Senin, 01 Oktober 2012 Mengenang Santa Theresia dari Lisieux, seorang biarawati Carmelite yang digerakkan oleh perasaan yang mendalam melaksanakan misi Gereja 1 Taw 21:1-6. Sensus Bab ini mengawali bagian akhir Kitab pertama Tawarikh, yang akan berakhir pada bab 29. Seluruh bagian ini dikhususkan pada persiapan pembangunan Bait Allah, dari pemilihan ruang, pengaturan bagi pelayanan, tugas para imam, para penyanyi, penjaga gerbang dan sebagainya. Akhirnya, Daud menyatakan putranya Salomo sebagai raja. Daud mengatur segala sesuatu sebelum memulai pekerjaan. Dan akhirnya, sebagaimana juga Musa, begitu juga Daud, yang menunjuk penggantinya. Tujuan dari Tawarikh adalah untuk memperlihatkan Daud sebagai seorang yang berada di tempat asal Bait Allah maupun altar persembahannya. Sungguh luar biasa, bahwa segala sesuatu dimulai dengan narasi tentang tanggung jawab Daud yang berat dalam menginginkan adanya sensus. Beberapa orang menyarankan supaya pengarang --yang sejauh ini telah menghindari setiap rujukan atas kesalahan Daud-- menggarisbawahi dosa sensus, karena memungkinkan pemilihan area Bait Allah. Singkatnya, dari dosa ini akan menurunkan pilihan yang menentukan bagi kerajaan Daud, yang merupakan bangunan Bait Allah dan pembentukan kultus budaya. Bagaimanapun, dosa Daud ditempatkan sebagai awal yang dramatis terhadap pembangunan tempat ibadah. Kita dapat mengatakan bahwa ada misteri dosa yang memangkas seluruh sejarah keselamatan. Ini bukanlah kisah linear, bukan pula sejarah murni manusia dan tanpa kesalahan. Dosa tampaknya menjadi bagian integral dari sejarah keselamatan. Kita semestinya merenungkan kenyataan bahwa Gereja, pada malam Sabtu Suci, menyadari akan dosa anak-anaknya, dan mengingatkan dosa asal Adam, dengan bermadah, “Memang dosa Adam diperlukan / agar dapat dilebur dengan wafat Kristus / Sungguh menguntungkan dosa / karena mendatangkan Penebus / yang seagung dan semulia itu” (Exultate). Inilah misteri utama Allah, dan hanya Allah di dalam kemenangan kebaikan atas kejahatan. Jelas bahwa ini tidaklah berarti membenarkan dosa orang-orang percaya, namun mengingatkan kita bahwa hanya Allah yang menyelamatkan, yang tidak melecehkan kita. Dalam perspektif ini kita juga dapat memahami dosa yang dilakukan Daud dengan mendakwa sensus. Sungguh, Iblis, yang dikutip sebagai nama diri, seperti dihargai dengan identitasnya sendiri, menghasut Daud untuk melakukan kejahatan sesuai dengan rencananya. Kita berada di jalan yang mengarah pada konsep tulisan Iblis Yahudi dan Kristani itu sendiri. Pengarang memulai dengan mengatakan bahwa Iblis bangkit melawan bangsa Israel. Kejahatan ingin mencegah, menghentikan barisan yang maju menuju kebaikan, dan karenanya menghasut Daud untuk mendakwa sensus. Bukan hanya raja yang ingin mendapatkan ide yang tepat atas penaklukannya, dan di atas semuanya adalah kemungkinan karena pasukan militernya, melainkan dia memikirkan dirinya sendiri sebagai seorang pemandu sejati, pemimpin sejati bangsa Israel. Inilah dosa kuno Adam: menjadi “seperti” Allah, atau lebih tepatnya menempatkan dirinya di tempat Allah. Namun, Daud telah diperingatkan oleh Yoab untuk tidak menempuh jalan ini, untuk tidak mencoba sensus. Meskipun demikian, Daud lupa bahwa hanya Allah yang merupakan Tuhan bangsanya dan bahwa Dia-lah kekuatan sejati. Daud lebih suka mengikuti kesombongan dirinya. Di mata orang lain, mungkin bahkan kita sendiri, sepertinya ini pilihan yang wajar. Kenyataannya, di balik ini menyimpan bahaya kesombongan dan mengagungkan diri sendiri. Daud beralasan menurut orang-orang dan tidak menurut Allah. Mungkin jika dia mengingat kisah Gideon, dia tidak akan bersikeras dengan sensus. Di dalam Kitab Hakim-hakim dikatakan bahwa sungguh Tuhan