BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - USU-IR

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum merupakan salah satu pilar dasar dari sistem negara
demokrasi. Pemilihan umum dilaksanakan di Indonesia secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilihan umum
dilaksanakan secara nasional, baik di provinsi dan kabupaten/kota di seluruh
wilayah Negara Indonesia dan diharapkan seluruh masyarakat Indonesia dapat
berpartisipasi aktif di dalamnya. Termasuk juga partisipasi dari kaum disabilitas.
Disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental,
intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan rentan mengalami
hambatan-hambatan yang dapat menghambat mereka untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Maka, diperlukannya perlakuan secara khusus untuk memenuhi kebutuhankebutuhan khusus mereka.
Penyandang disabilitas di Indonesia cukup banyak jumlahnya sehingga
tidak boleh diabaikan keberadaannya. Berdasarkan catatan Kementerian
Kesejahteraan Sosial, jumlah populasi penyandang disabilitas di Indonesia
mencapai 2.126.000 jiwa pada tahun 2012, dengan klasifikasi jenis kecacatan
Universitas Sumatera Utara
berbeda-beda. Persentase jumlah populasi penyandang disabilitas di Indonesia
tahun 2012 berdasarkan jenis kecacatannya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1:
Persentase Kaum Disabilitas di Indonesia
No
Jenis Orang Dengan Kecacatan
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
1
Tunanetra (Buta)
338.672
15.93
2
Tunarungu (Tuli)
223.655
10.52
3
Tunawicara (Bisu)
151.371
7.12
73.560
3.46
Tunarungu dan Tunawicara (Bisu
4
Tuli)
5
Tunadaksa (Cacat Fisik)
717.312
33.74
6
Tunagrahita (Cacat Mental)
290.837
13.68
7
Tunadaksa dan tunagrahita
149.458
7.03
8
Tunalaras
181.135
8.52
2.126.000
100
TOTAL
Sumber: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial. 2012.
Kementrian Sosial dalam Angka, Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial,
Jakarta.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas PBB pada tanggal 18 Oktober Tahun 2011 lalu dengan dihadirkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Dimana Konvensi tersebut memuat
Universitas Sumatera Utara
mengenai hak-hak penyandang disabilitas dalam segala bidang aspek kehidupan.
Sehingga, sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, negara
Indonesia wajib untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hakhak penyandang disabilitas di Indonesia dengan memberlakukan kebijakan yang
sesuai untuk menjamin akses bagi kaum disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan
yang lainnya, baik terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan
komunikasi, termasuk teknologi serta terhadap fasilitas dan layanan lainnya yang
terbuka atau tersedia untuk publik bagi penyandang disabilitas.
Setiap penyandang disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Termasuk dalam kehidupan
berpolitiknya, khususnya dalam pemilihan umum. Hak-hak kaum disabilitas
dalam pemilihan umum telah tercantum dalam Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (CRPD) pada pasal 29 mengenai hak-hak kehidupan
politik dan publik bagi penyandang disabilitas. Dalam pasal tersebut disebutkan
bahwa:
Negara-negara pihak harus menjamin kepada penyandang disabilitas hakhak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya dan akan mengambil langkah-langkah
untuk menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara
efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan
dengan yang lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih
secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas
untuk memilih dan dipilih.
Universitas Sumatera Utara
Dalam buku Advokasi Toolkits untuk Organisasi Penyandang Disabilitas
oleh Pusat Pemilihan Umum Akses–Penyandang Cacat (PPUA-PENCA)
disebutkan:
Selain penyandang disabilitas memiliki hak politik untuk memilih dan
dipilih, masalah lain yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaran Pemilu
atau pilkada agar partisipasi politik penyandang disabilitas bisa terpenuhi
secara baik adalah tersedianya sarana dan prasarana yang mudah untuk
diakses penyandang disabilitas (aksesibilitas). 1
Aksesibilitas disini diartikan sebagai kemudahan yang disediakan dalam
pemilihan umum bagi penyandang disabilitas agar dapat dengan mudah tanpa
mengalami hambatan untuk berpartisipasi secara penuh dan mandiri dalam
penyelenggaraan pemilihan umum. Aksesibilitas terhadap fasilitas umum
khususnya fasilitas dalam pemilihan umum, bukan saja merupakan hak bagi
penyandang disabilitas semata namun juga akan memberikan kenyamanan lebih
bagi warga masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh AGENDA (Asean General
Election for Disability Access) dalam beberapa pilkada di Indonesia, bahwa masih
terdapat hak penyandang disabilitas khususnya tunanetra yang terabaikan dan
tidak terfasilitasi dalam pemilu di Indonesia. Misalnya lokasi TPS yang sulit
dijangkau karena berada di daerah yang tidak rata atau bertangga, tidak
1
Pusat Pemilihan Umum Akses–Penyandang Cacat (PPUA-PENCA). 2013.
Organisasi Penyandang Disabilitas. Jakarta: PPUA-PENCA. hal. 39.
