BAB II KONTEKS DAN LOKASI PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KONTEKS DAN LOKASI PENELITIAN
2.1 SEKSUALITAS LESBIAN DITINJAU SECARA HISTORIS
2.1.1
Sejarah Homoseksualitas dari Masa ke Masa
a. Homoseksualitas sebelum abad 19
Fakta sejarah mencatat bahwa sejak awal sejarah manusia, sudah ada yang
menjalin hubungan erotik romantik dan/atau ritual dengan sesama gender atau
antara penyeberang gender dan gender yang ada dalam masyarakat 56. Disebutkan
juga bahwa dalam kebanyakan hal, hubungan itu berlangsung bersamaan dengan
hubungan perkawinan atau sebelumnya. Hubungan tersebut baru berwujud konsep
identitas homoseksual pada akhir abad ke 1957. Konsep identitas homoseksual ini
lahir di era kemunculan dan perkembangan awal kapitalisme. Menurut Sudiono,
lahirnya konsep homoseksual sebagai identitas ini kemudian malah melahirkan
kecaman akibat hegemoni heteroseksualitas, “yang sengaja diproduksi terus
menerus untuk mempertahankan sistem”.
“Sebagai contoh, pada masyarakat Yunani kuno, hubungan intim antara pria tua dan pria
remaja diartikan sebagai bentuk tertinggi dari cinta. Suatu masyarakat kesukuan pada
masa tertentu, mengakui laki-laki atau perempuan yang mengambil peran jender
(perempuan berperilaku feminin dan laki-laki cendrung maskulin) dari jenis kelamin yang
berlawanan. Pada masyarakat tersebut, praktek homoseksual diakui tidak sebagai kategori
manusia yang harus ditoleransi atau dimaklumi, melainkan sebagai bagian dari
masyarakat yang selalu eksis sehingga menjadi keniscayaan.”58
56
Gaya Nusantara, Loc. Cit.
Linda Sudiono, Loc. Cit. hal.10
58
Ibid.
57
35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Oetomo (2001 : 52) juga menjelaskan tentang masyarakat Yunani Kuno, yang
peradabannya merupakan akar peradaban Barat hingga masa kini pun, cinta
homoseks dianggap ideal dan dilembagakan. Berikut pemaparannya :
“Para prajurit laki-laki diharapkan oleh masyarakat waktu itu untuk mempunyai seorang
sahabat laki-laki yang lebih muda, yang dicintainya dan merupakan kawan setianya dalam
berlatih, berolahraga, berlomba dan tentu saja bercinta. Para filsuf seperti Plato dan Sokrates
pun mempunyai sahabat muda seperti itu, walaupun juga mempunyai istri dan anak. Ada
indikasi bahwa homoseksualitas eksklusif tidak diperbolehkan.”
Menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan
sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dan Ganymede, Herakles dan Iolaus
(Hylas), Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), sang
penakluk
dari Macedonia.
Berbeda dengan
masyarakat
Yunani
Kuno,
Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan moralitas yang mengharamkan
perbuatan homoseks dan bahkan mengatur pengharaman itu melalui berbagai
undang-undang (Oetomo, 2001 : 53). Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada
kehidupan homoseks di Roma. Oetomo mencatat ada maharaja (kaisar) Roma
yang menyukai perbuatan homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon
pernah bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi
seperti Virgil, Horatius, Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami
cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung
mereka.
Menurut Jamie Gough dan Mike Mcnair yang dirujuk oleh Sudiono, aktivitas
seksual gay pada masa lalu dianggap sebagai potensi universal, bukan sebagai
sesuatu yang melekat pada individu tertentu (khusus). Di Eropa, pada abad
36
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pertengahan atau Yunani Kuno, pengertian homoseksual seperti yang kita
mengerti saat ini tidak akan dimengerti.
Oetomo juga berhasil menggali sejarah masa lampau tentang bagaimana dan
sejak kapan seks manusia hanya ditujukan untuk prokreasi. Menurutnya, Agama
Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi sangat berpengaruh untuk menciptakan
konstruksi tersebut.
“Agama Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi (Yudaisme) memang mempunyai
pandangan terhadap seks yang oleh sejarawan seksualitas Vern L. Bullough dinamakan sexnegative. Seks hanyalah melulu untuk prokreasi (mendapatkan keturunan) di dalam
pernikahan resmi (yang disahkan oleh gereja); pemanfaatan kemampuan seks pada manusia
untuk tujuan lain (rekreasi, misalnya) dipandang sebagai penyimpangan yang penuh noda dan
dosa. Perbuatan seks yang diizinkan pun biasanya dibatasi pada senggama antara penis dan
vagina dengan posisi wanita di bawah laki-laki. Beberapa sekte Kristen yang ekstrem malah
mengharuskan pasangan suami-istri yang bersenggama itu tetap berpakaian lengkap.”
Dalam banyak sejarah kebudayaan Indonesia59, praktek homoseksual dan
transjender dikenal dengan baik dan bahkan dihormati karena posisinya dalam
masyarakat. Ada bissu, calalai dan calabai di Sulawesi, warok dan gemblak di
Ponorogo, kemudian ada istilah-istilah lokal lain dalam berbagai budaya di
Indonesia yang digunakan untuk menjelaskan keberagaman orientasi dan identitas
seksual atau identitas jender. Namun, keragaman gender dan seksualitas ini
sekarang seolah “terlarang” dan distigma bukan bagian dari budaya Indonesia60.
Perilaku dan identitas LGBTI dianggap sebagai “kebarat-baratan” dan memalukan
bangsa.
