BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang “Kampung Inggris” berada di wilayah Desa Tulungrejo, termasuk dalam daerah administratif Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Penamaan “Kampung Inggris” bukan merujuk pada komunitas orang Inggris, seperti halnya penamaan Kampung Betawi bagi suku Betawi atau Kampung Pecinan bagi komunitas etnis Cina. Pelabelan Inggris pada nama “Kampung Inggris” mengacu pada keberadaan lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris yang berjumlah lebih dari seratus lembaga. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut berkumpul dalam suatu wilayah yang kemudian dinamakan sebagai “Kampung Inggris”. Para peserta yang mengikuti kursus berasal dari berbagai daerah berskala nasional. Daerah asal para peserta di antaranya dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Pulau Lombok, Maluku, dan lain-lain. Mereka datang ke Desa Tulungrejo atau “Kampung Inggris” khusus untuk belajar bahasa Inggris. Para peserta umumnya berstatus fresh graduate dari SMA atau sarjana strata 1. Para peserta yang lulus SMA umumnya beralasan belajar bahasa Inggris untuk mempersiapkan diri melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi atau bekal mencari kerja. Mereka menunda melanjutkan pendidikan formal karena faktor kesengajaan atau tidak lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi. Waktu senggang selama satu tahun digunakan untuk belajar bahasa Inggris. Sementara para peserta dengan status lulus S1 umumnya beralasan sembari mencari 1 pekerjaan, mereka belajar bahasa Inggris. Selain para freshgraduate, banyak peserta kursus masih berstatus siswa atau mahasiswa. Mereka datang ke “Kampung Inggris” ketika libur semester. Sistem pembelajaran yang umum diterapkan dibagi menjadi dua periode pendaftaran dalam tiap bulan, yakni periode tanggal 10 dan 25 yang dikemas menjadi sistem paket. Satu paket berisi program berdurasi 2 minggu sampai 1 bulan. Program yang ditawarkan, antara lain kelas grammar, listening, speaking, translation, writing, vocabulary, TOEFL, dan lain-lain. Selain kelas reguler, pada masa liburan sekolah diadakan paket belajar yang mencakup keseluruhan program dengan alokasi waktu berdasarkan kesepakatan. Program liburan dirancang khusus bagi peserta untuk mengisi liburan sekolah. Selain menyelenggarakan program kelas bimbingan, beberapa lembaga juga menyediakan asrama. Asramaasrama tersebut umumnya menerapkan peraturan berbicara bahasa Inggris dalam keseharian. Asrama jenis ini sering kali diistilahkan sebagai “English area”. Sebenarnya, pelabelan “Kampung Inggris”, tidak khas berlaku di Desa Tulungrejo dan Desa Palem, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Utara, terdapat juga desa yang berjuluk “Kampung Inggris”, yakni Desa Raoda. Di atas teras jembatan masuk ke Desa Raoda, terpampang tulisan “Welcome to Desa Raoda, North Kolaka” (Kompas, 23 April 2013). Selain di Sulawesi Utara, seturut pemberitaan Okezone.com, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan mempersiapkan pendirian “Kampung Inggris” di lokasi-lokasi transmigrasi yang mirip dengan konsep “Kampung Inggris” di Pare, Kediri, Jawa Timur. 2 Proyek percontohan tersebut membuktikan perkembangan area “Kampung Inggris” mendapatkan respons positif dari masyarakat secara umum. Ada dua keuntungan dari keberadaan “Kampung Inggris”. Pertama, meningkatkan kualitas sumber daya peserta kursus; kedua, menyediakan sumber penghasilan bagi penduduk setempat. Sementara itu, perkembangan “Kampung Inggris” di Pare berawal dari lembaga kursus Basic English Course (BEC) yang didirikan oleh M. Kalend Osen pada tahun 1976. Dari awal mula lembaga kursus bahasa Inggris inilah, muncul lembaga-lembaga lain yang didirikan oleh para alumni dari BEC. Selain sebagai pusat belajar bahasa Inggris, karakteristik khas lain di “Kampung Inggris” di Pare adalah aturan berpakaian, yakni berjilbab bagi peserta perempuan yang beragama Islam pada beberapa lembaga kursus. Lembaga yang menerapkan aturan tersebut adalah Basic English Course (BEC), Happy English Course (HEC) I dan II, serta Effective English Conversation Course (EECC). Aturan berjilbab tersebut muncul pertama kali di lembaga BEC milik Kalend Osen, pendiri sekaligus pembuat aturan. Selain itu, BEC merupakan tempat kursus bahasa Inggris yang pertama kali berdiri di “Kampung Inggris”. Sementara ketiga lembaga lainnya merupakan cabang yang mengadopsi sistem pembelajaran dan aturan dari BEC. Berjilbab di BEC menjadi bagian dari tata tertib berpakaian yang harus dipatuhi oleh peserta kursus. Selain diharuskan mengenakan jilbab, para perempuan siswa BEC tidak diperbolehkan mengenakan celana jeans ketat, sekalipun bercelana, model yang dipakai adalah berbahan kain dan bermodel longgar. Sementara siswa laki-laki mengenakan celana dengan model longgar dan 3 kemeja dimasukkan ke celana. Para pengajar pun serupa, pengajar perempuan mengenakan jilbab dan rok atau celana kain longgar dengan model baju atasan panjang sampai menutup pantat, bersepatu, dan berkaos kaki. Sementara pengajar laki-laki mengenakan kemeja dimasukkan ke celana panjang dilengkapi sabuk, bersepatu, dan berkaos kaki. Aturan ini bersifat mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh warga BEC. Sanksi terhadap pelanggaran ditindak dengan tegas dengan hukuman paling berat adalah dikeluarkan. Dalam sepanjang penyelenggaraan, aturan berjilbab dan berpakaian mapan diterapkan. Artinya, para perempuan yang dalam keseharian tidak berjilbab mau mengenakan jilbab agar dapat belajar bahasa Inggris di BEC. Hal ini memancing problematika yang dilatarbelakangi setidaknya dua hal. Pertama, BEC adalah lembaga nonformal yang tidak diwajibkan untuk diikuti oleh seseorang sehingga pilihannya lebih kepada mana suka. Kedua, BEC hanya satu lembaga dari sekian banyak lembaga yang mencapai jumlah ratusan di “Kampung Inggris”. Disadari bahwa berpakaian bukan praktik sosial yang sederhana. Pakaian dapat menjadi media komunikasi artifaktual yang menyimpan makna-makna tertentu. Pada posisi ini, pakaian berkait-kelindan secara internal dan eksternal dalam diri individu. Artinya, ketika seseorang berpakaian, ia akan memilih jenis pakaian yang sesuai dengan kepribadiannya, tetapi sekaligus pilihannya dipengaruhi oleh formasi sosial budaya tempat ia berada. Implikasinya, pakaian mempunyai nilai ganda, yakni sebagai kulit sosial yang menunjukkan afiliasi budaya serta cara individu menampilkan diri. 4 Cara berpakaian bukan merupakan sesuatu yang alamiah, melainkan dipelajari, diadopsi, dinegosiasikan, dikembangkan, disesuaikan, dan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Konvensi nilai, norma, dan kaidah sosial akan mengarahkan atau menyarankan cara-cara berpakaian tertentu dalam konteks tertentu dan tidak memungkinkan pilihan lain. Apabila individu melakukan pelanggaran, akan ada sejumlah risiko yang mesti ditanggung. Dengan demikian, kaidah berpakaian menjadi sarana dalam membentuk dan mereproduksi kelompok-kelompok masyarakat. Pakaian akan menegaskan kelompok-kelompok tersebut sehingga sulit dilintasi (Nordhlot, 2005: 2). Relasi berpakaian dengan kelompok-kelompok masyarakat lebih rumit karena pakaian merupakan penanda yang jelas dari penampilan seseorang. Jenisjenis pakaian tertentu akan mendatangkan sejumlah konsekuensi bagi pemakainya. Biasanya pakaian menjadi sarana ekspresi tentang cara hidup yang juga memuat atau mencerminkan perbedaan status, cara pandang atau sikap politik, dan religiusitas (van Dijk, 2005: 58). Meskipun demikian, individu memiliki potensi kemampuan untuk mengamati, membentuk motif, melakukan penalaran, dan memiliki kesadaran atas tindakan yang dilakukan. Artinya, meskipun terlingkupi oleh sejumlah kaidah dan konvensi tertentu, individu tidak sekadar subjek-subjek pasif yang digerakkan oleh kekuatan sosial. Maka, posisi pakaian sebagai kulit sosial dan budaya sekaligus tampilan ekspresi pribadi bukan merupakan peran yang sederhana. Peran tersebut mengandung pergulatan antara bagaimana diri dipengaruhi dan memengaruhi cara berpakaian serta bagaimana ruang sosial dipengaruhi dan 5 memengaruhi tampilan cara berpakaian. Penelitian Susanne Branner (1996) terhadap praktik berjilbab di Solo dan Yogyakarta memperlihatkan hal tersebut, yakni cara berpakaian mode jilbab merupakan representasi antara rekonstruksi diri dan rekonstruksi sosial. Ia menegaskan, veiling should be seen as an active process of both self and social production.1 Berpijak pada kompleksitas cara berpakaian, aturan berjilbab di lembaga kursus menjadi sesuatu yang tidak lagi sederhana. Pakaian adalah medium komunikasi artifaktual, sementara berjilbab berhubungan dengan aspek religiusitas. Dalam kerangka keagamaan, jilbab merupakan model pakaian perempuan Islam berlatar belakang pada kebudayaan Timur Tengah, yang diterima oleh umat Muslim sebagai salah satu pengejawantahan dari ketaatan beragama. Merujuk pada teks Al-Quran sebagai sumber utama hukum Islam, perintah berjilbab dapat ditemukan dalam Surah Al-Azhab ayat 32, 33, 53, dan 59 serta Surah An-Nur ayat 30, 31, dan 60. Sementara dalam Al-Hadis, rujukan berjilbab terdapat pada hadis yang diriwayatkan oleh „Aisyah. Namun, apabila ditinjau dari perspektif historis, praktik berjilbab berkembang di Indonesia mengandung unsur politis. Yuyun W.I Surya dalam artikel “Citra Perempuan Islam Kontemporer: Representasi Perempuan Islam dalam Sinetron Ramadhan” mengisahkan sejarah singkat fenomena jilbab di Indonesia. Yuyun menulis bahwa jilbab (atau kerudung) menjadi populer saat rezim Orde Baru memakainya sebagai “politik pakaian” untuk mendapatkan dukungan dari mayoritas Muslim di Indonesia. Perkembangan selanjutnya, jilbab 1 Berjilbab dapat dilihat sebagai proses aktif, baik diri maupun produksi sosial. 