Dari planetary Nebulae di Daerah Pusat Galaksi ke Curah Hujan di

advertisement
Dari planetary Nebulae di
Daerah Pusat Galaksi
ke Curah Hujan di Indonesia
Orasi Ilmiah
Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Astrofisika
Jakarta, November 2002
Disampaikan oleh:
Dr. Mezak A. Ratag, APU
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN)
Riwayat Hidup
Mezak Arnold Ratag dilahirkan di Malang pada tanggal 24 September 1962
sebagai anak ketiga dari Prof. Alexander Ratag dan Grietje Kawengian.
Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama diperolehnya di
SD dan SMP Laboratorium IKIP Manado. Pada bulan Agustus 1980 ia terpilih
sebagai Pelajar Teladan tingkat SLTA Provinsi Sulawesi Utara dan
selanjutnya sebagai salah satu dari tiga Pelajar Teladan Nasional tahun
1980. Beberapa bulan sebelum kelulusannya di SMA Negeri 1 Manado pada
bulan Juni 1981, melalui program seleksi Perintis II, ia dibebaskan dari ujian
saringan masuk perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswa Institut
Teknologi Bandung (ITB). Setelah menyelesaikan keseluruhan program
studi 9 semester dalam waktu kurang dari empat tahun dengan dibimbing
oleh Prof. Bambang Hidayat, pada Oktober 1985 Mezak A. Ratag diwisuda
sebagai Sarjana Astronomi dengan predikat cum laude. Universitas Kerajaan
Belanda di Groningen, Rijksuniversiteit te Groningen membebaskannya dari
keharusan untuk menempuh ujian doktoral (magister) dan
memperbolehkannya langsung mengikuti program doktor pada tahun 1988.
Di bawah bimbingan Prof. Stuart Pottasch, Mezak Ratag memperoleh gelar
doktor {summos honoris) pada bulan Juni 1991 dengan disertasi yang
berjudul A Study of Galactic Bulge Planetary Nebulae. Prof. Harm Habing
dari Komisi Materi Antar Bintang IAU dalam komentar tertulisnya menyebut
disertasi ini sebagai "a major step forward in science". Laporan resmi
Kapteyn Astronomical Institute memberi catatan tentang disertasi ini
sebagai berikut: "It is the first time that a discussion of chemical
composition in the bulge, taking into account planetary abundances, has
been given. It may become a reference for some time to come".
Mezak Ratag telah mempresentasikan dan mempublikasikan lebih dari
seratus karya ilmiah nasional dan internasional. Lebih dari 100 buah
planetary nebulae bam telah ditemukannya dan dipublikasikan bersama
mitra kerjanya. Dalam katalog penemuan PN yang diterbitkan oleh
Observatorium Strasbourg, sejumlah besar di antaranya diberi nama dengan
namanya dan nama mitra kerjanya. Lebih dari 100 international citations
l
tentang karya-karya ilmiahnya dapat dijumpai dalam berbagai jumal, buku,
dan prosiding internasional.
la menjadi anggota International Astronomical Union, UNEP-WMO IPCC
Task Group on Climate Impact Assessment, Dutch Astronomical Society,
Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), Himpunan Fisika Indonesia (HFI),
dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi). Beberapa
kali ia duduk sebagai anggota Delegasi RI dalam rangka UN Framework
Convention on Climate Change COP dan pertemuan-pertemuan APEC ISTWG.
Jenjang jabatan fungsional peneliti diawali pada tingkat Peneliti Madya
(IV/b) pada tahun 1995. Pada tahun 1999, dengan Keputusan Presiden RI
ia diangkat sebagai Ahli Peneliti Madya (IV/d). Keputusan Presiden RI
NO.276/M/2001 mengangkat Mezak A. Ratag sebagai Ahli Peneliti Utama
(APU; IV/e) terhitung mulai tanggal 1 Juni 2001. Pada bulan Agustus 2000
ia memperoleh tanda kehormatan Satyalancana Wirakarya dari Presiden RI
untuk jasa dan keberhasilannya "melakukan penelitian dan membuat model
iklim yang berhasil diterapkan untuk peramalan iklim dan cuaca".
Mezak A. Ratag menikah dengan Weynni Tampenawas, SE pada Desember
1986 dan telah dikaruniai dua orang putri, Julien Grietje Louise (14) dan
Manuela Rosalin Kristi (7).
2
Dari Planetary Nebulae di Daerah Pusat Galaksi
ke Curah Hujan di Indonesia
1. Pendahuluan
Menjelang akhir hidupnya, pada usia sekitar 83 tahun, Isaac Newton
menatap balik kehidupan yang telah dilaluinya dan membuat suatu refleksi
yang mengagumkan (Westfall, 1993):
/ don't know what I may seem to the world, but, as to myself, I
seem to have been only like a boy playing on the sea shore,
and diverting myself in now and then finding a smoother pebble
or a prettier shell than ordinary, whilst the great ocean of truth
lay all undiscovered before me.
Newton memilih menyebut karya-karya besarnya sebagai "kerikil" {pebble)
dan "cangkang kerang" 'shell), bukan "mutiara" (pearl) atau benda-benda
istimewa lainnya. Sementara dunia ilmiah, amat terlebih pada era pra teori
relativitas, memandang karya-karyanya sebagai pengungkapan kaidahkaidah alam yang benar-benar sahih, Newton menganggap dirinya dan
pekerjaannya hanyalah berada di tepian pantai "great ocean of truth",
belum benar-benar berada di dalamnya. Dengan ini Newton merefleksikan
kesadarannya bahwa akan ada karya-karya lain yang lebih besar dan lebih
sahih daripada yang telah dihasilkannya. Perkembangan dunia ilmu
pengetahuan setelah itu, meskipun memakan waktu beberapa abad,
membuktikan keyakinan Newton tersebut dengan berkembangnya, antara
lain, teori relativitas (khusus dan umum) dan mekanika kuantum.
3
Orasi ini bukanlah refleksi komprehensif tentang keseluruhan lintasan yang
telah saya lalui dalam dunia ilmu pengetahuan, tetapi lebih dimaksudkan
sebagai deskripsi naratif dari sejumlah "kerikil" kecil dan "cangkang kerang"
kecil yang saya jumpai dan cermati sepanjang perjalanan tersebut.
Dua fenomena yang disebutkan pada judul orasi ini, planetary nebulae (PN)
di daerah pusat Galaksi dan curah hujan di Indonesia, terpisah satu sama
lain oleh jarak sekitar 2,5 x 10 i; kilometer atau sekitar 1,6 milyar kali jarak
bumi-matahari ! Di samping terpisah oleh jarak yang sedemikian jauhnya,
dua fenomena tersebut juga sangat kontras dalam berbagai aspek.
Lingkungan fisik atmosfer-bawah bumi tempat berlangsungnya proses
pembentukan hujan adalah medium dengan kerapatan partikel ~ 1019 per
cm3 , sebagian besar berupa molekul, dan suhu sekitar 300 K. Sementara
PN adalah obyek plasma dengan kerapatan hanya beberapa ratus hingga
beberapa puluh ribu partikel per cm3 dengan suhu elektron antara 1000
hingga 30000 K. Proses pembentukan hujan merupakan salah satu proses
non-linier yang paling sulit untuk dimengerti mekanismanya. Dalam rantai
mekanismanya terdapat juga proses-proses non-linier seperti konveksi dan
pembentukan awan yang juga merupakan misteri-misteri besar dalam
bidang meteorologi dan klimatologi. PN sendiri merupakan tahap akhir
evolusi dari bintang-bintang yang bermassa seperti matahari kita. Seperti
itulah kira-kira matahari kita akan berakhir riwayatnya pada sekitar 5 milyar
tahun mendatang. Pada fasa akhir evolusi ini bagian terluar bintang akan
dilontarkan membentuk selubung dan terionisasi oleh lapisan dalam
bersuhu tinggi yang kini menjadi lapisan terluar bintang tersebut.
4
Bagaimana terjadinya proses pelontaran serta kerumitan reaksi-reaksi
nukleosintesis -baik yang terjadi sebelumnya maupun yang menjadi sumber
energi pada tahap akhir tersebut- masih terus menjadi fokus sejumlah besar
riset astrofisika. Bagaimana kedua misteri alam ini bisa berada bersamasama pada suatu panggung pagelaran concertos riset yang memikat setidaknya pada panggung riset saya dan bagi saya ?
Riset PN, baik yang menyangkut fisika plasma kerapatan rendah, reaksireaksi nuklir nukleosintesis maupun yang berhubungan dengan struktur dan
evolusi bintang, berada pada gugusan sains murni yang sangat jauh dari
kemungkinan aplikasi yang berdampak sosial dan ekonomi. Di sisi lain, riset
curah hujan yang merupakan bagian dari kelompok sains atmosfer dan iklim
sedemikian dekatnya dengan aplikasi sosio-ekonomi karena dampaknya
secara langsung terhadap berbagai sektor kehidupan.