Menurut
Oetomo,
budaya-budaya
Nusantara
kaya
akan
fenomena
pelembagaan (institusionalisasi, pemranataan) homoseksualitas. Baginya, hal ini
59
Khanis Suvianita, Laporan Situasi HAM LGBTI Di Indonesia Tahun 2012. Pengabaian Hak
Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender : Kami Tidak Diam, (Jakarta : Forum
LGBTIQ Indonesia dan Gaya Nusantara, 2013), hal. 13
60
Ibid.
37
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sangat
mirip
dengan
keadaan
di
Yunani
Kuno.
Pandangan
terhadap
homoseksualitas dan perbuatan homoseks tidak saja dinilai positif dalam berbagai
budaya tradisional Nusantara, tetapi sebagian mereka justru melembagakannya.
Berikut beberapa warisan budaya Indonesia yang melembagakan praktek
homoseksual atau transjender yang ditulis oleh Oetomo :

Aceh
Laki-laki Aceh sangat menggemari budak dari Nias. Budak-budak lelaki
yang remaja, dalam posisinya sebagai penari (sadati) atau lainnya, "disuruh
melayani nafsu tak alamiah orang-orang Aceh." Sebagian penari itu adalah anakanak orang miskin dari pedalaman. Puisi sadati terkenal karena erotismenya;
sebagian jelas-jelas mengacu pada hubungan kelamin sesama jenis. Hurgronje
malah menyatakan bahwa laki-laki Aceh lebih menghargai persetubuhan dengan
sesama jenisnya daripada dengan lawan jenis.

Minangkabau
Di ranah Minangkabau dikenal kebiasaan percintaan antara laki-laki yang
lebih tua (induk jawi) dengan remaja laki-laki (anak jawi).

Jawa
Di pesantren-pesantren di Jawa dikenal sebuah kebiasaan yang disebut
mairil, bahkan konon sampai sekarang. Seorang wartawan majalah Tempo asal
pesantren mengisahkan sebuah malam Jumat di pesantrennya yang selalu ada
acara hura-hura untuk bersaing memperebutkan mairil (santri remaja) yang paling
38
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
favorit. Bagi sang mairil, menjadi kesayangan seorang kyai adalah puncak dari
gengsi di lingkungan pesantren itu. Di antara para santri sendiri juga terjadi
hubungan kasih sayang semacam kakak-adik yang juga disertai persetubuhan.
Di Jawa, pelembagaan homoseksualitas dikenal juga pada hubungan
warok-gemblak, terutama di Ponorogo (walaupun tradisi gemblakan nampaknya
dijumpai pula di kawasan-kawasan lain seperti Surabaya dan sekitamya). Sang
warok
(laki-laki
dewasa)
memelihara
gemblak(-gemblak)-nya
(remaja)
berdasarkan kontrak dengan orangtua sang gemblak (berupa pemberian sapi,
misalnya). Hal itu dilakukan demi ilmu kesaktian
(kanuragan)
yang
mewajibkannya menjauhi wanita. Namun warok juga beristri dan berketurunan,
biasanya apabila ia sedang tidak mencari kesaktian. Ada laporan pernah ada
warok-gemblak lesbian di Ponorogo. Namun hal itu tidak dijelaskan secara
lengkap oleh Oetomo.
Pelembagaan homoseksualitas di Jawa juga dapat dilihat pada kesenian
pentas, seperti ludruk dan gandrung. Juga ada bukti-bukti bahwa tarian seperti
bedhaya dahulunya senantiasa ditarikan oleh remaja laki-laki yang sengaja dipilih
lemah gemulai (kewanitaan). Hal ini kemungkinan besar erat hubungannya
dengan tabu akan kontak dengan wanita di luar pernikahan sah. Lembaga banci
tampaknya juga merupakan sisa-sisa fenomena serupa. Perhatikan bahwa
sebagian banci, yang kini minta disebut secara terhormat sebagai wadam atau
waria, masih juga berkecimpung dalam bidang kesenian pentas.
39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bali
Dr Julius Jacobs, seorang pejabat kesehatan di daerah Banyuwangi pada
akhir abad yang lalu (1883) melaporkan tentang kesenian gandrung. Penari
gandrung yang disaksikan Jacobs adalah bocah laki-laki usia 10-12 tahun yang
berpakaian wanita. Dengan genitnya bocah-bocah ini menari, disambut oleh lakilaki yang menontonnya, yang ikut menari, menciuminya, memberinya uang
kepeng. Menurut Jacobs, kebiasaan ini dianggap biasa oleh orang-orang Bali,
tidak ditutup-tutupi.
Di Bali juga dikenal adanya pasangan-pasangan homoseks laki-laki
maupun wanita (lesbian). Perbuatan homoseks antara laki-laki disebut menyilit
('mendubur') dan di antara wanita disebut mencengceng juuk ('cunnilingus').
Laporan Jacobs memberikan kesan betapa bebas dan cerianya orang-orang Bali
kala itu menikmati pemanfaatan perkelaminan.

Kalimantan
Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara (medium-priest) yang
mengenakan pakaian lawan jenis. Basir, yang adalah laki-laki namun dalam
segala hal ia berlaku sebagai wanita, termasuk dalam orientasi seksual. Balian
adalah yang wanita tapi ia tetap berlaku sebagai wanita. Transvestisme dan
homoseksualitas sang basir tampaknya erat terkait dengan sakralitas (kesucian)
fungsinya dalam ritus-ritus.