Advokasi Toolkits Untuk
Universitas Sumatera Utara
tersedianya alat bantu pilih bagi tunanetra dan permohonan untuk memilih dengan
didampingi oleh pihak keluarga yang ditolak oleh petugas di TPS. 2
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap pemenuhan hak-hak kaum disabilitas di Kota
Medan. Hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum di Kota Medan yang
akan diteliti yaitu pada pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera
Utara yang berlangsung pada tanggal 7 Maret 2013 lalu. Karena Pilgubsu ini
merupakan pemilu pertama di Kota Medan setelah diratifikasinya Convention on
the Rights of Persons with Disabilities oleh pemerintah Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara atau disingkat
Pilgubsu, di selenggarakan pada tanggal 7 maret 2013. Pemilihan umum gubernur
dan Wakil Gubernur Sumatera Utara ini merupakan pemilihan umum Gubernur
dan Wakil Gubernur kedua yang dilaksanakan secara langsung setelah Pilgubsu
pada tahun 2008 dan dilaksanakan dalam satu kali putaran. Pilgubsu tahun 2013
diikuti oleh lima pasangan calon. Berikut nomor urut kandidat calon Gubernur
dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 lalu beserta partai politik
pendukungnya:
2
Kharina Triananda. 30 Juli 2013. Hak-Hak Penyandang Disabilitas Masih Terabaikan dalam Pemilu.
http://m.beritasatu.com/nasional/129011-hakhak-penyandang-disabilita-masih-terabaikan-dalam-pemilu.html,
diakses pada tanggal 6 Februari 2014, pukul 13.31 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Tabel.1.2:
Nomor Urut Kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara
Tahun 2013 beserta Partai Politik Pendukungnya
Nomor Urut
1
Nama Pasangan Calon
Partai Politik Pendukung
H. Gus Irawan Pasaribu, Partai
Amanat
Nasional,
SE, Ak, MM dan Ir. H. Partai
Barisan
Nasional,
Soekirman
Partai Bulan Bintang, Partai
Buruh,
Partai
Demokrasi
Kebangsaan, Partai Gerakan
Indonesia
Raya,
Partai
Indonesia Sejahtera, Partai
Karya Peduli Bangsa, Partai
Karya
Perjuanga,
Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai
Kedaulatan, Partai Kesatuan
Demokrasi Indonesia, Partai
Matahari
Bangsa,
Merdeka,
Partai
Partai
Nasional
Benteng Kerakyatan, Partai
Pelopor,
Indonesia,
Partai
Partai
Pemuda
Penegak
Universitas Sumatera Utara
Demokrasi Indonesia, Partai
Kedaulatan
Bangsa
Indonesia, Partai Persatuan
Nahdlatul
Ummah,
Partai
Demokrasi Pembaruan dan
Partai Bintang Reformasi.
2
Drs. Effendi MS Simbolon Partai Demokrasi Indonesia,
dan Drs. H. Jumiran Abdi
Partai
Peduli
Rakyat
Nasional dan Partai Damai
Sejahtera
3
Dr.
H.
Chairuman Partai
Golongan
Harahap, SH, MH dan H. Partai
Fadly Nurzal, S.Ag
Karya,
Persatuan
Pembangunan,
Partai
Pengusaha
dan
Pekerja
Indonesia
dan
Partai
Republik Nusantara
4
Drs. H. Amri Tambunan Partai Demokrat
dan Dr. R.E. Nainggolan,
MM
5
H. Gatot Pujo Nugroho, Partai
Keadilan
Sejahtera,
Universitas Sumatera Utara
ST dan Ir. H. Tengku Erry Partai Hati Nurani Rakyat,
Nuradi, M.Si
Partai Kebangkitan Nasional
Ulama, Partai Patriot dan
Partai Persatuan Nasional.
Sumber: Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara Nomor
14/Kpts/Kpu-Prov-002/2012 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara dalam Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013.
Pemilihan ini dimenangkan oleh pasangan nomor urut 5, yaitu Gatot Pujo
Nugroho dan Tengku Erry Nuradi dengan perolehan suara sebesar 1.604.337 atau
33 persen suara dari 33 Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara. Pasangan ini berhasil
mengalahkan empat kandidat lainnya, yaitu pasangan Efendi MS Simbolon dan
Jumiran Abdi, pasangan Gus Irawan Pasaribu dan Soekirman, pasangan Amri
Tambunan dan R.E Nainggolan serta pasangan Chairuhman Harahap dan Fadly
Nurzal. Pilgubsu tahu 2013 lalu diselenggarakan dalam satu kali putaran dengan
tingkat partisipasi memilih masyarakat di Sumatera Utara yang cukup rendah,
dimana jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya dalam pemilihan ini
hanya sebesar 5.001.430 suara, terdiri dari 4.861.467 3 suara sah dan 139.963 suara
tidak sah dari Jumlah DPT sebanyak 10.310.872. 4 Di Kota Medan, dengan
2.121.551 jumlah pemilih tetap di 21 Kecamatan, didapatkan jumlah suara sah
3
Lampiran Keputusan KPU Provinsi Sumatera Utara Nomor: 19/Kpts/ KPU Prov-002/2013 tentang
Penetapan dan Pengesahan Jumlah dan Persentase Perolehan Suara Sah Pasangan Calon Gubernur dan Wakil
Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
4
Irwan
Siregar,
15
Maret
2013.
Angka
Golput
Pilgubsu
51,49%,
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=282546:angka-golput-pilgubsu5149&catid=pilkada-sumut&itemid=94, diakses 13 Desember 2013, pukul 01.43 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dan tidak sah sebanyak 774.593 suara, atau tingkat partisipasi masyarakat Kota
Medan pada Pilgubsu 2013 hanya mencapai 36.62%. 5
Membahas mengenai permasalahan pemenuhan hak-hak kaum disabilitas
dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di
Kota Medan menurut pandangan penulis cukup menarik untuk diteliti karena
pemenuhan akan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum, juga dapat
menjadi salah satu penentu meningkatnya tingkat partisipasi penuh kaum
disabilitas dalam pemilihan umum di Kota Medan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan
umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kota
Medan?
2. Apa saja kendala dalam pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam
pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di
Kota Medan?
