Isolasi dan Identifikasi V. parahaemolyticus

advertisement
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI
Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA
UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Isolasi dan Identifikasi V.
parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Yusma Yennie
NIM F251080201
3
ABSTRACT
YUSMA YENNIE. Isolation and Identification of Pathogenic Vibrio
parahaemolyticus in Shrimp Culture Under the direction of RATIH
DEWANTI-HARIYADI and ACHMAD POERNOMO.
Vibrio parahaemolyticus (Vp) is a halophilic bacterium found in brackish
water and is the leading cause of gastroenteritis due to seafood consumption. In
Indonesia presence of this pathogen in seafood has caused several export
rejection. This research aimed to identify presence of pathogenic Vibrio
parahaemolyticus from shrimp cultured in traditional and intensive ponds.
Bacterial isolation was carried out using FDA BAM (2004), phenotypic
characterization was done using API 20E biochemical test kit and genetic
characterization was conducted with Polymerase Chain Reaction (PCR) using a
pair of specific primer for each virulent factor gene (tdh and trh genes).
Biochemical identification with API 20E biochemical test showed that
16/32(50%) and 6/32 (18.8%) shrimp samples from traditional and intensive
ponds contained Vibrio parahaemolyticus, respectively. Eighty one percent
(13/16) of Vibrio parahaemolyticus isolated from traditional pond and 50% (3/6)
of those obtained from intensive pond were pathogenic due to their possesion of
tdh gene. When gen encoding trh was used as the basis for classification, 15/16
(93.8%) and 4/6 ( 66.7%) of Vibrio parahaemolyticus obtained from traditional
and intensive ponds, respectively, were pathogenic . Out of the 22 Vibrio
parahaemolyticus isolates, 16 (72.7%) were pathogenic based on the possesion of
gene encoding for tdh and 19 (86.4%) can be classified as pathogen based on the
trh gene. Overall, pathogenic Vibrio parahaemolyticus was found at a frequency
of 13-15/32 (43%) of the shrimp samples from traditional pond while 3-4/32
(11%) was found in shrimps from intensive pond, respectively.
Keywords: Vibrio parahaemolyticus, shrimp culture, tdh gene, trh gene
4
RINGKASAN
YUSMA YENNIE. Isolasi dan Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik
pada Udang Tambak. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI dan
ACHMAD POERNOMO.
Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan perairan
payau dan salah satu spesies Vibrio spp yang bersifat patogen terhadap komoditas
udang maupun pada manusia. Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri Gram
negatif, bersifat halofilik dan dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia
melalui konsumsi pangan hasil perikanan. Udang merupakan salah satu
komoditas hasil perikanan yang menduduki peringkat pertama dalam pangsa
ekspor produk perikanan Indonesia serta merupakan salah satu komoditas
unggulan revitalisasi KKP selain tuna dan rumput laut sejak 2005. Berbagai
permasalahan yang terkait dengan ekspor udang mengakibatkan ditolaknya
produk udang ke luar negeri dan hal ini mengakibatkan kerugian yang cukup
besar bagi unit-unit pengolahan udang. Salah satu penyebab penolakan ekspor
udang karena kandungan mikroba patogen seperti Salmonella, Vibrio cholerae
dan Vibrio parahemolyticus.
Kasus penolakan ekspor udang karena kontaminasi V. parahemolyticus
pernah dilaporkan yaitu pada tahun 2005 dan 2007, sebanyak 26 ton udang beku
dan 4.8 ton produk sushi ebi dari Indonesia ditolak di Uni Eropa. Kasus terakhir,
berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2009 dan 2010
sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia ditolak oleh Cina karena
terkontaminasi V. parahemolyticus. Dalam perdagangan internasional, beberapa
negara seperti Uni Eropa, USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan
keamanan pangan terkait dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan
termasuk udang baik beku maupun olahan. Indonesia juga di dalam SNI
mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk
perikanan.
Kasus penyakit bawaan pangan (foodborne diseases) karena V.
parahaemolyticus patogenik telah banyak dilaporkan dalam berbagai kasus KLB.
Di Indonesia ditemukan sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan gastroenteristis akut
dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun 1974 (Bonang et al.
1974). Selain itu ditemukan juga V. parahaemolyticus patogenik sebesar 7.3%
dari sampel klinis pasien diare beberapa rumah sakit dalam kurun waktu 19952001 (Tjaniadi et al. 2003). Sementara itu di Jepang, dalam kurun waktu 19961998 terjadi 20-30% kasus KLB dan pada tahun 1998 dilaporkan kasus ini
melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella (IDSC, 1999 dalam USFDA, 2005).
Kemampuan V. parahaemolyticus menyebabkan penyakit pada manusia
umumnya dihubungkan dengan kemapuannya memproduksi hemolisis.
Berdasarkan kemampuannya tersebut dikenal 3 jenis hemolisin pada V.
parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH), thermostable direct
hemolysin (TDH) dan thermostable direct hemolysin-related hemolysin (TRH).
Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein yang memiliki aktivitas
phospholipase A2/lysophospholipase akan tetapi peranan hemolisin ini terkait
5
dengan kemampuannya menyebabkan penyakit tidak diketahui secara pasti.
Sementara itu TDH dan TRH diduga merupakan faktor virulen pada V.
parahaemolyticus yang dikaitkan sebagai penyebab penyakit pada manusia.
Thermostable direct hemolysin (TDH) dikenal sebagai faktor virulen karena
aktivitas β hemolisisnya yang dapat melisis membran sel darah merah sehingga
mengakibatkan gastroenteritis. Keberadaan TDH ditandai dengan adanya zona
bening pada koloni Vibrio parahaemolyticus yang ditumbuhkan pada media agar
Wagatsuma dan dikenal dengan istilah Fenomena Kanagawa (KP+).
Thermostable direct hemolysin-related hemolysin (TRH) disebut sebagai faktor
virulen lain dari V. parahaemolyticus, dimana keberadaannya dikaitkan dengan
hasil Fenomena Kanagawa negatif (KP-) tetapi dapat menyebabkan
gastroenteritis.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada awalnya dilakukan
berdasarkan reaksi biokimiawi akan tetapi metode ini memiliki kelemahan
diantaranya waktu analisis yang panjang, akurasi dan sensitivitas yang rendah
serta belum tersedianya metode analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen
TRH. Berlandaskan alasan tersebut, dikembangkan metode analisis untuk
mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Salah satu metode analisis yang
adalah metode analisis berdasarkan pendekatan molekuler yaitu teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui frekuensi
V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang di tambak tradisional dan
intensif yaitu dengan cara mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus
berdasarkan sifat-sifat biokimiawinya serta mengidentifikasi faktor virulen V.
parahaemolyticus berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh pada
komoditas udang tambak tersebut. Isolasi bakteri dilakukan dengan mengacu
pada metode BAM-FDA (2004), konfirmasi V. parahaemolyticus berdasarkan
reaksi biokimiawi menggunakan API 20E biochemical test kit, danidentifikasi V.
parahaemolyticus patogenik dilakukan berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh
dan trh menggunakan sepasang primer spesifik dari dua gen tersebut dengan
teknik PCR
Isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional dan
intensif berturut-turut menunjukkan hasil sebesar 32 dan 28 isolat (n=32).
Sementara itu konfirmasi V. parahaemolyticus menggunakan API 20E
biochemical test kit menunjukkan hasil sebanyak 16/32 (50%) dan 6/32 (18.8%)
sampel udang di tambak tradisional dan intensif positif sebagai V.
parahaemolyticus.
Hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi isolasi V.
parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional lebih tinggi dibandingkan
tambak intensif. Jika dibedakan berdasarkan lokasi pengambilan sampel pada
tambak tradisional, frekuensi isolasi V. parahaemolyticus berkisar antara 30-69%.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan amplifikasi gen
penyandi tdh pada sampel udang tambak tradisional dan intensif berturut-turut
menunjukkan hasil sebesar 13/16 isolat dan 3/6 isolat positif gen tdh. Amplifikasi
berdasarkan gen penyandi trh pada sampel udang di tambak tradisional dan
intensif diperoleh hasil sebanyak 15/16 isolat dan 4/6 isolat adalah positif gen trh.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus
dari sampel udang tambak tradisional dan intensif ternyata berifat patogen sebesar
43% dan 11%.
6
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat V. parahaemolyticus
patogenik pada komoditas udang baik di tambak tradisional maupun intensif. Hal
ini diduga terkait dengan penerapan cara berbudidaya yang baik (Good
Aquaculture Practices) yang belum optimal terutama di tambak tradisional.
Kata kunci: Vibrio parahaemolyticus, udang tambak, gen tdh, gen trh
7
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
8
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI
Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA
UDANG TAMBAK
YUSMA YENNIE
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
9
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
10
Judul Tesis
: Isolasi dan Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik
pada Udang Tambak
Nama
: Yusma Yennie
NRP
:
F251080201
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Achmad Poernomo
Ketua
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 29 Juli 2011
Tanggal Lulus:
11
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
ridho-Nya, karya ilmiah sebagai hasil tugas akhir dapat diselesaikan.
Penulis
mengangkat tema keamanan pangan dengan judul penelitian Isolasi dan Identifikasi
V. parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1.
Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc dan Dr. Achmad Poernomo, M.AppSc selaku
pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, saran, dan semangat
selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.
2.
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc selaku dosen penguji atas saran dan
masukan yang diberikan sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju
kesempurnaan karya ilmiah ini.
3.
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananBalitbang KP-KKP, yang telah mendanai penelitian ini.
4.
Rekan-rekan di Kelti Keamanan Pangan, Lab. Mikrobiologi (Ayu dan Radest)
dan Lab. Bioteknologi (Gintung dan mbak Dewi) BBRP2B atas bantuan, dan
dorongan semangat selama penelitian.
5.
Teman-teman lingkup BBRP2B (Ema, Ida, Devi, Diah, Yanti) dan teman-teman
IPN 2008, atas persahabatan dan dorongan semangatnya selama penelitian dan
penulisan karya ilmiah ini.
6.
Suami dan anak-anak tercinta, abah, ibu, dan seluruh keluarga besar atas doa,
kasih sayang, toleransi, pengertian, dorongan semangat, dan bantuannya.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2011
Yusma Yennie
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Pebruari 1974 dari Ayah
Ahmad Yusmadi Yusuf dan Ibu Ainal Mardiah yang merupakan anak ketiga dari
lima bersaudara.
Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor. Penulis melanjutkan studi ke
program pasca sarjana pada tahun 2008 di program studi ilmu pangan Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui program beasiswa
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 1999 dan
ditempatkan di UPT-LPPMHP, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera
Utara. Tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananBalitbang KP-KKP dan bergabung dengan kelompok peneliti bidang keamanan
pangan dan lingkungan Kelautan dan Perikanan.
Peneliti telah melakukan
beberapa penelitian di bidang keamanan pangan antara lain identifikasi logam
berat pada produk perikanan, identifikasi residu bahan berbahaya pada produk
perikanan baik segar dan olahan, dan saat ini sedang melakukan penelitian dengan
topik identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang vaname
di unit pengolahan udang, pengumpul, dan retail.
13
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .................................................................................................1
Perumusan Masalah .........................................................................................6
Tujuan Penelitian ............................................................................................6
Hipotesis ..........................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Vibrio parahaemolyticus............................................................8
Faktor Lingkungan yang Mempengarui Keberadaan Vibrio
parahaemolyticus ..........................................................................................10
Penyakit Bawaan Pangan (food borne diseases) oleh Vibrio
parahaemolyticus ..........................................................................................11
Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus ......................................................16
Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik ...........................................19
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................23
Bahan dan Alat...............................................................................................23
Pelaksanaan Penelitian ..................................................................................24
Survei Lapang ................................................................................................25
Pengambilan dan Preparasi Sampel Udang Tambak .....................................26
Isolasi Vibrio parahaemolyticus dari Udang Tambak ...................................26
Identifikasi Vibrio parahaemolyticus pada Udang Tambak ..........................27
Uji biokimia pendahuluan (Presumtif)...........................................................27
1. Pewarnaan Gram.......................................................................................27
2. Uji motilitas ..............................................................................................27
3. Uji oksidase...............................................................................................28
4. Pertumbuhan pada Triple Sugar Iron Agar .............................................28
14
Uji biokimia lanjutan (Konfirmasi) ...................................................................... 28
Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang berasal
dari Udang Tambak ....................................................................................... 29
1. Isolasi DNA genom bakteri ...................................................................... 29
2. Amplifikasi gen tdh dan trh...................................................................... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei Lapang ............................................................................................... 33
Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak ......................................... 38
Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak .............................. 40
Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal
dari Udang Tambak ...................................................................................... 51
1. Isolasi DNA genom bakteri ...................................................................... 52
2. Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus ................................... 52
Rekomendasi untuk Perbaikan Usaha Budidaya Udang .............................. 59
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 62
Simpulan........................................................................................................ 62
Saran .............................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
LAMPIRAN ........................................................................................................ 75
15
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama
(2005-2009)...................................................................................................... 1
2.
Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus
di Taiwan.......................................................................................................... 2
3.
Persyaratan V. parahaemolyticus pada produk perikanan di berbagai
negara ............................................................................................................... 3
4.
Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus ................. 9
5.
KasusKLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia................................ 13
6.
KasusKLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika........ 14
7.
Primer oligonukleotida yang digunakan untuk deteksi gen
tdh dan trh ...................................................................................................... 24
8.
Hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari udang vaname
yang diambil dari 3 lokasi survei .................................................................. 34
9.
Data pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan di tambak
tradisional dan intensif ................................................................................... 35
10. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak ..................... 39
11. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang
tambak tradisional di Kecamatan Cantigi ...................................................... 41
12. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang
tambak intensif di Kecamatan Patrol ............................................................. 42
13. Hasil uji reaksi biokimiawi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus
presumtif sampel udang tambak dengan API 20E ....................................... 44
14. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus
sampel udang di tambak tradisional dengan API 20E ................................... 45
15. Hasil identifikasi Vp pada sampel udang berdasarkan lokasi
di tambak tradisional...................................................................................... 46
16. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus
sampel udang di tambak intensif dengan API 20E ....................................... 48
17. Distribusi gen penyadi tdh dan trh pada isolat V. parahaemolyticus
dari sampel udang di tambak tradisional dan intensif.................................... 56
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Sel Vibrio parahaemolyticus menggunakan scanning
electron micrograph (SEM)............................................................................. 8
2.
Diagram alir pelaksanaan penelitian ............................................................. 25
3.
Tambak udang sistim tradisional.................................................................... 36
4.
Tambak udang sistim intensif......................................................................... 37
5.
V. parahaemolyticus pada TCBS ................................................................... 39
6.
Sel bakteri V. parahaemolyticus yang diamati dengan mikroskop
perbesaran 1000X........................................................................................... 43
7.
Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh
bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa2%
(TBE1X). M: marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif
(AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V.
parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10)................................................. 53
8.
Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh
bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2%
(TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif
(AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus
sampel udang .................................................................................................. 54
9.
Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh
bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa2%
(TBE1X). M: marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif
(AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V.
parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10)................................................. 54
10. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh
bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2%
(TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif
(AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus
sampel udang .................................................................................................. 55
17
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak tradisional ................. 76
2.
Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak intensif ...................... 77
3.
Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahemolyticus dengan API 20E
yang dianalisis menggunakan apiwebTM ....................................................... 78
4.
Kemurnian dan konsentrasi DNA genom V. parahaemolyticus .................... 86
18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Udang merupakan salah satu komoditas unggulan program revitalisasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selain tuna dan rumput laut sejak
tahun 2005. Disamping itu udang menempati urutan ke-5 terbesar dalam deretan
ekspor non-migas dan memberikan kontribusi sebesar 50% dari total nilai ekspor
perikanan Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Statistik
dan Informasi, KKP (2009), tentang volume ekspor hasil perikanan menurut
komoditas utama tahun 2005-2009, terlihat udang menduduki urutan pertama
(Tabel 1).
Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009)
Tahun
Rincian
Kenaikan Rata-Rata (% )
2005
2006
2007
2008
2009
Volume (Ton)
857.922
926.477
854.329
911.674
796.700
-1.42
-12.61
Udang
153.906
169.329
157.545
170.583
165.000
2.02
-3.27
91.631
91.822
121.316
130.056
95.000
3.14
-26.95
428.395
439.540
393.679
424.401
381.600
-1.83
-10.09
18.593
17.905
21.510
20.713
17.300
-0.94
-16.48
Lainnya
165.397 153.881 160.279
Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009)
165.921
137.800
-4.06
-16.95
Tuna, cakalang,
tongkol
Ikan lainnya
Kepiting
2005-2009
2008-2009
Ekspor komoditas udang Indonesia mengalami masalah beberapa tahun
ini. Permasalahan ekspor udang Indonesia mengakibatkan volume dan nilai
ekspor menurun dan beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan standar
mutu dan sanitasi. Permasalahan yang terkait dengan sanitasi pada komoditas
udang umumnya karena adanya kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella,
19
Vibrio parahaemolyticus, dan Vibrio cholera (DKP, 2003). Pada tahun 2005
sebanyak 26 ton ekspor udang Indonesia ditolak Uni Eropa karena kontaminasi V.
parahaemolyticus, sedangkan pada tahun 2007 ekspor produk sushi ebi sebanyak
4.8 ton ditolak oleh Uni Eropa karena alasan yang sama (Ditjen P2HP-KKP,
2010). Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan,
pada tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia
ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Wong et al. (1999)
melaporkan bahwa produk perikanan yang diekspor ke Taiwan dari beberapa
negara di Asia termasuk Indonesia pernah terdeteksi mengandung V.
parahaemolyticus (Tabel 2) walaupun pada seluruh sampel tidak ditemukan V.
parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi dengan metode PCR.
Tabel 2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus
di Taiwan
Jenis produk
Jumlah
sampel
Jumlah
sampel positif
% Vp
Kepiting
126
41
32.5
Lobster
59
26
44.1
Bekicot
95
20
21.1
Ikan
106
47
44.3
Hongkong
Kepiting
114
81
71.1
Thailand
Kepiting
32
26
81.3
Udang
62
47
75.8
Ikan
92
27
29.3
686
315
45.9
Negara asal
Vietnam
Indonesia
Jumlah
Wong et al. (1999)
Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa,
USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait
dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku
maupun olahan.
Indonesia juga di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk
perikanan.
Tabel 3 menunjukkan peraturan dari beberapa negara pengimpor
20
untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan produk udang serta persyaratan
udang beku berdasarkan SNI 01-2705.1-2006.
Tabel 3. Persyaratan V.
berbagai negara
Negara
parahaemolyticus
Jenis pangan
pada
produk
perikanan
Persyaratan
Referensi
ISO 8914
Uni Eropa
Krustasea, moluska,
dan kerang olahan
MPN ≤100 cfu/g
USA
Produk perikanan
siap saji
MPN >104/g (KP + / -)
Jepang
Produk perikanan untuk MPN < 100/g
konsumsi mentah
Indonesia
Udang beku
di
FDA –Compliance
Programme Guidance
Manual 7303.844
APM <3/g atau KP + *
(* jika diperlukan)
Food Sanitation &
Quarantine Law
Article 11
SNI 01-2705.1-2006
Ababouch et al. (2005); Badan Standardisasi Nasional (2006)
Vibrio spp. merupakan
flora normal pada lingkungan perairan payau
seperti pantai atau muara sungai serta umum terdapat selama kegiatan budidaya
udang (Vandenberghe et al. 2003). Keberadaan Vibrio spp. terutama berkaitan
dengan bahan organik dan fluktuasi oksigen terlarut pada lahan budidaya. Selain
itu dalam kondisi normal peningkatan suhu akan menimbulkan keragaman spesies
Vibrio (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003). Beberapa spesies patogen Vibrio
seperti V. harveyi dan V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang menginfeksi
udang (Jiravanichpaisal dan Miyazaki, 1995; Lavilla-Pitogo, 1995; Lightner,
1993) dan umumnya disebut dengan patogen oportunistik yang dapat
menyebabkan penyakit pada udang (Goarant et al. 1999).
Infeksi V.
parahaemolyticus pada udang terjadi pada fase juvenil sampai dewasa. Penyakit
pada udang ini disebut dengan red disease syndrome yaitu berubahnya warna
tubuh udang menjadi merah dan mengakibatkan kematian.
Kematian udang
karena penyakit ini berkisar 1-20% (Alapide-Tendencia dan Dureza, 1997)
Sistim pemeliharaan udang di tambak umumnya dibedakan atas sistim
tradisional dan intensif. Kedua sistim tambak ini memiliki beberapa perbedaan
antara lain sumber air, pengelolaan kualitas air,
padat tebar benur udang,
konstruksi lahan tambak, sistim pengairan, dan jenis pakan. Tambak tradisional
21
umumnya tidak menerapkan manajemen pengelolaan kualitas air tambak, dimana
sumber air untuk pemeliharaan umumnya berasal dari aliran sungai yang berada
di sekitar tambak. Hal ini memberi peluang besarnya kandungan kontaminan dari
sumber air seperti logam berat dan bakteri patogen yang dapat menyebabkan
tingkat kematian pada udang cukup tinggi. Selain itu tambak tradisional tidak
dilengkapi oleh sistim aerasi yang berfungsi
mengatur ketersediaan oksigen
(Komarawidjaja dan Garno, 2003).
