah apa yang akan diperbuatnya. Dengan menggunakan itu
semua, maka apa yang dilarang seseorang tidak akan menjerumuskanya kepada
kesesatan. Kembali kepada ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya, maka akan
menjadikan seseorang tenang dalam menjalani kehidupannya.
Melihat uraian di atas, maka penulis dapat membatasi permasalahanpermasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan taqlîd ?
2. Apa saja yang diperbolehkan untuk dijadikan objek taqlîd ?
3. Apa saja yang dilarang untuk dijadikan objek taqlîd ?
Permasalahan taqlîd dapat masuk ke dalam berbagai bidang ajaran agama,
seperti fikih, aqidah dan lain-lain. Melihat hal tersebut dan agar skripsi ini terarah
dan tidak keluar dari tujuan penulis. Maka perlu kiranya penulis merumuskan
masalah yaitu: BAGAIMANA AL-QURAN BERBICARA TENTANG
TAQLÎD DALAM MASALAH AQIDAH ?
11
C.
Tujuan Penulisan.
Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah:
a. Memberi pemahaman tentang taqlîd, objek taqlîd yang diperbolehkan
maupun yang dilarang.
b. Untuk memperkaya khazanah keilmuan dibidang agama yang sesuai
dengan pemahaman al-Quran dan al-Hadits.
c. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program strata satu
(S1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif
Hidayatullah dalam meraih gelar S.Th.I (Sarjana Theologi Islam).
D.
Metodologi Penulisan.
Dalam melakukan penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis
melakukan pengumpulan data dengan metode penelitian kepustakaan (library
research), yakni mencari dan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
dalam pokok pembahasan. Pengumpulan data yang penulis lakukan terbagi pada
dua bagian, yaitu melalui data primer dan sekunder. Rujukan yang penulis jadikan
sebagai data primer adalah al-Quran al-Karim, kitab-kitab tafsir al-Quran dan
kitab-kitab hadits.
Adapun acuan sekunder yang dipakai dalam penulisan ini adalah sejumlah
kitab dan buku yang masih berkaitan dengan objek penulisan, seperti kitab-kitab
tafsir tematik, tafsir al-Quran, buku-buku maupun jurnal serta bahan-bahan
rujukkan lain yang relevan dalam pokok masalah yang dibahas. Hal ini
12
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi secara lengkap agar dapat
menentukan kesimpulan yang akan diambil sebagai langkah penting.
Sebagaimana rumusan masalah di atas dan untuk mengetahui kesimpulan
yang akan penulis ambil setelah itu, maka metode yang akan digunakan adalah
metode tematik atau metode maudhû`i yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang
bertemakan taqlîd.
Secara teknis penulisan skripsi ini bersandarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta (2007)” dan Pedoman Buku Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat 2007.
E.
Sistematika Penulisan.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan suatu sistematika
yang di dalamnya terdiri dari bab-bab yang satu sama lain saling berhubungan,
yaitu :
Pada bab pertama pendahuluan
Bab ini yang menjadi pengantar umum kepada skripsi. Berisi Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan,
Metodologi Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Pada bab kedua pandangan umum tentang taqlîd.
Pada bab ini penulis mengemukakan tentang definisi taqlîd, kosa kata
taqlîd, dan pembagian taqlîd.
13
Pada bab ketiga penulis mencoba mengenal lebih jauh tentang tema taqlîd
aqidah dalam al-Quran. Seperti beberapa aspek yang diperintahkan untuk bertaqlîd, Aspek-aspek yang dilarang untuk ber-taqlîd dan analisa tentang terma
taqlîd dalam al-Quran.
Pada bab keempat penulis akan mengambil kesimpulan berdasarkan hasil
kajian dari bab kedua dan ketiga serta memberikan saran-saran jika dibutuhkan.
14
BAB II
PANDANGAN UMUM TENTANG TAQLÎD
A. Definisi Taqlîd
a. Menurut Bahasa
Kata taqlîd berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)
(Qallada – Yuqallidu – Taqlidah)1, sepanjang bahasa artinya bermacam-macam,
menurut letak dan rangkaian katanya, di antaranya adalah : “Menyerahkan –
Menghiasi – Menyelempangkan – Meniru – Menuruti seseorang dan Menerima
Piutang”. Misalnya :
Ia menghiasi leher dengan kalung
Ia menyelempangkan pedang
. Ia menurut seseorang tentang itu
dari fulan
Ia menyerahkan pekerjaan,
Ia meniru padanya demikian
Ia menerima piutang
)2 .
Ada juga sebagian ulama ahli bahasa yang menjelaskan kata taqlîd diambil
dari kata
(Qilâdah) yang artinya kalung atau rantai yang diikatkannya pada
lainya.
1
A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka
Progressif, 2002), h. 1147.
2
KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), h. 340.
15
Dalam bahasa Indonesia kata taqlîd dapat diartikan peniruan, keikutan
atau pegangan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yang sudah, tanpa
mengetahui dasar atau alasan. Ber-taqlîd berarti :
1. Berpegang kepada pendapat ahli hukum yang sudah-sudah.
2. Tunduk atau percaya pada kata orang (mengikuti atau menuruti
orang lain (meladeni).
3. Meniru atau mengikuti suatu paham tanpa mengetahui dalil-dalil
ataupun alasan.3
Kata taqlîd
juga sering diartikan mengikuti, kemudian makna kata
mengikuti sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ikut atau turut serta,
ikut-ikutan, mengikuti saja (pikiran, perbuatan orang lain), mengikuti, menurutkan
(sesuatu yang berjalan dahulu, yang telah ada)4
b. Menurut Istilah
Adapun definisi taqlîd menurut istilah, sebagaimana para ulama
memberikan pengertian sebagai berikut :
1. Imam Abu Abdillah Khuwaz Mandad al-Maliki berkata :
“Taqlîd artinya pada syara adalah kembali berpegang kepada
perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya.”
2. Imam al-Ghazali taqlîd adalah :
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. 1, h. 887.
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 323.
16
“Taqlîd adalah menerima perkataan tidak dengan alasan.”
3. Imam ash-Shan’ani berkata :
“Taqlîd adalah mengambil pada perkataan orang lain yang tidak
dengan hujjah.”5
4. Imam as-Syaukani berkata6 :
“Taqlîd ialah menerima pendapat orang yang tidak berdiri
dengannya hujjah.”
5. Abu Hamid dan Abu Mansur 7:
“Menerima suatu ucapan tanpa mengetahui kehujjahan yang
menjelaskan perkataan orang yang di ikutinya.”
6. Abi Zakaria al-Anshori8 :
5
KH. Moenawar Chalil, h. 341.
6
Muhammad bin Ali in Muhammad As-Syaukani, Irsyadul Fuhul, (Jeddah : Alharamain, tt) h. 265.
7
8
Muhammad bin Ali in Muhammad As-Syaukani, h. 265.
Abi Zakaria Al-Anshori, Gayat al-Wushul Syarah Lubbu al-Ushul, (Surabaya: Sarikat
Ahmad Bin Saad bin Nababan, tt ), h. 150.
17
“Mengambil suatu perkataan orang lain tanpa mengetahui
dalilnya.”
7. K. H. Iding Sarhidi
“Menerima perkataan dari orang yang membicarakan tanpa
mengetahui dari apa yang ditanyakannya.”9
8. Abdul Hamid Hakim :
“Menerima perkataan dari orang yang memberikan pembicaraan
dan kamu tidak mengetahui darimana asal (kehujjahan) perkataan orang
tersebut.”10
9. Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman berpendapat bahwa arti dari
taqlîd adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan
cara pengambilan hukumnya (Istinbât al-ahkâm)11.
10. Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo berpendapat taqlîd adalah12 :
Taqlîd yaitu meniru atau mengikuti faham/ ajaran seseorang dengan tidak
mengetahui dasar, bukti ataupun alasan-alasannya.
9
Iding Sarhidi, Matan Lathaif al-_Irsyaad Fi Fanni Ushul Fiqh, (Jakarta : Sa’adiyah
Putra, tt), h. 32.
447.
10
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta : Sa’adiyah Putra. tt), h. 21.
11
Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. ttp, h. 409
12
Nogarsyah Moede Gayo, Buku Pintar Islam, Ladangpustaka & Intimedia, Jakarta. tt, H.
18
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha di dalam kitab al-Manar memberikan
pengertian sebagai berikut: Taqlîd yaitu mengikuti orang terhormat atau
terpercaya dalam suatu hukum dengan tidak memeriksa lagi benar atau salahnya,
baik atau buruknya, manfaat atau madharatnya hukum itu13.
c. Definisi Operasional
Di atas telah penulis bahas pengertian taqlîd baik dari sisi bahasa mau pun
dari sisi istilah yang banyak dikemukakan oleh para ulama ahli fikih dan telah
penulis ulas secara panjang lebar mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan
masalah taqlîd. Secara teks, al-Quran tidak ada yang mencantumkan sebuah kata
taqlîd atau pun derivasinya, tapi itu bukan merupakan alasan, bahwa pembicaraan
mengenai taqlîd yang diisyaratkan oleh al-Quran itu tidak ada. Oleh karenanya
dibutuhkan sebuah definisi “baru” yang dapat menjembataninya, seperti definisi
operasional.
Definisi operasional adalah semacam petunjuk kepada kita tentang
bagimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional merupakan
informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin melakukan
penelitian dengan menggunakan variabel yang sama. Karena berdasarkan
informasi itu, ia akan mengetahui bagaimana caranya melakukan pengukuran
terhadap variabel yang dibangun berdasarkan konsep yang sama.14
Berdasarkan pengertian dari definisi operasional di atas, penulis akan
mencari variabel yang ada di beberapa ayat yang ada hubungannya dengan taqlîd
13
KH. Moenawar Chalil, h. 342.
14
http://suhartoumm.blogspot.com/2009/07/pengertian-variabel-variabel-definisi_30.html
19
atau yang bisa dikatakan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang maknanya juga
berbicara tentang taqlîd.
Menurut penulis, ada tiga ayat yang bisa dijadikan dasar untuk
menentukan variabel makna talîd dalam penelitian kali ini, yaitu:
Artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"
(Q.S al-Baqarah:70)
Artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya)
mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan
Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan
itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Q.S
Luqman:21) dan
Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. (Q.S al-Isra:36)
Dari dua ayat pertama dapat digarisbawahi, bahwa orang-orang yang
hanya mengikuti apa “warisan” ajaran nenek moyang mereka, tanpa ada keinginan
mencari tahu sumber pijakan atau dasar dalil yang digunakan oleh para leluhur
mereka itu, dapat dikatakan sebagai orang yang bertaqlîd. Asumsi ini muncul
20
apabila kedua ayat tersebut dikaitkan dengan definisi taqlîd yang telah penulis
paparkan di atas yang dikuatkan lagi dengan ayat 36 dari surat al-Isra` dan dari
sinilah definisi operasional yang penulis maksudkan diambil.
