BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Agency Theory Teori keagenan atau agency theory menurut Jensen dan Meckling (1976) adalah: “We define an agency relationship as a contract under which one or more persons (theprincipal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa hubungan keagenan didefinisikan sebagai suatu kontrak antara satu orang atau lebih (prinsipal) dengan orang lain (agen) dimana prinsipal memberikan kewenangan untuk melaksanakan kegiatan perusahaan atas nama prinsipal dan kewenangan pengambilan keputusan kepada agen. Dalam penelitiannya, Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan: “If both parties to the relationship are utility maximizers, there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interests of the principal.” Penelitian tersebut menjelaskan bahwa dalam teori keagenan apabila kedua belah pihak, agen dan prinsipal, bertujuan untuk memaksimumkan kepentingannya masing-masing, maka terdapat kemungkinan besar bahwa agen tidak memaksimumkan kepentingan prinsipal. Menurut Jensen dan Meckling (1976) agen (manajemen) tidak memaksimumkan kepentingan prinsipal (pemilik) disebabkan: “The private corporation of firm is simply one form of legal fiction which serves as a nexus for contracting relationships among individuals.” Alasan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan hanya merupakan salah satu bentuk badan yang berfungsi sebagai penghubung suatu hubungan kontrak antara masing-masing individu. Dalam hal ini, prinsipal dan agen merupakan individuindividu yang berbeda dan memiliki tujuan yang berbeda pula, sehingga akan menimbulkan ketimpangan kepentingan. Ketimpangan kepentingan antara agen dan prinsipal inilah yang menyebabkan adanya ketimpangan informasi (asymetric information). Asymetric information atau ketimpangan informasi menurut Hendriksen dan Van Breda (2000:222) adalah situasi ketika tidak semua keadaan diketahui oleh kedua belah pihak (agen dan prinsipal). Ketimpangan informasi ini menunjukan adanya perbedaan porsi informasi yang dimiliki agen dan prinsipal berbeda, dimana manajemen sebagai agen lebih mengetahui kondisi perusahaan secara keseluruhan sehingga lebih memungkinkan untuk memanipulasi laporan keuangan agar kinerja manajemen sebagai agen terlihat lebih bagus dan mendapat insentif atas hasil kinerjanya tersebut. Sedangkan pemilik sebagai prinsipal tidak mengetahui secara langsung kondisi perusahaan keseluruhan sehingga mereka cenderung meragukan laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen sebagai agen. Menurut Jensen dan Meckling (1976) perbedaan (gap) kepentingan antara agen dan prinsipal bisa dibatasi dengan cara: “The principal can limit divergences from his interest by establishing appropriate incentives for the agent and by incurring monitoring costs designed to limit the aberrant activities of the agent.” Prinsipal bisa membatasi penyimpangan yang dilakukan oleh agen dengan cara memberikan insentif yang sesuai dengan kinerjanya sebagai reward supaya agen bertindak secara maksimal untuk memaksimumkan kepentingan prinsipal. Prinsipal juga bisa menerapkan monitoring costs untuk membatasi dan meminimalisir tindakan menyimpang yang dilakukan oleh agen. Monitoring costs merupakan salah satu dari agency costs yang timbul dari adanya konsep agency theory. Agency costs adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi ketidakpercayaan prinsipal atas kinerja agen. Monitoring costs adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membiayai pihak ketiga yang independen, yaitu auditor independen. Menurut Arens et al (2011:5) auditor independen adalah auditor yang mengeluarkan laporan mengenai laporan keuangan perusahaan. Auditor sebagai pihak ketiga merupakan mediator antara dua kepentingan yang berbeda, bertugas melakukan pemeriksaan dan pengawasan kepada agen untuk meminimalisir aktivitas yang menyimpang dari pihak agen melalui laporan keuangan. Auditor harus menilai dan memeriksa apakah laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen sudah sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum atau tidak dan memastikan laporan keuangan terbebas dari salah saji yang material. Hasil pengawasan yang dilakukan oleh auditor adalah opini yang disajikan dalam laporan auditor independen. Arens et al (2011:52) mengatakan bahwa sekalipun tujuan audit bukan untuk mengevaluasi kesehatan keuangan perusahaan, auditor juga memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi apakah perusahaan mempunyai kemungkinan untuk tetap bertahan (going concern). 2.1.2 Auditing 2.1.2.1 Pengertian Auditing Menurut Arens et al (2011:4) auditing adalah: “The accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person.” Pengertian tersebut mengartikan bahwa auditing merupakan suatu proses pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Pengertian auditing menurut Agoes (2012:4) adalah: “Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.” Sedangkan Mulyadi (2002:9) mendefinisikan auditing sebagai: “Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.” Berdasarkan pengertian-pengertian auditing tersebut, maka terdapat unsurunsur penting yang terkait dengan istilah auditing, yaitu: 1. Proses sistematis Auditing merupakan proses sistematis yaitu berupa serangkaian langkah atau prosedur yang logis yang terstuktur, terorganisir, dan jelas tujuannya bagi pengambil keputusan. 2. Pengumpulan dan pengevaluasian bukti secara objektif Proses sistematis tersebut bertujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti tentang informasi dalam laporan keuangan yang dibuat oleh badan usaha dan mengevaluasi bukti-bukti tersebut tanpa memihak dan berprasangka terhadap bukti-bukti tersebut. Bukti audit dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi yang akan digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 3. Tingkat kesesuaian antara pernyatan dan kriteria yang telah ditetapkan Pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan bukti tersebut dimaksudkan untuk menetapkan tingkat kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan tersebut adalah: 1. Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan tertentu 2. Anggaran atau ukuran prestasi pemilik satuan usaha 3. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) 4. Penyampaian hasil kepada pihak yang berkepentingan Penyampaian hasil audit dapat dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audityang merupakan penyampaian hasil-hasil temuan kepada para pemakai laporan. Laporan audit berisi pendapat auditor mengenai kewajaran laporan keuangan auditan. 2.1.2.2 Opini Audit Laporan auditor penting sekali dalam menginformasikan pemakai informasi mengenai apa yang telah dilakukan auditor dan kesimpulan yang diperolehnya. Dalam laporan audit, auditor menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan yang diaudit, apakah laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau tidak. Arens et al (2011:46) menjelaskan laporan audit baku terdiri dari tiga bagian paragraf, yaitu paragraf pertama merupakan paragraf pendahuluan yang menjelaskan pernyataan bahwa kantor akuntan publik bersangkutan telat melaksanakan audit atas laporan keuangan dan menyatakan tanggung jawab manajemen dan tanggung jawab auditor. Paragraf kedua adalah paragraf ruang lingkup yang menyatakan bahwa auditor melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang berlaku umum dan berdasarkan bukti yang memadai. Paragraf ketiga merupakan paragraf pendapat dimana auditor menyatakan kesimpulan dan opini berdasarkan hasil audit. Ada lima jenis pendapat atau opini audit dalam Standar Profesional Akuntan Publik No. 29 (IAPI, 2001:508), yaitu: 1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) Dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, auditor menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia. Laporan audit dengan pendapat wajar tanpa pengecualian diterbitkan oleh auditor jika kondisi berikut ini terpenuhi: a. Semua laporan neraca, laporan laba-rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas terdapat dalam laporan keuangan, b. Dalam pelaksanaan perikatan, seluruh standar umum dapat dipenuhi oleh auditor, c. Bukti cukup dapat dikumpulkan oleh auditor, dan auditor telah melaksanakan perikatan sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tiga standar pekerjaan lapangan, d. Laporan keuangan disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, e. Tidak ada keadaan yang mengharuskan auditor untuk menambah paragraf penjelas atau modifikasi kata-kata dalam laporan audit. 2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan atau modifikasi kata-kata (unqualified opinion with explanatory paragraph or modified wording) Dalam keadaan tertentu mungkin mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraf penjelas (atau bahasa penjelas yang lain) dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan keuangan. Paragraf penjelas dicantumkan setelah paragraf pendapat.Keadaan yang menjadi penyebab utama ditambahkannya suatu paragraf penjelas atau modifikasi kata-kata dalam laporan audit baku adalah: a. Ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum, b. Keraguan besar tentang kelangsungan hidup entitas, c. Auditor setuju dengan suatu penyimpangan dari prinsip akuntansi yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan, d. Penekanan atas suatu hal, e. Laporan audit yang melibatkan auditor lain. 3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion) Pendapat wajar dengan pengecualian diberikan apabila auditee menyajikan secara wajar laporan keuangan, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang dikecualikan. Pendapat wajar dengan pengecualian dinyatakan dalam keadaan: a. Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan terhadap lingkup audit, b. Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, yang berdampak material, dan ia berkesimpulan untuk tidak menyatakan pendapat tidak wajar. 4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion) Pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Auditor menyatakan pendapat ini jika dia yakin bahwa laporan keuangan secara keseluruhan dapat menyesatkan. 5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion) Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan apabila auditor tidak yakin bahwa laporan keuangan secara keseluruhan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Auditor tidak memberikan pendapat apabila terdapat pembatasan ruang lingkup audit atau auditor dalam kondisi tidak independen dalam hubungannya dengan klien. 2.1.3 Laporan Keuangan 2.1.3.1 Pengertian Laporan Keuangan Berdasarkan PSAK No. 1 (IAI, 2009:5 Paragraf 07), laporan keuangan merupakan suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Sedangkan definisi laporan keuangan menurut Kieso et al (2011:5) adalah sebagai berikut: “Financial statements are the principal means through which a company communicates its financial information to those outside it. These statements provide a company’s history quantified in money terms. The financial statements most frequently provided are (1) the statement of financial position, (2) the income statement or statement of comprehensive income, (3) the statement of cash flows, and (4) the statement of changes in equity. Note disclosures are an integral part of each financial statement.” Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan bagi prinsipal (pemilik) merupakan alat komunikasi dengan pihak luar yang menginformasikan kondisi keuangan perusahaan. Laporan keuangan ini terdiri dari laporan posisi keuangan atau neraca, laporan laba rugi atau laporan laba rugi komprehensif, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas laporan keuangan. 