BAB II KONTEKS DAN LOKASI PENELITIAN 2.1 SEKSUALITAS LESBIAN DITINJAU SECARA HISTORIS 2.1.1 Sejarah Homoseksualitas dari Masa ke Masa a. Homoseksualitas sebelum abad 19 Fakta sejarah mencatat bahwa sejak awal sejarah manusia, sudah ada yang menjalin hubungan erotik romantik dan/atau ritual dengan sesama gender atau antara penyeberang gender dan gender yang ada dalam masyarakat 56. Disebutkan juga bahwa dalam kebanyakan hal, hubungan itu berlangsung bersamaan dengan hubungan perkawinan atau sebelumnya. Hubungan tersebut baru berwujud konsep identitas homoseksual pada akhir abad ke 1957. Konsep identitas homoseksual ini lahir di era kemunculan dan perkembangan awal kapitalisme. Menurut Sudiono, lahirnya konsep homoseksual sebagai identitas ini kemudian malah melahirkan kecaman akibat hegemoni heteroseksualitas, “yang sengaja diproduksi terus menerus untuk mempertahankan sistem”. “Sebagai contoh, pada masyarakat Yunani kuno, hubungan intim antara pria tua dan pria remaja diartikan sebagai bentuk tertinggi dari cinta. Suatu masyarakat kesukuan pada masa tertentu, mengakui laki-laki atau perempuan yang mengambil peran jender (perempuan berperilaku feminin dan laki-laki cendrung maskulin) dari jenis kelamin yang berlawanan. Pada masyarakat tersebut, praktek homoseksual diakui tidak sebagai kategori manusia yang harus ditoleransi atau dimaklumi, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang selalu eksis sehingga menjadi keniscayaan.”58 56 Gaya Nusantara, Loc. Cit. Linda Sudiono, Loc. Cit. hal.10 58 Ibid. 57 35 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Oetomo (2001 : 52) juga menjelaskan tentang masyarakat Yunani Kuno, yang peradabannya merupakan akar peradaban Barat hingga masa kini pun, cinta homoseks dianggap ideal dan dilembagakan. Berikut pemaparannya : “Para prajurit laki-laki diharapkan oleh masyarakat waktu itu untuk mempunyai seorang sahabat laki-laki yang lebih muda, yang dicintainya dan merupakan kawan setianya dalam berlatih, berolahraga, berlomba dan tentu saja bercinta. Para filsuf seperti Plato dan Sokrates pun mempunyai sahabat muda seperti itu, walaupun juga mempunyai istri dan anak. Ada indikasi bahwa homoseksualitas eksklusif tidak diperbolehkan.” Menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dan Ganymede, Herakles dan Iolaus (Hylas), Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain), sang penakluk dari Macedonia. Berbeda dengan masyarakat Yunani Kuno, Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan moralitas yang mengharamkan perbuatan homoseks dan bahkan mengatur pengharaman itu melalui berbagai undang-undang (Oetomo, 2001 : 53). Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada kehidupan homoseks di Roma. Oetomo mencatat ada maharaja (kaisar) Roma yang menyukai perbuatan homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon pernah bercinta dengan Raja Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi seperti Virgil, Horatius, Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami cinta homoseks yang demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung mereka. Menurut Jamie Gough dan Mike Mcnair yang dirujuk oleh Sudiono, aktivitas seksual gay pada masa lalu dianggap sebagai potensi universal, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada individu tertentu (khusus). Di Eropa, pada abad 36 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pertengahan atau Yunani Kuno, pengertian homoseksual seperti yang kita mengerti saat ini tidak akan dimengerti. Oetomo juga berhasil menggali sejarah masa lampau tentang bagaimana dan sejak kapan seks manusia hanya ditujukan untuk prokreasi. Menurutnya, Agama Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi sangat berpengaruh untuk menciptakan konstruksi tersebut. “Agama Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi (Yudaisme) memang mempunyai pandangan terhadap seks yang oleh sejarawan seksualitas Vern L. Bullough dinamakan sexnegative. Seks hanyalah melulu untuk prokreasi (mendapatkan keturunan) di dalam pernikahan resmi (yang disahkan oleh gereja); pemanfaatan kemampuan seks pada manusia untuk tujuan lain (rekreasi, misalnya) dipandang sebagai penyimpangan yang penuh noda dan dosa. Perbuatan seks yang diizinkan pun biasanya dibatasi pada senggama antara penis dan vagina dengan posisi wanita di bawah laki-laki. Beberapa sekte Kristen yang ekstrem malah mengharuskan pasangan suami-istri yang bersenggama itu tetap berpakaian lengkap.” Dalam banyak sejarah kebudayaan Indonesia59, praktek homoseksual dan transjender dikenal dengan baik dan bahkan dihormati karena posisinya dalam masyarakat. Ada bissu, calalai dan calabai di Sulawesi, warok dan gemblak di Ponorogo, kemudian ada istilah-istilah lokal lain dalam berbagai budaya di Indonesia yang digunakan untuk menjelaskan keberagaman orientasi dan identitas seksual atau identitas jender. Namun, keragaman gender