Dari semua pengertian di atas dapat diambil benang merah dari definisi
taqlîd adalah menerima, mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui landasan dan basis argumentasi yang digunakan.15 Memang dalam
arti taqlîd menurut istilah penulis kebanyakan mengambil referensi dari bukubuku atau kitab-kitab fiqh, dikarenakan penulis tidak menemukan arti taqlîd
menurut istilah di dalam kitab-kitab tafsir maupun hadis.
B. Kosa Kata Taqlîd dalam al-Quran
Banyak sekali ayat-ayat dalam al-Quran yang berkaitan dengan taqlîd.
Akan tetapi penulis tidak menemukan satu kosa kata taqlîd di dalam al-Quran,
namun terdapat beberapa kata yang maknanya mengacu kepada kata taqlîd, yakni
ittiba`, akhadza, dan taqfu sebagai berikut:
a. Ittiba`
Kata ittiba` berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)
–
(Tabi`a - Taba`an – Watabâ`an – Watabâ`atan) yang artinya mengikuti,
atau menyusul.16 Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat
15
Aceng Abdul Aziz, dkk, Islam Ahlussunnah Wal Jama`ah di Indonesia, (Jakarta : Pustaka
Ma`rif NU, 2007), h. 46.
16
A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 128.
21
170 :
Artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
Dan terdapat juga dalam surat Luqman ayat 21 yang berbunyi :
Artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya)
mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya".
dan Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun
syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala
(neraka)?
Dan juga terdapat di pertengahan ayat 15 dalam surat Luqman :
Artinya :
.....Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Quran yang menggunakan asal kata
(Tabi`a), yang penulis tidak bisa sebutkan semuanya di dalam skripsi ini.
b. Akhadza
22
Kata akhadza berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)
‫ا‬
(Akhadza – Akhdzan – Wata’khâdzan) yang artinya mengambil.17
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yâsîn ayat 74 :
Artinya :
Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar mereka
mendapat pertolongan.
Dan juga dalam surat al-`Ankabût ayat 41 :
Artinya :
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. dan
Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau
mereka mengetahui.
Dan terdapat juga pada surat at-Taubah ayat 31 yang berbunyi :
Artinya :
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih
putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan.
Dan masih banyak sekali dalam al-Quran yang pada ayat-ayatnya
menggunakan kata yang berasal dari
17
(Akhadza), tetapi di dalam skripsi ini
A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 11.
23
penulis tidak memaparkan semuanya, hanya beberapa permisalan saja.
c. Taqfu
Kata taqfu berasal dari bahasa Arab, ‫ا‬
Waqufuwan), yang artinya
mengikuti, atau
Tabi`ahu) yang artinya mengikuti, atau
mengikuti jejaknya atau juga
lebihan dalam menghormatinya18.
(Qafâ – Qafwan –
(Qafâ atsarahu :
(Iqtafâ atsarahu) yang berarti
(Taqaffâ bifulânin) yang artinya berlebih-
berarti mengikuti jejak, kemana orang
pergi, kesanalah juga orang lain mengikuti.19 Sebagaimana Allah SWT berfirman
dalam surat al-Isra’ ayat 36 :
Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.
Dalam hal ini, tidak banyak contoh yang penulis berikan, karena penulis
hanya menemukan satu ayat saja di dalam al-Quran yang menggunakan kata yang
berasal dari
(Qafâ).
C. Pembagian Taqlîd
Setelah menginventarisir ayat-ayat yang berkaitan dengan tema taqlîd,
18
A. W. Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 1144.
19
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1993), Juz. XIII-XIV, h. 64.
24
untuk mempermudah pembahasan maka penulis mengelompokkannya kepada :
1. Taqlîd yang diperbolehkan
Sebagaimana yang tertuang dalam salah satu kitab karangan Yusuf
Qardhawi (Dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Jihad), secara garis besar
taqlîd terbagi menjadi empat bagian, antara lain :
a. Taqlîd Syakhsi.
Taqlîd Syakhsi adalah taqlîd yang langsung kepada Rasul atau merupakan
bentuk taqlîd terhadap Rasulullah, baik itu perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya20. Hal ini dikarenakan pribadi Rasulullah yang dapat dijadikan suri
tauladan bagi seluruh umat Islam. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
al-Ahzab ayat 21.
Artinya :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu.
Al-Quran adalah merupakan kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad melalui malaikat Jibril untuk menjelaskan berbagai masalah agama
kepada kaum muslim. Al-Quran mengajarkan kepada setiap muslim untuk
melaksanakan perintah dan menauladani Rasul dengan ikhlas dan sepenuh hati,
dan mengembalikan segala sesuatu permasalahan hanya kepada Allah dan Rasul.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 59 :
20
Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Ijtihad, h. 16.
25
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Ayat ini diturunkan mengenai Abdullah bin Hudzafah yang keluar
bersama pasukannya. Suatu ketika Abdullah bin Hudzafah marah-marah lalu
menyalakan api dan memerintahkan pasukannya untuk terjun kedalam kobaran
api tersebut, lalu sebagian pasukannya ada yang menolak perintahnya dan adapula
yang hampir terjun. Pada saat itu para pasukan mengalami kebingungan dan
memerlukan petunjuk terhadap apa yang harus mereka lakukan, maka turunlah
ayat ini. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa apabila ada suatu permasalahan diantara
kaum muslimin, maka permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada al-Quran
dan Hadits.21 Dan juga berdasar petunjuk Ilahi, termasuk sunnah Rasul yang
sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat al-Imran ayat 31:
Artinya :
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
21
Al-Imam Jalaluddin as-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Quran, terj. M.
Abdul Mujieb. AS (ttp. Darul Ihya Indonesia, 1986), h. 163.
26
Berdasarkan beberapa ayat di atas yang menunjukan bahwa umat manusia
diharuskan mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, sehingga hal inilah
yang mewajibkan taqlîd syakhsi.
b. Taqlîd Mutlak.
Taqlîd Mutlak ini adalah bagian dari cara taqlîd (mengikuti) orang lain
atau madzhab tanpa mengikatkan kepada satu madzhab apapun, atau dalam arti ia
tidak terikat kepada satu madzhab saja, ia membebaskan kepada muqallid untuk
mengikuti pendapat mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakuinya22.
2. Taqlîd yang dilarang
a. Taqlîd Mahdhi
Taqlîd Mahdhi adalah suatu bentuk taqlîd kepada suatu madzhab tertentu
dan menetap tidak berpindah-pindah selama hidupnya. Dalam arti bahwa muqallid
tidak mengikuti atau mengambil pendapat selain daripada imam madzhab yang
dipegangnya, atau boleh diartikan bahwa bentuk taqlîd mahdhi ini adalah bentuk
keterikatan pada satu madzhab saja.
b. Taqlîd Jamid
Taqlîd Jamid adalah merupakan bentuk ekstrim dari taqlîd mahdhi yakni
taqlîd atau keterikatan kepada suatu madzhab tertentu secara fanatik. Taqlîd ini
hanya mengikuti pendapat satu madzhab saja dan menganggap pendapat satu
madzhab saja dan menganggap pendapat madzhab lain salah. Disisi lain ia
menganggap bahwa hanya pendapat madzhabnya yang paling benar. Hal ini
22
Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid dan Ijtihad, h. 16.
27
bertentangan dengan semangat taqlîd, yakni harus mengikuti pribadi Rasulullah.
Akan tetapi yang terjadi ia mengikuti pendapat salah seorang imam madzhab saja
dan menganggap madzhab lain adalah salah. Taqlîd ini juga bertentangan dengan
ijma’ sahabat, tabi’in dan para mujtahid golongan salaf.23
Manusia tidak boleh mengikuti apa-apa yang telah diambil dari kebiasaan
atau perbuatan leluhurnya. Karena leluhurnya belum tentu atau bahkan tidak
mendapatkan petunjuk dari Allah SWT mengenai perbuatan yang mereka lakukan
itu. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 170 :
Artinya :
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?".
Mengikuti orang tua adalah sesuatu yang wajar, bahkan merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia, khususnya ketika ia masih kecil. Saat
itu boleh jadi ia mengikuti atau meniru sebagian dari apa yang dilakukan ayah
atau ibunya, atau bahkan kakek dan neneknya. Tetapi para orang tua tidak
mustahil keliru dalam tindakkannya, baik akibat kelengahan, kebodohan, atau
keterpercayaan oleh syetan. Buktinya ada yang dilakukan kakek neneknya yang
tidak dilakukan ayah dan ibunya. Saat itu seorang anak bisa bingung. Nah, dari
sini Allah SWT dari saat kesaat mengutus para Nabi membawa petunjuk23
Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam Taklid dan Ijtihad, h. 17.
28
petunjuk-Nya untuk meluruskan kekeliruan serta mengantar kejalan yang benar.
Dari sini juga, setiap ajaran yang dibawa oleh para Nabi tidak membatalkan
semua tradisi masyarakat, tetapi ada yang dibatalkannya, ada yang sekedar
diluruskan kekeliruannya, disamping ada juga yang dilestarikan. Pembatalan,
pelurusan, dan pelestarian itu, ketiganya termasuk dalam apa yang dinamai “apa
yang di turunkan Allah SWT.”
Di sisi lain manusia mengalami perkembangan dalam pemikiran dan
kondisi sosialnya. Ilmu pengetahuan yang diperolehnya pun dari saat ke saat
bertambah, atau harus diluruskan. Itu semua melahirkan perubahan. Perubahan ini
menuntut pula perubahan tuntunan, yang sedikit atau banyak berbeda dengan
tuntunan yang pernah diberikan kepada orang tua. Tuntunan Ilahi, atau nilai-nilaiNya yang mengandung perubahan itu, termasuk juga dalam pengetian “ apa yang
di turunkan Allah”.
Dari sini sungguh keliru bila ada yang menjawab “Kami hanya mengikuti
apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Karena tidak
satu generasipun yang dapat luput dari kesalahan, sebagaimana tidak ada generasi
yang tidak mengalami perubahan.
Kekeliruan ucapan itu lebih jelas lagi jika orang tua dan nenek moyang
mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan akal sehat atau
tuntunan petunjuk Ilahi, yakni tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak juga
mendapat petujuk. Itulah yang dimaksud dengan penutup ayat ini “apakah mereka
akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?