2.1.3.2 Tujuan Laporan Keuangan Tujuan laporan keuangan menurut Kieso et al (2011:7) adalah: “The objective of general-purpose financial reporting is to provide financial information about the reporting entity that is useful to present and potential equity investors, lenders, and other creditors in making decisions in their capacity as capital providers.” Definisi tersebut sama dengan tujuan laporan keuangan berdasarkan PSAK No. 1 (IAI, 2009:5 Paragraf 07) tentang penyajian laporan keuangan, yaitu: “Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukan hasil pertanggung jawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.” 2.1.3.3 Komponen Laporan Keuangan Dalam PSAK No. 1 (2009:6 Paragraf 08), laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen berikut ini: a. Laporan posisi keuangan pada akhir periode; Laporan posisi keuangan atau biasa disebut neraca ini menggambarkan posisi keuangan suatu perusahaan pada saat tertentu, biasanya pada akhir periode. Laporan posisi keuangan menyajikan informasi mengenai nilai dan jenis investasi perusahaan, kewajiban perusahaan kepada kreditur dan ekuitas pemilik. Laporan ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat hasil pengembalian, mengevaluasi struktur modal perusahaan dan memperhitungkan likuiditas dan fleksibilitas keuangan perusahaan. b. Laporan laba rugi komprehensif selama periode; Laporan laba rugi berfungsi untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Laporan ini mencerminkan aktivitas operasi perusahaan yang menyediakan rincian pendapatan, beban, untung atau rugi perusahaan untuk suatu periode waktu. Laporan laba rugi dapat digunakan untuk mengetahui indikasi profitabilitas perusahaan. c. Laporan perubahan ekuitas selama periode; Laporan perubahan ekuitas menyajikan perubahan-perubahan pada pos-pos ekuitas. Laporan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi alasan perubahan klaim pemegang ekuitas atau aktivitas perusahaan. d. Laporan arus kas selama periode; Laporan ini menyajikan dan melaporkan arus kas masuk dan keluar dalam akrivitas operasi, investasi dan pendanaan perusahaan secara terpisah dalam suat periode tertentu. Informasi arus kas berguna untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas dan memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk menilai dan membandingkan nilai sekarang dari arus kas masa depan dari berbagai entitas. e. Catatan atas laporan keuangan; Catatan atas laporan keuangan berisi informasi tambahan atas apa yang disajikan dalam laporan posisi keuangan, laporan pendapatan komprehensif, laporan laa\ba rugi terpisah (jika disajikan), laporan perubahan ekuitas dan laporan arus kas. Catatan atas laporan keuangan ini memberikan penjelasan atau rincian dari pos-pos yang disajikan dalam laporan keuangan dan informasi mengenai pos-pos yang tidak memenuhi kriteria pengakuan dalam laporan keuangan. f. Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif Laporan posisi keuangan pada awal periode ini disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya. 2.1.3.4 Analisis Laporan Keuangan Subramanyam dan Wild (2010:3) mendefinisikan analisis laporan keuangan sebagai berikut: “Analisis laporan keuangan (financial statement analysis) adalah aplikasi dari alat dan teknik analitis untuk laporan keuangan bertujuan umum dan data-data yang berkaitan untuk menghasilkan estimasi dan kesimpulan yang bermanfaat dalam analisis bisnis. Analisis laporan keuangan mengurangi ketergantungan pada firasat, tebakan, dan intuisi dalam pengambilan keputusan, serta mengurangi ketidakpastian analisis bisnis.” Bagi investor beserta pihak lainnya yang berkeinginan untuk mengetahui kondisi keuangan suatu perusahaan, maka perlu melakukan analisis laporan keuangan secara sistematis dan terukur. Dengan tujuan agar hasil yang diperoleh dapat dijadikan pendukung dalam proses pengambilan keputusan, terutama dukungan dalam keputusan jangka panjang. Penafsiran keputusan jangka panjang di sini dilihat dari sisi perspektif investor. Keputusan investor ini atas dasar keinginan mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang bernilai profitable, sehingga diperlukan langkah analisis laporan keuangan yang sistematis dan komprehensif. Langkah-langkah analisis menurut Lyn M. Fraser dan Aileen Ormiston dalam Fahmi (2011:12), yaitu: 1. Tentukan tujuan analisis. 2. Pelajari tentang di mana perusahaan bergerak dan hubungan iklim industri dengan proyeksi perkembangan ekonomi. 3. Kembangkanlah pengetahuan mengenai perusahaan dan kualitas manajemen. 4. Evaluasi laporan keuangan. 5. Ikhtisarkan temuan-temuan atas dasar suatu analisis dan ambil kesimpulan berkenaan dengan sasaran yang ditetapkan. 2.1.4 Kondisi Keuangan Perusahaan Kondisi keuangan perusahaan adalah keadaan atas keuangan perusahaanselama periode waktu tertentu. Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan tingkat kesehatan perusahaan sesungguhnya (Ramadhany, 2004). Media yang dapat dipakai untuk meneliti kondisi kesehatan perusahaan adalah laporan keuangan. Mutchler (1985) mengungkapkan beberapakarakteristik dari suatu perusahaan yang mengalami kondisi keuangan yang sulit,antara lain perusahan memiliki modal total negatif, arus kas negatif, pendapatan operasi negatif, modal kerja negatif, kerugian pada tahun berjalan, dan defisit saldo laba tahun berjalan. Auditor perlu untuk mewaspadai gejala kesulitan keuangan dan meragukan kelangsungan hidup (going concern) perusahaan. Kesangsian terhadap kelangsungan hidup perusahaan merupakan indikasi terjadinya kebangkrutan. Altman dan McGough (1974) dalam Fanny dan Saputra (2005) menemukan bahwa tingkat prediksi kebangkrutan dengan menggunakan suatu model prediksi mencapai tingkat keakuratan 82% dan menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu auditor untuk memutuskan kemampuan perusahaan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Analisis kebangkrutan dilakukan untuk memperoleh peringatan awal kebangkrutan. Semakin awal tanda-tanda kebangkrutan tersebut, semakin baik bagi pihak manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan. Pihak kreditur dan juga pihak pemegang saham bisa melakukan persiapan-persiapan untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang buruk. Tanda-tanda kebangkrutan tersebut dalam hal ini dilihat dengan menggunakan data-data akuntansi (Kurniati, 2012). Altman mengembangkan model untuk menganalisis suatu perusahaan dikelompokkan bangkrut dan tidak bangkrut dengan menggunakan 22 rasio keuangan yang diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu likuiditas, profitabilitas, leverage, rasio uji pasar dan aktivitas. Model tersebut ternyata tidak mampu diadopsi untuk perusahaan yang tidak go publicdan tidak dapat digunakan untuk perusahaan selain manufaktur, sehingga pada tahun 1993 Altman merevisi modelnya. Altman tetap mempergunakan lima kategori dengan mengganti rasio uji pasar dengan rasio nilai buku saham preferen dan biasa terhadap total hutang (Fanny dan Saputra, 2005). Perusahaan yang bangkrut umumnya akan mengalami kesulitan (financial distress) sebelum kebangkrutan terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti memilih model Altman yang pertama. Model Altman adalah sebagai berikut: Z’ = 1,2Z1 + 1,4Z2 + 3,3Z3 + 0,6Z4 + 0,999Z5 Z1 = working capital/total asset Z2 = retained earnings/total asset Z3 = earnings before interest and taxes/total asset Z4 = market capitalization/book value of debt Z5 = sales/total asset Definisi dari kelima rasio yang dikembangkan Altman tersebut adalah sebagai berikut: a. Rasio Z1 = modal kerja terhadap total aset digunakan untuk likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya. Aktiva likuid bersih atau modal kerja didefinisikan sebagai aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. b. Rasio Z2 = laba ditahan terhadap total aset digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur perusahaan, karena semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif. c. Rasio Z3 = pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total aset digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio ini juga dapat digunakan untuk mengukur kemampuan laba, yaitu tingkat pengembalian dari aktiva yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. d. Rasio Z4= nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari utang digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada aktivitasnya dan perusahaan menjadi pailit. Nilai pasar ekuitas adalah jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasa per lembar sahamnya. e. Rasio Z5 = penjualan terhadap total harta digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan. Z-score adalah hasil dari perhitungan kelima rasio yang diambil dari laporan keuangan yang kemudian dikalikan dengan koefisien dari model Altman. Berikutini adalah kriteria titik cut-off model z-score (Darsono dan Ashari, 2005): a. Tidak bangkrut/sehat jika Z lebih dari (>) 2,99 b. Rawan bangkrut (grey area) jika Z antara 1,81-2,99 c. Potensial bangkrut jika Z kurang dari (<) 1,81 Rasio-rasio ini digunakan khusus untuk perusahaan manufaktur yang go public. Perubahan rasio terjadi pada rasio market capitalization to book value of debt atau nilai pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku utang menjadi book value of equity to book value of liability atau nilai buku modal dibagi dengan nilai buku utang yang digunakan untuk perusahaan manufaktur yang tidak go public, karena perusahaan jenis ini tidak memiliki nilai pasar untuk ekuitasnya. 2.1.5 Opini Audit Tahun Sebelumnya Opini audit tahun sebelumnya adalah opini audit yang diterima auditee pada tahun sebelumnya atau 1 tahun sebelum tahun penelitian. Opini audit tahun sebelumnya ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu auditee dengan opini audit going concern/going concern audit opinion (GCAO) dan tanpa opini going concern/non going concern audit opinion (NGCAO). Opini audit going concern/going concern audit opinion (GCAO) adalah opini audit dengan modifikasi atau paragraf penjelasan tambahan dalam laporan auditornya yang menyatakan bahwa terdapat kesangsian perusahaan mengalami kesulitan dalam kondisi keuangan. 2.1.6 Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan perusahaan dapat menjadi suatu indikasi bagi auditor dalam pemberian opini audit going concern.Pertumbuhan tersebut dapat dinyatakan melalui rasio pertumbuhan penjualan. Penjualan merupakan kegiatan operasi utama perusahaan. Pertumbuhan penjualan yang di atas rata-rata bagi perusahaan pada umumnya didasarkan pada pertumbuhan yang cepat yang diharapkan dari industri dimana perusahaan itu beroperasi. Penjualan yang terus meningkat dari tahun ke tahun akan memberi peluang auditee untuk memperoleh peningkatan laba. Dan laba yang tinggi pada umumnya menandakan arus kas yang tinggi.Rumus dari rasio pertumbuhan penjualan yang digunakan untuk mengukur kemampuan auditee dalam pertumbuhan tingkat penjualan adalah sebagai berikut: 2.1.7 Kualitas Audit Kualitas audit diartikan sebagai gabungan probabilitas seorang auditor untuk dapat menemukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien (Deangelo,1981 dalam Januarti, 2007). Seorang auditor dituntut untuk menghasilkan kualitas yang baik, karena laporan auditor begitu penting bagi pengguna laporan keuangan dalam mengambil berbagai keputusan.Kualitas audit yang tinggi dapat meningkatkan kredibilitas laporan keuangan dan sangat bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan. Klien biasanya mempersepsikan bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik (KAP) besar dan yang memiliki afiliasi dengan KAP internasionallah yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas, seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer review (Fanny danSaputra, 2005). Auditor skala besar dapat menyediakan kualitas audit yang lebih baik dibandingauditor skala kecil (Setyarno dkk, 2006), karena Auditor skala besar memiliki insentif yang lebih untuk menghindari kritikan kerusakan reputasidibandingkan pada auditor skala kecil (Kurniati, 2012).Auditor skala besar juga lebih cenderung untukmengungkapkan masalah-masalah yang adakarena