6 menjadi semakin populer ketika tampil di media massa dan mendapatkan dukungan dari kapital menjadi gaya hidup sebagai fashion. Merujuk kata jilbab dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata veil. Kata ini dipakai untuk merujuk pada penutup tradisional kepala, wajah, atau tubuh wanita Timur Tengah dan Asia Selatan. Kata veil berasal dari bahasa Latin vêla, bentuk jamak dari velum yang berarti “penutup” dalam pengertian “menutupi” atau “menyembunyikan atau menyamarkan” (El-Guindi, 1999: 6). Jilbab atau veil dalam perspektif historis-antropologis bukan monopoli bentuk pakaian khas Islam. Makna kata veil meliputi dimensi material, ruang, komunikasi, dan religius yang lebih luas. El Guindi menjelaskan secara terperinci kata veil dapat merujuk pada arti: (1) a length of cloth worn by women over the head, shoulders, and often the face; (2) a length of netting attached to a woman’s hat or headdress, worn for decoration or to protect the head and face; (3) a. the part of a nun’s headdress that frames the face and falls over the shoulders, b. the life or vows of a nun; and (4) a piece of light fabric hung to separate or conceal or screen what is behind it; a curtain. In another reference the range of meaning under ―veil and veilling is organized under several broad headings: A. Interpersonal emotion: (1) celibacy; (2) covering in the sense of cover; (3) covering in the sense of shade; B. Modes of communication: (1) hiding in the sense of disguise; (2) concealment, conceal, or concealed; (3) deception, sham; C. Organic matter: (1) screen; (2) invisibility; (3) dimness; (4) darkness; (5) dim sight. The final category is D. Dressing in ―space and dimensions‖. It is interesting that ―veil as dress‖ is last on the list of significations. There is a separate grouping called Religion: Canonicals that includes vestures; covering; seclusion; monastic; occult (El-Guindi, 1999: 6).2 2 (1) kain panjang yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala, bahu, dan seringkali muka; (2) rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita, yang dikenakan untuk memperindah atau melindungi wajah dan kepala; (3) a.bagian penutup biarawati yang melingkari wajah sampai ke bawah menutupi bahu, b. Kehidupan atau sumpah biarawati; dan (4) secarik tekstil tipis yang digantung guna memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang ada di sebalikny; sebuah korden. Pada referensi lain makna kata “veil dan veiling” diatur dengan menggunakan beberapa huruf besar, antara lain: A. hubungan emosional antarpribadi: (1) tidak kawin; (2) menutupi sesuatu; (3) bayang-bayang sesuatu; B. jenis-jenis komunikasi: (1) menyembunyikan sesuatu; (2) penyamaran, samar, disamarkan; (3) penipuan, kepura-puraan; C. benda-benda organik (material): (1) layar; (2) ketidaktampakan; (3) kesuraman; (4) kegelapan; (5) pandangan kabur; dan D. berpakaian dalam “ruang dan dimensi tertentu”. Merupakan sesuatu yang menarik bahwa “jilbab sebagai pakaian” disebutkan terakhir dalam daftar makna di atas. Dalam 7 Banyak penelitian dilakukan terhadap praktik-praktik berjilbab, di antaranya dilakukan oleh Frantz Fanon. Dalam Dying Colonialism, Fanon menyatakan bahwa bercadar di Aljazair menjadi praktik dari pertentangan antara kolonial dan antikolonial. Perempuan dibalik cadar adalah upaya politisasi tentang keberadaan mereka, upaya perjuangan, dan penentangan terhadap proyek-proyek kolonialisme termasuk “kemajuan” yang diimajinasikan oleh para kolonialis. Perempuan bercadar Aljazair meneguhkan eksistensi dirinya, kata Fanon, dalam memilih bentuk keberadaan dan kesadarannya untuk berjuang dan memposisikan diri (Gandhi, 1998: 93-94; Bhabha, 1994: 62-63). Gambaran di atas memperlihatkan fenomena berjilbab menyimpan makna yang kaya dan penuh nuansa. Mengutip bebas pernyataan El Guindi (1999) jilbab dapat berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya. Jilbab juga merupakan praktik yang telah hadir dalam rentang sejarah panjang yang dapat bermakna ideologis bagi agama-agama besar, seperti Katolik dan Islam sebagai cermin kewanitaan dan kesalehan. Meskipun dalam perspektif historis-antropologis jilbab tidak hanya berhubungan dengan ajaran agama tertentu, pada masa kini jilbab identik dengan Islam. Eksistensi jilbab bahkan menjadi bagian dari simbol-simbol keislaman. Simbolisasi ini terepresentasi dalam berbagai modus, salah satunya melalui sebuah pengelompokan lain, yaitu Religi: Resmi terdapat makna “barang-barang keagamaan”, “penutup”, “pemingitan”, “hal-hal yang berhubungan dengan biarawan/biarawati”, “sesuatu yang gaib”. 8 formalisasi pada peraturan ketatanegaraan, baik melarang maupun mengharuskan dalam skala regional atau pemerintah pusat.3 Pemahaman religius dalam ajaran-ajaran agama tidak hanya berhubungan dengan fatwa para ulama dan pembelajaran kitab suci, tetapi mencakup pula simbolisasi konsep atau benda-benda tertentu. Simbolisasi digunakan untuk mengintrepretasikan ajaran agama itu sendiri. Simbolisasi juga mempertegas fungsi jilbab sebagai media komunikasi. Berjilbab akhirnya memproduksi, mengungkapkan, dan mempertukarkan makna identitas seseorang. Dengan demikian, berjilbab membangkitkan beragam kemungkinan bergantung pada konteks mana diterapkan. Dalam konteks aturan berjilbab di lembaga BEC, makna jilbab tidak selesai ketika dirujuk pada common sense bahwa berjilbab mengacu pada perintah ajaran agama. Hal ini karena tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan antara motivasi dengan penafsiran, antara tujuan dan praktik pelaksanaan. Problematikanya ialah mengapa para peserta mau patuh berjilbab meskipun pada kenyataannya para perempuan yang belajar di BEC tidak seluruhnya dalam keseharian menggunakan jilbab. 