5
Khairul Ikhwan. 12 Maret 2013. Angka Golput di Medan dalam Pilgub Sumut Mencapai 63.38%.
http://m.detik.com/news/read/2013/03/12/220052/2192231/10/angka-golput-di-medan-dalam-pilgub-sumutmencapai-6338-persen. diakses 13 Desember 2013, pukul 01.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah
penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor
mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor
mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian. 6 Dalam
penelitian ini, penulis membatasi masalah penelitian hanya pada penyandang
tunanetra. Tunanetra merupakan orang yang penglihatannya terganggu sehingga
menghalangi dirinya untuk melakukan aktifitas selayaknya kebanyakan orang
lainnya. Sehingga, menurut penulis dalam hal ini tunanetra merupakan
penyandang disabilitas fisik yang paling membutuhkan aksesibilitas atau
kemudahan untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum
Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kota Medan.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita
capai. 7 Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran umum kaum disabilitas di Kota
Medan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak-hak kaum disabilitas
dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara
tahun 2013 di Kota Medan serta kendala dalam pemenuhan hak-hak
6
Prof. Dr. Husaini Usman, Mpd., M.T. dan Purnomo Setiady Akbar, M.Pd. 2009. Metodologi Penelitian
Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. hal. 24.
7
Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur
Sumatera Utara tahun 2013 di Kota Medan.
E. Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang terkait dengan
permasalahan mengenai hak asasi manusia dan pemilihan umum.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dan menjadi bahan masukan serta evaluasi bagi lembaga-lembaga terkait
mengenai pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam pemilihan umum.
3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.
F. Kerangka Teori
1. Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (Fundamental rights) diartikan sebagai hak-hak yang
bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal. 8
Menurut Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, hak
asasi manusia adalah “Hak yang sangat mendasar atau asasi sifatnya, yang mutlak
diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita serta
8
Tom Campbel. 2001. Human Rights and the Partial Eclipse of Justice. London: Kluwer Academi Publisher.
hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua manusia
tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau jender”. 9
Cikal bakal konsep hak asasi manusia, khususnya di dunia barat terdapat
dalam karangan beberapa filsuf abad ke-17, antara lain Jhon Locke (1632-1704)
yang merumuskan beberapa hak alam (natural rights) yang dimiliki manusia
secara alamiah. Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise
of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan
sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang
melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka
sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara. 10 Melalui suatu ‘kontrak
sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini
diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara
mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka
rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya
dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. 11
Konsep ini bangkit kembali seusai perang dunia II dengan dicanangkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
oleh PBB pada tahun 1948. Walaupun sifatnya tidak mengikat secara yuridis,
namun deklarasi ini ternyata mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif.
Sebagai lambang “komitmen moral” dunia internasional pada perlindungan hak
9
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 212.
John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, dalam Rhona
K. M. Smith, at.al. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. hal. 29.
11
Ibid. hal. 30.
10
Universitas Sumatera Utara
asasi manusia deklarasi ini menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang
dasar, undang-undang, serta putusan-putusan hakim. 12
Kemudian deklarasi ini dijabarkan kembali menjadi suatu perjanjian atau
kovenan agar lebih mengikat yaitu pertama mencakup hak politik dan sipil, dan
yang kedua meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pada tahun 1976 dua
kovenan tersebut ditambah dengan optional protocol tentang pengaduan
perorangan, dinyatakan berlaku dengan diratifikasi oleh 35 negara. Naskahnaskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dua kovenan serta dua Optional
Protocol dianggap sebagai satu kesatuan yang dinamakan Undang-Undang
Internasional Hak Asasi Manusia (International Bill of Human Rights).
Di masa berikutnya, beberapa negara di belahan dunia seperti Afrika dan Asia
timbul beberapa piagam regional terkait masalah hak asasi manusia. Seperti
Piagam Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Bangsa-bangsa (African
Charter on Human and Peoples Rights) pada tahun 1981, Deklarasi Cairo
mengenai Hak Asasi Manusia dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights
in Islam) pada tahun 1990 dan Bangkok Declaration pada bula April tahun 1993.
Di Indonesia, terkait dengan masalah hak asasi manusia relatif telah
ditegaskan dari seluruh konstitusi (undang-undang dasar) yang berlaku di
Indonesia. Secara tegas konstitusi di Indonesia memberikan jaminan atas
perlindungan hak asasi manusia secara baik. Adanya jaminan terhadap hak-hak
12
Miriam Budiardjo, op. cit., hal. 218-219.
Universitas Sumatera Utara
dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap penguasa dalam negara
tidak
dapat
dan
tidak
boleh
bertindak
sewenang-wenang
kepada
warganegaranya. 13
Dalam rangka melaksanakan ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/ 1998
pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang ini, pada pasal 1
disebutkan bahwa:
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang merupakan payung
hukum dari segala perundang-undangan di Indonesia yang menyangkut hak asasi
manusia ini, terdapat sepuluh materi muatan mengenai hak asasi manusia setiap
warga negara yang diakui dan dijunjung tinggi tanpa adanya diskriminasi
didasarkan pada perbedaan atas dasar agama, ras, suku, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan
politik seseorang. Materi tersebut adalah hak untuk hidup, hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak
atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta
dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.