29
Ayat ini memberi isyarat bahwa tradisi orang tua sekalipun, tidak dapat
diikuti kalau tidak memiliki dasar-dasar yang dibenarkan oleh agama, atau
pertimbangan akal yang sehat. Jika demikian, kecaman ini tertuju kepada mereka
yang mengikuti tradisi tanpa dasar, bukan terhadap mereka yang mengikutinya
berdasar pertimbangan nalar, termasuk di dalamnya yang berdasar ilmu yang
dapat dipertanggung jawabkan.24 sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat
al-Maidah ayat104 :
Artinya :
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah
untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya".
dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk ?.
Ayat ini bukan berarti bahwa bila mereka memiliki pengetahuan, maka
mereka boleh mengikuti kesesatan orang tua mereka. Pengetahuan dan kesesatan
adalah dua hal yang bertolak belakang dan tidak mungkin dapat bertemu,
sehingga bila mereka mengikuti orang tua mereka, pastilah mereka tidak memiliki
pengetahuan. Ayat di atas menggunakan redaksi demikian untuk mencatat
kemanfaatan yang menyelubungi keadaan mereka, yaitu kebodohan dan kejahuan
petunjuk Ilahi25.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran),
Jakarta : Lentera Hati, 2002, h. 381-383.
25
M. Quraish Shihab,
30
BAB III
TAQLID AKIDAH DALAM AL-QURAN
Pada bab kedua, penulis telah menjelaskan panjang lebar mengenai
definisi taqlîd, baik secara bahasa atau pun istilah, sesuai dengan apa yang
dibicarakan oleh ahli bahasa. Di dalam pembahasan tersebut, sangat jelas bahwa
kegiatan ber-taqlîd merupakan hal negatif sehingga menjadikan orang yang
melakukan taqlîd adalah orang-orang yang dianggap bodoh dan jauh dari ilmu
serta pemahaman yang mendalam, karena tidak mau menggunakan akalnya untuk
memikirkan ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi.
Selain terjerumus ke “jurang” kebodohan, ber-taqlîd juga memiliki dampak
negatif, bukan hanya kepada orang tersebut sebagai personal, akan tetapi
berdampak kepada hal yang lebih besar lagi, yaitu kemunduran bagi umat Islam,
sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh dalam bukunya Risalah
Tauhid.
“dan benarlah ucapan yang mengatakan: bahwa taqlîd itu, sebagaimana ia
terdapat dalam perkara yang hak, yang memiliki nilai manfaat. Tentu ia datang
juga dengan membawa kerusakan. Pendeknya ia menyesatkan, yang hewan
sendiri merasakan keberatan terhadapnya, karena memang taqlîd itu tidak
membawa kepada kemajuan terhadap umat Islam ”1
Menurut penulis, “label” muqallid kepada seseorang yang melakukan
taqlîd tidak mesti menjadikan orang tersebut dianggap bodoh, malah justru
sebaliknya, dia adalah termasuk orang-orang yang memiliki derajat yang tinggi di
1
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, penerjemah: Firdaus A.N., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1963), h. 17
31
hadapan Allah swt, karena mengikuti setiap perintah dan larangan Allah SWT
yang tercatat di dalam al-Quran. Dan dia juga termasuk orang-orang yang
menjaga diri dari kesalahan dalam memahami setiap hukum yang di-syari`at-kan
oleh Allah SWT dan rasul-Nya dengan mengikuti apa yang dikatakan oleh orang
yang ahli dibidangnya, seperti menentukan hukum-hukum. Walaupun Abdullah
bin Baz melarang keras perbuatan tersebut. Dia mengatakan “ilmu yang dimiliki
oleh seorang imam yang empat atau yang lain, mutlak tidak wajib mengikutinya,
karena kebenaran itu ada pada mengikuti al-Quran dan al-Sunnah, bukan bertaqlîd kepada seorang manusia”.2
Bagi penulis, pandangan Abdullah bin Baz tersebut sangat berbahaya,
kerena semua orang akan dapat menentukan hukum-hukum Islam semaunya
mereka, tanpa dasar pengetahuan sama sekali. Dan orang yang mengatakan,
bahwa “praktek taqlîd dapat mengakibatkan terhambatnya dinamika pemikiran
sebagai alat pencari kebenaran”3. Tidak perlu diterima juga secara mentahmentah, karena dalam satu kondisi taqlîd itu diperlukan dan dalam kondisi yang
lain tidak diperlukan.
Melihat posisi seorang muqallid yang berada di antara makna kebodohan
dan kemuliaan dikarenakan ber-taqlîd. Oleh karenanya harus ada sebuah garis
pembeda yang jelas di antara keduanya. Sehingga akan mudah diketahui mana
yang berada dalam kebodohan dan mana yang berada dalam kemuliaan. Dan
untuk mengetahui garis pembeda tersebut, dapat ditentukan dari, kepada siapa
2
Muhammad Ibn Hadi al-Madkhali, al-Iqna` bimâ jâ a `an aimmati al-da`wah min alaqwâl fi ittibâ`, penerjemah: Abu Ismail Fuad (Yogyakarta: Pustaka al-Haura, 2006), t.t.h, h. 117
3
Muhammad Azhar, dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, editor: Abdul
Munir Mulkhan, (Yogyakarta: SIPRES, 1999), cet 1, h. 4
32
seorang muqallid itu bersandar dan berpegang dalam menjalankan nilai-nilai
agama.
Dengan demikian, agar lebih jelas siapa yang harus diikuti dan siapa yang
harus dijauhi. Maka penulis membagi hal tersebut kedalam dua aspek, yaitu antara
perintah dan larangan ber-taqlîd beserta poin-poinnya yang akan dipaparkan
sebagaimana berikut:
A. Aspek yang diperintahkan dalam ber-taqlîd
1. Taqlîd kepada perintah Allah atau al-Quran
Di bagian awal pendahuluan dalam buku Mazhab Tafsir, Ignaz Goldziher
mengatakan “Setiap arus pemikiran yang muncul dalalam perjalanan sejarah Islam
senantiasa cenderung mencari mencari justifikasi kebenaran bagi dirinya pada
kitab suci ini (al-Quran) dan menjadikan kitab ini sebagai sandaran untuk
menunjukkan kesesuaian pemikirannya dengan Islam dan dengan apa yang
dibawa Rasulullah saw.”4 Begitulah kitab Suci Al-Quran yang merupakan otoritas
tertinggi dalam Islam. Ia adalah sumber fundamental bagi akidah, ibadah, etika
dan hukum.5
Ucapan Ignaz tersebut di atas, bagi penulis adalah sebuah bukti bahwa alQuran akan terus menjadi sebuah rujukan baik dari awal kemunculannya sampai
hari kiamat nanti. Di balik itu semua, al-Quran ternyata memiliki daya tarik
tersendiri yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain, seperti Taurat, Injil dan Jabur.
Daya tarik inilah yang membuat al-Quran selalu ingin dikaji dan digali makna4
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, Penerjemah: M. Alaika
Salamullah dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet, 3, h. 3
5
Muhammad Abdul Halim, Menafsirkan al-Quran dengan Al-Quran, (Bandung: Nuansa,
2008) cet, 1, h. 21
33
maknanya, baik oleh kalangan Islam maupun kalangan non Islam yang disebut
orientalis.
Al-Quran dengan segala makna yang terkandung di dalamnya, ternyata
tidak hanya memancarkan daya tariknya pasa saat sekarang saja, akan tetapi pada
awal kemunculannya daya tarik itu telah terpancar yaitu dari gaya bahasa yang ia
tampilkan. Di Mekkah wahyu yang diturunkan dinominasi oleh surat-surat yang
ber-ayat pendek yang di dalamnya tidak terkandung hukum syari`at, berita ghaib
dan sudah barang tentu tidak mengandung semua keistimewaan yang tersebar di
dalam al-Quran secara lengkap? Begitulah yang ditanyakan oleh Said Qutb, lalu ia
pula yang menjawabnya, “Sesungguhnya surat-surat pendek ini telah mempesona
orang-orang arab sejak detik pertamanya, padahal di dalamnya tidak terkandung
ketetapan hukum syariat dan tidak pula tujuan-tujuan yang besar. Tetapi, justrus
surat-surat pendek inilah yang memukau perasaan mereka dan membuat mereka
terkagum-kagum kepadanya.
Kalau demikian, berarti sudah pasti bahwa surat-surat yang pendek ini
telah mengandung unsur pemikat yang memukau para pendengarnya, dan
mengalahkan semua orang, baik yang mukmin maupun yang kafir. Apabila
pengaruh al-Quran diperhitungkan sebagai faktor utama yang menggiring orangorang kafir masuk Islam, maka tidak salah lagi, surat-surat pendek ini mempunyai
andil yang besar betapa pun jumlah kaum muslimin masih sedikit pada masa itu,
34
demikian itu karena kebanyakan dari mereka itu terpengaruh oleh al-Quran
semata lalu mereka mau beriman”.6
Terlepas dari daya tarik al-Quran yang mengagumkan di atas yang dapat
diketahui dari berbagai macam arah disiplin ilmu pengetahuan yang menurut
penulis adalah sebuah “kemasan” yang sangat apik agar manusia mau menjadikan
al-Quran sebagai pegangan hidup dan menjadikan Allah SWT sebagai satusatunya Tuhan yang wajib diibadahi. Selain itu juga, pada prinsipnya semua isi alQuran mulai dari surat al-Fâtihah sampai al-nâs, menurut penulis kesemuanya
akan mengerucut kepada penegasan peng-esa-an Allah SWT, bahwa hanya Dialah Tuhan yang wajib disembah dan juga ditaati dengan berbagai macam bentuk
dan cara ketaatan. Sebuah contoh, ketika seseorang yang mengamalkan sepotong
ayat dari al-Quran dan tentu adalah orang yang beriman kepada Allah SWT yang
mana ayat tersebut tidak ada kalimat perintah secara eksplisit, hal itu menandakan
bahwa dia telah melakukan taat kepada Allah SWT. Seperti ia ingin mengamalkan
ayat
yaitu ingin termasuk menjadi orang-orang
bertaqwa, kalimat “lilmuttaqîn” adalah kalimat berita sekaligus memiliki isyarat
kalimat perintah agar umat manusia khususnya umat Islam harus menjadi orangorang bertakwa sedangkan perintah tersebut harus ditaati.