3 Pandangan jilbab sebagai simbol Islam salah satunya terepresentasi dari kebijakan Pemerintah Prancis yang melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah Prancis. Peraturan ini ditetapkan pada 10 Februari 2004 atas dasar keinginan untuk menjaga pluralitas dan sekularitas. Sementara di Negara Indonesia, beberapa Perda daerah mengatur penggunaan busana muslimah (jilbab), antara lain surat edaran Bupati Kabupaten Banjarmasin No. 065.2/00023/ORG, tanggal 12 Januari 2004, tentang pemakaian jilbab bagi PNS Perempuan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjarmasin; Perda Kabupaten Maros No. 16/2005 tentang tata cara berpakaian Muslim dan Muslimah; instruksi Bupati Sukabumi No. 4 tahun 2004 tentang Pemakaian Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi. Sementara daerah lain yang menerapkan peraturan tentang busana muslim/muslimah atau pakaian dinas (pakaian menutup aurat) antara lain Solok (Perda No. 6/2002); Bulukamba (Perda No. 5/2003); Maros (Perda No. 16/2005); Enrekang (Perda No. 6/2005); Pasaman (Perda No. 22/2003); Sawahlunto (Perda No. 2/2003), dan lain-lain. Moh. Fauzi, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Semarang: Walisongo Press, 2008), hlm. 27. 9 B. Masalah Aturan berjilbab di lembaga kursus merupakan fenomena yang dapat diinterpretasikan dan dimaknai dalam beragam cara dan perspektif. Fungsi berbusana pada awalnya berhubungan dengan aspek biologis untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, fungsi tersebut berkembang ke arah pemaknaan sebagai komunikasi nonverbal yang menyampaikan pesan dan makna yang bertaut dalam ranah psikologis dan sosial. Namun, tulisan ini tidak mempermasalahkan bagaimana proses komunikasi nonverbal menyampaikan pesan, tetapi secara lebih spesifik mengaitkan berbusana dengan aturan wajib berbusana jilbab di lembaga kursus. Dalam kaitan tersebut, akan dicari bagaimana kekuasaan mampu mendisiplinkan individu-individu untuk patuh terhadap aturan, yakni bagaimana Kalend Osen mampu menerapkan aturan berjilbab pada para perempuan yang belajar di lembaganya. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang memiliki dasar pijakan kerangka yang memungkinkan ia memutuskan dan melakukan sebuah praktik bertindak. Kerangka pijakan, latar belakang, dan kecenderungan berbuat secara sederhana dapat dikatakan sebagai habitus. Tindakan menetapkan aturan berjilbab dan tindakan mau berjilbab untuk memenuhi peraturan akan dapat dipahami ketika habitus seseorang diuraikan. Dengan demikian, penelitian ini bertitik tolak di satu sisi dari sudut pandang pemilik kursus, sedangkan di sisi lain dari para peserta sehingga rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut. 10 1. Mengapa BEC menerapkan aturan berjilbab dan bagaimana habitus pemilik kursus sehingga melatarbelakangi dan mendorong munculnya tindakan menerapkan aturan berjilbab pada sebuah lembaga kursus bahasa Inggris? 2. Bagaimana kekuasaan (pemilik kursus) dan proses pendisiplinan mengatur para peserta perempuan sehingga mereka mau patuh menjalankan aturan yang diterapkan kepada mereka? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Menjelaskan dan mengeksplorasi habitus pemilik kursus yang melatarbelakangi penetapan aturan berjilbab. 2. Mengeksplorasi bentuk penerimaan aturan berjilbab dan bagaimana relasi kekuasaan mengatur para peserta kursus dalam berjilbab sebagai praktik sosial dalam bingkai aturan berjilbab. D. Tinjauan Pustaka Objek jilbab dalam bingkai penelitian secara luas dapat dikaji melalui ilmu agama maupun sosial-humaniora. Dalam ranah studi ilmu agama, jilbab umumnya dihubungkan dengan perintah dalam kitab suci dan praktik pelaksanaannya. Salah satu kajian jilbab dari perspektif agama dilakukan oleh M. Quraish Shihab dalam buku Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer. Quraish Shihab melakukan pembahasan mengenai perbedaan pendapat hukum jilbab bagi perempuan. 11 Sementara dalam ranah ilmu sosial-humaniora jilbab dikaji secara antropologis sebagai bagian dari praktik sosial-budaya masyarakat. Penelitian yang dilakukan Daphne Grace (2004), Suzanne Brenner (1999), Claude Nef-Saluz (2007), Juneman (2010), Rima Hardiyati (2012), Budiastuti (2012) adalah beberapa contoh dari kajian fenomena jilbab sebagai praktik sosial-budaya. Daphne Grace dalam buku The Woman in the Muslin Mask: Veiling and Identity in Poscolonial Literature melakukan penelitian dalam perkembangan baju penutup tubuh bagi perempuan dalam konteks: Eropa era Victorian, Mesir pada abad 20, Timur Tengah kontemporer, Afrika Utara khususnya Aljazair, Saudi Arabia, Mediterania Timur (Lebanon dan Palestina), dan India. Grace mengkaji fenomena penutup tubuh perempuan melalui beragam karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang dari negara dan masa tersebut. Pada penelitian ini, penutup tubuh perempuan tidak hanya monopoli sebagai praktik keagamaan, tetapi juga dapat bermakna resistensi, represi, perlindungan diri, identitas, atau simbol kenasionalan. Penutup tubuh perempuan yang dinamakan abaya (Aljazair), chador (Iran), gallibiyyah (Mesir), dan lain-lain dianalisis dengan menggunakan penggabungan teori psikoanalisis, teori budaya, kajian posmodern dan poskolonial, dan feminisme. Penelitian Grace dengan