Disamping merupakan patogen pada udang, beberapa spesies Vibrio juga
bersifat patogen pada manusia. Lebih dari 12 spesies Vibrio diketahui terkait
dengan penyakit pada manusia, dan spesies V. cholerae dan V. parahaemolyticus
merupakan patogen yang dominan penyebab penyakit pada manusia (Kaysner dan
DePaola, 2004). V. cholerae merupakan spesies patogen Vibrio yang memiliki
lebih dari 200 serotipe, akan tetapi hanya serotipe O1 dan O139 yang bersifat
patogen dan menyebabkan penyakit pada manusia. Sementara itu serotipe lainnya
disebut dengan non O1/O139 dan jarang menginfeksi manusia (Kaper et al. 1995;
Anderson et al. 2004).
V. cholerae memproduksi enterotoksin kolera yang
menyebabkan penyakit kolera pada manusia. Penyakit kolera ditularkan melalui
jalur fekal-oral, melalui air yang terkontaminasi saat pencucian bahan pangan
ataupun bahan pangan yang terkontaminasi feses manusia yang biasa digunakan
untuk pupuk (Dobosh et al. 1995; Kaysner, 2000; Popovic et al. 1993). Galur O1
umumnya diisolasi dari sampel klinis sedangkan galur non O1/O139 diisolasi dari
lingkungan perairan dan produk perikanan.
Spesies Vibrio lain yang patogen terhadap manusia adalah V.
parahaemolyicus, merupakan bakteri Gram negatif yang umumnya terdeteksi
pada air, sedimen, plankton, produk perikanan (krustasea, ikan dan moluska). Hal
ini karena bahan-bahan tersebut memiliki kondisi optimum bagi pertumbuhan
bakteri ini seperti ketersediaan nutrien, kandungan garam, pH dan Aw.
Di Indonesia, penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk
perikanan termasuk udang masih jarang dilakukan. Dewanti-Hariyadi et al.
(2002) melaporkan bahwa V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang
yang berasal dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pasar grosir dan unit
pengolahan berturut-turut sebesar 21.8%, 3.1%, 11.1%, dan 70%.
Namun
22
demikian tidak diketahui apakah V. parahaemolyticus pada sampel udang tersebut
bersifat patogenik.
Penelitian lain juga melaporkan bahwa ditemukan V.
parahaemolyticus pada seluruh sampel kerang mentah dan olahan (n=47) yang
berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat, dimana 36% dari
isolat tersebut merupakan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi
berdasarkan
gen
penyandi
tdh
(thermostable
direct
hemolysin)
(Marlina et al. 2007).
Jika dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, V. parahaemolyticus juga
pernah diisolasi dari sampel klinis pasien diare di beberapa rumah sakit di
Indonesia dan diketahui sebesar 7.3% (n=2812) merupakan V. parahaemolyticus
dengan Fenomena Kanagawa (KP) positif (Tjaniadi et al. 2003). Persentase ini
lebih kecil dibandingkan dengan kejadian keracunan oleh Salmonella akan tetapi
lebih tinggi dari persentase kejadian yang disebabkan oleh Enterohemorrhagic
E. coli (EHEC).
Untuk mengetahui bahwa V. parahaemolyticus bersifat patogenik,
umumnya dilakukan pengujian Kanagawa yakni dengan mengamati pembentukan
daerah bening pada agar Wagatsuma yang menandakan adanya hemolisin. V.
parahaemolyticus yang menghasilkan Kanagawa positif (KP+) adalah galur yang
menghasilkan faktor virulen thermostable direct hemolysin (TDH) yang disebut
dengan gen tdh. Meskipun demikian tidak semua V. parahaemolyticus patogenik
ditandai dengan hasil uji Kanagawa positif.
Hal ini ditemukan pada pasien
penderita diare yang tidak menunjukkan hasil KP+. Faktor virulen ini kemudian
dikenal dengan thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH) dan
disebut gen trh. Analisis berdasarkan reaksi biokimiawi ini ternyata memiliki
beberapa
kelemahan
sehingga
dikembangkan
metode
analisis
untuk
mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan pendekatan
molekuler seperti metode
polymerase chain reaction (PCR).
Metode ini
merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu
sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro.
Metode PCR banyak
dikembangkan untuk pengujian mikrobiologi karena memiliki keunggulan
diantaranya sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif
cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat
23
sedikit
(Yuwono,
2006).
Identifikasi
V.
parahaemolyticus
patogenik
menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi sekuen
nukleotida berdasarkan keberadaan gen penyandi tdh dan trh.
Perumusan Masalah
Salah satu permasalahan penolakan ekspor udang Indonesia adalah
kontaminasi
bakteri
patogen
diantaranya
Vibrio
parahaemolyticus.
V. parahaemolyticus merupakan patogen oportunistik terhadap udang dan juga
merupakan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia.
Akan tetapi
ketersediaan data keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas
udang tambak masih sangat terbatas.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik komoditas udang tambak di
Indonesia masih jarang dilakukan.
Metode identifikasi V. parahaemolyticus
patogenik dengan metode konvensional berdasarkan reaksi biokimia telah banyak
dilakukan akan tetapi memiliki kelemahan seperti waktu analisis yang lama,
ketepatan hasil uji dan sensitifitas yang rendah. Selain itu metode konvensional
tidak dapat mengidentifikasi keberadaan TRH pada sampel.
Metode PCR merupakan salah satu pengembangan metode identifkasi V.
parahaemolyticus patogenik dengan pendekatan molekular yang telah banyak
dikembangkan karena dapat menghasilkan akurasi dan ketepatan hasil uji yang
lebih tinggi.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak
dengan metode PCR diharapkan dapat memperoleh hasil uji yang akurat.
Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi frekuensi isolasi V.
parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak tradisional dan
intensif. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus secara biokimiawi
pada komoditas udang yang berasal dari tambak tradisional dan intensif serta
manganalisis faktor yang berkontribusi terhadap keberadaan bakteri ini.
b. Mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang
tambak berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh.
24
Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
a. V. parahaemolyticus berpotensi ditemukan pada komoditsas udang tambak
baik tambak tradisional maupun intensif, dengan frekuensi isolasi yang lebih
tinggi terdapat pada tambak tradisional.
b. V. parahaemolyticus patogenik pada sampel lingkungan dan produk
perikanan umumnya berkisar 1-2%.
25
c.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Vibrio parahaemolyticus
Vibrio parahaemolyticus adalah salah satu spesies bakteri dari famili
Vibrionaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang (curved
atau straight ), anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, pleomorfik, bersifat
motil dengan single polar flagellum. Bakteri ini merupakan bakteri halofilik
(tumbuh optimum pada media yang berkadar garam 3%), tidak memfermentasi
sukrosa dan laktosa, dapat tumbuh pada suhu 10-44oC (optimum suhu 37oC),
dimana waktu generasi bakteri pada fase eksponensial adalah 9-13 menit di
kondisi optimum pertumbuhannya. Sementara itu kisaran pH dan Aw
pertumbuhannya berturut-turut adalah 4.8 – 11 (optimum 7.8 – 8.6) dan 0.94 –
0.99 (optimum 0.981) (Baumann dan Schubert, 1984; Jay et al. 2005;
Lake et al. 2003).
Beberapa karakter Vibrio parahaemolyticus yang
membedakannya dengan spesies Vibrio lainnya diantaranya tidak memfermentasi
sukrosa seperti Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus. Selain itu pada media
padat bakteri ini tumbuh dengan menggunakan lateral flagella serta sifatnya yang
halofilik dengan kisaran garam 0.5-8%, sedangkan bakteri Vibrio cholerae
mampu tumbuh pada media tanpa garam (Holt dan Krieg, 1984).
Gambar 1. Sel V. parahaemolyticus menggunakan
scanning electron micrograph (SEM), bar = 1µm
(http://en.wikipedia.org/wiki/Vibrio_parahaemolyticus)
26
Berdasarkan antigennya, Vibrio parahaemolyticus terdiri atas kelompok
antigen yaitu : tipe H (flagellar), tipe O (somatic) dan tipe K (capsular). Antigen
tipe H merupakan antigen paling umum untuk seluruh galur Vibrio
parahaemolyticus, sedangkan antigen tipe O bersifat thermolabile dan antigen
tipe K bersifat thermostable. Saat ini, terdapat 12 grup antigen O dan lebih dari
70 antigen K yang telah menghasilkan 76 serotipe (Tabel 4), dimana 5 dari
antigen K dengan 2 antigen O membentuk serotipe O:K, yang kemudian
digunakan untuk investigasi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Vibrio
parahaemolyticus (Kaysner dan DePaola, 2004). Skema antigen ini pertama kali
dipublikasikan oleh Sakazaki et al. (1963), selanjutnya beberapa serotipe
ditambahkan oleh Komite Serotipe Vibrio parahaemolyticus Jepang dimana
antigen K : 2, 14, 16, 29, 35 dan 62 bukan merupakan hasil dari Komite. Antigen
K : 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 19 bisa ditemukan lebih dari satu antigen O.
Tabel 4.
Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus
Antigen O
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Antigen K
1,25,26,32,38,41,56,58,64,69
3,28
4,5,6,7,27,30,31,33,37,43,45,48,54,57,58,59,65
4,8,9,10,11,12,13,34,42,49,53,55,63,67
5,15,17,30,47,60,61,68
6,18,46
7,19
8,20,21,22,39,70
9,23,44
19,24,52,66,71
36,40,50,51,61
52
Kaysner dan De Paola (2004)
Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan
perairan payau seperti pantai, muara sungai atau tambak yang tersebar di seluruh
dunia.
Keberadaan bakteri ini umumnya lebih sering ditemui pada wilayah
beriklim sedang dan tropis atau pada musim panas di negara-negara empat musim.
V. parahaemolyticus umumnya terdeteksi pada air laut, sedimen, plankton, ikan,
krustasea, kekerangan dan moluska.
Produk perikanan memberikan semua
kondisi yang dibutuhkan oleh V. parahaemolyticus untuk tumbuh dan
27
berkembang biak seperti keberadaan garam, kandungan nutrien, pH dan Aw
yang optimum dan faktor lainnya sehingga bakteri ini sering disebut flora normal
pada produk perikanan.
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan V. parahaemolyticus
Bakteri patogen yang terkait dengan produk perikanan secara umum
dikelompokkan atas 3 yaitu : bakteri yang merupakan flora normal perairan laut
(Vibrio spp., Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum dan Aeromonas
hydrophila), bakteri yang berasal dari kontaminasi feses (Salmonella spp., E. coli
patogenik, Shigella spp., Campylobacter spp., dan Yersinia enterocolitica), dan
bakteri yang berasal dari kontaminasi selama pengolahan (Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium perfringens).
V. parahaemolyticus merupakan flora normal yang hidup di perairan payau dan
sebagian jenisnya bersifat patogen pada produk perikanan seperti udang, ikan,
kepiting, tiram, kerang, dan jenis cephalopoda. (Feldhusen, 2000; Liston, 1990;
Liu dan Chen, 2004; Su dan Liu, 2007).
Keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan dan produk
perikanan dipengaruhi oleh musim, lokasi, polutan, jenis sampel dan metode
analisis (Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; DePaola et al. 2000; Kaneko dan
Colwell, 1973; Kaysner et al. 1990; Watkins dan Cabelli, 1985) . Suhu perairan
merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat V. parahaemolyticus pada
lingkungan, dimana terjadi peningkatan jumlah V. parahaemolyticus pada kisaran
suhu 10-30°C (De Paola et al. 1990; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan
Cabelli, 1985). Penelitian menunjukkan V. parahaemolyticus jarang ditemukan
saat suhu perairan di bawah 10°C akan tetapi keberadaannya akan meningkat
sejalan dengan meningkatnya suhu perairan. Studi ekologi lainnya menyebutkan
bahwa V. parahaemolyticus dapat bertahan hidup pada biota perairan (plankton,
kekerangan, kustasea, ikan) dan sedimen selama musim dingin dan akan terlepas
ke perairan saat suhu meningkat pada awal musim panas (Kaneko dan Colwell,
1973). DePaola et al. (1990) melaporkan, hasil survei 9 pantai di USA dalam
kurun waktu 1984-1985 menunjukkan densitas V. parahaemolyticus yang cukup
rendah di perairan (4 koloni/ml) ketika terjadi penurunan suhu di bawah 16°C.
28
Namun demikian, densitas bakteri ini meningkat menjadi 103 koloni/ml saat suhu
perairan mencapai 25°C. Pada budidaya tiram di Oregon juga menunjukkan
adanya korelasi positif antara jumlah V. parahaemolyticus dengan peningkatan
suhu dan pupolasi tertinggi terjadi pada musim panas (Duan dan Su, 2005).
Sementara itu keberadaan V. parahaemolyticus di produk perikanan
diketahui lebih banyak teridentifikasi pada saat terjadi peningkatan suhu
lingkungan.
Keysner
dan
DePaola
(2000)
melaporkan
jumlah
V.
parahaemolyticus pada tiram yang dipanen pada musim semi dan panas lebih
banyak dibandingkan musim dingin yaitu di atas 103cfu/g dan dapat berkembang
biak dengan cepat pada tiram yang terpapar suhu tinggi. Hasil penelitian Gooch
et al. (2002) menunjukkan bahwa populasi V. parahaemolyticus pada tiram
meningkat 50-790 kali lipat dari jumlah awal selama 24 jam setelah panen jika
disimpan pada suhu 26°C. Sementara itu, hasil survei sampel tiram yang diambil
dari restoran dan seluruh pasar produk hasil perikanan tingkat eceran sampai
grosir di USA selama Juni 1998 - Juli 1999 menyimpulkan bahwa V.
parahaemolyticus memiliki kepadatan tertinggi (> 103MPN/g) pada musim panas
(Cook et al. 2002).
V. parahaemolyticus dapat dideteksi pada rentang salinitas yang cukup
besar (5-35 ppt) dengan salinitas optimal berkisar 22 ppt (DePaola et al. 1990).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang tidak langsung
antara polusi fekal dengan keberadaan V. parahaemolyticus karena diduga
merupakan
biostimulasi
dari
mikrofauna
yang
berasosiasi
dengan
V.
parahaemolyticus (Watkins dan Cabelli, 1985). Selain itu V. parahaemolyticus
diduga terkait erat dengan keberadaan zooplankton terutama copepoda yang
dikaitkan dengan aktivitas dan afititas kitinase dari kitin (Fratamico et al. 2005;
Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985).
Penyakit Bawaan Pangan (foodborne diseases) oleh Vibrio parahaemolyticus
Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan dapat
menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan (foodborne
diseases) terutama melalui pangan mentah atau yang tidak dimasak sempurna.
Keberadaan V. parahaemolyticus dapat disebabkan oleh kontaminasi silang antar
29
pangan olahan dan mentah atau melalui pencucian pangan dengan air yang
mengandung V. parahaemolyticus. Penyakit karena V. parahaemolyticus adalah
gastroenteristis seperti diare (98%), kejang bagian perut (82%), mual (71%),
muntah (52%), dan demam (27%) dengan masa inkubasi 4-96 jam dengan ratarata 15 jam (Barker dan Gangarosa, 1974; Levine et al. 1993) . Sebagian kecil
kasus, bakteri ini menyebabkan kerusakan (luka) pada mukosa usus sehingga
terdapat darah pada feses penderita bahkan dapat menyebabkan septisemia.
Penyakit bawaan pangan oleh V. parahaemolyticus umumnya lebih sering
terjadi di negara beriklim tropis karena merupakan kondisi optimum pertumbuhan
bakteri ini. Awalnya kasus V. parahaemolyticus terjadi secara sporadis akan
tetapi menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menjadi kasus kejadian luar
biasa (KLB). Kasus infeksi karena V. parahaemolyticus melalui konsumsi pangan
pertama sekali terjadi di Osaka-Jepang pada tahun 1951 akibat mengkonsumsi
ikan sardine mentah. Kasus ini memakan korban sebanyak 272 orang menderita
sakit dan 20 orang meninggal (Daniels et al. 2000). Tahun 1998 kasus infeksi
karena V. parahaemolyticus meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1997
dan melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella. Pada kurun waktu
1996-1998 terjadi 20-30% kasus KLB (IDSC, 1999 dalam US-FDA, 2005).
Negara Asia lainnya adalah Taiwan, sebanyak 57% (42/74 kasus KLB) adalah
yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus seperti yang dilaporkan Kementerian
Kesehatan Taiwan tahun 1994. Kurun waktu 1986-1995 sebanyak 35% (197/555
kasus) merupakan kasus yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus (Pan et al.
1996; Pan et al.1997). Sementara itu terjadi 5 kasus KLB di di Thailand, dimana
7-93 orang terinfeksi setelah mengkonsumsi kepiting dan ikan makarel olahan
pada tahun 1971. Pada November 1970-Juni 1973, sebanyak 7930 sampel klinis
penderita diare teridentifikasi V. parahaemolyticus (Phayakvichien et al. 1990).
Di Vietnam, kasus KLB terdeteksi sebanyak 548 kasus pada tahun 1997-1999,
dimana 90% terjadi pada usia di atas 5 tahun. Dalam kasus ini sebanyak 77%
menderita muntah, diare (53%), dan diare berdarah (6%) (Tuyet et al. 2002).
Indonesia sendiri pernah terjadi kasus sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan
gastroenteristis akut dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun
30
1974 (Bonang et al. 1974). Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus yang
terjadi di negara-negara di Asia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia
No
1
2
Negara
Jepang
-
Taiwan
-
Insiden V. parahaemolyticus
Kasus I tahun 1951 (272 orang
sakit; 20 orang meningal
20-30% kasus KLB (1996-1998)
57% (42/72 kasus KLB) terjadi pada
tahun 1994
Tahun 1986-1995 sebesar 35% (197/
Referensi
Daniels et al. (2000)
US-FDA (2005)
Pan et al.(1996)
Pan et al.(1997)
555 kasus) adalah kasus Vp
3
Thailand
-
4
5
Vietnam
Indonesia
-
Terjadi 5 kasus KLB karena konsumsi
kepiting dan makarel pada tahun 1971
Tahun 1970-1973 terdapat Vp pada
7390 sampel klinis pasien diare
Tahun 1997-1999, terjadi 548 kasus
Tahun 1974 ditemukan 3.7% (19/154
pasien) dengan gastroenteris akut
karena Vp
Phayakvichien et al.
(1990)
Tuyet et al. (2002)
Bonang et al. (1974)
Kasus KLB V. parahaemolyticus juga dilaporkan terjadi di negara Eropa
dan Amerika (Tabel 6) walaupun lebih jarang dibandingkan negara-negara di
Asia. Robert-Pillot et al. (2004) menyebutkan bahwa kasus KLB serius pernah
terjadi di Perancis pada tahun 1997 karena mengkonsumsi udang yang diimpor
dari Asia dan memakan korban 44 orang. Amerika Serikat melaporkan terjadi 40
kasus KLB yaitu sepanjang 1973 – 1998 di 15 negara bagian dan wilayah Guam
dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3 - 100%) dimana
sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Penyebabnya adalah tiram dan kerang
mentah (38% kasus) atau yang tidak dimasak sempurna. Pada periode ini, 30%
KLB terjadi pada 1997 – 1998 dan tiga diantaranya cukup besar yaitu Juli–
Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari Puget
Sound, Washington selanjutnya dua kasus KLB gastroenteritis karena V.
parahaemolyticus terjadi pada Mei–Juni 1998 akibat mengkonsumsi tiram mentah
yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB V.
parahaemolyitcus terkait dengan konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal
dari Teluk Oyster, Long Island, New York (Daniels et al, 2000).
31
Kasus KLB V. parahaemolyitcus di New York, Oregon dan Washington,
kembali terjadi pada 20 Mei – 31 Juli 2006 setelah mengkonsumsi tiram dan
remis mentah dan olahan di restoran. Tiram dan remis berasal dari daerah pantai
Washington dan British Columbia-Canada yang didistribusikan secara nasional ke
pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah pemasaran berdampak pada meluasnya
daerah sebaran penyakit. Pada tahun 2006, 122 kasus berasal dari 17 sumber
produk hasil perikanan yang sama dan berimplikasi pada penutupan perusahaan
pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB (Balter et
al, 2006). Selain itu kasus KLB juga dilaporkan di Chile pada November 1997April 1998, dimana kasus ini terkait dengan konsumsi kerang. Hal ini diduga
adanya pengaruh El Nino selain suhu perairan yang kemungkinan dapat
membantu blooming bakteri. Spanyol juga menghadapi kasus KLB karena V.
parahaemolyticus antara Agustus-September 1999, dimana 64 orang menderita
sakit setelah mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari pasar lokal (Cordova
et al. 2002; Lozano-Leon et al. 2003).