Sebagaimana prinsip dasar yang telah penulis kemukakan tadi, dan ayatayat yang berbicara tentang keharusan patuh kepada setiap perintah dan larangan
Rasul, keharusan bertanya kepada ahl Dzikr, meninggalkan ketergantungan taqlîd
6
Sayyid Qutb, Keindahan al-Quran yang Menabjubkan, penerjemah: Bahrun Abu Bakar,
(Jakarta: Robbani Press, 2004), cet 1,h. 29
35
kepada nenek moyang, ruhbân, kesyirikkan dan juga kepada ketergantungan
terhadap informasi yang tidak berdasar sama sekali yang akan dibahas pada poinpoin selanjutnya, menurut penulis adalah ayat-ayat yang secara tidak langsung
memerintahkan, agar patuh kepada Allah SWT.
2. Taqlîd kepada Rasulullah
Tidak sempurna keimanan seseorang yang hanya mengaku beriman
kepada Allah tanpa mengaku akan kenabian Muhammad saw. selain itu juga ia
tidak mau mengikuti semua yang dibawa oleh baginda Rasul. Apabila kejadianya
seperti itu, maka dengan demikian keimanannya tertolak dan sudah pasti dia
masih tetap berada dalam jurang kekufuran. Karena firman Allah:
Artinya:
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan
ingkar terhadap sebahagian yang lain? (QS. al-Baqarah: 85)
Sebuah pertanyaan inkari dari Allah kepada orang-orang Israil tentang
penerimaan dan penolakan mereka terhadap sebagian ayat-ayat yang ada di dalam
Taurat. Pertanyaan ini pun juga diajukan kepada orang-orang yang mengaku
beriman kepada Allah dan tidak mau mengikuti perintah Rasul. Karena apabila
seseorang yang mangaku beriman kepada Allah tetapi dia tidak beriman kepada
Nabi Muhammad s.a.w dalam artian tidak mau mengikuti ajaran-ajaran beliau
dengan alasan merasa cukup dengan berpegang teguh terhadap al-Quran saja.
Perbuatan seperti ini sama seperti memilah-milah ayat dan beriman kepada ayat
satu dan tidak beriman kepada ayat yang lain. Sebagaimana diketahui banyak
ayat-ayat dalam al-Quran sendiri terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang
36
perintah untuk mentaati setiap para rasul, khususnya Nabi Muhammad saw,
seperti ayat berikut ini:
Artinya:
Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati
dengan seizin Allah (QS: al-Nisa: 64)
Membaca arti dari ayat di atas, sangat mudah memahami maksud ayat
tersebut, akan tetapi alangkah lebih baik, jika melihat apa dan bagaimana
pandangan para mufassir terhadap ayat tersebut. Penulis memulai dengan
pendapat Al-Baidâwî: “
” memahami ayat ini
dia mengatakaan “dengan sebab izin Allah SWT utusan tersebut ditaati dan Allah
SWT juga memerintahkan kepada orang atau kelompok yang diutus agar
menataati dia. Ini adalah dasar dalil untuk menolak orang-orang yang tidak mau
berhukum dengan apa yang telah Ia tetapkan”7.
Sama halnya Al-Baidâwî, al-Râzî dengan “spirit” makna yang tak jauh
berbeda juga memahami demikian ayat tersebut. tetapi point plus-nya al-Râzî
dalam kitab tafsirnya Mafâtih al-Ghaib, secara langsung mengkritik alira-aliran
kepercayaan yang berkembang pada masanya, yaitu, dengan mengutip apa yang
telah dikatakan `Alî al-Jabâî, bahwa makna ayat tersebut (seolah-olah Allah
mengatakan) “Saya tidak mengutus seorang rasul kecuali saya berkeinginan agar
dia itu ditaati serta diakui kebenarannya dan saya tidak mengutusnya agar
dilanggar.” Dan masih menurut al-Jabâî, ia mengatakan “dan ini adalah petunjuk
7
Al-Badâwî, tafsîr al-Badâwî, juz 1, h. 468
37
akan kesesatan kelompok al-Mujabbarah yang mengatakan: Allah SWT mengutus
seorang rasul agar tidak ditaati, dan ketidaktaatan menunjukan bahwa mereka
kekal di dalam kekufuran. Jadi dalam ayat ini Allah telah mencatat kebohongan
mereka, walaupun di dalam al-Quran tidak secara jelas menunjukkan batalnya
ucapan mereka, akan tetapi ayat ini telah mencukupinnya. Kelompok alMujabbarah juga mengatakan “diutusnya seorang rasul agar ditaati sekaligus
dilanggar” hal tersebut menunjukkan kemaksiatan mereka kepada rasul, adalah
sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah SWT dan Allah tidak menginginkan
kecuali Ia ditaati.8
Ayat-ayat yang berhubungan dengan taqlîd kepada Rasulullah
a. Nabi sebagai penjelas al-Quran
Tugas Nabi Muhammad saw sebagai seorang utusan, tidak hanya sebatas
menyampaikan pesan-pesan Allah kepada umat manusia. Dia juga bertugas
menjelaskan apa yang yang sekiranya belum dipahami oleh para pengikutnya.
Tugas inilah yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surat al-Nahl ayat 44 yang
berbunyi:
Artinya:
Dan kami turunkan kepadamu al-Qur`an, agar kami menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan
supaya mereka memikirkan. QS. al-Nahl, 44
Ayat 44 dari surat al-Nahl di atas sangat berkaitan erat dengan ayat
sebelumnya, yaitu ayat 43 yang berbunyi:
8
Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 264
38
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.
Al-Qurtubî mejelaskan bahwa, ayat tersebut di turunkan untuk orangorang musyrik Mekkah yang ingkar akan kenabian Muhammad saw., lalu mereka
berkata “Allah sangatlah Maha Agung untuk mengutus seorang manusia (kepada
kami), kenapa Allah tidak mengutus seorang malaikat saja?”. Untuk membantah
mereka, maka Allah menurunkan ayat tersebut
Adapun makna kalimat
, menurut al-Qurtubî yaitu
seolah-olah Allah mengatakan “Hai Muhammad! Kami tidak mengutus kepada
umat-umat terdahulu, kecuali seorang utusan yang berasal dari kalangan bangsa
Adam sendiri. Dengan demikian, ini merupakan sebuah berita bahwa semua
utusan Allah adalah manusia biasa.9 Bagi penulis sendiri, diutusnya seorang
utusan yang berasal dari kalangan manusia adalah anugerah dan rahmat yang tak
terhingga. Bisa dibayangkan, seandainya utusan itu adalah malaikat yang tidak
makan, tidak minum, tidak tidur, tidak ada rasa lelah dalam beribadah dan umat
manusia disuruh untuk mengikuti segala tindak tanduk malaikat tersebut, sudah
tentu sebagai manusia yang memiliki batas jenuh tanaga, tidak akan mampu
mengikutinya.
Melanjutkan penjelasan ayat 44 dari surat al-Nahl, ketika Allah mengutus
Nabi Muhammad saw ke tengah-tengah umatnya, Dia juga membekalinya dengan
9
Al-Qurtubi, Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`an, Muhaqqiq: Hisyâm Samîr al-Bukârî (Riyad, dâr
„âlam al-kutub, 2003), juz 10 h. 108
39
kitab agar bisa dijadikan pegangan dan petunjuk dalam meniti jalan menuju-Nya.
kitab tersebut bernama al-Quran yang memiliki nama lain yaitu, al-Dzikr
(pengingat). Dan tugas dari baginda Rasul adalah menjelaskan setiap makna ayatayat dari al-Quran.
Berkaitan dengan tugas untuk menjelaskan ayat-ayat yang diemban oleh
Rasulullah. Pada saat sampai di firman Allah “
” al-Qurtubî
mengatakan: “di dalam al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang
hukum-hukum, janji, ancaman, apa yang engkau ucapkan dan engkau lakukan,
maka Rasul saw menjelaskan tentang apa yang Allah swt maksudkan yang masih
bersifat global baik itu ayat-ayat tentang hukum-hukum, salat zakat dan lain-lain
yang belum ada perinciannya”10
Artinya:
Dan kami tidaklah menurunkan kepadamu kitab, kecuali agar
engkau menjelaskan kepada mereka hal-hal mereka perselisihkan, serta
sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.QS. al-anhl:
64
Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad saw: ”kami tidak mengutus
engkau hai Muhammad (dengan membawa kitab yang telah ada padamu) sebagai
seorang Rasul kepada hamba-hamba kami, kacuali engkau menjelaskan kepada
mereka apa yang perselisihkannya, berkaitan dengan masalah agama Allah,
sehingga mereka mengetahui kebenaran antara yang hak dan yang batil dan
10
Al-Qurtubi, Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`an (Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003), juz 10 h. 109
40
mereka juga dapat berdiri di atas kebenaran dari bukti-bukti kebenaran Allah yang
dengannya Dia telah mengutusmu”11
Dan adapun firman Allah swt “
” yaitu bahwa kitab
tersebut atau al-Qur‟an adalah sebagai penjelas, sehingga nampak mana yang
sesat dan itu merupakan sebuah rahmat bagi orang-orang yang beriman kepadanya
Diantara tugas Rasulullah saw, beliau menjelaskan-baik dengan lisan
maupun perbuatan-hal-hal yang masih global dan sebagainya di dalam al-Quran.
Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah swt, tentu saja penjelasan terhadap isi
al-Quran itu bukanlah sekedar membaca. Banyak ayat-ayat al-Quran yang
memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw.12
b. Rasul sebagai seorang yang patut diteladani
Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasullah itu suri teladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat dan
kedatangan hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah. QS.al-Ahzâb:21
11
Abû Ja‟far Al-Tabarî,Jâmi‟ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad
Muhammad Syâkir (Muassasah al-Risâlah, 2000) cet 1, juz 17, h. 236
12
MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa
Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),cet, 4, h.27
41
Artinya:
Dari Sa‟ad Ibn Hisyâm dia berkata, “Aku pernah mendatangi „Âîsyah dan
bertanya kepadanya, hai Umm al-Mu‟minîn ceritakan kepadaku mengenai akhlak
Rasulullah saw, lalu beliau menjawab: Akhlak Rasul adalah al-Qur`an. Apakah
kamu tidak membaca firman Allah di dalam al-Qur‟an {
dan
aku pun berkata lagi, sesungguhnya aku ingin membujang selamanya, lalu
„Âîsyah menjawab “jangan kamu melakukan itu, apakah kamu tidak membaca
firman Allah di dalam al-Quran?”