perspektif poskolonial tentang veil belum mencakup Indonesia sebagai ranah kajian. Padahal, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia memiliki karakteristik budaya yang khas yang menarik untuk dikaji. Pertama, Indonesia dengan penduduk Muslim mayoritas secara de facto bukan negara berkonstitusi hukum Islam, melainkan 12 negara berasaskan pada hukum yang mengakui agama dan kepercayaan lain selain Islam. Kedua, Islam diterima di Indonesia melalui proses akulturasi dengan kebudayaan lokal. Hal ini menjadikan praktik-praktik keagamaan (seperti di dalamnya perintah untuk menutup aurat perempuan) sering kali dijalankan tanpa melupakan konteks kelokalan. Ketiga, Indonesia adalah negara yang terbentuk dari wilayah bekas pendudukan Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang, dan di beberapa daerah pernah dijajah oleh Portugis. Pendudukan bangsa Kolonial Barat secara langsung maupun tidak langsung mengenalkan kebudayaan Barat untuk kemudian berinteraksi dengan kebudayaan lokal, entah reaksi bernada kontra, akulturasi, pengadopsian, entah dalam bentuk lain. Berbeda dengan Grace, Claudia Nef-Saluz (2007) melakukan penelitian fenomena jilbab di Indonesia khususnya dalam lingkungan para mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian Nef-Saluz dalam mengkaji fenomena jilbab menghasilkan tulisan berjudul “Islamic Pop Culture in Indonesia: An Anthropological Field Study on Veiling Practices among Student of Gadjah Mada University of Yogyakarta”. Kerangka pemikiran Nef-Saluz adalah proses hibridisasi sebagai proses interaksi kultural antara lokal dengan global. Melalui cara pandang tersebut, Nef-Saluz berhasil memotret ragam pergeseran citra Islam dalam proses perubahan sosial kontemporer di Indonesia. Ia berpendapat bahwa jilbab trendi (jilbab gaul) dalam budaya Islam populer merupakan ekspresi dari hibridisasi proses kultural antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan global. Nef-Saluz mengkritik kajian jilbab yang dilakukan oleh Sunanne Branner (1996) yang mengambil lokasi penelitian di Yogyakarta dan Solo. Hasil penelitian 13 Branner menjelaskan praktik berjilbab memperoleh makna dan interpretasi dari konsensus sosial masyarakat. Namun, seperti dikatakan Nef-Saluz, Brannner tidak menjelaskan bagaimana konsensus tersebut dihadirkan dan makna stabil yang terbentuk. Atas dasar kritik tersebut, Nef-Saluz berupaya memetakan perkembangan makna jilbab bahwa model dan cara berjilbab akan mempengaruhi interpretasi pemaknaan. Namun Nef-Saluz belum melakukan penelitian menjangkau pada bagaimana sebuah interpretasi makna atas jilbab bisa terbentuk. Atas dasar dan pondasi seperti apakah yang memungkinkan munculnya interpretasi makna. Artinya, NefSaluz baru melakukan kajian praktik dan wacana atas jilbab seperti yang terlihat secara kasatmata, belum menjangkau pada aspek yang lebih mendalam, yakni strategi kekuasaan yang memungkinkan sebuah wacana dan interpretasi menghasilkan sebuah makna. Sementara penelitian yang dilakukan Juneman (2010) merupakan penelitian secara psikologis tentang fenomena melepas jilbab yang dilakukan oleh perempuan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rima Hardiyati (2012) dengan judul “Komunitas Jilbab Kontemporer „Hijabers‟ di Kota Makassar” secara khusus membahas jilbab sebagai gaya hidup dalam komunitas Hijabers di Kota Makasar. Rima melakukan analisis terhadap cara berpakaian, gaya bahasa, kebiasaan mengisi waktu luang, dan identitas yang dimunculkan oleh para anggota komunitas Hijabers. Rima juga menunjukkan adanya pergeseran makna jilbab. Komunitas Hijabers yang terinduksi budaya populer memaknai jilbab tidak hanya berfokus 14 pada sisi religiusitas, tetapi juga sebagai hiburan, pencitraan, dan identitas kelompok. Para anggota komunitas selalu tampil stylish, fashionable, gaul, dan mengikuti perkembangan mode meskipun berjilbab. Kesan yang ditampilkan komunitas Hijabers pun terkenal sebagai komunitas yang eksklusif, komersil, dan konsumtif. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Budiastuti (2012) mempermasalahkan pemaknaan jilbab dalam perspektif sosiologi. Ia meneliti perubahan sosial dalam praktik berjilbab di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Berjilbab tidak dapat dilepaskan dari praktik ajaran agama Islam. Namun, dalam perspektif sosiologi, agama merupakan fenomena sosial sehingga pada praktik pelaksanaan ajaran berkaitan pula dengan faktor sosial dan budaya. Praktik berjilbab menjadi bagian dari simbol keagamaan dan identitas. Penelitian yang dilakukan Budiastuti hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan penulis yang berupaya menjelaskan makna jilbab sebagai konstruksi sosial. Perbedaannya terletak pada kekhasan lokasi penelitian. Budiastuti meneliti praktik berjilbab di sebuah lembaga pendidikan formal yang berafiliasi pada organisasi keagamaan, yakni Muhammadiyah. Sementara dalam penelitian ini, lembaga kursus Basic English Course milik perseorangan. Perbedaan kedua pada ketetapan berjilbab. Jika di lingkungan Fakultas Muhammadiyah tidak terdapat aturan berjilbab secara formal tertulis, tetapi sebaliknya pada Basic English Course terdapat aturan berjilbab secara formal tertulis. 