40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sulawesi
Di kalangan suku Makasar, laki-laki homoseks yang disebut kawe, diberi
tugas menjaga pusaka, jabatannya diberi nama bisu. Seorang bisu diharapkan
mengenakan pakaian wanita dan berperilaku homoseks atau menjauhi kontak
dengan wanita, diduga demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Dengan
perkataan lain, wanita dianggap, seperti pada kasus warok, sebagai kekuatan
pengotor.
Ada pula suatu institusi yang tidak sakral, yakni bajasa (artinya 'penyaru')
pada suku Toraja Pamona (bare' e) di Sulawesi. Identitas laki-laki pada suku ini di
masa lampau adalah ikut bertempur. Laki-laki yang karena suatu hal (usia tua,
cacat fisik) tak dapat bertempur, kemudian diberi jalan keluar dengan berpakaian
wanita sebagai seorang bajasa. Sebagian bajasa dapat menjadi tadu mburake,
yaitu pendeta (shaman) pada suku Toraja ini.
b. Homoseksualitas setelah abad 19
Forum LGBTIQ61 Indonesia (2012 : 9) mencatat sejak abad ke-20, terjadi
perubahan di Indonesia yang oleh banyak pihak diabaikan atau tidak disadari,
namun oleh sebagian pihak dimusuhi, yaitu mengkristalnya identitas dan ekspresi
jender yang bukan hanya perempuan dan laki-laki. Hal ini menyebabkan
dikenalnya jender lain seperti waria dan tomboi (priawan) dengan semua
permutasinya, dan juga orientasi seksual yang bukan hanya terhadap jenis kelamin
61
Tambahan huruf Q pada singkatan LGBTIQ merujuk kepada queer yang merupakan istilah
politis oleh kelompok-kelompok minoritas seksual yang menganggap identitas seksual adalah
sesuatu yang cair dan tidak dapat dikotak-kotakkan secara kaku dalam kategori lesbian, gay atau
transjender. Lihat Evelyn Blackwood (dalam Sri Agustine dan Evi Lina Sutrisno (eds.), 2013 : 17).
41
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang berbeda dengan jenis kelamin kita sendiri (heteroseksualitas), melainkan
juga orientasi seksual terhadap jenis kelamin yang sama dengan jenis kelamin kita
sendiri (homoseksualitas), atau sekaligus juga dengan yang berbeda dari jenis
kelamin kita (biseksualitas), kembali dengan semua permutasinya berdasarkan
perilaku (yang dapat tanpa identitas), orientasi dan identitas.
Forum LGBTIQ Indonesia melaporkan seperti di bawah ini :
“Kelindan antara perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
tuntutan kesetaraan yang diilhami oleh humanisme dan gerakan kesetaraan perempuan serta
ras, bangsa dan etnik, melahirkan identitas yang mengkristal macam waria, tomboi (priawan),
lesbian, gay, biseksual dan yang paling mutakhir interseks (jenis kelamin biologis yang bukan
baku perempuan atau laki-laki). Tentunya ini bukan berarti bahwa sebelum abad ke-20 tidak
ada ekspresi gender yang tidak menaati kebakuan gender yang dititahkan masyarakat, yang
pada banyak masyarakat etnik maupun nasional kita diberi tempat yang lumayan
menyejahterakan (tetapi n.b. tetap saja terbatas) atau tidak ada orang yang melakukan
hubungan seks (acapkali juga dengan jalinan hubungan emosional-romantik) dengan mereka
yang berjenis kelamin sama (yang kembali pada beberapa masyarakat etnik kita dilembagakan
dalam kesenian dan praktik ritual, umpamanya) dan bukan berarti bahwa orang interseks
(yang pernah disebut hermafrodit, istilah yang sekarang dianggap menstigma). Semua itu
sudah lama ada. Akan tetapi yang penting dicamkan adalah bahwa dalam masyarakat kita
sekarang ada berbagai perilaku seksual, ekspresi gender dan identitas gender atau seksual
yang tidak menaati rezim orientasi seksual dan identitas gender yang diberlakukan oleh
ideologi dominan negara, agama, budaya dan sains yang hanya mengakui binerisme gender
dan heteronormativitas (yang juga hampir terobsesi dengan keluargaisme). Ideologi dominan
ini direproduksi di keluarga, sekolah, tempat kerja dan pranata masyarakat lainnya secara
hegemonik atau kadang bahkan melalui diskriminasi dan kekerasan.”
Pengaruh yang cukup besar juga datang dari pemikiran yang lebih toleran dari
psikiatri/ psikologi. Bagi Oetomo (2001 : 57), walaupun pada mulanya Sigmund
Freud menganggap homoseksualitas sebagai patologi berupa terhambatnya
perkembangan psikoseksual seseorang, pada akhirnya ia sendiri menganggapnya
bukan sebagai patologi. Pada tahun 1935, jelas Oetomo, dalam menjawab surat
seorang ibu yang berkonsultasi kepada Freud tentang anak laki-lakinya yang
homoseks, dinyatakannya :
“Homoseksualitas sudah pasti bukanlah sesuatu yang menguntungkan, namun tidak patut
digolongkan sebagai penyakit; kami memandangnya sebagai suatu variasi
perkembangan seksual. Banyak individu yang terhormat dari zaman dulu maupun
sekarang adalah homoseks . ... Dengan bertanya kepada saya apakah saya dapat
42
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menolong, saya kira Ibu bermaksud menanyakan apakah saya dapat menghapuskan
homoseksualitas dan membuat heteroseksualitas normal menggantikannya. Jawaban
untuk pertanyaan itu, pada umumnya, bahwa kami tidak dapat menjamin hal itu dapat
dicapai. Dalam sejumlah kasus tertentu kami berhasil mengembangkan benih-benih
rusak dari kecenderungan heteroseks yang ada dalam setiap orang homoseks; dalam
kebanyakan kasus hal itu tidak mungkin lagi ....”