Semakin banyak bukti-bukti empirik yang diperoleh memperlihatkan bahwa
sejumlah besar parameter penting sistem iklim bumi menunjukkan respons
signifikan terhadap aktivitas matahari dan variabilitas luarannya. Yang
sangat menonjol antara lain adalah suhu permukaan daratan, suhu muka
laut (SST), konsentrasi ozon, quasi-biennial oscillation (QBO), medan
elektromagnet bumi, laju dan arah angin serta curah hujan. Kian terasa
adanya suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengintegrasikan efek
variabilitas matahari ke dalam model sistem iklim bumi. Riset-riset yang
berhubungan dengan PN memberikan kepada kita pemahaman yang lebih
mendalam tentang reaksi-reaksi nuklir yang sesungguhnya terjadi di dalam
inti bintang. Pemahaman tentang hal ini merupakan salah satu kunci
5
terpenting dalam upaya memahami struktur, aktivitas, dan evolusi bintang
bermassa kecil seperti matahari kita.
"Dari Planetary Nebulae di Daerah Pusat Galaksi ke Curah Hujan di
Indonesia"lebih menggambarkan suatu odysseydaripada suatu perjaianan
sains terencana dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam hal ini jalannya
wahana eksplorasi sangat ditentukan oleh peluang teramatinya pulau yang
menarik, arah dan kuat arus, terpaan badai, kesalahan pengendalian
kemudi baik akibat keteledoran maupun karena jarak pandang yang
berkurang
akibat
kabut.
Odyssey ini
menghasilkan
pengalaman-
pengalaman, kesimpulan-kesimpulan serta cara pandang dan cara tindak
yang unik, yang tentunya berbeda dengan para ilmuwan lainnya.
2. Perjaianan dimulai
Dalam ingatan saya, perjaianan saya dalam dunia astronomi dan astrofisika
diawali pada pertengahan tahun 1984 dengan malam-malam yang sangat
panjang beratapkan langit di kubah teleskop Schmidt Bimasakti
Observatorium Bosscha Lembang bersama Prof. Bambang Hidayat. Setelah
selama dua malam dilatih beliau, pada malam ketiga saya diperbolehkan
bekerja sendiri dengan tugas pertama: memotret nebula M-17 dengan filter
interferensi 5007 A dan waktu eksposur 2 jam. Berhasil ! Hasil tersebut
kemudian dipublikasi dalam suatu prosiding kerjasama riset IndonesiaJepang. Gol kedua tercipta setelah puluhan malam memburu Comet Clark
1983w. Untuk pertama kali makalah saya, bersama Prof. Hidayat, tentang
komet tersebut diterima untuk dipublikasikan dalam jurnal ilmiah
6
internasional Acta Astronomica. Sebagai mahasiswa ketika itu hal ini
tentunya sangat membanggakan. Tapi pilihan topik tugas akhir saya
bukanlah tentang komet tersebut meskipun masalah gangguan orbit dan
spektroskopi plasmanya cukup menarik.
Pada bulan November 1984, Prof. Stuart Pottasch dari Kapteyn Astronomical
Institute, Universitas Groningen, yang sedang menjadi tamu Observatorium
Bosscha memberikan spektra optis planetary nebulae NGC 6369 dan NGC
6153 hasil pengamatan dengan teleskop 3,6 meter European Southern
Observatory (ESO) di Chile, untuk dianalisis. Di sini untuk pertama kalinya
saya berkenalan dan segera tertarik dengan garis-garis terlarang (forbidden
lines). Garis-garis spektroskopik ini tidak bisa terbentuk di bumi. Meskipun
demikian garis-garis terlarang ini adalah kunci utama untuk menentukan
kerapatan dan temperatur elektron nebula yang berada pada jarak yang
sangat jauh tersebut. Garis-garis tersebut juga bisa dipakai untuk
menghitung kelimpahan berbagai macam unsur kimia nebula. Pekerjaan
analisis spektroskopi kedua PN inilah yang kemudian menjadi topik tugas
akhir dan sekaligus mengawali keterlibatan saya dengan obyek-obyek
eksotis yang diperkirakan merupakan tahap akhir evolusi bintang-bintang
seperti matahari kita.
3.
Kelimpahan unsur, evolusi bintang pusat, dan penemuan
planetary nebulae baru
Akses yang mudah ke berbagai fasilitas observasi dan komputasi yang
mutakhir ketika memulai riset doktoral di Kapteyn Laboratorium, Universitas
7
Groningen, memungkinkan kelompok riset kami memperoleh hasil-hasil
pengamatan spektroskopik dan fotometrik dari sejumlah besar (>100) PN
pada berbagai
panjang gelombang, mulai dari radio milimeter dan
sentimeter, inframerah-jauh, visual, hingga ultraviolet-jauh. Ketika itu hasil
pengolahan awal data observasi IRAS (Infra-Red Astronomical Satellite)
baru saja selesai dan kelompok riset kami memperoleh kesempatan
pertama untuk mempergunakannya dalam riset PN. Untuk pertama kalinya
bisa dilakukan suatu kajian multiwavelength (multi-panjang-gelombang)
terhadap PN. Dengan pendekatan komprehensif multi-panjang-gelombang
ini sejumlah terobosan berhasil dilakukan dalam riset PN1:
•
Penemuan sejumlah besar PN yang sangat redup pada rentang
visual baik karena masih berada pada fasa proto-PN maupun karena
besarnya serapan antar bintang ke arah PN yang bersangkutan. PN
di daerah pusat Galaksi menjadi target utama. Kombinasi observasi
pada panjang gelombang radio dan inframerah memungkinkan
penemuan massal ini [1990,1992,1993].
•
OH-maser ditemukan pada obyek-obyek yang diperkirakan berada
pada fasa transisi antara Asymptotic Giant Branch (AGB) dan fasa
PN [1989,1990].
•
Dengan
pendekatan
atmosfer
dapat
multi-panjang-gelombang,
dibangun
dan
diterapkan
untuk
model-model
penentuan
kelimpahan unsur kimia PN sekaligus bersama-sama dengan
penentuan suhu dan energi yang dipancarkan (luminositas) oleh
1
Angka-angka tahun yang dicantumkan pada akhir setiap item menyatakan tahuntahun publikasi utama hasil-hasil yang bersangkutan. Referensi yang bersangkutan
diberikan pada lampiran orasi ini.
8
bintang pusatnya. Hasil ini selanjutnya memberikan pemahaman
yang baru tentang reaksi-reaksi nuklir yang terjadi dalam inti
bintang mulai dari awal kelahiran hingga pada tahap akhir
evolusinya.
Karena
reaksi-reaksi
nuklir
sangat
menentukan
bagaimana proses pembangkitan energi berlangsung di dalam inti
bintang, peningkatan pemahaman tentang reaksi-reaksi tersebut
sangat
penting
bagi
peningkatan
pemahaman
kita
tentang
pembangkitan energi dan dinamika aktivitas bintang, termasuk
matahari kita [1991,1992,1993,1994, 2002].
•
Penentuan kelimpahan unsur kimia berbasis model atmosfer dan
fotoionisasi pada sejumlah besar PN (~120) di daerah pusat Galaksi
memberikan informasi yang sangat penting, yang sangat sukar
diperoleh dari obyek-obyek lainnya, tentang evolusi kimiawi yang
telah dan sedang berlangsung di daerah dekat pusat Galaksi [1990,
1991,1992, 1994].
•
Penentuan kelimpahan unsur kimia berbasis model atmosfer dan
fotoionisasi pada sejumlah besar PN (~120) juga memungkinkan
dilakukannya uji validasi terhadap sejumlah metoda penentuan
kelimpahan unsur yang telah dikembangkan sebelumnya. Rumusrumus faktor koreksi ionisasi untuk argon (Ar) dan sulfur (S), yang
telah digunakan selama beberapa dasawarsa- berhasil direvisi
[1990,1991, 2002].
•
Penentuan secara simultan kelimpahan unsur kimiawi PN bersamasama dengan parameter evolusi bintang pusatnya memungkinkan
kita untuk mempelajari hubungan antara massa awal dan massa
akhir bintang. Hasil riset PN di daerah pusat Galaksi menunjukkan
9
bahwa untuk
bintang-bintang seperti matahari kita massa akhir
tidak berkorelasi dengan massa awalnya [2003].