13
Sri Soemantri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni. hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
2. Kaum Disabilitas
2. 1. Pengertian Disabilitas
Berdasarkan laporan ESCAP (The Economic and Social Commission for
Asia and the Pasific), bahwa setiap negara memiliki definisinya sendiri tentang
disabilitas. Bahkan, di beberapa negara seperti Indonesia, setiap badan
pemerintahan memiliki istilah dan definisinya sendiri. Keragaman definisi
membuat organisasi internasional seperti Disabled People’s International (DPI)
memutuskan untuk tidak mengadopsi atau membuat definisi untuk menghindari
kemungkinan terjadi perselisihan dengan pihak lain. Namun, kini terjadi
perkembangan transisi dalam memandang disabilitas dari model medis ke model
sosial. Model medis memandang disabilitas sebagai masalah kesehatan, sementara
model sosial memandang disabilitas sebagai hasil dari interaksi sosial. Kedua
model ini tidak dapat didefinisikan secara terpisah karena disabilitas juga berakar
dari dan mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang dan kedua model ini saling
melengkapi. 14
Seperti definisi disabilitas berdasarkan Disability Discrimination Act (DDA)
bahwa “Penyandang disabilitas merupakan seseorang yang memiliki gangguan
14
General Election Network For Disability Acces. Sekilas Tentang Disabilitas. 2013.
http://www2.agendaasia.org/index.php/id/informasi/sekilas-tentang-disabilitas/102-sekilas-tentang disabilitas.
diakses 13 Desember 2013, pukul 19.15 WIB.
Universitas Sumatera Utara
fisik atau mental yang memiliki efek samping yang besar dan jangka panjang pada
kemampuannya untuk melaksanakan aktivitas normal sehari-hari”. 15
Terdapat kriteria penyandang disabilitas dalam Disability Discrimination Act
(DDA) yaitu: 16
a. Mereka yang memiliki gangguan mental atau fisik.
b. Gangguan tersebut memiliki efek yang buruk pada kemampuan mereka
untuk melaksanakan kegiatan normal mereka sehari-hari.
c. Gangguan tersebut memiliki efek samping yang subtansial dan jangka
panjang (telah berlangsung selama 12 bulan atau lebih atau selama sisa
hidup seseorang).
World Health Organization (WHO) memiliki definisi sendiri mengenai
disabilitas. Menurut WHO, disabilitas diartikan sebagai: 17
istilah umum yang memiliki gangguan fungsi tubuh atau struktur,
keterbatasan aktifitas dan pembatasan partisipasi. Dalam hal ini meliputi
gangguan dalam fungsi tubuh atau struktur, pembatasan kegiatan adalah
kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau
tindakan. Sedangkan pembatasan partisipasi adalah masalah yang dialami
oleh seseorang individu dalam keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi disabilitas adalah fenomena yang kompleks yang mencerminkan
interaksi antara bagian tubuh seseorang dan bagian dari masyarakat dimana
dia tinggal.
Di Indonesia, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kaum disabilitas. Salah satunya adalah undang-undang mengenai
15
Disabled
World.
23
Desember
2009.
Definitions
of
Disability.
http://www.disabledworld.com/definitions/disability-definitions.php . diakses 14 Desember 2013, pukul
18.04 WIB.
16
17
Loc. cit.
Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Penyandang Cacat yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997.
Pada pasal 1 disebutkan bahwa:
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari” :
a. Penyandang cacat fisik yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran,
dan kemampuan bicara;
b. Penyandang cacat mental yaitu kelainan mental dan/atau tingkah laku,
baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit;
c. Penyandang cacat fisik dan mental yaitu seseorang yang menyandang
dua jenis kecacatan sekaligus.
2. 2. Hak-Hak Kaum Disabilitas sebagai Pemilih di Dalam Pemilihan Umum.
Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga
memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat pada pasal 6 disebutkan
mengenai hak-hak yang dimiliki oleh penyandang cacat, yaitu:
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya.
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya.
5. rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
dan,
6. hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampu-an, dan
kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Hak-hak kaum disabilitas juga tercantum pada Konvensi Mengenai hak-hak
penyandang disabilitas atau Convention on The Rights of Persons with Disabilities
PBB yang disahkan pada tanggal 13 Desember 2006. Konvensi ini memberikan
Universitas Sumatera Utara
pandangan dan pemahaman baru dalam melindungi dan menjamin persamaan hak
asasi manusia dan kebebasan individu kaum disbailitas. Dari sebelas negara di
Asia Tenggara, ada tujuh negara termasuk Indonesia menjadi salah satu Negara
yang meratifikasi konvensi ini. Indonesia menandatangani konvensi tersebut pada
tanggal 30 Maret 2007 di New York. Berikut daftar negara di Asia tenggara yang
menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD):
Tabel 1.3
Daftar Negara di Kawasan Asia Tenggara yang Menandatangani dan Meratifikasi
Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
Negara
Penandatanganan
Penandatanganan
Ratifikasi
Ratifikasi
Konvensi
Protokol
Konvensi
Protokol
18 Desember 2007
-
-
-
Brunei
Darusalam
20
Cambodia
1 Oktober 2007
1 Oktober 2007
Desember
-
2012
30
Indonesia
30 Maret 2007
-
Novenber
-
2011
25
Laos
15 Januari 2008
-
September
-
2009
Malaysia
8 April 2008
-
19 Juli
-
Universitas Sumatera Utara
2010
7 Desember
Myanmar
-
-
2011
25 September
Philipinnes
15 April
-
2007
2008
30 November
Singapore
-
-
-
2012
29 Juli
Thailand
30 Maret 2007
-
2008
Timor Leste
-
-
-
-
Vietnam
22 Oktober 2007
-
-
-
Sumber: http://www2.agendaasia.org/index.php/information/disability-in-asean
Konvensi tersebut memuat mengenai hak-hak penyandang disabilitas dan
akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Dengan
menandatangani CRPD, negara diwajibkan untuk menahan diri dari tindakantindakan yang akan mengalahkan objek dan tujuan dari CRPD tersebut. Oleh
karena itu, saat menandatangani perjanjian tidak berarti negara wajib mematuhi
semua ketentuan CRPD, namun negara telah membuat komitmen untuk hak-hak
penyandang cacat. Ketika negara meratifikasi CRPD, mereka kemudian secara
hukum terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuannya. Protokol Opsional
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan Komite CRPD untuk memeriksa pengaduan individual berkaitan
dengan dugaan pelanggaran CRPD oleh Negara-negara Pihak Protokol.