15 Serangkaian penelitian di atas berusaha memotret perkembangan jilbab dengan citra dan makna yang terbentuk atasnya. Namun, sejauh sepengetahuan penulis di antara penelitian tersebut belum membahas ke arah struktur yang lebih mendalam, yakni strategi kekuasaan yang memungkinkan sebuah intrepretasi makna terbentuk. Nef-Saluz dan Branner tidak menghubungkan antara makna sosial dengan landasan Islam sebagai pijakan asal munculnya fenomena pemakaian jilbab. Kepentingan melihat Islam sebagai salah satu sumber kekuatan pembentuk wacana adalah untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang jilbab. Islam sebagai sebuah agama di sini ditempatkan dan dipandang sebagai sebuah sistem keyakinan yang melandasi nilai-nilai budaya sehingga memberi arah pada pola perilaku tertentu. Bertolak dari kajian terdahulu, penulis berupaya mengeksplorasi pertarungan pemaknaan jilbab dalam aturan berjilbab. Objek kajian yang dipilih adalah aturan berjilbab pada lembaga kursus bahasa Inggris di Basic English Course, Pare, Kediri, Jawa Timur. Penetapan aturan berjilbab di lembaga pendidikan nonformal memunculkan prasangka pertanyaan untuk apa aturan tersebut dibuat dan mengapa mampu mapan diterapkan. E. Kerangka Pemikiran 1. Konstruksi Tubuh dalam Pandangan Michel Foucault Pada karya-karya Foucault tentang sejarah individualisasi tubuh masyarakat Eropa, termaktub gagasan bahwa tubuh secara integral menjadi lokus dan medium penyebaran kekuasaan. Dalam The Disipline and Punish, Foucault menjelaskan 16 tentang penghukuman dalam sejarah Eropa. Pada era kekuasaan monarki, tubuh menjadi sasaran teater kecil proses penghukuman bagi para kriminalis. Proses tersebut ditemukan Foucault yang disebut dengan Le Supplice, yakni seremonial penghukuman dengan penyiksaan tubuh para tertuduh kejahatan yang dipertontonkan di depan publik. Melalui Le Supplice, meski merupakan ekspresi kebrutalan dan bentuk penyiksaan yang paling kejam, menurut Foucault adalah potret hubungan kekuasaan dan masyarakat. Selanjutnya, ketika Le Supplice tidak lagi berfungsi secara efektif dan efisien, proses dan pusat penghukuman beralih dengan muculnya penjara. Dalam hal ini, Foucault melihat penjara tidak lebih baik dari Le Supplice. Ini karena alasannya, penjara mengembangkan suatu jenis penghukuman yang berefek membatasi ekspresi lahiriah manusia dan membuat tingkah laku manusia dibiadabkan secara alamiah di bawah manusia lain. Dalam penjara, dasar penghukuman tidak hanya mengarah pada kontrol tingkah laku yang terbungkus dalam bentuk disiplin. Akan tetapi, kontrol dalam disiplin diterapkan pada seluruh kehidupan individu, baik kelakukan fisik sehari-hari sampai perkembangan pikiran (Suyono, 2002: 378-384). Pemikiran yang hendak dikatakan Foucault ialah disiplin menjadi kunci untuk mengubah perilaku individu. Dengan pengoperasian disiplin, tingkah laku dan lahiriah anatomi manusia secara natural dikoreksi untuk menjadi tubuh-tubuh yang bernilai guna. Pengontrolan tersebut menjadi sebuah ekonomi politik baru dari kekuatan penghukuman. Keberhasilan pendisiplinan diperoleh dari instrumen 17 berupa: hierarchical observation, normalizing judgement, and their combination in a procedure that is spesific to it—the examination (Rabinow, 1984: 188). Dalam observasi hierarkis, pengawasan dilakukan secara bertingkat atau dapat dilakukan oleh pengawas yang berbeda-beda. Meskipun demikian, model pengawasan ini bersifat otomatis, multiple, dan anonim. Selanjutnya, normalisasi akan menciptakan standar-standar tertentu mana yang normal dan mana yang abnormal. Individu-individu yang normal akan mendapatkan penghargaan, sedangkan yang abnormal akan dikenai sanksi penghukuman. Dari kombinasi kedua aspek tersebut, menjelmakan pemeriksaan yang mengarah pada objektivikasi. Lebih lanjut, wujud pendisiplinan terepresentasi dalam panopticon yang mampu menarasikan subjek-subjek individu yang terbentuk. Panopticon dalam bentuk arsitekturnya ialah bangunan bersel keliling dengan sebuah menara mercusuar di tengahnya. Menara tersebut memiliki jendela lebar melingkar yang menghadap ke arah seluruh bagian dalam ruang sel-sel. Sementara ruang-ruang sel memiliki dua jendela, satu berhadapan langsung dengan menara, sedangkan satu jendela lain berada di belakang untuk tempat masuk cahaya. Dalam penataan demikian, ruang tersebut akan selalu terlihat terang-benderang (Suyono, 2002: 434). Secara gamblang, panopticon adalah contoh dari bagaimana kekuasaan mampu mengatur subjek individu untuk patuh. Proses pengawasan mudah dan efektif yang mampu menjangkau pada sisi pribadi individu karena mereka tampil dalam diri masing-masing dalam mekanisme pengawasan yang tanpa pengawas itu sendiri terlihat. 18 Dalam karya lain, The History of Sexuality, Foucault menganalisis strategi kuasa dalam sejarah seksualitas. Ditujukkan oleh Foucault, bagaimana kekuasaan mampu bekerja dalam ruang privat individu. Kekuasaan bukan sekadar apa yang dilarang, melainkan justru berstrategi memproduksi suatu wacana tentang seksualitas yang banyak dan meluas. Wacana-wacana tersebut mampu mengektensifkan dan mengintensifkan penetrasi pada masyarakat yang diapropriasi sebagai sesuatu yang tidak memaksa apalagi menyiksa. Dengan demikian, kuasa bukan sesuatu yang bisa dimiliki oleh orang per orang yang bisa diperoleh atau menjadi hak istimewa. Kekuasaan ada dan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada berbagai posisi yang strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran (Bertens, 2005: 354). Wacana dibentuk dari macam-macam pengertian, lembaga, perundangan dan pengawasan serta konsep ilmiah (Chevreau, 2008: 13). 