ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Isolasi dan Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2011 Yusma Yennie NIM F251080201 3 ABSTRACT YUSMA YENNIE. Isolation and Identification of Pathogenic Vibrio parahaemolyticus in Shrimp Culture Under the direction of RATIH DEWANTI-HARIYADI and ACHMAD POERNOMO. Vibrio parahaemolyticus (Vp) is a halophilic bacterium found in brackish water and is the leading cause of gastroenteritis due to seafood consumption. In Indonesia presence of this pathogen in seafood has caused several export rejection. This research aimed to identify presence of pathogenic Vibrio parahaemolyticus from shrimp cultured in traditional and intensive ponds. Bacterial isolation was carried out using FDA BAM (2004), phenotypic characterization was done using API 20E biochemical test kit and genetic characterization was conducted with Polymerase Chain Reaction (PCR) using a pair of specific primer for each virulent factor gene (tdh and trh genes). Biochemical identification with API 20E biochemical test showed that 16/32(50%) and 6/32 (18.8%) shrimp samples from traditional and intensive ponds contained Vibrio parahaemolyticus, respectively. Eighty one percent (13/16) of Vibrio parahaemolyticus isolated from traditional pond and 50% (3/6) of those obtained from intensive pond were pathogenic due to their possesion of tdh gene. When gen encoding trh was used as the basis for classification, 15/16 (93.8%) and 4/6 ( 66.7%) of Vibrio parahaemolyticus obtained from traditional and intensive ponds, respectively, were pathogenic . Out of the 22 Vibrio parahaemolyticus isolates, 16 (72.7%) were pathogenic based on the possesion of gene encoding for tdh and 19 (86.4%) can be classified as pathogen based on the trh gene. Overall, pathogenic Vibrio parahaemolyticus was found at a frequency of 13-15/32 (43%) of the shrimp samples from traditional pond while 3-4/32 (11%) was found in shrimps from intensive pond, respectively. Keywords: Vibrio parahaemolyticus, shrimp culture, tdh gene, trh gene 4 RINGKASAN YUSMA YENNIE. Isolasi dan Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik pada Udang Tambak. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI dan ACHMAD POERNOMO. Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan perairan payau dan salah satu spesies Vibrio spp yang bersifat patogen terhadap komoditas udang maupun pada manusia. Vibrio parahaemolyticus merupakan bakteri Gram negatif, bersifat halofilik dan dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia melalui konsumsi pangan hasil perikanan. Udang merupakan salah satu komoditas hasil perikanan yang menduduki peringkat pertama dalam pangsa ekspor produk perikanan Indonesia serta merupakan salah satu komoditas unggulan revitalisasi KKP selain tuna dan rumput laut sejak 2005. Berbagai permasalahan yang terkait dengan ekspor udang mengakibatkan ditolaknya produk udang ke luar negeri dan hal ini mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi unit-unit pengolahan udang. Salah satu penyebab penolakan ekspor udang karena kandungan mikroba patogen seperti Salmonella, Vibrio cholerae dan Vibrio parahemolyticus. Kasus penolakan ekspor udang karena kontaminasi V. parahemolyticus pernah dilaporkan yaitu pada tahun 2005 dan 2007, sebanyak 26 ton udang beku dan 4.8 ton produk sushi ebi dari Indonesia ditolak di Uni Eropa. Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa, USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku maupun olahan. Indonesia juga di dalam SNI mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk perikanan. Kasus penyakit bawaan pangan (foodborne diseases) karena V. parahaemolyticus patogenik telah banyak dilaporkan dalam berbagai kasus KLB. Di Indonesia ditemukan sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan gastroenteristis akut dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun 1974 (Bonang et al. 1974). Selain itu ditemukan juga V. parahaemolyticus patogenik sebesar 7.3% dari sampel klinis pasien diare beberapa rumah sakit dalam kurun waktu 19952001 (Tjaniadi et al. 2003). Sementara itu di Jepang, dalam kurun waktu 19961998 terjadi 20-30% kasus KLB dan pada tahun 1998 dilaporkan kasus ini melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella (IDSC, 1999 dalam USFDA, 2005). Kemampuan V. parahaemolyticus menyebabkan penyakit pada manusia umumnya dihubungkan dengan kemapuannya memproduksi hemolisis. Berdasarkan kemampuannya tersebut dikenal 3 jenis hemolisin pada V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH), thermostable direct hemolysin (TDH) dan thermostable direct hemolysin-related hemolysin (TRH). Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein yang memiliki aktivitas phospholipase A2/lysophospholipase akan tetapi peranan hemolisin ini terkait 5 dengan kemampuannya menyebabkan penyakit tidak diketahui secara pasti. Sementara itu TDH dan TRH diduga merupakan faktor virulen pada V. parahaemolyticus yang dikaitkan sebagai penyebab penyakit pada manusia. Thermostable direct hemolysin (TDH) dikenal sebagai faktor virulen karena aktivitas β hemolisisnya yang dapat melisis membran sel darah merah sehingga mengakibatkan gastroenteritis. Keberadaan TDH ditandai dengan adanya zona bening pada koloni Vibrio parahaemolyticus yang ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma dan dikenal dengan istilah Fenomena Kanagawa (KP+). Thermostable direct hemolysin-related hemolysin (TRH) disebut sebagai faktor virulen lain dari V. parahaemolyticus, dimana keberadaannya dikaitkan dengan hasil Fenomena Kanagawa negatif (KP-) tetapi dapat menyebabkan gastroenteritis. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada awalnya dilakukan berdasarkan reaksi biokimiawi akan tetapi metode ini memiliki kelemahan diantaranya waktu analisis yang panjang, akurasi dan sensitivitas yang rendah serta belum tersedianya metode analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen TRH. Berlandaskan alasan tersebut, dikembangkan metode analisis untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Salah satu metode analisis yang adalah metode analisis berdasarkan pendekatan molekuler yaitu teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui frekuensi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang di tambak tradisional dan intensif yaitu dengan cara mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus berdasarkan sifat-sifat biokimiawinya serta mengidentifikasi faktor virulen V. parahaemolyticus berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh pada komoditas udang tambak tersebut. Isolasi bakteri dilakukan dengan mengacu pada metode BAM-FDA (2004), konfirmasi V. parahaemolyticus berdasarkan reaksi biokimiawi menggunakan API 20E biochemical test kit, danidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik dilakukan berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh menggunakan sepasang primer spesifik dari dua gen tersebut dengan teknik PCR Isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan hasil sebesar 32 dan 28 isolat (n=32). Sementara itu konfirmasi V. parahaemolyticus menggunakan API 20E biochemical test kit menunjukkan hasil sebanyak 16/32 (50%) dan 6/32 (18.8%) sampel udang di tambak tradisional dan intensif positif sebagai V. parahaemolyticus. Hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi isolasi V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional lebih tinggi dibandingkan tambak intensif. Jika dibedakan berdasarkan lokasi pengambilan sampel pada tambak tradisional, frekuensi isolasi V. parahaemolyticus berkisar antara 30-69%. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh pada sampel udang tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan hasil sebesar 13/16 isolat dan 3/6 isolat positif gen tdh. Amplifikasi berdasarkan gen penyandi trh pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif diperoleh hasil sebanyak 15/16 isolat dan 4/6 isolat adalah positif gen trh. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus dari sampel udang tambak tradisional dan intensif ternyata berifat patogen sebesar 43% dan 11%. 6 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang baik di tambak tradisional maupun intensif. Hal ini diduga terkait dengan penerapan cara berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practices) yang belum optimal terutama di tambak tradisional. Kata kunci: Vibrio parahaemolyticus, udang tambak, gen tdh, gen trh 7 © Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB 8 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI Vibrio parahaemolyticus PATOGENIK PADA UDANG TAMBAK YUSMA YENNIE Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc 10 Judul Tesis : Isolasi dan Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak Nama : Yusma Yennie NRP : F251080201 Menyetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Achmad Poernomo Ketua Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr.Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 29 Juli 2011 Tanggal Lulus: 11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya, karya ilmiah sebagai hasil tugas akhir dapat diselesaikan. Penulis mengangkat tema keamanan pangan dengan judul penelitian Isolasi dan Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada Udang Tambak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Dr. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc dan Dr. Achmad Poernomo, M.AppSc selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, saran, dan semangat selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc selaku dosen penguji atas saran dan masukan yang diberikan sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju kesempurnaan karya ilmiah ini. 3. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananBalitbang KP-KKP, yang telah mendanai penelitian ini. 4. Rekan-rekan di Kelti Keamanan Pangan, Lab. Mikrobiologi (Ayu dan Radest) dan Lab. Bioteknologi (Gintung dan mbak Dewi) BBRP2B atas bantuan, dan dorongan semangat selama penelitian. 5. Teman-teman lingkup BBRP2B (Ema, Ida, Devi, Diah, Yanti) dan teman-teman IPN 2008, atas persahabatan dan dorongan semangatnya selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 6. Suami dan anak-anak tercinta, abah, ibu, dan seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, toleransi, pengertian, dorongan semangat, dan bantuannya. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat. Bogor, Agustus 2011 Yusma Yennie 12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 24 Pebruari 1974 dari Ayah Ahmad Yusmadi Yusuf dan Ibu Ainal Mardiah yang merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan S-1 pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor. Penulis melanjutkan studi ke program pasca sarjana pada tahun 2008 di program studi ilmu pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui program beasiswa Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 1999 dan ditempatkan di UPT-LPPMHP, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara. Tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananBalitbang KP-KKP dan bergabung dengan kelompok peneliti bidang keamanan pangan dan lingkungan Kelautan dan Perikanan. Peneliti telah melakukan beberapa penelitian di bidang keamanan pangan antara lain identifikasi logam berat pada produk perikanan, identifikasi residu bahan berbahaya pada produk perikanan baik segar dan olahan, dan saat ini sedang melakukan penelitian dengan topik identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang vaname di unit pengolahan udang, pengumpul, dan retail. 13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xvi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................................1 Perumusan Masalah .........................................................................................6 Tujuan Penelitian ............................................................................................6 Hipotesis ..........................................................................................................7 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus............................................................8 Faktor Lingkungan yang Mempengarui Keberadaan Vibrio parahaemolyticus ..........................................................................................10 Penyakit Bawaan Pangan (food borne diseases) oleh Vibrio parahaemolyticus ..........................................................................................11 Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus ......................................................16 Identifikasi Vibrio parahaemolyticus Patogenik ...........................................19 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................23 Bahan dan Alat...............................................................................................23 Pelaksanaan Penelitian ..................................................................................24 Survei Lapang ................................................................................................25 Pengambilan dan Preparasi Sampel Udang Tambak .....................................26 Isolasi Vibrio parahaemolyticus dari Udang Tambak ...................................26 Identifikasi Vibrio parahaemolyticus pada Udang Tambak ..........................27 Uji biokimia pendahuluan (Presumtif)...........................................................27 1. Pewarnaan Gram.......................................................................................27 2. Uji motilitas ..............................................................................................27 3. Uji oksidase...............................................................................................28 4. Pertumbuhan pada Triple Sugar Iron Agar .............................................28 14 Uji biokimia lanjutan (Konfirmasi) ...................................................................... 28 Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang berasal dari Udang Tambak ....................................................................................... 29 1. Isolasi DNA genom bakteri ...................................................................... 29 2. Amplifikasi gen tdh dan trh...................................................................... 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Lapang ............................................................................................... 33 Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak ......................................... 38 Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak .............................. 40 Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari Udang Tambak ...................................................................................... 51 1. Isolasi DNA genom bakteri ...................................................................... 52 2. Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus ................................... 52 Rekomendasi untuk Perbaikan Usaha Budidaya Udang .............................. 59 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 62 Simpulan........................................................................................................ 62 Saran .............................................................................................................. 63 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 75 15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009)...................................................................................................... 1 2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus di Taiwan.......................................................................................................... 2 3. Persyaratan V. parahaemolyticus pada produk perikanan di berbagai negara ............................................................................................................... 3 4. Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus ................. 9 5. KasusKLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia................................ 13 6. KasusKLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika........ 14 7. Primer oligonukleotida yang digunakan untuk deteksi gen tdh dan trh ...................................................................................................... 24 8. Hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari udang vaname yang diambil dari 3 lokasi survei .................................................................. 34 9. Data pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan di tambak tradisional dan intensif ................................................................................... 35 10. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak ..................... 39 11. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak tradisional di Kecamatan Cantigi ...................................................... 41 12. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak intensif di Kecamatan Patrol ............................................................. 42 13. Hasil uji reaksi biokimiawi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus presumtif sampel udang tambak dengan API 20E ....................................... 44 14. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dengan API 20E ................................... 45 15. Hasil identifikasi Vp pada sampel udang berdasarkan lokasi di tambak tradisional...................................................................................... 46 16. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak intensif dengan API 20E ....................................... 48 17. Distribusi gen penyadi tdh dan trh pada isolat V. parahaemolyticus dari sampel udang di tambak tradisional dan intensif.................................... 56 16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Sel Vibrio parahaemolyticus menggunakan scanning electron micrograph (SEM)............................................................................. 8 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian ............................................................. 25 3. Tambak udang sistim tradisional.................................................................... 36 4. Tambak udang sistim intensif......................................................................... 37 5. V. parahaemolyticus pada TCBS ................................................................... 39 6. Sel bakteri V. parahaemolyticus yang diamati dengan mikroskop perbesaran 1000X........................................................................................... 43 7. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa2% (TBE1X). M: marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10)................................................. 53 8. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang .................................................................................................. 54 9. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa2% (TBE1X). M: marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10)................................................. 54 10. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang .................................................................................................. 