Perekonomian Upaya Memastikan Ketidakpastian Burhanuddin Abdullah Kompas : 25 Oktober 2007 Perkembangan ekonomi global belakangan ini menarik untuk kita cermati. Harga minyak yang membubung tinggi dan krisis subprime mortgage yang belum sepenuhnya terbuka telah membuat sidang tahunan IMF beberapa hari lalu diwarnai dengan berita kekhawatiran meningkatnya risiko ketidakpastian global untuk beberapa waktu ke depan. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dampak perkembangan ekonomi global tersebut terhadap perekonomian nasional. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencoba memberikan penjelasan berdasarkan kajian dan analisis terhadap beberapa kemungkinan yang terbuka. Pengalaman menghadapi gonjang-ganjing harga minyak dunia ini sebenarnya bukan yang pertama bagi kita. Pada tahun 2005 kita pun pernah dihadapkan dengan kejadian ini. Kita tidak perlu panik. Kemarin saya menjawab pertanyaan wartawan harian ini bahwa dampak dari kenaikan harga minyak dunia masih mixed. Ada yang positif dan ada yang negatif. Kita harus cermat dan saksama menghitung dampak fenomena ini. Setelah itu kita perlu siapkan strategi dan kebijakan antisipasinya secara komprehensif. Bank Indonesia telah mencoba melakukan simulasi mengenai dampak kenaikan harga minyak terhadap perekonomian Indonesia. Setidaknya, ada tiga skenario dampak yang mungkin terjadi melalui beberapa jalur utama yang terkait dengan kegiatan perdagangan minyak, yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), anggaran pemerintah (fiskal), dan stabilitas makroekonomi. Pertama, dari sisi NPI. Dengan asumsi volume kenaikan konsumsi minyak domestik tetap, dan yang dimaksud dengan minyak adalah minyak bumi dan gas serta produk turunannya, maka peningkatan harga minyak diperkirakan akan memberikan dampak positif terhadap cadangan devisa. Dari perhitungan yang dilakukan, setiap kenaikan harga minyak sebesar satu dollar AS per barrel diperkirakan akan meningkatkan cadangan devisa sebesar 145 juta dollar AS sejalan dengan surplus transaksi berjalan. Kedua, dari sisi fiskal pemerintah. Dampak dari setiap kenaikan harga minyak sebesar satu dollar per barrel, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan masih akan mengalami surplus sekitar Rp 0,05 triliun. Angka ini berasal dari prakiraan peningkatan penerimaan migas dan PPh migas sebesar Rp 3,45 triliun, sedangkan pengeluaran subsidi dan Dana Bagi Hasil (DBH) diperkirakan hanya meningkat sebesar Rp 3,40 triliun. Angka subsidi ini akan bisa lebih kecil jika kebijakan pemerintah menggantikan minyak tanah dengan LPG dapat berjalan sesuai harapan, mengingat porsi subsidi pada minyak tanah masih cukup besar, mengoptimalkan potensi produksi minyak, dan mengenakan sanksi hukum yang berat untuk penimbun dan penyelundup BBM. Skenario ketiga adalah terkait dengan indikator makroekonomi. Dampak kenaikan harga minyak pada nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya pasti dan sifatnya bisa sangat conditional. Di satu sisi, kenaikan cadangan devisa karena meningkatnya penerimaan migas diperkirakan akan dapat memperkuat nilai tukar rupiah. Kenaikan harga migas ini diprediksikan juga akan memicu naiknya harga-harga barang komoditas yang terkait, seperti kelapa sawit, batu bara, jagung, dan beberapa produk lain sebagai sumber energi alternatif. Indonesia sebagai negara penghasil komoditas tersebut tentu diuntungkan. Nilai ekspornya akan meningkat, cadangan devisa bertambah, dan ujungnya nilai tukar rupiah akan cenderung terus menguat. Kendati demikian, di sisi lain, tentu tidak boleh dinafikan kalau kenaikan harga migas ini juga punya dampak negatif yang harus diwaspadai. Pengalaman telah memberikan pelajaran bahwa kenaikan harga minyak akan mendorong peningkatan harga barang, terutama barang impor (imported inflation) sehingga dapat memperburuk term of trade. Tingkat