Sebagai Negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UndangUndang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas), berarti
Indonesia menunjukan kesungguhannya untuk menghormati, melindungi,
memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya
diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas di
Indonesia. Hal ini diwujudkan antara lain dengan cara mengadopsi kebijakan atau
peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk implementasi dari hak-hak
penyandang disabilitas dalam konvensi ini dengan melibatkan penyandang
disabilitas di dalam pembuatan kebijakan.
Tujuan dari dikeluarkannya konvensi ini adalah untuk memajukan,
melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara terhadap semua hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan
untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka.
Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika
berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi
penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang
lainnya. 18
18
Lihat pasal 1, Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).
Universitas Sumatera Utara
Sehingga melalui konvensi tersebut, penyandang disabilitas diharapkan
tidak lagi mengalami diskriminasi berdasarkan “disabilitas” yaitu dimana
terjadinya pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas yang
bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan, penikmatan
atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya terhadap semua hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini mencakup semua bentuk diskriminasi,
termasuk penolakan atas pemberian akomodasi yang beralasan. 19
Dalam konvensi ini, terdiri dari 50 pasal yang mengandung prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individu; termasuk
kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan.
2. Nondiskriminasi.
3. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat.
4. Penghormatan pada perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas
sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan.
5. Kesetaraan kesempatan.
6. Aksesibilitas.
7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan;
8. Penghormatan atas kapasitas yang terus berkembang dari penyandang
disabilitas anak dan penghormatan pada hak penyandang disabilitas anak
untuk mempertahankan identitas mereka.
Terkait jaminan kehidupan berpolitik kaum disabilitas, dalam konvensi ini
diatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas, antara lain hak mendapatkan
aksesibilitas (pasal 9) dan hak partisipasi dalam kehidupan politik dan publik
(pasal 29). Pada pasal 29 mengenai hak Partisipasi dalam kehidupan politik dan
publik disebutkan pada point (a) bahwa:
19
Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Negara-Negara Pihak harus menjamin kepada penyandang disabilitas hakhak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya dan akan mengambil langkah-langkah
untuk :
a) Menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif
dan penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan
dengan yang lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang
dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang
disabilitas untuk memilih dan dipilih, antara lain dengan:
i. Memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan
bersifat layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan;
ii. Melindungi hak penyandang disabilitas untuk memilih secara rahasia
dalam pemilihan umum dan referendum publik tanpa intimidasi dan
untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk memegang jabatan
serta melaksanakan seluruh fungsi publik dalam semua tingkat
pemerintahan, dengan memanfaatkan penggunaan teknologi baru
yang dapat membantu pelaksanaan tugas;
iii. Menjamin kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang
disabilitas sebagai pemilih dan untuk tujuan ini, bilamana diperlukan
atas permintaan mereka, mengizinkan bantuan dalam pemilihan oleh
seseorang yang ditentukan mereka sendiri.
Hak untuk mendapatkan kemudahan dalam pemilihan umum di Indonesia
sebagai pemilih bagi kaum disabilitas, selain telah tercantum pada Convention on
the Right Persons with Disabilities (CRPD), juga telah diwujudkan dalam payung
hukum nasional, salah satunya yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
• Pada pasal 142 disebutkan bahwa:
Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan
pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan
perlengkapan lainnya….yang dimaksud dengan ”dukungan perlengkapan
pemungutan suaralainnya” meliputi sampul kertas tanda pengenal
KPPS/KPPSLN, tanda pengenal TPS/TPSLN, tanda pengenal saksi, karet
pengikat surat suara, lem, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol,
Universitas Sumatera Utara
formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali
pengikat alat pemberi tanda pilihan dan alat bantu tuna netra.
• Pada Pasal 156 disebutkan bahwa:
1. Pemilih tuna netra, tuna daksa dan yang mempunyai halangan fisik lain
saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas
permintaan pemilih.
2. Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan
pemilih.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih
ditetapkan dengan peraturan KPU.
• Pada Pasal 164 disebutkan bahwa:
1. Pemilih tuna netra, tuna daksa dan yang mempunyai halangan fisik lain
saat memberikan suaranya di TPSLN dapat dibantu oleh orang lain atas
permintaan pemilih.
2. Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suaranya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan
pemilih.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih
ditetapkan dengan peraturan KPU.
• Pada Pasal 295 disebutkan bahwa:
Setiap orang yang bertugas membantu pemilih yang dengan sengaja
memberitahukan pililhan pemilih kepada orang lain sebagiamana
dimaksud dalam pasal 165 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan
denda paling sedikit Rp.3.000.000.- dan paling banyak Rp.12.000.000.-
Universitas Sumatera Utara
2. 3. Aksesibilitas Bagi Kaum Disabilitas
“Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat
guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”. 20 Aksesibilitas terhadap fasilitas umum bukan saja merupakan hak
bagi penyandang disabilitas semata namun juga akan memberikan kenyamanan
lebih bagi warga masyarakat pada umumnya.
Aksesibilitas atau kemudahan dalam Convention on the Rights of Persons
with Disabilities diatur pada pasal 9 dimana disebutkan bahwa:
Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi
secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak harus
mengambil kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang
disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan
fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan
sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan
lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
disebutkan mengenai aksesibilitas pada pasal 10, yaitu :
a. Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
b. Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan
lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya
hidup bermasyarakat.
c. Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Salah satu peraturan kebijakan pemerintah Indonesia terkait masalah
aksesibilitas yaitu telah dikeluarkannya Keputusan Menteri Pekerjan Umum
20
Lihat pasal 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat.