Sungguh Rasul saw juga menikah dan juga memiliki ana. Riwayat Ahmad
c. Rasulullah Wajib Ditaati
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu
mendengar (perintah-perintah-Nya), QS. al-anfâl:20
Membahas firman Allah
,al-Qurtubîî
mengatakan “Objek yang diajak pada ayat tersebut adalah orang-orang mukmin
dan kelompok yang memeiliki derajat al-Musaddiqîn. Dan mereka adalah satusatunya khitâb selain kelompok munafik, karena Allah ingin mengagungkan
mereka. Allah memperbaharui perintah kepada mereka agar mematuhi Allah dan
Rasul dan melarang mereka untuk berlaing darinya” menurut al-Qurtubî, apa yang
dia kemukakan di atas sesui dengan pandangan juhûr ulama ahli tafsir. Tetapi ada
42
sebagain kelompok yang berpandangan lain, mereka mengatakan “khitâb atau
seruan ajakan dari ayat tersebut, objeknya adalah orang-orang munafik. Jadi
seolah-olah maksud ayat itu berbunyi: Hai orang-orang yang hanya beriman
dengan lisan mereka saja”. Pendapat kelompok ini, dibantah oleh Ibn „Atiyyah,
dia mengatakan ”seandainya pandangan dari kelompok tadi maknanya adalah
bagian dari ayat itu, maka ini merupakan pandangan yang lemah, karena Allah
swt mensifati orang yang menjadi ojek seruan dengan kata-kata iman, dan iman
sendiri adalah membenarkan. Sedangkan orang-orang munafik tidak memiliki
sifat itu sama sekali”13
Artinya:
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. QS. alNisa:80
Mengenai ayat
al-Alusi mengatakan, “ini
adalah penjelasan hukum tentang risalah Rasul saw, sebuah jejak penjelas yang
sangat nyata. Hal tersebut sangat perlu, karena yang memerintah dan melarang
pada hakekatnya adalah hak progratif Allah swt. Sedangkan Rasul sendiri sekadar
menyampaikan apa yang diperintah dan dilarang, maka bukanlah disebut harus
taat kepada diri Rasul, akan tetapi harus taat kepada Dzat yang telah menyuruhnya
untuk menyampaikan.”14
148
13
Al-Qurtubi, Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur`an (Riyad, dâr „âlam al-kutub, 2003), juz 7, h. 387
14
Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 4. H.
43
Melihat pemaparan al-Alusî, penulis memahami bahwa yang dimaksud taat
kepada Rasul adalah bukan taat kepada seseorang yang bernama Muhammad Ibn
Abdullah, akan tetapi ketaatan itu dilihat dari sisi Muhammad Ibn Abdullah yang
berposisi sebagai seorang Rasul atau utusan Allah.
Sejarah banyak berbicara yang direkam di dalam hadis-hadis Nabi, bahwa
tidak semua perintah yang di ucapkan Rasul kepada para sahabat-sahabatnya itu
dituruti oleh mereka, seperti contoh dalam hadis yang diriwayat oleh imam
Ahmad.
Artinya:
Dari „Âîsyah r.a. (dia bercerita): (pada suatu waktu) Usâmah
tergelincir atau terjatuh di depan pintu dan Rasulullah saw. menyuruh
saya “(hai „Âîsyah) bersihkan kotoran itu dari wajahnya!!” (karena merasa
jijik) maka saya menolak permintaan beliau. Lalu Rasul saw, mencuci
wajahnya sambil berkata: “bila Usâmah seorang perempuan, aku akan
menghiasinya dengan perhiasan-perhiasan dan akan mengeluarkan uang
untuknya”
Dari hadis di atas dapat dilihat, bahwa penolakan „Âîsyah atas perintah
Rasul bukanlah sebuah bentuk pembangkangan terhadap utusan Allah, karena
dalam seperti kasus di atas, posisi Muhammad Ibn Adullah bukan berstatus
44
sebagai seorang Rasul, akan tetapi seorang manusia biasa yang berperan sebagai
suami bagi bunda „Âîsyah.
Masih melanjutkan penjelasan al-Alûsi, dia mengatakan “dalam sebagian
riwayat yang bersumber dari Muqâtil, bahwa Nabi saw bersabda: Siapa yang
mencintaiku maka dia telah mencintai Allah Ta`âla dan siapa yang taat kepadaku
maka dia telah taat kepada Allah, mendengar sabda tersebut, orang-orang
munafik pun berkata: apakah kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan
oleh laki-laki ini? Uncapan yang mendekati kesyirikan. Dia melarang untuk tidak
menyembah kepada selain Allah, (tapi lihat ) apa yang dia mau? Dia ingin kami
menjadikannya sebagai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Umat Nasranî
terhadapa „Îsâ „Alaihi al-Salâm, maka turunlah ayat tersebut.15
Berkaitan dengan surat al-Nisâ` ayat 80 di atas, sebelumnya pada surat Alu
„Imrân ayat 31, Allah swt telah memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan
sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S Alu „Imrân: 31
Mengenai penjelasan ayat ini, penulis akan mengutip penafsirannya
Wahbah al-Zuhailî. Dia mengatakan “bentuk cintanya Allah terhadap hamba-Nya
adalah dengan memberikannya nikmat berupa ampunan, karena pada tempat lain,
15
148
Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 4. H.
45
yakni dalam surat al-Rûm ayat 45 Allah telah berfirman
(artinya: sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir) yang maksudnya
yaitu: Allah tidak akan mengampuni mereka.16
Dalam ayat ini, lanjut wahbah, Allah mengatakan “katakan kepada
mereka hai Muhammad, jika kalian benar-benar cinta kepada Allah dan berharap
pahala darinya, maka kerjakan setiap apa yang telah Allah turunkan melalui
wahyu, yakin Allah akan meridoi dan mengampuni kalian, dengan kata lain kalian
akan mendapatkan hal yang lebih besar atas cinta kalian kepada Allah, yaitu
berupa cinta Allah kepada kalian dan ini adalah lebih besar dari yang pertama”17
Telah panjang lebar penulis mengutip ayat-ayat Allah tentang keharusan
mengikuti Rasul beserta penafsiran para ulama mengenainya. Untuk menguatkan
hal tersebut, maka penulis juga membawakan firman Allah, yang dengan tegas
memerintahkan:
Artinya:
Apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu maka
terimalah (kerjakanlah) ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah QS. al-Hasyr:7
Perintah untuk ber-taqlîd kepada Rasul sudah sangat jelas termaktub
dalam al-Qur`an. Lalu apa balasan bagi orang taat kepada Rasul?. Menjawab
pertanyaan ini sekaligus mengakhiri pembahasan taqlîd kepada Rasul, sekali lagi
16
Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 3, h. 206
17
Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 3, h. 207
46
penulis
akan mengutip apa yang telah dikatakan oleh ar-Razî, ketika dia
menafsirkan firman Allah yang berbunyi:
Artinya:
Dan barang siapa yang mengikuti Allah dan Rasul-Nya, mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh
Allah, yaitu para nabi, para shiddiqîn, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaikbaiknya.QS. al-Nisa: 69
Ketahuilah, bahwa ketika Allah memerintahkan untuk taat kepada Allah
dan al-Rasûl dengan berfirman
] 59 kemudian diulangi lagi dengan berfirman
[}
64
setelah itu, Allah memberikan kabar gembira atas ketaatan itu
pada surat yang sama di ayat selanjutnya dengan berfirman:
}
68 66
18
Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 273
47
Setelah berbicara panjang lebar mengenai sebab-sebab turunnya dari tiaptiap ayat diatas19, al-Razî lalu mengatakan dengan mengutip perkataan para
peneliti hadis pada masanya “kami tidak mengingkari sahihnya riwayat-riwayat
ini, karena ada hal yang lebih besar dari penyebab turunnya sebuah sebuah ayat,
yaitu taat kepada utusan dan kabar gembira bagi yang mentaatinya. Engkau telah
mengetahui bahwa khususnya sebab tidak merusak ke umuman lafaz. Dan ayat ini
sangatlah umum untuk setiap para mukallaf, yakni, setiap orang yang taat kepada
Allah dan al-Rasûl , maka akan bahagia dengan derajat yang tinggi dan
kedudukan yang mulia di sisi Allah ta`âlâ”
3. Taqlîd kepada ahl-Dzikr
Bertaklîd kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban yang tak bisa
ditawar-tawar lagi, semuanya tersebar di dalam al-Quran dan terekam di dalam
kitab-kitab hadis. Tetapi, tidak semua orang mampu untuk memahami, paling
19
Berikut ini, penulis mengutip perkataan al-Razî secara lengkap, berkaitan dengan
sebab-sebab turunnya ayat yang ia maksud:
‫ سس٘ه اهلل‬ٚ‫ِ أُ ث٘ببُ ٍ٘ى‬ٝ‫ جَع ٍِ اىَفسش‬ٙٗ‫ س‬: ‫ األٗه‬: ‫ سبب اىْزٗه ٗجٕ٘ب‬ٜ‫رمشٗا ف‬
‫ش‬ٞ‫ٍ٘ب ٗقذ حغ‬ٝ ٓ‫ فأحب‬، ْٔ‫و اىصبش ع‬ٞ‫ٔ ٗسيٌ قي‬ٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫ذ اىحب ىشس٘ه اهلل صي‬ٝ‫ٔ ٗسيٌ مبُ شذ‬ٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫صي‬
‫ب‬ٝ ‫ فقبه‬، ٔ‫ٔ ٗسيٌ عِ حبى‬ٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫ فسأىٔ سس٘ه اهلل صي‬، ٖٔ‫ ٗج‬ٜ‫ٗجٖٔ ّٗحو جسَٔ ٗعشف اىحزُ ف‬
‫ فزمشث‬، ‫ أىقبك‬ٚ‫ذة حخ‬ٝ‫ل ٗاسخ٘حشج ٗحشت شذ‬ٞ‫ ئرا ىٌ أسك اشخقج اى‬ّٜ‫ش أ‬ٞ‫ ٗجع غ‬ٜ‫سس٘ه اهلل ٍب ب‬
‫ذ‬ٞ‫ دسجت اىعب‬ٜ‫ِ ٗأّب ف‬ٞٞ‫ دسجبث اىْب‬ٜ‫ ئُ أدخيج اىجْت فأّج حنُ٘ ف‬ّٜ‫ أل‬، ‫خشة فخفج أُ ال أساك ْٕبك‬ٟ‫ا‬
ٍِ ‫ ئُ ّبسب‬: ٛ‫ قبه اىسذ‬: ّٜ‫ اىثب‬. ‫ت‬ٟٝ‫ فْزىج ٕزٓ ا‬، ‫ْئز ال أساك أبذا‬ٞ‫ ٗئُ أّب ىٌ أدخو اىجْت فح‬، ‫فال أساك‬
. ‫ت‬ٟٝ‫ف ّصْع؟ فْزىج ا‬ٞ‫ فن‬، ‫ل‬ٞ‫ ّٗحِ ّشخبق اى‬، ‫ أعالٕب‬ٜ‫ب سس٘ه اهلل ئّل حسنِ اىجْت ف‬ٝ : ‫االّصبس قبى٘ا‬
ٍِ ‫ب سس٘ه اهلل ئرا خشجْب‬ٝ : ٌ‫ٔ ٗسي‬ٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫ صي‬ٜ‫ سجو ٍِ االّصبس قبه ىيْب‬ٜ‫ ّزىج ف‬: ‫ قبه ٍقبحو‬: ‫اىثبىث‬
‫ف ىْب‬ٞ‫ فن‬، ‫ اىجْت‬ٜ‫ ثٌ رمشث دسجخل ف‬، ‫ل‬ٞ‫ ّشجع اى‬ٚ‫ء حخ‬ٜ‫ْفعْب ش‬ٝ ‫ فَب‬، ‫ل‬ٞ‫ْب اشخقْب اى‬ٞ‫ إٔبى‬ٚ‫عْذك ئى‬
ٕ٘ٗ ٓ‫ االّصبس ٗىذ‬ٚ‫ٔ ٗسيٌ أح‬ٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫ صي‬ٜ‫ اىْب‬ٜ‫ فيَب ح٘ف‬، ‫ت‬ٟٝ‫خل ئُ دخيْب اىجْت؟ فأّزه اهلل ٕزٓ ا‬ٝ‫بشؤ‬
ُ‫ أ‬ٚ‫ئب بعذٓ ئى‬ٞ‫ ش‬ٙ‫ ال أس‬ٚ‫ حخ‬َْٜ‫ اىيٌٖ أع‬: ‫ فقبه‬، ٌ‫ٔ ٗسي‬ٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫ صي‬ٜ‫قت ىٔ فأخبشٓ بَ٘ث اىْب‬ٝ‫ حذ‬ٜ‫ف‬
ٍِْٞ‫ ئُ اىَإ‬: ِ‫ قبه اىحس‬: ‫ اىشابع‬. ‫ اىجْت‬ٜ‫ذا فجعئ اهلل ٍعٔ ف‬ٝ‫ حبب شذ‬ٜ‫حب اىْب‬ٝ ُ‫ فنب‬، ّٔ‫ ٍنب‬َٚ‫ فع‬، ٓ‫أىقب‬
ٔٞ‫ اهلل عي‬ٚ‫ صي‬ٜ‫ فحزُ اىْب‬ٚ‫ األٗى‬ٚ‫خشة سفعج ف‬ٟ‫ فبرا مبّج ا‬، ‫ب‬ّٞ‫ ٍبىْب ٍْل ئال اىذ‬: ً‫ٔ اىسال‬ٞ‫ عي‬ٜ‫قبى٘ا ىيْب‬
‫ت‬ٟٝ‫ فْزىج ٕزٓ ا‬، ‫ٗسيٌ ٗحزّ٘ا‬
20
Fakhru al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 5, h. 273
48
tidak mendekati kebenaran apa yang dimaui oleh Allah dan juga Rasul-nya.