Hasil-hasil di atas, yang merupakan terobosan-terobosan dalam astrofisika,
hanya mungkin diperoleh melalui pendekatan multi-panjang-gelombang
yang memberikan pandangan dari berbagai sudut dan menghasilkan
gambaran yang komprehensif tentang PN. Hal yang sangat penting yang
perlu diungkapkan adalah bahwa sebagian terbesar hasil-hasil tersebut lahir
dalam suatu atmosfer kerja yang sangat kondusif. Tidak hanya fasilitas
kerja yang memadai, atmosfer kerja yang kondusif juga dibangun oleh
"topografi" yang dibentuk oleh hadirnya ilmuwan-ilmuwan besar yang layak
diteladani dan menjadi sumber inspirasi bagi ilmuwan-ilmuwan muda.
Banyak sekali gagasan yang menghasilkan terobosan-terobosan di atas
muncul dari
close encounter dengan
ilmuwan-ilmuwan besar dalam
2
astronomi dan astrofisika. Kemajuan riset PN yang dikemukakan di atas
juga dimungkinkan oleh adanya kelompok-kelompok "oposisi" yang tidak
hanya memberi kritik tetapi juga mengajukan proposisi-proposisi alternatif.
Interaksi dengan kelompok-kelompok "oposisi" ini banyak melahirkan
gagasan-gagasan baru. Jadi, eksistensi kelompok-kelompok semacam ini
juga dibutuhkan demi kemajuan suatu organisasi riset.
2
Di samping dengan kedua pembimbing - Prof. Bambang Hidayat dan Prof. Stuart
Pottasch-, saya banyak memperoleh manfaat dari diskusi dengan ilmuwan-ilmuwan
besar seperti Adrian Blaauw, Frank Shu, Charles Lada, Bob Sanders, Rolf Kudritzki,
Harm Habing
10
Ketika mendalami masalah-masalah struktur dan evolusi bintang yang
terkait dengan PN, muncul sejumlah pertanyaan yang menyangkut struktur
bintang atau sistem bintang pada tahap awal evolusi serta dampaknya
terhadap evolusi lanjutnya.3 Bagaimanakah pengaruh kuat medan magnet
pada tahap awal evolusi terhadap struktur bintang pada tahap lanjut ?
Apakah variabilitas luaran bintang dapat mempengaruhi evolusi lanjutnya ?
Bagaimana perbedaan komposisi kimia awal dapat mempengaruhi struktur
dan evolusi bintang ? Seberapa stabilkah bintang-bintang yang berada di
deret utama {main sequence) ? Dan masih banyak lagi.
Pertanyaan-
pertanyaan semacam ini kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan
lanjut yang berkaitan dengan aktivitas dan variabilitas luaran matahari serta
dampaknya terhadap tatasurya di sekelilingnya, khususnya terhadap bumi
kita.
4. Aktivitas Matahari & Iklim : Fisika Hubungan Matahari-Bumi
Pada dasamya riset Matahari-Bumi berakar pada astrofisika di "ujung atas",
pada fisika dan kimia atmosfer di "ujung bawah", dan pada fisika dirgantara
{space physics)
di
antara
keduanya.
Perbendaharaan
teknik-teknik
observasional dalam riset Matahari-Bumi meliputi pengukuran-pengukuran
in situ dari luar angkasa dan dari atmosfer atas dengan pesawat ruang
angkasa, roket dan balun; pengukuran in situ landas-bumi (ground-based);
dan penginderaan jauh dari luar angkasa ke bawah dan dari permukaan
atau dari udara ke atas. Sebagai suatu bidang ilmu dengan identitas dan
3
Dalam astrofisika, lintasan evolusi bintang sering digambarkan pada diagram suhu
versus energy luaran (luminositas) yang dinamakan diagram Hertzprung-Russel (HR).
11
sasaran-sasaran yang terdefinisi secara jelas serta dengan jumlah peneliti
yang besar dan kohesif, riset Matahari-Bumi merupakan fusi sinergistik dari
elemen-elemen yang
berasal dari berbagai disiplin terpisah seperti
astrofisika, fisika matahari, fisika plasma dirgantara, sains radio, kimia dan
fisika atmosfer, geomagnetisme, meteorologi dan geofisika.
Riset Matahari-Bumi untuk kajian sistem geosfer-biosfer, termasuk
perubahan
iklim
global,
harus
diarahkan
pada
upaya
penyediaan
pemahaman ilmiah mengenai aliran-aliran massa dan energi yang bervariasi
dari matahari ke Bumi, efek-efeknya terhadap bagian-bagian luar geosfer,
serta interaksi-interaksi terkaitnya dengan sistem Bumi secara global.
4.1 Aktivitas Matahari dan Iklim
Hasil-hasil
dalam
studi
tentang
fisika
hubungan
Matahari-Bumi
memperlihatkan adanya korelasi yang tinggi dan meyakinkan antara
aktivitas matahari dan sejumlah parameter atmosfer Bumi. Friis-Christiansen
dan Lassen (1991) menunjukkan eratnya kaitan antara pamang siklus
aktivitas matahari dengan suhu permukaan dalamm selang 130 tahun
terakhir. Reid (1987)membandingkan deret waktu rata-rata global suhumuka-laut ( sea surface temperature; SST) dengan data jangka panjang
aktivitas matahari, yang direpresentasikan oleh rata-rata ll-tahun bilangan
sunspot Zurich, dan menyimpulkan adanya keserupaan yang mencolok
dengan
sejumlah
ciri
utama
yang
sama.
Variabilitas dekadal dan
interdekadal suhu rata-rata global yang teramati antara tahun 1860 dan
1990 merupakan petunjuk nyata dan kuat bahwa, selain forcing perubahan
konsentrasi gas-gas rumah kaca, terdapat faktor lain yang juga telah
12
berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan suhu permukaan Bumi
(Lacis dan Carlson, 1992; Reid, 1987). Kenaikan tajam suhu rata-rata pada
tahun 1920-an dan penurunannya kemudian dalam selang 1940-1970 sama
sekali tidak konsisten dengan skenario kenaikan monoton konsentrasi gasgas rumah kaca dalam selang waktu yang sama. Hasil-hasil penelitian
lainnya juga memperlihatkan korelasi yang tinggi antara aktivitas matahari
dan konsentrasi ozon (Keating et al., 1987, 1994; Reber dan Huang, 1982),
quasi-biennial oscillation (QBO) (Labitzke, 1982, 1987; Labitzke dan van
Loon, 1994), medan elektromagnet Bumi (Tinsley, 1994; Tinsley et al.,
1994), curah hujan (Brier, 1961; Hadi dan Jamaluddin, 1994), serta laju dan
arah angin (Sprenger dan Schminder, 1969; Nastrom dan Belmont, 1980).
Temuan-temuan di atas merupakan landasan dan pendorong yang kuat
bagi upaya mengintegrasikan mekanisma-mekanisma kopling yang terlibat
dalam proses-proses transfer energi, massa, dan momentum dari suatu
daerah ke daerah lainnya dalam sistem Matahari-Bumi, ke dalam model
atmosfer Bumi.
4.2 Simpul-Simpul Utama Hubungan Matahari-Bumi
Sistem Matahari-Bumi melibatkan interaksi-interaksi berbagai komponen
utamanya: Matahari dan angin matahari, media antar planet, daerah
magnetosfer-ionosfer-termosfer, atmosfer-tengah, serta troposfer dan
permukaan Bumi. Hanya beberapa jalur dan simpul utama yang akan diulas
di sini untuk memberikan ilustrasi tentang kekompleksan sistem yang
ditinjau serta sejumlah masalah yang masih harus dihadapi.
13
Aktivitas matahari mengakibatkan bervariasinya berbagai parameter fisis
pancaran gelombang elektromagnetik dan pancaran partikel bermassa dari
matahari. Fraksi radiasi matahari yang diserap di atmosfer-atas sangat kecil
relatif terhadap energi yang diserap oleh atmosfer-bawah. Meskipun
demikian, karena relatif kecilnya kerapatan partikel dibandingkan dengan
kerapatan di atmosfer-bawah, laju deposisi energi per satuan massa di
atmosfer-atas umumnya jauh lebih besar daripada di atmosfer-bawah.
Atmosfer atas, dalam hal ini sistem magnetosfer-ionosfer-termosfer, adalah
penyerap utama radiasi matahari pada rentang panjang gelombang
ultraviolet ekstrem (EUV). Penyerapan radiasi ini, bersama sejumlah kecil
energi kontribusi dari proses aurora, menentukan struktur termal, komposisi
kimia, dan komposisi ionik atmosfer atas. Struktur-struktur tersebut telah
lama diketahui mempunyai variasi besar yang erat hubungannya dengan
siklus aktivitas matahari (lihat misalnya kajian ulang oleh Dickinson (1986)).