55 17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak tradisional ................. 76 2. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak intensif ...................... 77 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM ....................................................... 78 4. Kemurnian dan konsentrasi DNA genom V. parahaemolyticus .................... 86 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan program revitalisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selain tuna dan rumput laut sejak tahun 2005. Disamping itu udang menempati urutan ke-5 terbesar dalam deretan ekspor non-migas dan memberikan kontribusi sebesar 50% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009), tentang volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama tahun 2005-2009, terlihat udang menduduki urutan pertama (Tabel 1). Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009) Tahun Rincian Kenaikan Rata-Rata (% ) 2005 2006 2007 2008 2009 Volume (Ton) 857.922 926.477 854.329 911.674 796.700 -1.42 -12.61 Udang 153.906 169.329 157.545 170.583 165.000 2.02 -3.27 91.631 91.822 121.316 130.056 95.000 3.14 -26.95 428.395 439.540 393.679 424.401 381.600 -1.83 -10.09 18.593 17.905 21.510 20.713 17.300 -0.94 -16.48 Lainnya 165.397 153.881 160.279 Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009) 165.921 137.800 -4.06 -16.95 Tuna, cakalang, tongkol Ikan lainnya Kepiting 2005-2009 2008-2009 Ekspor komoditas udang Indonesia mengalami masalah beberapa tahun ini. Permasalahan ekspor udang Indonesia mengakibatkan volume dan nilai ekspor menurun dan beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan standar mutu dan sanitasi. Permasalahan yang terkait dengan sanitasi pada komoditas udang umumnya karena adanya kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella, 19 Vibrio parahaemolyticus, dan Vibrio cholera (DKP, 2003). Pada tahun 2005 sebanyak 26 ton ekspor udang Indonesia ditolak Uni Eropa karena kontaminasi V. parahaemolyticus, sedangkan pada tahun 2007 ekspor produk sushi ebi sebanyak 4.8 ton ditolak oleh Uni Eropa karena alasan yang sama (Ditjen P2HP-KKP, 2010). Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Wong et al. (1999) melaporkan bahwa produk perikanan yang diekspor ke Taiwan dari beberapa negara di Asia termasuk Indonesia pernah terdeteksi mengandung V. parahaemolyticus (Tabel 2) walaupun pada seluruh sampel tidak ditemukan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi dengan metode PCR. Tabel 2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus di Taiwan Jenis produk Jumlah sampel Jumlah sampel positif % Vp Kepiting 126 41 32.5 Lobster 59 26 44.1 Bekicot 95 20 21.1 Ikan 106 47 44.3 Hongkong Kepiting 114 81 71.1 Thailand Kepiting 32 26 81.3 Udang 62 47 75.8 Ikan 92 27 29.3 686 315 45.9 Negara asal Vietnam Indonesia Jumlah Wong et al. (1999) Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa, USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku maupun olahan. Indonesia juga di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk perikanan. Tabel 3 menunjukkan peraturan dari beberapa negara pengimpor 20 untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan produk udang serta persyaratan udang beku berdasarkan SNI 01-2705.1-2006. Tabel 3. Persyaratan V. berbagai negara Negara parahaemolyticus Jenis pangan pada produk perikanan Persyaratan Referensi ISO 8914 Uni Eropa Krustasea, moluska, dan kerang olahan MPN ≤100 cfu/g USA Produk perikanan siap saji MPN >104/g (KP + / -) Jepang Produk perikanan untuk MPN < 100/g konsumsi mentah Indonesia Udang beku di FDA –Compliance Programme Guidance Manual 7303.844 APM <3/g atau KP + * (* jika diperlukan) Food Sanitation & Quarantine Law Article 11 SNI 01-2705.1-2006 Ababouch et al. (2005); Badan Standardisasi Nasional (2006) Vibrio spp. merupakan flora normal pada lingkungan perairan payau seperti pantai atau muara sungai serta umum terdapat selama kegiatan budidaya udang (Vandenberghe et al. 2003). Keberadaan Vibrio spp. terutama berkaitan dengan bahan organik dan fluktuasi oksigen terlarut pada lahan budidaya. Selain itu dalam kondisi normal peningkatan suhu akan menimbulkan keragaman spesies Vibrio (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003). Beberapa spesies patogen Vibrio seperti V. harveyi dan V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang menginfeksi udang (Jiravanichpaisal dan Miyazaki, 1995; Lavilla-Pitogo, 1995; Lightner, 1993) dan umumnya disebut dengan patogen oportunistik yang dapat menyebabkan penyakit pada udang (Goarant et al. 1999). Infeksi V. parahaemolyticus pada udang terjadi pada fase juvenil sampai dewasa. Penyakit pada udang ini disebut dengan red disease syndrome yaitu berubahnya warna tubuh udang menjadi merah dan mengakibatkan kematian. Kematian udang karena penyakit ini berkisar 1-20% (Alapide-Tendencia dan Dureza, 1997) Sistim pemeliharaan udang di tambak umumnya dibedakan atas sistim tradisional dan intensif. Kedua sistim tambak ini memiliki beberapa perbedaan antara lain sumber air, pengelolaan kualitas air, padat tebar benur udang, konstruksi lahan tambak, sistim pengairan, dan jenis pakan. Tambak tradisional 21 umumnya tidak menerapkan manajemen pengelolaan kualitas air tambak, dimana sumber air untuk pemeliharaan umumnya berasal dari aliran sungai yang berada di sekitar tambak. Hal ini memberi peluang besarnya kandungan kontaminan dari sumber air seperti logam berat dan bakteri patogen yang dapat menyebabkan tingkat kematian pada udang cukup tinggi. Selain itu tambak tradisional tidak dilengkapi oleh sistim aerasi yang berfungsi mengatur ketersediaan oksigen (Komarawidjaja dan Garno, 2003). Disamping merupakan patogen pada udang, beberapa spesies Vibrio juga bersifat patogen pada manusia. Lebih dari 12 spesies Vibrio diketahui terkait dengan penyakit pada manusia, dan spesies V. cholerae dan V. parahaemolyticus merupakan patogen yang dominan penyebab penyakit pada manusia (Kaysner dan DePaola, 2004). V. cholerae merupakan spesies patogen Vibrio yang memiliki lebih dari 200 serotipe, akan tetapi hanya serotipe O1 dan O139 yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit pada manusia. Sementara itu serotipe lainnya disebut dengan non O1/O139 dan jarang menginfeksi manusia (Kaper et al. 1995; Anderson et al. 2004). V. cholerae memproduksi enterotoksin kolera yang menyebabkan penyakit kolera pada manusia. Penyakit kolera ditularkan melalui jalur fekal-oral, melalui air yang terkontaminasi saat pencucian bahan pangan ataupun bahan pangan yang terkontaminasi feses manusia yang biasa digunakan untuk pupuk (Dobosh et al. 1995; Kaysner, 2000; Popovic et al. 1993). Galur O1 umumnya diisolasi dari sampel klinis sedangkan galur non O1/O139 diisolasi dari lingkungan perairan dan produk perikanan. Spesies Vibrio lain yang patogen terhadap manusia adalah V. parahaemolyicus, merupakan bakteri Gram negatif yang umumnya terdeteksi pada air, sedimen, plankton, produk perikanan (krustasea, ikan dan moluska). Hal ini karena bahan-bahan tersebut memiliki kondisi optimum bagi pertumbuhan bakteri ini seperti ketersediaan nutrien, kandungan garam, pH dan Aw. Di Indonesia, penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang masih jarang dilakukan. Dewanti-Hariyadi et al. (2002) melaporkan bahwa V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang yang berasal dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pasar grosir dan unit pengolahan berturut-turut sebesar 21.8%, 3.1%, 11.1%, dan 70%. Namun 22 demikian tidak diketahui apakah V. parahaemolyticus pada sampel udang tersebut bersifat patogenik. Penelitian lain juga melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolyticus pada seluruh sampel kerang mentah dan olahan (n=47) yang berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat, dimana 36% dari isolat tersebut merupakan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi berdasarkan gen penyandi tdh (thermostable direct hemolysin) (Marlina et al. 2007). Jika dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, V. parahaemolyticus juga pernah diisolasi dari sampel klinis pasien diare di beberapa rumah sakit di Indonesia dan diketahui sebesar 7.3% (n=2812) merupakan V. parahaemolyticus dengan Fenomena Kanagawa (KP) positif (Tjaniadi et al. 2003). Persentase ini lebih kecil dibandingkan dengan kejadian keracunan oleh Salmonella akan tetapi lebih tinggi dari persentase kejadian yang disebabkan oleh Enterohemorrhagic E. coli (EHEC). Untuk mengetahui bahwa V. parahaemolyticus bersifat patogenik, umumnya dilakukan pengujian Kanagawa yakni dengan mengamati pembentukan daerah bening pada agar Wagatsuma yang menandakan adanya hemolisin. V. parahaemolyticus yang menghasilkan Kanagawa positif (KP+) adalah galur yang menghasilkan faktor virulen thermostable direct hemolysin (TDH) yang disebut dengan gen tdh. Meskipun demikian tidak semua V. parahaemolyticus patogenik ditandai dengan hasil uji Kanagawa positif. Hal ini ditemukan pada pasien penderita diare yang tidak menunjukkan hasil KP+. Faktor virulen ini kemudian dikenal dengan thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH) dan disebut gen trh. Analisis berdasarkan reaksi biokimiawi ini ternyata memiliki beberapa kelemahan sehingga dikembangkan metode analisis untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan pendekatan molekuler seperti metode polymerase chain reaction (PCR). Metode ini merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode PCR banyak dikembangkan untuk pengujian mikrobiologi karena memiliki keunggulan diantaranya sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat 23 sedikit (Yuwono, 2006). Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi sekuen nukleotida berdasarkan keberadaan gen penyandi tdh dan trh. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan penolakan ekspor udang Indonesia adalah kontaminasi bakteri patogen diantaranya Vibrio parahaemolyticus. V. parahaemolyticus merupakan patogen oportunistik terhadap udang dan juga merupakan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Akan tetapi ketersediaan data keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak masih sangat terbatas. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik komoditas udang tambak di Indonesia masih jarang dilakukan. Metode identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dengan metode konvensional berdasarkan reaksi biokimia telah banyak dilakukan akan tetapi memiliki kelemahan seperti waktu analisis yang lama, ketepatan hasil uji dan sensitifitas yang rendah. Selain itu metode konvensional tidak dapat mengidentifikasi keberadaan TRH pada sampel. Metode PCR merupakan salah satu pengembangan metode identifkasi V. parahaemolyticus patogenik dengan pendekatan molekular yang telah banyak dikembangkan karena dapat menghasilkan akurasi dan ketepatan hasil uji yang lebih tinggi. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak dengan metode PCR diharapkan dapat memperoleh hasil uji yang akurat. Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi frekuensi isolasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak tradisional dan intensif. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah : a. Mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus secara biokimiawi pada komoditas udang yang berasal dari tambak tradisional dan intensif serta manganalisis faktor yang berkontribusi terhadap keberadaan bakteri ini. b. Mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh. 24 Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : a. V. parahaemolyticus berpotensi ditemukan pada komoditsas udang tambak baik tambak tradisional maupun intensif, dengan frekuensi isolasi yang lebih tinggi terdapat pada tambak tradisional. b. V. parahaemolyticus patogenik pada sampel lingkungan dan produk perikanan umumnya berkisar 1-2%. 25 c. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Vibrio parahaemolyticus Vibrio parahaemolyticus adalah salah satu spesies bakteri dari famili Vibrionaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang (curved atau straight ), anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, pleomorfik, bersifat motil dengan single polar flagellum. Bakteri ini merupakan bakteri halofilik (tumbuh optimum pada media yang berkadar garam 3%), tidak memfermentasi sukrosa dan laktosa, dapat tumbuh pada suhu 10-44oC (optimum suhu 37oC), dimana waktu generasi bakteri pada fase eksponensial adalah 9-13 menit di kondisi optimum pertumbuhannya. Sementara itu kisaran pH dan Aw pertumbuhannya berturut-turut adalah 4.8 – 11 (optimum 7.8 – 8.6) dan 0.94 – 0.99 (optimum 0.981) (Baumann dan Schubert, 1984; Jay et al. 2005; Lake et al. 2003). Beberapa karakter Vibrio parahaemolyticus yang membedakannya dengan spesies Vibrio lainnya diantaranya tidak memfermentasi sukrosa seperti Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus. Selain itu pada media padat bakteri ini tumbuh dengan menggunakan lateral flagella serta sifatnya yang halofilik dengan kisaran garam 0.5-8%, sedangkan bakteri Vibrio cholerae mampu tumbuh pada media tanpa garam (Holt dan Krieg, 1984). Gambar 1. Sel V. parahaemolyticus menggunakan scanning electron micrograph (SEM), bar = 1µm (http://en.wikipedia.org/wiki/Vibrio_parahaemolyticus) 26 Berdasarkan antigennya, Vibrio parahaemolyticus terdiri atas kelompok antigen yaitu : tipe H (flagellar), tipe O (somatic) dan tipe K (capsular). Antigen tipe H merupakan antigen paling umum untuk seluruh galur Vibrio parahaemolyticus, sedangkan antigen tipe O bersifat thermolabile dan antigen tipe K bersifat thermostable. Saat ini, terdapat 12 grup antigen O dan lebih dari 70 antigen K yang telah menghasilkan 76 serotipe (Tabel 4), dimana 5 dari antigen K dengan 2 antigen O membentuk serotipe O:K, yang kemudian digunakan untuk investigasi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus (Kaysner dan DePaola, 2004). Skema antigen ini pertama kali dipublikasikan oleh Sakazaki et al. (1963), selanjutnya beberapa serotipe ditambahkan oleh Komite Serotipe Vibrio parahaemolyticus Jepang dimana antigen K : 2, 14, 16, 29, 35 dan 62 bukan merupakan hasil dari Komite. Antigen K : 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 19 bisa ditemukan lebih dari satu antigen O. Tabel 4. Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus Antigen O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Antigen K 1,25,26,32,38,41,56,58,64,69 3,28 4,5,6,7,27,30,31,33,37,43,45,48,54,57,58,59,65 4,8,9,10,11,12,13,34,42,49,53,55,63,67 5,15,17,30,47,60,61,68 6,18,46 7,19 8,20,21,22,39,70 9,23,44 19,24,52,66,71 36,40,50,51,61 52 Kaysner dan De Paola (2004) Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan perairan payau seperti pantai, muara sungai atau tambak yang tersebar di seluruh dunia. Keberadaan bakteri ini umumnya lebih sering ditemui pada wilayah beriklim sedang dan tropis atau pada musim panas di negara-negara empat musim. V. parahaemolyticus umumnya terdeteksi pada air laut, sedimen, plankton, ikan, krustasea, kekerangan dan moluska. Produk perikanan memberikan semua kondisi yang dibutuhkan oleh V. parahaemolyticus untuk tumbuh dan 27 berkembang biak seperti keberadaan garam, kandungan nutrien, pH dan Aw yang optimum dan faktor lainnya sehingga bakteri ini sering disebut flora normal pada produk perikanan. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan V. parahaemolyticus Bakteri patogen yang terkait dengan produk perikanan secara umum dikelompokkan atas 3 yaitu : bakteri yang merupakan flora normal perairan laut (Vibrio spp., Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum dan Aeromonas hydrophila), bakteri yang berasal dari kontaminasi feses (Salmonella spp., E. coli patogenik, Shigella spp., Campylobacter spp., dan Yersinia enterocolitica), dan bakteri yang berasal dari kontaminasi selama pengolahan (Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium perfringens). V. parahaemolyticus merupakan flora normal yang hidup di perairan payau dan sebagian jenisnya bersifat patogen pada produk perikanan seperti udang, ikan, kepiting, tiram, kerang, dan jenis cephalopoda. (Feldhusen, 2000; Liston, 1990; Liu dan Chen, 2004; Su dan Liu, 2007). Keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan dan produk perikanan dipengaruhi oleh musim, lokasi, polutan, jenis sampel dan metode analisis (Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; DePaola et al. 2000; Kaneko dan Colwell, 1973; Kaysner et al. 1990; Watkins dan Cabelli, 1985) . Suhu perairan merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat V. parahaemolyticus pada lingkungan, dimana terjadi peningkatan jumlah V. parahaemolyticus pada kisaran suhu 10-30°C (De Paola et al. 1990; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985). Penelitian menunjukkan V. parahaemolyticus jarang ditemukan saat suhu perairan di bawah 10°C akan tetapi keberadaannya akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu perairan. Studi ekologi lainnya menyebutkan bahwa V. parahaemolyticus dapat bertahan hidup pada biota perairan (plankton, kekerangan, kustasea, ikan) dan sedimen selama musim dingin dan akan terlepas ke perairan saat suhu meningkat pada awal musim panas (Kaneko dan Colwell, 1973). DePaola et al. (1990) melaporkan, hasil survei 9 pantai di USA dalam kurun waktu 1984-1985 menunjukkan densitas V. parahaemolyticus yang cukup rendah di perairan (4 koloni/ml) ketika terjadi penurunan suhu di bawah 16°C. 28 Namun demikian, densitas bakteri ini meningkat menjadi 103 koloni/ml saat suhu perairan mencapai 25°C. Pada budidaya tiram di Oregon juga menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah V. parahaemolyticus dengan peningkatan suhu dan pupolasi tertinggi terjadi pada musim panas (Duan dan Su, 2005). Sementara itu keberadaan V. parahaemolyticus di produk perikanan diketahui lebih banyak teridentifikasi pada saat terjadi peningkatan suhu lingkungan. Keysner dan DePaola (2000) melaporkan jumlah V. parahaemolyticus pada tiram yang dipanen pada musim semi dan panas lebih banyak dibandingkan musim dingin yaitu di atas 103cfu/g dan dapat berkembang biak dengan cepat pada tiram yang terpapar suhu tinggi. Hasil penelitian Gooch et al. (2002) menunjukkan bahwa populasi V. parahaemolyticus pada tiram meningkat 50-790 kali lipat dari jumlah awal selama 24 jam setelah panen jika disimpan pada suhu 26°C. Sementara itu, hasil survei sampel tiram yang diambil dari restoran dan seluruh pasar produk hasil perikanan tingkat eceran sampai grosir di USA selama Juni 1998 - Juli 1999 menyimpulkan bahwa V. parahaemolyticus memiliki kepadatan tertinggi (> 103MPN/g) pada musim panas (Cook et al. 2002). V. parahaemolyticus dapat dideteksi pada rentang salinitas yang cukup besar (5-35 ppt) dengan salinitas optimal berkisar 22 ppt (DePaola et al. 1990). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang tidak langsung antara polusi fekal dengan keberadaan V. parahaemolyticus karena diduga merupakan biostimulasi dari mikrofauna yang berasosiasi dengan V. parahaemolyticus (Watkins dan Cabelli, 1985). Selain itu V. parahaemolyticus diduga terkait erat dengan keberadaan zooplankton terutama copepoda yang dikaitkan dengan aktivitas dan afititas kitinase dari kitin (Fratamico et al. 2005; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985). Penyakit Bawaan Pangan (foodborne diseases) oleh Vibrio parahaemolyticus Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan (foodborne diseases) terutama melalui pangan mentah atau yang tidak dimasak sempurna. Keberadaan V. parahaemolyticus dapat disebabkan oleh kontaminasi silang antar 29 pangan olahan dan mentah atau melalui pencucian pangan dengan air yang mengandung V. parahaemolyticus. Penyakit karena V. parahaemolyticus adalah gastroenteristis seperti diare (98%), kejang bagian perut (82%), mual (71%), muntah (52%), dan demam (27%) dengan masa inkubasi 4-96 jam dengan ratarata 15 jam (Barker dan Gangarosa, 1974; Levine et al. 1993) . Sebagian kecil kasus, bakteri ini menyebabkan kerusakan (luka) pada mukosa usus sehingga terdapat darah pada feses penderita bahkan dapat menyebabkan septisemia. Penyakit bawaan pangan oleh V. parahaemolyticus umumnya lebih sering terjadi di negara beriklim tropis karena merupakan kondisi optimum pertumbuhan bakteri ini. Awalnya kasus V. parahaemolyticus terjadi secara sporadis akan tetapi menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menjadi kasus kejadian luar biasa (KLB). Kasus infeksi karena V. parahaemolyticus melalui konsumsi pangan pertama sekali terjadi di Osaka-Jepang pada tahun 1951 akibat mengkonsumsi ikan sardine mentah. Kasus ini memakan korban sebanyak 272 orang menderita sakit dan 20 orang meninggal (Daniels et al. 2000). Tahun 1998 kasus infeksi karena V. parahaemolyticus meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1997 dan melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella. Pada kurun waktu 1996-1998 terjadi 20-30% kasus KLB (IDSC, 1999 dalam US-FDA, 2005). Negara Asia lainnya adalah Taiwan, sebanyak 57% (42/74 kasus KLB) adalah yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus seperti yang dilaporkan Kementerian Kesehatan Taiwan tahun 1994. Kurun waktu 1986-1995 sebanyak 35% (197/555 kasus) merupakan kasus yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus (Pan et al. 1996; Pan et al.1997). Sementara itu terjadi 5 kasus KLB di di Thailand, dimana 7-93 orang terinfeksi setelah mengkonsumsi kepiting dan ikan makarel olahan pada tahun 1971. Pada November 1970-Juni 1973, sebanyak 7930 sampel klinis penderita diare teridentifikasi V. parahaemolyticus (Phayakvichien et al. 1990). Di Vietnam, kasus KLB terdeteksi sebanyak 548 kasus pada tahun 1997-1999, dimana 90% terjadi pada usia di atas 5 tahun. Dalam kasus ini sebanyak 77% menderita muntah, diare (53%), dan diare berdarah (6%) (Tuyet et al. 2002). Indonesia sendiri pernah terjadi kasus sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan gastroenteristis akut dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun 30 1974 (Bonang et al. 1974). Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus yang terjadi di negara-negara di Asia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia No 1 2 Negara Jepang - Taiwan - Insiden V. parahaemolyticus Kasus I tahun 1951 (272 orang sakit; 20 orang meningal 20-30% kasus KLB (1996-1998) 57% (42/72 kasus KLB) terjadi pada tahun 1994 Tahun 1986-1995 sebesar 35% (197/ Referensi Daniels et al. (2000) US-FDA (2005) Pan et al.(1996) Pan et al.(1997) 555 kasus) adalah kasus Vp 3 Thailand - 4 5 Vietnam Indonesia - Terjadi 5 kasus KLB karena konsumsi kepiting dan makarel pada tahun 1971 Tahun 1970-1973 terdapat Vp pada 7390 sampel klinis pasien diare Tahun 1997-1999, terjadi 548 kasus Tahun 1974 ditemukan 3.7% (19/154 pasien) dengan gastroenteris akut karena Vp Phayakvichien et al. (1990) Tuyet et al. (2002) Bonang et al. (1974) Kasus KLB V. parahaemolyticus juga dilaporkan terjadi di negara Eropa dan Amerika (Tabel 6) walaupun lebih jarang dibandingkan negara-negara di Asia. Robert-Pillot et al. (2004) menyebutkan bahwa kasus KLB serius pernah terjadi di Perancis pada tahun 1997 karena mengkonsumsi udang yang diimpor dari Asia dan memakan korban 44 orang. Amerika Serikat melaporkan terjadi 40 kasus KLB yaitu sepanjang 1973 – 1998 di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3 - 100%) dimana sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Penyebabnya adalah tiram dan kerang mentah (38% kasus) atau yang tidak dimasak sempurna. Pada periode ini, 30% KLB terjadi pada 1997 – 1998 dan tiga diantaranya cukup besar yaitu Juli– Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari Puget Sound, Washington selanjutnya dua kasus KLB gastroenteritis karena V. parahaemolyticus terjadi pada Mei–Juni 1998 akibat mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB V. parahaemolyitcus terkait dengan konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal dari Teluk Oyster, Long Island, New York (Daniels et al, 2000). 31 Kasus KLB V. parahaemolyitcus di New York, Oregon dan Washington, kembali terjadi pada 20 Mei – 31 Juli 2006 setelah mengkonsumsi tiram dan remis mentah dan olahan di restoran. Tiram dan remis berasal dari daerah pantai Washington dan British Columbia-Canada yang didistribusikan secara nasional ke pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah pemasaran berdampak pada meluasnya daerah sebaran penyakit. Pada tahun 2006, 122 kasus berasal dari 17 sumber produk hasil perikanan yang sama dan berimplikasi pada penutupan perusahaan pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB (Balter et al, 2006). Selain itu kasus KLB juga dilaporkan di Chile pada November 1997April 1998, dimana kasus ini terkait dengan konsumsi kerang. Hal ini diduga adanya pengaruh El Nino selain suhu perairan yang kemungkinan dapat membantu blooming bakteri. Spanyol juga menghadapi kasus KLB karena V. parahaemolyticus antara Agustus-September 1999, dimana 64 orang menderita sakit setelah mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari pasar lokal (Cordova et al. 2002; Lozano-Leon et al. 2003). Tabel 6. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika No 1 Perancis Negara - Insiden V. parahaemolyticus Referensi Tahun 1997 karena konsumsi udang Robert-Pillot et al. Amerika Serikat - Tahun 1973 – 1998, 40 kasus KLB Daniels et al. (2000) yang diimpor dari Asia 2 3 Chile 4 Spanyol di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita - Mei-Juli 2006, terjadi kasusKLB setelah mengkonsumsi tiram dan remis mentah dan olahan - November 1997-April 1998, terjadi kasus KLB terkait dengan konsumsi kerang - Bulan Agustus-September 1999, sebanyak 64 orang terinfeksi Vp (2004) Balter et al. (2006) Cordova (2002) et al. Lozano-Leon et al. (2003) Penyakit bawaan pangan karena V. parahaemolyitcus sangat terkait dengan cara mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Kasus V. parahaemolyitcus yang terjadi di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah. Kondisi yang sama tampaknya juga 32 terjadi di beberapa negara Asia lainnya yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah seperti Jepang, Cina, Vietnam, dan Thailand. Selain itu infeksi karena V. parahaemolyitcus juga terjadi setelah mengkonsumsi produk perikanan olahan. Hal ini terutama disebabkan oleh pemasakan yang tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V. parahaemolyitcus yang ada, atau proses penanganan yang buruk seperti kondisi higiene dan sanitasi tidak terjaga, penyimpanan produk pada suhu ruang selama beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi silang antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah. Di Thailand, tingkat kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan sebesar 77.5% pada kurun waktu 1971-1972. Penelitian lain menyebutkan terdapat 27% dan 49% produk perikanan beku dan mentah mengandung V. parahaemolyticus. Sementara itu sebanyak 78% seafood mentah di Bangkok pada Mei-Oktober 1994 terkontaminasi V. parahaemolyticus, dimana kontaminasi tertinggi terdapat pada remis (100%), kerang (96%), udang (68%) dan kepiting bakau (51%). Produk udang beku yang siap diekspor juga ditemukan V. parahaemolyticus sebesar 64% pada Mei 1995-Juli 1996. Sampel udang beku di unit pengolahan di Propinsi Chachoengsao-Thailand juga terkontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 80% (April-Mei 1999) (Limuthaitip, 1995; Kowcachaporn, 1997; Phayakvichien et al. 1990; Phumiprapat, 1992; Pungchitton, 1999 dalam Jaesawang, 2005). Infeksi V. parahaemolyticus pada manusia terkait dengan galur patogenik dari bakteri ini. Galur bakteri penyebab gastroenteritis pada manusia pertama kali diisolasi dari sampel klinis penderita kasus KLB di Calcutta-India tahun 1994-1996 yaitu V. parahaemolyticus O3:K6 (Okuda et al. 1997). V. parahaemolyticus O3:K6 ini bersifat pandemik di negara Asia Tenggara akan tetapi bukan merupakan galur yang sama dengan galur O3:K6 yang masuk melalui turis-turis Asia (international travellers) yang terjadi pada tahun 19821993 (Chiou et al. 2000; Okuda et al. 1997; Vuddhakul et al. 2000). Galur O3:K6 juga teridentifikasi di USA pada tahun 1998 dan menyebabkan kasus KLB (416 orang) setelah mengkonsumsi tiram mentah (Daniels et al. 2000). Selain itu galur ini pada produk yang sama juga menyebabkan kasus KLB di Connecticut, New Jersey, dan New York (CDC, 1999). Galur patogen lainnya yang dominan 33 dan menyebabkan peningkatan KLB di dunia adalah O4:K68 dan O1:K untypeable (KUT), dimana galur ini dilaporkan terkait dekat dengan galur O3:K6 (Martinez-Urtaza et al. 2004). Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa V. parahaemolyticus patogenik umumnya diisolasi dari 90% sampel klinis dan hanya sekitar 1-2% dari lingkungan maupun produk perikanan (Kelly dan Dan Stroh, 1988; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). dihubungkan dengan kemampuan V. parahaemolyticus patogenik umumnya bakteri ini memproduksi hemolisis. Berdasarkan kemampuannya memproduksi hemolisis , terdapat 3 jenis hemolisis yang dihasilkan oleh V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH), thermostable direct hemolysin (TDH), dan TDH related hemolysin (TRH). Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein dengan berat molekul berturut-turut 47.5 dan 45.3kDa yang memiliki aktivitas phospholipase/lyso phospholipase . Hemolisis ini terdapat pada semua galur V. parahaemolyticus akan tetapi peranannya dalam patogenesis tidak diketahui secara pasti (Bhunia, 2008). Gen penyandi tlh banyak digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus pada sampel dengan menggunakan metode berbasis molekuler. Infeksi oleh V. parahaemolyticus penyebab gastroenteritis pada manusia terkait dengan keberadaan thermostable direct hemolysin (TDH). Kejadian ini dikenal dengan istilah fenomena Kanagawa (KP) dan disebut sebagai faktor virulen. Fenomena Kanagawa (KP+) merupakan aktivitas β hemolisis pada media agar Wagatsuma (mengandung sel darah merah manusia) yang ditandai dengan pembentukan zona bening di sekitar koloni pada media agar setelah diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam (Joseph et al. 1982; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). Keberadaan KP+ terkait dengan produksi TDH yang dapat menyebabkan lisis pada membran sel darah merah melalui pembentukan pori sehingga beberapa ion masuk ke dalam sel dan terjadi pembengkakan sel yang mengakibatkan kematian sel karena ketidakseimbangan ion (Bhunia, 2008). Mekanisme hemolisis yang disebabkan oleh TDH diawali dengan tahap pengikatan membran sel darah merah, selanjutnya terbentuk pori trans membran 34 yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan pada membran sel (Honda et al. 1992). Thermostable direct hemolysin (TDH) bersifat stabil terhadap panas (100°C; 10 menit) dan aktivitas hemolitiknya tidak dapat ditingkatkan dengan penambahan lesitin. Hal ini yang menunjukkan bahwa TDH memiliki aktivitas langsung terhadap sel darah merah (Nishibuchi dan Kaper, 1995). Aktivitas TDH menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel sehingga memicu sekresi ion klorida melalui sel intestinal. Thermostable direct hemolysin (TDH) merupakan protein (terdiri dari 165 asam amino) yang tidak memiliki lipida dan karbohidrat dengan berat molekul 42 kDa. Thermostable direct hemolysin (TDH) terdiri dari 2 sub unit identik yang masing-masing memiliki berat molekul 21 kDa (Honda dan Iida, 1993; Miyamoto et al. 1980; Takeda et al. 1978 dalam Levin, 2009). Gen penyandi TDH pertama kali dikloning oleh Kaper et al. (1984) yang disebut tdh1, kemudian ditemukan gen tdh2 oleh Hida dan Yamamoto (1990). Nishibuchi dan Kaper (1990) melaporkan bahwa semua KP+ pada sampel klinis galur V. parahaemolyticus umumnya mengandung gen tdh1 dan tdh2 dan jika galur V. parahaemolyticus menunjukkan aktivitas hemolisin yang rendah pada agar Wagatsuma maka diduga hanya memiliki 1 gen tdh. Thermostable direct hemolysin (TDH) disebut sebagai faktor virulen pertama V. parahaemolyticus dan digunakan untuk mengidentifikasi galur patogenik V. parahaemolyticus (Cook et al. 2002; Okuda et al. 1997). V. parahaemolyticus patogenik umumnya terkait erat dengan KP+, akan tetapi Honda et al. (1987 dan 1988) melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolytic patogenik pada sampel klinis pasien KLB di Maldives pada tahun1985 yang ditandai dengan Fenomena Kanagawa negatif (KP-). Galur ini diketahui tidak memproduksi TDH tetapi memproduksi TDH-related hemolysin (TRH) yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Shirai et al. (1990) menyatakan bahwa 52 galur dari sampel klinis 8 pasien diare hanya memproduksi TRH sehingga disebut juga sebagai gen patogen V. parahaemolyticus. Gen trh umumnya dikaitkan dengan V. parahaemolyticus yang menunjukkan hasil urease yang positif sehingga sering dijadikan indikator untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik walaupun tidak mutlak (Suthienkul et al. 1995; Kaufman et al. 2002). Sekuen gen trh diketahui memiliki kemiripan dengan gen 35 tdh sebesar 68%. Gen trh diketahui lebih labil terhadap panas karena inaktivasi gen trh dapat dilakukan pada suhu 65°C selama 15 menit. Selain kemampuan memproduksi hemolisin, aktivitas urease diduga terkait dengan V. parahaemolyticus patogenik. Umumnya V. parahaemolyticus tidak memproduksi urease (Okuda et al. 1997; Osawa et al. 1996). Kelly dan Stroh (1989) melaporkan bahwa isolasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis di Canada menunjukkan semua sampel memberikan hasil urease positif (Uh+) dan hasil Kanagawa negatif. Produksi urease oleh V. parahaemolyticus pada umumnya dikaitkan dengan keberadaan faktor virulen TRH sehingga diduga dapat digunakan untuk identifikasi V. parahaemolytic patogenik yang memproduksi gen trh ( Osawa et al. 1996). Aktivitas urease dan TRH dilaporkan saling terkait karena adanya hubungan secara genetis antara gen urease (ureC) dan gen trh pada kromosom dari galur V. parahaemolyticus patogenik (Iida et al. 1997; Park et al. 2000). Namun demikian, gen urease tidak berpengaruh terhadap regulasi ekspresi gen tdh dan trh (Nakaguchi, 2003). Genom V. parahaemolyticus O3:K6 diketahui memiliki dua gen sistim sekresi tipe III (TTSS) yaitu TTSS1 dan TTSS2 yan terdapat pada kromoson I dan II. TTSS merupakan factor virulen penyebab diare yang dimiliki oleh bakteri seperti Shigella, Salmonella, dan enteropathogenic E. coli (EPEC). Secara umum mekanisme sistim sekresi tipe III (TTSS) ini terlibat dalam perpindahan protein efektor bakteri menuju sitoplasma sel inang dari bakteri tersebut (Makino et al. 2003). Hal ini diduga juga merupakan faktor virulen yang terdapat pada V. parahaemolyticus. Salah satu faktor virulen yang dimiliki bakteri Gram negatif termasuk V. parahaemolyticus adalah kemampuan menempel pada sel epitel inangnya. V. parahaemolyticus diketahui dapat memproduksi sel yang berasosiasi dengan hemaaglutinin (HA) pada saat menempel di mukosa usus (Yamamoto dan Yokota, 1989). Hemaaglutinin merupakan glikoprotein antigenik yang berperan dalam proses terikatnya virus pada sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan sel darah merah menggumpal. Selain itu pili dari V. parahaemolyticus diduga memiliki peranan dalam hal menempelnya reseptor epitel usus (Nakasone dan Iwanaga, 1990). 36 Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik Metode untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik telah banyak dikembangkan. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan dengan metode Kanagawa (KP+) yaitu dengan melihat aktivitas β hemolisis yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma. Metode ini memiliki kelemahan antara lain waktu preparasi dan analisis yang panjang, interpretasi hasil analisis yang kurang akurat, sensivitas rendah, dan belum tersedianya media analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen TRH. Kendala - kendala metode konvensional untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik tersebut mendorong pengembangan metode identifikasi dengan hasil yang lebih akurat, sensitifitas tinggi dan tepat serta waktu analisis yang pendek. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berbasis pendekatan molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR) telah banyak dilakukan. Metode PCR telah banyak dikembangkan untuk pengujian-pengujian mikrobiologi karena memiliki beberapa keunggulan diantaranya tingkat akurasi dan sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat sedikit. Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 dan memiliki tingkat sensitifitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Proses PCR memiliki 4 komponen utama yaitu cetakan DNA (DNA template), merupakan fragmen DNA yang akan dilipatgandakan; oligonukleatida primer yaitu sekuen oligonukletida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA; deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP; dan enzim DNA polimerase merupakan enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim yang digunakan adalah Taq DNA polimerase karena enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk tahap pemisahan rantai cetakan DNA (denaturasi) sehingga tidak dibutuhkan penambahan enzim pada tiap siklus PCR (Yuwono, 2006). Selain itu komponen 37 lain yang berperan pada proses PCR adalah senyawa buffer yang berperan dalam proses penempelan primer (annealing) dimana di dalam senyawa buffer terkandung 10-50 mM Tris-HCl (pH 8.3-8.8), KCl, MgCl2, dan komponen lain seperti gelatin dan deterjen non ionik seperti Tween 20 untuk mempertahankan kestabilan enzim Taq DNA polimerase. Metode PCR didasarkan atas 3 tahapan untuk reaksi sintesis DNA (pelipatgandaan fragmen DNA). Tahapan-tahapan pada proses PCR dimulai dari : a. Denaturasi; merupakan tahap awal PCR yang bertujuan untuk memisahkan rantai DNA yang berantai ganda menjadi rantai tunggal karena pembuatan copy DNA oleh enzim Taq DNA polimerase membutuhkan DNA berantai tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1-2 menit. b. Annealing (penempelan); merupakan tahap penempelan primer pada cetakan DNA yang telah berantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Annealing dilakukan pada suhu 55°C selama 1-2 menit. Suhu 55°C yang digunakan pada tahap annealing memiliki spesifitas reaksi amplifikasi yang lebih tinggi akan tetapi efisiensinya menurun. Amplifikasi lebih efisien pada suhu 37 °C tetapi umumnya terjadi penempelan primer di tempat yang salah. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang memiliki sekuan identik dengan salah satu rantai cetakan DNA pada ujung 5’fosfat dan oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’OH pada rantai cetakan DNA lain. c. Ekstensi; merupakan tahap pembentukan polimerisasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA. Setelah terbentuk polimerisasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72°C yang merupakan suhu optimum aktivitas Taq DNA polimerase selama 1-2 menit. DNA rantai ganda yang terbentuk antara rantai cetakan DNA dengan rantai DNA hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi kembali pada suhu 94°C untuk memperoleh rantai DNA tunggal yang baru dan berfungsi sebagai cetakan reaksi polimerasi selanjutnya. 