meminta Gideon untuk mengurangi pasukannya: pada awalnya membuatnya memilih sepuluh ribu orang dan dari sini dia hanya mengambil tigaratus orang saja. Bersama mereka dia mengalahkan Midian, terlebih lagi hanya dengan mempergunakan sangkakala dan buyung sederhana (Hak 7). Inilah alasan di balik seluruh sejarah keselamatan, bahkan hingga hari ini. Doa bagi Orang Sakit Selasa, 02 Oktober 2012 1 Taw 21:7-17. Wabah dan pengampunan ilahi Ketika Allah mulai menyerang bangsanya, Daud menyadari dosa yang telah dilakukannya dan dengan segera bersujud dan berdoa, “Aku telah sangat berdosa karena melakukan hal ini; maka sekarang, jauhkanlah kiranya kesalahan hamba-Mu, sebab perbuatanku itu sangat bodoh” (ayat 8). Menjadi jelas bagi Daud bahwa dosanya bukanlah sekedar tindakan pribadi yang tertutup, tetapi sebenarnya adalah tindakan yang berdampak negatif bagi semua orang. Dosa tidak pernah merupakan satu tindakan yang terisolasi dalam dirinya sendiri. Selalu memiliki konsekuensi sosial dan objektif. Dengan cara ini juga, kebaikan memiliki konsekuensi yang terlihat. Inilah sebabnya mengapa di dalam tradisi rekonsiliasi Kristiani, penebusan dibutuhkan, yaitu gerak tubuh lahiriah, tindakan dan perilaku berlawanan dengan dosa yang dilakukan. Jadi, kita dipanggil untuk menanam di dalam diri kita dan di dalam masyarakat, benih-benih kebaikan yang dapat melawan kejahatan yang kita lakukan. Dalam bagian Kitab Suci ini, kita melihat dengan jelas konsekuensi dramatis dosa Daud bagi seluruh bangsa Israel. Ajaran ini tidak boleh dilupakan, terutama pada saat ini. Sungguh, di dunia saat ini, kita bukan hanya melembutkan perasaan dosa, tapi kita juga gagal untuk mengakui luka yang ditimbulkan dosa terhadap masyarakat. Tujuhpuluh ribu orang bangsa Israel yang tewas sebagai silih atas dosa Daud, sangat mendesak kita untuk takut dan memberikan perhatian besar atas konsekuensi negatif dari dosa-dosa kita terhadap komunitas dan masyarakat. Konsekuensi tersebut tidak dapat dihindari. Inilah sebabnya, melalui nabi, Allah setuju untuk memberikan pilihan kepada Daud atas tiga jenis hukuman (khas Yeremia dan Yehezkiel), yang mana dari sini doa umat Kristiani berasal, “Bebaskan kami dari wabah penyakit, kelaparan dan peperangan”. Hukuman-hukuman ini tercantum dalam urutan waktu: tiga tahun, tiga bulan dan tiga hari. Daud, menyadari kehancuran yang dilakukan, meminta kepada Allah wabah penyakit. Kita dapat mengatakan bahwa ini adalah pilihan bijaksana yang religius. Sementara kelaparan dan kekalahan dalam perang menempatkan Daud dan rakyatnya di bawah belas kasihan bangsa lain, wabah penyakit tidak dapat dielakkan selain meminta pertolongan Tuhan. Dengan cara tertentu, Daud mengakui sekali lagi bahwa kehidupan dan kematian bangsa Israel berada di dalam kuasa Allah. Di langit muncul malaikat Tuhan, siap menghancurkan dan menghukum orang-orang dengan pedangnya. “Ketika hendak dimusnahkannya”, tulis pengarang Tawarikh, “TUHAN melihatnya, lalu menyesallah Ia karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya itu, lalu berfirmanlah Ia kepada malaikat pemusnah itu: "Cukup! Turunkanlah sekarang tanganmu itu!"” (ayat 15). Daud menatap langit dan melihat malaikat Allah siap menghancurkan dengan pedang yang terhunus untuk menghancurkan Yerusalem. Bertobat dari dosa besarnya, Daud bersama dengan tua-tua bangsa Israel, mengenakan pakaian kabung, bersujud dan berpaling kepada Tuhan di dalam doa. Kisah ini menginspirasi Santo Gregorius Agung, ketika selama kepausannya, Roma mengalami wabah penyakit yang mengerikan. Gregorius menyerukan prosesi penebusan dosa dan kemudian melihat di langit malaikat penghancur menyarungkan kembali pedangnya. Bahkan hingga hari ini, di puncak Kastil Sant’Angelo di Roma, kita dapat melihat sebuah patung melaikat yang menyarungkan pedangnya. Monumen ini membantu kita untuk mengingat makna kisah biblis dalam kenyataan yang menyakitkan. Bukankah karena itu kita berdoa dan bertekad untuk memerangi berbagai jenis wabah penyakit yang menakutkan masyarakat kita? Doa bersama Maria, Bunda Allah Rabu, 03 Oktober 2012 Mengenang Sto.Fransiskus Xaverius, seorang imam Jesuit pada abad ke enambelas, yang merupakan seorang misionaris di India dan Jepang. 