Oleh karena Freud sendiri tidak banyak menulis tentang homoseksualitas,
maka kemudian murid-muridnya banyak yang melupakan pendapat Freud. Oleh
sebab itu, hingga saat ini literatur baku mengenai homoseksualitas dalam
psikologi Freudian, fenomena homoseksual selalu dipandang sebagai "patologi
berupa terhambatnya perkembangan psikoseksual seseorang." (Oetomo, 2001 :
58).
Catatan sejarah juga menyatakan bahwa istilah homoseks sendiri pertama kali
diciptakan oleh Dr K.M. Kertbeny, seorang dokter Jerman-Hongaria pada tahun
186962. Setelah itu pada tahun 1920-an, komunitas homoseks kemudian mulai
bermunculan di kota besar Hindia-Belanda. Di Indonesia, istilah wadam sendiri
pertama kali diciptakan pada sekitar tahun 1968, sebagai istilah yang lebih halus
untuk menggantikan kata bencong atau banci. Organisasi wadam pertama di
Indonesia, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri pada tahun 1969,
difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada waktu itu. International
Lesbian and Gay Association (ILGA), sebuah asosiasi LGBTIQ yang forumforumnya berlanjut hingga saat ini, berdiri di Dublin, Irlandia pada Juni 1969,
namun tidak dijelaskan tentang kemunculan awal dan perkembangan komunitas
lesbian pra asosiasi tersebut.
62
http://gn-intern.blogspot.com/2009/03/perjalanan-sejarah-waria-gay-dan.html
43
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sumber lain menyebutkan bahwa Gelombang Feminisme II yang juga
mengangkat isu-isu seksualitas pun berpengaruh bagi kemunculan gerakan
pengakuan identitas seksual (LGBTI).63 Di Jerman misalnya, gerakan ini diawali
oleh Wissenschsftlich-Humanitares Komitee (WhK/Scientific Humanitarian
Committee) yang dibentuk pada 1897 dengan tuntutan untuk menghapuskan Pasal
175 dalam Hukum Pidana Jerman yang mengkriminalisasikan homoseksual.
Selain itu, Magnus Hirschfeld juga mengorganisir kongres dunia untuk reformasi
seksual pada 1921.
Perjuangan identitas seksual kemudian terjadi di beberapa negara seperti
Kanada, Argentina, New York dan Chili pada era 1960an hingga 1970an. Di
Indonesia sendiri, wacana seksualitas mulai hadir pada kurun waktu 1990an
seiring dengan masuknya fenomena HIV/AIDS. Bahkan apa yang sejak abad ke19 disebut oleh sains sebagai homoseksualitas sebetulnya bukan hal yang baru di
masyarakat Nusantara (Oetomo, 2001 : 48). Hingga sekarang pun, fenomena itu
terus berkembang walau dalam berbagai konstruksi.
Oetomo dalam bukunya Memberi Suara pada yang Bisu menyatakan :
“…adalah kenyataan bahwa sejak zaman dahulu kala, fenomena hubungan seks maupun
romantik antara sesama lelaki maupun adat menggabungkan dua gender dalam diri seseorang
(transgenderisme), sudah dikenal dan dipraktikkan di masyarakat kita. Lagi pula, fenomena ini
berkembang dan tumbuh secara terintegrasi dengan masyarakat pada umumnya, bahkan
hingga kini pun, ketika bahasa binan, yaitu bahasa khas gay dan waria, telah menjadi bahasa
gaul yang dipakai di segala lapisan masyarakat yang mengikuti perkembangan trend
pergaulan di masyarakat.”
63
Yulita, Christina, et.al. Modul Sekolah Feminis #5 untuk Pemula. Jakarta : Komite Nasional
Perempuan Mahardhika, 2013.
44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada Desember 1993, Kongres Lesbian dan Gay (KLGI) I diselenggarakan di
Yogyakarta. KLGI II kemudian menyusul di Jawa Barat pada 1995. Sejarah
munculnya organisasi LGBTIQ di Indonesia dapat dilihat seperti di bawah ini :
“Orang-orang LGBT di Indonesia sudah cukup lama berorganisasi. Semua berawal dari tahun
1960-an. Waria adalah kelompok pertama yang membentuk organisasi, yaitu Himpunan
Wadam Djakarta (HIWAD) yang berdiri pada tahun 1968 di Jakarta yang difasilitasi oleh Ali
Sadikin, Gubernur Jakarta masa itu, kemudian diikuti oleh organisasi gay melalui Lambda
Indonesia pada tahun 1980-an dan selanjutnya kelompok lesbian dimulai dengan organisasi
PERLESIN pada masa kurun waktu yang bersamaan. Sayangnya organisasi lesbian sempat
vakum beberapa lama sama pada Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama setelah rejim
Orde Baru tahun 1999, untuk pertama kalinya kelompok perempuan secara terbuka
memperhatikan persoalan-persoalan lesbian dan pada saat itu juga KPI menunjukkan
perhatiannya secara serius dengan membentuk sektor 15 yang secara khusus memberikan
perhatian pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LBT (Lesbian, Bisexual and
Transgender). Dan selanjutnya pada tahun 2000 organisasi-organisasi lesbian bermunculan di
berbagai tempat seperti di Jakarta ada Ardhanary Institute, Kipas di Makasar, Gendhis di
Lampung dan di daerah lainnya.”64
2.1.2
Catatan Sejarah Seksualitas Lesbian yang Minim
Pada Bab I di atas, penulis telah menguraikan tentang peminggiran seksualitas
perempuan dan lesbian. Hal ini cukup dirasakan oleh penulis ketika menelusuri
referensi mengenai sejarah perkembangan lesbian di Indonesia. Referensi sejarah
lesbian dalam lingkup internasional sebenarnya ada banyak namun penulis
mengalami beberapa kendala teknis untuk mengaksesnya. Buku-buku lesbian
yang berbahasa Indonesia tidak tersedia di toko-toko buku seperti halnya bukubuku lainnya. Oleh karena itu, penulis langsung memesan beberapa buku yang
diterbitkan oleh Ardhanary Institute, yang hanya didistribusikan oleh Ardhanary
Institute dan bisa dipesan melalui telepon dan online. Berikut ini beberapa hasil
penelusuran penulis.