mereka lebih siap menghadapi risiko peradilan(De Angelo 1981 dalam Setyarno dkk, 2006). Penelitian yang menguji pengaruh kualitas audit terhadap keputusan going concern dilakukan antara lain oleh Fanny dan Saputra (2005), Ramadhany (2004), Setyarno dkk (2007) dengan menggunakan big five firms dan non-big five firms sebagai proksi kualitas audit. Tetapi penelitian ini menggunakan The big four dan non big four karena KAP Arthur Anderson telah collapse pada tahun 2002. Tabel 2.1 KAP The Big Four dan Afiliasinya di Indonesia Ukuran Perusahaan Menurut Pendapatan Kantor A.S 1 Deloitte & Touche 2 Ersnt & Young 3 PricewaterhousC oopers 4 KPMG Kantor Indonesia Osman, Ramli, Satrio dan Rekan Purwanto, Sarwoko & Sanjaya Haryanto Sahari dan Rekan Sidharta, Sidharta dan Wijaya Partne r Profesi onal Caba ng A.S Persentase total pendapatan dari akuntansi dan auditing/pajak/konsul tasi manajemen dan lainnya Empat Besar 7.814,0 2.560 23.841 103 44/22/34 Pendapa tan Bersih (dalam $ juta) 6.330,6 2.130 15.900 97 72/27/01 6.167,0 2.019 20.059 91 63/26/11 4.715,0 1.607 13.184 93 77/23/00 Sumber:Tampubolon (2011) 2.1.8 Going Concern 2.1.8.1 Pengertian Going Concern Going Concern adalah kelangsungan hidup usaha. Tearney et al (2004:132) mendefinisikan going concern sebagai berikut: “The going-concern postulate simply states that unless there is evidence to the contrary, it is assumed that the firm will continue indefinitely. As a result, under ordinary circumstances, reporting liquidation values for assets and equities is in violation of the postulate.” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa kecuali ada bukti sebaliknya, diasumsikan bahwa perusahaan akan berlanjut tanpa henti. Akibatnya, dalam keadaan biasa, melaporkan nilai likuidasi untuk aset dan ekuitas merupakan pelanggaran terhadap dalilgoing concern. Pengertian going concern menurut Paton dan Littleton (1992:9): “The assumption that the business entity has continuity of life may be largely one of convenience, since no one can confidently predict the course of events. Yet some degree of continuity is the typical experience even in the midst of insolvency, liquidation, and dissolution. Business in general does not consist of an array of sporadic, short-term ventures and its accomplishments are not normally subject to the test of complete liquidation. Liquidation is not the normal expectation; continuity is.” Pengertian diatas mengasumsikan bahwa entitas bisnis memiliki kelangsungan hidup yang kemungkinan besar salah satu waktu yang terbaik, karena tidak ada yang yakin dapat memprediksi jalannya peristiwa. Namun beberapa tingkat kontinuitas adalah kebangkrutan, likuidasi, dan pembubaran. Bisnis pada umumnya tidak terdiri dari susunan sporadis, usaha jangka pendek dan prestasi biasanya tidak tunduk pada tes likuidasi lengkap. Likuidasi bukanlah harapan normal, harpan normal adalah kontinuitas. Adapun konsep going concern atau kontinuitas usaha menurut Suwardjono (2009:101) adalah: “Konsep ini menyatakan bahwa bila pada saat pelaporan tidak ada tandatanda yang kuat bahwa perusahaan akan dibubarkan atau dilkuidasi maka perusahaan dianggap akan berlangsung terus. Alasannya adalah bahwa likuidasi bukan harapan umum dalam mendirikan usaha.” Menurut Hendriksen dan Van Breda (2000:155) kelangsungan hidup usaha adalah suatu asumsi bahwa kebanyakan unit ekonomi diorganisasikan untuk beroperasi sepanjang suatu periode waktu yang tidak terbatas. Laporan audit dengan modifikasi mengenai going concern merupakan suatu indikasi bahwa dalam penilaian auditor terdapat risiko usaha auditee tidak dapat bertahan.Setyarno dkk. (2006) menjelaskan bahwa auditor melibatkan beberapa tahap analisis dalam memberikan opini audit going concern, diantaranya adalah mempertimbangkan hasil dari operasi, kondisi ekonomi yang mempengaruhi perusahaan, kemampuan membayar hutang, dan kebutuhan likuiditas di masa yang akan datang. 2.1.8.2 Opini Audit Going Concern Arens et al (2011:52) menyatakan bahwa sekalipun tujuan audit bukan untuk mengevaluasi kesehatan keuangan perusahaan, namun auditor memiliki tanggungjawab untuk mengevaluasi apakah perusahaan mempunyai kemungkinan untuk tetap bertahan. Pernyataan ini sesuai dengan PSA No. 30 (IAPI, 2011:341.2), yaitu: “Auditor bertanggungjawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelngsungan hidupnya dalam periode waktu pantas, tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan keuangan yang sedang diaudit (selanjutnya periode tersebut akan disebut dengan jangka wakt pantas). Evaluasi auditor berdasarkan atas pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang ada pada atau yang telah terjadi sebelum pekerjaan lapangan selesai. Informasi tentang kondisi dan peristiwa diperoleh auditor dari penerapan prosedur audit yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan audit yang bersangkutan dengan asersi manajemen yang terkandung dalam laporan keuangan yang sedang diaudit.” Opini audit going concern merupakan opini yang tidak mudah diterbitkan oleh auditor, karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Mutchler (1985) menyatakan bahwa terdapat beberapa kriteria bagi perusahaan yang akan menerima opini audit going concern, antara lain perusahaan-perusahaan yang memiliki masalah dengan pendapatan, reorganisasi, ketidakmampuan dalam membayar bunga, menerima opini going concern tahun sebelumnya, sedang dalam proses likuidasi, memiliki pendapatan bersih yang negatif, arus kas negatif, modal kerja negatif, mengalami kerugian selama 2 hingga 3 tahun berturit-turut dan jumlah laba ditahan yang negatif. Menurut Arens et al (2011:52) faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai kemampuan perusahaan untuk terus bertahan adalah sebagai berikut: 1. Significant recurring operating losses or working capital deficiencies 2. Inability of the company to pay its obligations as they come due 3. Loss of major customers, the occurrence of uninsured catastrophes such as an earthquake or flood, or unusual labor difficulties. 