Tabel 6. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika
No
1
Perancis
Negara
-
Insiden V. parahaemolyticus
Referensi
Tahun 1997 karena konsumsi udang Robert-Pillot et al.
Amerika
Serikat
-
Tahun 1973 – 1998, 40 kasus KLB Daniels et al. (2000)
yang diimpor dari Asia
2
3
Chile
4
Spanyol
di 15 negara bagian dan wilayah
Guam dengan 1064 penderita
- Mei-Juli 2006, terjadi kasusKLB
setelah mengkonsumsi tiram dan
remis mentah dan olahan
- November 1997-April 1998, terjadi
kasus
KLB
terkait
dengan
konsumsi kerang
- Bulan Agustus-September 1999,
sebanyak 64 orang terinfeksi Vp
(2004)
Balter et al. (2006)
Cordova
(2002)
et
al.
Lozano-Leon et al.
(2003)
Penyakit bawaan pangan karena V. parahaemolyitcus sangat terkait
dengan cara mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Kasus V. parahaemolyitcus
yang terjadi di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya mengkonsumsi
produk perikanan dalam kondisi mentah. Kondisi yang sama tampaknya juga
32
terjadi
di
beberapa
negara
Asia
lainnya
yang
mempunyai
kebiasaan
mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah seperti Jepang, Cina,
Vietnam, dan Thailand. Selain itu infeksi karena V. parahaemolyitcus juga terjadi
setelah mengkonsumsi produk perikanan olahan. Hal ini terutama disebabkan
oleh pemasakan yang tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V.
parahaemolyitcus yang ada, atau proses penanganan yang buruk seperti kondisi
higiene dan sanitasi tidak terjaga, penyimpanan produk pada suhu ruang selama
beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi silang
antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah.
Di Thailand, tingkat
kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan sebesar 77.5% pada
kurun waktu 1971-1972. Penelitian lain menyebutkan terdapat 27% dan 49%
produk perikanan beku dan mentah mengandung V. parahaemolyticus. Sementara
itu sebanyak 78% seafood mentah di Bangkok pada Mei-Oktober 1994
terkontaminasi V. parahaemolyticus, dimana kontaminasi tertinggi terdapat pada
remis (100%), kerang (96%), udang (68%) dan kepiting bakau (51%). Produk
udang beku yang siap diekspor juga ditemukan V. parahaemolyticus sebesar 64%
pada Mei 1995-Juli 1996. Sampel udang beku di unit pengolahan di Propinsi
Chachoengsao-Thailand juga terkontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 80%
(April-Mei 1999) (Limuthaitip, 1995; Kowcachaporn, 1997; Phayakvichien et al.
1990; Phumiprapat, 1992; Pungchitton, 1999 dalam Jaesawang, 2005).
Infeksi V. parahaemolyticus pada manusia terkait dengan galur patogenik
dari bakteri ini. Galur bakteri penyebab gastroenteritis pada manusia pertama kali
diisolasi dari sampel klinis penderita kasus KLB di Calcutta-India tahun
1994-1996 yaitu V. parahaemolyticus O3:K6 (Okuda et al. 1997).
V.
parahaemolyticus O3:K6 ini bersifat pandemik di negara Asia Tenggara akan
tetapi bukan merupakan galur yang sama dengan galur O3:K6 yang masuk
melalui turis-turis Asia (international travellers) yang terjadi pada tahun 19821993 (Chiou et al. 2000; Okuda et al. 1997; Vuddhakul et al. 2000). Galur
O3:K6 juga teridentifikasi di USA pada tahun 1998 dan menyebabkan kasus KLB
(416 orang) setelah mengkonsumsi tiram mentah (Daniels et al. 2000). Selain itu
galur ini pada produk yang sama juga menyebabkan kasus KLB di Connecticut,
New Jersey, dan New York (CDC, 1999). Galur patogen lainnya yang dominan
33
dan menyebabkan peningkatan KLB di dunia adalah O4:K68 dan O1:K
untypeable (KUT), dimana galur ini dilaporkan terkait dekat dengan galur O3:K6
(Martinez-Urtaza et al. 2004).
Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa V. parahaemolyticus
patogenik umumnya diisolasi dari 90% sampel klinis dan hanya sekitar 1-2% dari
lingkungan maupun produk perikanan (Kelly dan Dan Stroh, 1988; Miyamoto et
al. 1969; Sakazaki et al. 1968).
dihubungkan
dengan
kemampuan
V. parahaemolyticus patogenik umumnya
bakteri
ini
memproduksi
hemolisis.
Berdasarkan kemampuannya memproduksi hemolisis , terdapat 3 jenis hemolisis
yang dihasilkan oleh V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH),
thermostable direct hemolysin (TDH), dan TDH related hemolysin (TRH).
Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein dengan
berat molekul
berturut-turut 47.5 dan 45.3kDa yang memiliki aktivitas phospholipase/lyso
phospholipase . Hemolisis ini terdapat pada semua galur V. parahaemolyticus
akan tetapi peranannya dalam patogenesis tidak diketahui secara pasti (Bhunia,
2008).
Gen penyandi tlh banyak digunakan untuk mengidentifikasi V.
parahaemolyticus pada sampel dengan menggunakan metode berbasis molekuler.
Infeksi oleh V. parahaemolyticus penyebab gastroenteritis pada manusia
terkait dengan keberadaan thermostable direct hemolysin (TDH). Kejadian ini
dikenal dengan istilah fenomena Kanagawa (KP) dan disebut sebagai faktor
virulen. Fenomena Kanagawa (KP+) merupakan aktivitas β hemolisis pada media
agar Wagatsuma (mengandung sel darah merah manusia) yang ditandai dengan
pembentukan zona bening di sekitar koloni pada media agar setelah diinkubasi
pada suhu 37°C selama 18-24 jam (Joseph et al. 1982; Miyamoto et al. 1969;
Sakazaki et al. 1968). Keberadaan KP+ terkait dengan produksi TDH yang dapat
menyebabkan lisis pada membran sel darah merah melalui pembentukan pori
sehingga beberapa ion masuk ke dalam sel dan terjadi pembengkakan sel yang
mengakibatkan kematian sel karena ketidakseimbangan
ion (Bhunia, 2008).
Mekanisme hemolisis yang disebabkan oleh TDH diawali dengan tahap
pengikatan membran sel darah merah, selanjutnya terbentuk pori trans membran
34
yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan pada membran sel (Honda et al.
1992).
Thermostable direct hemolysin (TDH) bersifat stabil terhadap panas
(100°C; 10 menit) dan aktivitas hemolitiknya tidak dapat ditingkatkan dengan
penambahan lesitin. Hal ini yang menunjukkan bahwa TDH memiliki aktivitas
langsung terhadap sel darah merah (Nishibuchi dan Kaper, 1995). Aktivitas TDH
menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel sehingga memicu
sekresi ion klorida melalui sel intestinal.
Thermostable direct hemolysin (TDH) merupakan protein (terdiri dari 165
asam amino) yang tidak memiliki lipida dan karbohidrat dengan berat molekul 42
kDa. Thermostable direct hemolysin (TDH) terdiri dari 2 sub unit identik yang
masing-masing memiliki berat molekul 21 kDa (Honda dan Iida, 1993; Miyamoto
et al. 1980; Takeda et al. 1978 dalam Levin, 2009). Gen penyandi TDH pertama
kali dikloning oleh Kaper et al. (1984) yang disebut tdh1, kemudian ditemukan
gen tdh2 oleh Hida dan Yamamoto (1990).
Nishibuchi dan Kaper (1990)
melaporkan bahwa semua KP+ pada sampel klinis galur V. parahaemolyticus
umumnya mengandung gen tdh1 dan tdh2 dan jika galur V. parahaemolyticus
menunjukkan aktivitas hemolisin yang rendah pada agar Wagatsuma maka diduga
hanya memiliki 1 gen tdh. Thermostable direct hemolysin (TDH) disebut sebagai
faktor virulen pertama V. parahaemolyticus dan digunakan untuk mengidentifikasi
galur patogenik V. parahaemolyticus (Cook et al. 2002; Okuda et al. 1997).
V. parahaemolyticus patogenik umumnya terkait erat dengan KP+, akan
tetapi Honda et al. (1987 dan 1988) melaporkan bahwa ditemukan V.
parahaemolytic patogenik pada sampel klinis pasien KLB di Maldives pada
tahun1985 yang ditandai dengan Fenomena Kanagawa negatif (KP-).
Galur ini
diketahui tidak memproduksi TDH tetapi memproduksi TDH-related hemolysin
(TRH) yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Shirai et al. (1990)
menyatakan bahwa 52 galur dari sampel klinis 8 pasien diare hanya memproduksi
TRH sehingga disebut juga sebagai gen patogen V. parahaemolyticus.
Gen trh
umumnya dikaitkan dengan V. parahaemolyticus yang menunjukkan hasil urease
yang positif sehingga sering dijadikan indikator untuk identifikasi V.
parahaemolyticus patogenik walaupun tidak mutlak (Suthienkul et al. 1995;
Kaufman et al. 2002). Sekuen gen trh diketahui memiliki kemiripan dengan gen
35
tdh sebesar 68%. Gen trh diketahui lebih labil terhadap panas karena inaktivasi
gen trh dapat dilakukan pada suhu 65°C selama 15 menit.
Selain kemampuan memproduksi hemolisin, aktivitas urease diduga terkait
dengan V. parahaemolyticus patogenik. Umumnya V. parahaemolyticus tidak
memproduksi urease (Okuda et al. 1997; Osawa et al. 1996). Kelly dan Stroh
(1989) melaporkan bahwa isolasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis di
Canada menunjukkan semua sampel memberikan hasil urease positif (Uh+) dan
hasil Kanagawa negatif.
Produksi urease oleh V. parahaemolyticus pada
umumnya dikaitkan dengan keberadaan faktor virulen TRH sehingga diduga dapat
digunakan untuk identifikasi V. parahaemolytic patogenik yang memproduksi gen
trh ( Osawa et al. 1996). Aktivitas urease dan TRH dilaporkan saling terkait
karena adanya hubungan secara genetis antara gen urease (ureC) dan gen trh pada
kromosom dari galur V. parahaemolyticus patogenik (Iida et al. 1997; Park et al.
2000). Namun demikian, gen urease tidak berpengaruh terhadap regulasi ekspresi
gen tdh dan trh (Nakaguchi, 2003).
Genom V. parahaemolyticus O3:K6 diketahui memiliki dua gen sistim
sekresi tipe III (TTSS) yaitu TTSS1 dan TTSS2 yan terdapat pada kromoson I dan
II.
TTSS merupakan factor virulen penyebab diare yang dimiliki oleh bakteri
seperti Shigella, Salmonella, dan enteropathogenic E. coli (EPEC). Secara umum
mekanisme sistim sekresi tipe III (TTSS) ini terlibat dalam perpindahan protein
efektor bakteri menuju sitoplasma sel inang dari bakteri tersebut (Makino et al.
2003). Hal ini diduga juga merupakan faktor virulen yang terdapat pada V.
parahaemolyticus.
Salah satu faktor virulen yang dimiliki bakteri Gram negatif termasuk V.
parahaemolyticus adalah kemampuan menempel pada sel epitel inangnya. V.
parahaemolyticus diketahui dapat memproduksi sel yang berasosiasi dengan
hemaaglutinin (HA) pada saat menempel di mukosa usus (Yamamoto dan Yokota,
1989). Hemaaglutinin merupakan glikoprotein antigenik yang berperan dalam
proses terikatnya virus pada sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan sel darah
merah menggumpal. Selain itu pili dari V. parahaemolyticus diduga memiliki
peranan dalam hal menempelnya reseptor epitel usus (Nakasone dan Iwanaga,
1990).
36
Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik
Metode untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik telah banyak
dikembangkan.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan
dengan metode Kanagawa (KP+) yaitu dengan melihat aktivitas β hemolisis yang
ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang
ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma.
Metode ini memiliki kelemahan
antara lain waktu preparasi dan analisis yang panjang, interpretasi hasil analisis
yang kurang akurat, sensivitas rendah, dan belum tersedianya media analisis untuk
mengidentifikasi faktor virulen TRH. Kendala - kendala metode konvensional
untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik tersebut
mendorong
pengembangan metode identifikasi dengan hasil yang lebih akurat, sensitifitas
tinggi dan tepat serta waktu analisis yang pendek.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berbasis pendekatan molekuler
seperti polymerase chain reaction (PCR) telah banyak dilakukan.
Metode PCR
telah banyak dikembangkan untuk pengujian-pengujian mikrobiologi karena
memiliki beberapa keunggulan diantaranya tingkat akurasi dan sensitifitas tinggi,
ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk
pengujian komponen yang jumlahnya sangat sedikit.
Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara
eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini
pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 dan memiliki
tingkat sensitifitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu
molekul DNA dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Proses PCR memiliki 4
komponen utama yaitu cetakan DNA (DNA template), merupakan fragmen DNA
yang akan dilipatgandakan; oligonukleatida primer yaitu sekuen oligonukletida
pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai
DNA; deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP,
dGTP, dTTP; dan enzim DNA polimerase merupakan enzim yang melakukan
katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim yang digunakan adalah Taq DNA
polimerase karena enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk
tahap pemisahan rantai cetakan DNA (denaturasi) sehingga tidak dibutuhkan
penambahan enzim pada tiap siklus PCR (Yuwono, 2006). Selain itu komponen
37
lain yang berperan pada proses PCR adalah senyawa buffer yang berperan dalam
proses penempelan primer (annealing) dimana di dalam senyawa buffer
terkandung 10-50 mM Tris-HCl (pH 8.3-8.8), KCl, MgCl2, dan komponen lain
seperti gelatin dan deterjen non ionik seperti Tween 20 untuk mempertahankan
kestabilan enzim Taq DNA polimerase.
Metode PCR didasarkan atas 3 tahapan untuk reaksi sintesis DNA
(pelipatgandaan fragmen DNA). Tahapan-tahapan pada proses PCR dimulai dari :
a.
Denaturasi; merupakan tahap awal PCR yang bertujuan untuk memisahkan
rantai DNA yang berantai ganda menjadi rantai tunggal karena pembuatan
copy DNA oleh enzim Taq DNA polimerase membutuhkan DNA berantai
tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1-2 menit.
b.
Annealing (penempelan); merupakan tahap penempelan primer pada cetakan
DNA yang telah berantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen
dengan cetakan DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen
primer. Annealing dilakukan pada suhu 55°C selama 1-2 menit. Suhu 55°C
yang digunakan pada tahap annealing memiliki spesifitas reaksi amplifikasi
yang lebih tinggi akan tetapi efisiensinya menurun. Amplifikasi lebih efisien
pada suhu 37 °C tetapi umumnya terjadi penempelan primer di tempat yang
salah. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang
memiliki sekuan identik dengan salah satu rantai cetakan DNA pada ujung
5’fosfat dan oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’OH
pada rantai cetakan DNA lain.
c.
Ekstensi; merupakan tahap pembentukan polimerisasi rantai DNA yang baru
berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA.
Setelah terbentuk
polimerisasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen
dengan cetakan DNA. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72°C yang
merupakan suhu optimum aktivitas Taq DNA polimerase selama 1-2 menit.
DNA rantai ganda yang terbentuk antara rantai cetakan DNA dengan rantai
DNA hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi kembali pada suhu 94°C untuk
memperoleh rantai DNA tunggal yang baru dan berfungsi sebagai cetakan
reaksi polimerasi selanjutnya.
38
Reaksi polimerasi ini diulangi kembali sebanyak 25-30 siklus dan pada
akhir siklus akan diperoleh molekul DNA rantai ganda hasil polimerasi dalam
jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah cetakan DNA yang
digunakan. Selanjutnya DNA hasil polimerasi di elektroforesis pada gel agarose
dan divisualisasikan (Sambrook et al. 1989).
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR
dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus.
Amplifikasi gen tdh dan trh dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik
dari masing-masing gen penyandi tersebut.
Salah satu sekuen nukleotida dan
protokol PCR yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus
patogenik adalah hasil penelitian dari Tada et al. (1992) yaitu untuk target gen tdh
amplifikasi dilakukan pada ukuran amplikon 251 bp dan untuk gen trh pada
ukuran amplikon 250 bp.
Sekuen nukleotida baik gen tdh
maupun gen trh
bakteri
V.
parahaemolyticus secara keseluruhan adalah 570 bp. Beberapa hasil penelitian
melaporkan bahwa sekuen nukleotida gen tdh V. parahaemolyticus memiliki
keragaman yang relatif sedikit (kurang dari 33%) sedangkan gen trh memiliki
sekuen yang lebih bervariasi (gen trh1 dan trh2). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Tada et al. (1992) menggunakan beberapa kombinasi pasangan primer untuk
gen tdh dan trh serta optimasi protokol PCR terutama untuk penentuan suhu
annealing (penempelan primer), diketahui bahwa pasangan primer untuk
identifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus pada ukuran amplikon 251 bp
dan 250 bp memberikan hasil dengan spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi.
Spesifisitas primer dikonfirmasi dengan analisis Southern blot hybridization
menggunakan probe gen tdh dan trh.
Sedangkan sensitifitas metode PCR
dikofirmasi dengan menggunakan DNA genom V. parahaemolyticus WP1 dan
AQ4037 yang merupakan galur V. parahaemolyticus penghasil gen tdh dan trh.
Amplifikasi sekuen nukleotida untuk mengidentifikasi gen tdh dan trh
bakteri V. parahaemolyticus dengan target gen tdh dan trh pada ukuran amplikon
yang berbeda juga telah dilakukan. Bej et al. (1999) melaporkan identifikasi V.
parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode multiplex PCR dimana sekuen
primer gen tdh (L-tdh dan R-tdh) dan trh (L-trh dan R-trh) menggunakan
39
pasangan primer pada ukuran amplikon masing-masing 269 bp (Nishibuchi dan
Kaper, 1985) dan 500bp (Honda dan Iida, 1993; Honda et al. 1991). Sementara
itu, penelitian Rosec et al. (2009) menyebutkan bahwa untuk identifikasi V.
parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen tdh menggunakan sekuen primer
VP21 dan VP22 pada ukuran amplikon 400 bp dan gen trh dengan pasangan
primer S1 dan S2 pada ukuran amplikon 460 bp.
40
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Survei dan pengambilan sampel dilakukan di tambak udang tradisional
dan intensif yang berlokasi di pantai utara Jawa Barat.
parahaemolyticus
patogenik
pada
sampel
udang
tambak
Pengujian V.
dilakukan
di
Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slipi, Jakarta
Pusat. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Agustus 2010 hingga Maret 2011.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vaname
(Litopenaeus vannamei) yang berasal dari tambak tradisional dan insentif.
Sebagai kontrol positif digunakan isolat V. parahaemolyticus penghasil TDH dan
TRH yang merupakan koleksi Fakultas Farmasi Universitas Andalas-Padang yang
berasal dari Kyoto University.
Media untuk isolasi dan konfirmasi V.
parahaemolyticus presumtif adalah media cair tryptic soy broth (TSB), alkaline
saline pepton water (ASPW), media agar thiosulfate citrate bile salt sucrose
(TCBS), tryptic soy agar (TSA), motility test medium (MTM), triple sugar iron
(TSI), dan media untuk pewarnaan gram. Seluruh media, kecuali untuk pewarnaan
gram dan TCBS ditambahkan NaCl sampai 3%. Media untuk konfirmasi V.
parahaemolyticus menggunakan API 20E biochemical test kit. Bahan- bahan
untuk isolasi DNA antara lain media cair tryptic soy broth (TSB) +2.5%NaCl, TE
buffer, Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Cetyiltrimethyl Ammonium Bromide
(CTAB), Natrium Chloride (NaCl), proteinase-K, sodium asetat, RNase, fenol,
kloroform, isoamil alkohol, isopropanol, etanol 70%.
Bahan- bahan untuk
elektroforesis DNA meliputi bufer TBE, agarosa, dan sybr safe gold. Bahanbahan yang digunakan untuk amplifikasi gen tdh dan trh antara lain Go Taq
Green Master Mix (Promega) yang terdiri dari Go Taq DNA polymerase, bufer
41
PCR, 3mM MgCl2, dan dNTP (masing-masing 0.4 mM dATP, dCTP, dGTP, dan
dTTP), DNA/RNA free water, cetakan DNA, standard DNA ladder 100bp, dan
primer oligonukleotida untuk gen tdh dan trh yang masing-masing memiliki
ukuran amplikon 251 bp dan 250bp (Tada et al. 1992). Urutan basa primer untuk
gen tdh dan trh dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Primer oligonukleotida yang digunakan untuk deteksi gen tdh dan trh
Target DNA
Gen tdh
Gen trh
Ukuran
amplikon
251bp
250bp
Urutan basa (5’-3’)
GGT ACT AAA TGG CTG ACA TC (forward)
CCA CTA CCA CTC TCA TAT GC (reverse)
GGC TCA AAA TGG TTA AGC G (forward)
CAT TTC CGC TCT CAT ATG C (reverse)
Tada et al. (1992)
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peti berinsulasi,
termometer, botol plastik steril, plastik steril, mikroeppendorf 1.5 ml, 200µl,
erlenmeyer 250 ml, 125 ml, timbangan digital, stomacher, vorteks, tabung reaksi
bertutup, jarum ose, cawan petri, botol pengencer, refrigerator, refrigerator
-20oC, sentrifius, inkubator 37°C, autoklaf, laminar air flow, mikropipet beserta
tip ukuran 10, 100, 200, dan 1000µl, DNA/RNA/protein analyser, PCR system
thermal cycler (Gene AMP PCR 9700), perangkat elektroforesa (Model B1A; owl
separation system), gel documentation (EC 250-90; EC apparatus coorporation),
dan UV transillumination (UVT 20 M; Herolab, BDA Digital Biometra).