Struktur
temperatur
dalam
sistem
ionosfer-termosfer
merupakan
manifestasi dari kesetimbangan antara deposisi energi termal yang berasal
dari radiasi ultraviolet-ekstrem matahari dan aliran panas ke lapisan
atmosfer-bawah. Pada keadaan matahari tenang profil temperatur
menunjukkan pola sebagai berikut. Dari bagian teratas sampai ketinggian
sekitar 120 km temperatur hampir konstan, yakni sekitar 600 K, kemudian
menurun sampai 200 K pada ketinggian 80 km. Dalam keadaan matahari
aktif diamati profil yang sangat berlainan, yaitu dari 800-1500 K pada
bagian teratas menuju ke 300-400 K pada ketinggian 120 km dan menurun
lagi sampai 200 K pada ketinggian 80 km. Jelas terdapat suatu ekses energi
14
termal dalam jumlah besar pada saat matahari aktif. Berubah-ubahnya
struktur temperatur itu menyebabkan berubah-ubahnya laju perpindahan
massa, energi, dan momentum di dalam sistem ionosfer-termosfer, serta
laju perpindahan yang berlangsung dari dan ke dalamnya (Schunk, 1988).
Mekanisma fisis untuk menjelaskan proses pemanasan tersebut dan proses
aliran panas ke lapisan atmosfer yang lebih bawah masih perlu diteliti
secara lebih mendalam. Hubungan kuantitatif antara perubahan parameter
fisis radiasi energi dan partikel yang berasal dari matahari, dan perubahan
struktur atmosfer-atas serta aliran panas ke atmosfer-tengah dan bawah
masih harus ditentukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang iklim
global dan sekaligus meningkatkan kemampuan untuk memprediksi iklim
global secara lebih akurat.
Simpul lainnya yang perlu mendapat perhatian khusus adalah respons
atmosfer tengah terhadap variabilitas radiasi. Fluks ultraviolet matahari
yang sebagian besar diserap oleh lapisan ozon di daerah stratosfer, di
samping mengontrol konsentrasi ozon di lapisan tersebut juga mengontrol
pemanasan atmosfer tengah (Brasseur dan Verstraete, 1988; Hunt, 1988).
Struktur temperatur atmosfer tengah ini berperan penting dalam transfer
massa, panas, dan momentum dengan lapisan-lapisan atmosfer atas dan
bawah. Transfer yang berlangsung dengan atmosfer bawah diduga
mempengaruhi pola iklim di permukaan bumi.
15
4.3 Varia si Masukan dari Matahari da lam Model A tmosfer
Proses fisis mendasar yang menentukan temperatur bumi adalah
kesetimbangan antara pemanasan oleh radiasi matahari gelombang pendek
(SW) dan pendinginan melalui pemancaran kembali radiasi gelombang
panjang (LW) ke luar angkasa. Pemantulan dan penyerapan radiasi
gelombang pendek oleh atmosfer, terutama oleh uap air, ozon, dan awan,
mengurangi fraksi radiasi gelombang pendek yang akan diserap oleh
permukaan dari sekitar 90% menjadi 49% (Ramanathan et al., 1989).
Sebagian dari panas yang diserap oleh permukaan dipancarkan kembali
sebagai gelombang panjang langsung ke luar angkasa. Tetapi, bagian
terbesar lainnya diberikan kepada atmosfer melalui konveksi dan panas
laten kondensasi sebelum dipancarkan sebagai radiasi gelombang panjang,
terutama oleh gas-gas rumah kaca (termasuk uap air) dan awan.
Model-model rinci untuk radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang
telah banyak dikembangkan untuk menghitung laju pemanasan atau
pendinginan atmosfer dan permukaan bila diketahui profil-profil vertikal
kandungan atmosfer serta sifat-sifat radiatif permukaan. Berikut ini akan
dibahas secara garis besar suatu gagasan tentang pengintegrasian variasi
masukan radiatif yang bersumber dari variabilitas aktivitas matahari dalam
model atmosfer bumi.
Ratag (1994a,b,c; 1999) mengemukakan gagasan
untuk melakukan
perubahan penting terhadap rincian konsep kesetimbangan energi yang
diimplementasikan dalam pemodelan atmosfer global, agar efek variasi
16
luaran radiatif matahari dapat dilibatkan. Perubahan dimaksud dilakukan
dengan menjadikan 'konstanta matahari',
k, sebagai suatu variabel
sedemikian sehingga pemanasan global netto tidak lagi hanya bergantung
pada temperatur dan konsentrasi gas rumah kaca saja, tetapi juga pada
variabilitas Ak. Arking (1990) membahas tentang representasi sederhana
proses-proses umpan balik dalam sistem iklim yang memungkinkan
pengakomodasian gagasan yang dikemukakan Ratag (I994a,b,c, 1999)
tersebut. Modifikasi perlu juga dilakukan terhadap representasi prosesproses umpan balik dalam sistem iklim. Perubahan model sistem mataharibumi secara menyeluruh ini menghendaki pengintegrasian pemahaman
kualitatif dan kuantitatif tentang interaksi-interaksi yang menjadi komponen
mekanisma-mekanisma
kopling
yang
terlibat
dalam
proses-proses
perpindahan energi, massa, dan momentum dari suatu daerah ke daerah
lainnya dalam sistem matahari-bumi. Formulasi skematik efek forcing
eksternal sistem matahari-bumi, yang digerakkan terutama oleh variabilitas
matahari, terhadap sistem iklim telah dikemukakan oleh Ratag (2000)
berbasis gagasan awal yang dikemukakan Arking (1990) dan Roederer et al.
(1986) [lihat juga Ratag (1994a, b,c; 1999)].
Dickinson
(1986)
berkesimpulan
bahwa
jika
variabilitas
matahari
memodulasi iklim dalam jangka bulanan, maka sangatlah tidak mungkin
modulasi ini bergantung pada efek pemanasan langsung. Sistem iklim
mempunyai
inersia
panas yang sangat besar sedemikian
sehingga
responsnya terhadap variasi pemanasan matahari kurang dari 10% tidak
mungkin tampak dalam jangka waktu beberapa minggu saja. Apalagi
pengamatan yang telah dilakukan menyarankan bahwa variabilitas output
17
matahari dalam waktu kurang dari satu dasawarsa hanyalah berorde sekitar
0 , 1 % (Willson et. al, 1991). Tetapi, dalam jangka waktu puluhan sampai
ratusan tahun, yang bersesuaian dengan masalah kedua di atas, sangatlah
mungkin bagi sistem iklim untuk menunjukkan respons berarti terhadap
perubahan
'konstanta matahari' kk dalam orde satu persen. Variasi
pemanasan yang lebih kecil tentunya akan tampak dalam pola iklim dalam
jangka waktu yang lebih panjang lagi.
Sistem magnetosfer-ionosfer-termosfer terkopel erat melalui medan-medan
elektromagnetik, transfer partikel netral dan bermuatan, aliran panas, dan
interaksi-interaksi gesekan (Schunk, 1988). Medan listrik magnetosfer
mengimbas pergerakan skala besar pada bagian atas ionosfer. Pergerakan
ini dapat mempengaruhi morfologi kerapatan elektron dan komposisi ion.
Perubahan-perubahan dalam ionosfer ini pada akhirnya mempengaruhi
struktur, sirkulasi, dan temperatur termosfer. Perubahan-perubahan dalam
sistem ionosfer-termosfer ini memodifikasi berbagai proses di magnetosfer.
Meskipun
pengetahuan
kualitatif kita tentang
mekanisme-mekanisme
umpan balik ini telah cukup berkembang, penelitian lebih lanjut masih perlu
dilakukan untuk mengkuantisasikannya, menuju ke suatu pemahaman yang
menyeluruh dan lengkap. Sejauh mana jangkauan aliran panas dari
magnetosfer ke bawah belum diketahui secara pasti. Aliran panas ke bawah
ini mempunyai efek besar terhadap kerapatan dan temperatur sistem
ionosfer-termosfer dan lapisan-lapisan di bawahnya. Dalam skala global,
fluks panas ke bawah tersebut perlu ditentukan besarnya, secara langsung
maupun
tidak langsung,
agar
kita
dapat menaksir seberapa jauh
pengaruhnya terhadap lapisan-lapisan atmosfer yang dijangkaunya.
18
Variabilitas matahari diketahui mempunyai dampak terhadap atmosfer
tengah.
Di
samping
pemanasan
daerah
atmosfer tersebut,
proses
terpenting lainnya adalah yang melibatkan proses-proses fotokimia. Selain
radiasi ultraviolet, pancaran sinar-X dan partikel-partikel berenergi tinggi
juga penting bagi atmosfer tengah karena pengaruhnya terhadap komposisi
kimia.
Sinar
kosmik
dan
'hujan'
partikel
berenergi
tinggi
dapat
menghasilkan spesies-spesies molekul yang dapat merusak ozon. Fluks
ultraviolet matahari yang mengontrol konsentrasi ozon di daerah atmosfer
tengah dengan demikian juga menginduksi respons-respons radiatif dan
dinamika.