64
Khanis Suvianita, Op. Cit, hal. 18
45
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut Oetomo (2001 : 53), pelembagaan homoseksualitas pada perempuan
seperti pada masyarakat Yunani Kuno tidak ada. Ini disebabkan karena wanita
Yunani Kuno sangat terbatas ruang geraknya di luar rumah. Hanya ada catatan
sejarah mengenai penyair wanita Sappho (abad ke-6 SM.), yang mengepalai
sekolah gadis di Mytilene di Pulau Lesbos. Nama pulau inilah yang kemudian
pada zaman sekarang digunakan untuk menyebut homoseks perempuan. Orang
Yunani kala itu sendiri menyebut homoseksualitas pada wanita tribade (dari kata
tribein: 'menggosok').
Intitute Perempuan mencatat hubungan cinta sejenis antara perempuan
pertama kali yang berasal dari Yunani Kuno. Chris Poerba (dalam Sri Agustine
dan Evi Lina Sutrisno (eds.), 2013 : 126) juga menyebutkan hal serupa.
Penjelasannya sebagai berikut :
“Sappho, eponim dari “sapphism,” diduga memiliki kehidupan cinta yang kompleks bahkan
literatur kuno juga menyebut-nyebut hubungannya dengan lelaki; sementara nara sumber
jaman dahulu, Maximus of Tyre, menganggap hubungannya dengan murid-murid perempuan
di sekolah itu murni platonik. Intelektual modern, berdasarkan teks kuno, menunjukkan
hubungan paralel jalinan cinta Yunani kuno antara lelaki dewasa dan anak-anak lelaki yang
belum dewasa dengan Sappho dan anak didiknya, di mana baik pedagogi (pendidikan)
maupun pederasti berperan. Hubungan lesbian juga diberitakan dalam Sparta Plutarch, teks
kuno tentang orang-orang Lacedaemonia, yang memberitakan bahwa “cinta begitu dihargai di
antara mereka sehingga anak-anak perempuan juga menjadi sasaran erotis perempuanperempuan terhormat.” Rekaman hubungan lesbian juga ditemukan dalam puisi dan ceritacerita Cina kuno, tetapi tak didokumentasikan dengan rinci seperti homoseksualitas laki-laki.
Pada jaman pertengahan ada laporan dari Arab tentang hubungan para penghuni harem.
Mereka biasanya ditekan, bahkan atas perintah Kalifah Musa al-Hadi ada dua gadis yang
dipenggal kepalanya ketika tengah bercinta.”65
Dalam minimnya catatan mengenai seksualitas lesbian pada masa lampau,
penulis juga berhasil menemukan catatan tentang Anna Rulling, seorang pelopor
pejuang lesbian di awal abad 20. Anna adalah seorang perempuan Jerman yang
65
http://www.pelangiperempuan.or.id/berita/etimologi-lesbian/
46
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sudah menjadi aktivis lesbian pertama di tahun 1904 dan menyatakan diri secara
terbuka sebagai lesbian66. Catatan mengenai Anna dan peran-perannya di masa
lampau ditulis oleh Simone de Beauvoir dalam buku The Second Sex sehingga
jejaknya masih dapat diketahui hingga saat ini67.
2.2 SITUASI DAN KONDISI LESBIAN SECARA INTERNASIONAL
DAN NASIONAL
2.2.1
Situasi dan Kondisi Lesbian secara Internasional
Pengakuan adanya hak asasi manusia yang secara universal sudah disepakati
dan tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, pasal 1
menyebutkan: “Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan
martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan harus bersikap
terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Pasal ini memberikan
makna bahwa hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak asasi yang
dimiliki sejak lahir untuk setiap orang tanpa terkecuali. Seseorang tidak bisa
didiskriminasi dan diperlakukan berbeda karena semua setara adanya. Namun,
pengakuan universal bahwa setiap orang sama dan bebas tidak berlaku pada
kelompok-kelompok minoritas seksual seperti orang-orang LGBTI yang ingin
menampilkan jati diri mereka68.
Pada tahun 2007, Yogyakarta Principles (2007 : 3) yang menjadi standart
hukum internasional yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas jender
66
Dian Septi, “Anna Rulling : Pelopor Perjuangan Lesbian”, Buletin Mahardhika, Maret 2011, hal.
32.
67
Ibid.