Perangkat lunak (software) yang digunakan adalah apiwebTM (Biomeireux) untuk
menganalisis hasil uji biokimia dengan API 20E biochemical test kit.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yang meliputi (1) survei
lapang lokasi tambak tradisional dan intensif, (2) pengambilan sampel udang dari
tambak tradisional dan intensif hasil survei, (3) isolasi V. parahaemolyticus dari
sampel udang, (4) karakterisasi sifat fenotipik berdasarkan identifikasi isolat
secara biokimiawi, (5) identifikasi V. Parahaemolyticus patogenik dari isolat V.
42
parahaemolyticus berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh. Tahapan
kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian
Survei Lapang
Survei lapang dilakukan untuk untuk menentukan lokasi tambak udang
yang berpotensi mengandung V. parahaemolyticus baik di tambak tradisional dan
intensif. Pengumpulan data dan informasi pada survei lapang meliputi :
a.
Pengumpulan informasi lokasi dan jumlah tambak udang (tradisional dan
intensif) yang masih beroperasi.
b.
Pengumpulan informasi waktu panen tambak udang sebagai penentuan
pengambilan sampel udang.
c.
Pengumpulan informasi yang terkait dengan kondisi lingkungan tambak
seperti salinitas, pH, suhu, luas areal tambak, waktu panen, dan data dukung
lainnya .
43
Pengambilan dan Preparasi Sampel Udang Tambak
Pemilihan tambak udang yang akan diambil sampelnya pada setiap daerah
dilakukan secara acak (random). Jenis tambak yang akan diambil sampelnya
adalah tambak dengan sistim tradisional dan intensif hasil survei lapang. Kriteria
tambak yang akan diambil sampelnya adalah tambak siap panen dengan berat
udang per ekor di atas 20g dengan masa budidaya di atas 2.5 bulan. Jumlah
tambak disesuaikan dengan jumlah tambak yang siap panen dan tata letaknya
dimana antara tambak tradisional dan intensif yang akan diambil sampelnya
berjumlah sama. Setiap tambak akan diambil sampel udang sebanyak 500g dari
beberapa titik yang cukup mewakili keberadaan udang dalam tambak.
Pengambilan sampel udang pada setiap tambak dilakukan 2 kali yang merupakan
ulangan pengambilan sampel.
Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis
dengan plastik steril. Sampel lalu ditempatkan pada peti berinsulasi (cool box)
yang berisi es curah dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian.
Isolasi Vibrio parahaemolyticus dari Udang Tambak
Isolasi
V.
parahaemolyticus
dilakukan
berdasarkan
metode
Bacteriological Analytical Manual (BAM)-FDA (Kaysner dan DePaola, 2004).
Tahap awal isolasi adalah tahap pengkayaan (enrichment) yaitu sebanyak 25g
sampel udang (jika ukuran udang kecil, ambil seluruh bagian udang, jika ukuran
udang besar ambil bagian daging termasuk insang dan usus) dimasukkan ke dalam
225ml ASPW kemudian dilakukan homogenisasi menggunakan stomacher pada
kecepatan 260 rpm selama 1 menit. Selanjutnya homogenat diinkubasikan pada
suhu 37±2°C selama 18-24 jam. Sebanyak 1 loopful homogenat dari media ASPW
digoreskan ke media agar selektif TCBS dan diinkubasi pada suhu 37±2°C selama
24 jam. Koloni V. parahaemolyticus ditandai dengan ciri-ciri : koloni berbentuk
bulat, diameter 2-3mm, koloni berwarna hijau atau hijau kebiruan pada bagian
tengah serta tidak memfermentasi sukrosa.
Sebanyak 2-3 koloni suspect
digoreskan pada media agar miring TSA+2.5%NaCl dan diinkubasi pada suhu
44
37± 2°C selama 24 jam.
Kultur yang tumbuh selanjutnya dijadikan sebagai
inokula untuk pengujian biokimia pada tahap konfirmasi koloni tipikal.
Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak
Identifikasi V.parahaemolyticus dilakukan berdasarkan karakterisasi sifat
fenotipik isolat secara biokimiawi. Identifikasi ini diawali dengan uji biokimia
pendahuluan merupakan uji presumtif V. parahaemolyticus.
Pengujian ini
meliputi pewarnaan gram, uji motilitas, uji oksidase, dan pertumbuhan pada media
agar triple sugar iron (TSI).
Hasil uji biokimia pendahuluan selanjutnya
dilakukan uji biokimia lanjutan dengan API 20E biochemical test kit.
Uji biokimia pendahuluan (Presumtif)
1.
Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram merupakan uji awal untuk identifikasi bakteri. Tahapan
ini diawali dengan fiksasi inokulum V. parahaemolyticus yang berasal dari
TSA+2.5%NaCl. Preparat yang sudah kering kemudian ditambahkan pewarna
crystal violet-ammonium oxalat dan dilakukan pencucian pada air mengalir serrta
dikeringkan.
Preparat ditambahkan iodin selama 1 menit dan dilakukan
pencucian. Tahap berikutnya adalah dekolorisasi dengan penambahan etanol 95%
pada preparat untuk menghilangkan warna biru hilang (± 30 detik). Tahap akhir
preparat diberikan safranin, pencucian dan dilakukan pengamatan di bawah
mikroskop. V. parahaemolyticus merupakan gram negatif yang ditandai dengan
warna merah muda, berbentuk batang (curve atau straight), dan membentuk
koloni sel tunggal.
2.
Uji moltilitas
Uji motilitas V. parahaemolyticus dilakukan dengan cara inokulum dari
TSA+2.5%NaCl diinokulasikan ke dalam media motility test medium (MTM)
dengan kedalaman 2/3 dari ketinggian media MTM dan diinkubasikan pada suhu
37±2°C selama 18-24 jam.
Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya
pertumbuhan bakteri yang berdifusi secara sirkular dari garis tusukan.
45
Uji oksidase
Uji oksidase dilakukan dengan cara sebanyak 1ose inokulum dari
TSA+2.5%NaCl diinokulasikan ke cawan petri yang mengandung media
TSA+2.5%NaCl dan diinkubasi pada suhu 37±2°C selama 18-24 jam.
Selanjutnya koloni diberikan 2-3 tetes pereaksi oksidase dan dilakukan
pengamatan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua pada
koloni.
3.
Pertumbuhan pada media agar triple sugar iron (TSI)
Koloni dari media TSA+2.5%NaCl diinokulasikan pada media agar triple
sugar iron (TSI) dengan cara digoreskan pada agar miring dan ditusukkan pada
agar tegak kemudian diinkubasikan pada suhu 37±2°C selama 18-24 jam.
Pertumbuhan V. parahaemolyticus akan menghasilkan warna merah (alkalin) pada
agar miring dan asam (warna kuning) pada agar tegak serta tidak menghasilkan
gas dan H2S.
Uji biokimia lanjutan (Konfirmasi)
Koloni yang menunjukkan karakter biokimia sesuai dengan uji biokimia
pendahuluan (presumtif), selanjutnya dilakukan uji biokimia lanjutan dengan API
20E biochemical test kit.
Pengujian ini dilakukan berdasarkan pengamatan
terhadap produksi metabolisme isolat pada media uji yang ditandai dengan
perubahan warna.
Hasil pengamatan kemudian dibaca menggunakan tabel
pembacaan (reading table) dan identifikasi bakteri berdasarkan Analytical Profile
Index (API) atau menggunakan identification software.
Konfirmasi V. parahaemolyticus dengan API 20E biochemical test kit
diawali dengan tahap preparasi suspensi isolat yaitu dengan cara homogenisasi
isolat dari media TSA+2.5% NaCl yang telah diinkubasi pada 37± 2°C; 24 jam ke
dalam larutan NaCl 0.85%. Selanjutnya suspensi isolat diinokulasikan ke dalam
masing-masing sumur media uji yang berisi reagen-reagen dalam bentuk kering.
Inokulasi suspensi isolat pada masing-masing media uji dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut :
46
• Suspensi isolat diinokulasikan penuh ke dalam microtube media uji
ONPG, TDA, IND dan gula-gula pereduksi.
• Suspensi isolat diinokulasikan di bawah garis tes microtube pada media uji
LDC, ODC, ADH, H2S, dan URE dan ditambahkan mineral oil.
• Suspensi isolat diinokulasikan penuh ke dalam microtube dan sumur pada
media uji CIT, VP, dan GEL.
Media uji selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37 ± 2°C selama 18-24
jam. Hasil metabolisme ditandai dengan adanya perubahan warna pada masingmasing media uji, dimana untuk media uji indol, VP dan TDA masing-masing
dilakukan penambahan reagen yaitu :
•
Untuk pengujian indol ditambahkan 1 tetes reagen kovac’s dan pembacaan
dilakukan beberapa menit setelah penambahan reagen.
•
Untuk pengujian VP ditambahkan masing-masing 1 tetes reagen barritt’s
A dan B dan pembacaan dilakukan maksimal 10 menit setelah
penambahan reagen.
•
Untuk pengujian TDA ditambahkan 1 tetes reagen FeCl3.
Seluruh hasil reaksi metabolisme kemudian dilakukan pembacaan untuk
penentuan reaksi positif dan negatif. Hasil reaksi dikelompokkan pada tiap 3
reaksi dengan nilai pada tiap reaksi positif adalah 1, 2, dan 4 sehingga dihasilkan
7 digit angka dan selanjutnya dilakukan pembacaan pada Analytical Profile Index
(API) atau menggunakan identification software. Hasil uji biochemical test kit
dicatat dan dilanjutkan dengan identifikasi V. parahaemolyticus patogenik
berdasarkan gen penyandi tdh dan trh menggunakan metode PCR
Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari
Udang Tambak
1.
Isolasi DNA genom bakteri (Ausubel et al. 1987; Brown, 1992)
Isolat V. parahaemolyticus dari TSA+2.5%NaCl diinokulasikan ke dalam
5ml TSB+2.5%NaCl dan diinkubasikan di dalam shaker waterbath dengan
kecepatan 130 rpm pada suhu 37±2°C; 18-24 jam.
Kultur sel dari
TSB+2.5%NaCl selanjutnya dilakukan isolasi DNA genom. Sebanyak 3ml sel
47
bakteri yang kompeten (OD600 = 0.4-0.5) dilakukan sentrifugasi pada kecepatan
13500 rpm selama 5 menit.
Pelet yang diperoleh kemudian diresuspensikan
dengan 250µl bufer TE menggunakan vorteks. Selanjutnya ditambahkan 50µl
SDS 10% dan dihomogenisasi perlahan-lahan dengan cara membalikkan tabung
beberapa kali sampai suspensi terlihat jernih. Sejumlah 3µl proteinase-K
(20mg/ml) ditambahkan dan diinkubasi pada 37°C selama 1 jam. Setelah 1 jam,
ditambahkan 10µl RNase, 80µl CTAB/NaCl (10% CTAB dalam 0.7 M NaCl),
dan 100µl NaCl 5M, kemudian diinkubasi pada 65°C selama 10-20 menit.
Campuran fenol : kloroform : isoamilalkohol (25:24:1) ditambahkan ke dalam
volume campuran dengan rasio 1:1 dan dihomogenisasi menggunakan vorteks
selama 2 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi pada 13500 rpm selama 10
menit untuk memisahkan fase campuran. Fase cairan (top layer) dipindahkan ke
tabung mikroeppendorf 1.5 ml yang baru, lalu ditambahkan dengan kloroform
dengan volume yang sama. Pencampuran dilakukan dengan membolak-balikkan
tabung beberapa kali, kemudian disentrifugasi kembali pada 13500 rpm selama 10
menit hingga diperoleh kembali fase terpisah. Fase cairan (top layer) dipindahkan
kembali ke tabung mikroeppendorf 1.5 ml yang baru. Selanjutnya ditambahkan
0.1 volume sodium asetat 3M dan 0.6 volume isopropanol dan dilakukan
pencampuran dengan membolak-balikkan tabung beberapa kali. Tabung
diinkubasi pada -20°C selama 1 jam atau pada -80°C selama 15 menit, selanjutnya
presipitasi DNA dilakukan dengan sentrifugasi pada 13500 rpm selama 10 menit.
Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, kemudian ditambahkan 500µl etanol (70%)
dan tabung dibolak-balikkan beberapa kali. Setelah itu dilakukan sentrifugasi
kembali pada 13500 rpm selama 10 menit.
Pelet DNA dikeringkan dengan
meletakkannya dalam kondisi tabung terbuka pada laminar air flow selama 15
menit, kemudian diresuspensi dalam 100µl TE atau akuades steril.
Untuk
penyimpanan jangka panjang, larutan DNA disimpan pada suhu -20°C.
Verifikasi
DNA
genom
bakteri
dilakukan
dengan
elektroforesis
menggunakan gel agarosa 2% (TBE1X) pada 100V selama 45 menit.
DNA
merupakan molekul bermuatan negatif sehingga bila diletakkan di medan listrik
maka DNA akan bermigrasi dari kutub negatif ke kutub positif.
Kecepatan
pergerakan DNA tergantung pada ukuran molekul DNA, kerapatan gel dan arus
48
listrik yang diberikan untuk memigrasikan molekul DNA. Sebelum dilakukan
elektroforesis, suspensi DNA dicampur dengan penyangga muatan berwarna
(loading dye) yang berfungsi untuk menambah densitas sehingga DNA berada di
bagian bawah sumur. Pewarna (loading dye) ditambahkan untuk memudahkan
peletakan sampel DNA ke dalam sumur. Loading dye juga berfungsi agar DNA
dapat bergerak ke arah anoda dengan laju yang diperkirakan sehingga dapat
sebagai tanda migrasi DNA (Brown, 1992).
Visualisasi DNA dilakukan dengan pewarnaan DNA pada gel agarosa
yang ditambahkan pewarna sybr safe gold. Gel hasil elektroforesis direndam
dalam larutan sybr safe gold selama 30 menit dan selanjutnya gel diamati di
bawah sinar ultraviolet dengan menggunakan UV transillumination.
Sybr safe
gold dapat berinteraksi diantara pasangan basa pada DNA dan menangkap sinar
ultraviolet sehingga pendaran dari ultraviolet dapat terlihat. Pita DNA dapat
dilihat karena gel disinari oleh sinar ultraviolet pada UV transiluminator (Brown,
1992).
DNA genom selanjutnya diukur tingkat kemurniannya dan dikuantifikasi
untuk mengetahui konsentrasi mengunakan DNA/RNA/protein Analyser. Tingkat
kemurnian DNA dihitung berdasarkan rasio absorbansi yang diukur pada panjang
gelombang 260nm dan 280nm dimana tingkat kemurnian DNA dianggap cukup
baik jika memiliki rentang nilai rasio 1.8-2.0. Konsentrasi DNA genom dihitung
berdasarkan rumus : [DNA] = OD 260 X 50 X FP; dimana FP adalah faktor
pengenceran (Ausubel et al. 1987).
2.
Amplifikasi gen tdh dan trh (Tada et al. 1992)
Untuk mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus digunakan
primer nukleotida spesifik dengan ukuran amplikon 251bp untuk gen tdh dan
250bp untuk gen trh (Tada et al. 1992).
Amplifikasi dengan PCR dilakukan
menggunakan 25 µl campuran reaktan yang masing-masing mengandung masingmasing 1µl primer forward dan reverse (200nM), 12.5 µl Go Taq Green Master
Mix yang terdiri dari yang terdiri dari Go Taq DNA polymerase, bufer PCR, 3
mMMgCl2, dan dNTP (masing-masing 0.4 mM dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP),
DNA/RNA free water, dan cetakan DNA yang merupakan hasil isolasi DNA.
49
Volume cetakan DNA bervariasi tergantung pada konsentrasi DNA yang
diperoleh.
Protokol PCR yang digunakan adalah pre-PCR (94°C, 5 menit), denaturasi
(94°C, 1 menit), penempelan primer (55°C, 1 menit), ekstensi atau pemanjangan
primer (72°C, 1 menit) dan post-PCR (72°C, 7 menit) dengan siklus sebanyak 35
kali. Sebanyak 6-7µl hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 2% (w/v),
dengan menggunakan bufer TBE1X pada 100V selama 45 menit.
Seluruh
pengujian ini menggunakan kontrol positif yaitu ATCC43996 untuk gen penyandi
tdh dan AQ4037 untuk gen penyandi trh. Selain kontrol positif digunakan juga
kontrol negatif yaitu campuran reaktan tanpa penambahan cetakan DNA sampel.
Penggunaan kontrol negatif dalam analisis identifikasi
V. parahaemolyticus
patogenik bertujuan untuk melihat ada tidaknya kontaminasi pada produk PCR.
Selain tanpa penambahan cetakan DNA, kontrol negatif juga dapat berupa
campuran reaktan ditambah dengan cetakan DNA V. parahaemolyticus yang
bukan penhasil gen tdh dan trh.
50
HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei Lapang
Survei lapang merupakan tahap awal penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan data dan informasi terkait dengan potensi tambak udang di
sepanjang pantai utara Jawa Barat sehingga dapat dipilih
sebagai lokasi yang
mewakili pengambilan sampel udang. Lokasi yang dipilih pada survei lapang
adalah Kabupaten Karawang, Cirebon, Indramayu karena memiliki usaha
budidaya tambak udang yang cukup besar baik sistim tradisional maupun intensif.
Jenis udang yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah udang vaname
(Litopenaeus vannamei) karena sedang banyak dibudidayakan. Sampel udang
yang diambil pada survei lapang dilakukan analisis presumtif V. parahaemolyticus
dan hasil analisis ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar penentuan lokasi
pengambilan sampel udang pada penelitian utama.
Berdasarkan analisis presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang
vaname dari ketiga lokasi, menunjukkan hasil sebagai berikut (Tabel 8):
a. Lokasi Cirebon, ditemukan V. parahaemolyticus positif pada sampel
udang
di tambak tradisional. Sampel udang di tambak intensif tidak
diperoleh karena udang baru ditebar sehingga ukuran udang belum cukup
untuk di ambil sebagai sampel.
b. Lokasi Indramayu, ditemukan V. parahaemolyticus pada sampel udang di
tambak semi intensif. Pengambilan sampel di tambak tradisional tidak
dilakukan karena udang baru ditebar.
c. Lokasi Karawang, ditemukan V. parahaemolyticus pada sampel udang
baik di tambak tradisional (polikultur) maupun tambak intensif. Jumlah
tambak yang beroperasi di lokasi in baik tradisional maupun intensif
sangat terbatas.
51
Tabel 8. Hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari udang vaname yang
diambil dari 3 lokasi survei
No
Lokasi
1
2
Cirebon
Indramayu
3
Karawang
Hasil analisis presumtif Vp
Tradisional
Intensif
+
tidak diambil sampel
tidak diambil sampel
+
+
+
(polikurtur dengan bandeng)
Berdasarkan hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari sampel
udang di atas dan hasil wawancara dengan petani tambak maupun penyuluh Dinas
Kelautan dan Perikanan setempat seputar produksi, jumlah tambak udang yang
masih aktif, dan perkiraan waktu panen, dari ketiga lokasi, dapat disimpulkan
bahwa udang di seluruh lokasi mungkin mengandung V. parahaemolyticus.
Namun demikian dari ketiga lokasi, Kabupaten Indramayu memiliki usaha
budidaya tambak terbesar dan terluas sehingga dianggap mewakili dan dipilih
menjadi lokasi pengambilan sampel udang baik untuk sistim tradisional maupun
intensif.
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah yang memiliki usaha
budidaya tambak udang cukup besar di daerah Jawa Barat baik tradisional dan
intensif. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Indramayu, sampai dengan Desember 2010 total produksi budidaya
udang vaname adalah18.000 ton atau berkisar Rp 500 milyar. Usaha budidaya
udang vaname ini sedang digalakkan oleh Kabupaten Indramayu baik secara
tradisional maupun intensif.