2. Keindividuan dalam Konsep Habitus Pierre Bourdeau Dari konsep individualisasi menurut Foucault dipahami bagaimana kekuasaan mendisiplinkan individu-individu untuk memproduksi kepatuhan. Namun bagaimanapun strategi kuasa bermain, individu sebagai sebuah entitas memiliki sejarah dan latar belakang, misalkan mengapa ia melakukan tindakan patuh. Konsep habitus dari Pierre Bourdeau menjelaskan posisi individu antara keindividuannya dalam sistem sosial dan bagaimana keduanya saling berdinamika. Jadi, penjelasan dan penguraian tentang habitus akan melengkapi narasi tentang individualisasi. 19 Habitus merupakan satu set disposisi yang menghasilkan praktik dan persepsi sosial. Disposisi dapat diartikan sebagai kecenderungan atau kesiapan berespons yang menandai tata cara, kebiasaan, dan gaya individu dalam membawa diri (Takwin, 2003: 44). Disposisi dalam Outline of Theory of Practices (Bourdeau, 1995: 214) mencakup tiga makna: the result of an organizing action, with a meaning close to that of words such as structure; it also designates a way of being, a habitual state (especially of the body) and; in particular, a predisposition, tendency, propensity, or inclination. Sebagai set dari disposisi, habitus memuat skema-skema yang menjadi dasar pemahaman untuk menentukan dan menghasilkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Skema-skema dan disposisi memiliki aspek masa lalu artinya ia dibentuk melalui proses sejarah yang panjang untuk kemudian diterapkan pada masa kini. Habitus akhirnya menjadi kanal penghubung antara individu dengan sosial yang memungkinkan terjadinya transformasi terkelola. Dengan habitus, individu dikelola dan menjadi teratur tanpa harus dipaksa patuh (Takwin, 2003: 44-45). Konsep habitus secara lebih jelas diuraikan Bourdieu dalam Outline of Theory of Practices, sebagai berikut. In short, the habitus, the product of history, produces individual and collective practices, and hence history, in accordance with the schemes engerdered by history. The system of dispositions – a past which survives in the present and tends to perpetuate itself into the future by making itself present in practices structured according to its principles, an internal law relaying the continuous exercise of the law of external necessities (irreducible to immediate conjunctural constraints) - is the principle of the continuity and regularity which objectivism discerns in the social world without being able to give them a rational basis. And it is at the same time the principle of the transformations and regulated revolutions which neither the extrinsic and instantaneous determinisms of a mechanistic sociologism nor the purely internal 20 but equally punctual determination of voluntarist or spontaneist subjectivism are capable of accounting for (Bourdieu, 1995: 82). Habitus mengejawantah dalam arena di mana berbagai interaksi dibangun dan terbentuk. Habitus dan arena mengandaikan hubungan dua arah, yakni struktur objektif (sosial) di satu sisi dan struktur personal (habitus yang telah terinternalisasi dalam diri personal) di sisi yang lain. Arena merupakan suatu ranah tempat terjadinya perjuangan posisi, otoritas legitimasi, dan dominasi. Perjuangan-perjuangan yang kemudian menentukan siapa yang mampu mendominasi dan siapa yang didominasi bergantung pada situasi, modal, dan strategi. Modal sebagai salah satu basis dominasi dapat berujud materiil maupun simbol (Harker dkk., 2009: 16-18). Melalui dua konsep teoretisasi dari pemikiran Michel Foucault dan Pierre Bourdeau inilah yang menjadi perspektif dalam melihat aturan berjilbab di BEC. Alasan yang melatarbelakanginya ialah aturan berjilbab (secara umum aturan berpakaian) bersifat mengikat dengan sanksi yang jelas. Padahal, sebagai suatu lembaga belajar, BEC bersifat nonformal yang tidak diharuskan untuk diikuti. Meskipun memang, dengan karakteristik kepemilikan pribadi membebaskan pemilik kursus untuk menetapkan aturan sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, justru dengan karakteristik demikian (kebebasan, baik pemilik maupun peserta), strategi kekuasaan macam apa yang mampu mendisiplinkan para peserta sehingga mereka mau berjilbab menarik untuk dikaji. 21 F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi, tetapi lebih merupakan studi kasus. Maksud studi kasus di sini ialah pertimbangan bahwa penelitian ini berusaha memfokuskan pada sebuah kasus yang terjadi secara spesifik dan kontemporer serta bertitik tolak dari pertanyaan “bagaimana” Metode studi kasus dilakukan secara interpretatif, yakni mengutamakan perspektif dan suara subjek yang diteliti. Interpretasi dilakukan untuk memahami tindakan dari subjek dan/atau kasus yang diteliti (Strauss dan Corbin, 2009: 350-351). Dengan demikian, langkah studi kasus bertujuan mempelajari sebuah kasus agar dapat merangkum kompleksitas makna sehingga penulis memahami bagaimana proses tersebut terjadi, tanpa berpretensi untuk melakukan generalisasi. Objek penelitian adalah aturan berjilbab di tempat kursus bahasa Inggris di Kampung Inggris dengan fokus penelitian pada sudut pandang bagaimana dan mengapa aturan berjilbab ditetapkan dan bagaimana bentuk tanggapan dari peserta kursus. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan tinjauan pustaka. Sebelum melakukan studi lapangan, peneliti menghimpun berbagai literatur yang berhubungan dengan sejarah perkembangan jilbab dalam konteks dunia, lebih khusus Indonesia. Melalui studi pustaka tersebut akan diperoleh gambaran atau pemetaan tentang bagaimana jilbab diwacanakan dan terepresentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah diperoleh gambaran umum tentang praktik berjilbab, peneliti melakukan studi ke lapangan penelitian untuk melakukan wawancara dan observasi terhadap para peserta kursus bahasa Inggris. Wawancara dilakukan 22 kepada pemilik tempat kursus (pembuat aturan), para pengajar, dan para peserta kursus. Penulis juga melakukan observasi untuk mengamati situasi-situasi empiris yang terjadi di lapangan. Observasi dilakukan guna mengamati bentuk tingkah laku para peserta dalam kaitannya dengan perilaku praktik berjilbab, seperti model berjilbab, cara berpakaian, pemakaian jilbab, dan lain-lain. Di samping itu pula mengamati tentang proses interaksi di antara para peserta khusus laki-laki dan perempuan, dengan pertanyaan apakah pemakaian jilbab berpengaruh pada proses interaksi antar-gender. Data primer didapat dari subjek penelitian, yakni pemilik lembaga kursus dan para peserta. Dari subjek pemilik kursus, diperoleh data tentang pemikiran dan pandangan mengapa aturan berjilbab dibuat. Untuk melengkapi data ini, penulis mewawancarai para pengajar mengenai bagaimana pengalaman mereka dalam mengajar, pengalaman berinteraksi dengan pemilik kursus, dan pendapat mereka tentang aturan berjilbab. Namun, data hasil wawancara dari para pengajar diperlakukan sebagai data pendukung. Selanjutnya, dari para peserta kursus diperoleh data mengenai bentuk tanggapan dan praktik pelaksanaan aturan berjilbab. Wawancara yang dilakukan peserta kursus dilakukan dengan memilih level yang berbeda-beda dari segi latar belakang pendidikan, asal daerah, paham keagamaan, umur, jenis kelamin, dan latar belakang budaya. Tujuannya adalah untuk memperoleh keberagaman pendapat tentang interpretasi jilbab. Selanjutnya, penulis melakukan reduksi data. Reduksi dilakukan dengan cara memilih dari sekian banyak peserta kursus yang diwawancarai untuk dijadikan sebagai subjek penelitian. Pemilihan subjek didasari pada keberhasilan 23 penulis membangun kedekatan personal sehingga proses pengumpulan data dapat dilakukan secara cermat, lengkap, dan akurat; karakter pribadi yang kuat artinya subjek memiliki cara pandang dan keyakinan tertentu yang melandasi tingkah laku keseharian; kekhasan pandangan subjek terhadap jilbab. Subjek yang terpilih ada empat orang, yakni Nabila, Titin, Rifka, dan Rini. Keempat subjek saling berbeda dalam hal latar belakang pendidikan, keluarga, asal daerah, umur, penampilan, dan cara mempraktikkan ajaran agama. Selanjutnya, hasil dari pengumpulan data dari subjek peserta kursus, dinarasikan sebagai sebuah pengalaman. Langkah ini dilakukan untuk lebih menjamin bahwa apa yang disampaikan merupakan kenyataan dari sudut pandang dan pemikiran pelaku. Namun demikian, apa yang disampaikan oleh subjek tidak cukup menjelaskan kondisi mereka sehingga penulis menambahkan pengkajian dan analisis melalui beragam bentuk tindakan, tampilan-tampilan tertentu, katakata atau imej-imej sebagaimana yang mereka representasikan. Secara garis besar, penelitian ini berupaya mengeksplorasi aturan berjilbab yang ditetapkan di lembaga kursus bahasa Inggris di “Kampung Inggris”, Pare, Kediri, Jawa Timur. Sebagai sebuah praktik budaya, tentu jilbab berhubungan dengan berbagai wacana dan pertarungan wacana yang berada di sekitarnya. Gambaran apa yang diimajinasikan oleh pembuat aturan dihadapkan dengan penerimaan para peserta dan imajinasi apakah yang dibangun oleh peserta tentang pokok persoalan yang akan dieksplorasi. 24 G. Sistematika Penulisan Penyajian laporan hasil penelitian dilakukan dengan sistematika sebagai berikut. Bab I Pedahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Fenomena jilbab di Indonesia: konteks historis dan dinamikanya, membahas tentang sejarah dan dinamika perkembangan praktik berjilbab di Indonesia. Bab III Konstruksi makna jilbab dalam aturan wajib berjilbab, merupakan deskripsi profil BEC dan aturan berjilbab. Bab ini juga menjelaskan konstruksi makna yang terbangun dari aturan berjilbab dari perspektif subjek pemilik kursus. Selain itu, bab ini juga menjelaskan tentang profil dari lembaga Bab IV Berjilbab dalam aturan: pengalaman empat perempuan merupakan deskripsi pengalaman praktik berjilbab dari peserta kursus. Bab V Analisis tentang bagaimana kekuasaan membentuk wacana dan mengatur para individu untuk patuh terhadap aturan. Kesimpulan. 25