dan seksualitas ini sekarang seolah “terlarang” dan distigma bukan bagian dari budaya Indonesia60. Perilaku dan identitas LGBTI dianggap sebagai “kebarat-baratan” dan memalukan bangsa. Menurut Oetomo, budaya-budaya Nusantara kaya akan fenomena pelembagaan (institusionalisasi, pemranataan) homoseksualitas. Baginya, hal ini 59 Khanis Suvianita, Laporan Situasi HAM LGBTI Di Indonesia Tahun 2012. Pengabaian Hak Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender : Kami Tidak Diam, (Jakarta : Forum LGBTIQ Indonesia dan Gaya Nusantara, 2013), hal. 13 60 Ibid. 37 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sangat mirip dengan keadaan di Yunani Kuno. Pandangan terhadap homoseksualitas dan perbuatan homoseks tidak saja dinilai positif dalam berbagai budaya tradisional Nusantara, tetapi sebagian mereka justru melembagakannya. Berikut beberapa warisan budaya Indonesia yang melembagakan praktek homoseksual atau transjender yang ditulis oleh Oetomo : Aceh Laki-laki Aceh sangat menggemari budak dari Nias. Budak-budak lelaki yang remaja, dalam posisinya sebagai penari (sadati) atau lainnya, "disuruh melayani nafsu tak alamiah orang-orang Aceh." Sebagian penari itu adalah anakanak orang miskin dari pedalaman. Puisi sadati terkenal karena erotismenya; sebagian jelas-jelas mengacu pada hubungan kelamin sesama jenis. Hurgronje malah menyatakan bahwa laki-laki Aceh lebih menghargai persetubuhan dengan sesama jenisnya daripada dengan lawan jenis. Minangkabau Di ranah Minangkabau dikenal kebiasaan percintaan antara laki-laki yang lebih tua (induk jawi) dengan remaja laki-laki (anak jawi). Jawa Di pesantren-pesantren di Jawa dikenal sebuah kebiasaan yang disebut mairil, bahkan konon sampai sekarang. Seorang wartawan majalah Tempo asal pesantren mengisahkan sebuah malam Jumat di pesantrennya yang selalu ada acara hura-hura untuk bersaing memperebutkan mairil (santri remaja) yang paling 38 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA favorit. Bagi sang mairil, menjadi kesayangan seorang kyai adalah puncak dari gengsi di lingkungan pesantren itu. Di antara para santri sendiri juga terjadi hubungan kasih sayang semacam kakak-adik yang juga disertai persetubuhan. Di Jawa, pelembagaan homoseksualitas dikenal juga pada hubungan warok-gemblak, terutama di Ponorogo (walaupun tradisi gemblakan nampaknya dijumpai pula di kawasan-kawasan lain seperti Surabaya dan sekitamya). Sang warok (laki-laki dewasa) memelihara gemblak(-gemblak)-nya (remaja) berdasarkan kontrak dengan orangtua sang gemblak (berupa pemberian sapi, misalnya). Hal itu dilakukan demi ilmu kesaktian (kanuragan) yang mewajibkannya menjauhi wanita. Namun warok juga beristri dan berketurunan, biasanya apabila ia sedang tidak mencari kesaktian. Ada laporan pernah ada warok-gemblak lesbian di Ponorogo. Namun hal itu tidak dijelaskan secara lengkap oleh Oetomo. Pelembagaan homoseksualitas di Jawa juga dapat dilihat pada kesenian pentas, seperti ludruk dan gandrung. Juga ada bukti-bukti bahwa tarian seperti bedhaya dahulunya senantiasa ditarikan oleh remaja laki-laki yang sengaja dipilih lemah gemulai (kewanitaan). Hal ini kemungkinan besar erat hubungannya dengan tabu akan kontak dengan wanita di luar pernikahan sah. Lembaga banci tampaknya juga merupakan sisa-sisa fenomena serupa. Perhatikan bahwa sebagian banci, yang kini minta disebut secara terhormat sebagai wadam atau waria, masih juga berkecimpung dalam bidang kesenian pentas. 39 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bali Dr Julius Jacobs, seorang pejabat kesehatan di daerah Banyuwangi pada akhir abad yang lalu (1883) melaporkan tentang kesenian gandrung. Penari gandrung yang disaksikan Jacobs adalah bocah laki-laki usia 10-12 tahun yang berpakaian wanita. Dengan genitnya bocah-bocah ini menari, disambut oleh lakilaki yang menontonnya, yang ikut menari, menciuminya, memberinya uang kepeng. Menurut Jacobs, kebiasaan ini dianggap biasa oleh orang-orang Bali, tidak ditutup-tutupi. Di Bali juga dikenal adanya pasangan-pasangan homoseks laki-laki maupun wanita (lesbian). Perbuatan homoseks antara laki-laki disebut menyilit ('mendubur') dan di antara wanita disebut mencengceng juuk ('cunnilingus'). Laporan Jacobs memberikan kesan betapa bebas dan cerianya orang-orang Bali kala itu menikmati pemanfaatan perkelaminan. Kalimantan Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara (medium-priest) yang mengenakan pakaian lawan jenis. Basir, yang adalah laki-laki namun dalam segala hal ia berlaku sebagai wanita, termasuk dalam orientasi seksual. Balian adalah yang wanita tapi ia tetap berlaku sebagai wanita. Transvestisme dan homoseksualitas sang basir tampaknya erat terkait dengan sakralitas (kesucian) fungsinya dalam ritus-ritus. 