Perubahan-perubahan
kerapatan di daerah stratosfer dan
mesosfer yang mempunyai korelasi dengan siklus matahari telah dilaporkan
oleh sejumlah pengamat. Pada ketinggian-ketinggian dimaksud, pengaruh
matahari diperkirakan bersifat langsung, melalui variasi output fluks
ultraviolet dan mekanisme penyerapannya di atmosfer.
Efek-efek
gangguan
matahari
terhadap
lingkungan
global
telah
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang sangat merugikan -yang dalam
banyak kasus bersifat tak dapat diperbaiki-- pada sistem-sistem teknologi di
ruang angkasa dan di atas permukaan bumi, mempengaruhi kinerja
(performance) dan kala hidup satelit dan stasiun-stasiun ruang angkasa
lainnya, mempengaruhi telekomunikasi, navigasi, transmisi tenaga listrik,
eksplorasi mineral
stasiun
dan minyak bumi. Dalam kaitannya dengan satelit dan
ruang angkasa, efek gangguan matahari diyakini telah
menyebabkan
perubahan
memperpendek
umur
orbit
satelit
stasiun
SMM
19
(Solar
ruang
angkasa
Maximum
Skylab,
Mission),
dan
menurunkan kemampuan panel sel surya satelit IRAS (Infra Red
Astronomical Satellite). Gangguan semacam ini perlu juga diperhatikan
dalam pengoperasian satelit-satelit dan diupayakan penanggulangannya.
Pengintegrasian fisika hubungan matahari-bumi ke dalam model atmosfer
global memberi peluang bagi kita untuk mempelajari meteorologi antariksa
(space meteorology) yang dapat membantu upaya semacam itu.
4.4 Aktivitas Matahari
Penelitian-penelitian fisika matahari-bumi yang telah dan sedang dilakukan
pada saat ini diarahkan pada upaya meningkatkan pemahaman tentang
mekanisma-mekanisma
utama
pembangkitan
emisi
gelombang
elektromagnetik dan partikel di permukaan dan atmosfer matahari, dan
mempelajari pengaruh aktivitas matahari terhadap sifat-sifat fisika dan
kimia serta perilaku skala-besar atmosfer-atas dan atmosfer-tengah.
Parameter fisis radiasi gelombang elektromagnetik, gelombang kejut, dan
radiasi korpuskuler dari matahari bervariasi dengan skala waktu berorde
dari beberapa detik sampai puluhan tahun sebagai akibat aktivitas matahari.
Dalam upaya memahami dampak variasi ini terhadap kondisi fisis atmosfer
bumi dan lingkungan antariksanya, perlu ditingkatkan pemahaman tentang
mekanisma terjadinya aktivitas matahari. Model struktur dan evolusi bintang
tunggal standard tidak mampu mensimulasikan variabilitas matahari dalam
selang waktu yang kurang daripada 106 tahun. Model standard ini
20
mengasumsikan simetri bola
dan mengabaikan efek-efek medan magnet
dan rotasi; dua aspek yang benar-benar teramati di matahari. Pemodelan
kanonik seperti itu telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam memberikan
penjelasan teoretis mengenai diagram Hertzprung-Russel (luminositas
versus temperatur permukaan) dari sejumlah besar bintang di sekitar
matahari, gugus bola, dan gugus terbuka. Meskipun demikian, beberapa
peneliti (e.g. Weidemann & Schonberner, 1990; Habing, 1990; Trams,
1991; Ratag et al., 1992, Ratag, 1994, 2003) belakangan ini telah
mempermasalahkan reliabilitas model-model seperti itu. Alasan-alasan yang
umumnya dikemukakan adalah yang berkaitan dengan ketidakmampuan
mereproduksi, misalnya, kelimpahan unsur permukaan, hubungan massa
awal dan massa akhir, dan pelontaran massa. Sejumlah peneliti telah
memberikan petunjuk kuat bahwa penyimpangan-penyimpangan terhadap
model-model kanonik timbul karena diabaikannya efek rotasi dan medan
magnet, serta penanganan proses konveksi yang hanya mengandalkan teori
mixing length saja.
Kini diyakini bahwa aktivitas matahari dipengaruhi oleh perilaku medan
magnetnya yang didominasi oleh interaksi bersama konveksi dan rotasi
diferensial. Walaupun demikian masih banyak gejala teramati yang belum
dapat dijelaskan dengan teori yang telah berkembang hingga saat ini.
Penyempurnaan lebih lanjut menghendaki analisis yang lebih mendalam
terhadap hasil-hasil pengamatan jangka panjang dan jangka pendek yang
telah ada di samping menghendaki adanya tambahan pengamatan.
Untuk dapat memasukkan efek variasi luaran radiatif matahari, suatu
21
perubahan penting harus dilakukan terhadap rincian konsep kesetimbangan
energi yang diimplementasikan dalam pemodelan atmosfer global.
Perubahan dimaksud dilakukan dengan menjadikan 'konstanta matahari', k,
sebagai suatu variabel sedemikian sehingga pemanasan global netto (Jtidak
lagi hanya bergantung pada temperatur 7"dan konsentrasi gas rumah kaca,
r, tetapi juga pada k.
Untuk dapat mengintegrasikan efek variabilitas matahari ke dalam model
atmosfer global, khususnya model yang diperuntukkan bagi riset perubahan
iklim global, kita membutuhkan suatu model struktur, aktivitas dan evolusi
matahari sebagai bintang tunggal yang beratasi, bermedan magnet, dan
melontarkan massa dalam bentuk angin matahari. Luaran model seperti itu
harus dapat memberikan informasi tentang luminositas foton L, sebagai
fungsi waktu tdan panjang gelombang A,
dan juga ' luminositas' radiasi partikel sebagai fungsi waktu f, energi £, dan
jenis partikel j,
Kedua masukan tambahan ini merupakan suatu syarat perlu tetapi masih
harus ditopang oleh suatu pemahaman kualitatif dan kuantitatif tentang
mekanisma-mekanisma kopling yang terlibat dalam proses-proses transfer
22
energi dan massa dari suatu daerah ke daerah lainnya dalam sistem
matahari-bumi secara keseluruhan.
4.5 Rekomendasi untuk pengembangan riset hubungan mataharibumi
Model atmosfer global yang merupakan penggambaran matematis dari
sejumlah besar interaksi fisika, kimia dan dinamika dalam atmosfer Bumi,
adalah alat terpenting dalam upaya memahami sistem iklim. Pemodelan
sistem iklim global dipandang sebagai metoda yang paling berpotensi dalam
hal mensimulasikan iklim masa lampau dan sekarang serta memprediksi
perubahan-perubahan iklim yang mungkin terjadi pada masa mendatang.
Mengingat kompleksnya sistem yang digambarkan, kemampuan modelmodel numerik tersebut dalam mensimulasikan iklim pada saat ini dapat
dianggap cukup memuaskan.
Model-model iklim mutakhir melibatkan submodel-submodel dari beberapa
komponen: atmosfer, lautan, daratan, kriosfer, dan biosfer. Komponenkomponen ini saling berinteraksi membentuk suatu sistem umpan-balik
yang rumit. Dalam model-model yang terbesar sekalipun banyak prosesproses penting yang belum dilibatkan secara eksplisit karena tingkat
pemahaman tentang mekanisma-mekanisma yang ada masih terlalu
primitif. Efek-efek statistika dari proses-proses yang belum dimengerti
sepenuhnya itu terhadap variabel-variabel yang diprediksi dimasukkan ke
dalam
model
melalui
hubungan-hubungan
23
atau
parameterisasi-
parameterisasi yang disimpulkan berdasarkan telaah-telaah observasional
dan teoritis.
Model-model atmosfer Bumi
yang ada
pada
saat
ini
umumnya
dikembangkan dengan pusat perhatian pada daerah di bawah stratosfer
yang dianggap berperan penting dalam menentukan cuaca dan iklim di
permukaan. Peran atmosfer di atasnya, termasuk juga ruang antar planet
yang menjadi lingkungan antariksa Bumi, baru belakangan ini memperoleh
perhatian yang serius. Demikian pula, pengaruh variabilitas masukan energi
dan partikel bermassa dari matahari baru dalam beberapa tahun terakhir ini
dimasukkan sebagai salah satu elemen mendasar dalam riset perubahan
iklim global.
Pemodelan
sistem
matahari-bumi secara
keseluruhan
menghendaki
pemahaman kualitatif dan kuantitatif tentang interaksi-interaksi yang
menjadi komponen mekanisma-mekanisma kopling yang terlibat dalam
proses-proses perpindahan energi, massa, dan momentum dari suatu
daerah ke daerah lainnya dalam sistem matahari-bumi. Untuk mencapai
tujuan tersebut, upaya-upaya penelitian perlu difokuskan pada topik-topik
berikut
• Matahari sebagai sumber energi dan gangguan.