4. Legal proceedings, legislation, or similar matters that have occurred that might jeopardize the entity’s ability to operate Cara auditor mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, menurut PSA No. 30 (IAPI, 2011:341.3) adalah sebagai berikut: a. Auditor mempertimbangkan apakah hasil prosedur yang dilaksanakan dalam perencanaan, pengumpulan bukti audit untuk berbagai tujuan audit, dan penyelesaian auditnya, dapat mengidentifikasi keadaan atau peristiwa yang secara keseluruhan, menunjukkan adanya kesangsian besar terhadap kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas. Mungkin diperlukan untuk memperoleh informasi tambahan mengenai kondisi dan peristiwa beserta bukti-bukti yang mendukung informasi yang mengurangi kesangsian auditor. b. Jika auditor yakin bahwa terdapat kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, ia harus: i. Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut, dan ii. Menentukan apakah kemungkinan bahwa rencana tersebut dapat secara efektif dilaksanakan. c. Setelah auditor mengevaluasi rencana manajemen, ia mengambil kesimpulan apakah ia masih memiliki kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas. Dalam PSA No. 30 (IAPI, 2011:341.6) pertimbangan auditor yang berhubungan dengan rencana manajemen dapat meliputi: a. Rencana untuk menjual aset b. Rencana penarikan utang atau restrukturisasi utang c. Rencana untuk mengurangi atau menunda pengeluaran d. Rencana untuk menaikkan modal pemilik Dalam mengevaluasi rencana manajemen, auditor harus mengidentifikasi unsur-unsur yang signifikan untuk mengatasi dampak negatif kondisi atau peristiwa dan harus merencanakan dan melaksanakan prosedur audit untuk memperoleh bukti audit tentang hal tersebut. Meskipun auditor bertanggungjawab untuk mengevaluasi apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, auditor tidak bertanggungjawab untuk memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan datang. Oleh karena itu, apabila dalam laporan auditor, auditor tidak mencantumkan mengenai kesangsian besar, tidak seharusnya dipandang sebagai jaminan mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (PSA No. 30) (IAPI, 2011:341.4). Dalam lampiran PSA No. 30 disajikan panduan untuk mempertimbangkan pernyataan pendapat atau pernyatan tidak memberikan pendapat dalam hal auditor menghadapi masalah kesangsian atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Gambar 2.1 Pedoman Pernyataan Pendapat Going Concern Apakah ada kondisi dan/atau peristiwa yang berdampak terhadap kelangsungan hidup entitas? Tidak SA Seksi 508 [PSA No. 29] Ya Apakah auditor sangsi atas kelangsungan hidup entitas? Ya Apakah ada rencana manajemen? Ya Tidak Apakah rencana manajemen dapat dilaksanakan? Ya Tidak Tidak memberika n pendapat Tidak Tidak memberikan pendapat Apakah cukup pengungkapan? Tidak Ya Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian Pendapat Wajar Tanpa Pengeculian dengan Paragraf Penjelasan Berkaitan dengan Kelangsungan Hidup Entitas atas Penekanan atas Suatu Hal (Emphasis of a Master) Pendapat Wajar dengan Pengecualian atau Pendapat Tidak Wajar 2.1.9 Pengaruh Kondisi Keuangan Perusahaan terhadap Opini Audit Going Concern Penelitian mengenai kondisi keuangan perusahaan diawali dari analisis rasio keuangan, karena laporan keuangan berisi informasi penting mengenai kondisi dan prospek perusahaan di masa yang akan datang (Fanny dan Saputra, 2005). Kondisi keuangan diukur dengan Z Score. Analisis diskriminan Z Score berguna untuk memprediksi kebangkrutan dan sebagai ukuran dari keseluruhan kinerja keuangan perusahaan. Santosa dan Wedari (2007) menyatakan bahwa semakin kondisi perusahaan terganggu atau memburuk maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern. Sebaliknya pada perusahaan yang tidak pernah mengalami kesulitan keuangan auditor tidak pernah mengeluarkan opini audit going concern. Hal ini konsisten dengan bukti empiris yang menyatakan bahwa semakin kondisi keuangan perusahaan terganggu atau memburuk, maka akan semakin besar probabilitas perusahaan menerima opini going concern (Ramadhany, 2004, Setyarno dkk, 2006). Dan sebaliknya pada perusahaan yang memiliki kondisi keuangan yang sehat, maka probabilitas untuk menerima opini audit going concern akan semakin kecil. 2.1.10 Pengaruh Opini Audit Tahun Sebelumnya Terhadap Opini Audit Going Concern Opini audit tahun lalu yang diasumsikan telah dilakukan dengan proses yang baik dan benar, dapat dijadikan acuan untuk pemberian opini tahun selanjutnya. Januarti (2007) menyatakan bahwa auditee yang menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya akan dianggap memiliki masalah kelangsungan hidupnya, sehingga semakin besar kemungkinan bagi auditor untuk mengeluarkan opini audit going concern. Mutchler (1984) dalam Setyarno dkk. (2006) melakukan wawancara dengan praktisi auditor yang menyatakan bahwa perusahaan yang menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya lebih cenderung untuk menerima opini yang sama pada tahun berjalan. Mutchler (1985) melakukan wawancara dengan praktisi auditor yang menyatakan bahwa perusahaan yang menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya lebih cenderung untuk menerima opini yang sama pada tahun berjalan. Mutchler (1985) menguji pengaruh ketersediaan informasi publik terhadap prediksi opini audit going concern, yaitu tipe opini audit yang telah diterima perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa model discriminant analysis yang memasukkan tipe opini audit tahun sebelumnya mempunyai akurasi prediksi keseluruhan yang paling tinggi sebesar 89,9 persen dibanding model yang lain. Dia juga mengatakan bahwa opini audit going concern pada tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap penerimaan opini going concern. 