40 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sulawesi Di kalangan suku Makasar, laki-laki homoseks yang disebut kawe, diberi tugas menjaga pusaka, jabatannya diberi nama bisu. Seorang bisu diharapkan mengenakan pakaian wanita dan berperilaku homoseks atau menjauhi kontak dengan wanita, diduga demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Dengan perkataan lain, wanita dianggap, seperti pada kasus warok, sebagai kekuatan pengotor. Ada pula suatu institusi yang tidak sakral, yakni bajasa (artinya 'penyaru') pada suku Toraja Pamona (bare' e) di Sulawesi. Identitas laki-laki pada suku ini di masa lampau adalah ikut bertempur. Laki-laki yang karena suatu hal (usia tua, cacat fisik) tak dapat bertempur, kemudian diberi jalan keluar dengan berpakaian wanita sebagai seorang bajasa. Sebagian bajasa dapat menjadi tadu mburake, yaitu pendeta (shaman) pada suku Toraja ini. b. Homoseksualitas setelah abad 19 Forum LGBTIQ61 Indonesia (2012 : 9) mencatat sejak abad ke-20, terjadi perubahan di Indonesia yang oleh banyak pihak diabaikan atau tidak disadari, namun oleh sebagian pihak dimusuhi, yaitu mengkristalnya identitas dan ekspresi jender yang bukan hanya perempuan dan laki-laki. Hal ini menyebabkan dikenalnya jender lain seperti waria dan tomboi (priawan) dengan semua permutasinya, dan juga orientasi seksual yang bukan hanya terhadap jenis kelamin 61 Tambahan huruf Q pada singkatan LGBTIQ merujuk kepada queer yang merupakan istilah politis oleh kelompok-kelompok minoritas seksual yang menganggap identitas seksual adalah sesuatu yang cair dan tidak dapat dikotak-kotakkan secara kaku dalam kategori lesbian, gay atau transjender. Lihat Evelyn Blackwood (dalam Sri Agustine dan Evi Lina Sutrisno (eds.), 2013 : 17). 41 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang berbeda dengan jenis kelamin kita sendiri (heteroseksualitas), melainkan juga orientasi seksual terhadap jenis kelamin yang sama dengan jenis kelamin kita sendiri (homoseksualitas), atau sekaligus juga dengan yang berbeda dari jenis kelamin kita (biseksualitas), kembali dengan semua permutasinya berdasarkan perilaku (yang dapat tanpa identitas), orientasi dan identitas. Forum LGBTIQ Indonesia melaporkan seperti di bawah ini : “Kelindan antara perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan tuntutan kesetaraan yang diilhami oleh humanisme dan gerakan kesetaraan perempuan serta ras, bangsa dan etnik, melahirkan identitas yang mengkristal macam waria, tomboi (priawan), lesbian, gay, biseksual dan yang paling mutakhir interseks (jenis kelamin biologis yang bukan baku perempuan atau laki-laki). Tentunya ini bukan berarti bahwa sebelum abad ke-20 tidak ada ekspresi gender yang tidak menaati kebakuan gender yang dititahkan masyarakat, yang pada banyak masyarakat etnik maupun nasional kita diberi tempat yang lumayan menyejahterakan (tetapi n.b. tetap saja terbatas) atau tidak ada orang yang melakukan hubungan seks (acapkali juga dengan jalinan hubungan emosional-romantik) dengan mereka yang berjenis kelamin sama (yang kembali pada beberapa masyarakat etnik kita dilembagakan dalam kesenian dan praktik ritual, umpamanya) dan bukan berarti bahwa orang interseks (yang pernah disebut hermafrodit, istilah yang sekarang dianggap menstigma). Semua itu sudah lama ada. Akan tetapi yang penting dicamkan adalah bahwa dalam masyarakat kita sekarang ada berbagai perilaku seksual, ekspresi gender dan identitas gender atau seksual yang tidak menaati rezim orientasi seksual dan identitas gender yang diberlakukan oleh ideologi dominan negara, agama, budaya dan sains yang hanya mengakui binerisme gender dan heteronormativitas (yang juga hampir terobsesi dengan keluargaisme). Ideologi dominan ini direproduksi di keluarga, sekolah, tempat kerja dan pranata masyarakat lainnya secara hegemonik atau kadang bahkan melalui diskriminasi dan kekerasan.” Pengaruh yang cukup besar juga datang dari pemikiran yang lebih toleran dari psikiatri/ psikologi. Bagi Oetomo (2001 : 57), walaupun pada mulanya Sigmund Freud menganggap homoseksualitas sebagai patologi berupa terhambatnya perkembangan psikoseksual seseorang, pada akhirnya ia sendiri menganggapnya bukan sebagai patologi. Pada tahun 1935, jelas Oetomo, dalam menjawab surat seorang ibu yang berkonsultasi kepada Freud tentang anak laki-lakinya yang homoseks, dinyatakannya : “Homoseksualitas sudah pasti bukanlah sesuatu yang menguntungkan, namun tidak patut digolongkan sebagai penyakit; kami memandangnya sebagai suatu variasi perkembangan seksual. Banyak individu yang terhormat dari zaman dulu maupun sekarang adalah homoseks . ... Dengan bertanya kepada saya apakah saya dapat 42 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menolong, saya kira Ibu bermaksud menanyakan apakah saya dapat menghapuskan homoseksualitas dan membuat heteroseksualitas normal menggantikannya. Jawaban untuk pertanyaan itu, pada umumnya, bahwa kami tidak dapat menjamin hal itu dapat dicapai. Dalam sejumlah kasus tertentu kami berhasil mengembangkan benih-benih rusak