Pengambilan sampel udang segar dilakukan di tambak tradisional dan
intensif. Udang yang diambil sebagai sampel adalah udang siap panen dengan
umur pemeliharaan berkisar di atas 2.5 bulan. Berdasarkan ukuran udang, pada
tambak tradisional berkisar 90-80 ekor/kg dan 80-70 ekor/kg pada tambak
intensif. Periode pengambilan sampel disesuaikan dengan waktu panen tambak
yang diperoleh berdasarkan informasi penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Indramayu yang ditempatkan di kecamatan.
Pengambilan sampel
udang dilakukan pada bulan Agustus dan Nopember dimana untuk tambak
52
tradisional berlokasi di Kecamatan Cantigi yang berasal dari 4 desa yaitu
Cangkring (5 petak tambak), Cantigi Kulon (2 petak tambak), Cantigi Wetan
(1 petak tambak) dan Lamaran Tarung (8 petak tambak). Sementara itu untuk
tambak intensif, seluruh sampel berasal dari satu areal budidaya tambak yang
berlokasi di Kecamatan Patrol. Sampel udang berasal dari 16 petak tambak baik
di tambak tradisional maupun intensif dan selama pengambilan sampel dilakukan
pengumpulan data dan pengamatan terhadap lingkungan tambak (Tabel 9).
Pengambilan sampel udang sangat dipengaruhi waktu panen sehingga
tidak dapat dilakukan serentak pada tambak tradisional maupun intensif. Tambak
dengan sistim tradisional pengambilan sampel tidak dapat dilakukan pada satu
petani tambak karena umumnya jumlah tambak udang tidak banyak sehingga
harus diambil dari beberapa lokasi dalam satu kecamatan. Umumnya luas areal
tambak tradisional tidak seragam dan luas. Tambak tradisional tidak dilengkapi
kincir air sebagai sistim aerasi dan sumber air tambak diambil langsung dari
sungai yang bersifat payau dan selama pemeliharaan udang sampai panen tidak
ada pergantian air (Gambar 3).
Tabel 9.
Data pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan di tambak
tradisional dan intensif di Kabupaten Indramayu
Parameter
Tambak Tradisional
Tambak Intensif
Suhu (°C)
30-31
30-31
Salinitas (ppt)
10-15
26-30
7-8
7.5-8
-
6 kincir/petak
8-10
90-120
5000-10.0000
600 m2
pH
Sistim aerasi
2
Padat tebar (ekor/ m )
Luas petak tambak (m2)
Salinitas air tambak tradisional berada pada kisaran 10-15ppt dan suhu air
berkisar 30-31°C pada saat pengambilan sampel.
Berdasarkan pengukuran
salinitas terlihat ada perbedaan salinitas antara tambak tradisional dan intensif.
Umumnya petani tambak tradisional tidak melakukan pengukuran terhadap
salinitas air tambak. Rendahnya salinitas di tambak tradisional diduga karena
53
pada saat pengambilan sampel udang curah hujan cukup tinggi sehingga terjadi
penurunan salinitas di tambak tradisional. Hal ini berbeda kondisinya dengan
tambak intensif dimana selalu dilakukan pengontrolan terhadap parameter
lingkungan tambak seperti suhu, salinitas, pH, dan unsur hara.
Sementara itu, dalam hal padat tebar benih udang umumnya petani tambak
tradisional tidak berani menebar benih udang dalam jumlah besar dengan tujuan
menghindari resiko kerugian yang besar jika selama pemeliharaan tambak terjadi
kematian udang sebelum masa panen. Hal ini juga terkait dengan besarnya modal
yang dimiliki oleh petani tambak tradisional. Sedangkan pada tambak intensif,
padat tebar umumnya mengacu pada pedoman Good Aquaculture Practises
(GAP) yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan tambak selama pemeliharaan.
Gambar 3. Tambak udang sistim tradisional
Beberapa petani tambak memberikan pakan alami pada udang sementara
sebagian petani tambak mengkombinasikan pakan alami dengan pakan komersil.
Pakan alami dibuat dengan cara mengeringkan ikan-ikan rucah dan selanjutnya
digiling dan dibentuk seperti pelet.
Hasil pengamatan di tambak tradisional
ditempatkan ganggang atau ikan seperti bandeng serta kerang-kerangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani tambak penempatan ganggang dan
ikan bertujuan untuk membersihkan tambak dari pengotor dan sisa-sisa pakan.
Ikan dan kerang yang berada di dalam tambak sebagian memang sengaja
54
ditambahkan dan sebagian memang sudah ada sebelum tambak ditanami udang.
Keberadaan biota-biota tersebut di tambak diduga masuk pada saat air sungai
dialirkan ke dalam petak tambak. Tambak tradisional tidak menerapkan sistim
penggantian air selama pemeliharaan udang sehingga kandungan bahan organik
maupun anorganik yang merupakan sisa pakan, feses udang, nutrien alami tambak
dan biota perairan seperti fitoplankton dan zooplankton serta cemaran lainnya
menumpuk pada dasar tambak.
Hasil pengamatan di lapangan selama pengambilan sampel di tambak
intensif setiap petakan ditempatkan kincir air sebanyak 6 kincir air yang berputar
secara kontiniu (Gambar 4). Lokasi tambak berada tepat di sebelah pantai dan
sumber air berasal dari air tanah yang dicampur dengan air laut. Air laut diambil
langsung dari laut dengan cara mengalirkannya melalui pipa yang dipasang sejauh
sekitar 2km dari pantai. Sebelum masuk ke tambak, air laut ditampung di bak
penampungan dan disaring terlebih dahulu dengan penyaring ukuran besar (kain
kasa) dan ukuran kecil (planktonet). Bak penampung ditempatkan ikan nila dan
bandeng yang bertujuan untuk membantu membersihkan air dari pengotor.
Salinitas dan pH air tambak diukur setiap hari sedangkan unsur hara diukur setiap
minggu untuk menjaga kualitas air tambak. Tambak intensif dilengkapi dengan
sistim aliran pembuangan air.
Gambar 4. Tambak udang sistim intensif
55
Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak
Isolasi V parahaemolyticus diawali dengan tahap pengayaan menggunakan
media alkaline saline peptone water (ASPW) yaitu media cair alkaline
peptone water (APW)+2.5%NaCl. ASPW merupakan media pengayaan V.
parahaemolyticus karena memiliki nutrien, kandungan garam dan pH yang
optimum bagi pertumbuhan bakteri tersebut. ASPW adalah media yang terdiri
dari pepton yang berfungsi untuk mensuplai nitrogen, asam amino esensial untuk
pertumbuhan bakteri.
Sementara itu garam (NaCl) digunakan sebagai suplai
elektrolit esensial untuk sistim transportasi dan keseimbangan osmosis serta
berguna bagi pertumbuhan V. parahaemolyticus.
ASPW merupakan media
dengan pH yang bersifat basa yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain selain Vibrio.
Pada tahap pengayaan diperoleh hasil bahwa seluruh sampel (masingmasing tambak berjumlah 32 sampel) baik tambak tradisional maupun intesif
menunjukkan pertumbuhan pada media tersebut yang ditandai dengan tingkat
kekeruhan
pada
media
ASPW.
Selanjutnya
pada
tahap
isolasi
V.
parahaemolyticus, digunakan media agar selektif thiosulfate citrate bile salt
sucrose (TCBS). Media agar TCBS merupakan media selektif dan diferensial
untuk
isolasi
dan
kultivasi
bakteri
Vibrio
seperti
V.
cholerae
dan
V. parahaemolyticus dimana media ini terdiri dari garam empedu yang berfungsi
untuk menghambat pertumbuhan bakteri non target, natrium klorida (NaCl)
merupakan media optimal bagi pertumbuhan bakteri halofilik, sodium tiosulfat
yang merupakan sumber sulfur dan ferric citrate digunakan untuk mendeteksi
produksi H2S.
Media agar TCBS merupakan media selektif yang dapat
membedakan Vibrio spp. ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Vibrio spp yang
memfermentasi sukrosa ditandai dengan koloni berwarna kuning dan kelompok
yang tidak memfermentasi sukrosa ditandai dengan koloni berwarna hijau.
Isolat–isolat yang dinyatakan sebagai V. parahaemolyticus memiliki ciri-ciri
koloni tipikal V. parahaemolyticus pada media agar TCBS yaitu koloni bulat
berwarna hijau atau hijau kebiruan pada pusat koloni dengan diameter 2-3mm dan
tidak memfermentasi sukrosa (Gambar 5). Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada
56
sampel udang tambak tradisional menunjukkan adanya pertumbuhan V.
parahaemolyticus pada semua sampel.
Pertumbuhan koloni tipikal V. parahaemolyticus pada sampel udang
tambak intensif di media TCBS diperoleh hasil sebanyak 28 sampel (n=32),
sedangkan 4 sampel menunjukkan hasil negatif yang ditandai dengan adanya
pertumbuhan koloni yang berbeda dengan ciri-ciri V. parahaemolyticus seperti
adanya pertumbuhan koloni berwarna kuning dan kemampuan koloni tersebut
memfermentasi sukrosa, terlihat dari perubahan warna hijau menjadi kuning pada
media TCBS. Sampel-sampel dengan hasil negatif pada TCBS tidak dilakukan
pengujian lebih lanjut. Hasil pertumbuhan V. parahaemolyticus presumtif pada
media pengayaan (ASPW) dan media selektif (TCBS) pada sampel udang tambak
tradisional dan intensif dapat dilihat pada Tabel 10 (Lampiran 1dan 2).
Gambar 5. V. parahaemolyticus pada TCBS
Tabel 10. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak
Jenis tambak
Jumlah
sampel
Jumlah sampel positif pada tahap isolasi
ASPW
TCBS
Tradisional
32
32
32
Intensif
32
32
28
57
Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak
Identifikasi V. parahaemolyticus pada udang tambak dilakukan dengan
melihat karakter sifat fenotipik bakteri tersebut melalui pengamatan hasil reaksi
biokimiawi. Pengamatan sifat fenotipik V. parahaemolyticus terbagi atas dua
pengujian yaitu pengujian biokimia pendahuluan yang meliputi pewarnaan gram,
uji motilitas, oksidase, dan pertumbuhan di media agar TSI. Pengujian biokimia
pendahuluan ini merupakan identifikasi presumtif V. parahaemolyticus. Isolat V.
parahaemolyticus positif dari media TCBS kemudian ditumbuhkan pada media
agar miring TSA+2.5% NaCl pada suhu 37°C selama 18-24 jam yang selanjutnya
digunakan untuk pengujian biokimia pendahuluan. Hasil identifikasi presumtif
V. parahaemolyticus sampel udang tambak tradisional dan intensif disajikan pada
Tabel 11 dan 12.
Pengujian motilitas V. parahaemolyticus ditandai dengan adanya difusi
melingkar di sepanjang pertumbuhan bakteri pada media agar MTM dan hasil
yang positif menunjukkan adanya V. parahaemolyticus pada sampel. Pengujian
V. parahaemolyticus pada media agar TSI ditandai dengan adanya pertumbuhan
koloni dan perubahan warna pada media agar yaitu warna merah pada agar miring
(bersifat alkalin) dan warna kuning pada agar tegak (bersifat asam) dan tidak
memproduksi H2S atau gas.
Sementara itu hasil uji oksidase positif
V. parahaemolyticus, ditandai dengan perubahan warna koloni menjadi ungu yang
disebabkan oleh adanya presipitasi pereaksi oksidase oleh koloni karena bakteri
ini bersifat oksidasi positif.
Pengujian biokimia pendahuluan menggunakan 3 parameter uji akan
dikatakan positif jika semua parameter uji menunjukkan hasil positif dan
dikatakan negatif jika salah satu parameter uji menunjukkan hasil negatif.
Identifikasi presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak
tradisional menunjukkan hasil sebanyak 23 isolat (n=32) positif, sedangkan
9 isolat memberikan hasil negatif. Identifikasi presumtif V. parahaemolyticus
pada sampel udang tambak intensif menunjukkan sebanyak 18 isolat (n=28) dan
10 isolat negatif. Berdasarkan hasil identifikasi presumtif V. parahaemolyticus,
diketahui frekuensi isolasi sampel udang di tambak tradisional lebih tinggi
58
dibandingkan sampel udang di tambak intensif dengan persentase berturut-turut
sebesar 71.9%, dan 43.8% (n=32).
Tabel 11. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang
tambak tradisional di Kecamatan Cantigi
No
Tambak
Sampel
ke-
Kode
sampel
1
Cangkring
1
Tr A1
Tr A2
Tr B1
Tr B2
Tr C1
Tr C2
Tr D1
Tr D2
Tr E1
Tr E2
Tr F1
Tr F2
Tr G1
Tr G2
Tr H1
Tr H2
Tr I1
Tr I2
Tr J1
Tr J2
Tr K1
Tr K2
Tr L1
Tr L2
Tr M1
Tr M2
Tr N1
Tr N2
Tr O1
Tr O2
Tr P1
Tr P2
2
3
4
5
2
Cantigi Kulon
6
3
Cantigi Wetan
7
8
4 Lamaran
Tarung
9
10
11
12
13
14
15
16
Uji biokimia pendahuluan
MTM
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
TSI
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Oksidase
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Total V. parahaemolyticus presumtif
(+)
: hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif
: Vp presumtif negatif (jika salah satu hasil uji biokimia pendahuluan negatif)
Jumlah isolat
Vp presumtif
7
1
3
12
23 (71.9%)
59
Tabel 12. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang
tambak intensif di Kecamatan Patrol
Sampel ke-
Kode Sampel
1
Int A1
Int A2
Int B1
Int B2
Int C1
Int C2
Int D1
Int D2
Int E1
Int E2
Int F1
Int F2
Int G1
Int G2
Int H1
Int H2
Int I1
Int I1
Int J1
Int J2
Int K1
Int K2
Int L1
Int L2
Int M1
Int M2
Int N1
Int N2
Int O1
Int O2
Int P1
Int P2
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Uji biokimia pendahuluan
MTM
TSI
Oksidase
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Total V. parahaemolyticus presumtif
18 (43.8%)
(+) : hasil uji positif; (-) : hasil uji negatif
: tidak dilakukan pengujian lebih lanjut
: Vp presumtif negatif ( jika salah satu hasil uji biokimia pendahuluan negatif )
60
Hasil pewarnaan Gram dan pengamatan morfologi menggunakan
mikroskop perbesaran 1000X menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus memiliki
sel-sel berwarna merah muda yang merupakan ciri bakteri Gram negatif,
berbentuk batang dan membentuk sel tunggal (Gambar 6). Isolat yang diduga
sebagai bakteri V. parahaemolyticus pada uji biokimia pendahuluan selanjutnya
dilakukan pengujian biokimia lanjutan dengan menggunakan perangkat API 20E
biochemical test kit.
Gambar 6. Sel bakteri V. parahaemolyticus yang diamati dengan
mikroskop perbesaran 1000X
API 20E biochemical test merupakan perangkat identifikasi bakteri Gram
negatif melalui pengamatan terhadap produksi metabolisme yang ditandai dengan
perubahan warna pada media uji.
Konfirmasi isolat V. parahaemolyticus
menggunakan API 20E20E biochemical test kit dilakukan dengan cara melihat
reaksi biokimiawi yang terdiri dari 20 parameter uji. Hasil uji reaksi biokimiawi
tersebut selanjutnya dianalisis dengan program apiwebTM untuk mengidentifikasi
spesies dan mengetahui tingkat kemiripan (Lampiran 3).
Untuk melihat
persentase kemiripan hasil uji dengan bakteri V. parahaemolyticus, dalam analisis
data ditambahkan data hasil uji oksidasi dengan hasil positif karena V.
parahaemolyticus bersifat oksidasi positif.
Konfirmasi dari isolat-isolat V.
parahaemolyticus presumtif berdasarkan sifat-sifat biokimiawi terhadap beberapa
parameter uji memberikan hasil reaksi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13.
61
Tabel 13. Hasil uji reaksi biokimiawi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus
presumtif sampel udang tambak dengan API 20E
Uji
Β-galactosidase
(ONPG)
Arginine dihydrolase
Lysine decarboxylase
Ornithine decarboxylase
Penggunaan Citrate
Produksi H2S
Urease
Tryptophane
DeAminase
Indole production
Voges Proskauer
(produksi acetoin)
Gelatinase
FERMENTASI :
- Glucose
- Mannitol
- Inositol
- Sorbitol
- Rhamnose
- Saccharose
- Melibiose
- Amygladin
- Arabinose
Oksidase
1
2 dan 3
V p1
Reaksi biokimiawi
Tr A12
Int C13
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Reaksi biokimiawi yang positif V. parahaemolyticus dengan API 20E
Reaksi biokimiawi yang positif V. parahaemolyticus pada sampel
udang tambak tradisional dan intensif
Konfirmasi berdasarkan hasil uji biokimiawi pada sampel udang tambak
tradisional menunjukkan bahwa sebanyak 16 isolat (n=32) teridentifikasi sebagai
V. parahaemolyticus dengan tingkat kemiripan (%ID) berada pada kisaran 92.899.9% (Tabel 14). Jika dibedakan berdasarkan lokasi pengambilan sampel udang
di tambak tradisional maka diperoleh hasil V. parahaemolyticus positif berkisar
30-69% (Tabel 15). Identifikasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak
intensif diperoleh hasil sebanyak 6 isolat (n=32) terkonfirmasi sebagai V.
parahaemolyticus dengan persentase tingkat kemiripan berkisar 99.6-99.9%
(Tabel 16).
Berdasarkan konfirmasi V. parahaemolyticus dengan API 20E
biochemical test kit menunjukkan bahwa udang tambak tradisional memiliki
frekuensi isolasi lebih tinggi dibandingkan tambak intensif.
62
Tabel 14. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus
sampel udang di tambak tradisional dengan API20E
No
Lokasi tambak
Kode sampel
1
Cangkring
Tr A1
Tr A2
Tr B1
Tr B2
Tr C1
Tr C2
Tr D1
Tr D2
Tr E1
Tr E2
Tr F1
Tr F2
Tr G1
Tr G2
Tr H1
Tr H2
Tr I1
Tr I2
Tr J1
Tr J2
Tr K1
Tr K2
Tr L1
Tr L2
Tr M1
Tr M2
Tr N1
Tr N2
Tr O1
Tr O2
Tr P1
Tr P2
2
Cantigi Kulon
3
Cantigi Wetan
4
Lamaran
Tarung
Total V. parahaemolyticus
(+)
Konfirmasi dengan
API 20E (%ID)
+ (99.9)
+ (99.8)
+ (99.9)
+ (92.8)
+ (99.9)
+ (99.6)
+ (92.8)
+ (92.8)
+ (99.9)
+ (99.9)
+ (99.9)
+ (99.9)
+ (92.8)
+ (99.9)
+ (99.9)
+ (99.9)
16 isolat (n=32; 50%)
: hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif
: tidak dilakukan pengujian lebih lanjut
V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang secara alami terdapat di
perairan laut, pantai, muara sungai maupun budidaya tambak.
Keberadaan
V. parahaemolyticus pada lingkungan perairan laut yang umumnya diisolasi dari
63
air laut, sedimen, maupun berbagai jenis produk perikanan, telah banyak
ditemukan seperti di Indonsia, Jepang, Korea, Thailand, India, bahkan negaranegara Eropa dan Amerika. V. parahaemolyticus merupakan salah satu jenis
Vibrio yang mendapat perhatian pada usaha budidaya udang karena bersifat
patogen pada komoditas udang tersebut. Penggunaan air laut pada lahan tambak
udang memberikan peluang besar bagi bakteri ini ada pada komoditas udang
tambak. Selain patogen pada udang, V. parahaemolyticus bersifat patogen pada
manusia karena dapat menyebabkan penyakit melalui konsumsi pangan.
Kasus
keracunan pangan ini telah banyak terjadi di Jepang, Taiwan, Cina, Vietnam,
Thailand, India bahkan negara- negara di Amerika dan Eropa.
Tabel 15.
Hasil identifikasi Vp pada sampel udang
di tambak tradisional
Lokasi tambak
Cangkring
Cantigi Kulon
Cantigi Wetan
Lamaran Tarung
Jumlah
sampel
10
2
4
16
Jumlah isolat positif
dengan API 20E
3
1
1
11
berdasarkan lokasi
% Vp terkonfirmasi
secara biokimia
30
50
25
69
Keberadaan V. parahaemolyticus pada suatu lingkungan perairan termasuk
tambak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan perairan, dimana pada
saat kondisi lingkungan mendukung maka akan meningkatkan pertumbuhan V.
parahaemolyticus . Tambak udang merupakan lingkungan perairan payau yang
bersifat cukup kompleks sehingga dapat menyebabkan stres pada biota di
dalamnya dibandingkan dengan lingkungan estuaria atau lingkungan perairan
lainnya (Direkbusararam et al. 1998).
Hal ini terutama disebabkan oleh
kandungan bahan-bahan organik yang tinggi dan fluktuasi oksigen terlarut yang
dapat memberikan dampak terhadap komposisi komunitas bakteri alami perairan
seperti Vibrio spp. Peningkatan suhu perairan akan memberikan dampak terhadap
jumlah dan jenis Vibrio spp (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003).