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia Nomor: 468/ KPTS/ 1998 mengenai Persyaratan Teknis
Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Dimana di dalamnya diatur
atau dapat dijadikan pedoman bagi pembangunan umum dan lingkungan (semua
bangunan pemerintahan, bangunan milik swasta dan fasilitas umum yang
dikunjungi atau digunakan penyandang disabilitas) dengan asas kemudahan,
kegunaan, keselamatan dan kemandirian untuk menghapus hambatan bagi
penyandang disabilitas. Sehingga tercipta suatu Design Universal yaitu suatu
desain baik dalam produk, lingkungan, program dan pelayanan yang dapat
digunakan oleh semua orang, semaksimal mungkin, tanpa memerlukan suatu
adaptasi atau desain khusus dimana tidak mengecualikan alat bantu bagi
kelompok penyandang disabilitas tertentu pada saat diperlukan.
Harus kita ketahui bahwa penyandang disabilitas memiliki hambatan
arsitektural sesuai dengan derajat kecacatannya. Sehingga mereka tidak dapat
merealisasikan kesamaan haknya sebagai warga masyarakat. Sesungguhnya para
penyandang disabilitas tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih
banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki
agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan,
kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya,
memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang
normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya. Tersedianya
bangunan dan fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan persoalan
kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitas-fasilitas umum
Universitas Sumatera Utara
merupakan hak, bukan pilihan semata. 21 Hambatan arsitektural yang dapat
menghambat mereka terdiri dari tiga kategori kecacatan utama, yaitu: 22
1. Hambatan arsitektural bagi penyandang disabilitas fisik (Tunadaksa).
Hambatan ini mencakup mereka yang menggunakan kursi roda,
semiambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu
kesulitan
gerak
otot. Contohnya:
Perubahan
tingkat ketinggian
permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit, tidak adanya
pertautan landai antara jalan dan trotoar, tidak cukupnya ruang untuk
lutut di bawah meja atau wastapel, tidak cukupnya ruang untuk berbelok,
lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit, permukaan jalan yang
renjul (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi
roda, pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka, tombol-tombol yang
terlalu tinggi letaknya, bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang
menutup secara otomatis dan menutup terlalu cepat, tangga berjalan
tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.
2. Hambatan arsitektural bagi penyandang disabilitas sensoris (alat indra)
yang meliputi orang tunanetra dan tunarungu. Tunanetra adalah mereka
yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka
yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat
membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata.
21
Dr. Didi Tarsidi. 2008. Aksisibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat Upaya Menciptakan
Fasilitas Umum dan Lingkungan yang Aksesibel Demi Kesamaan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat untuk
Hidup Mandiri dan Bermasyarakat. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. hal. 3.
22
Ibid. hal.4-5
Universitas Sumatera Utara
Contoh hambatan bagi tunanetra, yaitu tidak adanya petunjuk arah atau
ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas
yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat,
rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau
papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki, cahaya yang
menyilaukan atau terlalu redup, lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba)
untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk
menunjukkan nomor lantai. Sedangkan untuk tunarungu yaitu Para
tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui
pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka juga
mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan
yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda
bahaya.
3. Hambatan arsitektural untuk kecacatan intelektual (tunagrahita). Para
penyandang kecacatan intelektual akan mengalami kesulitan mencari
jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan
yang jelas dan baku.
Universitas Sumatera Utara
Aksesibilitas pada setiap pelaksanaan pemilihan umum merupakan hak
setiap penyandang disabilitas. Untuk menciptakan pemilihan umum yang
aksesibel, diperlukan hal-hal sebagai berikut: 23
1. Hukum dan peraturan pemilu
Untuk membuat semua proses pemilu yang aksesibel, harus ada kerangka
hukum yang memastikan bahwa setiap aspek aksesibilitas dalam pemilu
terpenuhi. Hukum tersebut mengatur pengadaan fasilitas untuk
menciptakan pemilihan umum yang aksesibel dan bentuk sangsinya jika
terjadi pelanggaran.
2. Anggaran
Komisi pemilihan umum harus mengalokasikan anggaran untuk
pengadaan akses di awal siklus pemilu.
3. Logistik
• Tempat pemungutan suara (TPS) harus berada di daerah yang datar
dan pintu masuknya harus berukuran sekurang-kurangnya 90cm agar
pengguna kursi roda dapat masuk, keluar dan bergerak secara leluasa
di dalam TPS. Jika TPS ditempatkan di gedung yang bertangga, maka
harus disediakan bidang landai.
• Untuk menjamin pemilih tunanetra bisa melakukan pemungutan suara
secara rahasia, maka harus disediakan alat bantu disetiap TPS. Alat
bantu ini bisa berupa map yang terbuat dari bahan yang teraba atau
tercetak dalam huruf braille. Surat suara kemudian kemudian
dimasukan kedalam map ini. Surat suara perlu diberi tanda agar
pemilih tunanetra bisa mengetahui posisi surat suara.
4. Pelatihan petugas pemilu
Setiap petugas pemilu harus memahami hambatan yang dialami oleh
penyandang disabilitas dalam pemilu yang tidak aksesibel dan bagaimana
menghilangkan hambatan tersebut. Buku panduan pelaksanaan untuk
petugas KPPS harus memuat petunjuk tentang pelaksanaan pemungutan
suara bagi penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas harus
dilibatkan dalam satuan petugas KPPS dan KPU.