38 Reaksi polimerasi ini diulangi kembali sebanyak 25-30 siklus dan pada akhir siklus akan diperoleh molekul DNA rantai ganda hasil polimerasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah cetakan DNA yang digunakan. Selanjutnya DNA hasil polimerasi di elektroforesis pada gel agarose dan divisualisasikan (Sambrook et al. 1989). Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus. Amplifikasi gen tdh dan trh dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik dari masing-masing gen penyandi tersebut. Salah satu sekuen nukleotida dan protokol PCR yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik adalah hasil penelitian dari Tada et al. (1992) yaitu untuk target gen tdh amplifikasi dilakukan pada ukuran amplikon 251 bp dan untuk gen trh pada ukuran amplikon 250 bp. Sekuen nukleotida baik gen tdh maupun gen trh bakteri V. parahaemolyticus secara keseluruhan adalah 570 bp. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sekuen nukleotida gen tdh V. parahaemolyticus memiliki keragaman yang relatif sedikit (kurang dari 33%) sedangkan gen trh memiliki sekuen yang lebih bervariasi (gen trh1 dan trh2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tada et al. (1992) menggunakan beberapa kombinasi pasangan primer untuk gen tdh dan trh serta optimasi protokol PCR terutama untuk penentuan suhu annealing (penempelan primer), diketahui bahwa pasangan primer untuk identifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus pada ukuran amplikon 251 bp dan 250 bp memberikan hasil dengan spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. Spesifisitas primer dikonfirmasi dengan analisis Southern blot hybridization menggunakan probe gen tdh dan trh. Sedangkan sensitifitas metode PCR dikofirmasi dengan menggunakan DNA genom V. parahaemolyticus WP1 dan AQ4037 yang merupakan galur V. parahaemolyticus penghasil gen tdh dan trh. Amplifikasi sekuen nukleotida untuk mengidentifikasi gen tdh dan trh bakteri V. parahaemolyticus dengan target gen tdh dan trh pada ukuran amplikon yang berbeda juga telah dilakukan. Bej et al. (1999) melaporkan identifikasi V. parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode multiplex PCR dimana sekuen primer gen tdh (L-tdh dan R-tdh) dan trh (L-trh dan R-trh) menggunakan 39 pasangan primer pada ukuran amplikon masing-masing 269 bp (Nishibuchi dan Kaper, 1985) dan 500bp (Honda dan Iida, 1993; Honda et al. 1991). Sementara itu, penelitian Rosec et al. (2009) menyebutkan bahwa untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen tdh menggunakan sekuen primer VP21 dan VP22 pada ukuran amplikon 400 bp dan gen trh dengan pasangan primer S1 dan S2 pada ukuran amplikon 460 bp. 40 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Survei dan pengambilan sampel dilakukan di tambak udang tradisional dan intensif yang berlokasi di pantai utara Jawa Barat. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak Pengujian V. dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Slipi, Jakarta Pusat. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Agustus 2010 hingga Maret 2011. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang berasal dari tambak tradisional dan insentif. Sebagai kontrol positif digunakan isolat V. parahaemolyticus penghasil TDH dan TRH yang merupakan koleksi Fakultas Farmasi Universitas Andalas-Padang yang berasal dari Kyoto University. Media untuk isolasi dan konfirmasi V. parahaemolyticus presumtif adalah media cair tryptic soy broth (TSB), alkaline saline pepton water (ASPW), media agar thiosulfate citrate bile salt sucrose (TCBS), tryptic soy agar (TSA), motility test medium (MTM), triple sugar iron (TSI), dan media untuk pewarnaan gram. Seluruh media, kecuali untuk pewarnaan gram dan TCBS ditambahkan NaCl sampai 3%. Media untuk konfirmasi V. parahaemolyticus menggunakan API 20E biochemical test kit. Bahan- bahan untuk isolasi DNA antara lain media cair tryptic soy broth (TSB) +2.5%NaCl, TE buffer, Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Cetyiltrimethyl Ammonium Bromide (CTAB), Natrium Chloride (NaCl), proteinase-K, sodium asetat, RNase, fenol, kloroform, isoamil alkohol, isopropanol, etanol 70%. Bahan- bahan untuk elektroforesis DNA meliputi bufer TBE, agarosa, dan sybr safe gold. Bahanbahan yang digunakan untuk amplifikasi gen tdh dan trh antara lain Go Taq Green Master Mix (Promega) yang terdiri dari Go Taq DNA polymerase, bufer 41 PCR, 3mM MgCl2, dan dNTP (masing-masing 0.4 mM dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), DNA/RNA free water, cetakan DNA, standard DNA ladder 100bp, dan primer oligonukleotida untuk gen tdh dan trh yang masing-masing memiliki ukuran amplikon 251 bp dan 250bp (Tada et al. 1992). Urutan basa primer untuk gen tdh dan trh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Primer oligonukleotida yang digunakan untuk deteksi gen tdh dan trh Target DNA Gen tdh Gen trh Ukuran amplikon 251bp 250bp Urutan basa (5’-3’) GGT ACT AAA TGG CTG ACA TC (forward) CCA CTA CCA CTC TCA TAT GC (reverse) GGC TCA AAA TGG TTA AGC G (forward) CAT TTC CGC TCT CAT ATG C (reverse) Tada et al. (1992) Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peti berinsulasi, termometer, botol plastik steril, plastik steril, mikroeppendorf 1.5 ml, 200µl, erlenmeyer 250 ml, 125 ml, timbangan digital, stomacher, vorteks, tabung reaksi bertutup, jarum ose, cawan petri, botol pengencer, refrigerator, refrigerator -20oC, sentrifius, inkubator 37°C, autoklaf, laminar air flow, mikropipet beserta tip ukuran 10, 100, 200, dan 1000µl, DNA/RNA/protein analyser, PCR system thermal cycler (Gene AMP PCR 9700), perangkat elektroforesa (Model B1A; owl separation system), gel documentation (EC 250-90; EC apparatus coorporation), dan UV transillumination (UVT 20 M; Herolab, BDA Digital Biometra). Perangkat lunak (software) yang digunakan adalah apiwebTM (Biomeireux) untuk menganalisis hasil uji biokimia dengan API 20E biochemical test kit. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yang meliputi (1) survei lapang lokasi tambak tradisional dan intensif, (2) pengambilan sampel udang dari tambak tradisional dan intensif hasil survei, (3) isolasi V. parahaemolyticus dari sampel udang, (4) karakterisasi sifat fenotipik berdasarkan identifikasi isolat secara biokimiawi, (5) identifikasi V. Parahaemolyticus patogenik dari isolat V. 42 parahaemolyticus berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh. Tahapan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian Survei Lapang Survei lapang dilakukan untuk untuk menentukan lokasi tambak udang yang berpotensi mengandung V. parahaemolyticus baik di tambak tradisional dan intensif. Pengumpulan data dan informasi pada survei lapang meliputi : a. Pengumpulan informasi lokasi dan jumlah tambak udang (tradisional dan intensif) yang masih beroperasi. b. Pengumpulan informasi waktu panen tambak udang sebagai penentuan pengambilan sampel udang. c. Pengumpulan informasi yang terkait dengan kondisi lingkungan tambak seperti salinitas, pH, suhu, luas areal tambak, waktu panen, dan data dukung lainnya . 43 Pengambilan dan Preparasi Sampel Udang Tambak Pemilihan tambak udang yang akan diambil sampelnya pada setiap daerah dilakukan secara acak (random). Jenis tambak yang akan diambil sampelnya adalah tambak dengan sistim tradisional dan intensif hasil survei lapang. Kriteria tambak yang akan diambil sampelnya adalah tambak siap panen dengan berat udang per ekor di atas 20g dengan masa budidaya di atas 2.5 bulan. Jumlah tambak disesuaikan dengan jumlah tambak yang siap panen dan tata letaknya dimana antara tambak tradisional dan intensif yang akan diambil sampelnya berjumlah sama. Setiap tambak akan diambil sampel udang sebanyak 500g dari beberapa titik yang cukup mewakili keberadaan udang dalam tambak. Pengambilan sampel udang pada setiap tambak dilakukan 2 kali yang merupakan ulangan pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis dengan plastik steril. Sampel lalu ditempatkan pada peti berinsulasi (cool box) yang berisi es curah dan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian. Isolasi Vibrio parahaemolyticus dari Udang Tambak Isolasi V. parahaemolyticus dilakukan berdasarkan metode Bacteriological Analytical Manual (BAM)-FDA (Kaysner dan DePaola, 2004). Tahap awal isolasi adalah tahap pengkayaan (enrichment) yaitu sebanyak 25g sampel udang (jika ukuran udang kecil, ambil seluruh bagian udang, jika ukuran udang besar ambil bagian daging termasuk insang dan usus) dimasukkan ke dalam 225ml ASPW kemudian dilakukan homogenisasi menggunakan stomacher pada kecepatan 260 rpm selama 1 menit. Selanjutnya homogenat diinkubasikan pada suhu 37±2°C selama 18-24 jam. Sebanyak 1 loopful homogenat dari media ASPW digoreskan ke media agar selektif TCBS dan diinkubasi pada suhu 37±2°C selama 24 jam. Koloni V. parahaemolyticus ditandai dengan ciri-ciri : koloni berbentuk bulat, diameter 2-3mm, koloni berwarna hijau atau hijau kebiruan pada bagian tengah serta tidak memfermentasi sukrosa. Sebanyak 2-3 koloni suspect digoreskan pada media agar miring TSA+2.5%NaCl dan diinkubasi pada suhu 44 37± 2°C selama 24 jam. Kultur yang tumbuh selanjutnya dijadikan sebagai inokula untuk pengujian biokimia pada tahap konfirmasi koloni tipikal. Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak Identifikasi V.parahaemolyticus dilakukan berdasarkan karakterisasi sifat fenotipik isolat secara biokimiawi. Identifikasi ini diawali dengan uji biokimia pendahuluan merupakan uji presumtif V. parahaemolyticus. Pengujian ini meliputi pewarnaan gram, uji motilitas, uji oksidase, dan pertumbuhan pada media agar triple sugar iron (TSI). Hasil uji biokimia pendahuluan selanjutnya dilakukan uji biokimia lanjutan dengan API 20E biochemical test kit. Uji biokimia pendahuluan (Presumtif) 1. Pewarnaan Gram Pewarnaan Gram merupakan uji awal untuk identifikasi bakteri. Tahapan ini diawali dengan fiksasi inokulum V. parahaemolyticus yang berasal dari TSA+2.5%NaCl. Preparat yang sudah kering kemudian ditambahkan pewarna crystal violet-ammonium oxalat dan dilakukan pencucian pada air mengalir serrta dikeringkan. Preparat ditambahkan iodin selama 1 menit dan dilakukan pencucian. Tahap berikutnya adalah dekolorisasi dengan penambahan etanol 95% pada preparat untuk menghilangkan warna biru hilang (± 30 detik). Tahap akhir preparat diberikan safranin, pencucian dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. V. parahaemolyticus merupakan gram negatif yang ditandai dengan warna merah muda, berbentuk batang (curve atau straight), dan membentuk koloni sel tunggal. 2. Uji moltilitas Uji motilitas V. parahaemolyticus dilakukan dengan cara inokulum dari TSA+2.5%NaCl diinokulasikan ke dalam media motility test medium (MTM) dengan kedalaman 2/3 dari ketinggian media MTM dan diinkubasikan pada suhu 37±2°C selama 18-24 jam. Reaksi positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan bakteri yang berdifusi secara sirkular dari garis tusukan. 45 Uji oksidase Uji oksidase dilakukan dengan cara sebanyak 1ose inokulum dari TSA+2.5%NaCl diinokulasikan ke cawan petri yang mengandung media TSA+2.5%NaCl dan diinkubasi pada suhu 37±2°C selama 18-24 jam. Selanjutnya koloni diberikan 2-3 tetes pereaksi oksidase dan dilakukan pengamatan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua pada koloni. 3. Pertumbuhan pada media agar triple sugar iron (TSI) Koloni dari media TSA+2.5%NaCl diinokulasikan pada media agar triple sugar iron (TSI) dengan cara digoreskan pada agar miring dan ditusukkan pada agar tegak kemudian diinkubasikan pada suhu 37±2°C selama 18-24 jam. Pertumbuhan V. parahaemolyticus akan menghasilkan warna merah (alkalin) pada agar miring dan asam (warna kuning) pada agar tegak serta tidak menghasilkan gas dan H2S. Uji biokimia lanjutan (Konfirmasi) Koloni yang menunjukkan karakter biokimia sesuai dengan uji biokimia pendahuluan (presumtif), selanjutnya dilakukan uji biokimia lanjutan dengan API 20E biochemical test kit. Pengujian ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap produksi metabolisme isolat pada media uji yang ditandai dengan perubahan warna. Hasil pengamatan kemudian dibaca menggunakan tabel pembacaan (reading table) dan identifikasi bakteri berdasarkan Analytical Profile Index (API) atau menggunakan identification software. Konfirmasi V. parahaemolyticus dengan API 20E biochemical test kit diawali dengan tahap preparasi suspensi isolat yaitu dengan cara homogenisasi isolat dari media TSA+2.5% NaCl yang telah diinkubasi pada 37± 2°C; 24 jam ke dalam larutan NaCl 0.85%. Selanjutnya suspensi isolat diinokulasikan ke dalam masing-masing sumur media uji yang berisi reagen-reagen dalam bentuk kering. Inokulasi suspensi isolat pada masing-masing media uji dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : 46 • Suspensi isolat diinokulasikan penuh ke dalam microtube media uji ONPG, TDA, IND dan gula-gula pereduksi. • Suspensi isolat diinokulasikan di bawah garis tes microtube pada media uji LDC, ODC, ADH, H2S, dan URE dan ditambahkan mineral oil. • Suspensi isolat diinokulasikan penuh ke dalam microtube dan sumur pada media uji CIT, VP, dan GEL. Media uji selanjutnya diinkubasikan pada suhu 37 ± 2°C selama 18-24 jam. Hasil metabolisme ditandai dengan adanya perubahan warna pada masingmasing media uji, dimana untuk media uji indol, VP dan TDA masing-masing dilakukan penambahan reagen yaitu : • Untuk pengujian indol ditambahkan 1 tetes reagen kovac’s dan pembacaan dilakukan beberapa menit setelah penambahan reagen. • Untuk pengujian VP ditambahkan masing-masing 1 tetes reagen barritt’s A dan B dan pembacaan dilakukan maksimal 10 menit setelah penambahan reagen. • Untuk pengujian TDA ditambahkan 1 tetes reagen FeCl3. Seluruh hasil reaksi metabolisme kemudian dilakukan pembacaan untuk penentuan reaksi positif dan negatif. Hasil reaksi dikelompokkan pada tiap 3 reaksi dengan nilai pada tiap reaksi positif adalah 1, 2, dan 4 sehingga dihasilkan 7 digit angka dan selanjutnya dilakukan pembacaan pada Analytical Profile Index (API) atau menggunakan identification software. Hasil uji biochemical test kit dicatat dan dilanjutkan dengan identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh menggunakan metode PCR Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari Udang Tambak 1. Isolasi DNA genom bakteri (Ausubel et al. 1987; Brown, 1992) Isolat V. parahaemolyticus dari TSA+2.5%NaCl diinokulasikan ke dalam 5ml TSB+2.5%NaCl dan diinkubasikan di dalam shaker waterbath dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 37±2°C; 18-24 jam. Kultur sel dari TSB+2.5%NaCl selanjutnya dilakukan isolasi DNA genom. Sebanyak 3ml sel 47 bakteri yang kompeten (OD600 = 0.4-0.5) dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 13500 rpm selama 5 menit. Pelet yang diperoleh kemudian diresuspensikan dengan 250µl bufer TE menggunakan vorteks. Selanjutnya ditambahkan 50µl SDS 10% dan dihomogenisasi perlahan-lahan dengan cara membalikkan tabung beberapa kali sampai suspensi terlihat jernih. Sejumlah 3µl proteinase-K (20mg/ml) ditambahkan dan diinkubasi pada 37°C selama 1 jam. Setelah 1 jam, ditambahkan 10µl RNase, 80µl CTAB/NaCl (10% CTAB dalam 0.7 M NaCl), dan 100µl NaCl 5M, kemudian diinkubasi pada 65°C selama 10-20 menit. Campuran fenol : kloroform : isoamilalkohol (25:24:1) ditambahkan ke dalam volume campuran dengan rasio 1:1 dan dihomogenisasi menggunakan vorteks selama 2 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi pada 13500 rpm selama 10 menit untuk memisahkan fase campuran. Fase cairan (top layer) dipindahkan ke tabung mikroeppendorf 1.5 ml yang baru, lalu ditambahkan dengan kloroform dengan volume yang sama. Pencampuran dilakukan dengan membolak-balikkan tabung beberapa kali, kemudian disentrifugasi kembali pada 13500 rpm selama 10 menit hingga diperoleh kembali fase terpisah. Fase cairan (top layer) dipindahkan kembali ke tabung mikroeppendorf 1.5 ml yang baru. Selanjutnya ditambahkan 0.1 volume sodium asetat 3M dan 0.6 volume isopropanol dan dilakukan pencampuran dengan membolak-balikkan tabung beberapa kali. Tabung diinkubasi pada -20°C selama 1 jam atau pada -80°C selama 15 menit, selanjutnya presipitasi DNA dilakukan dengan sentrifugasi pada 13500 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, kemudian ditambahkan 500µl etanol (70%) dan tabung dibolak-balikkan beberapa kali. Setelah itu dilakukan sentrifugasi kembali pada 13500 rpm selama 10 menit. Pelet DNA dikeringkan dengan meletakkannya dalam kondisi tabung terbuka pada laminar air flow selama 15 menit, kemudian diresuspensi dalam 100µl TE atau akuades steril. Untuk penyimpanan jangka panjang, larutan DNA disimpan pada suhu -20°C. Verifikasi DNA genom bakteri dilakukan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 2% (TBE1X) pada 100V selama 45 menit. DNA merupakan molekul bermuatan negatif sehingga bila diletakkan di medan listrik maka DNA akan bermigrasi dari kutub negatif ke kutub positif. Kecepatan pergerakan DNA tergantung pada ukuran molekul DNA, kerapatan gel dan arus 48 listrik yang diberikan untuk memigrasikan molekul DNA. Sebelum dilakukan elektroforesis, suspensi DNA dicampur dengan penyangga muatan berwarna (loading dye) yang berfungsi untuk menambah densitas sehingga DNA berada di bagian bawah sumur. Pewarna (loading dye) ditambahkan untuk memudahkan peletakan sampel DNA ke dalam sumur. Loading dye juga berfungsi agar DNA dapat bergerak ke arah anoda dengan laju yang diperkirakan sehingga dapat sebagai tanda migrasi DNA (Brown, 1992). Visualisasi DNA dilakukan dengan pewarnaan DNA pada gel agarosa yang ditambahkan pewarna sybr safe gold. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan sybr safe gold selama 30 menit dan selanjutnya gel diamati di bawah sinar ultraviolet dengan menggunakan UV transillumination. Sybr safe gold dapat berinteraksi diantara pasangan basa pada DNA dan menangkap sinar ultraviolet sehingga pendaran dari ultraviolet dapat terlihat. Pita DNA dapat dilihat karena gel disinari oleh sinar ultraviolet pada UV transiluminator (Brown, 1992). DNA genom selanjutnya diukur tingkat kemurniannya dan dikuantifikasi untuk mengetahui konsentrasi mengunakan DNA/RNA/protein Analyser. Tingkat kemurnian DNA dihitung berdasarkan rasio absorbansi yang diukur pada panjang gelombang 260nm dan 280nm dimana tingkat kemurnian DNA dianggap cukup baik jika memiliki rentang nilai rasio 1.8-2.0. Konsentrasi DNA genom dihitung berdasarkan rumus : [DNA] = OD 260 X 50 X FP; dimana FP adalah faktor pengenceran (Ausubel et al. 1987). 