Peningkatan salinitas perairan juga akan memberikan peluang besar terhadap
pertumbuhan Vibrio spp termasuk V. parahaemolyticus karena merupakan bakteri
halofilik (William dan LaRock, 1985).
64
Air merupakan faktor utama dalam usaha budidaya tambak udang.
Budidaya tambak udang membutuhkan air payau , dimana sumber air tersebut
merupakan kombibasi air asin dan air tawar. Air laut sebagai salah satu sumber
air di tambak merupakan habitat alami bakteri V. parahaemolyticus. Faktor-faktor
lingkungan seperti suhu, salinitas, kekeruhan, nutrien perairan, dan konsentrasi
oksigen terlarut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
keberadaan
V.
parahaemolyticus.
Akan
tetapi
besarnya
jumlah
V.
parahaemolyticus di lingkungan maupun pada produk perikanan cukup bervariasi
tergantung pada musim, lokasi, jenis sampel, maupun metode analisis yang
digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus pada sampel (Cook et al.
2002; DePaola
et al. 1990; Parveen et al. 2008). Suhu air merupakan faktor
utama yang memiliki korelasi positif terhadap keberadaan V. parahaemolyticus di
lingkungan perairan.
Parveen et al. (2008) menyatakan bahwa perairan di wilayah yang
beriklim sedang dan tropis memberikan efek cukup signifikan terhadap
kelimpahan V. parahaemolyticus dibandingkan pada wilayah yang memiliki
empat musim.
menurun bahkan
Pada musim dingin umumnya jumlah V. parahaemolyticus
tidak ditemukan, hal ini diduga selama musim dingin V.
parahaemolyticus bertahan hidup dengan cara menempel dan berproliferasi pada
zooplankton yang terdapat di sedimen.
parahaemolyticus
Setelah suhu perairan meningkat, V.
lepas dari zooplankton dan berada di dalam air sehingga
jumlahnya meningkat dan mudah dideteksi.
Saat pengambilan sampel udang baik di tambak tradisional maupun
intensif, suhu air tambak terukur pada kisaran 30-31°C.
Suhu perairan ini
merupakan faktor yang dapat membantu pertumbuhan V. parahaemolyticus
karena merupakan suhu optimum pertumbuhan bakteri tersebut.
Penelitian lain
juga menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara suhu dengan peningkatan
frekuensi isolasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan di perairan pantai
dan areal budidaya pada musim panas dibandingkan musim dingin (Cook et al.
2002; DePaola et al. 2003; Duan dan Su, 2005).
65
Tabel 16. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus
sampel udang di tambak intensif di Kecamatan Patrol dengan API 20E
Lokasi tambak
Kode Sampel
Patrol
Int A2
Int A2
Int B1
Int B2
Int C1
Int C2
Int D1
Int D2
Int E1
Int E2
Int F1
Int F2
Int G1
Int G2
Int H1
Int H2
Int I1
Int I2
Int J1
Int J2
Int K1
Int K2
Int L1
Int L2
Int M1
Int M2
Int N1
Int N2
Int O1
Int O2
Int P1
Int P2
Total V. parahaemolyticus
Konfirmasi dengan
API 20E (%ID)
+ (99.8)
+ (99.8)
+ (99.9)
+ (99.9)
-
-
+ (99.8)
-
-
+ (99.6)
-
6 isolat (n=32; 18.8%)
(+) : hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif
: tidak dilakukan pengujian lebih lanjut
66
Selain suhu, salinitas juga merupakan faktor yang berperan terhadap
keberadaan V. parahaemolyticus. Martinez-Utrazaa et al. (2008) melaporkan
bahwa salinitas perairan dengan kisaran tertentu kemungkinan merupakan habitat
yang optimum bagi pertumbuhan V. parahaemolyticus. Tambak tradisional pada
saat dilakukan pengambilan sampel menunjukkan kisaran salinitas 10-15ppt
sementara itu tambak intensif menunjukkan salinitas air tambak berada pada
kisaran 26-30ppt.
Faktor lain yang diduga memberikan pengaruh terhadap
keberadaan V. parahaemolyticus antara lain konsentrasi oksigen terlarut,
kekeruhan (turbidity), biota yang hidup di perairan tersebut seperti fitoplankton
dan zooplankton. Oksigen terlarut dan kekeruhan diduga memiliki korelasi positif
terhadap peningkatan jumlah V. parahaemolyticus.
Peningkatan kekeruhan
berkorelasi positif dengan peningkatan total V. parahaemolyticus, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kandungan nutrien tanah dan cemaran yang
terdapat dalam air sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan V. parahaemolyticus
(Parveen et al. 2008; Watkins dan Cabelli, 1985).
Penggunaan air di tambak tradisional umumnya langsung berasal dari
aliran sungai yang berada di sekitar areal tambak. Air yang digunakan biasanya
tidak
mengalami perlakuan seperti penampungan, penyaringan
pembersihan sehingga belum memenuhi persyaratan
maupun
kualitas air tambak dan
dapat berdampak pada pertumbuhan udang. Selama pemeliharaan sampai waktu
panen, air tambak tidak pernah diganti atau bersifat statis dan tambak tidak
dilengkapi dengan sistim aerasi. Parameter lingkungan perairan seperti suhu,
salinitas, pH, dan unsur hara tidak pernah dilakukan pengukuran secara akurat.
Kondisi ini yang juga mendukung potensi tingginya jumlah V. parahaemolyticus
pada udang di tambak tradisional dibandingkan tambak intensif.
Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di tambak intensif, yang
umumnya telah menerapkan cara berbudidaya yang baik terutama dalam
pengelolaan kualitas air tambak. Air yang digunakan selama pemeliharaan udang
di tambak intensif berasal dari air laut yang diambil dengan cara mengalirkan air
melalui pipa sepanjang 2km dari daratan. Air laut selanjutnya ditempatkan pada
bak penampungan (reservoir) dimana selama di bak penampungan dilakukan
67
penyaringan air yang terdiri atas 2 tahap penyaringan pertama dengan kain kasa
dan penyaringan kedua dengan planktonet. Penyaringan di bak penampungan
bertujuan untuk mereduksi pengotor dan cemaran di dalam air.
Perlakuan
penyaringan terhadap air yang akan digunakan untuk pemeliharaan udang tambak
diduga dapat mereduksi kelimpahan mikroorganisme. V. parahaemolyticus pada
umumnya menempel pada biota perairan terutama zooplankton dan dikaitkan
dengan aktivitas kitinolitik.
Bakteri ini umumnya menempel pada bagian
permukaan kulit (kitin) zooplaknton sehingga penyaringan air menggunakan
planktonet diduga dapat mereduksi jumlah V. parahaemolyticus.
Penelitian tentang keberadaan V. parahaemolyticus baik pada lingkungan
maupun produk perikanan di Indonesia telah dilakukan akan tetapi masih sedikit
sekali. Zulkifli et al. (2009) melaporkan persentase V. parahaemolyticus pada
sampel kerang yang berasal dari perairan di Padang-Sumatera Barat sebesar 50%
(n=50). Hal ini kemungkinan karena iklim tropis dengan kisaran suhu 25-35°C
merupakan suhu yang mendukung pertumbuhan V. parahaemolyticus. Sebagian
besar wilayah dengan iklim tropis khususnya Asia Tenggara diketahui berpotensi
terhadap keberadaan V. parahaemolyticus dengan persentase sekitar 20-70%
(Wong et al. 1999; Ronald dan Santos, 2001). Marlina et al. (2007) menyebutkan
bahwa seluruh sampel kerang (n=47) yang diambil dari perairan dan pasar lokal di
Padang Sumatera Barat diketahui positif V. parahaemolyticus. Sementara itu
hasil penelitian Dewanti-Hariyadi et al. (2002) menunjukkan bahwa udang yang
diambil dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengandung V.
parahaemolyticus sebesar 21.8 dan 3.1%, sedangkan sampel udang beku dari
pasar grosir positif V. parahaemolyticus sebesar 11.1%, bahkan pada produk
udang beku selama proses pembekuan sebesar 70%.
Penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk perikanan juga
telah banyak dilakukan oleh negara-negara di luar Indonesia. Wong et al. (1999)
menyebutkan bahwa ditemukan 45.9% (n=686) V. parahaemolyticus pada produk
perikanan (kepiting, lobster, udang, siput, dan ikan) yang diimpor dari Vietnam,
Hong Kong, Thailand, dan Indonesia, dimana sebesar 75.8% (n=62) dan 29.3%
(n=92) pada sampel udang dan ikan yang berasal dari Indonesia positif V.
parahaemolyticus.
Sementara itu, udang yang berasal dari budidaya tambak di
68
Malaysia menunjukkan bahwa 81.7% (n=60) mengandung V. parahaemolyticus
(Chilek, 2006). Sebanyak 43.6% (n=39) dari sampel seafood mentah (cumi-cumi,
udang, ikan, dan kekerangan), 6.3% (n=16) sampel produk olahan (bakso udang)
di Thailand juga diketahui positif V. parahaemolyticus (Chitov et al. 2009).
Sampel udang, kepiting, moluska, dan ikan yang diambil dari tempat pendaratan
ikan, pasar, dan estuari di India diketahui mengandung V. parahaemolyticus
sebesar 61.6% (n=86), selain itu sampel udang yang berasal dari tambak di India
baik dari wilayah barat maupun timur diketahui positif V. parahaemolyticus
berturut-turut 12.2% dan 2.8% (n=30) (Dileep et al. 2003; Gopal et al. 2005).
Kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk udang beku yang akan diekspor
juga ditemukan di Thailand sebesar 64% (n=111), selanjutnya pada unit
pengolahan di Chaccheongsao selama April-Mei 1999, kontaminasi yang terjadi
sebesar 79.6% (n=103) (Kowcachaporn, 1997; Pungchitton, 1999 di dalam
Jaesawang, 2005).
Tingginya peluang terjadinya V. parahaemolyticus pada
produk perikanan menuntut perhatian khusus karena dapat berdampak terhadap
kesehatan
jika
produk
perikanan
tersebut
terkontaminasi
dengan
V.
parahaemolyticus patogenik. V. parahaemolyticus merupakan salah satu spesies
Vibrio yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan
terutama pangan mentah atau yang tidak dimasak secara sempurna.
Namun
demikian tidak semua galur V. parahaemolyticus bersifat patogen. Untuk itu perlu
dilakukan identifikasi terhadap V. parahaemolyticus patogenik pada produkproduk perikanan.
Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari
Udang Tambak
V. parahaemolyticus merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat
menyebabkan penyakit pada biota perairan seperti krustasea dan kekerangan.
Selain itu bakteri ini juga menginfeksi manusia melalui konsumsi pangan.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan dengan metode
konvensional yaitu pengamatan berdasarkan sifat biokimiawi melalui pengujian
Kanagawa menggunakan media agar Wagatsuma (Wagatsuma blood agar), akan
tetapi metode ini memiliki banyak kendala antara lain waktu pengujian yang
69
panjang, sensitifitas dan akurasi yang rendah karena tidak semua galur V.
parahaemolyticus patogenik dapat dideteksi terutama galur yang berada pada fase
viable but nonculturuble (VNC) serta belum tersedianya metode analisis faktor
virulen thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH). Oleh karena itu,
pengembangan metode analisis telah banyak dilakukan, salah satunya dengan
pendekatan molekuler yaitu melalui metode PCR dimana metode ini memberikan
hasil yang akurat dan spesifik dengan tingkat sensitifitas tinggi, waktu analisis
lebih singkat dan dapat dilakukan pada sampel yang jumlahnya sangat sedikit.
1.
Isolasi DNA genom bakteri
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR
diawali dengan melakukan ekstraksi/isolasi DNA genom bakteri. Isolasi DNA
genom dilakukan pada isolat V. parahaemolyticus yang positif di sampel udang
tambak tradisional dan intensif.
Isolasi DNA genom bertujuan untuk
mendapatkan DNA murni yang bebas dari materi-materi yang dapat menurunkan
sensitifitas dan menghambat tahap amplifikasi DNA.
Visualisasi hasil isolasi DNA genom sampel yang dielektroforesis pada
2% gel agarosa menunjukkan bahwa terdapat DNA
pada seluruh isolat
V. parahaemolyticus . Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kemurnian DNA
diketahui sebagian besar DNA telah masuk dalam rentang nilai rasio kemurnian
yang cukup baik yaitu 1.8-2.0.
Beberapa DNA isolat berada diluar rentang
tersebut yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kontaminasi darri fenol atau
protein lainnya.
Sementara itu konsentrasi DNA isolat berada pada kisaran
0.05-3.7µg/µL (Lampiran 3).
2.
Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus
Amplifikasi dan protokol PCR dengan target gen tdh dan trh pada
penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Tada et al. (1992). Tada et al. (1992)
melaporkan bahwa dalam menentukan primer spesifik untuk mengidentifikasi gen
tdh dilakukan berdasarkan hasil terbaik dari 6 kombinasi pasangan primer yang
menyandikan gen tdh2. Gen tdh2 adalah salah satu dari 2 sub unit identik gen tdh
70
yang dimiliki oleh galur V. parahaemolyticus patogenik dimana gen ini berperan
dalam produksi ekstraseluler toksin TDH sehingga dipilih sebagai gen untuk
mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik penghasil toksin TDH. Pasangan
primer yang paling spesifik berdasarkan hasil penelitian Tada et al. (1992) untuk
gen tdh adalah pasangan primer yang terletak pada region antara 256-506 dengan
ukuran amplikon 251bp. Sedangkan untuk gen trh dipilih 6 kombinasi pasangan
primer yang mewakili gen trh1 dan trh2. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
pasangan primer spesifik untuk mengidentifikasi toksin TRH adalah primer yang
terletak pada region antara 256-505 dengan ukuran amplikon 250bp. Berdasarkan
hal tersebut di atas, penelitian ini menggunakan pasangan primer tersebut untuk
mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak.
Hasil amplifikasi DNA sampel dengan target gen penyandi tdh pada
sampel udang di tambak tradisional dan intensif selanjutnya dielektroforesis pada
gel agarosa 2% pada TBE1X dan divisualisasikan dengan Gel Doc illuminator
yang dapat dilihat pada Gambar 7 (a dan b) untuk tambak tradisional dan Gambar
8 untuk tambak intensif. Hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh
pada isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dan intensif
berturut-turut menunjukkan sebanyak 13/16 isolat (81.3%) dan 3/6 isolat (50%)
positif gen tdh. Hal ini terlihat dari adanya ukuran hasil amplifikasi DNA sampel
yang sama dengan kontrol positif V. parahaemolyticus yang mengandung gen
penyandi tdh (ATCC43996) pada ukuran amplikon 251bp.
(a)
Gambar 7.
(b)
Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V.
parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker
DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (ATCC43996), 2: kontrol negatif, (a) dan
(b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10).
71
Gambar 8.
Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V.
parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker
DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (ATCC43996), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 :
isolat V. parahaemolyticus sampel udang.
Sementara itu berdasarkan target gen penyandi trh, hasil amplifikasi DNA
dari isolat V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional maupun
intensif berturut-turut sebesar 15/16 isolat (93.8%) dan 4/6 isolat (66.7%) positif
gen trh. Hasil amplifikasi DNA yang dielektroforesis dengan gel agarosa 2%
(TBE1X) pada 100V selama 45 menit dan divisualisasikan melalui Gel Doc
illuminator disajikan pada Gambar 9 (a dan b) untuk tambak tradisional dan
Gambar 10 untuk tambak intensif. Isolat V. parahaemolyticus yang dikatakan
positif gen trh dilihat berdasarkan ukuran amplikon hasil amplifikasi DNA sampel
yang sama dengan ukuran amplikon DNA kontrol positif (AQ4037) pada 250 bp.
(a)
Gambar 9.
(b)
Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V.
parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker
DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) :
16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10).
72
Gambar 10. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V.
parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker
DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 :
isolat V. parahaemolyticus sampel udang.
Berdasarkan pengelompokan gen penyandi tdh dan trh pada isolat V.
parahaemolyticus dari sampel udang baik di tambak tradisional dan intensif,
beberapa isolat diketahui hanya memiliki salah satu gen patogen ( tdh atau trh
saja), akan tetapi ada beberapa isolat yang memiliki kedua gen patogen tersebut
seperti yang tersaji pada Tabel 17.
Hasil identifikasi V. parahaemolyticus
patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh menunjukkan bahwa sebesar
14/22 isolat (63.6%) sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif
memiliki kedua gen V. parahaemolyticus patogenik (tdh dan trh). Sementara itu
V. parahaemolyticus yang hanya memiliki gen tdh (tdh+;trh-) atau trh (tdh-;trh+)
saja berturut-turut sebesar 2/22 isolat (9.1%) dan 5/22 isolat (22.7%).
Jika
dibedakan berdasarkan jenis tambak diketahui bahwa seluruh isolat di tambak
tradisional merupakan V. parahaemolyticus patogenik baik yang memiliki kedua
toksin (TDH dan TRH) maupun hanya salah satunya (TDH atau TRH saja).
Sedangkan isolat V. parahaemolyticus yang berasal dari tambak intensif diketahui
ada satu isolat yang bukan merupakan V. parahaemolyticus patogenik yaitu isolat
Int C1 (Tabel 17).
Berdasarkan
hasil
penelitian
ini
diketahui
bahwa
terdapat
V.
parahaemolyticus patogenik pada udang tambak baik yang berasal dari tambak
tradisional maupun intensif. Hasil penelitian lain yang memberikan informasi
tentang adanya V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan seperti
yang dilaporkan oleh Bej et al. (1999) dimana sebesar 23.3%, 46.7%, dan 68.4%
V. parahaemolyticus yang diisolasi dari produk perikanan, lingkungan, dan
tambak tiram merupakan V. parahaemolyticus dengan gen tdh dan trh. Sementara
73
itu sebesar 9.3% dan 5.2% dari sampel produk perikanan dan tambak tiram adalah
V. parahaemolyticus penghasil gen tdh saja dan tidak ada dari sampel tersebut
yang merupakan V. parahaemolyticus penghasil gen trh saja. Secara keseluruhan
berdasarkan hasil penelitian ini, V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel
udang baik di tambak tradisional dan intensif menunjukkan bahwa sebesar 43%
dan 11% (n=32) merupakan V. parahaemolyticus yang bersifat patogen.
Tabel 17.
Distribusi gen penyadi tdh dan trh pada isolat Vp dari
udang di tambak tradisional dan intensif.
Kode Isolat
Tambak tradisional :
TrA1
TrB2
TrC2
TrF2
TrG1
TrI1
TrJ1
TrK1
TrK2
TrL1
TrM1
TrN2
TrO1
TrO2
TrP1
TrP2
Total tdh+; trh+
Total tdh+; trhTotal tdh-; trh+
Total tdh-; trhTambak intensif :
IntB1
IntB2
IntC1
IntC2
IntG2
IntO1
Total tdh+; trh+
Total tdh+; trhTotal tdh-; trh+
Total tdh-; trh-
gen tdh
sampel
gen trh
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
12/16 (75%)
1/16 (6.25%)
3/16 (18.75%
0/16 (0%)
+
+
+
+
+
+
+
2/6 (33.3%)
1/6 (16.7%)
2/6 (33.3%)
1/6 (16.7%)
(+) : hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif
74
Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada awalnya dilaporkan
hanya berkisar 1-2% pada sampel-sampel lingkungan dan produk perikanan
(Kelly dan Stroh, 1988; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). Hal ini
kemungkinan karena keberadaan galur V. parahaemolyticus patogenik
lebih
rendah dibandingkan galur yang non patogenik atau galur patogenik lebih sensitif
pada kondisi lingkungan yang ekstrim sehingga cepat sekali berubah ke dalam
bentuk viable but nonculturable (VNC) dan menjadi sulit untuk diisolasi
(Hackney dan Dicharry, 1988; Jannasch, 1967; Pace dan Chai,1989; Roszak dan
Colwell,1987).
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa V. parahaemolyticus
patogenik pada sampel udang tambak memiliki persentase yang cukup tinggi.
Hasil ini cukup kontras dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan akan tetapi
ada beberapa hasil penelitian juga melaporkan keberadaan V. parahaemolyticus
patogenik memiliki peresentase cukup tinggi. Marlina et al. (2007) melaporkan
bahwa sebesar 36% (n=47 isolat Vp) pada sampel kerang yang berasal dari
perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat teridentifikasi gen tdh.
Penelitian Sujeewa et al. (2009) melaporkan bahwa 15% dan 7% isolat yang
berasal dari sampel udang segar, udang beku dan air tambak di Malaysia berturutturut positif gen tdh dan trh.
Sementara itu
Mohammad
et al. (2005)
menyatakan bahwa sebesar 8% dan 11% sampel udang beku dan udang segar
teridentifikasi V. parahaemolyticus patogenik.