dari kecenderungan heteroseks yang ada dalam setiap orang homoseks; dalam kebanyakan kasus hal itu tidak mungkin lagi ....” Oleh karena Freud sendiri tidak banyak menulis tentang homoseksualitas, maka kemudian murid-muridnya banyak yang melupakan pendapat Freud. Oleh sebab itu, hingga saat ini literatur baku mengenai homoseksualitas dalam psikologi Freudian, fenomena homoseksual selalu dipandang sebagai "patologi berupa terhambatnya perkembangan psikoseksual seseorang." (Oetomo, 2001 : 58). Catatan sejarah juga menyatakan bahwa istilah homoseks sendiri pertama kali diciptakan oleh Dr K.M. Kertbeny, seorang dokter Jerman-Hongaria pada tahun 186962. Setelah itu pada tahun 1920-an, komunitas homoseks kemudian mulai bermunculan di kota besar Hindia-Belanda. Di Indonesia, istilah wadam sendiri pertama kali diciptakan pada sekitar tahun 1968, sebagai istilah yang lebih halus untuk menggantikan kata bencong atau banci. Organisasi wadam pertama di Indonesia, Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) berdiri pada tahun 1969, difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada waktu itu. International Lesbian and Gay Association (ILGA), sebuah asosiasi LGBTIQ yang forumforumnya berlanjut hingga saat ini, berdiri di Dublin, Irlandia pada Juni 1969, namun tidak dijelaskan tentang kemunculan awal dan perkembangan komunitas lesbian pra asosiasi tersebut. 62 http://gn-intern.blogspot.com/2009/03/perjalanan-sejarah-waria-gay-dan.html 43 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sumber lain menyebutkan bahwa Gelombang Feminisme II yang juga mengangkat isu-isu seksualitas pun berpengaruh bagi kemunculan gerakan pengakuan identitas seksual (LGBTI).63 Di Jerman misalnya, gerakan ini diawali oleh Wissenschsftlich-Humanitares Komitee (WhK/Scientific Humanitarian Committee) yang dibentuk pada 1897 dengan tuntutan untuk menghapuskan Pasal 175 dalam Hukum Pidana Jerman yang mengkriminalisasikan homoseksual. Selain itu, Magnus Hirschfeld juga mengorganisir kongres dunia untuk reformasi seksual pada 1921. Perjuangan identitas seksual kemudian terjadi di beberapa negara seperti Kanada, Argentina, New York dan Chili pada era 1960an hingga 1970an. Di Indonesia sendiri, wacana seksualitas mulai hadir pada kurun waktu 1990an seiring dengan masuknya fenomena HIV/AIDS. Bahkan apa yang sejak abad ke19 disebut oleh sains sebagai homoseksualitas sebetulnya bukan hal yang baru di masyarakat Nusantara (Oetomo, 2001 : 48). Hingga sekarang pun, fenomena itu terus berkembang walau dalam berbagai konstruksi. Oetomo dalam bukunya Memberi Suara pada yang Bisu menyatakan : “…adalah kenyataan bahwa sejak zaman dahulu kala, fenomena hubungan seks maupun romantik antara sesama lelaki maupun adat menggabungkan dua gender dalam diri seseorang (transgenderisme), sudah dikenal dan dipraktikkan di masyarakat kita. Lagi pula, fenomena ini berkembang dan tumbuh secara terintegrasi dengan masyarakat pada umumnya, bahkan hingga kini pun, ketika bahasa binan, yaitu bahasa khas gay dan waria, telah menjadi bahasa gaul yang dipakai di segala lapisan masyarakat yang mengikuti perkembangan trend pergaulan di masyarakat.” 63 Yulita, Christina, et.al. Modul Sekolah Feminis #5 untuk Pemula. Jakarta : Komite Nasional Perempuan Mahardhika, 2013. 44 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada Desember 1993, Kongres Lesbian dan Gay (KLGI) I diselenggarakan di Yogyakarta. KLGI II kemudian menyusul di Jawa Barat pada 1995. Sejarah munculnya organisasi LGBTIQ di Indonesia dapat dilihat seperti di bawah ini : “Orang-orang LGBT di Indonesia sudah cukup lama berorganisasi. Semua berawal dari tahun 1960-an. Waria adalah kelompok pertama yang membentuk organisasi, yaitu Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang berdiri pada tahun 1968 di Jakarta yang difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta masa itu, kemudian diikuti oleh organisasi gay melalui Lambda Indonesia pada tahun 1980-an dan selanjutnya kelompok lesbian dimulai dengan organisasi PERLESIN pada masa kurun waktu yang bersamaan. Sayangnya organisasi lesbian sempat vakum beberapa lama sama pada Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama setelah rejim Orde Baru tahun 1999, untuk pertama kalinya kelompok perempuan secara terbuka memperhatikan persoalan-persoalan lesbian dan pada saat itu juga KPI menunjukkan perhatiannya secara serius dengan membentuk sektor 15 yang secara khusus memberikan perhatian pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LBT (Lesbian, Bisexual and Transgender). Dan selanjutnya pada tahun 2000 organisasi-organisasi lesbian bermunculan di berbagai tempat seperti di Jakarta ada Ardhanary Institute, Kipas di Makasar, Gendhis di Lampung dan di daerah lainnya.”64 2.1.2 Catatan Sejarah Seksualitas Lesbian yang Minim Pada Bab I di atas, penulis telah menguraikan tentang peminggiran seksualitas perempuan dan lesbian. Hal ini cukup dirasakan oleh penulis ketika menelusuri referensi mengenai sejarah perkembangan lesbian di Indonesia. Referensi sejarah lesbian dalam lingkup internasional sebenarnya ada banyak namun penulis mengalami beberapa kendala teknis untuk mengaksesnya. Buku-buku lesbian yang berbahasa Indonesia tidak tersedia di toko-toko buku seperti halnya bukubuku lainnya. Oleh karena itu, penulis langsung memesan beberapa buku yang diterbitkan oleh Ardhanary Institute, yang hanya didistribusikan oleh Ardhanary Institute dan bisa dipesan melalui telepon dan online. Berikut ini beberapa hasil penelusuran penulis. 