5. Voter materi pendidikan pemilih dan sosialisasi harus dibuat dalam
bentuk yang aksesibel. Contohnya, harus ada penerjemah bahasa isyarat
dalam iklan layanan masyarakat di televisi, iklan tercetak juga harus
tersedia dalam bentuk braille dan bentuk yang mudah dibaca.
6. Pendaftaran pemilih
23
General
Election
Network
for
Disability
Access.
Pemilu
yang
Aksesibel.
http://www2.agendaasia.org/index.php/id/pemilu-dan-disabilitas/pemilu-yang-aksesibel/107-pemilu-yangaksesibel. diakses pada tanggal 24 Januari 2014 pukul 22.22 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Dalam tahap ini, semua warga yang memiliki hak pilih harus terdaftar.
Pusat pendaftaran pemilih harus ditempatkan di gedung yang aksesibel
dan materi pendaftaran harus tersedia dalam bentuk yang aksesibel. Di
beberapa Negara, penyandang disabilitas dapat menyebutkan jenis
akomodasi yang mereka perlukan untuk melakukan pemungutan suara
sehingga komisi pemilihan umum setempat bisa membuat perencanaan
untuk pengadaan fasilitas yang diminta.
7. Hari pemungutan suara
Kemungkinan ada penyandang disabilitas yang enggan melakukan
pemungutan suara karena pengalaman tdak mengenakan yang mereka
alami sebelumnya. Petugas pemilu harus mendorong semua orang untuk
datang ke TPS dan menjalankan hak pilih mereka. Pemantau bisa
membantu mengamati kondisi akses dalam pemilu. Hasil temuannya bisa
digunakan untuk meninjau kondisi akses yang ada dan apa saja yang bisa
diperbaiki.
8. Pengaduan
Jika terjadi pelanggaran selama hari pemungutan suara, penyandang
disabilitas perlu didorong untuk menyampaikan pengaduannya ke komisi
pemilihan umum. Proses pengaduan harus bisa diakses oleh penyandang
disabilitas.
9. Evaluasi
Komisi pemilihan umum harus mengadakan evaluasi setelah pemiliu
selesai dan menelaah mana yang sudah terlaksana dengan baik dan mana
yang perlu diperbaiki dalam pemilu berikutnya. Penyandang disabilitas
dan pemantau pemilu perlu memberikan masukan dalam evaluasi ini.
3. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah
Terdapat beberapa pilar yang menjadi prasyarat berjalannya sistem politik
demokrasi, yaitu: 24
1.
2.
3.
4.
Adanya penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala.
Adanya pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif.
Adanya perlindungan terhadap HAM.
Berkembangnya civil society dalam masyarakat.
P. Anthonius Sitepu, dalam bukunya Studi Ilmu Politik, menyebutkan
bahwa “Penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala menjadi prasyarat sistem
24
Komisi Pemilihan Umum. 2010. Modul Pemilu Untuk Pemula. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum. hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
politik demokrasi. Pemilhan umum (general election) diakui secara global,
diartikan sebagai sebuah arena untuk membentuk demokrasi perwakilan serta
menggelar pergantian pemerintahan secara berkala.” 25
Penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 secara langsung
telah mengilhami dilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada) secara langsung pula. Hal ini didukung pula dengan semangat
otonomi daerah yang telah digulirkan pada tahun 1999. Oleh karena itulah, sejak
tahun 2005, telah diselenggarakan Pilkada secara langsung, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan ini diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan
bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil”. 26
Penyelenggara Pemilihan Umum di Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah
lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung oleh rakyat yaitu Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang merupakan lembaga yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri. Hal tersebut termuat dalam pasal keempat Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa: 27
25
P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal. 177.
Komisi Pemilihan Umum, op. cit., hal. 16.
27
Lihat pasal 4 PP Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
26
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur diselenggarakan oleh KPUD.
Dalam penyelenggaraannya, KPUD Provinsi menetapkan KPUD kabupaten/
Kota sebagai bagian pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilihan.
Pemilihan tersebut dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam suatu penelitian. Ditinjau dari sudut
filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu yang
menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian. 28 Metode penelitian dalam
penelitan ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
Kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok
atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi. Penelitian
jenis ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi yang seteliti mungkin tentang
manusia atau suatu keadaan. 29 Jenis penelitian ini digunakan karena dalam
penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan mengenai keadaan pemenuhan hakhak kaum disabilitas dalam pemilihan umum Gubernur dan wakil Gubernur
Sumatera Utara tahun 2013 di Kota Medan kemudian menyajikannya secara
lengkap.
28
Prof. Dr. Husaini Usman, M.Pd., M.T dan Purnomo Setiady Akbar, M.Pd. 2009. Metodologi Penelitian
Sosial, Jakarta: Bumi Aksara. hal. 41.
29
Ibid. hal. 58
Universitas Sumatera Utara
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Medan dengan pertimbangan bahwa kota
Medan memiliki angka populasi kaum disabilitas yang cukup tinggi yaitu
sebanyak 2011 jiwa 30 (dengan klasifikasi kecacatan berbeda-beda dan segala
usia). Selain itu, pertimbangan lain adalah karena peneliti bertempat tinggal di
Kota medan sehingga akan lebih mudah bagi peneliti dalam mendapatkan datadata yang terkait dengan bahasan penelitian.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini dijabarkan
sebagai berikut :
• Jenis Data:
Jenis Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data yang bersifat
kualitatif. Data kualitatif adalah data yang tidak berupa angka-angka,
melainkan dalam bentuk deskripsi berupa berbagai keterangan menyangkut
hal-hal yang bertalian dengan materi penelitian ini seperti misalnya
penyajian data dalam kerangka teori dan menyangkut pemenuhan hak kaum
disabilitas dalam pemilihan umum dan seterusnya. Data berupa angka hanya
pada data jumlah kaum disabilitas dan kemudian dideskripsikan.