Ketidak mampuan ini yang mengharuskan seseorang bertanya kepada orang yang
memang berkompoten dalam bidangnya. Firman Allah swt
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Q.S. alNahl:43
Menafsirkan ayat ini, terutama mengenai kalimat
al-
Tabarî dalam tafsirnya mengutip beberapa riwayat yang menceritakan makna dari
ayat tersebut. agar tidak teralu panjang penyebutan para perawinya, maka di sini,
penulis hanya akan merangkum apa yang telah ditulis oleh al-Tabarî. Jadi yang
dimaksud ahl Dzikr adalah: ahl al-Taurâh dan ahl Injîl atau
ahl al-Kitâb.
Kemudian al-Tabarî menceritakan: “ketika Allah menjadikan Muhammad sebagai
seorang rasul, orang-orang Arab pada waktu itu mengingkarinya atau ada di
antara mereka ada yang mengingkarinya, lalu mereka berkata:Allah sangat
Agung untuk menjadikan manusia seperti Muhammad sebagai utusan-Nya” untuk
membantah ucapa mereka, maka Allah menurunkan ayat:
Bertanyalah kepada ahl al-Dzikr yaitu para ahli kitab terdahulu, apakah
para utusan yang telah datang kepadamu adalah manusia ataukah malaikat.
49
Apabila mereka terbukti malaikat, maka kalian boleh mengingkari dan apabila
mereka adalah manusia, maka janganlah kalian mengingkari Muhammad sebagai
seorang utusan.21
Sejalan dengan Abû Ja‟far Al-Tabarî, Al-Alusi mengatakan, bahwa yang
dimaksud ahl Dzikr dalam surat al-Nahl ayat 43 di atas adalah ahlul kitab dari
kelompok Yahudi dan Nasrani, dan ini adalah pendapat yang ia kutip dari Ibn
Abbâs, al-Hasan dan lain-lain.22 Akan tetapi berbeda halnya dengan al-Qurtubî
setelah mengutip pendapatnya Ibn Abbâs dan Mujâhid, yang berpendapat bahwa,
makna ahl al-Dzikr adalah ahl-Al-Qur`an dan pendapat sebagian kelompok yang
menafsirkan ahl al-Dzikr sebagai ahl al-„Ilm. Melihat kedua pendapat tersebut, alQurtubî mengatakan “bahwa kedua makna tersebut tidak jauh berbeda”23
Mengetahui sebab turunnya ayat sangatlah perlu, karena dengan begitu,
akan menguatkan pemahaman terhadap makna-makna yang terkandung di dalam
al-Quran. Ini merupakan pendapat Abû al-Fath al-Qusyairî yang dikutip oleh alZamakhsyarî dalam kitabnya al-Burhân.24
Penulis tidak menolak pendapat di atas, akan tetapi ketika melihat
kenyataan bahwa al-Qur‟an diperuntukan kepada seluruh manusia, dari zaman
ketika diturunkannya sampai hari kiamat nanti, maka penulis lebih cenderung
kepada makna ahl al-Dzikr sebagai ahl „Ilm. Karena ahl „Ilm bentuknya lebih
21
Abû Ja‟far Al-Tabarî,Jâmi‟ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad
Muhammad Syâkir (Muassasah al-Risâlah, 2000) cet 1, juz 17, h. 209
22
Lihat tafsir al-alusi, juz 10 hal. 171
23
Al-Qurtubi. H. 108
24
Al-Zamakhsyarî, al-Burhân, juz 1, h. 32
50
umum dan berlaku sampai sekarang dari pada memakai makna
ahl Kitab.
Sehingga wajar imam al-Suyûtî lebih memilih makna yang diambil dari
keumuman lafaz (ayat) dari pada makna yang diambil dari sebab turunnya ayat
yang bersifat khusus.25
B. Aspek yang dilarang dalam ber-taqlid
1. Taqlîd kepada tradisi nenek moyang
)170(
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepda mereka: “ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah,” mereka menjawab: “tidak, kami akan tetap mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami” (apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?
Menurut al-Tabarî yang dimaksud oleh firman Allah dalam kalimat:
” yaitu seolah mengajak “Amalkanlah oleh kalian apa-apa yang
telah Allah turunkan di dalam kitabnya kepada rasulnya, oleh karenanya,
halalkanlah apa yang ia halalkan dan haramkanlah apa yang ia haramkan dan
jadikanlah ia sebagai imam yang kalian ikuti dan tetap mengikuti apa yang telah ia
hukumi”26
Lebih lanjut al-Tabarî mengatakan, “orang-orang kafir itu apabila diajak,
makanlah dari apa-apa yang telah Allah halalkan kepada kalian dan jauhilah
25
Al-Suyûtî, al-Itqân fî al-„Ulûm al-Qur`an, muhaqqiq: Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm
(Mesir: al-Hai`ah al-Misriyyah al-„Âmah lil kutub, 1973), juz 1, h. 110
26
Muhammad Ibn Jarâr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, muhaqqiq:
Ahmad Muhammd Syâkir, (Muassasah al-Risalah, 2000)cet, 1 juz 3 h. 306
51
langkah-langkah syaitan serta jalan-jalannya. Dan beramalah dengan apa yang
telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya saw di dalam kitab-Nya (al-Quran).
Mereka itu membangkang atas seruan kebenaran lalu berkata “tidak!! Kami turut
dan mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami, kami akan
menghalalkan apa yang mereka halalkan dan mengharamkan apa yang mereka
harmkan juga”27
Adapun ayat
Menurut al-Tabarî yaitu: nenek moyang
orang-orang kafir tersebut yang telah lebih dulu kafir kepada Allah Yang Maha
yaitu mereka tidak mengetahui tentang agama Allah dan
Agung
kefarduan-kefaduannya, baik itu berupa perintah maupun larangannya, walaupun
demikian mereka tetap mengikuti laku, perbuatan dan jalan hidup mereka, orangorang yang tidak mendapat petunjuk dan juga tidak bisa memberikan petunjuk
kepada orang lain. Berdasarkan ayat ini, Allah seperti “mengejek” mereka dengan
berkata “Hai manusia, bagaimana kalian mau mengikuti mereka dengan keadaan
mereka seperti itu?”28
2. Larangan mengikuti mengikuti ajaran Ruhbân
Penulis sebelumnya telah membicarakan kebolehan untuk bertanya kepada
orang yang lebih ahli di bidangnya, jika mengikuti bahasa yang dipakai al-Qur‟an
yaitu ahl Dzikr, ketika seseorang merasa tidak mampu dalam menyelesaikan
27
Muhammad Ibn Jarâr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 3 h 307
28
Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 3 h 307
52
permasalahannya, lalu tumbuh menjadi sebuah tanda tanya besar di pikirannya
yang tak berkesudahan, apabila tidak ditanyakan.
Kebolehan ini tidak berarti memilik nilai bebas untuk mengikuti setiap
ucapan dari seorang ahli atau pun seorang ulama, atas jawaban dari pertanyaan
tersebut, sehingga kepada hal yang bertetangan dengan akal sehat dan juga
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Isyarat agar tidak mengikuti ucapan atau fatwa-fatwa yang bertentangan
dengan ketentuan dasar al-Qur‟an dan al-Hadîts, dapat dilihat dari bagaimana
Allah menceritakan, kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengikuti
setiap perkataan ulama-ulama meraka, walaupun itu menyalahi kitab-kitab mereka
sendiri. Dan ini adalah bentuk lain dari kesyikirikan29, Firman Allah:
Artinya:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih
putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang
Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan.(Q.S al-Taubah: 31)
Ahbâr adalah sebutan bagi ulama Yahudi, sedangkan Ruhbân adalah
ulama Nasrani30 mereka merupakan orang-orang yang dipercayakan ber-ijtihâd
dalam urusan keagamaan.31 Kata ruhbân adalah bentuk jamak dari kata râhib
yang
berarti orang-orang yang takut, karena saking takutnya, mereka
29
Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 7, h. 186
30
Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 7, h.