konsumsi swasta dan gairah investasi pun mengalami pelemahan apabila harga barang naik. Beban ekonomi seperti ini pada gilirannya akan memberikan tekanan pada rupiah. Dan jika kondisi geopolitik yang memicu naiknya harga minyak tak juga kunjung reda, tingkat pertumbuhan ekonomi global maupun domestik bisa jadi akan suram seperti yang diramalkan. "Rational expectations" Untuk tidak terjebak dalam wacana, saya mencoba hadapkan skenario-skenario di atas dengan indikatorindikator ketahanan ekonomi kita. Dari sini, kita akan dapat mengukur sejauh mana pengaruh kenaikan harga minyak bisa menguntungkan atau merugikan kita. Dalam kondisi mirip seperti sekarang, Alan Greenspan pernah berpolemik dengan jargonnya tentang rational expectations vs irrational exuberance (ekspektasi rasional dan kegirangan yang tak rasional). Berpegang pada garis pikiran ini, tugas otoritas adalah memastikan ketidakpastian dengan cara mengelola ekspektasi dan memberikan rasionalitas, bukan sebaliknya. Sampai saat ini, saya melihat bahwa dengan langkah-langkah dan strategi kebijakan yang tepat kita akan mampu bertahan dan menyambut tahun-tahun kebangkitan dengan optimistis. Kondisi saat ini berbeda dengan tahun 2005. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dicatat di sini, internal maupun eksternal. Dari sisi internal, kondisi moneter cukup terpelihara, seperti tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang stabil dalam dua tahun belakangan. Di bidang pengelolaan fiskal, kita sudah tidak lagi memberikan subsidi kepada sebagian besar BBM. Defisitnya pun relatif lebih kecil, bahkan masih surplus apabila belum dapat terserap semua sampai dengan akhir tahun. Dari perdagangan internasional, NPI berada dalam kondisi cukup kuat dengan pencapaian angka ekspor yang cukup tinggi. Sementara itu, cadangan devisa terus meningkat. Kredit perbankan yang terus membaik adalah pertanda mulai terbukanya kebuntuan intermediasi pada proyekproyek infrastruktur dan kegiatan usaha produktif. Gairah investasi pun sekarang terasa lebih bergelora dibandingkan dengan tahun lalu. Peringkat yang terus membaik dari lembaga pemeringkat global dan aliran dana asing yang kembali masuk ke sektor keuangan kita adalah konfirmasi atas konstelasi makroekonomi Indonesia yang membaik. Secara umum, dapat dikatakan, semangat dan optimisme kebangkitan ekonomi sedang bersemi di atas stabilitas makroekonomi yang terpelihara. Secara eksternal, kasus surat berharga berbasis kredit perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage) yang hingga saat ini masih belum terukur jelas magnitudnya juga dapat diambil hikmahnya. Untuk sementara waktu, risiko ketidakpastian ini akan menggiring investor untuk mengalihkan penempatannya dari pasar di Amerika, yang pada ujungnya dapat membuat dollar melemah. Apabila dollar melemah, tekanan inflasi dari barang-barang impor akan tidak terlalu besar sehingga proyek-proyek strategis dapat terus berjalan tanpa khawatir akan adanya kenaikan biaya. Kondisi ini juga akan menciptakan peluang yang tepat bagi upaya kita memperdalam pasar keuangan melalui penerbitan instrumen keuangan yang aman dan menguntungkan. Sikap kunci Dalam berhadapan dengan gejolak dan ketidakpastian, sikap positif adalah kunci. Selama ini kita telah mampu menerapkan konsistensi kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati. Ke depan, percaya diri (self confidence) untuk hal ini bukan sesuatu yang berlebihan. Justru harus dijadikan kemudi dalam mengarahkan kepercayaan masyarakat. Capaian-capaian yang ada pada saat ini harus dapat dimanfaatkan sebagai pilar-pilar penopang pembangunan ekonomi yang tidak lekang dalam kondisi apa pun. Moralitas kebijakan disini ada pada efektivitas kita mendistribusikan kekuatan pada yang lemah agar dapat bertahan dan bangkit meraih kesejahteraannya. Burhanuddin Abdullah Gubernur Bank Indonesia