68
Khanis Suvianita, Op. Cit, hal. 12
47
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dipublikasikan sebagai global charter untuk LGBT rights. Kendatipun memang
dokumen ini tidak mengikat secara hukum, tapi bisa dijadikan sebagai dokumen
pedoman pendukung. Selanjutnya pada 17 Juni 2011, dewan HAM PBB untuk
pertama kalinya mensahkan resolusi pertama yang secara spesifik mengangkat isu
pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender. Resolusi
persamaan hak ini menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan
sederajat dan setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan kebebasannya tanpa
diskriminasi apapun. Selain itu, suara-suara pembelaan hak asasi LGBTI sudah
banyak disuarakan baik di tingkat internasional, regional dan nasional. Namun
begitu, Forum LGBTIQ Indonesia menyatakan bahwa perjuangan hak asasi
berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender ini masih harus terus
diperjuangkan karena masih banyak negara-negara yang mengkriminalisasikan
orang-orang homoseksual dan tidak ada perlindungan yang serius bagi orangorang LGBTI.
Saat ini, masih terdapat 80 negara termasuk Indonesia yang UndangUndangnya masih mendiskriminasi homoseksual, tujuh di antaranya masih
memberikan hukuman mati terhadap mereka.69 Di Barat sendiri, jelas Oetomo,
walaupun ada gerakan gay dan lesbian yang berusaha memperjuangkan hak-hak
kaumnya, walaupun fasilitas hura-hura cukup banyak, walaupun sebagian negara
telah menghapuskan undang-undang yang melarang perbuatan homoseks, namun
hidup sebagai seorang gay dan lesbian di Barat bukanlah juga sesuatu yang selalu
menyenangkan. Walaupun ada komunitas-komunitas dimana dipilihnya seorang
69
Vivi Widyawati, Loc.Cit, hal. 13
48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pemimpin sangat tergantung pada sikapnya terhadap kaum gay dan lesbian, tetap
masih ada juga orang gay atau lesbian yang diejek di jalan, dikepruk dengan botol
bir, didiskriminasi dalam berbagai hal (perumahan, perpajakan, pernikahan,
warisan, pekerjaan dan sebagainya).
2.2.2 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Nasional
Laporan Forum LGBTIQ Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia sekarang
menjadi LGBTI bukan perkara mudah karena harus berhadapan dengan berbagai
macam stigma, diskriminasi, penolakan, kekerasan dan penyiksaan dari keluarga,
masyarakat, agama dan negara. Berbagai tindakan pelanggaran HAM yang terjadi
pada LGBTIQ di Indonesia yang terus ada di berbagai tempat juga berhasil
didokumentasikan, seperti berikut ini : pemaksaan merubah penampilan (gender
expression), diusir dari tempat tinggal, dipaksa menikah, dipukul, disiksa,
terpaksa dan atau dipaksa berhenti dari sekolah, dikeluarkan dari tempat kerja dan
berbagai bentuk diskriminasi, pelecehan seksual dan kekerasan lainnya. Itu juga
sebabnya kenapa banyak orang LGBTIQ yang tertutup dengan status orientasi
seksualnya karena takut dengan berbagai isu kekerasan yang akan dihadapi, belum
lagi bila harus kehilangan pekerjaan. Bila pun mengalami kekerasan mereka tidak
akan melaporkan kasus-kasusnya karena merasa percuma dan kuatir akan
mengalami kekerasan yang lain.
Bahkan pada Maret 2010 ketika berlangsung kongres ILGA (International
Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association) yang dilakukan di
Surabaya dan mendapatkan penyerangan dari kelompok yang mengatasnamakan
49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
agama, pemerintah malah tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
pada orang-orang LGBTIQ, dalam hal ini kepolisian pada waktu itu. Kegiatan
tersebut pun dengan terpaksa tidak bisa dilaksanakan. Tempat berlangsungnya
acara diserbu, peserta pun mendapatkan kekerasan dan ancaman yang
menimbulkan trauma pada sebagian orang.
Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah adanya pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh orang-orang homofobia dan transfobia, pelanggaran terhadap hak
berekspresi, hak berkumpul dan berserikat serta diskriminasi yang terus menerus
terjadi pada orang-orang LGBTI. Bagi Forum LGBTIQ Indonesia sendiri,
tindakan pelanggaran HAM ini dilakukan oleh kelompok masyarakat dan
keluarga, namun aparat pemerintah cenderung mengabaikan kewajibannya (by
omission) untuk melindungi HAM setiap orang. Jadi seolah-olah HAM tidak bisa
ditegakkan pada orang-orang LGBTI dengan berbagai alasan seperti norma, adat
istiadat, agama, dan “bukan budaya Indonesia”.
Perubahan sosial dan perkembangan demokrasi di
Indonesia, juga
memberikan ruang bagi orang-orang dan organisasi LGBTI untuk mulai
membicarakan dan menyuarakan hak-hak mereka. Beberapa organisasi seperti
Arus Pelangi, GAYa NUSANTARA, Ardhanary Institute, Our Voice, Kipas,
Perwakos dan lainnya sudah mulai membicarakan hak-hak LGBTI dan mulai
melakukan advokasi ke berbagai pihak yang terkait langsung dengan persoalan
yang mereka alami dan hadapi.
Orang-orang LGBT di Indonesia juga sudah cukup lama berorganisasi. Semua
berawal dari tahun 1960-an. Waria adalah kelompok pertama yang membentuk
50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
organisasi, yaitu Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang berdiri pada tahun
1968 di Jakarta yang difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta masa itu,
kemudian diikuti oleh organisasi gay melalui Lambda Indonesia pada tahun 1980an.
Pada Juni 2013 lalu, penulis hadir sebagai salah satu peserta dalam sebuah
Dialog Nasional Komunitas LGBTI Indonesia di Nusa Dua, Bali. Dalam
pertemuan yang diselenggarakan oleh Forum LGBTIQ Indonesia tersebut,
Agustine (Direktur Ardhanary Institute) dalam presentasinya menyebutkan bahwa
Sapho merupakan organisasi lesbian pertama di Indonesia yang berdiri pada 1984.
Berdirinya Sapho diprakarsai oleh Lambda Indonesia. Selanjutnya lahirlah
organisasi PERLESIN pada masa kurun waktu yang bersamaan.70 Selanjutnya
jelas Agustine, pada 1993 lahir pula Chandra Kirana, yang membangun jaringan
kerja lesbian se-Nusantara. Pada 21 April 1997, lahir organisasi lesbian yang
dinamai Harley di Makasar, Sulawesi Selatan, di bawah naungan GAYa Celebes.
Harley – singkatan dari Hanter/ Hunter dan Lines. Di Pontianak, Kalimantan
Barat, sekelompok lesbian mendirikan persatuan sepak bola khusus perempuan
tomboy, Gest Boy pada tahun 1998, lalu berganti nama menjadi Ganesha dan
selanjutnya berganti nama lagi menjadi Pertopan (Persatuan Tomboy Pontianak).
Sayangnya organisasi lesbian sempat vakum beberapa lama, dan pada
Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama setelah rejim Orde Baru tahun
1999, untuk pertama kalinya kelompok perempuan secara terbuka memperhatikan
persoalan-persoalan lesbian. Pada saat itu juga KPI menunjukkan perhatiannya
70
Khanis Suvianita, Op. Cit, hal. 18
51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
secara serius dengan membentuk sektor 15 yang secara khusus memberikan
perhatian pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LBT (Lesbian, Bisexual
and Transgender).
Perkembangan organisasi lesbian setelah itu semakin pesat. Lanjut Agustine,
pada tahun 2000 lahir Swara Srikandi, organisasi lesbian yang bekerja
menggunakan media cyber sebagai alat gerakan. Institute Pelangi Perempuan lahir
pada tahun 2005, yang menjadi pusat kegiatan dan informasi bagi kelompok
lesbian muda di Indonesia . Lalu ada lagi Lembayung Institute yang bekerja
melakukan pendampingan hukum bagi para lesbian, Arus Pelangi (2006) yang
walaupun bukan organisasi khusus LBT namun melakukan advokasi hak-hak
LGBT, Ardhanary Institute (2007) yang menjadi pusat kajian, penerbitan dan
advokasi bagi kaum LBT dan pada tahun 2009 dalam upaya menghapuskan
kekerasan terhadap perempuan –khususnya perempuan LBT- mengembangkan
sebuah crisis center untuk korban kekerasan LBT yang disebut LBT Crisis Center.
Selain berbentuk organisasi, Agustine juga menambahkan bahwa pada tahun
2008 hingga 2012 bermunculan pula komunitas-komunitas lesbian yang
membentuk kelompok baik di Jakarta maupun wilayah lainnya. Sedangkan di
dunia cyber, muncul pula group-group lesbian yang salah satunya beranggotakan
hingga 7000 members. Sekarang ini, jumlah group yang ada di dunia cyber
berjumlah 80 dengan nama-nama senada seperti Belokers, Dunia Koleb, ButchiFemme Community, Linez Community dan lain-lain.
Di Sumatera Barat lahir organisasi LBT bernama Perempuan Serumpun
(2008) dan Tunas Pelangi 2011. Di Surabaya lahir organisasi lesbian bernama
52
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dipayoni (2009). Di DI Yogyakarta kelompok lesbian bergabung dengan
organisasi LGBT bernama PLU Satu Hati dan sebagian lagi bergabung di
organisasi lesbian. Tahun 2010 lahir Komunitas Perempuan Serumpun (KIPAS)
di Sulawesi Selatan, Talita Kum Solo, Rumah Kita di Medan, L’World Indonesia,
LWI Bali. Tahun 2011-2012 lahir Gamacca Makasar , Atapku Aceh (sekarang
berganti nama menjadi Learning Together), Gendhis LBT Lampung. Dan pada
2012 lahir pula Perempuan Mandiri di Palembang, Komunitas Perempuan Sehati
atau KOPI Kediri, Klik Samarinda, The Big Family L-Community (TBF L-C) di
Jambi dan Cangkang Queer di Medan (2012). Selain itu menguat juga komunitaskomunitas LBT yang belum berbentuk organisasi di berbagai daerah lainnya
seperti Manado, Banten, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua.
Saat ini pun jumlah organisasi lesbian tersebut kian bertambah di Jakarta dan
di berbagai daerah, antara lain Pelangi Mahardhika di Jakarta yang diinisiasi oleh
Perempuan Mahardhika Jakarta dan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan lain
sebagainya.
Visi Gerakan LBT Indonesia pada periode 1980-2000 menurut Agustine yaitu:
•
Perjuangan menjadi individu yang percaya diri, membentuk komunitas
bagi lesbian dan mengupayakan penerimaan positif masyarakat.
•
Pemberdayaan ekonomi karena kebanyakan LBT miskin secara ekonomi
mengingat 90% dari mereka lari dari rumah karena kekerasan berbasis
SOGI yg dialami.
•
Sifat kegiatan umumnya bersifat tertutup dan hanya untuk kalangan
lesbian sendiri.
53
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sementara itu, Visi Gerakan LBT pada periode tahun 2000-2012 disebutkan
sebagai berikut :
•
Setelah reformasi, bersamaan dengan menguatnya gerakan HAM dan
perempuan, gerakan LBT semakin nampak di ruang publik.
•
Gerakan LBT pada periode ini menekankan pada strategi politik ‘come
out’ dan advocacy, antara lain dengan pendeklarasian organisasi atau
kelompok lesbian di hadapan publik dan kemunculan individu-individu
lesbian yang cukup sering di berbagai media massa cetak maupun
elektronik untuk mengkampanyekan hak-hak mereka.
Agustine juga menyinggung beberapa hal yang menjadi hambatan
gerakan/organisasi lesbian selama ini, antara lain sebagai berikut :
•
Komunitas LBT : persoalan pribadi, percintaan, rebutan pacar,
perselingkuhan dan lain-lain
•
Fundamentalisme
•
Media massa
•
Homophobia dan Transphobia
•
Masyarakat
•
Negara
Dalam pertemuan nasional Forum LGBTIQ Indonesia yang saya hadiri pada
1-3 April 2014 yang lalu, persoalan pribadi, percintaan, rebutan pacar dan
perselingkuhan sangat ditekankan menjadi persoalan yang sangat mewarnai
organisasi atau komunitas lesbian di berbagai wilayah, baik nasional maupun
daerah provinsi.
54
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.3 SITUASI DAN KONDISI LESBIAN DI KOTA MEDAN
2.3.1
Kota Medan secara Geografis dan Demografis
Berikut ini adalah deskripsi Kota Medan sebagai lokasi penelitian yang
sumber datanya diperoleh dari website resmi www.pemkomedan.go.id. Secara
administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan
Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur.
Sepanjang wilayah Utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang
diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli
Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam
(SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara
geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber Daya
Alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli
Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain.
Di samping itu, sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran
Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu
masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik
maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah
mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu
daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Pada 2013 lalu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan,
Muslim Harahap menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Medan yang tercatat
pada Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebesar 2.030.257 jiwa.71
2.3.2
Kota Medan : Pluralisme atau Pluralitas?
Kota Medan adalah salah satu kota di Indonesia dengan masyarakat yang
cukup beragam. Pemko Medan mencatat ada banyak suku dan agama yang ada di
Kota Medan. Dalam sebuah kunjungan ke Museum Negeri Kota Medan, tercatat
bahwa Kota Medan adalah sebuah kota multikultural yang unik dan menarik. Hal
ini disebabkan oleh masuknya pengaruh budaya dan berbagai etnik, seperti yang
sering terdengar di Kota Medan, yaitu di antaranya Karo, Toba, Mandailing,
Pakpak, Simalungun, Melayu, Jawa, Minang dan lain sebagainya. Disebutkan
pula bahwa karakter multikultural tersebut tercermin pada bermacam adat
kebiasaan, logat bahasa serta kekayaan ragam makanan.
Berbagai macam agama, termasuk agama resmi seperti Kristen Protestan,
Kristen Katholik, Islam, Buddha, Hindu, Khonghucu juga terdapat di Kota
Medan. Di belahan bumi Kota Medan bagian pinggir yang seringkali tak terlihat,
masih eksis pula bermacam aliran kepercayaan lokal seperti Parmalim, Pemena,
Ahmadiyah dan lain sebagainya. Ketika Pemko Medan mencatat dalam website
resminya perihal pluralisme pada masyarakat Kota Medan, penulis sengaja lebih
memilih menekankan Kota Medan sebagai kota pluralitas, bukan pluralism. Ini
71
http://www.pemkomedan.go.id/news_detail.php?id=13792
56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dilakukan karena penulis menemukan data-data yang menunjukkan tindakan
intoleransi antar elemen masyarakat berdasarkan perbedaan aliran kepercayaan.
Beberapa kasus intoleransi yang terjadi atas dasar perbedaan agama dan etnis
yang penulis temukan antara lain : pelarangan Kongres Konghucu pada Juni 2012
lalu, pelarangan ternak babi di Mandala, dan lain sebagainya. Di wilayah lain
yang masih merupakan wilayah Sumatera Utara juga terjadi kasus-kasus
penyerangan terhadap aliran kepercayaan Ahmadiyah, Parmalim, dan lain
sebagainya. Ini menegaskan bahwa Kota Medan dikenal dengan pluralitasnya,
tapi belum dengan pluralismenya.
2.3.3
Lesbian di Kota Medan
Kondisi di atas, sekalipun tidak terlalu menguntungkan, namun cukup
memberikan ruang yang nyaman bagi LGBTI di Medan untuk mengekspresikan
identitasnya. Sikap cenderung apatis yang muncul karena pluralitas masyarakat
Kota Medan justru membuat LGBTI tidak terlalu diperhatikan dan diusik secara
massa. Tapi bukan berarti bahwa LGBTI tidak mengalami diskriminasi.
Diskriminasi dan kekerasan yang dialami LGBTI di Medan secara umum tidak
dilakukan secara massa, melainkan oleh unit-unit kecil seperti keluarga, teman,
pasangan atau oknum aparatur negara seperti polisi dan lain sebagainya. Jarang
terjadi serbuan atau kecaman yang dilakukan secara massa kepada LGBTI di Kota
Medan. Apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti
57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Surabaya, Jakarta dll, LGBTI di Kota Medan relatif cukup jarang mendapatkan
serangan massa.
Komunitas lesbian, seperti halnya komunitas gay dan waria, tersebar di
berbagai titik di Kota Medan. Mereka berkumpul dan berinteraksi satu dengan
yang lainnya, sesama lesbian. Deskripsi mengenai lesbian di Kota Medan dan
berbagai masalah yang mereka alami akan lebih banyak dijelaskan di Bab III.
58
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Download