Peningkatan sampel produk
perikanan yang mengandung V. parahaemolyticus patogenik (gen tdh) juga
dilaporkan oleh DePaola et al. (2003a) yaitu sebesar 12.8% pada sampel tiram,
selanjutnya Hara-Kudo et al. (2003) melaporkan bahwa sekitar 10% (n=329)
isolat dari sampel produk perikanan perairan dan pasar di Jepang mengandung gen
tdh . Pinto et al (2008) menyatakan sebesar 33% sampel kekerangan yang berasal
dari perairan pantai Italia dideteksi positif gen tdh, bahkan hasil penelitian
DePaola et al. (2003b) pada sampel makanan dan lingkungan selama kurun waktu
1977-2001 menunjukkan lebih dari 90% isolat positif gen tdh dan trh.
Identifikasi keberadaan bakteri V. parahaemolyticus pada sampel
lingkungan dan produk perikanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah pemilihahan metode analisis yang digunakan (Parveen et al. 2008). Selain
75
itu tahap isolasi bakteri yang merupakan tahap awal identifikasi bakteri diduga
memberikan persentase yang lebih tinggi terutama yang berasal dari sampel
lingkungan dan produk perikanan.
Pada penelitian ini, identifikasi V.
parahaemolyticus diawali dengan tahap isolasi dimana sampel udang tambak
diinkubasi pada media ASPW yang merupakan media pengayaan. Teknik ini
merupakan salah satu teknik yang dapat memberikan persentasi kebaradaan
V. parahaemolyticus lebih tinggi karena diduga tahap pengayaan merupakan tahap
pemulihan (recovery) terutama bakteri-bakteri dalam kondisi sakit. Raghunath et
al. (2009) melaporkan bahwa pada umumnya galur V. parahaemolyticus
patogenik jarang ditemukan pada sampel lingkungan dan produk perikanan, hal
ini disebabkan oleh galur patogen lebih sensitif pada lingkungan perairan yang
tidak kondusif sehingga galur ini dapat berubah menjadi viable but nonculturable
(VNC). Fase viable but nonculturable (VNC) merupakan fase dorman bakteri
dimana pada fase ini bakteri tidak dapat bermultiplikasi tetapi masih dapat
melakukan aktivitas metabolisme. Fase ini terjadi umumnya disebabkan oleh
kondisi lingkungan perairan yang tidak kondusif seperti fluktuasi suhu, salinitas,
pH yang cukup tinggi, kandungan nutrien perairan yang tidak mendukung
sehingga memberikan pengaruh terhadap populasi mikroorganisme di perairan
tersebut termasuk V. parahaemolyticus. Kondisi ini dapat menyebabkan sulitnya
mengisolasi V. parahaemolyticus patogenik dari lingkungan dan produk
perikanan. Untuk mengatasi hal tersebut, tahap pengayaan merupakan salah satu
altenatif
pengembangan metode analisis
yang dapat dilakukan sehingga
persentase frekuensi isolasi V. parahaemolyticus patogenik dapat meningkat.
Hasil penelitian Raghunath et al. (2009) melaporkan bahwa identifikasi V.
parahaemolyticus patogenik yang dikayakan terlebih dahulu dengan media cair
APW(alkaline peptone water) dan ST (sodium taurocholate) memberikan
frekuensi isolasi yang lebih tinggi. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik
berdasarkan gen penyandi tdh dan trh pada sampel kekerangan, ikan, udang di
perairan pantai dan tambak udang di India memberikan hasil berturut-turut
sebesar 32.8% dan 41.4% untuk gen trh dan 13.8% dan 20.7% untuk gen tdh.
76
Pada awalnya identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dilakukan
berdasarkan reaksi biokimiawi yang dikenal dengan Fenomena Kanagawa (KP+).
Metode ini terutama dapat mengidentifikasi faktor virulen TDH yang ditandai
dengan KP+, akan tetapi faktor virulen TRH tidak dapat diidentifikasi dengan
metode analisis ini, dimana diketahui hasil KP- ternyata memberikan hasil yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Selain itu beberapa kendala yang
dialami teknik konvensional adalah waktu analisis yang panjang dan interpretasi
hasil yang tidak cukup akurat dan sensitifitas teknik analisis ini masih cukup
rendah, terutama pada isolat bakteri yang berada pada fase VNC (viable but non
culturable).
Teknik identifikasi V. parahaemolyticus patogenik kemudian berkembang
karena masih terbatasnya hasil anlisis yang berdasarkan metode biokimiawi.
Salah satu pengembangan teknik identifikasi adalah metode analisis berbasis
pendekatan molekuler antara lain dengan teknik PCR. Beberapa hasil penelitian
dengan teknik PCR menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam hal
identifikasi V. parahaemolyticus patogenik.
Zimmermann et al. (2007)
melaporkan hasil deteksi V. parahaemolyticus patogenik (gen tdh dan/atau trh)
dengan teknik real time PCR pada sampel tiram di perairan Mississippi dan
Alabama berturut-turut sebesar 56% dan 44%.
Sementara itu Parveen et al.
(2008) menyatakan bahwa 20% dan 40% isolat dari sampel tiram yang diambil
perairan di Amerika Serikat teridentifikasi positif gen tdh dan
Rekomendasi untuk Perbaikan Usaha Budidaya Udang
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa di atas maka perlu disusun
rekomendasi yang bertujuan untuk perbaikan usaha budidaya udang.
Hasil
pengamatan dan analisis terhadap tingginya persentase keberadaan bakteri
patogen pada udang tambak baik tambak tradisional maupun intensif merupakan
cerminan masih rendahnya kesadaran petambak udang dalam penerapan cara
berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practice/GAP) terutama pada tambak
tradisional.
V. parahaemolyticus merupakan bakteri alami yang hidup di air
77
payau, sehingga kemungkinan keberadaannya pada tambak udang cukup tinggi
karena penggunaan air payau selama pemeliharaan udang.
Tambak udang tradisional yang dijadikan sebagai tempat pengambilan
sampel, berdasarkan pengamatan di lapangan jauh dari praktek penerapan GAP.
Hal ini dapat dilihat dari tidak tersedianya tempat penampungan air sementara
sebelum dialirkan ke areal tambak sehingga air langsung masuk ke tambak tanpa
ada perlakuan untuk memenuhi persyaratan kualitas air. Hal ini menyebabkan
potensi keberadaan bakteri cukup besar termasuk V. parahaemolyticus. Selain itu
petambak juga jarang memperhatikan pengelolaan kualitas air, dimana ada
beberapa parameter penting seperti salinitas, pH, oksigen terlarut, kekeruhan yang
harus selalu terukur secara periodik kareana berdampak terhadap kualitas dan
kuantitas udang yang dihasilkan. Penerapan sistim aerasi pada lahan tambak
merupakan hal penting, dimana umumnya luas areal tambak tradisional berkisar
5000-10.000 m2 dan idealnya tambak tersebut ditempatkan aerator sekitar empat
unit. Tambak tradisional memiliki sistim yang statis dimana tidak ada penggantian
air tambak sampai waktu panen.
Pemberian pakan alami selama periode
pemeliharaan udang memberikan peluang kontaminasi bakteri yang cukup besar.
Hasil pengamatan dan wawancara dengan petambak tradisional bahwa para
petambak membuat sendiri pakan udang dengan cara menghaluskan campuran
ikan-ikan rucah yang kemudian dijemur dan dibentuk seperti pelet. Kualitas ikan
yang rendah, kondisi sanitasi lingkungan dan higiene personal dalam pembuatan
pakan udang menjadi hal penting untuk menghasilkan kualitas pakan udang
yang baik.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis identifikasi V.
parahaemolyticus jika dikaitkan dengan manajemen budidaya udang di tambak
udang tradisional dapat dilihat persentase frekuansi isolasi V. parahaemolyticus
dan deteksi patogenik bakteri tersebut lebih besar dibandingkan dengan tambak
intensif. Sehingga beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk perbaikan
usaha budidaya tambak udang sistim tradisional antara lain :
a.
Penerapan manajemen kualitas air dengan memperhatikan parameterparameter kualitas air yang dipersyaratkan.
78
b.
Tersedianya sarana kolam penampungan air sebelum air dialirkan ke tambak
yang
bertujuan
untuk
menghilangkan
kontaminan-kontaminan
yang
berasaldari air sumber seperti bakteri.
c.
Penerapan sistim aerasi dan penggantian air tambak secara berkala selama
pemeliharaan sehingga cemaran seperti feses udang, sisa pakan dan juga biota
pengganggu dapat diminimalisir.
d.
Pemberian pakan yang terjaga kualitasnya baik dari segi nutrisi maupun
sanitasi. Penggunaan pakan yang dibuat sendiri dapat dilakukan melalui
kontrol yang baik dari segi kualitas nutrisi maupun pembuatan pakan.
Sementara itu tambak intensif sudah cukup baik dalam penerapan cara
berbudidaya yang baik (GAP) namun peluang keberadaan V. parahaemolyticus
tetap ada karena bakteri ini merupakan flora normal di lingkungan perairan payau.
Hal ini perlu diantisipasi mengingat pada umumnya udang hasil budidaya tambak
intensif banyak diekspor ke luar negeri dimana V. parahaemolyticus merupakan
salah satu persyarata terhadap mutu udang dari negara pengimpor.
79
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Udang merupakan komoditas unggulan yang rentan terkontaminasi V.
parahaemolyticus patogenik. Identifikasi V. parahaemolyticus yang dilakukan
terhadap sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut
menunjukkan hasil 50% dan 18.8% (n=32) positif V. parahaemolyticus.
Berdasarkan lokasi pengambilan sampel udang di tambak tradisional, besarnya
frekuensi
V. parahaemolyticus berkisar 30-69%.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa frekuensi isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang di
tambak tradisional lebih tinggi dibandingkan tambak intensif.
Air merupakan faktor utama dalam usaha budidaya tambak, dimana
penggunaan air laut diduga merupakan sumber keberadaan bakteri V.
parahaemolyticus.
Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keberadaan V.
parahaemolyticus terkait dengan sumber air antara lain suhu, salinitas, kekeruhan,
dan biota yang ada di lingkungan perairan tersebut. Perbedaan persentase V.
parahaemolyticus di tambak tradisional dan intensif diduga berkaitan dengan
penerapan pengelolaan kualitas air pada
masing-masing tambak yang dapat
mempengaruhi keberadaan V. parahaemolyticus.
Galur V. parahaemolyticus tidak seluruhnya bersifat patogen. Konfirmasi
secara genetika galur V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi
tdh dan trh pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut
menunjukkan hasil sebesar 13/16 (81.3%) dan 3/6 (50%) adalah patogen
berdasarkan gen tdh, sedangkan 15/16 isolat (93.8%) dan 4/4 isolat (66.7%)
merupakan patogen berdasarkan gen trh. Sementara itu berdasarkan gen penyandi
tdh dan trh diketahui sebesar 14/22 isolat (63.6%) sampel udang baik di tambak
tradisional maupun intensif memiliki kedua gen tersebut (tdh+; trh+), sedangkan
sebanyak 2/22 isolat (9.1%) dan 5/22 isolat (22.7%) diketahui hanya memiliki
gen tdh (tdh+;trh-) atau trh (tdh-;trh) saja.
80
Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 43%
dan 11% (n=32) merupakan V. parahaemolyticus yang bersifat patogen.
Hasil
penelitian ini melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolyticus patogenik pada
sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif. Hal ini diduga karena
budidaya tambak udang di Indonesia masih belum menerapkan cara berbudidaya
yang baik (Good Aquaculture Practises) secara optimal terutama dalam hal
penerapan manajemen kualitas air terutama untuk tambak tradisional.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain:
1.
Perlu
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
tentang
identifikasi
V.
parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan berdasarkan karakterisasi
genotipik
yang
mengunakan
primer
spesifik
gen
penyandi
V.
parahaemolyticus seperti gen tlh atau ToxR serta gen penyandi faktor
virulennya. 2.
Penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan V. parahaemolyticus patogenik
pada komoditas udang di rantai pengumpul maupun unit pengolahan sehingga
diperoleh data dan informasi yang lengkap untuk menyusun kajian resiko
keamanan pangan terhadap komoditas udang. 3.
Penyusunan rekomendasi tentang penerapan cara berbudidaya yang baik
(Good Aquaculture Practises) pada usaha budidaya tambak udang sehingga
diharapkan dapat mereduksi kontaminasi bakteri patogen yang
dapat
menyebabkan kematian pada komoditas udang dan terkait dengan keamanan
pangan pada manusia. 81
DAFTAR PUSTAKA
Ababouch L, Gandini G, Ryder J. 2005. Causes of Detentions and Rejections in
International Fish Trade. FAO Fisheries Technical Paper 473. Food and
Agriculture Organization of United Nations.
Alapide-Tendencia EV, Dureza LA. 1997. Isolation of Vibrio spp. from Penaeus
monodon ( Fabricius) with red disease syndrome. Aquaculture 154:
107-l 14.
Anderson MLA et al. Non-01 Vibrio cholerae septicemia: case report,
discussion of literature, and relevance to bioterorism. Diagn. Microbiol
Infect Dis 49 (4): 295-297.
Ausubel FM et al. 1987. Current Protocols in Molecular Biology. New YorkWiley.
Balter S et al. 2006. Vibrio parahaemolyticus infections associated with
consumption
of
raw
shellfish
three
states,
2006.
http://www.cdc.gov/epo/dphsi/phs/infdis.htm. Diakses 15 April 2010.
Barbieri E et al. 1999. Occurrence, diversity, and pathogenicity of halofilic
Vibrio spp. and non-O1 Vibrio cholerae from estuarine waters along the
Italian Adriatic Coast. Appl. Environ. Microbiol 65: 2748– 2753.
Barker
WH, Gangarosa EJ. 1974. Food poisoning
parahaemolyticus. Ann. Rev. Med. 25:75-81.
due
to
Vibrio
Baumann P, Schubert RHW. 1984. Family II. Vibrionaceae. Di dalam Krieg
NR, Holt JG. (Eds.), Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology.
Williams & Wilkins Co., Baltimore, 516–550.
Badan Standardidasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNA 012705.1-2006) : Udang Beku-Bagian 1: Spesifikasi. Badan Standardidasi
Nasional.
Bej AK et al. 1999. Detection of total and hemolysin-producing Vibrio
parahaemolyticus in shellfish using multiplex PCR amplification of tl, tdh,
and trh. Journal of Microbiology Methods 36: 215–225.
Bonang G, Lintong M, Santoso US. 1974. The isolation and suspectibility to
various antimicrobial agents of Vibrio parahaemolyticus from acute
gastroenteritis cases and from seafood in Jakarta. Didalam: Fujino T,
82
Sakaguchi G, Sakazaki R, dan Takeda Y, eds. International Symposium on
Vibrio parahaemolyticus. Tokyo; Saikon 27-31.
Bhunia
AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens:
Pathogenesis. Food Science Text Series. Springer.
Mechanism
and
Brown TA. 1992. Genetics: Molecular Approach, Second Edition. Chapman dan
Hall, London.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 1999. Outbreak of Vibrio
parahaemolyticus infection associated with eating raw oysters and clams
harvested from Long Island Sound—Connecticut, New Jersey and New
York, 1998. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 48: 48–51.
Chilek TZT.
2006. Prevalence and molecular characteristic of Vibrio
parahaemolyticus isolated from cultured tiger prawns (Penaeus monodon)
from Malacca [thesis]. University Putra Malaysia.
Chiou C-S, Hsu S-Y, Chiu S-I, Wang T-K, Chao C-S. 2000. Vibrio
parahaemolyticus serovar O3:K6 as cause of unusually high incidence of
food-borne disease outbreaks in Taiwan from 1996 to 1999. J of Clinical
Microbiol 38 (12): 4621–4625.
Chitov T, Wongdao S, Thatum W, Puprae T, Sisuwan P. 2009. Occurrence of
potentially pathogenic Vibrio species in raw, processed, and ready to eat
seafood and seafood products. Maejo Int. J. Sci. Technol 3(01): 88-98.
Cook DW et al. 2002. Vibrio vulnificus and Vibrio parahaemolyticus in U.S.
retail shell oysters: A national survey from June 1998 to July 1999.
J. Food Prot 65: 79-87.
Cordova JL, Astorga J, Silva W, Riquelme C. 2002. Characterization by PCR of
Vibrio parahaemolyticus isolates collected during the 1997-1998
Chileanoutbreak. Biol Res. 35: 443-440.
Daniels NA et al. 2000. Vibrio parahaemolyticus infections in the United States,
1973–1998. Journal of Infectious Diseases 81:1661–1666.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Sidang Global Shrimp
Outlook 2003. Mexico, 3-6 November 2003.
DePaola A, Hopkin LH, Peeler JT, Wentz B, McPhearson RM. 1990. Incidence
of Vibrio parahaemolyticus in US Coastal Waters and Oysters. Appl.
Environ. Microbiol 56: 2299–2302.
DePaola A, Kaysner CA, Bowers JC, Cook DW. 2000. Environmental
investigations of Vibrio parahaemolyticus in oysters following outbreaks
83
in Washington, Texas, and New York (1997 and 1998). Appl. Environ.
Microbiol. 66:4649–4654.
DePaola A, Nordstrom JL, Bowers JC, Wells JG, Cook DW. 2003a. Seasonal
Abundance of Total and Pathogenic Vibrio parahaemolyticus in Alabama
Oysters. Appl. Environ. Microbiol 69 (3): 1521-1526.
DePaola A et al. 2003b. Molecular, serological, and virulence characteristics of
Vibrio parahaemolyticus isolated from environmental, food, and clinical
sources in North America and Asia. Appl. Environ. Microbiol 69:
3999–4005.
Dewanti-Hariyadi R, Suliantari, Nuraida L, Fardiaz S. 2002. Determination
of contamination profiles of human bacterial pathogens in shrimp obtained
from Java, Indonesia. Di dalam Determination of Human Pathogen
Profiles in Food by Quality Assured Microbial Assays. Proceedings of a
Final Research Coordination Meeting held in Mexico City, Mexico, 22–
26 July 2002. Mexico: IAEA-Tecdoc-1431.
Dileep V et al. 2003. Application of polymerase chain reaction for detection of
Vibrio parahaemolyticus associated with tropical seafoods and coastal
environment. Letters in Applied Microbiology 36: 423–427.
Direkbusaram S, Yoshimizu M, Ezura Y, Ruangpan L, Danayadol Y. 1998.
Vibrio spp., the dominant flora in shrimp hatchery against some fish
pathogenic viruses. Short Communication.
Journal of Marine
Biotechnology 6:266-267.
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan-KKP. 2010.
Rekapitulasi penolakan kasus RAS 2005-2009. Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
Dobosh D, Gomez-Zavaglia A, Kuljich A. 1995. The role of food in cholera
transmission. Medicina 55:28-32.
Duan J, Su Y-C. 2005. Occurrence of Vibrio parahaemolyticus in two Oregon
oyster-growing Bays. J. Food Sci. 70: 58–63.
Feldhusen F. 2000. The role of seafood in bacterial foodborne diseases.
Microbes and Infection 2 (13): 1651–1660.
Fratamico PM, Bhunia AK, Smith JL. 2005. A Vibrio Species Foodborne
Pathogens Microbiology an Molecular Biology.
Goarant C, Merien F, Berthe F, Mermoud I, Perolat P. 1999. Arbitrarily primed
PCR to type Vibrio spp. pathogenic for shrimp. Appl. Environ. Microbiol
65:1145–1151.
84
Gooch JA, DePaola A, Bowers J, Marshall DL. 2002. Growth and survival of
Vibrio parahaemolyticus in postharvest American oysters. J. Food Prot
65: 970–974.
Gopal S et al. 2005. The occurrence of Vibrio species in tropical shrimp culture
environments; implications for food safety. Int. J. Food Microbiol
102: 151-159.
Hackney CR, Dicharry A. 1988. Seafood-borne bacterial pathogens of marine
origin. Food Technology 42: 104–109.
Hara-Kudo Y et al. 2003. Prevalence of Pandemic Thermostable Direct
Hemolysin-Producing Vibrio parahaemolyticus O3:K6 in Seafood and the
Coastal Environment in Japan. Appl. Environ. Microbiol 69 (7):
3883–3891.
Hida T, Yamamoto K. 1990. Cloning and expression of two genes encoding
highly homologous hemolysins from a Kanagawa-phenomenon-positive
Vibrio parahaemolyticus T4750 strain. Gene 93:9–15.
Honda S et al. 1987. Gastroenteritis due to Kanagawa negative Vibrio
parahaemolyticus. Lanceti. 331–332.
Honda T, Ni Y, Miwatani T. 1988. Purification and characterization of a
hemolysin produced by a clinical isolates of Kanagawa phenomenonnegative Vibrio parahaemolyticus and related to the thermostable direct
hemolysin. Infect. Immun. 56: 961–965.
Honda T, Abad-Lapuebla MA, Ni Y, Yamamoto K, Miwatani T. 1991.