64 Khanis Suvianita, Op. Cit, hal. 18 45 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut Oetomo (2001 : 53), pelembagaan homoseksualitas pada perempuan seperti pada masyarakat Yunani Kuno tidak ada. Ini disebabkan karena wanita Yunani Kuno sangat terbatas ruang geraknya di luar rumah. Hanya ada catatan sejarah mengenai penyair wanita Sappho (abad ke-6 SM.), yang mengepalai sekolah gadis di Mytilene di Pulau Lesbos. Nama pulau inilah yang kemudian pada zaman sekarang digunakan untuk menyebut homoseks perempuan. Orang Yunani kala itu sendiri menyebut homoseksualitas pada wanita tribade (dari kata tribein: 'menggosok'). Intitute Perempuan mencatat hubungan cinta sejenis antara perempuan pertama kali yang berasal dari Yunani Kuno. Chris Poerba (dalam Sri Agustine dan Evi Lina Sutrisno (eds.), 2013 : 126) juga menyebutkan hal serupa. Penjelasannya sebagai berikut : “Sappho, eponim dari “sapphism,” diduga memiliki kehidupan cinta yang kompleks bahkan literatur kuno juga menyebut-nyebut hubungannya dengan lelaki; sementara nara sumber jaman dahulu, Maximus of Tyre, menganggap hubungannya dengan murid-murid perempuan di sekolah itu murni platonik. Intelektual modern, berdasarkan teks kuno, menunjukkan hubungan paralel jalinan cinta Yunani kuno antara lelaki dewasa dan anak-anak lelaki yang belum dewasa dengan Sappho dan anak didiknya, di mana baik pedagogi (pendidikan) maupun pederasti berperan. Hubungan lesbian juga diberitakan dalam Sparta Plutarch, teks kuno tentang orang-orang Lacedaemonia, yang memberitakan bahwa “cinta begitu dihargai di antara mereka sehingga anak-anak perempuan juga menjadi sasaran erotis perempuanperempuan terhormat.” Rekaman hubungan lesbian juga ditemukan dalam puisi dan ceritacerita Cina kuno, tetapi tak didokumentasikan dengan rinci seperti homoseksualitas laki-laki. Pada jaman pertengahan ada laporan dari Arab tentang hubungan para penghuni harem. Mereka biasanya ditekan, bahkan atas perintah Kalifah Musa al-Hadi ada dua gadis yang dipenggal kepalanya ketika tengah bercinta.”65 Dalam minimnya catatan mengenai seksualitas lesbian pada masa lampau, penulis juga berhasil menemukan catatan tentang Anna Rulling, seorang pelopor pejuang lesbian di awal abad 20. Anna adalah seorang perempuan Jerman yang 65 http://www.pelangiperempuan.or.id/berita/etimologi-lesbian/ 46 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sudah menjadi aktivis lesbian pertama di tahun 1904 dan menyatakan diri secara terbuka sebagai lesbian66. Catatan mengenai Anna dan peran-perannya di masa lampau ditulis oleh Simone de Beauvoir dalam buku The Second Sex sehingga jejaknya masih dapat diketahui hingga saat ini67. 2.2 SITUASI DAN KONDISI LESBIAN SECARA INTERNASIONAL DAN NASIONAL 2.2.1 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Internasional Pengakuan adanya hak asasi manusia yang secara universal sudah disepakati dan tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, pasal 1 menyebutkan: “Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan harus bersikap terhadap satu sama lain dalam semangat persaudaraan.” Pasal ini memberikan makna bahwa hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak asasi yang dimiliki sejak lahir untuk setiap orang tanpa terkecuali. Seseorang tidak bisa didiskriminasi dan diperlakukan berbeda karena semua setara adanya. Namun, pengakuan universal bahwa setiap orang sama dan bebas tidak berlaku pada kelompok-kelompok minoritas seksual seperti orang-orang LGBTI yang ingin menampilkan jati diri mereka68. Pada tahun 2007, Yogyakarta Principles (2007 : 3) yang menjadi standart hukum internasional yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas jender 66 Dian Septi, “Anna Rulling : Pelopor Perjuangan Lesbian”, Buletin Mahardhika, Maret 2011, hal. 32. 