2.1.11 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern Perusahaan yang mempunyai pertumbuhan penjualan yang baik diharapkan akan dapat meningkatkan laba dan dapat mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Pertumbuhan penjualan yang meningkat akan memberikan peluang yang kecil untuk auditor memberikan opini going concern. Setyarno dkk. (2006) menyatakan semakin tinggi rasio pertumbuhan penjualan, maka akan semakin kecil kemungkinan auditor memberikan opini audit going concern. Sementara perusahaan dengan rasio pertumbuhan penjualan negatif berpotensi besar mengalami penurunan laba sehingga apabila manajemen tidak segera mengambil tindakan perbaikan, perusahaan dimungkinkan tidak akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam hasil penelitiannya, Petronela (2004) menemukan bahwa negative growth mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan. Maka akan lebih cenderung menerima opini audit going concern karena kebangkrutan merupakan salah satu dasar bagi auditor dalam memberikan opini. 2.1.12 Pengaruh Kualitas Audit Terhadap Opini Audit Going Concern Kualitas audit ini diproksikan dengan auditor yang telah memiliki reputasi yang besar, yaitu Kantor Akuntan PublikThe Big Four.Mutchler et al. (1997) dalam Setyarno (2006) menemukan bukti univariat bahwa auditor big 6 lebih cenderung menerbitkan opini audit going concern pada perusahaan yang mengalami financial distress dibandingkan auditor non-big 6. Auditor skala besar dapat menyediakan kualitas audit yang lebih baik dibanding auditor skala kecil, termasuk dalam mengungkapkan masalah going concern. Semakin besar skala auditor, akan semakin semakin besar kemungkinan auditor untuk menerbitkan opini audit going concern.Teori reputasi memprediksikan adanya hubungan yang positif antara ukuran KAP dengan kualitas audit (Lennox 2000 dalam Tamba 2009). 2.1.13 Tinjauan Penelitian Terdahulu Untuk melengkapi penelitian ini, penulis mengambil beberapa rujukan dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan topik yang diangkat penulis, diantaranya tergambar dalam tabel 2.2 sebagai berikut: Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu No 1 2 Nama Peneliti Margareta Fanny dan Sylvia Saputra (2005) Eko Budi Setyarno, Indira Januarti Judul Variabel Hasil Penelitian Opini Audit Going Concern: Kajian Berdasarkan Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, Dan Reputasi Kantor Akuntan Publik (Studi Pada Emiten Bursa Efek Jakarta) Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi Keuangan Perusahaan, Opini Independen: Model Prediksi Kebangkrutan (X1), Pertumbuhan Perusahaan (X2), dan Reputasi KAP (X3). Dependen: Opini Audit Going Concern (Y1) Pengujian multivariate memberi hasil bahwa model prediksi oleh Altman merupakan model prediksi terbaik di antara ke-2 (kedua) model prediksi lainnya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pemberian opini audit going concern tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan perusahaan auditan dan reputasi KAP yang mengeluarkannya Kondisi keuangan perusahaan dan opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap Independen: Pengaruh Kualitas Audit (X1), Kondisi Keuangan dan Faisal (2006) Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Opini Audit Going Concern 3 Arga Fajar Santosa dan Linda Kusumaning Wedari (2007) Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern 4 Indira Januarti (2009) Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Auditor, Kepemilikan Perusahaan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern (Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) 5 Junaidi dan Jogiyanto Hartomo (2010) Faktor Non Keuangan Pada Opini Going Concern 6 Wiwik Kurniati (2012) Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan dan Reputasi KAP Terhadap Opini Audit Going Perusahaan (X2), Opini Audit Tahun Sebelumnya (X3), Pertumbuhan Perusahaan (X4) Dependen: Opini Audit Going Concern (Y1) Independen: Kualitas Audit (X1), Kondisi Keuangan Perusahaan (X2), Opini Audit Tahun Sebelumnya (X3), Pertumbuhan Perusahaan (X4), Ukuran Perusahaan (X5) Dependen: Penerimaan Opini Audit Going Concern (Y1) Independen: Kondisi keuangan (X1), debt default (X2), ukuran perusahaan (X3), opini audit tahun sebelumnya (X4), audit lag (X5), auditor client tenure (X6), kualitas audit (X7), opinion shopping (X8), kepemilikan manjerial dan institusional (X9) Depnden: Penerimaan opini audit going concern Independen: Tenure (X1), reputasi auditor (X2), disclosure (X3), ukuran perusahaan (X4) Dependen: Opini audit going concern Independen: Prediksi Kebangkrutan (X1), Pertumbuhan Perusahaan (X2), Reputasi KAP (X3) penerimaan opini audit going concern. Kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Kondisi keuangan dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap kecenderungan penerimaan opini audit. Opini audit tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap kecenderungan penerimaan opini audit. Kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap kecenderungan penerimaan opini audit going-concern. Variabel debt default, ln sales (size), lamanya perikatan (audit client tenure), opini tahun sebelumnya dan kualitas auditor berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern. Audit lag, opinion shopping, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern. 3 variabel non keuangan yang diuji adalah signifikan (tenure, reputation, dan disclosure) dan 1 variabel non keuangan tidak signifikan (size) Prediksi kebangkrutan yang diproksikan dengan Altman Z-Score berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Concern Dependen: Opini audit going concern (Y1) Opini Audit Going Concern: Analisis Berdasarkan Faktor Keuangan dan Non Keuangan Independen: Faktor Keuangan: Kesulitan Keuangan Auditee (X1) Faktor NonKeuangan: Debt Default (X2), Opini Audit Tahun Sebelumnya (X3), Reputasi Auditor (X4), Auditor Client Tenure (X5) Dependen: Opini Going Concern (Y1 7 Alfaizatul Ulya (2012) 2.2 Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Perusahaan yang diproksikan dengan pertumbuhan