1 Taw 21:15 - 22:1. Pembelian tempat untuk Bait Allah Kita dibawa ke dalam jantung Kitab pertama Tawarikh oleh kalimat terakhir perikop ini yang berisi penegasan Daud, “Di sinilah rumah TUHAN, Allah kita, dan di sinilah mezbah untuk korban bakaran orang Israel”. “Rumah Tuhan” adalah istilah teknis yang digunakan untuk merujuk tempat ibadat Yerusalem. Dengan mezbah ini Daud meresmikan pembangunan tempat hunian Allah di antara umatNya, dan dengan demikian menolak segala tempat ibadah lainnya, terutama di Samaria, ibukota kerajaan utara dan Gunung Gerizim, pusat ibadah orang Samaria. Sungguh, inilah apa yang ingin ditegaskan pengarang Kitab Tawarikh melalui seluruh bagian kitab, yang hingga titik ini, menyebutkan dosa Daud, satu-satunya yang dicatat pengarang, dan hukuman yang menimpa seluruh rakyatnya menggarisbawahi inspirasi ilahi yang membawa Daud pada keputusan dimana membangun Bait Allah, dan pada kesadaran bahwa Tuhanlah yang terus membimbing keputusan-keputusan Daud. Seorang malaikat campur tangan dan meminta Gad untuk memberitahu Daud supaya naik ke Gunung Yerusalem (yang masih ditempati oleh orang Yebus) untuk menemui Ornan dan membeli tempat pengirikan dimana dia akan membangun mezbah. Fakta bahwa Ornan dan keluarganya, begitu melihat malaikat --bukti kesucian lokasi-- menjadi ketakutan. Setelah penglihatan, dia menawarkan tanah kepada Daud secara gratis, termasuk segala sesuatu yang mungkin diperlukan bagi korban bakaran. Daud menolak tawaran ini, dan memberikan kepada Ornan lebih daripada nilai yang seharusnya. Inilah tanda yang jelas dari kepemilikan. Saat ini Daud menjadi pemilik di Yerusalem. Ini juga terjadi pada Abraham ketika dia memperoleh makamnya (Kej. 23), yang mengindikasikan kepemilikan Tanah terjanji. Kitab kedua Tawarikh dengan jelas menekankan hubungan yang sama, “Salomo mulai mendirikan rumah TUHAN di Yerusalem di gunung Moria, di mana TUHAN menampakkan diri kepada Daud, ayahnya, di tempat yang ditetapkan Daud, yakni di tempat pengirikan Ornan, orang Yebus itu.” (3:1). Pengarang kitab pertama Tawarikh mengamati bahwa “Daud mendirikan di sana mezbah bagi TUHAN, mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan dan memanggil TUHAN. Maka TUHAN menjawab dia dengan menurunkan api dari langit ke atas mezbah korban bakaran itu” (ayat 26). Orang bisa mengatakan bahwa dengan mezbah ini, bangsa Israel bukan hanya memilih lokasi Bait Allah, namun juga memprakarsai praktek mempersembahkan kurban. Tuhan senang dan menanggapi dengan mengirimkan api dari surga ke atas mezbah. “Lalu berfirmanlah TUHAN kepada malaikat itu supaya dikembalikannya pedangnya ke dalam sarungnya” (ayat 27). Adapun Daud, pengarang mengamati, “mempersembahkan korban di sana, ketika ia melihat, bahwa TUHAN telah menjawab dia di tempat pengirikan Ornan, orang Yebus itu” (ayat 28). Di sini, kisah ini mencapai klimaksnya: Daud memenuhi apa yang telah dipilih oleh Allah. Kebesaran Daud termuat di dalam hal ini: bahwa dia menjawab panggilan Allah yang mengundangnya untuk turut serta dalam kisah keselamatan bangsanya. Panggilan Daud, seperti halnya setiap orang percaya, bukanlah prestasi dirinya sendiri. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak yang cenderung untuk percaya dan mengatakan bahwa itu adalah karena dari diri mereka sendiri, panggilan kita adalah untuk turut serta dalam rencana Allah guna menyelamatkan semua orang di muka bumi ini. Doa bersama Orang Kudus Kamis, 04 Oktober 2012 Mengenang St. Fransiskus Asisi. Mengenang persembahan kapel di Primavalle, tempat doa pertama Komunitas Sant’Egidio di daerah pinggiran kota Roma. Pada tanggal 4 Oktober 1992, perjanjian damai yang mengakhiri perang di Mozambik ditandatangani di Roma. Doa untuk semua orang yang bekerja untuk perdamaian. Mat 11:25-30. Injil diungkapkan kepada orang-orang kecil Hari ini kita merayakan pesta Santo Fransiskus dari Asisi, mengingat kematiannya pada tengah malam 3 Oktober 1226. Bahkan hingga hari ini, kesaksiannya terus menggerakkan hati banyak orang mengarah pada Tuhan. Pertobatannya ditandai dengan perjumpaannya dengan penderita kusta yang dipeluk dan diciumnya, serta mendengarkan suara dari Salib di Gereja Santo Damianus. Sejak saat itu, dia mulai menghidupi Injil “tanpa tambahan” dan menjadi saksi yang signifikan bukan hanya di dalam Gereja Katolik dan seluruh gereja Kristiani, melainkan juga di luar perbatasannya. Pada saat Perang Salib, kerinduan akan damai mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Damietta untuk berbicara dengan sultan. Dia mengumpulkan banyak orang di sekeliling dia, yang disebutnya “saudara”, dan memilih untuk tinggal di antara kaum marjinal, orang-orang miskin yang mengelilingi kotakota di abad pertengahan. Di dalam dirinya, Injil menjadi ragi persaudaraan yang tidak mengenal batas apapun. Hal ini persis dengan dimensi yang diakui secara universal, yang mendorong Yohanes Paulus II untuk memilih Asisi sebagai tempat pertemuan bersejarah di antara agama-agama dunia untuk Doa Perdamaian tahun 1986. Kutipan Injil yang dipersembahkan liturgi kepada kita pada pesta hari ini, membagikan salah satu doa Yesus, dimana Dia bersyukur kepada Bapa yang membungkuk kepada orang-orang kecil, mengungkapkan kepada mereka misteri kasihNya, misteri yang tersembunyi sepanjang masa, bahkan orang-orang bijak tidak dapat mengerti. Misteri tersebut adalah diri Yesus sendiri, yang diutus ke bumi untuk menyelamatkan umat manusia dari kuasa jahat dan kematian. Adalah kehendak Allah yang pengasih untuk menyelamatkan manusia, yang dimulai dengan yang paling kecil dan paling lemah. Fransiskus adalah di antara yang sedikit yang telah menyambut dan menerapkan kasih ini. Dengan cara ini, dia merupakan bagian dari barisan panjang orang-orang yang membentang sepanjang Kitab Suci sebagai benang emas tunggal. Inilah pilihan Allah terhadap yang miskin dan lemah. Di sinilah Allah mulai menyelamatkan dunia. Fransiskus mengulang kisah lama para murid Yesus: mereka, orang-orang sederhana dan dilecehkan, dipilih Yesus sebagai rasul-rasul Kerajaan Allah. Dia bukan hanya mengungkapkan misteri ini kepada mereka, melainkan juga mempercayakan kepada mereka sedemikian sehingga mereka dapat mencerminkannya kepada dunia. Melalui para murid ini, Yesus lanjut mengarah kepada orang-orang banyak yang letih lesu di dunia ini, berkata kepada mereka, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Inilah jalan yang terus Yesus perlihatkan kepada para murid: mengumpulkan yang lemah dan belajar dari Dia bagaimana supaya menjadi lemah lembut dan rendah hati. Hidup bersama dengan Yesus manis dan ringan, hidup menurut dunia keras dan berat. Doa bersama Orang Kudus Jumat, 05 Oktober 2012 1 Taw 22:2-19. Persiapan pembangunan Bait Allah Dari bab ini hingga bab 29, bab terakhir dari Kitab pertama Tawarikh, pengarang secara eksklusif menceritakan persiapan pembangunan Bait Allah, seakan-akan dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya, Daud belum merenungkan