31
Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 17, h. 208
210.
53
meninggalkan kesibukan urusan dunia, menjauhi kenikmatan-kenikmatan,
melakukan zuhud, uzlah dan ada pula sebagian dari mereka melakukan keberi,
juga menyiksa diri dengan cara mengikat rantai di leher mereka dan penyiksaanpenyiksaan lain. Maka dari sinilah alasan Rasul mengatakan “tidak ada kerahiban
di dalam Islam”32
Pada ayat 31 dari surat al-Taubah tersebut, Allah swt menyamakan
mengikuti ucapan para ahbâr serta ruhbân dan mentuhankan nabi „Îsâ adalah
salah satu bentuk penyekutuan terhadap Allah. Ucapan yang dimaksud adalah
sebagaiman hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabarî dalam tafsirnya yaitu:
Artinya:
Kata al-Tabari, teleh bercerita kepada kami Abû Kuraib dan Ibn
Wakî‟, mereka berdua berkata: telah menceritakan kepada kami Mâlik Ibn
Ismâ;il=
Telah bercerita kepada kami Ahmad Ibn Ishaq, dia berkata: telah
bercerita kepada kami Abu Ahmad= Yang semuanya bersumber dari Abd
32
210.
Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 7, h.
54
Al-Salâm Ibn Harb, dia berkata telah bercerita kapada kami Ghatîf Ibn
A‟yun dari Mus‟ab Ibn Sa‟ad dari „Adî Ibn Hâtim dia berkata: “Saya
pernah mendatangi Rasulullah saw, dan saya waktu itu sedang memakai
kalung salib emas dileher saya, lalu Rasul bersabda: Hai „Adî buang
berhala itu dari leher kamu, kemudian saya membuangnya. Pada saat itu
juga, beliau membaca surat al-Barâ‟ah (al-Taubah) yaitu ayat ini:
(mendengar ayat tersebut, dengan
maksud protes) saya berkata kepada beliau: Hai Rasulullah, kami tidak
menyembah
mereka,
lalu
Nabi
menjawab:
bukankah
mereka
mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan kalian pun ikut
mengharamkannya dan mereka telah menghalalkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan kalian juga ikut menghalalkannya? Lalu aku menjawab, ya
benar. Terus Nabi bersabda “Nah, itulah bentuk Ibadah mereka”33
Menurut pandangan wahbah Zuhailî, Mereka melakukan hal tersebut,
karena untuk meninggalkan hukum-hukum Allah. Seperti diketahui, bahwa orangorang Yahudi telah mencampur hukum-hukum buatan ulama-ulama mereka ke
dalam taurat, sedangkan orang-orang Nasrani telah merubah hukum-hukum dalam
kitab taurat, lalu membuat hukum-hukum baru dalam bidang ibadah dan
muamalah.34
33
Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟ al-Bayân fî al-ta`wîl al-Qur`ân, juz 17, h. 210
34
Wahbah al-Zuhailî,al-Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) juz 7, h. 183
55
3. Taqlîd kepada kesyirikan
Syirik merupakan kebalikan dari iman kepada ke-Tuhan-an Allah swt. Apabila
iman merupakan peng-esa-an Allah, maka beribadah semata-mata karena Allah
adalah sesuatu sangat penting dan sangat besar.35 Dalam urutan tingkatan dosa,
Syirik berada di posisi pertama dan teratas yang pelakunya tidak akan diampuni
oleh Allah swt sebagaimana Firman-Nya;
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar Q.S al-Nisâ: 48
Pada ayat lain, Allah mengkisahkan cara luqmân mendidik anaknya.
Pelajaran pertama yang ia kasih adalah jangan sekali-kali mensektukan Allah,
karena perbuatan demikian merupakan suatu kezaliman yang sangat besar, Firman
Allah:
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar" Q.S Luqmân: 13
35
Abd al-„Azîz Ibn Muhammad Âlu „Abd al-Tîf, al-Tauhîd li al-Nâsyi‟ah wa alMubtadi`în, (Mekkah: Wizârah al-Syu`ûn wa al-Auqâf wa al-Da`wah al-Irsyâd, 1422H), cet, 1, h.
37
56
Mengetahui betapa besarnya dosa perbuatan syirik, seseorang yang apa
bila diajak untuk melakukannya maka wajib dia menolaknya, walaupun itu orang
tuanya sendiri. Penegasan ini telah ditetapkan oleh Allah, masih dalam Surat
Luqmân sebagaimana berikut.
Artinya:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan Q.S Luqmân 15
4. Taqlîd “buta” tanpa dasar informasi yang benar
Pada bagian keempat ini, merupakan poin kunci seluruh pembahasan yang
berkaitan dengan taqlîd, baik itu berupa kewajiban ber- taqlîd maupun
larangannya. Karena pada dasarnya, seseorang itu dituntut untuk mencari ilmu
pengetahuan agar keimanannya kepada Allah serta cara beribadah kepada-Nya
tetap terjaga dan dia juga tidak terjerumus kepada jurang kebodohan.
Untuk mencapai ilmu dan pengetahuan, Allah telah memberikan bekal
untuk hal itu, berupa pendengaran, penglihatan dan hati. Yang mana dengan
mendengar kita dapat memperoleh pengetahuan, begitu juga dengan analisis
penglihatan dan penelitian, sampai pada tingkat supranatural, maka disitu peran
hati yang dominan. Dan orang yang tidak menggunakan bekal tersebut, akan
mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, sebagaimana Firman Allah.
57
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Q.S al-Isrâ‟ : 36
Al-Alûsi dalam menafsirkan ayat di atas, telah mengutip riwayat Ibn Jarîr
dan selainnya yang bersumber dari Qatâdah, ia berkata: bahwa maksuf ayat ini
adalah jangan mengatakan kamu telah mendengar padahal kamu tidak mendengar
dan juga jangan kamu katakana kamu telah melihat pada kenyataannya kamu
tidak melihat. Kemudian dia berkesimpulan, bahwa lafaz dari ayat tersebut
sangatlah umum yang mencakup kesemua bidang. Maka tidak ada makna yang
menunjukkan untuk ber-taqlîd. 36
C. Analisa Term Taqlîd dalam al-Quran
Telah diulas pada poin-poin di atas mengenai siapa yang wajib untuk di
taqlîdi dan yang dilarang. Kini sampai kepada menganalisa lebih jauhlagi
mengenai term taqlîd yang terdapat didalam al-Quran yang mencakup semua
pembahasan larangan ber-taqlîd yang sebenarnya selain dari definisinya yang
telah dibicarakan pada bab kedua.
Penulis melihat adanya benang merah dari ayat-ayat yang berbicara
tentang larangan mengikuti ajaran-ajaran nenek moyang yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan keabsahannya, larangan untuk ikut kepada setiap fatwafatwa kebolehan dan pelarangan yang “ditelorkan” oleh para ahli juru fatwa dari
kalangan Yahudi dan Nasrani, di samping ketidak bolehan mengikuti kesyirikan
dan informasi yang tidak jelas asal-usulnya.
36
h.452
Al-Alusî, Rûh al-M‟ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-„Azîm wa al-Sab‟I al-Matsânî, juz 10,
58
Benang merah ini muncul bukan hanya dari para pelaku taqlîd itu sendiri,
akan tetapi juga bersumber dari orang-orang yang di- taqlîdi, asumsi penulis
tersebut bersandar dari apa sebenarnya yang melandasi para pelaku taqlîd untuk
melakukannya dan para muqallid dengan keadaan sadar membiarkan mereka,
yang tanpa ada perasaan akan mempertanggungjawabkan sama sekalidihadapan
Allah SWT. landasan dominan yang mengitari hari mereka adalah hawa nafsu.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
      
  
            
    
     
Artinya:
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".
Membahas dan mendikusikan ayat di atas, al-Baghawi mengatakan,
adapun firman Allah yang berbunyi : {        } 
Maksudnya adalah janganlah kalian melewati batas (yang telah ditentukan
oleh Allah SWT dengan cara) berlebih-lebihan atau mengurangi sesuatu yang
telah dibatasi, keduanya merupakan perbuatan yang sangat dicela dalam agama.37
Dan sudah barang tentu, perbuatan yang dicela oleh Allah adalah hal yang
bertolak belakang atau bertentangan dengan-Nya. Inilah yang dimaksudkan ;oleh
37
Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, muhaqqiq: Muhammad `Abdullah al-Namr (Daral-Taybah:1997) Cet. 1, Juz. 8, h. 3
59
al-Baghawî tentang makna dari kalimat    
 
Selanjutnya kalimat (  
al-ahwâ` adalah Jamak dari kata hawâ`, yaitu sesuatu yang
menunjukan akan adanya dorongan terhadap keinginan Syahwat.39 Ketika sampai
pada kalimat      al-Baghawi mengatakan, yaitu mereka adalah para
pemimpin dari kelompok Yahudi dan Nasrani, akan tetapi objek yang diajak
becara adalah orang-orang yang ada pada masa Rasullulah, mereka dilarang untuk
mengikuti tindak tanduk leluhur-leluhur (yang sesat) sehingga mereka
menyesatkan banyak orang yang mengikuti mereka 


Surat al-Maidah ayat 77 dan penjelasan Al-Baghawî tentangnya sudahlah
merangkum apa yang penulis maksudkan dengan ayat yang secara global
membicarakan
larangan bertaqlid terhadap orang-orang yang sesat lagi
menyesatkan, dikarenakan mengikuti keinginan atau hawa nafsu mereka dalam
menjalani semua ritual-ritual keagamaan.
Pada ayat lain, Allah mensifati orang-orang yang mengikuti hawa nafsu
mereka sebagai orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya, orang-orang yang
38
Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3
39
Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3
40
Al-Baghawî, Ma`alim al-Tanzil, Juz 8, h.3
60
tidak beriman kepada hari kiamat dan juga mereka mempersekutukan Allah. Ayat
yang penulis maksud adalah sebagaimana yang tertera di bawah ini.
         
         
         
Artinya :
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya. dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Dan hal yang sangat mendasi larangan bertaqlid adalah karena orangorang tersebut telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan mereka dengan
mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsu-nafsu rendah mereka.