2. Amplifikasi gen tdh dan trh (Tada et al. 1992) Untuk mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus digunakan primer nukleotida spesifik dengan ukuran amplikon 251bp untuk gen tdh dan 250bp untuk gen trh (Tada et al. 1992). Amplifikasi dengan PCR dilakukan menggunakan 25 µl campuran reaktan yang masing-masing mengandung masingmasing 1µl primer forward dan reverse (200nM), 12.5 µl Go Taq Green Master Mix yang terdiri dari yang terdiri dari Go Taq DNA polymerase, bufer PCR, 3 mMMgCl2, dan dNTP (masing-masing 0.4 mM dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), DNA/RNA free water, dan cetakan DNA yang merupakan hasil isolasi DNA. 49 Volume cetakan DNA bervariasi tergantung pada konsentrasi DNA yang diperoleh. Protokol PCR yang digunakan adalah pre-PCR (94°C, 5 menit), denaturasi (94°C, 1 menit), penempelan primer (55°C, 1 menit), ekstensi atau pemanjangan primer (72°C, 1 menit) dan post-PCR (72°C, 7 menit) dengan siklus sebanyak 35 kali. Sebanyak 6-7µl hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 2% (w/v), dengan menggunakan bufer TBE1X pada 100V selama 45 menit. Seluruh pengujian ini menggunakan kontrol positif yaitu ATCC43996 untuk gen penyandi tdh dan AQ4037 untuk gen penyandi trh. Selain kontrol positif digunakan juga kontrol negatif yaitu campuran reaktan tanpa penambahan cetakan DNA sampel. Penggunaan kontrol negatif dalam analisis identifikasi V. parahaemolyticus patogenik bertujuan untuk melihat ada tidaknya kontaminasi pada produk PCR. Selain tanpa penambahan cetakan DNA, kontrol negatif juga dapat berupa campuran reaktan ditambah dengan cetakan DNA V. parahaemolyticus yang bukan penhasil gen tdh dan trh. 50 HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Lapang Survei lapang merupakan tahap awal penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi terkait dengan potensi tambak udang di sepanjang pantai utara Jawa Barat sehingga dapat dipilih sebagai lokasi yang mewakili pengambilan sampel udang. Lokasi yang dipilih pada survei lapang adalah Kabupaten Karawang, Cirebon, Indramayu karena memiliki usaha budidaya tambak udang yang cukup besar baik sistim tradisional maupun intensif. Jenis udang yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah udang vaname (Litopenaeus vannamei) karena sedang banyak dibudidayakan. Sampel udang yang diambil pada survei lapang dilakukan analisis presumtif V. parahaemolyticus dan hasil analisis ini selanjutnya dijadikan sebagai dasar penentuan lokasi pengambilan sampel udang pada penelitian utama. Berdasarkan analisis presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang vaname dari ketiga lokasi, menunjukkan hasil sebagai berikut (Tabel 8): a. Lokasi Cirebon, ditemukan V. parahaemolyticus positif pada sampel udang di tambak tradisional. Sampel udang di tambak intensif tidak diperoleh karena udang baru ditebar sehingga ukuran udang belum cukup untuk di ambil sebagai sampel. b. Lokasi Indramayu, ditemukan V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak semi intensif. Pengambilan sampel di tambak tradisional tidak dilakukan karena udang baru ditebar. c. Lokasi Karawang, ditemukan V. parahaemolyticus pada sampel udang baik di tambak tradisional (polikultur) maupun tambak intensif. Jumlah tambak yang beroperasi di lokasi in baik tradisional maupun intensif sangat terbatas. 51 Tabel 8. Hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari udang vaname yang diambil dari 3 lokasi survei No Lokasi 1 2 Cirebon Indramayu 3 Karawang Hasil analisis presumtif Vp Tradisional Intensif + tidak diambil sampel tidak diambil sampel + + + (polikurtur dengan bandeng) Berdasarkan hasil analisis presumtif V. parahaemolyticus dari sampel udang di atas dan hasil wawancara dengan petani tambak maupun penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat seputar produksi, jumlah tambak udang yang masih aktif, dan perkiraan waktu panen, dari ketiga lokasi, dapat disimpulkan bahwa udang di seluruh lokasi mungkin mengandung V. parahaemolyticus. Namun demikian dari ketiga lokasi, Kabupaten Indramayu memiliki usaha budidaya tambak terbesar dan terluas sehingga dianggap mewakili dan dipilih menjadi lokasi pengambilan sampel udang baik untuk sistim tradisional maupun intensif. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah yang memiliki usaha budidaya tambak udang cukup besar di daerah Jawa Barat baik tradisional dan intensif. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, sampai dengan Desember 2010 total produksi budidaya udang vaname adalah18.000 ton atau berkisar Rp 500 milyar. Usaha budidaya udang vaname ini sedang digalakkan oleh Kabupaten Indramayu baik secara tradisional maupun intensif. Pengambilan sampel udang segar dilakukan di tambak tradisional dan intensif. Udang yang diambil sebagai sampel adalah udang siap panen dengan umur pemeliharaan berkisar di atas 2.5 bulan. Berdasarkan ukuran udang, pada tambak tradisional berkisar 90-80 ekor/kg dan 80-70 ekor/kg pada tambak intensif. Periode pengambilan sampel disesuaikan dengan waktu panen tambak yang diperoleh berdasarkan informasi penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu yang ditempatkan di kecamatan. Pengambilan sampel udang dilakukan pada bulan Agustus dan Nopember dimana untuk tambak 52 tradisional berlokasi di Kecamatan Cantigi yang berasal dari 4 desa yaitu Cangkring (5 petak tambak), Cantigi Kulon (2 petak tambak), Cantigi Wetan (1 petak tambak) dan Lamaran Tarung (8 petak tambak). Sementara itu untuk tambak intensif, seluruh sampel berasal dari satu areal budidaya tambak yang berlokasi di Kecamatan Patrol. Sampel udang berasal dari 16 petak tambak baik di tambak tradisional maupun intensif dan selama pengambilan sampel dilakukan pengumpulan data dan pengamatan terhadap lingkungan tambak (Tabel 9). Pengambilan sampel udang sangat dipengaruhi waktu panen sehingga tidak dapat dilakukan serentak pada tambak tradisional maupun intensif. Tambak dengan sistim tradisional pengambilan sampel tidak dapat dilakukan pada satu petani tambak karena umumnya jumlah tambak udang tidak banyak sehingga harus diambil dari beberapa lokasi dalam satu kecamatan. Umumnya luas areal tambak tradisional tidak seragam dan luas. Tambak tradisional tidak dilengkapi kincir air sebagai sistim aerasi dan sumber air tambak diambil langsung dari sungai yang bersifat payau dan selama pemeliharaan udang sampai panen tidak ada pergantian air (Gambar 3). Tabel 9. Data pengamatan dan pengukuran parameter lingkungan di tambak tradisional dan intensif di Kabupaten Indramayu Parameter Tambak Tradisional Tambak Intensif Suhu (°C) 30-31 30-31 Salinitas (ppt) 10-15 26-30 7-8 7.5-8 - 6 kincir/petak 8-10 90-120 5000-10.0000 600 m2 pH Sistim aerasi 2 Padat tebar (ekor/ m ) Luas petak tambak (m2) Salinitas air tambak tradisional berada pada kisaran 10-15ppt dan suhu air berkisar 30-31°C pada saat pengambilan sampel. Berdasarkan pengukuran salinitas terlihat ada perbedaan salinitas antara tambak tradisional dan intensif. Umumnya petani tambak tradisional tidak melakukan pengukuran terhadap salinitas air tambak. Rendahnya salinitas di tambak tradisional diduga karena 53 pada saat pengambilan sampel udang curah hujan cukup tinggi sehingga terjadi penurunan salinitas di tambak tradisional. Hal ini berbeda kondisinya dengan tambak intensif dimana selalu dilakukan pengontrolan terhadap parameter lingkungan tambak seperti suhu, salinitas, pH, dan unsur hara. Sementara itu, dalam hal padat tebar benih udang umumnya petani tambak tradisional tidak berani menebar benih udang dalam jumlah besar dengan tujuan menghindari resiko kerugian yang besar jika selama pemeliharaan tambak terjadi kematian udang sebelum masa panen. Hal ini juga terkait dengan besarnya modal yang dimiliki oleh petani tambak tradisional. Sedangkan pada tambak intensif, padat tebar umumnya mengacu pada pedoman Good Aquaculture Practises (GAP) yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan tambak selama pemeliharaan. Gambar 3. Tambak udang sistim tradisional Beberapa petani tambak memberikan pakan alami pada udang sementara sebagian petani tambak mengkombinasikan pakan alami dengan pakan komersil. Pakan alami dibuat dengan cara mengeringkan ikan-ikan rucah dan selanjutnya digiling dan dibentuk seperti pelet. Hasil pengamatan di tambak tradisional ditempatkan ganggang atau ikan seperti bandeng serta kerang-kerangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani tambak penempatan ganggang dan ikan bertujuan untuk membersihkan tambak dari pengotor dan sisa-sisa pakan. Ikan dan kerang yang berada di dalam tambak sebagian memang sengaja 54 ditambahkan dan sebagian memang sudah ada sebelum tambak ditanami udang. Keberadaan biota-biota tersebut di tambak diduga masuk pada saat air sungai dialirkan ke dalam petak tambak. Tambak tradisional tidak menerapkan sistim penggantian air selama pemeliharaan udang sehingga kandungan bahan organik maupun anorganik yang merupakan sisa pakan, feses udang, nutrien alami tambak dan biota perairan seperti fitoplankton dan zooplankton serta cemaran lainnya menumpuk pada dasar tambak. Hasil pengamatan di lapangan selama pengambilan sampel di tambak intensif setiap petakan ditempatkan kincir air sebanyak 6 kincir air yang berputar secara kontiniu (Gambar 4). Lokasi tambak berada tepat di sebelah pantai dan sumber air berasal dari air tanah yang dicampur dengan air laut. Air laut diambil langsung dari laut dengan cara mengalirkannya melalui pipa yang dipasang sejauh sekitar 2km dari pantai. Sebelum masuk ke tambak, air laut ditampung di bak penampungan dan disaring terlebih dahulu dengan penyaring ukuran besar (kain kasa) dan ukuran kecil (planktonet). Bak penampung ditempatkan ikan nila dan bandeng yang bertujuan untuk membantu membersihkan air dari pengotor. Salinitas dan pH air tambak diukur setiap hari sedangkan unsur hara diukur setiap minggu untuk menjaga kualitas air tambak. Tambak intensif dilengkapi dengan sistim aliran pembuangan air. Gambar 4. Tambak udang sistim intensif 55 Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak Isolasi V parahaemolyticus diawali dengan tahap pengayaan menggunakan media alkaline saline peptone water (ASPW) yaitu media cair alkaline peptone water (APW)+2.5%NaCl. ASPW merupakan media pengayaan V. parahaemolyticus karena memiliki nutrien, kandungan garam dan pH yang optimum bagi pertumbuhan bakteri tersebut. ASPW adalah media yang terdiri dari pepton yang berfungsi untuk mensuplai nitrogen, asam amino esensial untuk pertumbuhan bakteri. Sementara itu garam (NaCl) digunakan sebagai suplai elektrolit esensial untuk sistim transportasi dan keseimbangan osmosis serta berguna bagi pertumbuhan V. parahaemolyticus. ASPW merupakan media dengan pH yang bersifat basa yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain selain Vibrio. Pada tahap pengayaan diperoleh hasil bahwa seluruh sampel (masingmasing tambak berjumlah 32 sampel) baik tambak tradisional maupun intesif menunjukkan pertumbuhan pada media tersebut yang ditandai dengan tingkat kekeruhan pada media ASPW. Selanjutnya pada tahap isolasi V. parahaemolyticus, digunakan media agar selektif thiosulfate citrate bile salt sucrose (TCBS). Media agar TCBS merupakan media selektif dan diferensial untuk isolasi dan kultivasi bakteri Vibrio seperti V. cholerae dan V. parahaemolyticus dimana media ini terdiri dari garam empedu yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri non target, natrium klorida (NaCl) merupakan media optimal bagi pertumbuhan bakteri halofilik, sodium tiosulfat yang merupakan sumber sulfur dan ferric citrate digunakan untuk mendeteksi produksi H2S. Media agar TCBS merupakan media selektif yang dapat membedakan Vibrio spp. ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok Vibrio spp yang memfermentasi sukrosa ditandai dengan koloni berwarna kuning dan kelompok yang tidak memfermentasi sukrosa ditandai dengan koloni berwarna hijau. Isolat–isolat yang dinyatakan sebagai V. parahaemolyticus memiliki ciri-ciri koloni tipikal V. parahaemolyticus pada media agar TCBS yaitu koloni bulat berwarna hijau atau hijau kebiruan pada pusat koloni dengan diameter 2-3mm dan tidak memfermentasi sukrosa (Gambar 5). Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada 56 sampel udang tambak tradisional menunjukkan adanya pertumbuhan V. parahaemolyticus pada semua sampel. Pertumbuhan koloni tipikal V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak intensif di media TCBS diperoleh hasil sebanyak 28 sampel (n=32), sedangkan 4 sampel menunjukkan hasil negatif yang ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni yang berbeda dengan ciri-ciri V. parahaemolyticus seperti adanya pertumbuhan koloni berwarna kuning dan kemampuan koloni tersebut memfermentasi sukrosa, terlihat dari perubahan warna hijau menjadi kuning pada media TCBS. Sampel-sampel dengan hasil negatif pada TCBS tidak dilakukan pengujian lebih lanjut. Hasil pertumbuhan V. parahaemolyticus presumtif pada media pengayaan (ASPW) dan media selektif (TCBS) pada sampel udang tambak tradisional dan intensif dapat dilihat pada Tabel 10 (Lampiran 1dan 2). Gambar 5. V. parahaemolyticus pada TCBS Tabel 10. Hasil isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak Jenis tambak Jumlah sampel Jumlah sampel positif pada tahap isolasi ASPW TCBS Tradisional 32 32 32 Intensif 32 32 28 57 Identifikasi V. parahaemolyticus pada Udang Tambak Identifikasi V. parahaemolyticus pada udang tambak dilakukan dengan melihat karakter sifat fenotipik bakteri tersebut melalui pengamatan hasil reaksi biokimiawi. Pengamatan sifat fenotipik V. parahaemolyticus terbagi atas dua pengujian yaitu pengujian biokimia pendahuluan yang meliputi pewarnaan gram, uji motilitas, oksidase, dan pertumbuhan di media agar TSI. Pengujian biokimia pendahuluan ini merupakan identifikasi presumtif V. parahaemolyticus. Isolat V. parahaemolyticus positif dari media TCBS kemudian ditumbuhkan pada media agar miring TSA+2.5% NaCl pada suhu 37°C selama 18-24 jam yang selanjutnya digunakan untuk pengujian biokimia pendahuluan. Hasil identifikasi presumtif V. parahaemolyticus sampel udang tambak tradisional dan intensif disajikan pada Tabel 11 dan 12. Pengujian motilitas V. parahaemolyticus ditandai dengan adanya difusi melingkar di sepanjang pertumbuhan bakteri pada media agar MTM dan hasil yang positif menunjukkan adanya V. parahaemolyticus pada sampel. Pengujian V. parahaemolyticus pada media agar TSI ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni dan perubahan warna pada media agar yaitu warna merah pada agar miring (bersifat alkalin) dan warna kuning pada agar tegak (bersifat asam) dan tidak memproduksi H2S atau gas. Sementara itu hasil uji oksidase positif V. parahaemolyticus, ditandai dengan perubahan warna koloni menjadi ungu yang disebabkan oleh adanya presipitasi pereaksi oksidase oleh koloni karena bakteri ini bersifat oksidasi positif. Pengujian biokimia pendahuluan menggunakan 3 parameter uji akan dikatakan positif jika semua parameter uji menunjukkan hasil positif dan dikatakan negatif jika salah satu parameter uji menunjukkan hasil negatif. Identifikasi presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional menunjukkan hasil sebanyak 23 isolat (n=32) positif, sedangkan 9 isolat memberikan hasil negatif. Identifikasi presumtif V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak intensif menunjukkan sebanyak 18 isolat (n=28) dan 10 isolat negatif. Berdasarkan hasil identifikasi presumtif V. parahaemolyticus, diketahui frekuensi isolasi sampel udang di tambak tradisional lebih tinggi 58 dibandingkan sampel udang di tambak intensif dengan persentase berturut-turut sebesar 71.9%, dan 43.8% (n=32). Tabel 11. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak tradisional di Kecamatan Cantigi No Tambak Sampel ke- Kode sampel 1 Cangkring 1 Tr A1 Tr A2 Tr B1 Tr B2 Tr C1 Tr C2 Tr D1 Tr D2 Tr E1 Tr E2 Tr F1 Tr F2 Tr G1 Tr G2 Tr H1 Tr H2 Tr I1 Tr I2 Tr J1 Tr J2 Tr K1 Tr K2 Tr L1 Tr L2 Tr M1 Tr M2 Tr N1 Tr N2 Tr O1 Tr O2 Tr P1 Tr P2 2 3 4 5 2 Cantigi Kulon 6 3 Cantigi Wetan 7 8 4 Lamaran Tarung 9 10 11 12 13 14 15 16 Uji biokimia pendahuluan MTM + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + TSI + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Oksidase + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Total V. parahaemolyticus presumtif (+) : hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif : Vp presumtif negatif (jika salah satu hasil uji biokimia pendahuluan negatif) Jumlah isolat Vp presumtif 7 1 3 12 23 (71.9%) 59 Tabel 12. Identifikasi V. parahaemolyticus presumtif pada sampel udang tambak intensif di Kecamatan Patrol Sampel ke- Kode Sampel 1 Int A1 Int A2 Int B1 Int B2 Int C1 Int C2 Int D1 Int D2 Int E1 Int E2 Int F1 Int F2 Int G1 Int G2 Int H1 Int H2 Int I1 Int I1 Int J1 Int J2 Int K1 Int K2 Int L1 Int L2 Int M1 Int M2 Int N1 Int N2 Int O1 Int O2 Int P1 Int P2 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Uji biokimia pendahuluan MTM TSI Oksidase + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + - + + + + + + + + + + + + + Total V. parahaemolyticus presumtif 18 (43.8%) (+) : hasil uji positif; (-) : hasil uji negatif : tidak dilakukan pengujian lebih lanjut : Vp presumtif negatif ( jika salah satu hasil uji biokimia pendahuluan negatif ) 60 Hasil pewarnaan Gram dan pengamatan morfologi menggunakan mikroskop perbesaran 1000X menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus memiliki sel-sel berwarna merah muda yang merupakan ciri bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan membentuk sel tunggal (Gambar 6). Isolat yang diduga sebagai bakteri V. parahaemolyticus pada uji biokimia pendahuluan selanjutnya dilakukan pengujian biokimia lanjutan dengan menggunakan perangkat API 20E biochemical test kit. Gambar 6. Sel bakteri V. parahaemolyticus yang diamati dengan mikroskop perbesaran 1000X API 20E biochemical test merupakan perangkat identifikasi bakteri Gram negatif melalui pengamatan terhadap produksi metabolisme yang ditandai dengan perubahan warna pada media uji. Konfirmasi isolat V. parahaemolyticus menggunakan API 20E20E biochemical test kit dilakukan dengan cara melihat reaksi biokimiawi yang terdiri dari 20 parameter uji. Hasil uji reaksi biokimiawi tersebut selanjutnya dianalisis dengan program apiwebTM untuk mengidentifikasi spesies dan mengetahui tingkat kemiripan (Lampiran 3). Untuk melihat persentase kemiripan hasil uji dengan bakteri V. parahaemolyticus, dalam analisis data ditambahkan data hasil uji oksidasi dengan hasil positif karena V. parahaemolyticus bersifat oksidasi positif. Konfirmasi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus presumtif berdasarkan sifat-sifat biokimiawi terhadap beberapa parameter uji memberikan hasil reaksi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. 61 Tabel 13. Hasil uji reaksi biokimiawi dari isolat-isolat V. parahaemolyticus presumtif sampel udang tambak dengan API 20E Uji Β-galactosidase (ONPG) Arginine dihydrolase Lysine decarboxylase Ornithine decarboxylase Penggunaan Citrate Produksi H2S Urease Tryptophane DeAminase Indole production Voges Proskauer (produksi acetoin) Gelatinase FERMENTASI : - Glucose - Mannitol - Inositol - Sorbitol - Rhamnose - Saccharose - Melibiose - Amygladin - Arabinose Oksidase 1 2 dan 3 V p1 Reaksi biokimiawi Tr A12 Int C13 + + + - + + + + - + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + Reaksi biokimiawi yang positif V. parahaemolyticus dengan API 20E Reaksi biokimiawi yang positif V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak tradisional dan intensif Konfirmasi berdasarkan hasil uji biokimiawi pada sampel udang tambak tradisional menunjukkan bahwa sebanyak 16 isolat (n=32) teridentifikasi sebagai V. parahaemolyticus dengan tingkat kemiripan (%ID) berada pada kisaran 92.899.9% (Tabel 14). Jika dibedakan berdasarkan lokasi pengambilan sampel udang di tambak tradisional maka diperoleh hasil V. parahaemolyticus positif berkisar 30-69% (Tabel 15). Identifikasi V. parahaemolyticus pada sampel udang tambak intensif diperoleh hasil sebanyak 6 isolat (n=32) terkonfirmasi sebagai V. parahaemolyticus dengan persentase tingkat kemiripan berkisar 99.6-99.9% (Tabel 16). Berdasarkan konfirmasi V. parahaemolyticus dengan API 20E biochemical test kit menunjukkan bahwa udang tambak tradisional memiliki frekuensi isolasi lebih tinggi dibandingkan tambak intensif. 