hal lain. Pengarang tampaknya ingin meyakinkan kita bahwa pahlawan ceritanya, Daud, bukan hanya inisiator bait suci, melainkan juga pembangun, sehingga dia begitu peduli terhadap persiapan konstruksinya. Daud mengumpulkan semua orang asing yang tinggal di wilayah tersebut (mungkin mereka adalah mantan penghuni daerah yang ditunjuk raja), yang tidak menikmati hak-hak warga sipil, dan oleh karena itu dapat dikenakan kerja paksa. Pengarang Kitab Tawarikh tampaknya menolak thesis bahwa bangsa Israel di masa lalu telah dibatasi kerja paksa (1Raj 5). Namun tetap signifikan Yesaya mengumumkan bahwa tembok Yerusalem akan dibangun kembali oleh orang-orang asing, “Orang-orang asing akan membangun tembokmu, dan raja-raja mereka akan melayani engkau; sebab dalam murka-Ku Aku telah menghajar engkau, namun Aku telah berkenan untuk mengasihani engkau” (Yes 60:10). Dengan kata lain, Yerusalem, selain penduduknya sendiri, juga membutuhkan orang-orang asing, paling tidak untuk membangun Bait Allah. Maka Daud mengumpulkan kayu dan logam, “tidak tertimbang beratnya, yang tidak terbilang banyaknya” untuk membangun Bait Allah. Namun Tuhan berfirman kepada Daud, bahwa karena dia menumpahkan terlalu banyak darah dalam peperangan, dia tidak akan menjadi orang yang membangun bait suci, “Telah kautumpahkan sangat banyak darah dan telah kaulakukan peperangan yang besar; engkau tidak akan mendirikan rumah bagi nama-Ku, sebab sudah banyak darah kautumpahkan ke tanah di hadapan-Ku” (ayat 8). Keputusan Tuhan membuat kita merenungkan kembali ikatan antara Allah dan perdamaian, antara bait suci dan kedamaian. Perang dan kekerasan tampaknya jauh dari Allah dan bait suciNya. Saya suka berpikir bahwa mungkin tradisi Yahudi yang melarang penggunaan peralatan dari logam untuk menulis Kitab Suci berasal dari kutipan ini: seseorang tidak dapat menulis Firman Allah dengan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat senjata. Tuhan memberitahu Daud bahwa bait suci akan dibangun oleh anaknya, Salomo, yang namanya mengacu pada kata “damai”. “Sesungguhnya, seorang anak laki-laki akan lahir bagimu; ia akan menjadi seorang yang dikaruniai keamanan. Aku akan mengaruniakan keamanan kepadanya dari segala musuhnya di sekeliling. Ia akan bernama Salomo; sejahtera dan sentosa akan Kuberikan atas Israel pada zamannya” (ayat 9). Tuhan menambahkan, “Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku dan dialah yang akan menjadi anak-Ku dan Aku akan menjadi Bapanya; Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya atas Israel sampai selama-lamanya” (ayat 10). Kata-kata perjanjian yang Daud terima dari Tuhan diulangi lagi pada Salomo. Dalam kata-kata ini, seseorang benar-benar dapat melihat masa mesianis masa depan: Tuhan akan dekat dengan umatNya seperti seorang Bapa, dan umatNya selamanya akan menjadi PutraNya; inilah nubuat yang akan mencapai pemenuhannya di dalam diri Yesus. Daud setelah mengungkapkan kepada anaknya kata-kata yang telah Tuhan katakan kepadanya, mendesak Salomo supaya tidak menunda pembangunan rumah Tuhan, dan mengajaknya untuk menyadari bahwa Tuhan sendiri lah yang telah menetapkannya di dalam Hukum. Hanya dengan mendengarkan dan setia pada Tuhan, maka Salomo akan mampu menyelesaikan proyek yang telah Tuhan percayakan kepadanya. “Maka engkau akan berhasil, jika engkau melakukan dengan setia ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum yang diperintahkan TUHAN kepada Musa untuk orang Israel. Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan janganlah tawar hati” (ayat 13). Inilah satu nasehat bijaksana yang diberikan Daud kepada anaknya. Dia mengingatkan bahwa apa yang diperhitungkan di dalam hidup adalah apa yang Tuhan percayakan kepada dia. Suasana hatinya dan apa yang mungkin terjadi padanya tidak penting, pada akhirnya dia harus berkonsentrasi atas pembangunan bait suci ini di atas segalagalanya. Daud, mungkin mengacu pada penderitaan yang telah melandanya pada periode terakhir hidupnya, membuatnya menjadi satu titik perhatian untuk mengingatkan Salomo bahwa bait suci adalah prioritas, “Sesungguhnya, sekalipun dalam kesusahan, aku telah menyediakan untuk rumah TUHAN itu seratus ribu talenta emas dan sejuta talenta perak dan sangat banyak tembaga dan besi, sehingga beratnya tidak tertimbang; juga aku telah menyediakan kayu dan batu” (ayat 14). Inilah satu pengajaran agung bagi setiap diri kita masing-masing, karena kita sering begitu terbenam dalam penderitaan, kekhawatiran dan masalah-masalah kita, sehingga kita menempatkan Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan GerejaNya di tempat kedua. Setelah menasehati putranya, Daud menoleh kepada semua pembesar Israel dan mengundang mereka supaya dekat pada Salomo selama pembangunan bait suci. Ini juga satu undangan yang diucapkan kepada kita sehingga komunitas orang-orang percaya dapat tetap teguh dalam Injil dan bermurah hati mengkomunikasikannya hingga ke ujung bumi. Doa Salib Suci Sabtu, 06 Oktober 2012 1 Taw 23:1-6, 24-32. Organisasi orang-orang Lewi Bab 23 dan empat bab berikutnya (24-27) berbicara tentang organisasi pelayanan di bait suci. Secara khusus, mereka membuat daftar tugas orang-orang Lewi seperti halnya pastor dan pro diakon, lalu pemimpin pasukan militer dan pegawai kerajaan. Dalam bab-bab ini tidak ditemukan hal-hal seperti halnya di dalam Kitab-kitab Samuel, suatu hal yang unik bagi Tawarikh. Tujuan dari daftar ini analog dengan silsilah yang menghubungkan asal mula penyembahan kepada Daud. Akibatnya, pengarang Tawarikh melaporkan tentang bagaimana organisasi bait Allah seperti pada masanya, yakni abad ke 4 SM. Titik perhatian pengarang ditujukan pada Daud, dan karenanya kepada Allah sendiri struktur ibadah di bait suci pada masanya. Mengamati ukuran-ukuran saat ini berarti tetap dibangunnya perjanjian yang telah Allah tetapkan dengan umatNya pada masa Daud. Penyembahan setelah pembuangan berkaitan dengan masa sebelum pengasingan, dengan demikian penyembahan dan tradisi liturgi adalah fondasi sejati kehidupan bangsa Israel. Jelaslah mereka yang menjadi tujuan tulisan pengarang Tawarikh akan mengerti dengan jelas bahwa seandainya mereka ingin tetap berada di belakang bangsa perjanjian, mereka harus menjaga apa yang telah dibentuk oleh Daud dan penerusnya. Berbeda dengan Kitab pertama Raja-raja (dimana Daud, setelah episode pengirikan di Ornan, tumbuh berkembang di tengah-tengah perkelahian dan intrik perebutan tahta), di sini di dalam Kitab Tawarikh, perhatian Daud kelihatannya hanya pada aturan penyembahan di bait suci. Sang raja telah tua dan “lanjut umur” (ayat 1), yang merupakan ungkapan yang indah yang menunjukkan kebaikan Allah dalam memberikan penghargaan kehidupan kepada orang benar. Mengetahui bahwa ajalnya telah dekat, Daud menobatkan putranya, Salomo. Dia mengumpulkan “segala pembesar Israel, juga para imam dan orang-orang Lewi” (ayat 2) dan menetapkan hak istimewa setiap kelompok. Inilah saat yang tepat, “TUHAN, Allah Israel, telah mengaruniakan keamanan kepada umat-Nya, dan Ia diam di Yerusalem sampai selama-lamanya” (ayat 25). Keprihatinan Daud yang terbesar langsung menjadi penyembahan di bait suci. Doa dan penyembahan kepada Tuhan merupakan dasar identitas bangsa Israel. Para anggota suku Lewi, yang pertama dipilih, ditugasi untuk menyediakan segala sesuatu di bait suci yang akan digunakan untuk berdoa dan persembahan korban. Disposisi yang mendetil membuktikan keseriusan penyembahan, doa dan persembahan