penjualan dan Reputasi KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Debt default dan opini audit tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern. Kesulitan keuangan, reputasi auditor dan auditor client tenure tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern Jansen dan Meckling (1976) dalam Januarti (2007) menggambarkan adanya hubungan kontrak antara agen (manajemen) dan principial (pemilik). Agen diberi wewenang oleh pemilik untuk mengelola perusahaan dan pemilik meminta laporan pertanggungjawaban dari manajemen atas pengelolaan yang dilakukan pada perusahaannya (Ulya, 2012). Manajemen sebagai agen akan berusaha untuk membuat laporan yang menunjukan hasil kinerja yang baik, sementara pemilik menginginkan laporan yang mencerminkan hasil sesungguhnya. Sehingga terjadilah gap. Selain itu, masalah lainnya adalah agen diberi wewenang oleh pemilik untuk melakukan operasional perusahaan, sehingga agen akan lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan pemilik. Ketimpanganinformasi ini disebut asymetric information. Untuk itu, agar kinerja pihak manajemen baik, pemilik akan memberikan insentif pada manajemen apabila hasil kerja manajemen sesuai dengan keinginan pemilik. Baik manajemen maupun pemilik diasumsikan sebagai orang ekonomi rasional dan semata-mata termotivasi untuk kepentingan pribadi (Ulya, 2012). Hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik keagenan. Untuk itu dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator. Auditor adalah pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak agen (manajemen) dengan principal (pemilik) dalam penilaian laporan yang dibuat oleh pihak manajemen.Tugas dari auditor adalah memberikan jasa untuk menilai laporan keuangan yang dibuat oleh agen mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Hasil dari jasa tersebut adalah opini audit. Menurut Setyarno dkk (2006) going concern adalah kelangsungan hidup suatu entitas. Dengan adanya going concern maka suatu entitas dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Laporan audit dengan modifikasi mengenai going concern merupakan suatu indikasi bahwa dalam penilaian auditor terdapat risiko auditee tidak dapat bertahan dalam bisnis. Dari sudut pandang auditor, keputusan tersebut melibatkan beberapa tahap analisis. Auditor harus mempertimbangkan hasil dari operasi, kondisi ekonomi yang mempengaruhi perusahaan, kemampuan membayar hutang, dan kebutuhan likuiditas di masa yang akan datang. Opini audit going concern merupakan opini yang dikeluarkan auditor untuk memastikan apakah perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Terkait dengan pentingnya opini audit yang dikeluarkan oleh auditor, maka auditor harus bertanggung jawab untuk mengeluarkan opini audit going concern yang konsisten dengan kondisi yang sebenarnya. Ada beberapa faktor yang dapat dikaji sebagai faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern, diantaranya yaitu kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, dan pertumbuhan perusahaam. Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan tingkat kesehatan perusahaan sesungguhnya. (Ramadhany, 2004). Dalam penelitian ini Setyarno dkk. (2006) menggunakan empat model prediksi kebangkrutan untuk mengukur kondisi keuangan perusahaan yaitu The Zmijewski Model, The Altman Model, Revised Altman Model dan Springate Model. Dalam menerbitkan opini audit going concern tahun berjalan, auditor akan mempertimbangkan opini opini audit going concern yang telah diterima auditee pada tahun sebelumnya jika kondisi keuangan auditee tidak menunjukkan tanda– tanda perbaikan atau tidak adanya rencana manajemen yang dapat direalisasikan untuk memperbaiki kondisi perusahaan. Penjualan yang terus meningkat dari tahun ke tahun akan memberi peluang auditee untuk memperoleh peningkatan laba. Dan laba yang tinggi pada umumnya menandakan arus kas yang tinggi. Semakin tinggi rasio pertumbuhan penjualan auditee, akan semakin kecil kemungkinan auditor untuk menerbitkan opini audit going concern.Suatu perusahaan dengan rasio pertumbuhan penjualan yang positif memberikan indikasi bahwa perusahaan lebih mampu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kemungkinan perusahaan terhadap kebangkrutan adalah kecil. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio pertumbuhan penjualan perusahaan, maka akan semakin kecil kemungkinan auditor untuk menerbitkan opini audit going concern. Klien biasanya mempersepsikan bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik (KAP) besar dan yang memiliki afiliasi dengan KAP internasionallah yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas, seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer review (Craswel et al dalam Fanny & Saputra 2005). Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran Agency Theory Prinsipal Agen Gap Asymetric Information Agency Cost Monitoring Cost Auditor Analisis Laporan Keuangan Informasi Keuangan Kondisi Keuangan Informasi Non-Keuangan Pertumbuhan Perusahaan Opini Audit Tahun Sebelumnya Opini Audit Going Concern Kualitas Audit Gambar 2.3 Model Penelitian 2.3 Kondisi Keuangan Perusahaan H1 Opini Audit Tahun Sebelumnya H2 Pertumbuhan Perusahaan H3 Kualitas Audit H4 Opini Audit Going Concern Hipotesis Penelitian Sekaran mendefinisikan hipotesis sebagai hubungan yang diperkirkan secara logis antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya, hipotesis yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 = Kondisi Keuangan Perusahaan dengan menggunakan Altman Z-Score Model berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan Opini Audit Going Concern H2 = Opini Audit Tahun Sebelumnya berpengaruh positif terhadap kemungkinan penerimaan Opini Audit Going Concern H3 = Pertumbuhan Perusahaan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan penerimaan Opini Audit Going Concern H4 = Kualitas Audit berpengaruh positif terhadap kemungkinan penerimaan Opini Audit Going Concern