61
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Di akhir bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan dari apa yang telah
dibahas yang berkaitan dengan Taqlîd, yaitu:
1. Definisi Taqlid
Sepanjang bahasa Arab Taqlîd bermacam-macam, menurut letak dan
rangkaian katanya, di antara adalah : “Menyerahkan – Menghiasi – Meniru –
Menuruti seseorang dan Menerima Piutang”. Misalnya : Ia menghiasi leher
dengan kalung
)
(
Ia menyerahkan pekerjaan,
menyelempangkan pedang )
‫ا‬
(
. Ia
( Ia meniru padanya demikian (
). Ia menurut seseorang tentang itu )
fulan
)
, Ia menerima piutang dari
).
Adapun dalam bahasa Indonesia kata taqlîd dapat diartikan peniruan,
keikutan atau pegangan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yang sudah,
tanpa mengetahui dasar atau alasan.
Secara terminologi taqlîd adalah menerima, mengambil atau mengamalkan
pendapat orang lain tanpa mengetahui landasan dan basis argumentasai yang
digunakan.
62
Di samping (2) dua definisi di atas, penulis juga menggunakan definisi
operasional.
Definisi operasional adalah semacam petunjuk kepada kita tentang
bagimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional merupakan
informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin melakukan
penelitian dengan menggunakan variabel yang sama. Karena berdasarkan
informasi itu, ia akan mengetahui bagaimana caranya melakukan pengukuran
terhadap variabel yang dibangun berdasarkan konsep yang sama
2. Kosa Kata Taqlîd
Di dalam al-Quran penulis tidak menemukan kosa kata taqlîd, tetapi
penulis menggunakan kata yang artinya serupa, seperi kata Ittiba’, Akhadza,
Taqfu.
Secara teks, al-Quran tidak ada yang mencantumkan sebuah kata taqlîd
atau pun derivasinya, tapi itu bukan merupakan alasan, bahwa pembicaraan
mengenai taqlîd yang diisyaratkan oleh al-Quran itu tidak ada
3. Pembagian Taqlîd
A. Taqlîd yang diperbolehkan
a. Taqlîd Syakhsi
Taqlîd Syakhsi adalah taqlîd yang langsung kepada Rasul atau
merupakan bentuk taqlîd terhadap Rasulullah, baik itu perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya.
b. Taqlîd Mutlak
63
Taqlîd Mutlak ini adalah bagian dari cara taqlîd
(mengikuti) orang lain atau madzhab tanpa mengikatkan pada satu
madzhab apapun, atau dalam arti ia tidak terikat kepada suatu madzhab
saja, ia membebaskan kepada muqallid untuk mengikuti pendapat
mujtahid manapun dari madzhab-madzhab yang diakuinya.
B. Taqlîd yang dilarang
a. Taqlîd Mahdhi
Taqlîd Mahdhi adalah suatu bentuk taqlîd kepada suatu
madzhab tertentu dan menetap tidak berpindah-pindah selama hidupnya.
Dalam arti bahwa muqallid tidak mengikuti atau mengambil pendapat
selain daripada imam madzhab yang dipegangnya, atau boleh diartikan
bahwa bentuk taqlîd mahdhi ini adalah bentuk keterikatan pada satu
madzhab saja.
b. Taqlîd Jamid
Taqlîd Jamid adalah merupakan bentuk ekstrim dari taqlîd
mahdhi yakni taqlîd atau keterikatan kepada suatu madzhab tertentu secara
fanatik. Taqlîd ini hanya mengikuti pendapat satu madzhab saja dan
menganggap pendapat satu madzhab saja dan menganggap pendapat
madzhab lain salah. Disisi lain ia menganggap bahwa hanya pendapat
madzhabnya yang paling benar. Hal ini bertentangan dengan semangat
taqlîd, yakni harus mengikuti pribadi Rasulullah. Akan tetapi yang terjadi
ia mengikuti pendapat salah seorang imam madzhab saja dan menganggap
64
madzhab lain adalah salah. Taqlîd ini juga bertentangan dengan ijma’
sahabat, tabi’in dan para mujtahid golongan salaf
Pada bab III penulis mengulas tentang poin-poin yang memperbolehkan
atau kepada siapa saja manusia diharuskan dan dilarang untuk bertaqlîd. Sehingga
penulis dapat mengambil benang merah dari pembahasan mengenai taqlîd.
Benang merah ini muncul bukan hanya dari para pelaku taqlîd itu sendiri,
akan tetapi juga bersumber dari orang-orang yang di- taqlîdi, asumsi penulis
tersebut bersandar dari apa sebenarnya yang melandasi para pelaku taqlîd untuk
melakukannya dan para muqallid dengan keadaan sadar membiarkan mereka,
yang tanpa ada perasaan akan mempertanggungjawabkan sama sekali dihadapan
Allah SWT. landasan dominan yang mengitari hari mereka adalah hawa nafsu.
B.
Saran-saran
Apa yang penulis bahas di dalam skripsi ini, masih sangat jauh dari
kesempurnaan, terutama yang berkaitan dengan taqlîd dan penulis sadar akan hal
itu.
Akan lebih baik, jika ada yang ingin meneliti lebih jauh tentang
pembahasan taqlîd agar tertutup ketidaksempurnaan penulis, karena di sana masih
ada mutiara yang belum terungkap tuntas. Wallahu `alam.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Tîf, Abd al-‘Azîz Ibn Muhammad Âlu ‘al-Tauhîd li al-Nâsyi’ah wa alMubtadi`în, (Mekkah: Wizârah al-Syu`ûn wa al-Auqâf wa al-Da`wah alIrsyâd, 1422H), cet, 1.
Abduh, Muhammad Risalah Tauhid, penerjemah: Firdaus A.N., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1963),
Al-Baghdadi, Mahmud al-Alusyi. Ruhul Ma`ani Fi Tafsiri al-Quran al-`Azhim
Wa as-Sab`u al-Matsani, (Bairut : Darul Fikri), jilid 8.
Alusî, Al- Rûh al-M’ânî fî Tafsîr al-Qur`an al-‘Azîm wa al-Sab’I al-Matsânî, juz
4
Amsary, Fuad Mukjizat al-Qur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema
Insani Press, 1997. Jilid I.
Anshori, Al- Abi Zakaria Gayat al-Wusul Syarah Lubbu al-Ushul, (Surabaya:
Sarikat Ahmad Bin Saad Bin Nababan), tt.
Azami, MM. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa
Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),cet, 4
Azhar, Muhammad dkk, Studi Islam dalam Percakapan Epistemologis, editor:
Abdul Munir Mulkhan, (Yogyakarta: SIPRES, 1999), cet 1
Aziz, Aceng Abdul dkk, Islam Ahlussunnah Wal Jama`ah di Indonesia, (Jakarta :
Pustaka Ma`rif NU, 2007)
Baghawî, Al-Ma`âlim al-Tanzîl, muhaqqiq: Muhammad `Abdullah al-Namr (Dâral-Taybah: 1997) cet. 1
Chalil, KH. Moenawar Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1989)
Gayo, Nogarsyah Moede Buku Pintar Islam, Ladangpustaka & Intimedia, Jakarta.
tt
Goldziher, Ignaz Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, Penerjemah: M.
Alaika Salamullah dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet, 3
Hakim, Abdul Hamid Mabadi Awaliyah, (Jakarta : Sa’adiyah Putra. tt),
Halim, Muhammad Abdul Menafsirkan al-Quran dengan Al-Quran, (Bandung:
Nuansa, 2008) cet, 1
66
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1993), Juz. XIII-XIV.
Hanbal, Ahmad Ibn Musnad al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Muhaqqiq: Syu`aib alArnâut, dkk. (Muassasah ar-Risâlah: 1999)
http://suhartoumm.blogspot.com/2009/07/pengertian-variabel-variabeldefinisi_30.html
`Imarah, Muhammad Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah
Maufur, M.A, (Jakarta: Robbani Press, 1998)
Madkhali, Muhammad Ibn Hadi al- al-Iqna` bimâ jâ a `an aimmati al-da`wah
min al-aqwâl fi ittibâ`, penerjemah: Abu Ismail Fuad (Yogyakarta:
Pustaka al-Haura, 2006), t.t.h
Mukhtar Yahya dan Fatchtur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. ttp,
Munawwar, al- H. Said Agil Husin Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).
Munawwir, A. W. al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka
Progressif, 2002),
Qardhawi, Yusuf Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam (Tâqlid dan Ijtihad),
Qayyim, Al-Imam Ibn Risaalah At-Taqliid, terj. Ibn Ibrahim (Jakarta : Pustaka
Azzam, 2000), cet. 1
Qurtubi, Al- Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an (Riyad, dâr ‘âlam al-kutub, 2003), juz 10
Qutb, Sayyid Keindahan al-Quran yang Menabjubkan, penerjemah: Bahrun Abu
Bakar, (Jakarta: Robbani Press, 2004), cet 1
Ramli, Muhammad Syauman ar- Keajaiban Membaca al-Quran, terj. Arif
Rahman Hakim, Lc, (Sukoharjo: Insan Kamil, 2007)
Sarhidi, Iding Matan Lathaif al-_Irsyaad Fi Fanni Ushul Fiqh, (Jakarta :
Sa’adiyah Putra, tt)
Setyawan, Palgunadi T. Daun Berserakan (Sebuah Renungan Hati), Jakarta :
Gema Insani Fress, 2004,
Shihab, M. Quraish Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran),
Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Suyûtî, Al- al-Itqân fî al-‘Ulûm al-Qur`an, muhaqqiq: Muhammad Abû al-Fadl
Ibrâhîm (Mesir: al-Hai`ah al-Misriyyah al-‘Âmah lil kutub, 1973), juz
1.
67
Suyuti, Al-Imam Jalaluddin as- Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Quran, terj.
M. Abdul Mujieb. AS (ttp. Darul Ihya Indonesia, 1986)
Syaukani, Muhammad bin Ali in Muhammad As- Irsyadul Fuhul, (Jeddah : Alharamain, tt)
Tabarî, Al- Abû Ja’far Jâmi’ al-Bayân fî ta`wîl al-Qur`an, Muhaqqiq: Ahmad
Muhammad Syâkir (Muassasah al-Risâlah, 2000) cet 1, juz 17
Thabrani, Sulaiman bin Ahmad Abu Qasim al- al-Mu’jam al-Kabîr, (Ttp.:
Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikm, 1983), Jil. 10
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. 1
Zuhailî, Al- Wahbah at-Tafsir al-Munir (Damaskus: Dâr al-Fikr, tth) Jus III
Download