Riset-riset dikembangkan dalam hal ini bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman tentang mekanisma-mekanisma utama pembangkitan
emisi
gelombang elektromagnetik dan emisi korpuskular (partikel
bermassa) di permukaan dan atmosfer matahari, dan merumuskan
24
model-model fisis yang mendukung peningkatan daya prediksi
gangguan-gangguan jangka pendek (menit hingga harian) dan
variabilitas jangka panjang (tahunan sampai ratus tahunan)
Transfer energi dan massa melalui medium antar planet dan
sistem magnetosfer-ionosfer.
Tujuan riset ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang
mekanisma-mekanisma transfer energi, momentum dan massa melalui
daerah-daerah gelombang kejut dan batas-batas yang memisahkan
berbagai daerah plasma dalam sistem matahari-bumi, dan mempelajari
percepatan, proses-proses difusi, konveksi, serta ketakstabilan skala
besar yang mendistribusikan dan memodifikasi aliran-aliran kompleks
partikel, gelombang-gelombang dan medan elektromagnetik plasma.
•
Kopling ionosfer-termosfer dan responsnya terhadap input'
input energi dan momentum.
Program riset ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman
tentang proses-proses global yang mempengaruhi/menentukan kopling
dan interaksi di antara partikel-partikel netral dan partikel-partikel
bermuatan dalam sistem ionosfer-termosfer, serta mempelajari respons
sistem tersebut terhadap perubahan-perubahan masukan energi dan
partikel yang berasal dari matahari, dan terhadap transfer energi dan
momentum oleh partikel-partikel, medan-medan, dan gelombanggelombang dari daerah-daerah di dekatnya.
•
Respons atmosfer-tengah terhadap 'forcing' dari atas dan dari
bawah.
Kegiatan
yang
meningkatkan
terkait
dengan
pemahaman
program
mengenai
25
ini
respons
bertujuan
untuk
atmosfer-tengah
terhadap perubahan-perubahan masukan yang berasal dari matahari
dan lingkungan antariksa dekat,
dan terhadap aktivitas-aktivitas
vulkanik, meteorologi, biosfer, dan manusia, serta mempelajari
jarak/luas jangkauan daerah di sebelah atas dan di sebelah bawah yang
dipengaruhi oleh umpan balik respons tersebut.
- Efek-efek variabilitas matahari terhadap lingkungan hid up
manusia.
Program ini bertujuan menentukan pengaruh-pengaruh variabilitas
matahari terhadap sifat-sifat fisika dan kimia serta perilaku skala-besar
atmosfer bawah dan atmosfer tengah terhadap sistem-sistem teknologi
buatan manusia, terhadap earth currents, dan terhadap biota, serta
merumuskan, menguji, dan mengkaji mekanisma-mekanisma yang
terlibat dalam memunculkan efek-efek tersebut.
5. Mengapa Curah Hujan di Indonesia ?
Proses pembentukan hujan di kawasan tropis, khususnya di Benua Maritim
Indonesia, merupakan salah satu proses yang paling sukar disimulasikan.
Hingga saat ini belum ada satu model iklim pun yang mampu
mensimulasikan curah hujan di Indonesia dengan baik. Korelasi pola
{pattern correlation) antara hasil simulasi model dan hasil observasi
sebagian besar hanya berkisar pada angka di bawah 0.5 [lihat misalnya
Ratag (2001, 2002)]. Simulasi iklim Indonesia, khususnya curah hujan,
dapat dikatakan sebagai kawah Candradimuka bagi uji validasi model-model
iklim internasional. Dinamika arus lintas Indonesia, perilaku monsun, ENSO
dan Indian Ocean Dipole Mode berinteraksi dengan modus-modus yang
26
sangat kompleks dalam mempengaruhi pembentukan hujan di kawasan
Benua Maritim Indonesia. Topografi dan interaksi laut-darat-atmosfer yang
sangat kompleks ikut menambah kerumitan simulasi dan prediksi curah
hujan di wilayah Indonesia. Dinamika sistem matahari-bumi yang antara
lain dipicu oleh aktivitas matahari akan menambah kekompleksan
permasalahan. Model-model iklim resolusi tinggi (dengan resolusi berorde
sub-kilometer) perlu dikembangkan untuk Indonesia dalam skala-skala
meso dan lokal, atau setara dengan skala provinsi dan kabupaten. Teknik
nesting dengan model iklim area terbatas (LAM; limited area model) - yang
masih memperhitungkan dinamika iklim global - merupakan solusi bagi
peningkatan akurasi simulasi dan prediksi curah hujan maupun variabelvariabel iklim lainnya di Indonesia. Peningkatan akurasi ini seyogyanya
dibarengi dengan pengembangan model-model atmosfer menengah dan
atas yang memperhitungkan interaksi-interaksi yang menjadi komponen
mekanisma-mekanisma
kopling
yang
terlibat
dalam
proses-proses
perpindahan energi, massa, dan momentum dari suatu daerah ke daerah
lainnya dalam sistem matahari-bumi
6. Epilog
Pada musim panas 1989, John Horgan, seorang penulis senior Scientific
American, menemui ilmuwan elit dunia Roger Penrose, fisikawan Inggris
yang menjadi ilmuwan tamu di Universitas Syracuse, New York. Ketika itu
Penrose baru saja mempublikasikan bukunya The Emperor's New Mind
yang berisi pemikirannya tentang upaya mencapai "the (ultimate) Answer",
rahasia kehidupan dan teka-teki alam semesta. Kebanyakan elit fisikawan
dunia meyakini bahwa teori superstring adalah "the unified theory" yang
27
menjadi sasaran riset fisika teori dalam sejumlah dasawarsa terakhir akan
menjadi kunci. Beberapa di antara mereka bahkan menyebutnya sebagai "a
theory of everything". Penrose adalah salah satu di antara ilmuwan yang
tidak meyakini hal tersebut. Alternatif pemikirannya dituangkan dalam The
Emperor's New Mind. Salah satu pertanyaan Horgan kepada Penrose
adalah apakah suatu saat nanti para ilmuwan akan menemukan The Answer
dan mengakhiri serentetan panjang masalah yang selama ini dipertanyakan
? Layaknya seperti seorang politisi Penrose menjawabnya dengan "I don't
think we're closd'. Yang lebih menarik adalah gumaman selanjutnya,
"Solving mysteries is a wonderful thing to do. And if they were all solved,
somehow, that would be rather boring" (Horgan, 1997). Para ilmuwan
memang seharusnya selalu berhadapan dengan masalah, karena itulah
yang membuatnya terus berjalan. Semakin maju pengetahuan kita, semakin
kita menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui. Semakin maju
pemahaman kita, semakin jelas bahwa segala sesuatu yang telah kita
pelajari tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang masih harus kita
pelajari. Di balik setiap pintu yang berhasil kita buka, terdapat banyak pintu
dan kunci yang harus kita buka. Sains bukanlah suatu "arrival", tetapi
sebuah "journey". Charles Osgood (1998) pada bagian awal kata
pengantarnya untuk buku A Science Odyssey menyatakan bahwa "Zt
[science] is not a fixed body of knowledge or growing shelf of facts and
theories, but an infinite series of questions. The most brilliant scientists
have been those who have sought not the right answers to give but the
right questions to ask".
28
Daftar Pustaka:
Arking, A., 1990," Feedback Processes and Climate Response", in "Climate Impact of
Solar Variability", Eds. K.H. Schatten & A. Arking, NASA Conference
Publication 3086, pp. 219-226
Brasseur, G., Verstraete, M.M. 1988, Proc. SCOSTEP Symp. held during the XXVII
COSPAR Plenary Meeting, Espoo, Finland, hal. 166-185.
Brier, C.G. 1961, Ann. N.Y. Acad. Sci., Vol. 95, hal. 173.
Dickinson, R.E. 1986, dalam "Physics of the Sun", Vol. I l l , Eds. P.A. Sturrock et
al., D.Reidel Publ.Co., hal. 155--191.
Flowers, C, 1998, "A Science Odyssey: 100 years of Discovery", William Morrow 8i
Co., Inc., New York
Friis-Christiansen, E., Lassen, K. 1991, Science, Vol. 254, hal, 698.
Habing,H.J. 1990, dalam From Miras to Planetary Nebulae: Which Path for Stellar
Evolution, ed. M.O. Mennessier 8i A. Omont, Editions Frontieres, Yvette
Cedex, hal. 16.
Hadi, T.W., Jamaluddin, Z.A. 1994, Proc. 8th Int. Symp. on Solar-Terrestrial
Physics, Part I, SCOSTEP, hal. 247.
Horgan, J., 1997, "The End of Science", Broadway Books
Hunt, B.G. 1988, Proc. SCOSTEP Symp. held during the XXVII COSPAR Plenary
Meeting, Espoo, Finland, hal. 111-165.