korban. Orang-orang Lewi harus “bertugas menyanyikan syukur dan puji-pujian bagi TUHAN setiap pagi, demikian juga pada waktu petang” (ayat 30) dan berada pada disposisi para imam, “Mereka harus melakukan pemeliharaan Kemah Pertemuan serta tempat kudus dan harus melayani anak-anak Harun, saudara-saudara mereka, untuk menyelenggarakan ibadah di rumah TUHAN” (ayat 32). Memang, ini bukan sekedar “pelayanan” saja. Mereka dipanggil “sebagai tugas tetap di hadapan TUHAN” (ayat 31), yang bagi kita umat Kristiani juga menandakan kesadaran yang sangat dibutuhkan. Inilah beberapa kata yang memperjelas makna sebenarnya dari bahasa Ibrani tentang penyembahan. Dengan mendengarkan kata-kata di dalam tulisan ini, kita juga diingatkan untuk menyadari, ketika komunitas berkumpul untuk berdoa atau untuk merayakan liturgi kudus, bahwa kita berada di dalam kehadiran Tuhan. Doa Vigili Minggu, 07 Oktober 2012 – Hari Minggu Biasa keduapuluh tujuh Kej 2:18-24 ; Mzm 128 ; Ibr 2:9-11 ; Mark 10:2-16 atau 10:2-12 “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja”. Tuhan berbicara pada awal sejarah manusia, dan kata-kata ini dengan mendalam ditulis di dalam hati setiap pria dan wanita. Kata-kata ini bermakna panggilan kita yang berakar mendalam adalah pada komunitas, solidaritas dan saling mendukung. Kita bisa mengatakan ini adalah panggilan dari Tuhan sendiri. Sebenarnya, Dia tidaklah jauh dan tinggi, melainkan persekutuan dari tiga pribadi. Benih panggilan manusia yang mendalam ini, tak terbendung ditaburkan dalam hati setiap makhluk, adalah hakekat setiap manusia dan seluruh ciptaan. Inilah makna sebenarnya, fakta bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, sebagaimana tertulis di dalam Kitab Kejadian (1:26-27). Kita dapat mengatakan bahwa Allah tidak hidup sendiri, demikian pula, tidak ada pria maupun wanita yang dapat hidup sendiri. Jelas, ini adalah konsep pemikiran yang luas termasuk berbagai jenis persekutuan, yang berpuncak pada persekutuan yang akan kita lihat (dan kebanyakan kita akan mengalami sepenuhnya) pada saat ketika “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28). Kesatuan keluarga manusia akan menjadi nyata di sekeliling satu-satunya Tuhan, Bapa kita. Injil hari Minggu keduapuluh tujuh ini membuat kita merenungkan jenis persekutuan yang unik dan penting, yang berasal dari perkawinan. Kesempatan ini diberikan dengan pertanyaan yang diajukan beberapa orang Farisi kepada Yesus, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” Nabi muda dari Nazaret tidak langsung menjawab, melainkan merujuk pada perintah Musa yang memperbolehkan seorang lelaki menceraikan isterinya karena hal-hal tertentu, “sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya” (Ul 24:1). Makna “tidak senonoh” telah menimbulkan kontroversi selama berabad-abad. Beberapa menganggap perzinahan yang memalukan, yang lain berpendapat hal yang hina, atau apapun yang tidak menyenangkan suami sang wanita. Namun Musa ingin melindungi hak seorang isteri yang memerlukan surat cerai dari suami. Dengan cara ini, dia dapat menjaga kehormatan dan juga kebebasannya untuk menikah lagi. Yesus menjawab dengan level yang berbeda. Dia mulai mengacu pada asal usul penciptaan, yang merupakan akar kehidupan manusia. Yesus mengajukan secara eksplisit halaman pertama Kitab Kejadian (1:27 dan 2:24) dimana Dia berpendapat bahwa Allah mengaitkan perintah yang Dia berikan kepada suami dan isteri untuk membangun sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan hingga penciptaan manusia. Seorang pria dan wanita akan meninggalkan keluarga asal mereka (secara historis, hubungan ini lebih signifikan pada masa itu daripada kita saat ini) untuk saling memiliki satu sama lain dalam