Characterization of a new thermostable direct haemolysin produced by a
Kanagawa-phenomenon
negative
clinical
isolate
of
Vibrio
parahaemolyticus. J. Gen. Microbiol 137: 253–259.
Honda S, Matsumoto S, Miwatani T, Honda T. 1992. A survey of urease-positive
Vibrio parahaemolyticus strains isolated from traveller’s diarrhea, sea
water and imported frozen sea foods. Eur. J. Epidemiol. 8:861–864.
Honda T, Iida T. 1993. The pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus and the role
of the thermostable direct haemolysin and related haemolysins. Rev Med
Microbiol 4: 106–113.
Holt JG, Krieg NR. 1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology
Volume 1. Williams and Wilkins. Baltimore/London.
Iida T et al. 1997. Evidence for genetic linkage between the ure and trh genes in
Vibrio parahaemolyticus. J Med Microbiol 46: 639-645.
85
Jaesawang D. 2005. Detection of Vibrio parahaemolyticus hemolysin genes in
frozen shrimps using multiplex polymerase chain reaction [thesis]. Major
in Infectious Diseases, Faculty of Graduate Studies, Mahidol University.
Jannasch HW. 1967. Growth of marine bacteria at limiting concentrations of
organic carbon in seawater. Limnology and Oceanography 12: 264–271.
Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Foodborne Gastroenteritis caused by
Vibrio, Yersinia, and Camplylobacter Species, Chapter 28. Modern Food
Micribiology 7th eds. Food Science Text Series.
Jiravanichpaisal P, Miyazaki T.
1995. Comparative histopathology of
vibriosis in black tiger shrimp, Penaeus monodon. Didalam: Shariff M,
Subasinghe RP, Arthur JR (Eds.). Diseases in Asian Aquaculture II.
Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines,
123– 130.
Joseph SW, Colwell RR, Kaper JB. 1982. Vibrio parahaemolyticus and related
halophilic Vibrios . CRC Critical Reviews in Microbiology 10: 77-124.
Kaneko T, Colwell RR. 1973. Ecology of Vibrio parahaemolyticus in
Chesapeake Bay. J. Bacteriol 113: 24–32.
Kaper JB, Campen RK, Seidler RJ, Baldini MM, Falkow S. 1984. Cloning of the
thermostabledirect or Kanagawa phenomenon-associated hemolysin of
Vibrio parahaemolyticus. Infect Immun 45:290–2.
Kaper JB, Morris Jr. JG, Levine MM. 1995. Cholera. Clin. Microbiol. Rev.
8:48-86.
Karunasagar I, Nayak BB, Karunasagar I. 1997. Rapid detection of Vibrio
parahaemolyticus from fish by polymerase chain reaction (PCR). Di
dalam: Flegel, T.W., MacRae, I.H. (Eds.), Diseases in Asian Aquaculture
III. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, 119– 122.
Kaufman GE, Myers ML, Pass CL, Bej AK, Kaysner CA. 2002. Molecular
analysis of Vibrio parahaemolyticus isolated from human patients and
shellfish during US Pacific north-west outbreaks. Letters in Applied
Microbiology 34: 155-161.
Kaysner CA, Abeyta Jr C, Stott RF, Lilja JL, Wekell MM. 1990. Incidence of
urea-hydrolyzing Vibrio parahaemolyticus in Willapa Bay, Washington.
Appl. Environ. Microbiol. 56:904–907.
Kaysner CA. 2000. Vibrio species. Di dalam The Microbilogical Safety and
Quality of Food (Vol. II). Lund., B.M., T.C. Baird-Parker dan G.W. Gould
(Ed). Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, MD, 336-1362.
86
Kaysner CA, DePaola A. 2000. Outbreaks of Vibrio parahaemolyticus
gastroenteritis from raw oyster consumption: Assessing the risk of
consumption and genetic methods for detection of pathogenic strains.
J. Shellfish Res. 19: 657.
Kaysner CA, DePaola A.
2004.
Bacteriological Analytical Manual
Chapter 9. Vibrio. Bacteriological Analytical Manual, 8thed. 2001. U.S.
Food and Drug Administration. Arlington, VA: Association of Official
Analytical Chemists.
Kelly MT, Stroh EMD. 1988. Temporal Relationship of Vibrio parahaemolyticus
in patients and the environment. J. Clin. Microbiol. 26 (9): 1754-1756.
Kelly MT, Stroh EMD. 1989. Urease-positive, Kanagawa-negative Vibrio
parahaemolyticus from patients and the environment in the Pacific
Northwest. J. Clin. Microbiol. 27:2820–2822.
Komarawidjaja W, Garno YS. 2003.
Pengaruh pemanfaatan teknologi
bioremediasi terhadap perbaikan kualitas air budidaya. Prosiding Seminar
Teknologi untuk Negeri 2003, I: 412 – 417.
Lake R, Hudson A, Cressey P. 2003. Risk Profile: Vibrio parahaemolyticus
in Seafood. Institute of Environmental Science & Research Limited
Christchurch Science Centre.
Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial diseases of penaeid shrimps: An Asian view.
Di dalam Shariff M, Subasinghe RP, Arthur JR (Eds.). Diseases in
Asian Aquaculture II. Fish Health Section, Asian Fisheries Society,
Manila, Philippines, 107– 121.
Levin RE. 2009. Rapid Detection and Characterization of Foodborne Pathogens
by Molecular Techniques. CRC Press.
Levine, W. C., P. M. Griffin, Gulf Coast Vibrio Work Group. 1993. Vibrio
infections on the Gulf Coast: results of first year of regional surveillance.
J. Infect.Dis. 167:479-483.
Lightner DV. 1993. Diseases of cultured penaeid shrimps. Di dalam Mc Vey
JP (Eds.). CRC Handbook of Mariculture, 2nd ed., CRC Press, Boca
Raton, 393– 486.
Liston J. 1990. Microbial hazards of seafood consumption. Food Technol.
44: 56–62.
Liu C.H, Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune response of white
shrimp Litopenaeus vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus.
Fish Shellfish Immunol 16: 321–334.
87
Lozano-Leon A, Torres J, Osorio CR, Martinez-Urtaza J. 2003. Identification of
tdh-positive Vibrio parahaemolyticus from an outbreak associated with
raw oyster consumption in Spain. FEMS Microbiology Letters.
226: 281-284.
Makino K et al. 2003. Genome sequence of Vibrio parahaemolyticus: A
pathogenic mechanism distinct from that of
V. cholerae. Lancet 361:
743-749.
Marlina et al. 2007. Detection of tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticus
isolated from Corbicula moltkiana prime in West Sumatera, Indonesia.
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health
38 (2): 349-355.
Martinez-Urtaza J et al.
2004. Characterization of pathogenic Vibrio
parahaemolyticus isolates from clinical sources in Spain and comparison
ith Asian and North American pandemic isolates. Journal of Clinical
Microbiology 42 (10): 4672–4678.
Martinez-Urtaza J et al. 2008. Environmental determinants of the occurrence
and distribution of Vibrio parahaemolyticus in the rias of Galicia,Spain.
Appl. Environ. Microbiol. 74:265–274.
Miyamoto Y et al. 1969. In vitro hemolytic characteristic of Vibrio
parahaemolyticus: Its close correlation with human pathogenicity.
J Bacteriol 100: 1147-1149.
Miyamoto Y et al. 1980. Simplified purification and biophysicochemical
characteristics of Kanagawa-associated hemolysin of Vibrio
parahaemolyticus. Infect. Immun 23: 567-576.
Mohammad AR, Hashim JK, Gunasalam J, Radu S. 2005. Microbiological risk
assessment: Risk Assessment of Vibrio parahaemolyticus in Black Tiger
Prawn (Penaeus monodon). Technical report, Ministry of Health
Malaysia.
Nakaguchi Y, Okuda J, Iida T, Nishibuchi M. 2003. The urease gene cluster of
Vibrio parahaemolyticus does not influence the expression of the
thermostable direct hemolysin gene or the TDH-related hemolysin gene.
Microbiol Immuno. 47: 233-239.
Nakasone N, Iwanaga M. 1990. Pili of a Vibrio parahaemolyticus strain as a
possible colonization factor. Infect Immn 58: 61-69.
Nishibuchi M, Kaper JB. 1985. Nucleotide sequence of the thermostable direct
hemolysin gene of Vibrio parahaemolyticus. J. Bacteriol 162: 558–564.
88
Nishibuchi M, Kaper JB. 1990. Duplication and variation of thermostable direct
haemolysin (tdh) gene in Vibrio parahaemolyticus. Mol. Microbiol
4:87–99.
Nishibuchi M, Kaper JB. 1995. Minireview. Thermostable direct hemolysin gene
of Vibrio parahaemolyticus: a virulence gene acquired by a marine
bacterium. Infect. Immun 63: 2093–2099.
Okuda J, Ishibashi M, Abbott SL, Janda JM, Nishibuchi M. 1997. Analysis of the
thermostable direct hemolysin (tdh) gene and the tdh-related hemolysin
(trh) genes in urease-positive strains of Vibrio parahaemolyticus isolated
on the west coast of the United States. J Clin Microbiol 35: 1965-1971.
Okuda J et al. 1997. Emergence of a unique O3:K6 clone of Vibrio
parahaemolyticus in Calcutta, India, and isolation of strains from the same
clonal group from Southeast Asian travelers arriving in Japan. J. Clin.
Microbiol. 35: 3150–3155.
Osawa R, Okitsu T, Morozumi H, Yamai S. 1996. Occurrence of urease-positive
Vibrio parahaemolyticus in Kanagawa, Japan, with specific reference to
presence of thermostable direct hemolysin (TDH) and the TDH-related
hemolysin genes. Appl Environ Microbiol 62: 725-727.
Pace J, Chai T. 1989. Comparison of Vibrio parahaemolyticus grown in
estuarine water and rich medium. Appl. Environ. Microbiol
55: 1877–1887.
Pan et al. 1996. Foodborne disease outbreaks in Taiwan, 1994. J. Formos Med
Assoc 5: 417-420.
Pan TM, Wang TK, Lee CL, Chien SW, Hong CB. 1997. Foodborne disease
outbreaks due to bacteria in Taiwan, 1986 to 1995. J. Clin Microbiol 35:
1260-1262.
Park KS et al. 2000. Genetic characterization of DNA region containing the trh
and ure genes of Vibrio parahaemolyticus. Infect Immun 68: 5742-5748.
Parveen S et al. 2008. Seasonal distribution of total and pathogenic Vibrio
parahaemolyticus in Chesapeake Bay oysters and waters. Int. J. Food
Microbiol 128: 354-361.
Pfeffer CS, Hite FM, Oliver JD. 2003. Ecology of Vibrio vulnificus in
estuarine waters of Eastern North Carolina. Appl. Environ. Microbiol
69:3526–3531.
Phayakvichien S, Chumgasamanukool L, Supawatana K, Ramrisi S. 1990. Study
on enumeration of Vibrio parahaemolyticus in frozen seafood products by
MPN method. Food 1: 18-34.
89
Pinto AD, Ciccarese G, Corato RD, Novello L, Terio V. 2008. Detection of
pathogenic Vibrio parahaemolyticus in southern Italian shellfish. Food
Control 19: 1037–1041.
Popovic T, Olsvik O, Blake PA, Wachsmuth K. 1993. Cholera in the
Americas: Foodborne aspects. J. Food Protect 56:811-821.
Pusat Data, Statistik, dan Informasi-Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009.
Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Raghunath P, Karunasagar I, Karunasagar I. 2009. Improved isolation and
detection of pathogenic Vibrio parahaemolyticus from seafood using a
new enrichment broth: Short Communication. Int. J. Food Microbiol 129:
200–203.
Robert-Pillot A, Guenole A, Lesne J, Delesmont R, Fournier JM, Quilici ML.
2004. Occurrence of the tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticus
isolates from waters and raw shellfish collected in two French Coastal
areas and from seafood imported into France. Int. J. Food Microbiol
91: 319–325.
Ronald GL, Santos G. 2001. Guide to foodborne pathogens. Di dalam Ronald GL
and Santos, G. (Eds), p. 228 – 234. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Rosec JP, Simon M, Causse V, Boudjemaa M. 2009. Detection of total and
pathogenic Vibrio parahaemolyticus in shellfish: Comparison of PCR
protocols using pR72H or toxR targets with a culture method. Int. J. Food
Microbiol 129: 136–145
Roszak DB, Colwell RR. 1987. Survival strategies in the natural environment.
Microbiology and Molecular Biology Reviews 51: 365–379.
Sakazaki R, Iwanami S, Fukumi H. 1963. Studies on the enteropathogenic,
facultatively
halophilic
bacteria,
Vibrio
parahaemolyticus.
I. Morphological, cultural and biochemical properties and its taxonomic
position. Jpn. J. Med. Sci. Biol. 16:161-188.
Sakazaki R et al. 1968. Studies on the enteropathogenic, facultatively halophilic
bacteria, Vibrio parahaemolyticus III. Enteropathogenicity. Japan. J Med
Sci Biol 21: 325–331.
Sambrook J, Fritsch, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory
Manual. 2nd eds. Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Shirai H et al. 1990. Molecular epidemiologic evidence for association of
thermostable direct hemolysin (TDH) and TDH-related hemolysin of
90
Vibrio parahaemolyticus
58: 3568–3573.
with
gastroenteritis.
Infect.
Su YC, Liu C. 2007. Vibrio parahaemolyticus: A concern of seafood
Food Microbiology 24: 549–558.
Immun
safety.
Sujeewa AKW, Norrakiah AS, Laina M. 2009. Prevalence of toxic genes of
Vibrio parahaemolyticus in shrimps (Penaeus monodon) and culture
environment. Int. Food Research Journal 16: 89-95.
Suthienkul O et al. 1995. Urease production correlates with possession of the trh
gene in Vibrio parahaemolyticus strains isolated in Thailand. J. Infect.
Dis. 172:1405–1408.
Tada J et al. 1992. Detection of the thermostable direct hemolysin gene (tdh) and
the thermostable direct hemolysin-related hemolysin gene (trh) of Vibrio
parahaemolyticus by polymerase chain reaction. Mol. Cell. Probes,
6:477–487.
Tjaniadi P et al. 2003. Antimicrobial resistance of bacterial pathogens associated
with diarrheal patient in Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg 68 (6):
666–670.
Tuyet DT et al. 2002. Clinical, epidemiological, and socioeconomic analysis of
an outbreak of Vibrio parahaemolyticus in Khanh Hoa Province, Vitenam.
J. Infect. Dis. 186:1615-1620.
US Food and Drug Administration (FDA), 1998. Bacteriological Analytical
Manual Online. http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-toc.html, Diakses
Maret 2010.
US Food and Drug Administration (FDA), 2005. Quantitative risk assessment on
the public health impact of pathogenic Vibrio parahaemolyticus in raw
oysters. http://www.cfsan. fda.gov/~dms/vpra-toc.htmlS, Diakses Maret
2010.
Vandenberghe J, Thompson FL, Gomez-Gill B, Swings J. 2003. Phenotypic
diversity amongst Vibrio isolates from marine aquaculture systems.
Aquaculture 219:9-20.
Vuddhakul V et al. 2000. Isolation of a Pandemic O3:K6 Clone of a Vibrio
parahaemolyticus strain from environmental and clinical sources in
Thailand. Appl Environ Microbiol 66: 2685–2689.
Watkins WD, Cabelli VJ. 1985. Effect of fecal pollutionon Vibrio
parahaemolyticus densities in an estuarine environment. Appl Environ.
Microbiol 49: 1307-1313.
91
Williams L, LaRock P. 1985. Temporal Occurrence of Vibrio Species and
Aeromonas hydrophila in Estuarine Sediments. Appl. Environ. Microbiol
50:1490–1495.
Wong HC, Shieh WR, Lee YS. 1993. Toxigenic characterization of Vibrios
isolated from foods available in Taiwan. Journal of Food Protection
56: 980-982.
Wong HC, Chen MC, Liu SH, Liu DP. 1999. Incidence of highly genetically
diversified Vibrio parahaemolyticus in seafood imported from Asian
countries. Int. J. Food Microbiol 52: 181–188.
Yamamoto T, Yokota T. 1989. Adherence targets of Vibrio parahaemolyticus
in human small intestines. Infect Immu 57: 2410-2419.
Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction: Panduan
eksperimen PCR untuk memecahkan masalah biologi terkini. Penerbit
ANDI-Yogyakarta.
Zimmerman AM et al. 2007. Variability of total and pathogenic Vibrio
parahaemolyticus densities in northern Gulf of Mexico water and oysters.
Appl. Environ. Microbiol 73:7589–7596.
Zulkifli Y et al. 2009. Identification of Vibrio parahaemolyticus isolates by PCR
targeted to the toxR gene and detection of virulence genes. International
Food Research Journal 16: 289-296 (2009)
92
LAMPIRAN
93
Lampiran 1. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak tradisional
No
Tambak
Sampel
ke1
2
1
Cangkring
3
4
5
2
Cantigi
Kulon
3
Cantigi
Wetan
6
7
8
9
10
11
4
Lamaran
Tarung
12
13
14
15
16
Kode sampel
Tr A1
Tr A2
Tr B1
Tr B2
Tr C1
Tr C2
Tr D1
Tr D2
Tr E1
Tr E2
Tr F1
Tr F2
Tr G1
Tr G2
Tr H1
Tr H2
Tr I1
Tr I2
Tr J1
Tr J2
Tr K1
Tr K2
Tr L1
Tr L2
Tr M1
Tr M2
Tr N1
Tr N2
Tr O1
Tr O2
Tr P1
Tr P2
Pertumbuhan pada media
pengkayaan dan isolasi
ASPW
TCBS
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
94
Lampiran 2. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak intensif
Tambak
Sampel
ke1
2
3
4
5
6
7
8
Patrol
9
10
11
12
13
14
15
16
Kode Sampel
Int A1
Int A2
Int B1
Int B2
Int C1
Int C2
Int D1
Int D2
Int E1
Int E2
Int F1
Int F2
Int G1
Int G2
Int H1
Int H2
Int I1
Int I2
Int J1
Int J2
Int K1
Int K2
Int L1
Int L2
Int M1
Int M2
Int N1
Int N2
Int O1
Int O2
Int P1
Int P2
Pertumbuhan pada media
pengkayaan dan isolasi
ASPW
TCBS
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
95
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM
Tambak tradisional
1.
Isolat Tr A1
2.
Isolat Tr B2
3. Isolat Tr C2
96
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Tr F2
Isolat Tr G1
Isolat Tr I1
97
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Tr J1
Isolat Tr K1
Isolat Tr K2
98
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Tr L1
Isolat Tr M1
Isolat Tr N2
99
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Tr O1
Isolat Tr O2
Isolat Tr P1
100
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Tr P2
Tambak intensif
Isolat Int B1
Isolat Int B2
101
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Int C1
Isolat Int C2
Isolat Int G2(-2)
102
Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API
20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan)
Isolat Int O1
103
Lampiran 4. Kemurnian dan konsentrasi DNA genom V. parahaemolyticus
Kode sampel
Tambak tradisional
Tr A1
Tr B2
Tr C2
Tr F2
Tr G1
Tr I1
Tr J1
Tr K1
Tr K2
Tr L1
Tr M1
OD 260
OD 280
Kemurniana
[DNA]µg/µLb
0.0330
0.1057
0.0835
0.1339
0.0325
0.1001
0.3201
0.1080
0.2043
0.0461
0.1222
0.0254
0.0546
0.0420
0.0673
0.0176
0.0515
0.1550
0.0541
0.1112
0.0273
0.0632
1.2992
1.9359
1.9881
1.9896
1.8466
1.9437
2.0652
1.9963
1.8372
1.6886
1.9335
0.2475
0.7928
0.6263
1.0043
0.2438
0.7508
2.4008
0.8100
1.5323
0.3458
0.9165
Tr N2
Tr O1
Tr O2
Tr P1
Tr P2
Tambak intensif
Int B1
Int B2
Int C1
Int C2
C2(-3)
Int G2(-2)
Int O1
Kontrol positif
TDH (ATCC 43996)
TRH (AQ4307)
0.0475
0.0851
0.0082
0.0060
0.0100
0.0261
0.0431
0.0088
0.0060
0.0088
1.8199
1.9745
0.9318
1.0000
1.1364
0.3563
0.6383
0.0615
0.0450
0.0750
0.1171
0.0823
0.0156
0.0825
0.0483
0.0748
0.4971
0.0623
0.0431
0.0114
0.0464
0.0298
0.0465
0.2588
1.8796
1.9095
1.3684
1.7780
1.6208
1.6086
1.9208
0.8783
0.6173
0.1170
0.6188
0.3623
0.5610
3.7283
0.0527
0.0214
0.0311
0.0132
1.6945
1.6212
0.3953
0.1605
a
b
Kemurnian DNA dihitung berdasarkan rasio OD 260/OD 280
Konsentrasi DNA dihitung berdasarkan rumus : [DNA] = OD 260 X 50 X FP
FP : faktor pengenceran : 100X 
Download