67 Ibid. 68 Khanis Suvianita, Op. Cit, hal. 12 47 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dipublikasikan sebagai global charter untuk LGBT rights. Kendatipun memang dokumen ini tidak mengikat secara hukum, tapi bisa dijadikan sebagai dokumen pedoman pendukung. Selanjutnya pada 17 Juni 2011, dewan HAM PBB untuk pertama kalinya mensahkan resolusi pertama yang secara spesifik mengangkat isu pelanggaran HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender. Resolusi persamaan hak ini menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sederajat dan setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan kebebasannya tanpa diskriminasi apapun. Selain itu, suara-suara pembelaan hak asasi LGBTI sudah banyak disuarakan baik di tingkat internasional, regional dan nasional. Namun begitu, Forum LGBTIQ Indonesia menyatakan bahwa perjuangan hak asasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas jender ini masih harus terus diperjuangkan karena masih banyak negara-negara yang mengkriminalisasikan orang-orang homoseksual dan tidak ada perlindungan yang serius bagi orangorang LGBTI. Saat ini, masih terdapat 80 negara termasuk Indonesia yang UndangUndangnya masih mendiskriminasi homoseksual, tujuh di antaranya masih memberikan hukuman mati terhadap mereka.69 Di Barat sendiri, jelas Oetomo, walaupun ada gerakan gay dan lesbian yang berusaha memperjuangkan hak-hak kaumnya, walaupun fasilitas hura-hura cukup banyak, walaupun sebagian negara telah menghapuskan undang-undang yang melarang perbuatan homoseks, namun hidup sebagai seorang gay dan lesbian di Barat bukanlah juga sesuatu yang selalu menyenangkan. Walaupun ada komunitas-komunitas dimana dipilihnya seorang 69 Vivi Widyawati, Loc.Cit, hal. 13 48 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemimpin sangat tergantung pada sikapnya terhadap kaum gay dan lesbian, tetap masih ada juga orang gay atau lesbian yang diejek di jalan, dikepruk dengan botol bir, didiskriminasi dalam berbagai hal (perumahan, perpajakan, pernikahan, warisan, pekerjaan dan sebagainya). 2.2.2 Situasi dan Kondisi Lesbian secara Nasional Laporan Forum LGBTIQ Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia sekarang menjadi LGBTI bukan perkara mudah karena harus berhadapan dengan berbagai macam stigma, diskriminasi, penolakan, kekerasan dan penyiksaan dari keluarga, masyarakat, agama dan negara. Berbagai tindakan pelanggaran HAM yang terjadi pada LGBTIQ di Indonesia yang terus ada di berbagai tempat juga berhasil didokumentasikan, seperti berikut ini : pemaksaan merubah penampilan (gender expression), diusir dari tempat tinggal, dipaksa menikah, dipukul, disiksa, terpaksa dan atau dipaksa berhenti dari sekolah, dikeluarkan dari tempat kerja dan berbagai bentuk diskriminasi, pelecehan seksual dan kekerasan lainnya. Itu juga sebabnya kenapa banyak orang LGBTIQ yang tertutup dengan status orientasi seksualnya karena takut dengan berbagai isu kekerasan yang akan dihadapi, belum lagi bila harus kehilangan pekerjaan. Bila pun mengalami kekerasan mereka tidak akan melaporkan kasus-kasusnya karena merasa percuma dan kuatir akan mengalami kekerasan yang lain. Bahkan pada Maret 2010 ketika berlangsung kongres ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Intersex Association) yang dilakukan di Surabaya dan mendapatkan penyerangan dari kelompok yang mengatasnamakan 49 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA agama, pemerintah malah tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan pada orang-orang LGBTIQ, dalam hal ini kepolisian pada waktu itu. Kegiatan tersebut pun dengan terpaksa tidak bisa dilaksanakan. Tempat berlangsungnya acara diserbu, peserta pun mendapatkan kekerasan dan ancaman yang menimbulkan trauma pada sebagian orang. Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh orang-orang homofobia dan transfobia, pelanggaran terhadap hak berekspresi, hak berkumpul dan berserikat serta diskriminasi yang terus menerus terjadi pada orang-orang LGBTI. Bagi Forum LGBTIQ Indonesia sendiri, tindakan pelanggaran HAM ini dilakukan oleh kelompok masyarakat dan keluarga, namun aparat pemerintah cenderung mengabaikan kewajibannya (by omission) untuk melindungi HAM setiap orang. Jadi seolah-olah HAM tidak bisa ditegakkan pada orang-orang LGBTI dengan berbagai alasan seperti norma, adat istiadat, agama, dan “bukan budaya Indonesia”. Perubahan sosial dan perkembangan demokrasi di Indonesia, juga memberikan ruang bagi orang-orang dan organisasi LGBTI untuk mulai membicarakan dan menyuarakan hak-hak mereka. Beberapa organisasi seperti Arus Pelangi, GAYa NUSANTARA, Ardhanary Institute, Our Voice, Kipas, Perwakos dan lainnya sudah mulai membicarakan hak-hak LGBTI dan mulai melakukan advokasi ke berbagai pihak yang terkait langsung dengan persoalan yang mereka alami dan hadapi. Orang-orang LGBT di Indonesia juga sudah cukup lama berorganisasi. Semua berawal dari tahun 1960-an. Waria adalah kelompok pertama yang membentuk 50 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA organisasi, yaitu Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang berdiri pada tahun 1968 di Jakarta yang difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta masa itu, kemudian diikuti oleh organisasi gay melalui Lambda Indonesia pada tahun 1980an. Pada Juni 2013 lalu, penulis hadir sebagai salah satu peserta dalam sebuah Dialog Nasional Komunitas LGBTI Indonesia di Nusa Dua, Bali. Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Forum LGBTIQ Indonesia tersebut, Agustine (Direktur Ardhanary Institute) dalam presentasinya menyebutkan bahwa Sapho merupakan organisasi lesbian pertama di Indonesia yang berdiri pada 1984. Berdirinya Sapho diprakarsai oleh Lambda Indonesia. Selanjutnya lahirlah organisasi PERLESIN pada masa kurun waktu yang bersamaan.70 Selanjutnya jelas Agustine, pada 1993 lahir pula Chandra Kirana, yang membangun jaringan kerja lesbian se-Nusantara. Pada 21 April 1997, lahir organisasi lesbian yang dinamai Harley di Makasar, Sulawesi Selatan, di bawah naungan GAYa Celebes. Harley – singkatan dari Hanter/ Hunter dan Lines. Di Pontianak, Kalimantan Barat, sekelompok lesbian mendirikan persatuan sepak bola khusus perempuan tomboy, Gest Boy pada tahun 1998, lalu berganti nama menjadi Ganesha dan selanjutnya berganti nama lagi menjadi Pertopan (Persatuan Tomboy Pontianak). Sayangnya organisasi lesbian sempat vakum beberapa lama, dan pada Kongres Perempuan Indonesia (KPI) pertama setelah rejim Orde Baru tahun 1999, untuk pertama kalinya kelompok perempuan secara terbuka memperhatikan persoalan-persoalan lesbian. Pada saat itu juga KPI menunjukkan perhatiannya 70 Khanis Suvianita, Op. Cit, hal. 18 51 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA secara serius dengan membentuk sektor 15 yang secara khusus memberikan perhatian pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh LBT (Lesbian, Bisexual and Transgender). Perkembangan organisasi lesbian setelah itu semakin pesat. Lanjut Agustine, pada tahun 2000 lahir Swara Srikandi, organisasi lesbian yang bekerja menggunakan media cyber sebagai alat gerakan. Institute Pelangi Perempuan lahir pada tahun 2005, yang menjadi pusat kegiatan dan informasi bagi kelompok lesbian muda di Indonesia . Lalu ada lagi Lembayung Institute yang bekerja melakukan pendampingan hukum bagi para lesbian, Arus Pelangi (2006) yang walaupun bukan organisasi khusus LBT namun melakukan advokasi hak-hak LGBT, Ardhanary Institute (2007) yang menjadi pusat kajian, penerbitan dan advokasi bagi kaum LBT dan pada tahun 2009 dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan –khususnya perempuan LBT- mengembangkan sebuah crisis center untuk korban kekerasan LBT yang disebut LBT Crisis Center. Selain berbentuk organisasi, Agustine juga menambahkan bahwa pada tahun 2008 hingga 2012 bermunculan pula komunitas-komunitas lesbian yang membentuk kelompok baik di Jakarta maupun wilayah lainnya. Sedangkan di dunia cyber, muncul pula group-group lesbian yang salah satunya beranggotakan hingga 7000 members. Sekarang ini, jumlah group yang ada di dunia cyber berjumlah 80 dengan nama-nama senada seperti Belokers, Dunia Koleb, ButchiFemme Community, Linez Community dan lain-lain. Di Sumatera Barat lahir organisasi LBT bernama Perempuan Serumpun (2008) dan Tunas Pelangi 2011. Di Surabaya lahir organisasi lesbian bernama 52 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dipayoni (2009). Di DI Yogyakarta kelompok lesbian bergabung dengan organisasi LGBT bernama PLU Satu Hati dan sebagian lagi bergabung di organisasi lesbian. Tahun 2010 lahir Komunitas Perempuan Serumpun (KIPAS) di Sulawesi Selatan, Talita Kum Solo, Rumah Kita di Medan, L’World Indonesia, LWI Bali. Tahun 2011-2012 lahir Gamacca Makasar , Atapku Aceh (sekarang berganti nama menjadi Learning Together), Gendhis LBT Lampung. Dan pada 2012 lahir pula Perempuan Mandiri di Palembang, Komunitas Perempuan Sehati atau KOPI Kediri, Klik Samarinda, The Big Family L-Community (TBF L-C) di Jambi dan Cangkang Queer di Medan (2012). Selain itu menguat juga komunitaskomunitas LBT yang belum berbentuk organisasi di berbagai daerah lainnya seperti Manado, Banten, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua. Saat ini pun jumlah organisasi lesbian tersebut kian bertambah di Jakarta dan di berbagai daerah, antara lain Pelangi Mahardhika di Jakarta yang diinisiasi oleh Perempuan Mahardhika Jakarta dan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan lain sebagainya. Visi Gerakan LBT Indonesia pada periode 1980-2000 menurut Agustine yaitu: • Perjuangan menjadi individu yang percaya diri, membentuk komunitas bagi lesbian dan mengupayakan penerimaan positif masyarakat. • Pemberdayaan ekonomi karena kebanyakan LBT miskin secara ekonomi mengingat 90% dari mereka lari dari rumah karena kekerasan berbasis SOGI yg dialami. • Sifat kegiatan umumnya bersifat tertutup dan hanya untuk kalangan lesbian sendiri. 