Keating, G.M., Pitts, M.C., Brasseur, G., de Rudder, A. 1987, J. Geophys. Res., Vol.
92, p. 889.
Keating, G.M., Chiou, L.S., Hsu, N.C. 1994, Adv. Space Res., Vol. 14, hal. 201.
Labitzke, K. 1982, J. Met. Soc. Japan, Vol. 60, hal. 140.
Labitzke, K. 1987, J. Geophys. Res. Lett., Vol. 14, hal. 535.
Labitzke, K., van Loon, H. 1994, Proc. 8th Int. Symp. on Solar-Terrestrial Physics,
Part I, SCOSTEP, hal. 237.
Lacis, A.A., Carlson, B.E. 1992, Nature, Vol. 360, hal. 297.
Nastrom, G.D., Belmont, A.D. 1980, Geophys. Res. Lett., Vol. bf 7, hal. 457.
Penrose, R. 1989, "The Emperor's New Mind", Oxford University Press
Ramanathan, V., Barkstorm, B.R., Harrison, E.F. 1989, Physics Today, hal. 22-32.
Ratag,M.A., Pottasch,S.R., Dennefeld,M., Menzies,J.W. 1992, Astron. Astrophys.,
Vol. 255, hal. 255.
Ratag,M.A., 1993, Evolution of the Central Stars of Galactic Bulge Planetary Nebulae,
International Astronomical Union (IAU) &h Asian Pacific Regional Meeting on
Astronomy, 16-20 August 1993, Pune, India
Ratag, M.A. 1994a, "Solar Structure, Activities and Evolution: Unsolved Problems",
Proc. 8th Int. Symp. on Solar-Terrestrial Physics, Part I, SCOSTEP, p. Dl
29
Ratag, M.A. 1994b, " On the Challenges of Incorporating Models of Solar Activities in
Global Climate Models", Proc. 8th Int. Symp. on Solar-Terrestrial Physics, Part
I, SCOSTEP, p. D5
Ratag, M.A. 1994c, dalam "Perubahan Iklim Global dan Hubungan Matahari-Bumi",
Eds. M.A.Ratag dkk, Proc. Media Dirgantara LAPAN, hal. 101-115.
Ratag, M.A. 1999,"Perubahan Iklim Global dan Sistem Matahari-Buml', Lokakarya
"Kita dan Perubahan Iklim: Kasus El Nino dan La Nina", Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta/Serpong, 18-19 Mei 1999
Reber, C.A., Huang, F.T. 1982, J. Geophys. Res., Vol. 87, p. 1313.
Reid, G.C. 1987, Nature, Vol. 329, hal. 142.
Roederer,J.G., R.Bonnet, M.Geller, T.Ogawa and V.Troitskaya (1986). STP
Newsletter, 86-1. SCOSTEP Secretariat, University of Illinois, Urbana.
Schunk, R.W. 1988, Proc. SCOSTEP Symp. held during the XXVII COSPAR Plenary
Meeting, Espoo, Finland, pp. 52-110.
Sprenger, K., Schminder, R. 1969, J.Atmos.Terr.Phys., Vol. 31, p. 217.
Thorne, R.M. 1980, Pure Applied Geophys., Vol. 118, p. 128.
Tinsley, B.A. 1994, EOS, Vol. 75, No.32, hal. 1.
Tinsley, B.A., Hoeksema, J.T., Baker, D.N. 1994, J. Geophys. Res. Vol. 99, hal. 805.
Trams,N. 1991, Ph.D. Thesis, University of Utrecht, The Netherlands.
Weidemann,V., SchOnberner,D. 1990, dalam From Miras to Planetary Nebulae:
Which Path for Stellar Evolution, ed. M.O. Mennessier & A. Omont, Editions
Frontieres, Yvette Cedex, hal. 3.
Westfall, R.S., 1993, "The Life of Isaac Newton", Cambridge University Press
Willson, R.C., Gulkis, S., Janssen, M., Hudson, H.S., Chapman, G.A. 1991, Science,
Vol. 211, No. 13, p. 200.
Youngson, R. 1998, "Scientific Blunders: A Brief History of How Wrong Scientists can
Sometimes be", Robinson Publishing Ltd
30
LAM P I RAN
Selected Publications & Presentations in International Journals,
Proceedings, Books, Symposia
Invited International Lectures
31
[ Selected Publications & Presentations in International Journals,
Proceedings, Books, Symposia
Ratag, M.A., Hidayat, B. 1986, Positions of Comet Clark (1983 w) in 1984,
Acta Astronomica, Vol. 36, pp. 179-180
Pottasch, S.R., Zijlstra, A.A., Ukita, N.. Manchado, M.. Ratag, M.A., 1987, The
peculiar planetary nebula Ml-78, in "Planetary Nebulae". Proc. International
Astronomical Union (IAU) Symposium No. 131. Ed. S. Torres-Peimbert. Kluvver
Acad. Publ, Dordrecht, p.216
Ratag, M.A. 1988, The abundances of argon and sulfur in planetary nebulae.
Proc. 43rd Dutch Astronomical Conference. Papcndal. the Netherlands. 5-7 May
1988. Eds. Piet van de Kruit et al., Dutch Astronomical Society, p.28
Ratag, M.A. 1988, The galactic abundance gradients from type II planetary
nebulae. Proc. 43 ,d Dutch Astronomical Conference. Papcndal, the Netherlands. 57 May 1988, Eds. Piet van de Kruit et al., Dutch Astronomical Society, p.28
Ratag, M.A. 1988. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in Astrophysics, Vatican
Observatory Summer School in Observational & Theoretical Astrophysics, June 6
- July 6, 1988, Castel Gandolfo, Papal Palace, Rome, Italy
Ratag, M.A. 1988, Planetary nebulae near the Galactic Center. Vatican
Observatory Summer School in Observational & Theoretical Astrophysics. June 6
- July 6, 1988, Castel Gandolfo, Papal Palace, Rome, Italy
Zijlstra. A.A., te Lintel Hekkert, P., Pottasch. S.R.. Caswell, J.L., Ratag, M.A.
Habing, H.J. 1989, OH Maser emission from young planetary nebulae, Journal of
Astronomy and Astrophysics, Vol. 217, p. 157
Pottasch. S.R.. Ratag, M.A.. Oiling, R. 1990. Newly discovered young planetary
nebulae, in 'From Miras to Planetary Nebulae: Which Path for Stellar Evolution",
Eds. M.O. Menncssier and A. Omont, Editions Frontieres. Yvette Cedex. pp. 381396
Ratag,M.A., Pottasch, S.R., Dennefeld, M., Menzies, J.W., 1990, Abundances in
the galactic bulge planetary nebulae, in "•Bulge of Galaxies". Proceedings of
ESO/CTIO Workshop. La Serena, Chile, 16-19 January 1990, Eds. B.J. Jarvis and
P.M. Terndrup, pp. 93-96
V^ila.%,, M.A.. S.R. Pottasch, 1990, Argon abundance in planetary nebulae.
rnal of Astronomy & Astrophysics Vol. 227, pp. 207-212
1 Ratag, M.A., S.R. Pottasch. A. A. Zijlstra. J. Menzies. 1990, Planetary Nebulae
near the Galactic Center: II. The Second Very Large .Array (VIA) Measurements.
Journal of Astronomy and Astrophysics. Vol. 233. pp. 181-189
33
Ratag, M.A.. S.R. Pottasch. 1992. Planetary Nebulae near the Galactic Center:
III. The Westerbork Synthesis Radio Telescope (WSRT) Measurements. Journal of
Astronomy and Astrophysics Suppl. Series Vol. 91, pp. 481
Ratag, M.A., S.R. Pottasch, M. Dennefeld. J.W. Menzies, 1992. (Chemical)
Abundances in planetary nebulae near the Galactic Center: Abundance
Distributions. Journal of Astronomy and Astrophysics, Vol. 255, pp 255
Ratag, M.A., 1993, Constraints on Solar Model from Planetary Nebula Studies,
United Nations / Indonesia Regional Conference on Space Science and
Technology for Sustainable Development, Bandung, Indonesia, May 17-21, 1993,
Topic: Space Science and Technology, Paper SST-19
Ratag, M.A., 1993. A New Method for Discovering Planetary Nebulae based on
IRAS Measurements, United Nations / Indonesia Regional Conference on Space
Science and Technology' for Sustainable Development. Bandung, Indonesia, May
17-21, 1993, Topic: Space Science and Technology, Paper SST-29
Ratag, M.A., 1993, Evolution of the Central Stars of Galactic Bulge Planetary
Nebulae, International Astronomical Union (IAU) 6lh Asian Pacific Regional
Meeting on Astronomy, 16-20 August 1993, Pune, India (Contributed Paper B6)
Ratag, M.A., 1993, Planetary Nebulae in the Galactic Bulge: On the Initial-Final
Mass Relation, International Astronomical Union (IAU) 6' Asian Pacific
Regional Meeting on Astronomy, 16-20 August 1993. Pune. India (Contributed
Paper B51)
Ratag, M.A., 1993, Planetary Nebulae near the Galactic Center, International
Astronomical Union (IAU) 6* Asian Pacific Regional Meeting on Astronomy, 1620 August 1993, Pune. India (Invited Review)
Ratag, M.A., 1994, Abundances in Galactic Planetary Nebulae, Proc.