62 Tabel 14. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dengan API20E No Lokasi tambak Kode sampel 1 Cangkring Tr A1 Tr A2 Tr B1 Tr B2 Tr C1 Tr C2 Tr D1 Tr D2 Tr E1 Tr E2 Tr F1 Tr F2 Tr G1 Tr G2 Tr H1 Tr H2 Tr I1 Tr I2 Tr J1 Tr J2 Tr K1 Tr K2 Tr L1 Tr L2 Tr M1 Tr M2 Tr N1 Tr N2 Tr O1 Tr O2 Tr P1 Tr P2 2 Cantigi Kulon 3 Cantigi Wetan 4 Lamaran Tarung Total V. parahaemolyticus (+) Konfirmasi dengan API 20E (%ID) + (99.9) + (99.8) + (99.9) + (92.8) + (99.9) + (99.6) + (92.8) + (92.8) + (99.9) + (99.9) + (99.9) + (99.9) + (92.8) + (99.9) + (99.9) + (99.9) 16 isolat (n=32; 50%) : hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif : tidak dilakukan pengujian lebih lanjut V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang secara alami terdapat di perairan laut, pantai, muara sungai maupun budidaya tambak. Keberadaan V. parahaemolyticus pada lingkungan perairan laut yang umumnya diisolasi dari 63 air laut, sedimen, maupun berbagai jenis produk perikanan, telah banyak ditemukan seperti di Indonsia, Jepang, Korea, Thailand, India, bahkan negaranegara Eropa dan Amerika. V. parahaemolyticus merupakan salah satu jenis Vibrio yang mendapat perhatian pada usaha budidaya udang karena bersifat patogen pada komoditas udang tersebut. Penggunaan air laut pada lahan tambak udang memberikan peluang besar bagi bakteri ini ada pada komoditas udang tambak. Selain patogen pada udang, V. parahaemolyticus bersifat patogen pada manusia karena dapat menyebabkan penyakit melalui konsumsi pangan. Kasus keracunan pangan ini telah banyak terjadi di Jepang, Taiwan, Cina, Vietnam, Thailand, India bahkan negara- negara di Amerika dan Eropa. Tabel 15. Hasil identifikasi Vp pada sampel udang di tambak tradisional Lokasi tambak Cangkring Cantigi Kulon Cantigi Wetan Lamaran Tarung Jumlah sampel 10 2 4 16 Jumlah isolat positif dengan API 20E 3 1 1 11 berdasarkan lokasi % Vp terkonfirmasi secara biokimia 30 50 25 69 Keberadaan V. parahaemolyticus pada suatu lingkungan perairan termasuk tambak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan perairan, dimana pada saat kondisi lingkungan mendukung maka akan meningkatkan pertumbuhan V. parahaemolyticus . Tambak udang merupakan lingkungan perairan payau yang bersifat cukup kompleks sehingga dapat menyebabkan stres pada biota di dalamnya dibandingkan dengan lingkungan estuaria atau lingkungan perairan lainnya (Direkbusararam et al. 1998). Hal ini terutama disebabkan oleh kandungan bahan-bahan organik yang tinggi dan fluktuasi oksigen terlarut yang dapat memberikan dampak terhadap komposisi komunitas bakteri alami perairan seperti Vibrio spp. Peningkatan suhu perairan akan memberikan dampak terhadap jumlah dan jenis Vibrio spp (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003). Peningkatan salinitas perairan juga akan memberikan peluang besar terhadap pertumbuhan Vibrio spp termasuk V. parahaemolyticus karena merupakan bakteri halofilik (William dan LaRock, 1985). 64 Air merupakan faktor utama dalam usaha budidaya tambak udang. Budidaya tambak udang membutuhkan air payau , dimana sumber air tersebut merupakan kombibasi air asin dan air tawar. Air laut sebagai salah satu sumber air di tambak merupakan habitat alami bakteri V. parahaemolyticus. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, kekeruhan, nutrien perairan, dan konsentrasi oksigen terlarut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap keberadaan V. parahaemolyticus. Akan tetapi besarnya jumlah V. parahaemolyticus di lingkungan maupun pada produk perikanan cukup bervariasi tergantung pada musim, lokasi, jenis sampel, maupun metode analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus pada sampel (Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; Parveen et al. 2008). Suhu air merupakan faktor utama yang memiliki korelasi positif terhadap keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan. Parveen et al. (2008) menyatakan bahwa perairan di wilayah yang beriklim sedang dan tropis memberikan efek cukup signifikan terhadap kelimpahan V. parahaemolyticus dibandingkan pada wilayah yang memiliki empat musim. menurun bahkan Pada musim dingin umumnya jumlah V. parahaemolyticus tidak ditemukan, hal ini diduga selama musim dingin V. parahaemolyticus bertahan hidup dengan cara menempel dan berproliferasi pada zooplankton yang terdapat di sedimen. parahaemolyticus Setelah suhu perairan meningkat, V. lepas dari zooplankton dan berada di dalam air sehingga jumlahnya meningkat dan mudah dideteksi. Saat pengambilan sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif, suhu air tambak terukur pada kisaran 30-31°C. Suhu perairan ini merupakan faktor yang dapat membantu pertumbuhan V. parahaemolyticus karena merupakan suhu optimum pertumbuhan bakteri tersebut. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara suhu dengan peningkatan frekuensi isolasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan di perairan pantai dan areal budidaya pada musim panas dibandingkan musim dingin (Cook et al. 2002; DePaola et al. 2003; Duan dan Su, 2005). 65 Tabel 16. Hasil identifikasi dan tingkat kemiripan isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak intensif di Kecamatan Patrol dengan API 20E Lokasi tambak Kode Sampel Patrol Int A2 Int A2 Int B1 Int B2 Int C1 Int C2 Int D1 Int D2 Int E1 Int E2 Int F1 Int F2 Int G1 Int G2 Int H1 Int H2 Int I1 Int I2 Int J1 Int J2 Int K1 Int K2 Int L1 Int L2 Int M1 Int M2 Int N1 Int N2 Int O1 Int O2 Int P1 Int P2 Total V. parahaemolyticus Konfirmasi dengan API 20E (%ID) + (99.8) + (99.8) + (99.9) + (99.9) - - + (99.8) - - + (99.6) - 6 isolat (n=32; 18.8%) (+) : hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif : tidak dilakukan pengujian lebih lanjut 66 Selain suhu, salinitas juga merupakan faktor yang berperan terhadap keberadaan V. parahaemolyticus. Martinez-Utrazaa et al. (2008) melaporkan bahwa salinitas perairan dengan kisaran tertentu kemungkinan merupakan habitat yang optimum bagi pertumbuhan V. parahaemolyticus. Tambak tradisional pada saat dilakukan pengambilan sampel menunjukkan kisaran salinitas 10-15ppt sementara itu tambak intensif menunjukkan salinitas air tambak berada pada kisaran 26-30ppt. Faktor lain yang diduga memberikan pengaruh terhadap keberadaan V. parahaemolyticus antara lain konsentrasi oksigen terlarut, kekeruhan (turbidity), biota yang hidup di perairan tersebut seperti fitoplankton dan zooplankton. Oksigen terlarut dan kekeruhan diduga memiliki korelasi positif terhadap peningkatan jumlah V. parahaemolyticus. Peningkatan kekeruhan berkorelasi positif dengan peningkatan total V. parahaemolyticus, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan nutrien tanah dan cemaran yang terdapat dalam air sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan V. parahaemolyticus (Parveen et al. 2008; Watkins dan Cabelli, 1985). Penggunaan air di tambak tradisional umumnya langsung berasal dari aliran sungai yang berada di sekitar areal tambak. Air yang digunakan biasanya tidak mengalami perlakuan seperti penampungan, penyaringan pembersihan sehingga belum memenuhi persyaratan maupun kualitas air tambak dan dapat berdampak pada pertumbuhan udang. Selama pemeliharaan sampai waktu panen, air tambak tidak pernah diganti atau bersifat statis dan tambak tidak dilengkapi dengan sistim aerasi. Parameter lingkungan perairan seperti suhu, salinitas, pH, dan unsur hara tidak pernah dilakukan pengukuran secara akurat. Kondisi ini yang juga mendukung potensi tingginya jumlah V. parahaemolyticus pada udang di tambak tradisional dibandingkan tambak intensif. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di tambak intensif, yang umumnya telah menerapkan cara berbudidaya yang baik terutama dalam pengelolaan kualitas air tambak. Air yang digunakan selama pemeliharaan udang di tambak intensif berasal dari air laut yang diambil dengan cara mengalirkan air melalui pipa sepanjang 2km dari daratan. Air laut selanjutnya ditempatkan pada bak penampungan (reservoir) dimana selama di bak penampungan dilakukan 67 penyaringan air yang terdiri atas 2 tahap penyaringan pertama dengan kain kasa dan penyaringan kedua dengan planktonet. Penyaringan di bak penampungan bertujuan untuk mereduksi pengotor dan cemaran di dalam air. Perlakuan penyaringan terhadap air yang akan digunakan untuk pemeliharaan udang tambak diduga dapat mereduksi kelimpahan mikroorganisme. V. parahaemolyticus pada umumnya menempel pada biota perairan terutama zooplankton dan dikaitkan dengan aktivitas kitinolitik. Bakteri ini umumnya menempel pada bagian permukaan kulit (kitin) zooplaknton sehingga penyaringan air menggunakan planktonet diduga dapat mereduksi jumlah V. parahaemolyticus. Penelitian tentang keberadaan V. parahaemolyticus baik pada lingkungan maupun produk perikanan di Indonesia telah dilakukan akan tetapi masih sedikit sekali. Zulkifli et al. (2009) melaporkan persentase V. parahaemolyticus pada sampel kerang yang berasal dari perairan di Padang-Sumatera Barat sebesar 50% (n=50). Hal ini kemungkinan karena iklim tropis dengan kisaran suhu 25-35°C merupakan suhu yang mendukung pertumbuhan V. parahaemolyticus. Sebagian besar wilayah dengan iklim tropis khususnya Asia Tenggara diketahui berpotensi terhadap keberadaan V. parahaemolyticus dengan persentase sekitar 20-70% (Wong et al. 1999; Ronald dan Santos, 2001). Marlina et al. (2007) menyebutkan bahwa seluruh sampel kerang (n=47) yang diambil dari perairan dan pasar lokal di Padang Sumatera Barat diketahui positif V. parahaemolyticus. Sementara itu hasil penelitian Dewanti-Hariyadi et al. (2002) menunjukkan bahwa udang yang diambil dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengandung V. parahaemolyticus sebesar 21.8 dan 3.1%, sedangkan sampel udang beku dari pasar grosir positif V. parahaemolyticus sebesar 11.1%, bahkan pada produk udang beku selama proses pembekuan sebesar 70%. Penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk perikanan juga telah banyak dilakukan oleh negara-negara di luar Indonesia. Wong et al. (1999) menyebutkan bahwa ditemukan 45.9% (n=686) V. parahaemolyticus pada produk perikanan (kepiting, lobster, udang, siput, dan ikan) yang diimpor dari Vietnam, Hong Kong, Thailand, dan Indonesia, dimana sebesar 75.8% (n=62) dan 29.3% (n=92) pada sampel udang dan ikan yang berasal dari Indonesia positif V. parahaemolyticus. Sementara itu, udang yang berasal dari budidaya tambak di 68 Malaysia menunjukkan bahwa 81.7% (n=60) mengandung V. parahaemolyticus (Chilek, 2006). Sebanyak 43.6% (n=39) dari sampel seafood mentah (cumi-cumi, udang, ikan, dan kekerangan), 6.3% (n=16) sampel produk olahan (bakso udang) di Thailand juga diketahui positif V. parahaemolyticus (Chitov et al. 2009). Sampel udang, kepiting, moluska, dan ikan yang diambil dari tempat pendaratan ikan, pasar, dan estuari di India diketahui mengandung V. parahaemolyticus sebesar 61.6% (n=86), selain itu sampel udang yang berasal dari tambak di India baik dari wilayah barat maupun timur diketahui positif V. parahaemolyticus berturut-turut 12.2% dan 2.8% (n=30) (Dileep et al. 2003; Gopal et al. 2005). Kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk udang beku yang akan diekspor juga ditemukan di Thailand sebesar 64% (n=111), selanjutnya pada unit pengolahan di Chaccheongsao selama April-Mei 1999, kontaminasi yang terjadi sebesar 79.6% (n=103) (Kowcachaporn, 1997; Pungchitton, 1999 di dalam Jaesawang, 2005). Tingginya peluang terjadinya V. parahaemolyticus pada produk perikanan menuntut perhatian khusus karena dapat berdampak terhadap kesehatan jika produk perikanan tersebut terkontaminasi dengan V. parahaemolyticus patogenik. V. parahaemolyticus merupakan salah satu spesies Vibrio yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan terutama pangan mentah atau yang tidak dimasak secara sempurna. Namun demikian tidak semua galur V. parahaemolyticus bersifat patogen. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap V. parahaemolyticus patogenik pada produkproduk perikanan. Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik dari Isolat yang Berasal dari Udang Tambak V. parahaemolyticus merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada biota perairan seperti krustasea dan kekerangan. Selain itu bakteri ini juga menginfeksi manusia melalui konsumsi pangan. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan dengan metode konvensional yaitu pengamatan berdasarkan sifat biokimiawi melalui pengujian Kanagawa menggunakan media agar Wagatsuma (Wagatsuma blood agar), akan tetapi metode ini memiliki banyak kendala antara lain waktu pengujian yang 69 panjang, sensitifitas dan akurasi yang rendah karena tidak semua galur V. parahaemolyticus patogenik dapat dideteksi terutama galur yang berada pada fase viable but nonculturuble (VNC) serta belum tersedianya metode analisis faktor virulen thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH). Oleh karena itu, pengembangan metode analisis telah banyak dilakukan, salah satunya dengan pendekatan molekuler yaitu melalui metode PCR dimana metode ini memberikan hasil yang akurat dan spesifik dengan tingkat sensitifitas tinggi, waktu analisis lebih singkat dan dapat dilakukan pada sampel yang jumlahnya sangat sedikit. 1. Isolasi DNA genom bakteri Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR diawali dengan melakukan ekstraksi/isolasi DNA genom bakteri. Isolasi DNA genom dilakukan pada isolat V. parahaemolyticus yang positif di sampel udang tambak tradisional dan intensif. Isolasi DNA genom bertujuan untuk mendapatkan DNA murni yang bebas dari materi-materi yang dapat menurunkan sensitifitas dan menghambat tahap amplifikasi DNA. Visualisasi hasil isolasi DNA genom sampel yang dielektroforesis pada 2% gel agarosa menunjukkan bahwa terdapat DNA pada seluruh isolat V. parahaemolyticus . Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kemurnian DNA diketahui sebagian besar DNA telah masuk dalam rentang nilai rasio kemurnian yang cukup baik yaitu 1.8-2.0. Beberapa DNA isolat berada diluar rentang tersebut yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kontaminasi darri fenol atau protein lainnya. Sementara itu konsentrasi DNA isolat berada pada kisaran 0.05-3.7µg/µL (Lampiran 3). 2. Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus Amplifikasi dan protokol PCR dengan target gen tdh dan trh pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Tada et al. (1992). Tada et al. (1992) melaporkan bahwa dalam menentukan primer spesifik untuk mengidentifikasi gen tdh dilakukan berdasarkan hasil terbaik dari 6 kombinasi pasangan primer yang menyandikan gen tdh2. Gen tdh2 adalah salah satu dari 2 sub unit identik gen tdh 70 yang dimiliki oleh galur V. parahaemolyticus patogenik dimana gen ini berperan dalam produksi ekstraseluler toksin TDH sehingga dipilih sebagai gen untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik penghasil toksin TDH. Pasangan primer yang paling spesifik berdasarkan hasil penelitian Tada et al. (1992) untuk gen tdh adalah pasangan primer yang terletak pada region antara 256-506 dengan ukuran amplikon 251bp. Sedangkan untuk gen trh dipilih 6 kombinasi pasangan primer yang mewakili gen trh1 dan trh2. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pasangan primer spesifik untuk mengidentifikasi toksin TRH adalah primer yang terletak pada region antara 256-505 dengan ukuran amplikon 250bp. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini menggunakan pasangan primer tersebut untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak. Hasil amplifikasi DNA sampel dengan target gen penyandi tdh pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa 2% pada TBE1X dan divisualisasikan dengan Gel Doc illuminator yang dapat dilihat pada Gambar 7 (a dan b) untuk tambak tradisional dan Gambar 8 untuk tambak intensif. Hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh pada isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan sebanyak 13/16 isolat (81.3%) dan 3/6 isolat (50%) positif gen tdh. Hal ini terlihat dari adanya ukuran hasil amplifikasi DNA sampel yang sama dengan kontrol positif V. parahaemolyticus yang mengandung gen penyandi tdh (ATCC43996) pada ukuran amplikon 251bp. (a) Gambar 7. (b) Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (ATCC43996), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10). 71 Gambar 8. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (ATCC43996), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang. Sementara itu berdasarkan target gen penyandi trh, hasil amplifikasi DNA dari isolat V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional maupun intensif berturut-turut sebesar 15/16 isolat (93.8%) dan 4/6 isolat (66.7%) positif gen trh. Hasil amplifikasi DNA yang dielektroforesis dengan gel agarosa 2% (TBE1X) pada 100V selama 45 menit dan divisualisasikan melalui Gel Doc illuminator disajikan pada Gambar 9 (a dan b) untuk tambak tradisional dan Gambar 10 untuk tambak intensif. Isolat V. parahaemolyticus yang dikatakan positif gen trh dilihat berdasarkan ukuran amplikon hasil amplifikasi DNA sampel yang sama dengan ukuran amplikon DNA kontrol positif (AQ4037) pada 250 bp. (a) Gambar 9. (b) Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10). 72 Gambar 10. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang. Berdasarkan pengelompokan gen penyandi tdh dan trh pada isolat V. parahaemolyticus dari sampel udang baik di tambak tradisional dan intensif, beberapa isolat diketahui hanya memiliki salah satu gen patogen ( tdh atau trh saja), akan tetapi ada beberapa isolat yang memiliki kedua gen patogen tersebut seperti yang tersaji pada Tabel 17. Hasil identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh menunjukkan bahwa sebesar 14/22 isolat (63.6%) sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif memiliki kedua gen V. parahaemolyticus patogenik (tdh dan trh). Sementara itu V. parahaemolyticus yang hanya memiliki gen tdh (tdh+;trh-) atau trh (tdh-;trh+) saja berturut-turut sebesar 2/22 isolat (9.1%) dan 5/22 isolat (22.7%). Jika dibedakan berdasarkan jenis tambak diketahui bahwa seluruh isolat di tambak tradisional merupakan V. parahaemolyticus patogenik baik yang memiliki kedua toksin (TDH dan TRH) maupun hanya salah satunya (TDH atau TRH saja). Sedangkan isolat V. parahaemolyticus yang berasal dari tambak intensif diketahui ada satu isolat yang bukan merupakan V. parahaemolyticus patogenik yaitu isolat Int C1 (Tabel 17). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak baik yang berasal dari tambak tradisional maupun intensif. Hasil penelitian lain yang memberikan informasi tentang adanya V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan seperti yang dilaporkan oleh Bej et al. (1999) dimana sebesar 23.3%, 46.7%, dan 68.4% V. parahaemolyticus yang diisolasi dari produk perikanan, lingkungan, dan tambak tiram merupakan V. parahaemolyticus dengan gen tdh dan trh. Sementara 73 itu sebesar 9.3% dan 5.2% dari sampel produk perikanan dan tambak tiram adalah V. parahaemolyticus penghasil gen tdh saja dan tidak ada dari sampel tersebut yang merupakan V. parahaemolyticus penghasil gen trh saja. Secara keseluruhan berdasarkan hasil penelitian ini, V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang baik di tambak tradisional dan intensif menunjukkan bahwa sebesar 43% dan 11% (n=32) merupakan V. parahaemolyticus yang bersifat patogen. Tabel 17. Distribusi gen penyadi tdh dan trh pada isolat Vp dari udang di tambak tradisional dan intensif. Kode Isolat Tambak tradisional : TrA1 TrB2 TrC2 TrF2 TrG1 TrI1 TrJ1 TrK1 TrK2 TrL1 TrM1 TrN2 TrO1 TrO2 TrP1 TrP2 Total tdh+; trh+ Total tdh+; trhTotal tdh-; trh+ Total tdh-; trhTambak intensif : IntB1 IntB2 IntC1 IntC2 IntG2 IntO1 Total tdh+; trh+ Total tdh+; trhTotal tdh-; trh+ Total tdh-; trh- gen tdh sampel gen trh + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 12/16 (75%) 1/16 (6.25%) 3/16 (18.75% 0/16 (0%) + + + + + + + 2/6 (33.3%) 1/6 (16.7%) 2/6 (33.3%) 1/6 (16.7%) (+) : hasil uji positif dan (-) : hasil uji negatif 74 Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada awalnya dilaporkan hanya berkisar 1-2% pada sampel-sampel lingkungan dan produk perikanan (Kelly dan Stroh, 1988; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). Hal ini kemungkinan karena keberadaan galur V. parahaemolyticus patogenik lebih rendah dibandingkan galur yang non patogenik atau galur patogenik lebih sensitif pada kondisi lingkungan yang ekstrim sehingga cepat sekali berubah ke dalam bentuk viable but nonculturable (VNC) dan menjadi sulit untuk diisolasi (Hackney dan Dicharry, 1988; Jannasch, 1967; Pace dan Chai,1989; Roszak dan Colwell,1987). Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa V. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak memiliki persentase yang cukup tinggi. Hasil ini cukup kontras dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan akan tetapi ada beberapa hasil penelitian juga melaporkan keberadaan V. parahaemolyticus patogenik memiliki peresentase cukup tinggi. Marlina et al. (2007) melaporkan bahwa sebesar 36% (n=47 isolat Vp) pada sampel kerang yang berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat teridentifikasi gen tdh. Penelitian Sujeewa et al. (2009) melaporkan bahwa 15% dan 7% isolat yang berasal dari sampel udang segar, udang beku dan air tambak di Malaysia berturutturut positif gen tdh dan trh. Sementara itu Mohammad et al. (2005) menyatakan bahwa sebesar 8% dan 11% sampel udang beku dan udang segar teridentifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Peningkatan sampel produk perikanan yang mengandung V. parahaemolyticus patogenik (gen tdh) juga dilaporkan oleh DePaola et al. (2003a) yaitu sebesar 12.8% pada sampel tiram, selanjutnya Hara-Kudo et al. (2003) melaporkan bahwa sekitar 10% (n=329) isolat dari sampel produk perikanan perairan dan pasar di Jepang mengandung gen tdh . Pinto et al (2008) menyatakan sebesar 33% sampel kekerangan yang berasal dari perairan pantai Italia dideteksi positif gen tdh, bahkan hasil penelitian DePaola et al. (2003b) pada sampel makanan dan lingkungan selama kurun waktu 1977-2001 menunjukkan lebih dari 90% isolat positif gen tdh dan trh. Identifikasi keberadaan bakteri V. parahaemolyticus pada sampel lingkungan dan produk perikanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemilihahan metode analisis yang digunakan (Parveen et al. 2008). Selain 75 itu tahap isolasi bakteri yang merupakan tahap awal identifikasi bakteri diduga memberikan persentase yang lebih tinggi terutama yang berasal dari sampel lingkungan dan produk perikanan. Pada penelitian ini, identifikasi V. parahaemolyticus diawali dengan tahap isolasi dimana sampel udang tambak diinkubasi pada media ASPW yang merupakan media pengayaan. Teknik ini merupakan salah satu teknik yang dapat memberikan persentasi kebaradaan V. parahaemolyticus lebih tinggi karena diduga tahap pengayaan merupakan tahap pemulihan (recovery) terutama bakteri-bakteri dalam kondisi sakit. Raghunath et al. (2009) melaporkan bahwa pada umumnya galur V. parahaemolyticus patogenik jarang ditemukan pada sampel lingkungan dan produk perikanan, hal ini disebabkan oleh galur patogen lebih sensitif pada lingkungan perairan yang tidak kondusif sehingga galur ini dapat berubah menjadi viable but nonculturable (VNC). Fase viable but nonculturable (VNC) merupakan fase dorman bakteri dimana pada fase ini bakteri tidak dapat bermultiplikasi tetapi masih dapat melakukan aktivitas metabolisme. Fase ini terjadi umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan yang tidak kondusif seperti fluktuasi suhu, salinitas, pH yang cukup tinggi, kandungan nutrien perairan yang tidak mendukung sehingga memberikan pengaruh terhadap populasi mikroorganisme di perairan tersebut termasuk V. parahaemolyticus. Kondisi ini dapat menyebabkan sulitnya mengisolasi V. parahaemolyticus patogenik dari lingkungan dan produk perikanan. Untuk mengatasi hal tersebut, tahap pengayaan merupakan salah satu altenatif pengembangan metode analisis yang dapat dilakukan sehingga persentase frekuensi isolasi V. parahaemolyticus patogenik dapat meningkat. Hasil penelitian Raghunath et al. (2009) melaporkan bahwa identifikasi V. parahaemolyticus patogenik yang dikayakan terlebih dahulu dengan media cair APW(alkaline peptone water) dan ST (sodium taurocholate) memberikan frekuensi isolasi yang lebih tinggi. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh pada sampel kekerangan, ikan, udang di perairan pantai dan tambak udang di India memberikan hasil berturut-turut sebesar 32.8% dan 41.4% untuk gen trh dan 13.8% dan 20.7% untuk gen tdh. 76 Pada awalnya identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dilakukan berdasarkan reaksi biokimiawi yang dikenal dengan Fenomena Kanagawa (KP+). Metode ini terutama dapat mengidentifikasi faktor virulen TDH yang ditandai dengan KP+, akan tetapi faktor virulen TRH tidak dapat diidentifikasi dengan metode analisis ini, dimana diketahui hasil KP- ternyata memberikan hasil yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Selain itu beberapa kendala yang dialami teknik konvensional adalah waktu analisis yang panjang dan interpretasi hasil yang tidak cukup akurat dan sensitifitas teknik analisis ini masih cukup rendah, terutama pada isolat bakteri yang berada pada fase VNC (viable but non culturable). Teknik identifikasi V. parahaemolyticus patogenik kemudian berkembang karena masih terbatasnya hasil anlisis yang berdasarkan metode biokimiawi. Salah satu pengembangan teknik identifikasi adalah metode analisis berbasis pendekatan molekuler antara lain dengan teknik PCR. Beberapa hasil penelitian dengan teknik PCR menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam hal identifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Zimmermann et al. (2007) melaporkan hasil deteksi V. parahaemolyticus patogenik (gen tdh dan/atau trh) dengan teknik real time PCR pada sampel tiram di perairan Mississippi dan Alabama berturut-turut sebesar 56% dan 44%. Sementara itu Parveen et al. (2008) menyatakan bahwa 20% dan 40% isolat dari sampel tiram yang diambil perairan di Amerika Serikat teridentifikasi positif gen tdh dan Rekomendasi untuk Perbaikan Usaha Budidaya Udang Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa di atas maka perlu disusun rekomendasi yang bertujuan untuk perbaikan usaha budidaya udang. Hasil pengamatan dan analisis terhadap tingginya persentase keberadaan bakteri patogen pada udang tambak baik tambak tradisional maupun intensif merupakan cerminan masih rendahnya kesadaran petambak udang dalam penerapan cara berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practice/GAP) terutama pada tambak tradisional. V. parahaemolyticus merupakan bakteri alami yang hidup di air 77 payau, sehingga kemungkinan keberadaannya pada tambak udang cukup tinggi karena penggunaan air payau selama pemeliharaan udang. Tambak udang tradisional yang dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel, berdasarkan pengamatan di lapangan jauh dari praktek penerapan GAP. Hal ini dapat dilihat dari tidak tersedianya tempat penampungan air sementara sebelum dialirkan ke areal tambak sehingga air langsung masuk ke tambak tanpa ada perlakuan untuk memenuhi persyaratan kualitas air. Hal ini menyebabkan potensi keberadaan bakteri cukup besar termasuk V. parahaemolyticus. Selain itu petambak juga jarang memperhatikan pengelolaan kualitas air, dimana ada beberapa parameter penting seperti salinitas, pH, oksigen terlarut, kekeruhan yang harus selalu terukur secara periodik kareana berdampak terhadap kualitas dan kuantitas udang yang dihasilkan. Penerapan sistim aerasi pada lahan tambak merupakan hal penting, dimana umumnya luas areal tambak tradisional berkisar 5000-10.000 m2 dan idealnya tambak tersebut ditempatkan aerator sekitar empat unit. Tambak tradisional memiliki sistim yang statis dimana tidak ada penggantian air tambak sampai waktu panen. Pemberian pakan alami selama periode pemeliharaan udang memberikan peluang kontaminasi bakteri yang cukup besar. Hasil pengamatan dan wawancara dengan petambak tradisional bahwa para petambak membuat sendiri pakan udang dengan cara menghaluskan campuran ikan-ikan rucah yang kemudian dijemur dan dibentuk seperti pelet. Kualitas ikan yang rendah, kondisi sanitasi lingkungan dan higiene personal dalam pembuatan pakan udang menjadi hal penting untuk menghasilkan kualitas pakan udang yang baik. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis identifikasi V. parahaemolyticus jika dikaitkan dengan manajemen budidaya udang di tambak udang tradisional dapat dilihat persentase frekuansi isolasi V. parahaemolyticus dan deteksi patogenik bakteri tersebut lebih besar dibandingkan dengan tambak intensif. Sehingga beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk perbaikan usaha budidaya tambak udang sistim tradisional antara lain : a. Penerapan manajemen kualitas air dengan memperhatikan parameterparameter kualitas air yang dipersyaratkan. 78 b. Tersedianya sarana kolam penampungan air sebelum air dialirkan ke tambak yang bertujuan untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan yang berasaldari air sumber seperti bakteri. c. Penerapan sistim aerasi dan penggantian air tambak secara berkala selama pemeliharaan sehingga cemaran seperti feses udang, sisa pakan dan juga biota pengganggu dapat diminimalisir. d. Pemberian pakan yang terjaga kualitasnya baik dari segi nutrisi maupun sanitasi. Penggunaan pakan yang dibuat sendiri dapat dilakukan melalui kontrol yang baik dari segi kualitas nutrisi maupun pembuatan pakan. Sementara itu tambak intensif sudah cukup baik dalam penerapan cara berbudidaya yang baik (GAP) namun peluang keberadaan V. parahaemolyticus tetap ada karena bakteri ini merupakan flora normal di lingkungan perairan payau. Hal ini perlu diantisipasi mengingat pada umumnya udang hasil budidaya tambak intensif banyak diekspor ke luar negeri dimana V. parahaemolyticus merupakan salah satu persyarata terhadap mutu udang dari negara pengimpor. 79 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Udang merupakan komoditas unggulan yang rentan terkontaminasi V. parahaemolyticus patogenik. Identifikasi V. parahaemolyticus yang dilakukan terhadap sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan hasil 50% dan 18.8% (n=32) positif V. parahaemolyticus. Berdasarkan lokasi pengambilan sampel udang di tambak tradisional, besarnya frekuensi V. parahaemolyticus berkisar 30-69%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi isolasi V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional lebih tinggi dibandingkan tambak intensif. Air merupakan faktor utama dalam usaha budidaya tambak, dimana penggunaan air laut diduga merupakan sumber keberadaan bakteri V. parahaemolyticus. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keberadaan V. parahaemolyticus terkait dengan sumber air antara lain suhu, salinitas, kekeruhan, dan biota yang ada di lingkungan perairan tersebut. Perbedaan persentase V. parahaemolyticus di tambak tradisional dan intensif diduga berkaitan dengan penerapan pengelolaan kualitas air pada masing-masing tambak yang dapat mempengaruhi keberadaan V. parahaemolyticus. Galur V. parahaemolyticus tidak seluruhnya bersifat patogen. Konfirmasi secara genetika galur V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan hasil sebesar 13/16 (81.3%) dan 3/6 (50%) adalah patogen berdasarkan gen tdh, sedangkan 15/16 isolat (93.8%) dan 4/4 isolat (66.7%) merupakan patogen berdasarkan gen trh. Sementara itu berdasarkan gen penyandi tdh dan trh diketahui sebesar 14/22 isolat (63.6%) sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif memiliki kedua gen tersebut (tdh+; trh+), sedangkan sebanyak 2/22 isolat (9.1%) dan 5/22 isolat (22.7%) diketahui hanya memiliki gen tdh (tdh+;trh-) atau trh (tdh-;trh) saja. 80 Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 43% dan 11% (n=32) merupakan V. parahaemolyticus yang bersifat patogen. Hasil penelitian ini melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif. Hal ini diduga karena budidaya tambak udang di Indonesia masih belum menerapkan cara berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practises) secara optimal terutama dalam hal penerapan manajemen kualitas air terutama untuk tambak tradisional. Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan berdasarkan karakterisasi genotipik yang mengunakan primer spesifik gen penyandi V. parahaemolyticus seperti gen tlh atau ToxR serta gen penyandi faktor virulennya. 2. Penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang di rantai pengumpul maupun unit pengolahan sehingga diperoleh data dan informasi yang lengkap untuk menyusun kajian resiko keamanan pangan terhadap komoditas udang. 3. Penyusunan rekomendasi tentang penerapan cara berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practises) pada usaha budidaya tambak udang sehingga diharapkan dapat mereduksi kontaminasi bakteri patogen yang dapat menyebabkan kematian pada komoditas udang dan terkait dengan keamanan pangan pada manusia. 81 DAFTAR PUSTAKA Ababouch L, Gandini G, Ryder J. 2005. Causes of Detentions and Rejections in International Fish Trade. FAO Fisheries Technical Paper 473. Food and Agriculture Organization of United Nations. Alapide-Tendencia EV, Dureza LA. 1997. Isolation of Vibrio spp. from Penaeus monodon ( Fabricius) with red disease syndrome. Aquaculture 154: 107-l 14. Anderson MLA et al. Non-01 Vibrio cholerae septicemia: case report, discussion of literature, and relevance to bioterorism. Diagn. Microbiol Infect Dis 49 (4): 295-297. Ausubel FM et al. 1987. Current Protocols in Molecular Biology. New YorkWiley. Balter S et al. 2006. Vibrio parahaemolyticus infections associated with consumption of raw shellfish three states, 2006. http://www.cdc.gov/epo/dphsi/phs/infdis.htm. Diakses 15 April 2010. Barbieri E et al. 1999. Occurrence, diversity, and pathogenicity of halofilic Vibrio spp. and non-O1 Vibrio cholerae from estuarine waters along the Italian Adriatic Coast. Appl. Environ. Microbiol 65: 2748– 2753. Barker WH, Gangarosa EJ. 1974. Food poisoning parahaemolyticus. Ann. Rev. Med. 25:75-81. due to Vibrio Baumann P, Schubert RHW. 1984. Family II. Vibrionaceae. Di dalam Krieg NR, Holt JG. (Eds.), Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Williams & Wilkins Co., Baltimore, 516–550. Badan Standardidasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia (SNA 012705.1-2006) : Udang Beku-Bagian 1: Spesifikasi. Badan Standardidasi Nasional. Bej AK et al. 1999. Detection of total and hemolysin-producing Vibrio parahaemolyticus in shellfish using multiplex PCR amplification of tl, tdh, and trh. Journal of Microbiology Methods 36: 215–225. Bonang G, Lintong M, Santoso US. 1974. The isolation and suspectibility to various antimicrobial agents of Vibrio parahaemolyticus from acute gastroenteritis cases and from seafood in Jakarta. Didalam: Fujino T, 82 Sakaguchi G, Sakazaki R, dan Takeda Y, eds. International Symposium on Vibrio parahaemolyticus. Tokyo; Saikon 27-31. Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Pathogenesis. Food Science Text Series. Springer. Mechanism and Brown TA. 1992. Genetics: Molecular Approach, Second Edition. Chapman dan Hall, London. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 1999. Outbreak of Vibrio parahaemolyticus infection associated with eating raw oysters and clams harvested from Long Island Sound—Connecticut, New Jersey and New York, 1998. Morb. Mortal. Wkly. Rep. 48: 48–51. Chilek TZT. 2006. Prevalence and molecular characteristic of Vibrio parahaemolyticus isolated from cultured tiger prawns (Penaeus monodon) from Malacca [thesis]. University Putra Malaysia. Chiou C-S, Hsu S-Y, Chiu S-I, Wang T-K, Chao C-S. 2000. Vibrio parahaemolyticus serovar O3:K6 as cause of unusually high incidence of food-borne disease outbreaks in Taiwan from 1996 to 1999. J of Clinical Microbiol 38 (12): 4621–4625. Chitov T, Wongdao S, Thatum W, Puprae T, Sisuwan P. 2009. Occurrence of potentially pathogenic Vibrio species in raw, processed, and ready to eat seafood and seafood products. Maejo Int. J. Sci. Technol 3(01): 88-98. Cook DW et al. 2002. Vibrio vulnificus and Vibrio parahaemolyticus in U.S. retail shell oysters: A national survey from June 1998 to July 1999. J. Food Prot 65: 79-87. Cordova JL, Astorga J, Silva W, Riquelme C. 2002. Characterization by PCR of Vibrio parahaemolyticus isolates collected during the 1997-1998 Chileanoutbreak. Biol Res. 35: 443-440. Daniels NA et al. 2000. Vibrio parahaemolyticus infections in the United States, 1973–1998. Journal of Infectious Diseases 81:1661–1666. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Sidang Global Shrimp Outlook 2003. Mexico, 3-6 November 2003. DePaola A, Hopkin LH, Peeler JT, Wentz B, McPhearson RM. 1990. Incidence of Vibrio parahaemolyticus in US Coastal Waters and Oysters. Appl. Environ. Microbiol 56: 2299–2302. DePaola A, Kaysner CA, Bowers JC, Cook DW. 2000. Environmental investigations of Vibrio parahaemolyticus in oysters following outbreaks 83 in Washington, Texas, and New York (1997 and 1998). Appl. Environ. Microbiol. 66:4649–4654. DePaola A, Nordstrom JL, Bowers JC, Wells JG, Cook DW. 2003a. Seasonal Abundance of Total and Pathogenic Vibrio parahaemolyticus in Alabama Oysters. Appl. Environ. Microbiol 69 (3): 1521-1526. DePaola A et al. 2003b. Molecular, serological, and virulence characteristics of Vibrio parahaemolyticus isolated from environmental, food, and clinical sources in North America and Asia. Appl. Environ. Microbiol 69: 3999–4005. Dewanti-Hariyadi R, Suliantari, Nuraida L, Fardiaz S. 2002. Determination of contamination profiles of human bacterial pathogens in shrimp obtained from Java, Indonesia. Di dalam Determination of Human Pathogen Profiles in Food by Quality Assured Microbial Assays. Proceedings of a Final Research Coordination Meeting held in Mexico City, Mexico, 22– 26 July 2002. Mexico: IAEA-Tecdoc-1431. Dileep V et al. 2003. Application of polymerase chain reaction for detection of Vibrio parahaemolyticus associated with tropical seafoods and coastal environment. Letters in Applied Microbiology 36: 423–427. Direkbusaram S, Yoshimizu M, Ezura Y, Ruangpan L, Danayadol Y. 1998. Vibrio spp., the dominant flora in shrimp hatchery against some fish pathogenic viruses. Short Communication. Journal of Marine Biotechnology 6:266-267. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan-KKP. 2010. Rekapitulasi penolakan kasus RAS 2005-2009. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dobosh D, Gomez-Zavaglia A, Kuljich A. 1995. The role of food in cholera transmission. Medicina 55:28-32. Duan J, Su Y-C. 2005. Occurrence of Vibrio parahaemolyticus in two Oregon oyster-growing Bays. J. Food Sci. 70: 58–63. Feldhusen F. 2000. The role of seafood in bacterial foodborne diseases. Microbes and Infection 2 (13): 1651–1660. Fratamico PM, Bhunia AK, Smith JL. 2005. A Vibrio Species Foodborne Pathogens Microbiology an Molecular Biology. Goarant C, Merien F, Berthe F, Mermoud I, Perolat P. 1999. Arbitrarily primed PCR to type Vibrio spp. pathogenic for shrimp. Appl. Environ. Microbiol 65:1145–1151. 84 Gooch JA, DePaola A, Bowers J, Marshall DL. 2002. Growth and survival of Vibrio parahaemolyticus in postharvest American oysters. J. Food Prot 65: 970–974. Gopal S et al. 2005. The occurrence of Vibrio species in tropical shrimp culture environments; implications for food safety. Int. J. Food Microbiol 102: 151-159. Hackney CR, Dicharry A. 1988. Seafood-borne bacterial pathogens of marine origin. Food Technology 42: 104–109. Hara-Kudo Y et al. 2003. Prevalence of Pandemic Thermostable Direct Hemolysin-Producing Vibrio parahaemolyticus O3:K6 in Seafood and the Coastal Environment in Japan. Appl. Environ. Microbiol 69 (7): 3883–3891. Hida T, Yamamoto K. 1990. Cloning and expression of two genes encoding highly homologous hemolysins from a Kanagawa-phenomenon-positive Vibrio parahaemolyticus T4750 strain. Gene 93:9–15. Honda S et al. 1987. Gastroenteritis due to Kanagawa negative Vibrio parahaemolyticus. Lanceti. 331–332. Honda T, Ni Y, Miwatani T. 1988. Purification and characterization of a hemolysin produced by a clinical isolates of Kanagawa phenomenonnegative Vibrio parahaemolyticus and related to the thermostable direct hemolysin. Infect. Immun. 56: 961–965. Honda T, Abad-Lapuebla MA, Ni Y, Yamamoto K, Miwatani T. 1991. Characterization of a new thermostable direct haemolysin produced by a Kanagawa-phenomenon negative clinical isolate of Vibrio parahaemolyticus. J. Gen. Microbiol 137: 253–259. Honda S, Matsumoto S, Miwatani T, Honda T. 1992. A survey of urease-positive Vibrio parahaemolyticus strains isolated from traveller’s diarrhea, sea water and imported frozen sea foods. Eur. J. Epidemiol. 8:861–864. Honda T, Iida T. 1993. The pathogenicity of Vibrio parahaemolyticus and the role of the thermostable direct haemolysin and related haemolysins. Rev Med Microbiol 4: 106–113. Holt JG, Krieg NR. 1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology Volume 1. Williams and Wilkins. Baltimore/London. Iida T et al. 1997. Evidence for genetic linkage between the ure and trh genes in Vibrio parahaemolyticus. J Med Microbiol 46: 639-645. 85 Jaesawang D. 2005. Detection of Vibrio parahaemolyticus hemolysin genes in frozen shrimps using multiplex polymerase chain reaction [thesis]. Major in Infectious Diseases, Faculty of Graduate Studies, Mahidol University. Jannasch HW. 1967. Growth of marine bacteria at limiting concentrations of organic carbon in seawater. Limnology and Oceanography 12: 264–271. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Foodborne Gastroenteritis caused by Vibrio, Yersinia, and Camplylobacter Species, Chapter 28. Modern Food Micribiology 7th eds. Food Science Text Series. Jiravanichpaisal P, Miyazaki T. 1995. Comparative histopathology of vibriosis in black tiger shrimp, Penaeus monodon. Didalam: Shariff M, Subasinghe RP, Arthur JR (Eds.). Diseases in Asian Aquaculture II. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines, 123– 130. Joseph SW, Colwell RR, Kaper JB. 1982. Vibrio parahaemolyticus and related halophilic Vibrios . CRC Critical Reviews in Microbiology 10: 77-124. Kaneko T, Colwell RR. 1973. Ecology of Vibrio parahaemolyticus in Chesapeake Bay. J. Bacteriol 113: 24–32. Kaper JB, Campen RK, Seidler RJ, Baldini MM, Falkow S. 1984. Cloning of the thermostabledirect or Kanagawa phenomenon-associated hemolysin of Vibrio parahaemolyticus. Infect Immun 45:290–2. Kaper JB, Morris Jr. JG, Levine MM. 1995. Cholera. Clin. Microbiol. Rev. 8:48-86. Karunasagar I, Nayak BB, Karunasagar I. 1997. Rapid detection of Vibrio parahaemolyticus from fish by polymerase chain reaction (PCR). Di dalam: Flegel, T.W., MacRae, I.H. (Eds.), Diseases in Asian Aquaculture III. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, 119– 122. Kaufman GE, Myers ML, Pass CL, Bej AK, Kaysner CA. 2002. Molecular analysis of Vibrio parahaemolyticus isolated from human patients and shellfish during US Pacific north-west outbreaks. Letters in Applied Microbiology 34: 155-161. Kaysner CA, Abeyta Jr C, Stott RF, Lilja JL, Wekell MM. 1990. Incidence of urea-hydrolyzing Vibrio parahaemolyticus in Willapa Bay, Washington. Appl. Environ. Microbiol. 56:904–907. Kaysner CA. 2000. Vibrio species. Di dalam The Microbilogical Safety and Quality of Food (Vol. II). Lund., B.M., T.C. Baird-Parker dan G.W. Gould (Ed). Aspen Publisher, Inc. Gaithersburg, MD, 336-1362. 86 Kaysner CA, DePaola A. 2000. Outbreaks of Vibrio parahaemolyticus gastroenteritis from raw oyster consumption: Assessing the risk of consumption and genetic methods for detection of pathogenic strains. J. Shellfish Res. 19: 657. Kaysner CA, DePaola A. 2004. Bacteriological Analytical Manual Chapter 9. Vibrio. Bacteriological Analytical Manual, 8thed. 2001. U.S. Food and Drug Administration. Arlington, VA: Association of Official Analytical Chemists. Kelly MT, Stroh EMD. 1988. Temporal Relationship of Vibrio parahaemolyticus in patients and the environment. J. Clin. Microbiol. 26 (9): 1754-1756. Kelly MT, Stroh EMD. 1989. Urease-positive, Kanagawa-negative Vibrio parahaemolyticus from patients and the environment in the Pacific Northwest. J. Clin. Microbiol. 27:2820–2822. Komarawidjaja W, Garno YS. 2003. Pengaruh pemanfaatan teknologi bioremediasi terhadap perbaikan kualitas air budidaya. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, I: 412 – 417. Lake R, Hudson A, Cressey P. 2003. Risk Profile: Vibrio parahaemolyticus in Seafood. Institute of Environmental Science & Research Limited Christchurch Science Centre. Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial diseases of penaeid shrimps: An Asian view. Di dalam Shariff M, Subasinghe RP, Arthur JR (Eds.). Diseases in Asian Aquaculture II. Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Philippines, 107– 121. Levin RE. 2009. Rapid Detection and Characterization of Foodborne Pathogens by Molecular Techniques. CRC Press. Levine, W. C., P. M. Griffin, Gulf Coast Vibrio Work Group. 1993. Vibrio infections on the Gulf Coast: results of first year of regional surveillance. J. Infect.Dis. 167:479-483. Lightner DV. 1993. Diseases of cultured penaeid shrimps. Di dalam Mc Vey JP (Eds.). CRC Handbook of Mariculture, 2nd ed., CRC Press, Boca Raton, 393– 486. Liston J. 1990. Microbial hazards of seafood consumption. Food Technol. 44: 56–62. Liu C.H, Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune response of white shrimp Litopenaeus vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus. Fish Shellfish Immunol 16: 321–334. 87 Lozano-Leon A, Torres J, Osorio CR, Martinez-Urtaza J. 2003. Identification of tdh-positive Vibrio parahaemolyticus from an outbreak associated with raw oyster consumption in Spain. FEMS Microbiology Letters. 226: 281-284. Makino K et al. 2003. Genome sequence of Vibrio parahaemolyticus: A pathogenic mechanism distinct from that of V. cholerae. Lancet 361: 743-749. Marlina et al. 2007. Detection of tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticus isolated from Corbicula moltkiana prime in West Sumatera, Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 38 (2): 349-355. Martinez-Urtaza J et al. 2004. Characterization of pathogenic Vibrio parahaemolyticus isolates from clinical sources in Spain and comparison ith Asian and North American pandemic isolates. Journal of Clinical Microbiology 42 (10): 4672–4678. Martinez-Urtaza J et al. 2008. Environmental determinants of the occurrence and distribution of Vibrio parahaemolyticus in the rias of Galicia,Spain. Appl. Environ. Microbiol. 74:265–274. Miyamoto Y et al. 1969. In vitro hemolytic characteristic of Vibrio parahaemolyticus: Its close correlation with human pathogenicity. J Bacteriol 100: 1147-1149. Miyamoto Y et al. 1980. Simplified purification and biophysicochemical characteristics of Kanagawa-associated hemolysin of Vibrio parahaemolyticus. Infect. Immun 23: 567-576. Mohammad AR, Hashim JK, Gunasalam J, Radu S. 2005. Microbiological risk assessment: Risk Assessment of Vibrio parahaemolyticus in Black Tiger Prawn (Penaeus monodon). Technical report, Ministry of Health Malaysia. Nakaguchi Y, Okuda J, Iida T, Nishibuchi M. 2003. The urease gene cluster of Vibrio parahaemolyticus does not influence the expression of the thermostable direct hemolysin gene or the TDH-related hemolysin gene. Microbiol Immuno. 47: 233-239. Nakasone N, Iwanaga M. 1990. Pili of a Vibrio parahaemolyticus strain as a possible colonization factor. Infect Immn 58: 61-69. Nishibuchi M, Kaper JB. 1985. Nucleotide sequence of the thermostable direct hemolysin gene of Vibrio parahaemolyticus. J. Bacteriol 162: 558–564. 88 Nishibuchi M, Kaper JB. 1990. Duplication and variation of thermostable direct haemolysin (tdh) gene in Vibrio parahaemolyticus. Mol. Microbiol 4:87–99. Nishibuchi M, Kaper JB. 1995. Minireview. Thermostable direct hemolysin gene of Vibrio parahaemolyticus: a virulence gene acquired by a marine bacterium. Infect. Immun 63: 2093–2099. Okuda J, Ishibashi M, Abbott SL, Janda JM, Nishibuchi M. 1997. Analysis of the thermostable direct hemolysin (tdh) gene and the tdh-related hemolysin (trh) genes in urease-positive strains of Vibrio parahaemolyticus isolated on the west coast of the United States. J Clin Microbiol 35: 1965-1971. Okuda J et al. 1997. Emergence of a unique O3:K6 clone of Vibrio parahaemolyticus in Calcutta, India, and isolation of strains from the same clonal group from Southeast Asian travelers arriving in Japan. J. Clin. Microbiol. 35: 3150–3155. Osawa R, Okitsu T, Morozumi H, Yamai S. 1996. Occurrence of urease-positive Vibrio parahaemolyticus in Kanagawa, Japan, with specific reference to presence of thermostable direct hemolysin (TDH) and the TDH-related hemolysin genes. Appl Environ Microbiol 62: 725-727. Pace J, Chai T. 1989. Comparison of Vibrio parahaemolyticus grown in estuarine water and rich medium. Appl. Environ. Microbiol 55: 1877–1887. Pan et al. 1996. Foodborne disease outbreaks in Taiwan, 1994. J. Formos Med Assoc 5: 417-420. Pan TM, Wang TK, Lee CL, Chien SW, Hong CB. 1997. Foodborne disease outbreaks due to bacteria in Taiwan, 1986 to 1995. J. Clin Microbiol 35: 1260-1262. Park KS et al. 2000. Genetic characterization of DNA region containing the trh and ure genes of Vibrio parahaemolyticus. Infect Immun 68: 5742-5748. Parveen S et al. 2008. Seasonal distribution of total and pathogenic Vibrio parahaemolyticus in Chesapeake Bay oysters and waters. Int. J. Food Microbiol 128: 354-361. Pfeffer CS, Hite FM, Oliver JD. 2003. Ecology of Vibrio vulnificus in estuarine waters of Eastern North Carolina. Appl. Environ. Microbiol 69:3526–3531. Phayakvichien S, Chumgasamanukool L, Supawatana K, Ramrisi S. 1990. Study on enumeration of Vibrio parahaemolyticus in frozen seafood products by MPN method. Food 1: 18-34. 89 Pinto AD, Ciccarese G, Corato RD, Novello L, Terio V. 2008. Detection of pathogenic Vibrio parahaemolyticus in southern Italian shellfish. Food Control 19: 1037–1041. Popovic T, Olsvik O, Blake PA, Wachsmuth K. 1993. Cholera in the Americas: Foodborne aspects. J. Food Protect 56:811-821. Pusat Data, Statistik, dan Informasi-Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2009. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Raghunath P, Karunasagar I, Karunasagar I. 2009. Improved isolation and detection of pathogenic Vibrio parahaemolyticus from seafood using a new enrichment broth: Short Communication. Int. J. Food Microbiol 129: 200–203. Robert-Pillot A, Guenole A, Lesne J, Delesmont R, Fournier JM, Quilici ML. 2004. Occurrence of the tdh and trh genes in Vibrio parahaemolyticus isolates from waters and raw shellfish collected in two French Coastal areas and from seafood imported into France. Int. J. Food Microbiol 91: 319–325. Ronald GL, Santos G. 2001. Guide to foodborne pathogens. Di dalam Ronald GL and Santos, G. (Eds), p. 228 – 234. New York: John Wiley and Sons, Inc. Rosec JP, Simon M, Causse V, Boudjemaa M. 2009. Detection of total and pathogenic Vibrio parahaemolyticus in shellfish: Comparison of PCR protocols using pR72H or toxR targets with a culture method. Int. J. Food Microbiol 129: 136–145 Roszak DB, Colwell RR. 1987. Survival strategies in the natural environment. Microbiology and Molecular Biology Reviews 51: 365–379. Sakazaki R, Iwanami S, Fukumi H. 1963. Studies on the enteropathogenic, facultatively halophilic bacteria, Vibrio parahaemolyticus. I. Morphological, cultural and biochemical properties and its taxonomic position. Jpn. J. Med. Sci. Biol. 16:161-188. Sakazaki R et al. 1968. Studies on the enteropathogenic, facultatively halophilic bacteria, Vibrio parahaemolyticus III. Enteropathogenicity. Japan. J Med Sci Biol 21: 325–331. Sambrook J, Fritsch, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. 2nd eds. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Shirai H et al. 1990. Molecular epidemiologic evidence for association of thermostable direct hemolysin (TDH) and TDH-related hemolysin of 90 Vibrio parahaemolyticus 58: 3568–3573. with gastroenteritis. Infect. Su YC, Liu C. 2007. Vibrio parahaemolyticus: A concern of seafood Food Microbiology 24: 549–558. Immun safety. Sujeewa AKW, Norrakiah AS, Laina M. 2009. Prevalence of toxic genes of Vibrio parahaemolyticus in shrimps (Penaeus monodon) and culture environment. Int. Food Research Journal 16: 89-95. Suthienkul O et al. 1995. Urease production correlates with possession of the trh gene in Vibrio parahaemolyticus strains isolated in Thailand. J. Infect. Dis. 172:1405–1408. Tada J et al. 1992. Detection of the thermostable direct hemolysin gene (tdh) and the thermostable direct hemolysin-related hemolysin gene (trh) of Vibrio parahaemolyticus by polymerase chain reaction. Mol. Cell. Probes, 6:477–487. Tjaniadi P et al. 2003. Antimicrobial resistance of bacterial pathogens associated with diarrheal patient in Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg 68 (6): 666–670. Tuyet DT et al. 2002. Clinical, epidemiological, and socioeconomic analysis of an outbreak of Vibrio parahaemolyticus in Khanh Hoa Province, Vitenam. J. Infect. Dis. 186:1615-1620. US Food and Drug Administration (FDA), 1998. Bacteriological Analytical Manual Online. http://www.cfsan.fda.gov/~ebam/bam-toc.html, Diakses Maret 2010. US Food and Drug Administration (FDA), 2005. Quantitative risk assessment on the public health impact of pathogenic Vibrio parahaemolyticus in raw oysters. http://www.cfsan. fda.gov/~dms/vpra-toc.htmlS, Diakses Maret 2010. Vandenberghe J, Thompson FL, Gomez-Gill B, Swings J. 2003. Phenotypic diversity amongst Vibrio isolates from marine aquaculture systems. Aquaculture 219:9-20. Vuddhakul V et al. 2000. Isolation of a Pandemic O3:K6 Clone of a Vibrio parahaemolyticus strain from environmental and clinical sources in Thailand. Appl Environ Microbiol 66: 2685–2689. Watkins WD, Cabelli VJ. 1985. Effect of fecal pollutionon Vibrio parahaemolyticus densities in an estuarine environment. Appl Environ. Microbiol 49: 1307-1313. 91 Williams L, LaRock P. 1985. Temporal Occurrence of Vibrio Species and Aeromonas hydrophila in Estuarine Sediments. Appl. Environ. Microbiol 50:1490–1495. Wong HC, Shieh WR, Lee YS. 1993. Toxigenic characterization of Vibrios isolated from foods available in Taiwan. Journal of Food Protection 56: 980-982. Wong HC, Chen MC, Liu SH, Liu DP. 1999. Incidence of highly genetically diversified Vibrio parahaemolyticus in seafood imported from Asian countries. Int. J. Food Microbiol 52: 181–188. Yamamoto T, Yokota T. 1989. Adherence targets of Vibrio parahaemolyticus in human small intestines. Infect Immu 57: 2410-2419. Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction: Panduan eksperimen PCR untuk memecahkan masalah biologi terkini. Penerbit ANDI-Yogyakarta. Zimmerman AM et al. 2007. Variability of total and pathogenic Vibrio parahaemolyticus densities in northern Gulf of Mexico water and oysters. Appl. Environ. Microbiol 73:7589–7596. Zulkifli Y et al. 2009. Identification of Vibrio parahaemolyticus isolates by PCR targeted to the toxR gene and detection of virulence genes. International Food Research Journal 16: 289-296 (2009) 92 LAMPIRAN 93 Lampiran 1. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak tradisional No Tambak Sampel ke1 2 1 Cangkring 3 4 5 2 Cantigi Kulon 3 Cantigi Wetan 6 7 8 9 10 11 4 Lamaran Tarung 12 13 14 15 16 Kode sampel Tr A1 Tr A2 Tr B1 Tr B2 Tr C1 Tr C2 Tr D1 Tr D2 Tr E1 Tr E2 Tr F1 Tr F2 Tr G1 Tr G2 Tr H1 Tr H2 Tr I1 Tr I2 Tr J1 Tr J2 Tr K1 Tr K2 Tr L1 Tr L2 Tr M1 Tr M2 Tr N1 Tr N2 Tr O1 Tr O2 Tr P1 Tr P2 Pertumbuhan pada media pengkayaan dan isolasi ASPW TCBS + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 94 Lampiran 2. Hasil isolasi V. parahaemolyticus dari udang tambak intensif Tambak Sampel ke1 2 3 4 5 6 7 8 Patrol 9 10 11 12 13 14 15 16 Kode Sampel Int A1 Int A2 Int B1 Int B2 Int C1 Int C2 Int D1 Int D2 Int E1 Int E2 Int F1 Int F2 Int G1 Int G2 Int H1 Int H2 Int I1 Int I2 Int J1 Int J2 Int K1 Int K2 Int L1 Int L2 Int M1 Int M2 Int N1 Int N2 Int O1 Int O2 Int P1 Int P2 Pertumbuhan pada media pengkayaan dan isolasi ASPW TCBS + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 95 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM Tambak tradisional 1. Isolat Tr A1 2. Isolat Tr B2 3. Isolat Tr C2 96 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Tr F2 Isolat Tr G1 Isolat Tr I1 97 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Tr J1 Isolat Tr K1 Isolat Tr K2 98 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Tr L1 Isolat Tr M1 Isolat Tr N2 99 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Tr O1 Isolat Tr O2 Isolat Tr P1 100 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Tr P2 Tambak intensif Isolat Int B1 Isolat Int B2 101 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Int C1 Isolat Int C2 Isolat Int G2(-2) 102 Lampiran 3. Hasil identifikasi isolat presumtif V. parahaemolyticus dengan API 20E yang dianalisis menggunakan apiwebTM (lanjutan) Isolat Int O1 103 Lampiran 4. Kemurnian dan konsentrasi DNA genom V. parahaemolyticus Kode sampel Tambak tradisional Tr A1 Tr B2 Tr C2 Tr F2 Tr G1 Tr I1 Tr J1 Tr K1 Tr K2 Tr L1 Tr M1 OD 260 OD 280 Kemurniana [DNA]µg/µLb 0.0330 0.1057 0.0835 0.1339 0.0325 0.1001 0.3201 0.1080 0.2043 0.0461 0.1222 0.0254 0.0546 0.0420 0.0673 0.0176 0.0515 0.1550 0.0541 0.1112 0.0273 0.0632 1.2992 1.9359 1.9881 1.9896 1.8466 1.9437 2.0652 1.9963 1.8372 1.6886 1.9335 0.2475 0.7928 0.6263 1.0043 0.2438 0.7508 2.4008 0.8100 1.5323 0.3458 0.9165 Tr N2 Tr O1 Tr O2 Tr P1 Tr P2 Tambak intensif Int B1 Int B2 Int C1 Int C2 C2(-3) Int G2(-2) Int O1 Kontrol positif TDH (ATCC 43996) TRH (AQ4307) 0.0475 0.0851 0.0082 0.0060 0.0100 0.0261 0.0431 0.0088 0.0060 0.0088 1.8199 1.9745 0.9318 1.0000 1.1364 0.3563 0.6383 0.0615 0.0450 0.0750 0.1171 0.0823 0.0156 0.0825 0.0483 0.0748 0.4971 0.0623 0.0431 0.0114 0.0464 0.0298 0.0465 0.2588 1.8796 1.9095 1.3684 1.7780 1.6208 1.6086 1.9208 0.8783 0.6173 0.1170 0.6188 0.3623 0.5610 3.7283 0.0527 0.0214 0.0311 0.0132 1.6945 1.6212 0.3953 0.1605 a b Kemurnian DNA dihitung berdasarkan rasio OD 260/OD 280 Konsentrasi DNA dihitung berdasarkan rumus : [DNA] = OD 260 X 50 X FP FP : faktor pengenceran : 100X