ikatan yang tidak terpisahkan, “dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit” seperti yang dinyatakan dalam upacara pemberkatan pernikahan. Suami dan isteri, Yesus berkata, menjadi “satu daging”. Kata “satu” lebih ditekankan daripada kata “daging” (“daging” berarti “seseorang secara keseluruhan” dalam bahasa Ibrani). Panggilan kepada manusia untuk saling bersatu ditekankan sekali lagi. Adam bersukacita saat melihat Hawa, demikian Yesus mengungkapkan panggilan ini sebagai seseorang yang mengasihi dan bukan untuk dominasi pria atas wanita, atau sebaliknya. Pria dan wanita diciptakan untuk saling mengasihi satu sama lain. Perintah ini berasal dari penciptaan. Umat manusia tidak menciptakan lembaga pernikahan, melainkan berasal dari penciptaan itu sendiri, dan itu merupakan tampilan tinggi tentang kasih yang dihadirkan sebagai gambaran kasih Allah bagi umatNya. Gambaran ini membutuhkan rahmat khusus dari Tuhan supaya menjadi suatu hidup yang ideal yang dapat menjadi inspirasi. Kita dapat mengatakan, dari sinilah mulainya sakramen perkawinan. “Bersama seumur hidup” adalah tugas luhur untuk mengurus, memperhatikan dan mendoakan. Ada berbagai kesulitan dan masalah, seperti halnya dalam semua hubungan manusia, namun kasih karunia Allah membantu kelemahan kita. Sebenarnya, pernikahan yang tidak terceraikan menjadi semakin lebih asing bagi budaya kita dan mentalitas yang mendominasi jaman kita. Orangorang lebih suka dan mencari kesenangan yang instan, mudah, dan murah. Terpusat pada diri sendiri, prosedur yang dipakai sepertinya telah berlaku juga bahkan pada bidang perkawinan ini. Yesus mengingatkan kita bahwa dengan cara ini kita akan melangkah semakin jauh dan jauh dari rancangan Tuhan bagi hidup manusia dan segala ciptaan. Persatuan ditulis dengan mendalam sebagai alasan sejarah manusia. Suatu perkawinan yang terputus selalu merupakan luka terhadap ciptaan. Sebagaimana selalu terjadi konsekuensi negatif yang ditumpahkan pada yang lebih lemah, orang-orang yang paling tidak terlindungi: anak-anak, para lansia dan orang sakit. Ada situasi yang sangat rumit dan kita harus menjaga mereka dengan simpati dan belas kasih. Harta suatu keputusan seumur hidup yang membuat dua orang menjadi “satu daging” bagaimanapun harus dilindungi. Perkawinan Kristiani juga khas karena merupakan sakramen dan kesatuan yang luar biasa dari Kristus kepada Gereja yang muncul di dalamnya. Misteri ini adalah titik awal untuk memahami betapa kayanya perkawinan Kristiani, dan untuk memahami apa makna secara historis bagi pasangan suami isteri, bagi keluarga mereka, dan bagi seluruh komunitas Kristiani. Sama seperti Gereja yang digabungkan pada Kristus sehingga menjadi “satu daging”, satu tubuh, pasangan suami isteri Kristiani harus memahami misteri perkawinan mereka. Gereja sebagai keluarga Allah menjadi citra keluarga yang berasal dari Sakramen Perkawinan. Gereja diyakini sebagai seorang ibu yang murah hati, memperhatikan dan pergi bersama dengan semua “gereja-gereja rumah kecil” sebagaimana dibangun. Sebuah komunitas Kristiani memiliki tugas keibuan untuk mendukung cinta dan simpati di antara anak-anaknya dengan doa dan dengan semua perbuatan yang mampu tercipta berkat kasih sayangnya. Apakah perlu gereja harus menawarkan kasih tambahan kepada semua yang kecil dan lemah karena mereka tidak memiliki kasih keluarga. Kata-kata dari Kitab Kejadian, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” harus direalisasikan di dalam Gereja dengan lebih baik daripada di tempat lain. Gereja yang merupakan keluarga Allah menawarkan dirinya sendiri sebagai keluarga semua orang, dan karena itu adalah rumah persekutuan dimana tidak ada seorang pun yang ditinggalkan sendirian. Doa Hari Tuhan