International Astronomical Union (IAU) Symposium No. 164 on 'Stellar
Populations". Ed. Hugo van Woerden, 22'" General Assembly of IAU, Den Haag,
The Netherlands, 15-27 August 1994 (Paper S 164.C.34)
Ratag, M.A.. 1994, Abundances in Planetary Nebulae Near the Galactic Center
and the Bulge Chemical Evolution. Proc. International Astronomical Union (IAU)
Symposium No. 169 on •'Unsolved Problems of the Milky Way". Ed. Hugo van
Woerden, 22nd General Assembly of IAU, Den Haag, The Netherlands, 15-27
August 1994 (Paper S 169.L.93)
Ratag, M.A.. 1994, Galactic Abundance Gradients from Type II Planetary
Nebulae, Proc. JD 1 on "Gas Disks in Galaxies", Ed. Hugo van Woerden, 22"d
General Assembly of IAU, Den Haag. The Netherlands, 15-27 August 1994
(Paper JD 1.C.21)
34
Ratag, M.A.. 1994, Use ofPNfor ( osmic Distance Scale: Effects of Abundance
and Central Star Temperature Distributions, Proc. JD 10 on "Extragalactic
Planetary Nebulae". Ed. Hugo van Woerden, 22nd General Assembly of 1AU. Den
Haag. The Netherlands, 15-27 August 1994 (Paper JD 10.8)
Ratag, M.A., 1994, Positions of Planetary Nebula Central Stars in the
Hertiprung-Russel Diagram, Proc. JD 12 on "Accuracy of the HR Diagram and
Related Parameters", Ed. Hugo van Woerden, 22'"' General Assembly of IAU,
Den Haag. The Netherlands, 15-27 August 1994 (Paper JD 12.C.24)
Ratag, M.A. 1994. On the Challenges of Incorporating Models of Solar Activities
in Global Climate Models, Proc. SCOSTEP 8th International Symposium on Solar
Terrestrial Physics. Sendai, Japan. June 5-10, 1994
Discipline 5: Solar Variability Effects in the Human Environment. Paper D5S01
(Invited Talk)
Ratag, M.A. 1994, Solar Structure, Activities and Evolution: Unsolved Problems
Proc. SCOSTEP 8,h International Symposium on Solar Terrestrial Physics, Sendai,
Japan, June 5-10, 1994
Discipline 1: The Sun as a Source of Energy and Disturbance, Paper PD1-001
Ratag, M.A. Suaydhi. 1995, On the Possible Relation between Solar Variability
and the Equatorial Ozone over Indonesia, Proc. International Japan-Indonesia
Workshop on Atmospheric Observation over the Equatorial Region, LAPANSTEL-MRI-CRL, Bandung, November 2"d, 1995, pp. 12-14
Ratag, M.A. 1996, Impact of Solar Variability on the Equatorial and Global
Atmosphere, Proceedings 6* International Center for Equatorial Atmospheric
Research (ICEAR) Symposium, 10-12 March 1996, Bandung, pp. 143-145
Ratag, M.A. 1997, Nested Climate Modeling for Climate Impact Studies,
Proceedings of the First International Conference on Science and Technology for
the Assessment of Global Climate Change and Its Impacts on Indonesian Maritime
Continent. Jakarta. November 1997
Ratag, M.A,, Pottasch, S.R, M. Dennefeld, J. Men/ies, 1997, Abundances in
planetary nebulae near the galactic centre:!. Abundance Determinations, Journal
Astronomv & Astrophysics Supplement Series, Vol. 126. pp. 297-310. December
1997
Ratag, M.A. et al. 1998. Greenhouse Gases, Climate Change, and El Nino, in
"Economic Assessment of Greenhouse Gas Abatement Options". Proc. ALGAS
(Asian Least-Cost Greenhouse Gases Abatement Strategy) AED/ADB/UNDP
Workshop,November 1997
Ratag, M.A., 1998, Studies of Climate Change & Climate Variabilities in
Indonesia using Global Circulation Model (GCM) and Limited Area Model
(LAM), Bi-National Indonesia-USA Scientific Meeting on "ENSO and its
impacts". CERC. University of Columbia. New York. January 10-20. 1998
35
Ratag, M.A. 1999. Solar-Terrestrial Relations and Effects of Solar Activity:
Impact of Solar Variability on the Equatorial and Global Atmosphere. In "Space
Benefits for Humanity in the Twenty-First Century", ISBN 92-1-100818-2.
UN1SPACE III, United Nations, 1999
Ratag, M.A. 2000, Variation of Solar Cycle Length Based on Weighted Wavelet
Z-Transform, Proc.Joint Symposium on "Solar Variability' and Climate" (Paper
JSA16/E/20-A3), International Union of Geology and Geophysics (1UGG) 1999
Symposia, Birmingham, UK, 18lh-30'h July 1999
Ratag, M.A. 2000, A New Method to Detect Solar Variability Effects on TreeKings. Proc. Joint Symposium on "Solar Variability and Climate" (Paper
JSA16/E/04-A3), International Union of Geology and Geophysics (1UGG) 1999
Symposia, Birmingham. UK, lS'Mo" 1 July 1999
Ratag, M.A. 2000, Role of Indonesian Waters on Global Climate Change, Proc.
International Conference on Ocean Science. Technology and Industries (ICOSTI),
BPPT, Jakarta, December 2-3, 1999
Ratag, M.A. 2002, Reanalysis of monthly rainfall for the selected cities in
Indonesia (a comparison between observations and the limited area model CSIRO
DARLAM outputs), Proc. APN Workshop on "Analysis of Climate Change
Simulations of Southeast Asia", ed. J. McGregor (in press).
Ratag, M.A. 2002, Annual and semi-annual oscillations in the troposphere over
Indonesia: zonal and meridional wind (a comparison between observations and
the limited area model CSIRO DARLAM outputs), Proc. APN Workshop on
"Analysis of Climate Change Simulations of Southeast Asia", ed. J. McGregor (in
press),
Ratag, M.A.. Suaydhi, Siswanto, B. 2002, Wavelet Analysis of Rainfall for the
Selected Cities in Indonesia (a comparison between observations and the limited
area model CSIRO DARLAM outputs), Proc. APN Workshop on "Analysis of
Climate Change Simulations of Southeast Asia", ed. J. McGregor (in press).
Ratag, M.A. 2002. Simulation of Meridional and Zonal Wind over Indonesia with
High Resolution Climate Model, Proc. International Symposium on Equatorial
Processes Including Coupling (EPIC). Kyoto, Japan. March 18-22, 2002
(Contributed Paper ST-25)
Ratag, M.A. 2003, The Sulphur Abundances in Planetary Nebulae, Proc. IAU
Symposium No. 209 on "Planetary Nebulae: Their Evolution and Role in the
Universe". Eds. M.A. Dopita et al. (in press)
Ratag, M.A. 2003, On the relation between abundances in planetary nebulae and
their central star evolution, Proc. IAU 8* Asian Pacific Regional Meeting ,
Astronomical Society of the Pacific (ASP) Conference Series Vol. #. Eds. S.
Ikeuchi. J. Heamshaw, and T. Hanawa (in press)
^
36
Invited International Lectures
June 13, 1988
September 3, 1990
December 17, 1990
February 26. 1993
August 23, 1994
August 2001
Vatican Observatory, Castel Gandolfo. Papal Palace, Rome.
Italy
Title: "Planetary nebulae near the Galactic Center"
Kapteyn Institute. Dept. of Astronomy, University of
Groningcn. The Netherlands
Title: "Zanstra Method in Dusty Planetary Nebulae"
Kapteyn Institute, Dept. of Astronomy, University of
Groningen, The Netherlands
Title: "Chemical Abundances in Galactic Bulge Planelary
Nebulae"
Kapteyn Institute, Dept. of Astronomy. University of
Groningen, The Netherlands
Title: "Peculiarities of Planetary Nebulae near the Galactic
Center"
Indian Institute of Astrophysics, Bangalore. India
Title: "Evolution of Galactic Bulge Planetary Nebulae
Central Stars"
International Pacific Research Center. School of Ocean and
Earth Science and Technology, University of Hawaii.
Hawaii. USA
Title: "High Resolution Nested Climate Modeling using
DARLAM"
37
Download