30
Kementerian Sosial Republik Indonesia, “Rekapitulasi Jumlah Cacat Berdasarkan Jenis Kesulitan/
Gangguan”, http://simcat.depsos.go.id, diakses tanggal 2 Januari 2014 pukul 14.05 WIB.
Universitas Sumatera Utara
• Sumber Data
Sumber data yang di pakai dalam penelitian ini bersumber dari data primer
dan data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung diperoleh dari
sumber data pertama dari lokasi penelitian baik berupa hasil daftar
pertanyaan berupa wawancara secara bebas terpimpin dengan pihak-pihak
terkait dengan pembahasan pada penelitian ini. Sedangkan data sekunder,
yaitu data yang diperoleh bukan dari sumber langsung tetapi data yang telah
dikumpulkan oleh orang atau instansi lain. Data ini berupa data yang berasal
dari buku, dokumen, jurnal, berita dan sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan, akurat, dan mampu menjawab
permasalahan secara objektif, maka digunakan beberapa teknik yang sesuai
dengan sifat dan jenis data yang ada. Penelitian ini dilakukan melalui penelitian
lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research).
Pada penelitian lapangan, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
Wawancara. Wawancara dalam penelitian ini merupakan wawancara bebas
terpimpin. Dimana menurut Iin Tri Rahayu, model wawancara bebas terpimpin
yaitu diartikan sebagai wawancara yang menggunakan pedoman wawancara
Universitas Sumatera Utara
(daftar pertanyaan) namun berupa kalimat-kalimat yang tidak permanen atau
mengikat. 31
Wawancara pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa informan dengan
metode penetapan Purpossive sampling dan Snowball sampling. Metode
Purpossive sampling merupakan metode penetapan sampel (informan) dengan
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang disesuaikan dengan informasi yang
dibutuhkan, sedangkan snowball sampling yaitu metode penetapan sampel dengan
tidak menentukan jumlahnya, tetapi wawancara dilakukan sampai dapat diambil
sebuah kesimpulan dari jawaban semua sampel yang telah diwawancarai untuk
menjawab masalah penelitian ini. Adapun yang menjadi narasumber dalam
penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
• Kasubag. Bidang Teknis dan Hubungan Masyarakat KPUD Kota Medan,
yaitu Bapak Karnomaen Purba.
• Kepala Seksi Rehabilitasi Dinas Sosial Kota Medan, yaitu Ibu Deli
Marpaung, SH.
• Ketua DPP Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi
Sumatera Utara, yaitu Bapak Sir Jhon.
• Ketua 1 DPD Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) Provinsi
Sumatera Utara, yaitu Bapak Saiful Bakri Daulay, SH.
• Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) kota Medan, yaitu
Bapak Mardison Tanjung.
31
Iin Tri Rahayu dan Tristiadi Ardi Ardani. 2004. Observasi Dan Wawancara. Malang: Bayu media
publishing. hal.79.
Universitas Sumatera Utara
• Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumatera Utara,
yaitu Ibu Dra. Jenni Heryani.
• Ketua Pusat Pemilihan Umum Penyandang Cacat (PPUA-PENCA)
Sumatera Utara, yaitu Bapak Drs. Samaun.
• Beberapa orang penyandang tunanetra yang menggunakan hak pilihnya
dalam pemilihan umum Gubernur dan wakil Gubernur Sumatera Utara
2013 di Kota Medan.
Sedangkan penelitian kepustakaan yang dilakukan adalah dengan melakukan
penelaan berbagai sumber kepustakaan seperti buku, perundang-undangan, berita
dan laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik
analisis data kualitatif. Metode kualitatif dapat didefinisikan sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa ucapan, tulisan dan
perilaku yang diamati. Teknik analisa data dalam penelitian ini dimulai dari
proses pengumpulan data kemudian data yang telah dikumpulkan digambarkan
dan dianalisis. Kemudian dari hasil analisis data tersebut, dibuatlah suatu
kesimpulan dari jawaban permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
H. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab pertama, penulis membagi pembahasan ke dalam delapan bagian, yaitu
latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II: GAMBARAN UMUM KAUM DISABILITAS DI KOTA MEDAN
Dalam bab kedua, penulis akan menjelaskan mengenai gambaran kaum disabilitas
di Kota Medan yang terdiri dari penjelasan mengenai jumlah populasi kaum
disabilitas di Kota Medan, gambaran mengenai organisasi serta yayasan kaum
disabilitas di Kota Medan dan kebijakan pemerintah daerah terhadap kaum
disabilitas di Kota Medan.
BAB III: PEMENUHAN HAK-HAK KAUM DISABILITAS DALAM
PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR SUMATERA
UTARA TAHUN 2013 DI KOTA MEDAN DAN KENDALA DALAM
PEMENUHANNYA
Dalam bab ketiga, penulis akan membagi pembahasan ke dalam dua bagian, yaitu
menggambarkan mengenai pelaksanaan pemenuhan hak-hak kaum disabilitas
dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di
Kota Medan dan kendala dalam pemenuhan hak-hak kaum disabilitas dalam
Universitas Sumatera Utara
pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 di Kota
Medan.
BAB IV: PENUTUP
Bab keempat merupakan bab terakhir dari penulisan. Adapun isi dari bab ini
adalah kesimpulan dan saran atas hasil analisis data yang telah dilakukan dalam
penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Download