53 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sementara itu, Visi Gerakan LBT pada periode tahun 2000-2012 disebutkan sebagai berikut : • Setelah reformasi, bersamaan dengan menguatnya gerakan HAM dan perempuan, gerakan LBT semakin nampak di ruang publik. • Gerakan LBT pada periode ini menekankan pada strategi politik ‘come out’ dan advocacy, antara lain dengan pendeklarasian organisasi atau kelompok lesbian di hadapan publik dan kemunculan individu-individu lesbian yang cukup sering di berbagai media massa cetak maupun elektronik untuk mengkampanyekan hak-hak mereka. Agustine juga menyinggung beberapa hal yang menjadi hambatan gerakan/organisasi lesbian selama ini, antara lain sebagai berikut : • Komunitas LBT : persoalan pribadi, percintaan, rebutan pacar, perselingkuhan dan lain-lain • Fundamentalisme • Media massa • Homophobia dan Transphobia • Masyarakat • Negara Dalam pertemuan nasional Forum LGBTIQ Indonesia yang saya hadiri pada 1-3 April 2014 yang lalu, persoalan pribadi, percintaan, rebutan pacar dan perselingkuhan sangat ditekankan menjadi persoalan yang sangat mewarnai organisasi atau komunitas lesbian di berbagai wilayah, baik nasional maupun daerah provinsi. 54 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3 SITUASI DAN KONDISI LESBIAN DI KOTA MEDAN 2.3.1 Kota Medan secara Geografis dan Demografis Berikut ini adalah deskripsi Kota Medan sebagai lokasi penelitian yang sumber datanya diperoleh dari website resmi www.pemkomedan.go.id. Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber Daya Alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Di samping itu, sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini. 55 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada 2013 lalu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, Muslim Harahap menyatakan bahwa jumlah penduduk Kota Medan yang tercatat pada Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebesar 2.030.257 jiwa.71 2.3.2 Kota Medan : Pluralisme atau Pluralitas? Kota Medan adalah salah satu kota di Indonesia dengan masyarakat yang cukup beragam. Pemko Medan mencatat ada banyak suku dan agama yang ada di Kota Medan. Dalam sebuah kunjungan ke Museum Negeri Kota Medan, tercatat bahwa Kota Medan adalah sebuah kota multikultural yang unik dan menarik. Hal ini disebabkan oleh masuknya pengaruh budaya dan berbagai etnik, seperti yang sering terdengar di Kota Medan, yaitu di antaranya Karo, Toba, Mandailing, Pakpak, Simalungun, Melayu, Jawa, Minang dan lain sebagainya. Disebutkan pula bahwa karakter multikultural tersebut tercermin pada bermacam adat kebiasaan, logat bahasa serta kekayaan ragam makanan. Berbagai macam agama, termasuk agama resmi seperti Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam, Buddha, Hindu, Khonghucu juga terdapat di Kota Medan. Di belahan bumi Kota Medan bagian pinggir yang seringkali tak terlihat, masih eksis pula bermacam aliran kepercayaan lokal seperti Parmalim, Pemena, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Ketika Pemko Medan mencatat dalam website resminya perihal pluralisme pada masyarakat Kota Medan, penulis sengaja lebih memilih menekankan Kota Medan sebagai kota pluralitas, bukan pluralism. Ini 71 http://www.pemkomedan.go.id/news_detail.php?id=13792 56 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dilakukan karena penulis menemukan data-data yang menunjukkan tindakan intoleransi antar elemen masyarakat berdasarkan perbedaan aliran kepercayaan. Beberapa kasus intoleransi yang terjadi atas dasar perbedaan agama dan etnis yang penulis temukan antara lain : pelarangan Kongres Konghucu pada Juni 2012 lalu, pelarangan ternak babi di Mandala, dan lain sebagainya. Di wilayah lain yang masih merupakan wilayah Sumatera Utara juga terjadi kasus-kasus penyerangan terhadap aliran kepercayaan Ahmadiyah, Parmalim, dan lain sebagainya. Ini menegaskan bahwa Kota Medan dikenal dengan pluralitasnya, tapi belum dengan pluralismenya. 2.3.3 Lesbian di Kota Medan Kondisi di atas, sekalipun tidak terlalu menguntungkan, namun cukup memberikan ruang yang nyaman bagi LGBTI di Medan untuk mengekspresikan identitasnya. Sikap cenderung apatis yang muncul karena pluralitas masyarakat Kota Medan justru membuat LGBTI tidak terlalu diperhatikan dan diusik secara massa. Tapi bukan berarti bahwa LGBTI tidak mengalami diskriminasi. Diskriminasi dan kekerasan yang dialami LGBTI di Medan secara umum tidak dilakukan secara massa, melainkan oleh unit-unit kecil seperti keluarga, teman, pasangan atau oknum aparatur negara seperti polisi dan lain sebagainya. Jarang terjadi serbuan atau kecaman yang dilakukan secara massa kepada LGBTI di Kota Medan. Apabila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti 57 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Surabaya, Jakarta dll, LGBTI di Kota Medan relatif cukup jarang mendapatkan serangan massa. Komunitas lesbian, seperti halnya komunitas gay dan waria, tersebar di berbagai titik di Kota Medan. Mereka berkumpul dan berinteraksi satu dengan yang lainnya, sesama lesbian. Deskripsi mengenai lesbian di Kota Medan dan berbagai masalah yang mereka alami akan lebih banyak dijelaskan di Bab III. 58 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA